PENDAHULUAN
WTO, yang didirikan pada tahun 1995, berawal dari negosiasi yang disebut “Uruguay
Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and
Trade” (GATT). GATT telah membantu menciptakan suatu sistem perdagangan yang kuat dan
bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi global. WTO terdiri dari 153 negara anggota, dimana 117
di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO
menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA)
yang dimulai tahun 2001. Kegiatan WTO didukung oleh sejumlah 649 staf yang dipimpin oleh
Direktur Jenderal WTO. [1]
Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan
perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional
secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk
menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih
bersaing secara terbuka, fair dan sehat. Hal tersebut tampak dalam prinsip-prinsip yang dianut oleh
WTO yaitu prinsip Nondiscrimination, Transparency, Stability and predictability of trade
regulations, Use of tariffs as instruments of protection dan Elimination of unfair competition.
Terkait dengan prinsip predictability of trade regulations.[2]
WTO merupakan satu – satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah
perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan
yang berisi aturan – aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah
ditandatangani oleh negara – negara anggota.[3]
Cara-cara dan aturan penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT 1947 dirasakan
sudah tidak mampu lagi mendukung sistem perdagangan internasional yang ada. Sehingga Negara-
negara akhirnya menyepakati aturan-aturan penyelesaian sengketa yang baru sebagaimana
terdapat dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes atau
biasa disingkat Dispute Settlement Understanding (DSU).[4]
Perselisihan merupakan tanggung jawab dari Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute
Settlement Body), yang terdiri dari seluruh anggota WTO. Badan Penyelesaian Sengketa memiliki
otoritas tunggal untuk membentuk "panel" ahli untuk mempertimbangkan kasus, dan untuk
menerima atau menolak temuan panel 'atau hasil banding. Ia memantau pelaksanaan peraturan dan
rekomendasi, dan memiliki kekuasaan untuk mengotorisasi pembalasan ketika suatu negara tidak
sesuai dengan putusan.[5] Bagaimanah proses & tahapan-tahapan penyelesaian sengketa tersebut?
Selain penyediaan sarana penyelesaian sengketa secara hukum, DSU memberi kesempatan
kepada para pihak untuk mencapai kesepakatan dengan cara konsultasi, jasa-jasa baik (good
offices), konsiliasi, dan mediasi.[20]
Berikut ini agar lebih sistematis dalam memahami jangka waktu dalam penyelesaian
sengketa. Periode ini perkiraan untuk setiap tahap dari prosedur penyelesaian sengketa adalah
angka target - perjanjian fleksibel. Selain itu, negara dapat menyelesaikan perselisihan mereka
sendiri pada setiap tahap. Total juga perkiraan. [23]
60 days Consultations, mediation, etc
(60 hari) (Konsultasi, mediasi, dll)
45 days Panel set up and panellists appointed
(45 hari) (Panel mengatur dan panelis ditunjuk)
6 months Final panel report to parties
(6 bulan) (panel Laporan akhir kepada pihak)
3 weeks Final panel report to WTO members
(3 minggu) (laporan panel Final ke WTO anggota)
60 days Dispute Settlement Body adopts report (if no appeal)
(60 hari) (Badan Penyelesaian Sengketa mengadopsi laporan (jika banding tidak ada)
Total = 1 year
without appeal (Tanpa banding)
(Total = 1 tahun)
60-90 days (60-90
Appeals report (Banding Laporan)
hari)
30 days Dispute Settlement Body adopts appeals report
(30 hari) (Badan Penyelesaian Sengketa mengadopsi banding laporan)
Total = 1year 3month with appeal
(Total = 1th 3bln) (Dengan banding)
PENUTUP
DSU sebagai peraturan mengenai sistem penyelesaian sengketa pasti memiliki kelemahan-
kelemahan, ditambah pula aturannya harus berfungsi dalam kerangka hukum internasional publik.
Pada faktanya, lebih dari 300 perkara telah diterima WTO[25] yang proses penyelesaian sengketa
menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang
merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). Oleh karena itu, hal ini
merupakan kemajuan besar dibandingkan dengan sistem GATT 1947.
Maka dari itu, perlunya meningkatkan kemampuan nasional selain memanfaatkan secara
maksimal bantuan dan pelatihan yang disediakan WTO sebagai negara yang berkembang
khususnya Indonesia ini sehingga Indonesia tidak lagi harus memaksakan diri berperang tanpa
pedang[26] sehingga solusi apa yang sebenarnya perlu dilakukan? Solusi yang dibutuhkan
memang bukan sekadar pertemuan arahan para menteri, pertemuan setingkat dirjen untuk
membahas materi perundingan dalam waktu sebulan sebelum perundingan. Solusi yang lebih tepat
adalah kontinuitas komunikasi antara pemerintah dan pengusaha dalam menghadapi
perkembangan isu-isu, aturan-aturan di WTO, dan kebijakan-kebijakan dari negara-negara tertentu
atas suatu isu di WTO. Apalagi Indonesia pernah dikalahkan dalam kasus MOBNAS.[27]
Indonesia harus siap, mau tidak mau harus mengikuti perdagangan bebas. Tidak hanya
menyatakan sikap siap saja dan ikut – ikutan meratifikasi peraturan internasional. Melainkan
Indonesia berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai Negara Maju bukan lagi Negara
Berkembang agar negara kita makmur dan damai, tiada lagi perang pemikiran dan penjajahan
secara batin di dalamnya.
ABSTRAKSI
PENDAHULUAN
Pengaturan penyelesaian sengketa antara negara terdapat dalam pasal 22 dan 23 yang memuat
beberapa ketentuan, seperti dalam pasal 22 menghendaki para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral atas setiap persoalan yang
mempengaruhi pelaksanaan perjanjian/ketentuan-ketentuan GATT. Pasal ini menunjukkan
bahwa penyelesaian sengketa melalui proses konsultasi bilateral dapat diminta oleh salah satu
pihak apabila sengketanya tidak mungkin diselesaikan melalui konsultasi secara bilateral. Pasal
23 mengandung pengaturan yang lebih luas, pasal 23 ini terdiri dari dua ayat dan berada dibawah
judul pengilangan atau perusakan.
Sejak tahun 1952 terjadi perkembangan baru, yaitu dipraktikkannya panel yang terdiri dari tiga
atau lima anggota yang bukan berasal dari negara yang bersengketa. Namun demikian, ketentuan
yang sederhana tersebut tidak terlepas dari sejarah lahirnya GATT. Sejak semula perancang
GATT memang tidak mencita-citakan suatu lembaga penyelesaian sengketa tersendiri dalam
GATT. Isi penting GATT mengenai masalah ini terlalu ringkas dan kurang jelas. Namun,
perjalanan waktu, pengalaman, dan kebutuhan telah memaksa GATT melakukan serangkaian
perbaikan terhadap aturan penyelesaian dagang antarnegara.
Dalam melaksanakan tugasnya, panel mendengarkan argumen-argumen hukum dari kedua belah
pihak. Kemudian panel mengeluarkan putusannya secara tertulis mengenai sengketanya. Proses
seperti ini pun keberhasilan dan efektivitas pelaksanaannya bergantung pada kehendak negara-
negara anggota, terutama negara-negara yang bersengketa. Hal ini disebabkan mekanisme
penyelesaian sengketa dalam GATT, dimana putusan akhir panel akan disahkan oleh konsensus
dari negara-negara anggotanya. Konsensus dilakukan melalui sidang CONTRACTING
PARTIES. Keputusan badan tertinggi inilah yang menentukan apakah keputusan suatu panel
akan mengikat para pihak yang bersangkutan. Mekanisme seperti ini memungkinkan suatu
negara yang terlibat dalam mekanisme penyelesaian sengketa GATT memblok panel. Pada
prinsipnya, suatu putusan panel sifatnya menjadi mengikat secara hukum apabila diratifikasi oleh
GATT.
Kekuatan penegakkan dan pelaksanaan putusan GATT sendiri pada prinsipnya didasarkan pada
dua hal. Pertama, pada komitmen hukum dari negara-negara anggotanya. Negara-negara anggota
GATT dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dagang dalam GATT lebih menitik beratkan pada
rasa hormat dan kepentingannya terhadap GATT.
Menurut Hudec, setelah berjalan hampir 50 tahun, tindakan negara-negara anggota GATT yang
selama ini berdasar pada rasa hormat dan kepentingan, telah menciptakan suatu iklim hukum
dimana para anggota GATT melihat adanya kepentingan timbal balik dengan negara lainnya
untuk menghormati kewajiban-kewajiban hukum mereka dalam GATT. Kedua, GATT
memberikan hak untuk melaksanakan retaliasi kepada negara yang dirugikan sebagai akibat dari
tindakan-tindakan negara lain yang melanggar hukum. Dalam hali ini, negara tersebut diberi hak
untuk menerapkan rintangan-rintangan perdagangan baru terhadap produk-produk impor dari
negara-negara yang melanggar hukum.
Sejak berdiri tahun 1990, GATT menerima 207 permohonan penyelesaian sengketa. Dari jumlah
tersebut, 116 diserahkan kepada panel dan hanya 88 yang berhasil dikeluarkan keputusannya.
Dari 88 keputusan yang dikeluarkan, 66 merupakan putusan terhadap pelanggaran hukum. Dari
angka ini, 45 putusan telah dilaksanakan secara penuh, 15 putusan lainnya menghasilkan
penataan sebagian dan hanya satu kasus yang hasilnya tidak diketahui. Dengan perkataan lain,
penataan terhadap putusan GATT telah cukup tinggi ( meskipun ada sifatnya sebagian saja),
yaitu 9% dari seluruh kasus ( 60 dari 67 kasus yang diketahui).
Pada tahun 1980-an, tingkat penataan terhadap putusan penyelesaian sengketa GATT mengalami
sedikit penurunan. Dari 40 putusan yang dikeluarkan pada tahun 1980-an tersebut, hanya 33(
atau 81%) yang berhasil ditaati (baik seluruh maupun sebagiannya).
Penurunan penataan terhadap putusan tersebut merupakan konsekuensi wajar dari semakin
meningkatnya pemanfaatan penyelesaian sengketa dalam GATT. Pada masa tahun 1980-an
tersebut, sengketa yang diserahkan semakin banyak, dan sifatnya semakin ambisius, dan semakin
besar tekanan hukum terhadap kebijakan pemerintah.
Pada perkembangannya kemudian, yaitu masa awal tahun 1990-an, GATT menerima 40 kasus.
Laporan mengenai penyelesaian kasus-kasus tersebut menyatakan bahwa tingkat keberhasilan
penataan terhadapnya semakin berkurang. Pada bulan oktober 1993, sekretariat GATT
melaporkan bahwa sekitar 11 laporan putusan panel mengalami penundaan dlam mengeluarkan
putusan untuk jangka waktu 4 bulan, dan 6 laporan putusan tertunda untuk selama 1 tahun.
PERKEMBANGAN PENGATURAN
Diluncurkannya putaran perundingan Uruguay tahun 1986 membawa angin perubahan terhadap
pengaturan penyelesaian sengketa. Dalam perundingan tersebut, penyelesaian sengketa
merupakan salah satu subjek agenda pembahasan yang penting. Tujuan dari perundingan
mengenai subjek tersebut adalah untuk meningkatkan dan memperkuat aturan-aturan dan
prosedur penyelesaian sengketa. Perundingan mencakup pula upaya-upaya untuk mengawasi
pelaksanaan putusan yang dikeluarkan.
Selengkapnya mandat penyelesaian sengketa yang dikeluarkan dalam Deklarasi Punta Del Este
uruguay adalah sebagai berikut :
In order to ensure and effective resolution of disputes to the benefit of all contracting parties,
negotitions shall aim to improve and strengthen the rules and the procedures of the dispute
settlement process, while recognizing the contribution that would be made by more effective and
enforceable GATT rules and disciplines. Negotiations shall include the development of adequate
arrengement for overseing and monitoring of the procedures that would facilitate compliance
with adopted recommendations.
1. 1. KONSULTASI
Telah dikemukakan bahwa ketentuan GATT lama mengenai penyelesaian sengketa ini pertama-
tama menekankan pentingnya konsultasi ( negosiasi) diantara pihak-pihak yang bersengketa.
Konsultasi tersebut bisa berupa perundingan formal maupun informal, seperti melalui saluaran
diplomatik.
Ada perkembangan dan pengaturan baru mengenai hal ini, pertama adalah diterimanya suatu
prinsip yang dikenal dengan nama ‘otomatisitas’. Dalam kerangka GATT yang lalu,suatu
prosedur penyelesaian sengketa baru dapat maju ke tingkat yang lebih tinggi manakala ada
persetujuan dari seluruh anggota GATT. Hal ini berarti, suatu negara yang terlibat dalam suatu
sengketa, lalu ia tidak setuju sengketanya diselesaikan lebih lanjut dalam GATT, memiliki
kekuasaan untuk memberhentikan suatu prosedur penyelesaian sengketa.
Praktik seperti ini dalam prosedur yang baru tidak lagi berlaku.dalam peraturan yang baru,
prosedur penyelesaian sengketa akan berlanjut otomatis atas permohonan dari suatu pemerintah
yang mengajukan sengketanya. Kedua, the understanding menetapkan 10 hari bagi negara
termohon untuk menjawab permohonan negara pemohon untuk berkonsultasi.permohonan
konsultasi kepada suatu negara juga diberitahukan kepada DSB dan kepada badan-badan
kelengkapan atau komisi WTO yang terkait dengan pokok sengketa. Permohonan tersebut harus
dibuat secara tertulis. Didalamnya harus dicantumkan alasan-alasan timbulnya sengketa dan
dasar hukum untuk mengajukan permohonan tersebut. Berdasarkan pasal 5 dan 6, WTO
menghendaki agar pihak-pihak menggunakan segala upaya terlebih dahulu untuk mencapai suatu
penyelesaian sengketa yang memuaskan pada tahap konsultasi tersebut. Penyelesaian seperti ini
sifatnya tertutup, namun tidak mempengaruhi salah satu pihak untuk membawa sengketanya
kepada tahap lebih lanjut.
Apabila negara termohon menerima tawaran berkonsultasi maka para pihak harus menyelesaikan
sengketanya secara bilateral dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan berkonsultasi
diterima.
1. 2. JASA BAIK, KONSILIASI, MEDIASI
Ketentuan diatas mempunyai dua kemungkinan, pertama, apabila konsultasi atau negosiasi
gagal, dan apabila para pihak setuju maka sengketa mereka dapat diserahkan kepada dirjen
WTO. Dalam tahap ini dirjen WTO akan memberikan cara penyelesaiannya melalui jasa baik,
konsoliasi, dan mediasi. Kemungkinan kedua, apabila negara termohon tidak memberi jawaban
positif terhadap permohonan konsultasi dalam jangka waktu 10 hari, dan apabila negara tersebut
menerima permohonan konsultasi namun penyelesaiannya gagal dalam jangka waktu 60 hari
maka negara pemohon dapat meminya DSB untuk membentuk suatu panel ( pasal 4 ayat 7).
Dalam hal keadaan mendesak, misalnya menyangkut pokok sengketa berupa barang yang mudah
rusak, jangka waktu tersebut dapat dipersingkat. Dalam hal ini konsultasi dapat dilaksanakan
dalam jangka waktu 10 hari permohonan konsultasi. Setelah itu, apabila gagal salah satu pihak
dapat meminta pembentukan panel dalam jangka waktu 20 hari.
Pasal 4 ayat 10 mensyaratkan negara-negara untuk memberikan perhatian khusus kepada negara-
negara sedang berkembang selama konsultasi. Pasal ini menunjukan bahwa perhatian tersebut
diberikan tanpa memperhatikan apakah negara sedang berkembang tersebut adalah negara
pemohon atau termohon.
Pihak ketiga yang merasa berkepentingan dengan adanya suatu sengketa diatur dalam pasal 4
ayat 11. Pihak ketiga ini dapat meminta untuk bergabung dalam konsultasi. Permohonannya ini
selayaknya diterima apabila pihak pemohon yang pertama kali mengajukan sengketanya setuju
bahwa kepentingan negara tersebut tercermin dalam sengketa tersebut. Tetapi apabila pihak
tersebut tidak menerima adanya permohonan keikutsertaan dalam suatu konsultasi maka pihak
ketiga tersebut dapat mengajukan permohonan tersendiri untuk konsultasi.
Jasa baik, konsiliasi, dan mediasi adalah cara penyelesaian sengketa secara damai dengan
melibatkan pihak ketiga. Prosedur untuk jasa baik, konsiliasi, dan mediasi dilaksanakan secara
sukarela. Artinya, para pihak dapat menempuh cara ini apabila kedua belah pihak setuju. Dalam
pelaksanaannya, sifanya rahasia. Namun demikian, pelaksanaan tersebut tidak mengurangi hak
masing-masing pihak untuk melangkah ke prosedur atau tata cara penyelesaian lebih lanjut.
Cara-cara penyelesaian seperti ini dapat dilaksanakan setiap saat. Begitu pula para pihak dapat
mengakhirinya setiap saat manakala prospek penyelesaiannya gagal. Manakala diakhiri, pihak
pemohon dapat mengajukan pembentukan panel.
1. 3. PEMBENTUKAN PANEL
Pembentukan suatu panel dianggap sebagai upaya terakhir dan sifatnya otomatis dalam
mekanisme penyelesaian sengketa menurut WTO. Perjanjian WTO menyatakan bahwa DSB,
dalam hal ini fungsi badan tersebut diaksanakan oleh the WTO General Council, harus
mendirikan suatu panel dalam jangka waktu 30 hari setelah adanya permohonan, kecuali ada
konsensus para pihak untuk membatakannya. Permohonan untuk pembentukan panel dibuat
secara tertulis.
Panel terdiri dari 3 orang yang memiliki latar belakang dan pengalaman menyelesaikan sengketa
dagang dalam GATT atau yang pernah mengejar hukum perdagangan internasional. Mereka
adalah orang-orang netral yang dipilih bukan dari negara-negara yang sedang bersengketa.
Mereka bisa pejabat, atau orang-orang sipil. Sekretariat WTO memiliki daftar nama-nama yang
sesuai dengan kriteria tersebut dalam mengusulkan nama-nama untuk menyelesaikan suatu
sengketa. Apabila para pihak setuju, komposisi panel dapat ditambah menjadi 5. Permohonan ini
harus diminta dalam jangka waktu 10 hari sejak pembentukan panel. Manakala para pihak tidak
sepakat mengenai komposisi atau susunan panel dalam jangka waktu 20 hari sejak
pembentukannya maka masalah penetapan tersebut akan dilakukan oleh dirjen WTO.
Panel dalam memeriksa suatu sengketa berhak mendapatkan informasi dan nesehat yang sifatnya
teknis dari setiap individu atau badan atau organisasiyang kompeten ( pasal 13 ayat 1). Pasal ini
merupakan ketentuan yang baru dalam WTO. Dalam sistem lama GATT, anggota panel hanya
mengandalkan informasi yang diberikan pada pihak yang bersengketa.
Kewenangan panel untuk memperoleh informasi ini diperkuat oleh pasal 13 ayat 2. Pasal ini
menyatakan bahwa panel dapat mengandalkan berbagai sumber informasi tambahan dan dapat
pula berkonsultasi dengan para ahli mengenai hal tertentu dari suatu sengketa.
Panel dapat pula meminta bantuan dari suatu kelompok ahli mengenai sesuatu hal yang sifatnya
teknis atau ilmiah. Rancangan laporan panel dibuat oleh para anggota panel tanpa dihadiri pihak-
pihak yang bersengketa. Pendapat para anggota dalam laporan tersebut dibuat tanpa
mencantumkan nama anggotanya.
Tujuan utama penyelesaian sengketa dalam GATT, yaitu tercapainya suatu penyelesaian diantara
para pihak sendiri. Jadi penyelesaian secara baik-baik oleh mereka sendiri, tanpa melibatkan
pihak ketiga terlebih dahulu. Hal ini juga merupakan tujuan utama penyelesaian sengketa
menurut WTO terhadap negara-negara anggotanya. Karena itu pula, para pihak bebas untuk
mengunakan berbagai cara penyelesaian yang dapat diterima tanpa harus meyerahkannya kepada
pihak ketiga.
Aturan yang paling penting mengenai prinsip ‘optimalisasi’ ini dari perjanjian putaran Uruguay
adalah pasal 16 ayat 4. Pasal tersebut menyatakan bahwa hasil putusan atau laporan panel harus
disahkan dan menjadi mengikat 60 hari setelah dikeluarkan, kecuali pihak yang kalah mengajukn
banding atau para pihak secara konsensus tidak akan melakukannya.
1. 4. BANDING
Pihak-pihak dalam sengketa dapat mengajukan banding terhadap putusan panel. DSU
mensyaratkan bahwa banding dibatasi untuk memperjelas interpretasi hukum atas suatu
ketentuan atau pasal dalam perjanjian WTO. Banding tidak dapat diajukan untuk mengubah
bukti-bukti yang ada atau bukti baru yang muncul kemudian.
Proses pemeriksaan banding tidak boleh lebih dari 60 hari, sejak para pihak memberitahukan
secara formal keinginannya untuk banding. Namun, apabila badan banding tidak dapat
memenuhi batas waktu tersebut maka ia dapat memperpanjang hingga maksimus 90 hari. Untuk
itu, ia harus memberitahukannya kepada DSB secara tertulis beserta alasan perpanjangan kapan
laporan akan diberikan.
Tiga orang dari tujuh orang anggota tetap badan banding akan meneliti setiap adanya
permohonan banding. Putusan yang dikeluarkannya dapat berupa penundaan atau perubahan atas
suatu putusan panel. Hasil proses pemeriksaan dilaporkan dan disahkan oleh DSB. Namun
laporan dan pengesahan keputusan badan banding ini masih tetap dapat dicegah apabila para
pihak sepakat untuk tidak dilakukannya pengesahan tersebut.
Tahap akhir dari proses ini adalah pelaksanaan putusan atau rekomendasi. Hal tersebut
diserahkan langsung kepada para pihak dan mereka diberi waktu 30 hari untuk melaksanakan
putusan atau rekomendasi tersebut. Jika jangka waktu itu dirasakan tidak mungkin maka para
pihak masih diberi waktu yang layak untukdapat melaksanakannya.
Untuk memastikan agar pihak yang dikalahkan melaksanakan rekomendasi atau putusan DSB,
pasal 21 ayat 6 menegaskan bahwa DSB akan terus mengawasi pelaksanaan rekomendasi atau
putusannya. Pasal tersebut juga merupkan ketentuan baru yang tidak dikenal sebelumnya dalam
GATT. Ketentuan pasal tersebut mencerminkan pula bahwa putusan atau rekomendasi DSB
sifatnya mengikat.
Apabila para pihak, khususnya pihak yang terkena kewajiban untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu ternyata gagal melaksanakannya maka pihak lainnya dapat meminta
wewenang kepada DSB untuk menangguhkan kewajiban-kewajiban lainnya terhadap pihak
lainnya itu.
Tindakan konpensasi ( ganti rugi) atau penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya tersebut
sifatnya adalah sementara. Apabila penangguhan ini diinginkan, pihak lainnya dapat
menegosiasikan dalam jangka waktu yang pantas. Namun, apabila dalam jangka waktu yang
pantas ini tidak tercapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat meminta arbitrase untuk
menyelesaikannya. Arbitrase akan dilakukan oleh anggota-anggota panel yang menangani
sengketa tersebut. Atau, apabila tidak tercapai kesepakatan, arbitrator aka ditunjuk oleh dirjen
WTO. Arbitrase bertugas selama 60 hari sejak berakhirnya jangka waktu yang layak tersebut.
Tugas utama arbitrator adalah menentukan apakah penangguhan konsesi atau kewajiban salah
satu pihak tersebut pantas atau sebanding dengan kerugian yang dideritanya.
PEMBAHASAN
Sepanjang Indonesia menjadi anggota GATT, 44 tahun lamanya, tidak adanya satu pun kasus
yang melibatkan Indonesia ke hadapan panel GATT. Umumnya kasus yang muncul dan
melibatkan Indonesia dengan sesama anggota GATT, dapat diselesaikan dalam tahap konsultasi.
Penyelesaiannya belum ke tahapan panel.
Salah satu sengketa yang terkenal adalah gugatan negara dagang utama, Amerika Serikat dan
Masyarakat Ekonomi Eropa ( MEE, sekarang ini uni eropa),yang mengecam keras praktik
pelanggaran hak atas kekayaan intelektual di tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Asosiasi film
dan musik dari kedua negara mengecam republik Indonesia karena miskinnya perlindungan
hukum terhadap produk-produk HAKI kedua negara.
Di tahun-tahun tersebut, Republik Indonesia dikenal sebagai pengekspor kaset lagu-lagu barat
(AS dan MEE bajakan). Kaset bajakan buatan Republik Indonesia dikenal baik dan tinggi
mutunya. Kaset tersebut terjual keras dan diekspor ke Malaysia bahkan ke Timur Tengah.
Atas desakan dan tekanan Amerika Serikat dan MEE, pemerintah mengeluarkan seperangkat
undang-undang di bidang HAKI, melakukan operasi penangkapan, sweeping terhadap produk
kaset bajakan, dan lain-lain. Umumnya desakan dan tekanan ini cukup efektif.
1. 2. DALAM WTO
Dalam keanggotaan di WTO, ada beberapa sengketa yang melibatkan Indonesia di tahap
penyelesaian panel, disamping sudah barang tentu penyelesaian melalu tahap konsultasi. Tahap
konsultasi umumnya terjadi antara Republik Indonesia dengan negara maju, khususnya Amerika
Serikat.
1. a. Konsultasi
Contoh terkenal terjadi pda abad ke 20 dan memasuki abad 21, yaitu protes Amerika Serikat
terhadap praktik penangkapan udang oleh nelayan-nelayan Republik Indonesia. Amerika Serikat
berpendapat, penangkapan udang tidak boleh merusak ekosistem lain. Oleh sebab itu, untuk
penangkapan udang, perlu suatu jaring khusus yang ketika menjaring udang, ikan-ikan selain
khususnya kura-kura tidak ikut terjaring dan mati. Isu ini berhasil dapat direndam dan
diselesaikan secara konsultasi antara tingkat pejabat tinggi kedua negara.
Sengketa yang diselesaikan secara konsultasi lainnya adalah sengkata tuduhan dumping produk
karung dan tas dari Indonesia oleh Komisi Eropa.tuduhan diluncurkan pada tanggal 13 April
1995. Dari tuduhan dumping dan subsidi tersebut, Komisi Eropa mengenakan Bea Masuk Anti
Dumping ( BMAD) dan juga Bea Masuk Imbalan ( BMI) yang berlaku mulai tanggal 7 Oktober
1997 melalui Council Regulation (EC) Nomor 1950/97 tanggal 6 Oktober 1997.
Setelah melalui pembelaan pada masa peninjauan kembali oleh Komisi Eropa, akhirnya tuduhan
subsidi dinyatakan dihentikan. Tetapi untuk tuduhan dumping, tetap berlanjut pengenaan BMAD
terhadap beberapa produsen dan eksportir karung dan tas dari Indonesia.
1. b. PANEL DSB
Indonesia, selama dalam WTO telah beberapa kali menjadi pihak dalam panel, baik sebagai
penggugat, atau pihak ketiga. Sebagai penggugat, Indonesia bersama dengan beberapa negara
anggota WTO, yaitu Australia, Brasil, Cile, India, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Meksiko,
Thailand, dan Uni Eropa, menggugat Amerika Serikat dalam sengketa US-Continued Dumping
and Subsidi Offset Act of 2000 ( Byrd Amandement)
Panel memutuskan bahwa Byrd Amandement tidak melanggar ketentun WTO. Namun, Undang-
undang Amerika Serikat the Continued Dumping and Subsidi Offset Act of 2000 terbukti telah
melanggar ketentuan WTO. Atas putusan ini Amerika Serikat mengajukan banding.
Badan banding memberi putusan sebagai berikut : terhadap Undang-undang Amerika Serikat
“the Continued Dumping and Subsidi Offset Act of 2000” badan banding setuju dengan putusan
panel. Badan banding berpendapat bahwa Undang-undang Amerika Serikat tersebut merupakan
suatu tindakan tertentu terhadap dumping dan subsidi.
Terhadap Byrd Amandement badan banding tidak setuju dengan keputusan panel. Badan banding
memutuskan bahwa Byrd Amandement bertentangan dengan ketentuan WTO. Badan banding
berpendapat bahwa Amerika Serikat telah melakukan tindakan yang tidak beriktikad baik
sehubungan dengan kewajibannya dalam WTO.
Sebagai tergugat Indonesia muncul dalam sengketa “Mobnas” yang cukup terkenal. Indonesia
daam sengketa Mobnas ini digugat tidak tanggung-tanggung oleh tiga negara industri otomotif
terkemuka dunia, Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Mereka mengklaim bahwa kebijakan
Indonesia yang memberi perlakuan istimewa dan khusus kepada produsen otomotif Indonesia
bertentangan dengan perjanjian WTO. Panel mendukung gugatan tersebut.
Sebagai pihak ketiga, Indonesia muncul dalam sengketa antara Uni Eropa terhadap Argentina
mengenai produk alas kali. Indonesia menggugat, bahwa kebijkan Argentina yang memberi
perlakuan khusus kepada negara-negara Mercosur dan tidak kepada Indonesia adalah
pelanggaran terhadap perjanjian WTO. Panel setuju dengan Indonesia.
PENUTUP
Dengan demikian, penjelasan diatas menunjukkan bahwa aturan perdagangan dalam GATT tidak
dirancang dengan seksama. Pengatuan penyelesaian sengketanya sangat sederhana, tanpa melalui
suatu badan penyelesaian tertentu, pengaturannya pun cuma terdapat pada dua pasal saja, yaitu
pasal 21 dan pasal 23.
Pengaturan sederhana tersebut sudah barang tentu memerlukan perbaikan. Yang unik dai proses
perbaikan itu adalah perbaikan berjalan seiring dengan pengalaman GATT dengan caranya
sendiri menciptakan prosedur yang cocok dengannya. Jadi, perbaikan dilakuakan tanpa terencana
dan seksama.
Upaya perbaikan dan penyempurnaan aturan penyelesaian sengketa selama GATT berdiri
memperlihatkan semakin berkembangnya kesadaran nagara peserta GATT untuk lebih
menempuh penyesuaian tehadap hukum. Hal ini ditandai dengan pembentukan badan-badan
penyelesaian sengketa yang menggambarkan penyelesaian sengketa yang lebih yuridis.
Dari berbagai penyempurnaan yang telah dihasilkannya, tampak bahwa upaya konsultasi,
negosiasi, atau perundingan langsung diantara para pihak tetap menjadi prioritas. Hal ini
menunjukkan bahwa memang cara ini merupakan cara yang perlu ditempuh lebih dahulu dalam
penyelesaian sengketa.
Bahwa penyelesaian sengketa antara negara dalam GATT telah berlangsung dalam waktu yang
sudah cukup lama, dimana mekanisme penyelesaian sengketanya mengacu kepada dua pasal
yaitu pasal 22 dan pasal 23 tahun 1947. Pengaturan masalah penyelesaian sengketa yang terdapat
dalam pasal 22 dan pasl 23 masih sangat sederhana dan kemudian menjadi lebih berkembang.
Indonesia pernah terlibat dalam sengketa dengan negara-negara lain seperti Amerika, Uni Eropa,
dll. Proses penyelesaian sengketanya hanya dengan 2 prosedur saja, yaitu dengan konsultasi dan
menyerahkan masalah sengketanya pada putusan panel, dimana didalam sengketa tersebut
Indonesia pernah menjadi pihak penggugat, tergugat, dan pernah juga menjadi pihak ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, huala. 2004. Hukum penyelesaian sengketa internasional. Jakarta : sinar grafika
Persengketaan rokok kretek Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Persengketaan rokok kretek Indonesia merupakan sebuah kasus hukum ekonomi yang
diajukan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 7 April 2010 kepada Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) berkaitan dengan dugaan diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika
Serikat terhadap penjualan rokok kretek di Amerika Serikat.[1] Persengketaan ini berakhir setelah
WTO memenangkan Indonesia pada tingkat banding setelah mengadopsi laporan Badan Banding
WTO dalam kasus rokok kretek ini.[2]
Awalnya, rokok kretek mendapatkan pelarangan masuk ke pasar Amerika Serikat dengan alasan
kesehatan masyarakat Amerika Serikat, tetapi Indonesia menilai tindakan Amerika tersebut tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas berkeadilan.[3] Pada 7 April 2010, Indonesia
mengajukan gugatan kepada Amerika Serikat melalui WTO.[1]
Daftar isi
1 Pihak terkait
2 Kronologis persengketaan di WTO
o 2.1 Konsultasi
o 2.2 Tindak lanjut Panel dan Badan Banding
o 2.3 Jangka waktu
o 2.4 Pengadopsian Pasal 22
3 Linimasa
4 Referensi
Pihak terkait
Pendakwa: Indonesia[4]
Terdakwa: Amerika Serikat[4]
Pihak ketiga: Brasil, Kolombia, Republik Dominika, Uni Eropa, Guatemala, Meksiko, Norwegia,
Turki[4]
Kronologis persengketaan di WTO
Konsultasi
Pada 7 April 2010, Indonesia mengajukan konsultasi dengan Amerika Serikat berkaitan dengan
ketentuan Family Smoking Prevention Tobacco Control Act of 2009 yang melarang keberadaan
rokok kretek di Amerika Serikat.[5] Indonesia menyatakan Pasal 907, yang ditandatangani
menjadi undang-undang pada 22 Juni 2009, melarang, antara lain, produksi atau penjualan di
Amerika Serikat rokok mengandung aditif tertentu, termasuk cengkeh, tapi akan terus
mengizinkan produksi dan penjualan lainnya rokok, termasuk rokok yang mengandung
menthol.[4] Indonesia menyatakan bahwa Pasal 907 tidak konsisten, antara lain, dengan Pasal III:
4 GATT 1994, Pasal 2 dari Persetujuan TBT, dan berbagai ketentuan dari Persetujuan SPS.[6]
Pada tanggal 9 Juni 2010, Indonesia meminta pembentukan panel.[6] Pada pertemuan pada
tanggal 22 Juni 2010, Badan Penyelesaian Sengketa menangguhkan pembentukan panel untuk
membahas masalah ini.[6]
Pada pertemuan 20 Juli 2010 Badan Penyelesaian Sengketa membentuk panel.[4] Brasil, Uni
Eropa, Guatemala, Norwegia, dan Turki menjadi pihak ketiga.[4] Pada 9 September 2010, seluruh
pihak setuju dengan komposisi pembentukan panel.[4] Pada 8 Maret 2011, Ketua Panel
menginformasikan kepada Badan Penyelesaian Sengketa bahwa jadwal akan diadopsi panel
setelah berkonsultasi dengan para pihak yang bersengketa.[4]
Pada 15 September 2011, Indonesia dan Amerika Serikat meminta Badan Penyelesaian Sengketa
untuk mengadopsi draf keputusan untuk memperpanjang masa waktu berkaitan dengan
peninjauan Pasal 16.4 sampai dengan 20 Januari 2012.[4] Pada pertemuan 27 September 2011,
Badan Penyelesaian Sengketa menyetujuinya setelah meninjau permintaan Indonesia dan
Amerika Serikat.[4]
Pada 5 Januari 2012, Amerika Serikat diberitahu Badan Penyelesaian Sengketa tentang
keputusannya untuk pengajuan banding kepada Badan Banding berkaitan dengan isu-isu hukum
yang tercakup dalam laporan panel dan interpretasi hukum yang diputuskan oleh panel.[4] Pada
29 Februari 2012, Ketua Badan Banding memberitahu Badan Penyelesaian Sengketa bahwa
Badan Banding tidak dapat mempublikasikan laporannya dalam waktu enam puluh hari karena
waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian dan penjabaran laporan yang cukup lama.[4]
Pada 4 April 2012, Badan Banding mengumumkan hasil laporannya kepada anggota.[4] Pada 24
April, Badan Penyelesaian Sengketa mengadopsi laporan Badan Banding dan panel,
sebagaimana dimodifikasi oleh laporan Badan Banding.[4] Terhitung pada tanggal tersebut,
pengadopsian pasal 22 telah dicetuskan dan Amerika Serikat disarankan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa untuk menjalankan masukan sebagai konsekuensi. [2]
Jangka waktu
Pada pertemuan Badan Penyelesaian Sengketa pada 24 Mei 2012, Amerika Serikat mengabarkan
akan menjalankan rekomendasi yang diterapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dan
keputusannya tersebut untuk melindungi kesehatan masyarakat dan menghormati WTO.[4]
Namun, Amerika Serikat membutuhkan jangka waktu sehingga pada 14 Juni 2012, Indonesia
dan Amerika Serikat telah bersepakat untuk menjalankan rekomendasi Badan Penyelesaian
Sengketa dalam waktu 15 bulan.[4] Dengan demikian, periode waktu yang disepakati akan
berakhir pada 24 Juli 2013.[4]
Pengadopsian Pasal 22
Pada 12 Agustus 2013, Indonesia meminta otorisasi dari Badan Penyelesaian Sengketa untuk
menangguhkan konsesi atau kewajiban sesuai dengan Pasal 22.2 Paham Penyelesaian
Sengketa.[4] Amerika Serikat mengajukan keberatan dengan tingkat penangguhan konsesi dan
menyerahkan permasalahan ke tingkat arbitrase berdasarkan Pasal 22.6.[4] Pada 23 Agustus 2013,
masalah ini telah disepakati untuk dibawa ke tingkat arbitrase.[4]