Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibu hamil harus mendapatkan cukup nutrisi dan selalu dalam
keadaan yang sehat agar bisa menghasilkan keturunan yang baik. Namun
jika ibu sampai terkena penyakit maka akan sangat berbahaya bagi
perkembangan janin sehingga generasi yang dihasilkan menjadi tidak baik.
Salah satunya ibu harus terhindar dari TORCH, yaitu infeksi yang terdiri
dari toksoplasmosis, rubella, CMV, dan Herpes. Dan yang akan dibahas
kali ini adalah mengenai Herpes, terutama herpes genital. Herpes genitalis
adalah infeksi virus yang menyebabkan lesi (lepuh) pada serviks, vagina,
dan genetalia eksterna. (Brunner & Suddarth, 2002: 1543)
Herpes genital termasuk penyakit menular seksual yang ditakuti
oleh setiap orang. Torres melaporkan bahwa HSV-II telah menginfeksi
lebih dari 40% penduduk dunia. Syahputra, dkk, di Amerika, Inggris, dan
Australia ditemukan kurang lebih 50% wanita dengan HSV-II positif. Di
Eropa, HSV-II berkisar antara 7-16%, Afrika 30-40%, oleh karena itu
dikatakan bahwa saat ini herpes genitalis sudah merupakan endemik di
banyak negara. Di Indonesia sampai saat ini belum ada angka yang pasti,
dari 13 rumah sakit, disebutkan bahwa herpes genitalis merupakan
penyakit menular seksual dengan gejala ulkus genital adalah kasus yang
sering dijumpai. Kelompok resiko yang rentan terinfeksi tentunya adalah
seseorang dengan perilaku yang tidak sehat.
Lesi genitalia pada herpes genitalis terasa sangat nyeri pada
penderita dengan gangguan sistem imunologi. Serangan herpes genitalis
sering menyebabkan stres pada penderita yang menyadari bila dia terkena
infeksi herpes genitalis. Herpes genitalis pada kehamilan dapat
menimbulkan kelainan atau kematian janin, terutama bila terjadi infeksi
primer saat kehamilan. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa
ensefalitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis; dapat pula timbul lesi pada

1
kulit. Bila transmisi terjadi pada trisemester I cenderung terjadi abortus,
sedangkan bila terjadi pada trisemester II, terjadi prematuritas. Selain itu
dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum.Herpes genitalis berperan
dalam penyebaran HIV, virus penyebab AIDS. Herpes
genitalis menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap serngan infeksi
HIV dan membuat individu yang terinfeksi dengan HIV menjadi sangat
infeksius.
Untuk mengatasi peningkatan prevalensi penderita herpes genetalis
diperlukan adanya pendidikan terhadap pasien tentang bahaya PMS dan
komplikasinya, pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan, cara
penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk pasangan seks tetapnya,
dan cara-cara menghindari infeksi PMS di masa dating. Selain itu untuk
wanita hamil dengan infeksi herpes genitalis harus melaksanakan kultur
virus tiap minggu dari serviks dan genitalia eksterna sebagai jalan lahir.
Persalinan secarasectio caesaria direkomendasikan untuk
mencegah infeksi bayi baru lahir.
Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual
yang masih sering di jumpai di Indonesia. Setiap orang dewasa
mempunyai kesempatan untuk terjangkit penyakit ini dan penularannya
pun sangat mudah, yaitu kontak langsung atau melalui hubungan seksual,
maka dari itu penulis tertarik untuk menulis tentang penatalaksaan herpes
genitalis.

B. Rumusan Masalah
Besar dan banyaknya orang yang terserang penyakit herpes
genitalis membuat kita harus mempunyai solusi untuk mencegah dan
mengobati penyakit ini, maka pada penulisan karya ilmiah ini, penulis
ingin mengetahui apa dan bagaimana penatalaksanaan pada penyakit
herpes genitalis.

2
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengeksplorasi tentang herpes genitalis
besertapenatalaksanaannya.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari Herpes Genitalis
2. Mengetahui ethiologi dari Herpes Genitalis
3. Mengetahui patogenesis dari Herpes Genitalis
4. Mengetahui gejala klinis dari Herpes Genitalis
5. Mengetahui komplikasi dari Herpes Genitalis
6. Mengetahui pemeriksaan laboratorium untuk Herpes Genitalis
7. Mengetahui penatalaksanaan dari Herpes Genitalis

D. Manfaat
a. Bagi Penulis
Setelah menyelesaikan karya ilmiah ini kami sebagai mahasiswa
dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab
sertapenatalaksanaan penyakit herpes genitalis agar terciptanya
kesehatan masyarakat yang lebih baik.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tentang herpes genitalis sehingga
tercipta proses belajar mengajar yang efektif.
c. Bagi Pembaca
Dapat mengetahui tentang penyakit herpes genitalis lebih dalam
sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari
penyakit herpes genitalis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh
Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang
berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens. (Daili, 2001:
110).
Herpes genitalis adalah infeksi virus yang menyebabkan lesi
(lepuh) pada serviks, vagina, dan genetalia eksterna. (Brunner & Suddarth,
2002: 1543).
Herpes genitalis merupakan infeksi akut oleh virus herpes simpleks
tipe I atau tipe II yang ditandai adanya vesikel berkelompok di atas kulit
yang eritematosa di daerah mukokutan. Dapat berlangsung primer maupun
rekurens. (Mansjoer, 2003: 151).
Dapat disimpulkan bahwa herpes genitalis merupakan penyakit
menular seksual yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau
tipe II yang ditandai adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan merah. Vesikel ini paling sering terdapat di sekitar mulut,
hidung, daerah genital danpantat, walaupun dapat juga terjadi di bagian
tubuh lain.

B. Etiologi
Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV)
atau Herpes Virus Hominis (HVH). UNNA (1883) yang pertama kali
mengetahui bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan
seksual, sedangkan SHARLITT pada tahun 1940 membedakan antara
HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar
penyebabnya adalah HSV-2, tetapi walaupun demikian dapat juga
disebabkan oleh HSV-1 (± 16,1 %) akibat adanya hubungan kelamin
secara orogenital atau penularan melalui tangan. (Daili, 2001: 110)

4
C. Patogenesis
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk
episode I infeksi primer (inisial), episode I non infeksi primer, infeksi
rekurens, asimptomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode
I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke dalam tubuh
hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes didalam
tubuh hospes tersebut dan mengadakan multipikasi/ repikasi serta
menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum
ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah
yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar
melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion
sakralis), dan berdiam disana serta bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung
tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti
sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak
seberat episode I dengan infeksi primer.
Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus
akan mengalami reaktivitas dan multipikasi kembali sehingga terjadilah
infeksi rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi
spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak
seberat pada waktu infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain
trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres
emosi, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, obat- obatan
(imunosupresif, kortikosteroid), dan pada beberapa kasus sukar diketahui
dengan jelas penyebabnya.
Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya infeksi rekurens:
1) Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion
dan virus akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang
dipersarafinya dan disana akan mengalami replikasi dan multipikasi
serta menimbulkan lesi.

5
2) Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel- sel epitel dan adanya
faktor pencetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan
menimbulkan lesi rekurens. (Daili, 2001: 111).

D. Gejala Klinis
1. Timbul erupsi bintik kemerahan disertai rasa panas dan gatal pada
kulit region genitalis.
2. Kadang disertai demam seperti influenza dan setelah 2-3 hari bintik
kemerahan tersebut berubah menjadi vesikel disertai rasa nyeri.
3. 5-7 hari kemudian, vesikel pecah dan keluar cairan jernih dan pada
lokasi vesikel yang pecah timbul koropeng (atau ditutupi lapisan
kekuningan bila terkena infeksi sekunder).
4. Bila mengenai region genetalia yang cukup luas dapar menyebabkan
gangguan mobilitas, vaginitis, urethritis, sistitis, dan fisura ani
hepetika.
(http://khanzima.wordpress.com/2010/10/21/Asuhan Kebidanan pada
Ibu Hamil dengan Infeksi Herpes Genital).

E. Komplikasi
1. Komplikasi pada daerah genital seperti: genital neuralgia (terjadi pada
beberapa remaja), striktur uretra, fusi dari labium, limpatik supuratif.
2. Pada wanita hamil, virus dapat sampai ke sirkulasi fetal melalui
plasenta dan dapat menyebabkan kerusakan dan kematian janin
(abortus). Infeksi neonatal ( 0-20 hari) angka mortalitasnya 60%, jika
dapat bertahan hidup setengahnya mempunyai kemungkinan cacat
neurologis yang nantinya juga berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan serta menyebabkan kelainan mata. Kelainan yang
timbul pada bayi dapat berupa kelainan ensefalitis,
mikro/hidrosephalus, koriodorenitis, keratokonjungtivitis.

6
3. Pada orang tua: hepatitis, meningitis, ensefalitis, hipersensitifitas
terhadap virus, sehingga timbul reaksi pada kulit berupa eritema
eksudativum multiforme.

F. Pemeriksaan Laboratorium
Dalam menangani kasus herpes genitalis, langkah pertama adalah
menegakkan diagnosis yang bila memungkinkan ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan
adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritem dan
bersifat rekuren.
1) Pemeriksaan tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa
atau Wright, akan terlihat sel raksasa birinti banyak. Sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah.
2) Pemeriksaan langsung dengan mikroskop elektron, hasilnya sudah
dapat dilihat dalam waktu 2 jam, tetapi tidak spesifik karena dengan
tekhnik ini kelompok virus herpes tidak dapat dibedakan.
3) Kultur jaringan merupakan cara yang paling baik karena paling
sensitif dan spesifik dibandingkan dengan cara-cara lain. Bila titer
virus dalam spesimen cukup tinggi, maka hasil positif dapat dilihat
dalam jangka waktu 24-48 jam. Pertumbuhan virus dalam sel
ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitopasmik, degenerasi
balon dan sel raksasa berinti banyak. Namun cara ini memiliki
kekurangan dalam lamanya waktu pemeriksaan dan biaya yang
mahal.
4) Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi
langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan
hasil positif palsu dan negatif palsu. Dengan demikian antibodi
monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan
tipe virus. Pemeriksaan imunoflouresensi memerlukan tenaga yang
terlatih, dan mikroskop khusus. Pemeriksaan antibodi monoklonal

7
dengan cara mikroskopik imunofluoresensi tak langsung dari
kerokan lesi, sensitivitasnya 78% sampai 88%.
5) Pemeriksaan dengan cara ELISA (enzyme linked immunosorbent
assays) adalah pemeriksaan untuk menentukan adanya antigen HSV.
Pemeriksaan ini sensitivitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat
berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan
waktu 4-5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini
merupakan tes alternatif yang terbaik disamping kultur, karena
mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca, dan
tidak memerlukan tenaga yang terlatih.
(Daili, 2001: 114-115)

G. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan, baik secara klinis, dengan maupun
tanpa pemeriksaan penunjang, maka langkah selanjutnya adalah
memberikan pengobatan. Pengobatan dapat dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu profilaksis, pengobatan non spesifik dan pengobatan spesifik.
a. Tindakan Profilaksis
1) Penderita diberi penerangan tentang sifat penyakitnya yang dapat
menular terutama bila sedang terkena serangan, karena itu
sebaiknya melaksanakan abstinensia.
2) Proteksi individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu
busa spermisidal dan kondom. Kombinasi tersebut, bila diikuti
dengan pencucian alat kelamin memakai air dan sabun pasca
koitus, dapat mencegah transmisi herpes genitalis hampir 100%
(RAAB dan LORINCZ, 1981). Busa spermisidal secara invitro
ternyata mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat mengurangi
penetrasi virus.
3) Faktor- faktor pencetus sedapat mungkin dihindari.

8
4) Konsultasi psikiatrik dapat membantu karena faktor psikis
mempunyai peranan untuk timbulnya serangan.

b. Pengobatan Non- Spesifik


1) Rasa nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian
analgetik, antipiretik, dan anti pruritus disesuaikan dengan
kebutuhan individual.
2) Zat- zat pengering antiseptik, seperti yodium povidon secara
topikal mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan
mempercepat waktu penyembuhan.
3) Antibiotika atau kotrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah
infeksi sekunder.

c. Pengobatan Spesifik
Berbagai macam obat antivirus telah pernah dipakai untuk
mengatasi penyakit herpes genitalis, misalnya idoksuridin topikal,
sitarabin (Ara-C) dan vidarabin (Ara- A) secara intravena, inosimpleks
(isoprinosin) dan interferon. Obat antivirus yang kini telah banyak
dipakai ialah asiklovir dan saat ini terdapat 2 macam lagi obat antivirus
baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir.
1) Asiklovir
Merupakan obat anti virus yang spesifik terhadap virus
herpes, dapat diberikan pada penderita dengan infeksi mukokutan
disertai defisiensi imunitas. Obat ini hanya bekerja terhadap sel- sel
yang terkena infeksi. Tidak mempunyai efek teratogenik. Toeransi
obat baik, tidak ada toksisitas akut dan tidak menimbulkan
penekanan sumsum tulang, hati dan ginjal. Tetapi walaupun
demikian pernah dilaporkan efek samping seperti kolik ginjal,
kenaikan kadar ureum/ kreatinin dalam serum, reaksi setempat
pada suntikan, nausea dan vornitus.

9
Asiklovir dapat diberikan secara intravena, oral dan topikal.
Cara pemberian intravena harus perlahan- lahan dan perlu
pengawasan.oleh karena itu sebaiknya diberikan di Rumah Sakit.
Dosis setiap kali pemberian adalah 5mg/kg BB, dengan interval 8
jam. Pengobatan asiklovir secara intravena pada herpes genital
episode pertama, yang memerlukan waktu selama 5- 10 hari,
ternyata tidak dapat mengurangi rekurensi. Bila secara oral, obat
diberikan dengan dosis 200mg 5kali sehari selama 5-10 hari.
Seperti secara intravena, pengobatan per oral mengurangi viral
shedding secara dramatis.
2) Valasiklovir
Obat ini merupakan derivat ester L-valil dari asiklovir.
Bahan aktif anti virusnya ialah asiklovir, sehingga kemanjuran dan
spesifitasnya berhubungan dengan cara kerja asiklovir. Setelah
diabsorbsi, valasiklovir dengan cepat dan hampir seluruhnya,
diubah menjadi asiklovir dan L-Valin. Bioavailabilitasnya 3-5 kali
lebih tinggi daripada yang dapat dicapai oleh asiklovir oral dosis
tinggi. Kadar dalam plasma setelah valasiklovir oral 100mg
mendekati kadar yang dapat dicapai oleh asiklovir yang diberikan
secara intravena.
Pada uji klinik yang membandingkan valasiklovir 2x500 –
1000mg/ hari, dengan asiklovir oral 5x200mg/ hari, dan plasebo
dalam waktu 24 jam setelah timbulnya keluhan dan gejala klinis
pertama episode herpes genitalis rekurens menunjukkan bahwa
terapi valasiklovir secara bermakna mengurangi rasa nyeri dan
mempercepat penyembuhan lesi, serta dengan cepat
memperpendek masa virus shedding. Efek samping yang paling
sering dilaporkan ialah nyeri kepala dan mual.
3) Famsiklovir
Obat antivirus baru saat ini ialah famsiklovir (famciclovir),
yang merupakan derivat diasetil- 6- deoksi pensiklovir. Sedangkan

10
pensiklovir sendiri merupakan golongan antivirus dengan
komponen guanin, yang dapat diberikan secara topikal dan
intravena. Famsiklovir, dikembangkan untuk pengobatan infeksi
virus herpes, dengan cara pemberian peroral. Cara kerja
famsiklovir sama seperti asiklovir, yaitu menghambat sintesis
DNA.
Pada penderita herpes genitalis episode pertama, pemberian
famsiklovir 3x500 mg/hari selama 5 hari, ternyata mempersingkat
viral shedding dan waktu penyembuhan, dibandingkan plasebo.
Bila dibandingkan dengan pengobatan asiklovir 5x200mg/ hari
selama 5 hari, pemberian famsiklovir 3x750mg/ hari dalam waktu
yang sama, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan dalam
lamanya viral shedding, waktu menghilangnya vesikel dan ulkus,
serta terjadinya krustasi dan hilangnya rasa sakit.
Pada pengobatan herpes genitalis rekurens, pemberian
famsiklovir 3x500mg selama 5 hari dibandingkan asiklovir
5x200mg/hari selama 5 hari, tidak berbeda dalam hal
mempersingkat waktu viral shedding. Dari hasil- hasil tersebut
diatas, pengobatan dengan famsiklovir ternyata sama
efektivitasnya dengan asiklovir pada kasus herpes genitalis, namun
frekuensi pemberiannya lebih jarang.

Penatalaksanaan Wanita Hamil dengan Herpes Genitalis


Wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer dalam 6 minggu
terakhir masa kehamilannya dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea
sebelum atau dalam 4 jam sesudah pecahnya ketuban.
Seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin pada wanita yang
menderita herpes genitalis rekurens. Hanya wanita dengan viral shedding
pada saat atau hampir melahirkan memerlukan seksio sesarea. Disarankan
untuk melakukan pemeriksaan virologik dan sitologik sejak kehamilan 32
dan 36 minggu. Setelah itu, sekurang-kurangnya setiap minggu dilakukan

11
kultur sekret serviks dan genital eksterna. Bila kultur virus yang diinkubisi
minimal 4 hari, memberikan hasil negatif dua kali berturut- turut, serta
tidak ada lesi genital pada saat melahirkan, maka dianjurkan partus
pervaginam.
Kontak yang lama dengan sekret yang infeksius, serta relatif dapat
meningkatkan resiko penularan penyakit. Oleh karena itu banyak penulis
menganjurkan, sebaiknya seksio sesarea dilakukan sebelum atau dalam 4
jam sesudah pecahnya ketuban untuk mencegah bayi ditulari.
Pemberian asiklovir pada wanita hamil dapat dipertimbangkan,
terutama pada infeksi primer. Pada pertemuan Internasional Herpes
Management Forum di San Fransisco AS tanggal 13- 15 November 1994
yang baru lalu, telah disetujui penatalaksanaan herpes genitalis pada
wanita hamil dengan mempertimbangkan apakah merupakan infeksi
primer atau rekurens, serta usia kehamilannya. Episode awal herpes
genitalis pada kehamilan dengan gejala yang berat, dianjurkan untuk
diberikan asiklovir oral 5x200mg/ hari selama 7-10 hari. Asiklovir oral
dosis supresif secara rutin tidak dianjurkan untuk herpes genitalis rekurens
selama kehamilan atau dekat akhir kehamilan.

Penatalaksanaan Bayi Lahir dari Ibu dengan Herpes Genitalis


Banyak rumah sakit yang menganjurkan isolasi untuk bayi yang lahir
dari ibu dengan herpes genitalis. Kultur virus, pemeriksaan fungsi hati dan
cairan serebrospinalis harus dilakukan, serta bayi harus diawasi ketat
dalam satu bulan pertama kehidupannya. Spesimen untuk pemeriksaan
kultur virus diambil dari konjungtiva, umbilikus, nasofaring, dan setiap
lesi kulit yang dicurigai, pada 24-48 jam pertama.
Bila ibu mengidap herpes genitalis primer pada saat persalinan
pervaginam, harus diberikan profilaksis asiklovir intravena kepada bayi
selama 5-7 hari dengan dosis 3x10 mg/kg BB/hari.
Infeksi herpes simpleks pada neonatus prognosisnya buruk bila tidak
diobati. Penelitian pengobatan dengan asiklovir 10mg/kg BB tiap 8 jam

12
selama 10-21 hari, atau Ara-A 30mg/kg BB/hari menurunkan angka
kematian dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat
pengobatan. Cara pengobatan ini juga dapat mencegah progresivitas
penyakit (infeksi herpes pada susunan saraf pusat atau infeksi diseminata).
Oleh karena itu identifikasi lesi kulit sangat penting untuk menentukan
ada/ tidaknya infeksi HSV pada neonatus.

Penatalaksanaan Herpes Genitalis pada Immunocompromised


Pada penderita immunocompromised, pengobatan infeksi herpes
simpleks memerlukan waktu yang lebih lama. Asiklovir oral dapat
diberikan dengan dosis 5x200mg- 400mg/hari selama 5-10 hari. Pada
beresiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak dapat menerima
pengobatan oral, maka asiklovir diberikan secara intravena 3x 5mg/kg
BB/hari selama 7-14 hari. Bila terdapat bukti terjadinya infeksi sistemik,
dianjurkan terapi asiklovir intravena 3x10mg/kg BB/ hari selama paling
sedikit 10 hari.
Oleh karena pada keadaan tersebut lebih sering terjadi rekurensi,
pengobatan supresif lebih dianjurkan, dengan dosis asiklovir paling sedikit
harus 2x400 mg/ hari hingga keadaan imunokompromisnya hilang (jika
mungkin).
Untuk penderita infeksi HIV simptomatik atau AIDS, digunakan
asiklovir oral 4-5x 400 mg/hari hingga lesi sembuh, setelah itu dapat
diberikan terapi supresif.
(Daili, 2005: 115-120)

H. Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran
herpes simpleks antara lain:
a. Hindari berhubungan seksual dengan orang lain bila masih terdapat
vesikel.
b. Hindari pinjam meminjam barang pribadi seperti handuk.

13
c. Hindari pencetus terjadinya episode rekuren seperti kurang tidur,
stress berlebihan.

14
BAB III
PEMBAHASAN

A. Contoh Kasus
Ny. A umur 26 tahun, beralamatkan di Jl. Mangga Sleman Jogjakarta.
Pada tanggal 5 Oktober pasien datang kerumah sakit dengan diantar oleh
suaminya. Ny. A mengeluh adanya rasa tidak nyaman dan adanya lepuhan
yang bergerombol dan dikelilingi oleh daerah kemerahan membentuk
sebuah gelembung cair pada daerah kemaluannya. Sebelumnya Ny. A
mengalami gatal-gatal selama 4 hari. Ny. A mengeluh nyeri di daerah
kemaluannya apalagi saat BAK. Ibu mengatakan pekerjaanya hanya di
rumah mengurus rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai supir dan
jarang di rumah. Dari hasil observasi keadaan umum ibu lemas, kesadaran
Compos Mentis, status emosional stabil, tekanan darah 110/80 mmHg,
nadi 74 kali/menit, pernafasan 23 kali/menit, suhu 38,5 0 C, terdapat
vesikel yang multipel di daerah vulva. Leukosit < 4000/mmk

B. Pengkajian
a. Identitas
Nama : Ny. A
Usia : 26 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Hindu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Mangga Sleman Jogjakarta
Tanggal MRS : 5 Oktober 2011
Diagnosa Medis : Herpes Genetalia
Keluhan Utama : Gatal dan nyeri pada kemaluan

15
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. A mengeluh adanya rasa tidak nyaman dan adanya lepuhan
yang bergerombol dan dikelilingi oleh daerah kemerahan membentuk
sebuah gelembung cair pada daerah kemaluannya. Sebelumnya Ny. A
mengalami gatal-gatal selama 4 hari. Ny. A mengeluh nyeri di daerah
kemaluannya apalagi saat BAK.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti
ini, pasien juga tidak memiliki alergi. Jika merasa gatal biasanya di
olesi minyak kayu putih bisa hilang dengan sendirinya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Suami pernah terkena herpes simpleks sebelumnya, tapi herpes
menyerang daerah bibir dan sekitarnya. Dua minggu yang lalu
penyakitnya kambuh tapi sekarang sudah sembuh.

e. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan TTV
Tekanan Darah : 110/80 mmHg,
Nadi : 74 kali/menit,
RR : 23 kali/menit,
Suhu : 38,3 0 C
2) Pemeriksaan B1 – B6
a) B1 ( Breathing )
Paru – paru
 Inspeksi : Simetris, statis, dinamis
 Palpasi : Sterm fremitus kanan = kiri
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan ( - )

16
b) B2 ( Blood )
Jantung
 Inspeksi : Simetris, statis, dinamis
 Palpasi : Teraba normal
 Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Normal (S1 S2 tunggal)

c) B3 ( Brain )
Kesadaran composmentis (GCS : 4-5-6)

d) B4 ( Bladder )
Disuria, BAK 5x sehari, adanya lepuhan yang bergerombol
dan dikelilingi oleh daerah kemerahan membentuk sebuah
gelembung cair pada daerah kemaluan.

e) B5 ( Bowel )
Nafsu makan agak menurun, tetapi porsi makanan tetap habis.
§ Inspeksi : Datar
§ Palpasi : Supel, tidak ada massa
§ Perkusi : Timpani
§ Auskultasi : Bising usus ( + )

f) B6 ( Bone )
Tidak ditemukan lesi atau odem pada ekstrimitas atas maupun
bawah. Kulit lembab, bersih, turgor baik, tidak terdapat pitting
edema, warna kulit sawo matang, tidak ada hiperpigmentasi.

3) Pola Aktivitas Sehari-hari


a) Pola Manajemen Kesehatan

17
Pasien mengatakan jika ada keluarga yang sakit maka segera
dibawa tempat pelayanan kesehatan terdekat baik itu poliklinik
maupun dokter.

b) Pola Nutrisi
Sebelum sakit pasien makan dengan porsi sedang 3 x sehari
ditambah makanan ringan serta minum 4 gelas/ hari. Namun
saat sakit nafsu makan pasien berkurang, tetapi tidak sampai
kehilangan nafsu makan. Di rumah sakit pasien masih dapat
menghabiskan porsi makannya.

c) Pola Eliminasi
Untuk BAK pasien mengalami gangguan selama sakitnya,
walaupun pasien tetap kencing dengan frekuensi seperti
biasanya, tetapi pasien merasa nyeri saat berkemih.

d) Pola Tidur dan Istirahat


Sebelum sakit pasien tidak ada keluhan dengan kebiasaan
tidurnya yaitu 6- 8 jam/ hari. Ketika sakit pasien kadang
mengeluh kesulitan untuk tidur karena merasakan nyeri dan
gatal pada daerah genetalia.

e) Pola Persepsi Dan Kognitif


Pasien tidak mengalami disorientasi tempat dan waktu. Semua
alat indera pasien masih berfungsi dalam batas normal.

f) Pola Aktivitas
Pasien mampu beraktivitas seperti biasanya, tapi agak
mengurangi aktivitasnya karena pasien merasakan nyeri saat
berjalan.

18
g) Pola Persepsi Diri dan Konsep Diri
Pasien kurang tahu kondisi penyakitnya saat ini tetapi akan
berusaha menerima segala kondisinya saat ini. Pasien tidak
merasa malu dan rendah diri dengan kondisinya saat ini.

h) Pola Peran Dan Hubungan


Pasien tidak mengalami masalah dalam hubungan sosialnya.
Pasien merupakan ibu rumah tangga.

i) Pola Seksualitas dan Reproduksi


Pasien berjenis kelamin perempuan, sudah menikah dan
mempunyai seorang anak. Selama sakit pola seksualitas
terganggu.

j) Pola Koping dan Toleransi Stress


Pasien merasa yakin bahwa suatu saat penyakitnya akan
sembuh, tetapi harus memerlukan suatu usaha dan tak lupa
untuk terus berdoa.

k) Pola Nilai dan Kepercayaan/ Agama


Pasien masih menjalankan ibadah rutin.

4) Terapi
 Acyclovir intravena dosis 5 mg/ kgBB
 Asam mefenamat 3x 500mg

19
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Herpes genital merupakan penyakit infeksi akut pada genital
dengan gambaran khas berupa vesikel berkelompok pada dasar
eritematosa, dan cenderung bersifat rekuren. Umumnya disebabkan oleh
herpes simpleks virus tipe 2 (HSV-2), tetapi sebagian kecil dapat pula oleh
tipe 1.
Perjalanan Penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan
tambahan. Umumnya kelainan klinis/keluhan utama adalah timbulnya
sekumpulan vesikel pada kulit atau mukosa dengan rasa terbakar dan gatal
pada tempat lesi, kadang-kadang disertai gejala konstitusi seperti malaise,
demam, dan nyeri otot.
Diagnosis herpes genital secara klinis ditegakkan dengan adanya
gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritem dan bersifat
rekuren. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisisk
jika gejalanya khas dan pemeriksaan laboratorium.
Pengobatan dari herpes genital secara umum bisa dengan menjaga
kebersihan lokal, menghindari trauma atau faktor pencetus. Adapun obat-
obat yang dapat menangani herpes genital adalah asiklovir, valasiklovir,
famsiklovir.
Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia
seperti pada orang dewasa.

B. Saran
Diharapkan agar kita semua agar lebih menjaga kebersihan diri
terutama pada bagian Genital (alat kelamin), karena hal itu dapat
mencegah timbulnya jamur atau virus pada bagian genital yang dapat
menyebabkan berbagai penyakit seperti Herpes Genitalis.

20
DAFTAR PUSTAKA

Douglas, Fleming, Quillan M, Johnson E.R, Nahmias A.J, Aral SO, et al. Herpes
Simplex Virus Type 2 in the United States 1976 – 1994. In the New
England Journal of Medicine, Vol.337(Number 16), Massachutes :
Massachutes Medical Society, Oktober 16 1997, p 1105-11.
Sutardi H. Herpes Simplex Manifestasi Klinis dan Pengobatan. Dalam: Ebers
papyrus Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran
Univ.Tarumanagara, Vol 4 No.1 1998. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Tarumanagara; 1998.p.31-41.
Saenang RH, Djawad K, Amin S. Herpes Genetalis. Dalam: Amiruddin MD,
editor. Penyakit Menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedoktera Univesitas Hasanuddin; 2004. hal.179
196.

21

Anda mungkin juga menyukai