Anda di halaman 1dari 10

20180310120_Muhammad Irfan Amrizal

Tugas Pengganti UAS

1. Jelaskan prinsip prinsip hukum/fiqih Islam terkait dengan masalah kedokteran,


khususnya kasus :

a. Transplantasi

Transplantasi dapat diartikan usaha memindahkan sebagian dari tubuh dari satu
tempat ke tempat lain. Hukum pencangkokan dengan tujuan pengobatan cacat badan
dapat dimasukkan kategori dharurat, karena sangat dihajatkan untuk tidak
menimbulkan komplikasi kejiwaan, maka hukumnya mubah (boleh). Pecangkokan
harus dilakukan oleh seorang ahli (dokter sesuai keahliannya)

Adapun hal yang harus diperhatikan :

 Donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor.


Allah Swt berfirman:

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (TQS an-Nisa [4]: 29).

Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
(QS alAn’am[6]:151)

 Hukum Islam pun tidak membolehkan karena salah satu hadist mengatakan bahwa
”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang
lain.”(HR.Ibnu Majah). Yakni penjelasannya bahwa kita tidak boleh membahayakan
orang lain untuk keuntungan diri sendiri.
 Resipien (penerima organ) berada dalam keadaan darurat yang mengancam dirinya
setelah menmpuh berbagai upaya pengobatan yang lama Pencangkokan tidak akan
menimbulkan akibat atau komplikasi yang lebih gawat Telah disetujui oleh wali atau
keluarga korban dengan niat untuk menolong bukan untuk memperjual-belikan yang
tidak membolehkan alasannya.
b. Bayi tabung

Ini merupakan salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode
lainnya tidak berhasil dengan sebuah teknik pembuahan yang sel telur (ovum)
dibuahi di luar tubuh wanita

Beberapa kasus yang terjadi :

1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan
kaidah-kaidah agama
2. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal
dunia hukumnya haram. Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik,
baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan
3. Bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain
hukumnya haram, karena akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri
yang sah hukumnya haram. Karena, statusnya sama dengan hubungan kelamin
antar lawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina

C. Eutanasia/bunuh diri dalam kedokteran

Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau


penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145). Dalam praktik kedokteran, dikenal dua
macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah
tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam
tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah
sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Syariah Islam
mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-‘amad). Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya)melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidaksengaja)…”(QSAn-Nisaa` : 92)

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien


yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan
ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan
sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi.

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk
berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan
yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).

Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan
bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien.

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien).
Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

2. Jelaskan prinsip ibadah bagi orang sakit terkait :

Pada dasarnya orang sakit sama dengan orang sehat dalam hal kewajiban
melaksanakan ibadah mahdah seperti sholat, puasa, atau haji, hanya bagi orang sakit ada
beberapa rukhsah (keringanan) dalam melaksanakannya

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah” QS. Ad-Dzariyat
ayat 56
A. Wudhu/thaharah dan Shalat
Thaharah secara bahasa berarti suci dan bersih, baik dalam aspek lahir maupun batin
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat (yang kembali) dan
mencintai orang-orang mensucikan diri” QS. Al-Baqarah/2: 222)

Hukum thaharah adalah wajib, khususnya bagi orang yang mau sholat
“Kunci shalat itu adalah bersuci ...” (HR. Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib)
Sholat merupakan tiang agama dan yang paling pertama ditanyakan oleh Allah. Orang
sakit tetap diwajibkan shalat
Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun,
anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu
Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).

Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur
untuk meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.

Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit

1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid

Kondisi sakit terkadang menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid.


Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat
di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau
memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam.
‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

‫ضه في قال وسلَّم عليه للا ه صلَّى للاه رسول أن‬


‫ مر ه‬: ( ‫يصل ي بكر أبا همروا‬
‫ه‬ ‫بالناس‬
‫ه‬ )

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan


Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat
jama’ah.
2. Dibolehkan menjamak shalat

Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari
Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

‫الظهر بين وسلَّم عليه للا ه صلَّى للاه رسو هل جمع‬


‫ه‬ ‫والعصر‬
‫ه‬ ،‫ب‬
‫والعشاء والمغر ه‬
‫ه‬ ‫غير من بالمدين هة‬
‫مطر وال خوف ه‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat


Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang
dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena


ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

‫ خاصة السفر سببه والقصر‬، ‫السفر غير في يجوز ال‬. ‫والعذر الحاجة فسببه الجمع وأما‬

“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh
dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada
kebutuhan dan udzur” (Majmu’ Al Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada
waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk

Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya
untuk berdiri. Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan
baginya untuk shalat sambil duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil
berbaring. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

‫واسير بي كانت‬
‫ه‬ َّ ‫عن وسلَّم عليه للا ه صلَّى النب‬
‫ ب‬، ‫ي فسألته‬ ‫ الصال هة ه‬، ‫ فقال‬: ‫ قائ ًما ص هل‬، ‫ فقاعدًا تست هطع لم فإن‬، ‫لم فإن‬
‫جنب فعلى تست هطع‬

“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi


Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda:
shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak
mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no.
1117).

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas

Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya
bisa berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat
dengan kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala.

Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang


sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi
mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu
mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu
tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika
kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala).
Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi
dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).
“Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan
alis.”

6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu

Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:

“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib
menghadap kiblat. Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh
orang lain. Jika ia tidak mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang
membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat akan habis,
maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]

Prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit
berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika
tidak mungkin maka mendekati sempurna.
B. Puasa
Dalil tentang Keringanan Puasa Ketika Sakit.

1. (QS. Al Baqarah: 185)

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Jelas bahwa orang yang sakit tidak wajib untuk berpuasa dan ia bisa mengganti lama
hari puasa yang ditinggalkannya tersebut di hari lain ketika ia telah sehat.

2. QS. An Nisa’ , QS. Al Baqarah , QS. Al Hajj

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29) “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah:
185) “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78).

“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah
semampu kalian.” Jelas juga bahwa Allah dan Rasulullah tidak pernah meminta umat
islam untuk menyiksa diri sendiri, melainkan melakukan segala amal perbuatan sesuai
kemampuannya.

3. Hukum Makhruh

Adapun sakit ringan, seperti batuk, pusing dan yang serupa tidak boleh berbuka
karenanya. Kalau menurut kedokteran, atau pengalamannya atau menurut
perkiraannya bahwa puasa akan membuatnya sakit, hinga menambah parah
penyakitnya, atau dapat menunda masa kesembuhannya, maka boleh bagi si sakit
melakukan keutamaan berbuka puasa, bahkan makruh hukumnya ia berpuasa.

4. Sakit yang Menyebabkan Seseorang Pingsan Ketika Berpuasa

Jika puasa dapat menyebabkan seseorang pingsang maka ia berbuka dan harus
menggantinya. Dan kalau sedang berpuasa ia pingsan di siang hari, lalu sadar sebelum
matahari terbenam, maka puasanya sah selagi di pagi harinya ia dalam keadaan puasa.
Adapun mengqadha puasa bagi orang yang pingsan itu wajib hukumnya, menurut
Jumhur Ulama sekalipun masa pingsannya itu lama (berhari-hari).

5. Hal Utama adalah Keselamatan dan Kesehatan Diri


Barang siapa yang tak berdaya kelaparan atau kehausan (karena berpuasa) hingga
dikhawatirkan akan membahayakan dirinya atau menghilangkan sebagian indra-nya,
maka boleh berbuka tetapi wajib mengqadha’ (menggantinya), karena menjaga
keselamatan jiwa itu wajib.

6. Bagi yang Sakit Karena Pekerjaan Berat

Dan tidak boleh berbuka kalau hanya sekedar rasa lapar dan haus yang dapat ditahan
atau letih atau adanya dugaan akan rasa sakit. Dan begitu pula orang yang bekerja
berat tidak boleh berbuka, mereka wajib berniat di malam hari untuk berpuasa; dan
jika pekerjaan ditinggalkan akan menyebabkan kemudaratan bagi mereka dan ada rasa
kekhawatiran terhadap diri mereka di siang hari atau akan terjadi kesulitan besar
hingga mengharuskan mereka berbuka, maka mereka boleh berbuka sekedarnya.

7. Tentang Mengganti Puasa atau Membayar Fidyah

Orang sakit yang masih diharapkan bisa sembuh, maka hendaknya ia menunggu
kesembuhannya lalu mengganti puasanya, ia tidak boleh membayar fidyah (memberi
makanan). Dan orang yang menderita sakit menahun yang tidak dapat diharapkan
kesembuhannya dan begitu pula seorang lansia yang sudah lemah cukup memberikan
makanan setiap hari kepada seorang fakir miskin (selama bulan puasa) berupa
makanan pokok sebanyak ½ sha’ (kurang lebih 1,5 kg beras).

8. Orang Sakit yang Tidak Mampu Membayar Puasa

Orang sakit yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunggu
kesembuhannya supaya dapat mengganti puasanya, lalu ternyata penyakitnya
menahun, maka ia wajib memberi makan seorang fakir miskin setiap hari ia
meninggalkan puasa.

C. Haji
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.” SQ. Ali Imron: 97.”

Pembahasan para ulama’ terkait dengan kemampuan sekitar adanya kendaraan yang
dapat menyampaikan (ke Mekkah), biaya di perjalanan pulang pergi setelah
meninggalkan biaya keluarganya dan orang yang menjadi tanggungannya selama
ketidak hadirannya. Setelah melunasi kewajiban hutangnya serta sehat, aman
diperjalanan dan mahrom bagi wanita.

Telah ada dari Ikrimah rahimahullah terkait dengan penafsiran ayat tadi, ucapanya
perjalanan adalah kesehatan (tafsir Ibnu Katsir surat Ali Imron ayat 97).

Sehingga keselamatan badan dari penyakit dan kekurangan yang menghalangi haji
merupakan syarat diwajibkannya haji. Kalau sekiranya seseorang sakit menahun atau
ditimpa penyakit permanen atau stroke atau orang tua yang tidak memungkinkan
berpindah-pindah, maka dia tidak diwajibkan menunaikan kewajiban haji.
Barangsiapa yang mampu menunaikan haji dengan bantuan orang lain, maka dia
wajib haji kalau dia mudah mendapatkan orang yang membantunya (Al-Mausu’ah
AlFiqhiyyah 17/34).

Barangsiapa yang tertimpa penyakit yang menghalangi dari berhaji yang tidak ada
harapan sembuh, maka dia harus mencari pengganti untuk menghajikan dirinya.
Sementara kalau dia terkena penyakit yang ada harapan sembuh, maka ditunggu
sampai sembuh kemudian menunaikan haji sendiri. Dan tidak diperbolehkan
mewakilkan kepada orang untuk menghajikan dirinya (Al-Mausu’ah AlFiqhiyyah,
17/34).

3. Jelaskan konsep pernikahan dalam islam

Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan
perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan
khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi
kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur
oleh Islam secara rinci dan detail.

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21)

 Tujuan Pernikahan dalam Islam


Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
Untuk membentengi ahlak yang luhur
Untuk menegakkan rumah tangga yang islami
Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah
Untuk mencari keturunan yang shalih dan shalihah
 Syarat Nikah
Kedua calon mempelai yang saling suka dan ridlo
Wali Nikah
Saksi
Mahar
Ijab Qabul
Di Indonesia ditambah dicatatkan di negara (KUA)
 Hukum Nikah
Wajib --- bagi yang memiliki kemampuan (material dan immaterial) dan tidak bisa
mengendalikan syahwat
Sunnah --- bagi yang memiliki kemampuan (material dan immaterial) dan masih
bisa mengendalikan syahwat
Makruh -- belum memiliki kemampuan (material dan immaterial) dan tidak bisa
mengendalikan syahwat
Haram - tidak memiliki kemampuan (material dan immaterial) dan masih bisa
mengendalikan syahwat

Pada umumnya suatu perkawinan terjadi setelah melalui beberapa proses, yaitu proses
sebelum terjadi akad nikah, proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah

Pada masa sebelum terjadi akad nikah masing-masing pihak harus menjaga diri mereka
masing-masing karena hukum hubungan mereka sama dengan hubungan orang-orang yang
belum terikat dengan akad nikah. Karena itu mereka harus:

1. Memelihara matanya agar tidak melihat aurat, begitu pula wanita atau laki-laki yang
lain.

2. Memelihara kehormatannya atau kemaluannya agar tidak mendekati perbuatan zina


3. Untuk menjaga diri selama pertunangan dianjurkan sering melakukan puasa-puasa
sunat agar tidak tergoda melakukan perbuatan yang dilarang. Hal ini karena
melakukan puasa itu merupakan perisai baginya.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bumi Risti
    Bumi Risti
    Dokumen7 halaman
    Bumi Risti
    Muhammad Irfan Amrizal
    Belum ada peringkat
  • ANTIPSIKOTIK
    ANTIPSIKOTIK
    Dokumen8 halaman
    ANTIPSIKOTIK
    Muhammad Irfan Amrizal
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis
    Hepatitis
    Dokumen4 halaman
    Hepatitis
    Muhammad Irfan Amrizal
    Belum ada peringkat
  • ANTIPSIKOTIK
    ANTIPSIKOTIK
    Dokumen7 halaman
    ANTIPSIKOTIK
    Muhammad Irfan Amrizal
    Belum ada peringkat