Oleh
Veragita Mayasari (G1A217081)
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session
yang berjudul Nutrisi Pada Pasien Kritis Rumah Sakit Umum Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan CSS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
berat ringannya penyakit menunjang peranan penting dalam dimulainya
pemberian nutrisi.3
Terapi nutrisi yang sesuai bisa menurunkan pemakaian cadangan nutrien
endogen dan mempertahankan masa jaringan, memperbaiki fungsi organ,
mempercepat penyembuhan luka, menurunkan kejadian infeksi,
mempertahankan barier usus, mengurangi masa rawat dan biaya perawatan di
rumah sakit.2 Sehingga disini nutrisi sangat penting dalam menjaga pasien agar
tidak mengalami malnutrisi selama mengalami perawatan. Jika pemberian
nutrisi lewat oral dan enteral tidak memungkinkan dilakukan, maka terapi
nutrisi parenteral mutlak diberikan sebagai pilihan utama.3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
physiology score II (SAPS II), serta angka mortalitas pada pasien yang dirawat di
ICU.8
6
REE sering disebut dengan BMR (Basal Metabolic Rate), BER (Basal
Energy Requirement), atau BEE (Basal Energy Expenditure), adalah pengukuran
jumlah energy yang dikeluarkan pada kondisi istirahat dan 12-18 jam setelah
makan. Peningkatan BMR untuk penderita operasi elektif berkisar antara 10 –
20%, trauma berat 20 –50% , sepsis 20 – 60% dan untuk luka bakar berat 100%.3
Pada penderita-penderita sakit kritis di ICU hasil perkiraan kebutuhan energinya
dapat bervariasi dari hari ke hari sehingga perlu penyesuaian dengan kondisi
penderita.2,3 Perkiraan REE yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi
akibat kelebihan pemberian nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak hati dan
pulmonary compromise.10
Kebutuhan Energi Aktual ( AEE)
AEE = BMR X AF X IF X TF
AF : Activity Factor
IF : Injury Factor
TF : Termal Factor
2.2.1 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram
karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam diet
sebaiknya berkisar 50% - 60% dari kebutuhan kalori. Dalam diet, karbohidrat
7
tersedia dalam 2 bentuk: pertama karbohidrat yang dapat dicerna, diabsorpsi dan
digunakan oleh tubuh (monosakrida seperti glukosa dan fruktosa, disakarida
seperti sukrosa, laktosa, dan maltosa; polisakarida seperti tepung, dekstrin, dan
glikogen) dan yang kedua karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti serat.
Glukosa digunakan oleh sebagian besar sel tubuh termasuk SSP, saraf tepi, dan sel
darah. Glukosa disimpan dalam hati dan otot skeletal sebagai glikogen. Cadangan
hati terbatas habis dalam 24-36 jam melakukan puasa. Saat cadangan glikogen
hati habis, glukosa diproduksi lewat glukoneogenesis dari asam amino (terutama
alanin), gliserol, dan laktat. Oksidasi glukosa berhubungan dengan produksi CO2
yang lebih tinggi, ditunjukkan dengan RQ (Respitarory Quotient) glukosa lebih
besar dari asam lemak rantai panjang. Sebagian besar glukosa di daur ulang
setelah mengalami glikolisis anaerob menjadi laktat kemudian digunakan untuk
glukoneogenesis hati. Kelebihan glukosa pada pasien keadaan hipermetabolik
menyebabkan akumulasi glukosa dihati berupa glikogen dan lemak.
Hiperglikemia merupakan salah satu gambaran karakteristik pada pasien-pasien
cedera, sepsis dan luka bakar dimana nilainya bervariasi dari yang berada sedikit
di atas normal pasca operasi elektif, sampai setinggi 800 mg/dl pada kasus-kasus
yang berat. Hiperglikemia berat akan merugikan secara klinis oleh karena dapat
menyebabkan hiperosmolaritas darah yang tinggi. Hiperglikemia jenis ini disebut
sebagai “diabetes of injury.” Akan tetapi tidak seperti diabetes melitus yang
biasanya disebabkan oleh karena kekurangan insulin, pada “diabetes of injury”
malahan terjadi peningkatan kadar insulin.2,3
Glukosa yang dibentuk bahkan lebih banyak dari pada glukosa yang
dioksidasi pada trauma dan sepsis, oleh karena terjadinya peningkatan glikolisis
yang merupakan kebutuhan pada daerah luka dan pada sepsis. Pada penderita
sepsis, lokasi yang menjadi tempat infeksi akan mengalami peningkatan jumlah
sel darah putih, yang menggunakan glukosa lebih banyak untuk glikolisis
dibandingkan untuk oksidasi. Pada pasien-pasien luka bakar jaringan yang
mengalami penyembuhan juga menggunakan glukosa untuk glikolisis
dibandingkan untuk oksidasi. Dalam proses glikolisis ini hampir semua glukosa
yang dimanfaatkan diubah menjadi laktat, yang merupakan sumber energi 1/12-
8
nya dibandingkan dengan energi yang diperoleh dari glukosa melalui proses
oksidasi.2,3 Orang dewasa sedikitnya menerima 100 g tapi tidak lebih dari 500 g
karbohidrat perhari. Bila lebih dari 500 g dapat meningkatkan enzim hepatik
serum secara signifikan dan kedang-kadang menimbulkan hepatomegali. Gula
darah sebaiknya dipertahankan antara 100 – 200 mg/gL karena gula darah yang
lebih tinggi dari 200 mg/dL dapat menimbulkan komplikasi metabolik. Pasien
dengan renal insufisiensi sedang dapat terjadi metabolik asidosis dan
penumpukkan laktat darah karena hiperglikemia berkepanjangan. Pada pasien
seperti ini seharusnya pemberian karbohidrat sebaiknya dikurangi dan permberian
natrium klorida diganti dengan garam asetat untuk mengurangi asidosis
metabolik.2,3
2.2.2 Lemak
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral atau
parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30%-50% dari
total kebutuhan. Satu gram lemak mengandung 9 kalori. Lemak memiliki fungsi
antara lain sebagai sumber energi, membantu absorpsi vitamin yang larut dalam
lemak, menyediakan asam lemak esensial, membantu dan melindungi organ-organ
internal, membantu regulasi suhu tubuh. Pemberian kalori dalam bentuk lemak
akan memberikan keseimbangan energi dan menurunkan insiden dan beratnya
efek samping akibat pemberian glukosa dalam jumlah besar. Dalam keadaan
hipermetabolik maka akan terjadi oksidasi lemak yang jauh lebih tinggi,
dibandingkan pada orang-orang normal. Lipolisis trigliserida dari simpanan lemak
tubuh meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan oksidasi lemaknya.
Walaupun metabolisme lemak ditingkatkan oleh stres yang diderita, namun proses
ketogenisnya ternyata lebih rendah kalau dibandingkan dengan orang-orang yang
puasa normal. Perbedaan utama antara kondisi puasa pada penderita cedera berat,
dengan orang-orang normal adalah tingginya glukosa yang produksi, terutama
dipakai oleh jaringan yang mengalami stres untuk proses glikolisis. Oleh karena
ketogenesis sebagian dihambat oleh tingginya kadar glukosa dan insulin, maka
hampir semua kebutuhan enegi otak hanya akan dipenuhi oleh glukosa dan dalam
keadaan-keadaan seperti itu jaringan-jaringan lain juga mengoksidasikan glukosa.
9
Tingginya oksidasi glukosa ini hampir semua diperoleh dari pemecahan protein
otot, yang dapat meningkat dalam laju 2,5 kali dibandingkan pada orang normal.2,3
Lemak dapat diberikan 1 – 3 g/kg BB/ hari. Konsentrasi trigliserida dan kolesterol
serum sebaiknya diperiksa setiap minggu atau lebih sering. Pada pasien yang
dapat mentoleransi karbohidrat dan lemak dengan baik, sebaiknya diberikan kalori
nonprotein. Sedangkan jika pasien tidak mentoleransi karbohidrat dan lemak
dengan baik, kalori non protein yang dipilih adalah yang dapat ditoleransi lebih
baik. Disarankan agar pemberian lemak dan karbohidrat dipidahkan yaitu lemak
pada siang hari (pukul 6 pagi – 6 sore) dan karbohidrat di malam hari (pukul 6
sore – 6 pagi), dimana masing-masing diberikan bersama dengan makanan yang
mengandung nitrogen.2,3 Selama hari-hari pertama pemberian emulsi lemak
khususnya pada pasien yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus
selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT)
kurang dari 0,1 gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride
(MCT)/ Long Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang dari 0,15
gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma sebaiknya dimonitor dan kecepatan
infus selalu disesuaikan dengan hasil pengukuran.11,12
10
Keseimbangan nitrogen negatif lebih tinggi 8 kali pada pasien dengan luka bakar,
dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila dibandingkan dengan individu normal.
Data ini dengan jelas mengindikasikan pertimbangan kondisi penyakit ketika
mencoba untuk mengembalikan keseimbangan nitrogen.11
11
2.3 Dukungan Nutrisi Pada Pasien
2.3.1 Tujuan Bantuan Nutrisi Pasien di ICU
Tujuan bantuan nutrisi di ICU adalah : 13
1. Memperoleh bantuan nutrisi yang sesuai dengan kondisi medik
penderita, status nutrisi dan cara pemberiannya.
2. Mencegah atau mengobati kekurangan atau defisiensi makro nutrien dan
mikro nutrien.
3. Memperoleh nutrien yang layak dengan adanya metabolisme.
4. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan teknik pemberian
diet.
5. Memperbaiki pengeluaran penderita dari rumah sakit yang ada
berhubungan dengan penyakitnya.
2.3.2 Indikasi dukungan nutrisi.
Indikasi dukungan nutrisi pada penderita di ICU adalah :
1. Penderita tidak dapat makan
2. Penderita harus puasa
3. Penderita tidak mau makan
4. Pemderita tidak cukup makan
Cara pemberian nutrisi pada penderita dapat dimulai dengan energi yang
rendah sampai maksimal, kemudian diturunkan sampai semula, semuanya
dimulai dan diakhiri dengan perlahan- lahan.
12
2.4 Jenis-jenis Terapi Nutrisi
Strategi dalam menentukan jenis terapi
Pasien anoreksia
Nutrisi Nutrisi
enteral parenteral
1) Tujuan
a) Memperoleh nutrisi yang optimal.
b) Memberikan kepuasan fisik dan psikologis yang dihubungkan dengan
makan.
c) Meningkatkan berat badan.
d) Meningkatkan kontrol diri dengan mampu melakukan aktivitas harian
secara mandiri.
2) Indikasi
a) Pasien yang dapat makan melalui oral.
13
b. Enteral Nutrition (EN)
Enteral Nutrition (EN) adalah pada nutrien yang diberikan melalui
saluran gastrointestinal. Hal ini termasuk makanan keseluruhan, campuran
semua makanan, suplemen oral, dan formula selang pemberian makan. Nutrisi
enteral adalah metode yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan nutrisi jika
saluran gastrointestinal klien berfungsi dengan menyediakan dukungan
psikologi, keamanan, dan nutrisi yang ekonomis. Pada klien yang mengalami
kesulitan makan, maka dapat diberikan nutrisi enteral dengan selang
nasogastrik, jejunum, atau lambung. Nutrisi enteral dan infuse dengan mudah
diberikan dalam lingkungan perawatan rumah oleh perawat atau keluarga.13
Penelitian telah menunjukkan efek yang menguntungkan dari
pemberian makan enteral bila dibandingkan dengan nutrisi parenteral, yang
mengandung zat gizi pada mukosa gastrointestinal. Pemberian makan dengan
rute enteral dapat mengurangi sepsis, mengumpulkan respons hipermetabolik
pada trauma, dan memelihara struktur dari fungsi intestinal.13
EN telah digunakan dengan berhasil selama 24 hingga 48 jam setelah
operasi atau trauma untuk menyediakan cairan, elektrolit, dan nutrisi. Gastric
ileus dapat mencegah pemberian makan nasogastrik dalam kasus selang
nasointestinal atau jejunum memungkinkan pemberian makan postpilorik yang
berhasil.13
Penderita yang tidak mendapat nutrisi enteral dapat mengalami atrofi
mukosa usus, karena tidak ada bahan nutrien untuk enterosit dan colonosit. Bila
pemberian nutrisi enteral tidak cukup, maka fungsi barier usus mengalami
kegagalan dan mengakibatkan translokasi endotoksin dan bakteri dan ini sangat
membahayakan penderita.
Dengan memberikan enteral nutrisi dini maka penderita dapat :
Mempertahankan mukosa usus
Mengurangi risiko sepsis dan translokasi bakteri
Dapat meningkatkan status imunologi
Mempersingkat lama rawat di rumah sakit
Biaya murah
14
c. Parenteral Nutrition (PN)
Pada saat terjadi gangguan intestinal secara partial ataupun total dan
dukungan nutrisi melalui oral maupun enteral tube feeding (ETF) tidak dapat
dilaksanakan, PN dapat menjadi alternatif akhir bagi pemenuhan nutrisi pasien.
Parenteral nutrition merupakan metode pemberian nutrisi secara intra vena dan
dapat dipilih bila status perubahan metabolik atau bila abnormalitas mekanik atau
fungsi dari saluran GI tidak dapat menerima pemberian makanan secara interal.
Pada umumnya PN hanya digunakan selama beberapa hari atau minggu. Namun
pada kondisi tertentu, penggunaan PN dalam jangka waktu lama juga dapat
dilakukan. 13
PN adalah bentuk dukungan nutrisi yang khusus yaitu pemberian nutrient
melalui rute intravena. Tujuannya tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan energi
basal dan pemeliharaan kerja organ, tetapi juga menambah nutrisi untuk kondisi
tertentu, seperti keadaan stress (sakit berat, trauma), untuk perkembangan dan
pertumbuhan. Terapi nutrisi parenteral di bagi menjadi 2 kategori : 13
a. Terapi nutrisi parenteral parsial (supportive atau suplemen) di berikan bila :
1) Dalam waktu 5 sampai 7 hari, pasien diharapkan mampu menerima
nutrisi enteral kembali.
2) Masih ada nutrisi enteral yang dapat diterima pasien. PN parsial ini
diberikan dengan indikasi relatif.
b. Terapi nutrisi parenteral total, diberikan jika batasan jumlah kalori ataupun
batasan waktu tidak terpenuhi. PN total ini diberikan atas indikasi absolut.
15
Suplemen parsial untuk nutrisi enteral.
Monitoring NPE
Laboratorium
o Gula darah
o Fungsi ginjal
o Fungsi hati
16
1,2 sampai 2 gr / kg / hari, sementara untuk luka bakar mayor (major burn)
membutuhkan protein sebanyak 1,5 – 2 gr/kg/hari. Pemberian kandungan protein
lebih dari 2 gr/kg/hari tidak akan meningkatkan sintesis protein lebih jauh lagi dan
protein tersebut hanya digunakan untuk kalori.14
17
2.5.4 Nutrisi Pada Pasien Penyakit Ginjal Akut
Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure) ARF secara
umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi. Meski demikian
kondisi traumatik akut yang menetap dapat meningkatkan REE (misalnya pada
sepsis meningkat hingga 30%). Adanya penurunan toleransi terhadap glukosa dan
resistensi insulin menyebabkan uremia akut, asidosis atau peningkatan
glukoneogenesis. Pada pasien ARF membutuhkan perhatian yang hati-hati
terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin dimungkinkan dalam
larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik. Pemberian lipid harus dibatasi
hingga 20 - 25% dari energi total. Meski demikian lipid sangatlah penting karena
osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi CO2 yang rendah
dan asam lemak essensial. Protein atau asamamino diberikan 1,0 - 1,5 g/kg/hari
tergantung dari beratnya penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi (1,5 - 2,5
g/kg/hari) pada pasien ARF yang lebih berat dan mendapat terapi menggunakan
CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki klirens urea mingguan yang lebih
besar.15
18
BAB III
KESIMPULAN
19
menggunakan substrat khusus. Komplikasi yang menyertai masing-masing cara
pemberian tunjangan nutrisi, sedapat-dapatnya agar ditekan dengan memahami
resiko yang mungkin timbul dari masing-masing cara yang dipilih. Enteral nutrisi
cenderung menyebabkan aspirasi dan diare, sedangkan parenteral nutrisi sering
menyebabkan komplikasi infeksi dan komplikasi yang berhubungan dengan
teknik pemasangannya.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Roth RA. Diet and Clients with Special Needs. Nutrition & Diet Therapy,
10th Edition; 2011.
2. Baudouin S, Evans TW: Nutrition in The Crittically Ill: Principal of
Critical Care; 2nd ed, Hall JB et al, McGraw-Hill Inc. NY,1998: 205-219.
3. Kirby D, Parisian K. Enteral and Parenteral Nutrition. American College
of Gastroenterology. 2010 Mar. Available at : http://acg.gi.org. Acccesed:
Agust 2019
4. Mueller C, Compher C, Ellen DM. ASPEN Clinical Guidelines, Nutrition
Screening, Assessment and Intervention in Adult. JPEN 2011;35:16-24
5. Ferguson M, Capra S, Bauer J, Banks M. Development of a Valid and
Reliable Malnutrition Screening Tool for Adult Acute Hospital Patients.
Nutrition 1999;15:458-64
6. Neelemaat F, Meijers J, Kruizenga H, Ballegooijen HV, Schueren
MVBDVD. Comparison of Five Malnutrition Screening Tools in One
Hospital Inpatient Sample. Journal of Clinical Nursing 2011;1-9
7. Bratanaw S, Brown S. Nutrition in the Critically Ill.
(www.anaesthesiologist.org) diunduh pada tanggal 11 Agustus 2019
8. Sungurtekin H, Sungurtekin U, Oner O, Okke D. Nutrition Assessment in
Critically Ill Patients. Nutr Clin Pract 2008;23:635-41
9. Sanjith DRKS. Nutrition in the Critically Ill Patient. Medicine Update,
2012;22:711-714
10. R, Boullata J, Brantley S et al. Enteral Nutrition Practice
Recommendation. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition.
2009 April. 33;2 : 122-140
11. Kattelmann KK, Hise M, Russell M, Charney P, Stokes M, Compher C.
Preliminary evidence for a medical nutrition therapy protocol: enteral
feedings for critically ill patients. J Amer Dietetic Assoc. 2006;106:1226-
1241.
21
12. Singer P, Berger MM, Berghe G et al. ESPEN Guidelines on Parenteral
Nutrition : Intensive Care. 2009. 28 : 387-400
13. Peter J. Papadakos and James E. Szalados, Critical Care The Requisites in
Anesthesiology, 2005. Hal 106-115.
14. Mirtallo J, Canada T, Johnson D, et al; Task Force for the Revision of Safe
Practices for Parenteral Nutrition. Safe practices for parenteral nutrition.
JPEN J Parenteral Enteral Nutr. 2004;28:S39-S70.
15. Ayers et al. A.S.P.E.N. Parenteral Nutrition Safety Consensus
Recommendations. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition.
2014 Mar. 38(3): 296-333
22