Anda di halaman 1dari 22

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior /Agustus 2019


** Pembimbing dr. Samsirun Halim, Sp.PD FINASIM KIC

Nutrisi Pada Pasien Kritis

Oleh
Veragita Mayasari (G1A217081)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session
yang berjudul Nutrisi Pada Pasien Kritis Rumah Sakit Umum Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Samsirun Halim, Sp.PD


FINASIM KIC yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Anestesi di Rumah Sakit Umum Provinsi Jambi.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan CSS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.

Jambi, Agustus 2019

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nutrisi seperti halnya oksigen dan cairan senantiasa dibutuhkan oleh
tubuh, dan merupakan salah satu pokok sumber kehidupan. Dalam keadaan
sakit kebutuhan nutrisi merupakan hal yang sangat penting namun sering
dilupakan karena seringnya kita berorientasi pada pemakaian obat, sehingga
penderita sering mengalami kekurangan nutrisi. Hal ini menyebabkan
penyembuhan menjadi terhambat, diikuti dengan meningkatnya resiko infeksi
pasca bedah, lama rawat inap dan mortalitas.1
Dewasa ini perhatian terhadap terjadinya malnutrisi pada penderita yang
sedang dirawat di rumah sakit telah meningkat. Perlunya pemberian nutrisi
pada pasien dengan penyakit kritis atau yang mengalami trauma berat sudah
sangat jelas. Diketahuinya bahwa traktus gastrointestinal memegang peranan
penting dalam systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan sepsis
meningkatkan pengembangan protokol dimana pasien dengan penyakit kritis,
korban trauma, serta pasien yang baru menjalani operasi besar diberikan
makanan secepat mungkin sehubungan dengan penyakitnya atau segera setelah
menjalani operasi. Kemudian, belakangan ini juga dilakukan usaha-usaha
dilakukan untuk membuktikan bahwa jenis suplemen makanan tertentu
mempengaruhi proses imunologis endogen pada pasien-pasien tersebut, yang
selanjutnya mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien.2
Resiko terjadinya malnutrisi pada pasien rawat inap berkisar antara 6-55%,
Pemberian nutrisi pada pasien yang sedang dirawat di rumah sakit harus
merupakan suatu pendekatan yang berjalan sejajar dengan penanganan masalah
primernya. Masalah primer dari keadaan sakit pasien akan memburuk bila
pemberian nutrisi kurang adekuat. Nutrisi yang tidak adekuat akibat dokter
salah memperkirakan kebutuhan nutrisi dari pasien dan juga akibat
keterlambatan memulai pemberian nutrisi. Pemberian nutrisi hanya efektif
untuk pengobatan bukan untuk penyebab penyakitnya. Status nutrisi basal dan

3
berat ringannya penyakit menunjang peranan penting dalam dimulainya
pemberian nutrisi.3
Terapi nutrisi yang sesuai bisa menurunkan pemakaian cadangan nutrien
endogen dan mempertahankan masa jaringan, memperbaiki fungsi organ,
mempercepat penyembuhan luka, menurunkan kejadian infeksi,
mempertahankan barier usus, mengurangi masa rawat dan biaya perawatan di
rumah sakit.2 Sehingga disini nutrisi sangat penting dalam menjaga pasien agar
tidak mengalami malnutrisi selama mengalami perawatan. Jika pemberian
nutrisi lewat oral dan enteral tidak memungkinkan dilakukan, maka terapi
nutrisi parenteral mutlak diberikan sebagai pilihan utama.3

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penilaian Status Nutrisi


Pasien yang dirawat di ICU mempunyai risiko terjadi malnutrisi, sehingga
perlu dilakukan skrining gizi (nutrition screening). Skrining gizi adalah suatu
proses untuk menentukan apakah seorang pasien termasuk dalam kondisi
malnutrisi atau berisiko terjadinya malnutrisi, sehingga perlu dilakukan
assessment gizi, yaitu pendekatan secara menyeluruh untuk mengetahui masalah
nutrisi, meliputi kegiatan anamnesis serta pemeriksaan fisik, antropometri, dan
laboratorium.4

Terdapat beberapa instrumen yang digunakan untuk skrining dan


assessment gizi. Instrumen yang banyak digunakan untuk skrining adalah
malnutrition screening tools (MST), malnutrition universal screening tools
(MUST), nutrition risk screening-2002 (NRS-2002), short nutritional assessment
questionnaire (SNAQ), dll. Instrumen untuk nutrition assessment adalah
subjective global assessment (SGA) dan mini nutritional assessment (MNA).4

Ferguson dkk mengemukakan bahwa MST merupakan alat yang sederhana,


cepat, valid dan reliable untuk mengidentifikasi pasien berisiko malnutrisi.5 Hal
serupa juga dikemukakan oleh Neelemaat dkk, yang membandingkan lima alat
skrining gizi pada pasien rawat inap di satu RS.6 Neelemat dkk menunjukkan
bahwa MST dan SNAQ cocok untuk digunakan pada pasien rawat inap di RS, dan
validitasnya sama seperti MUST dan NRS-2002. Nutritional assessment yang
umum digunakan adalah SGA, dan parameter yang dinilai adalah keluhan
subyektif berupa perubahan berat badan (BB), penurunan asupan makan, gejala
gastrointestinal serta kapasitas fungsional. Hasil pemeriksaan obyektif yang
digunakan sebagai parameter penilaian dalam SGA adalah hilangnya massa lemak
subkutan, muscle wasting, dan edema.7 Sungurtekin dkk menunjukkan bahwa
hasil assessment gizi menggunakan SGA berkorelasi positif dengan nilai acute
physiology and chronic health evaluation II (APACHE II) dan simplified acute

5
physiology score II (SAPS II), serta angka mortalitas pada pasien yang dirawat di
ICU.8

Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada pasien penyakit kritis adalah untuk


mempertahankan massa otot, menurunkan komplikasi infeksi, mempercepat
penyembuhan luka, mempertahankan fungsi barier mukosa usus, meningkatkan
fungsi imun, dan mempersingkat masa rawat di ICU.9

2.2 Penilaian kebutuhan energi


Menentukan kebutuhan nutrisi untuk orang sakit bukan hal yang mudah,
apalagi pada pasien sakit kritis. Dari berbagai cara yang ada tak satupun
memenuhi kebenaran 100%, oleh karena ditentukan dan dipengaruhi oleh banyak
faktor terutama penyakit dasarnya. Formula yang sering dipakai diklinik adalah
persamaan yang digunakan untuk menghitung laju metabolisme basal
(BMR=REE). Persamaan ini menggunakan beberapa parameter seperti: tinggi
badan, berat badan, usia, dan jenis kelamin. Parameter-parameter tersebut
merupakan parameter-parameter sederhana yang sering dipakai untuk menghitung
besarnya energi yang dibutuhkan perharinya. Parameter-parameter tersebut
dimasukkan ke dalam suatu rumus yang disebut rumus “Harris Benedict” sebagai
berikut:2,3
BMR (kcal/d) = 66,5 + 13,75 W + 5,0 H – 6,76 A UNTUK PRIA
BMR (kcal/d) = 65,5 + 9,56 W + 1,85 H – 4,76 A UNTUK WANITA
Keterangan:
REE = resting energy metabolism (BMR= Basal Metabolic Rate)
W = weight (kg)
H = height (cm)
A = age (years)
Rumus tersebut dapat memperkirakan BMR untuk orang normal pada saat
istirahat, akan tetapi untuk pasien-pasien sakit kritis pembakaran energinya
tidaklah sama dengan orang-orang normal tersebut. Oleh karena itu hasil dari
perhitungan tersebut perlu disesuaikan dengan penderita yang dihadapi, atau
dalam arti lain pada pasien hipermetabolik harus ditambahkan faktor stress.3

6
REE sering disebut dengan BMR (Basal Metabolic Rate), BER (Basal
Energy Requirement), atau BEE (Basal Energy Expenditure), adalah pengukuran
jumlah energy yang dikeluarkan pada kondisi istirahat dan 12-18 jam setelah
makan. Peningkatan BMR untuk penderita operasi elektif berkisar antara 10 –
20%, trauma berat 20 –50% , sepsis 20 – 60% dan untuk luka bakar berat 100%.3
Pada penderita-penderita sakit kritis di ICU hasil perkiraan kebutuhan energinya
dapat bervariasi dari hari ke hari sehingga perlu penyesuaian dengan kondisi
penderita.2,3 Perkiraan REE yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi
akibat kelebihan pemberian nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak hati dan
pulmonary compromise.10
Kebutuhan Energi Aktual ( AEE)
AEE = BMR X AF X IF X TF
AF : Activity Factor
IF : Injury Factor
TF : Termal Factor

2.2.1 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram
karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam diet
sebaiknya berkisar 50% - 60% dari kebutuhan kalori. Dalam diet, karbohidrat

7
tersedia dalam 2 bentuk: pertama karbohidrat yang dapat dicerna, diabsorpsi dan
digunakan oleh tubuh (monosakrida seperti glukosa dan fruktosa, disakarida
seperti sukrosa, laktosa, dan maltosa; polisakarida seperti tepung, dekstrin, dan
glikogen) dan yang kedua karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti serat.
Glukosa digunakan oleh sebagian besar sel tubuh termasuk SSP, saraf tepi, dan sel
darah. Glukosa disimpan dalam hati dan otot skeletal sebagai glikogen. Cadangan
hati terbatas habis dalam 24-36 jam melakukan puasa. Saat cadangan glikogen
hati habis, glukosa diproduksi lewat glukoneogenesis dari asam amino (terutama
alanin), gliserol, dan laktat. Oksidasi glukosa berhubungan dengan produksi CO2
yang lebih tinggi, ditunjukkan dengan RQ (Respitarory Quotient) glukosa lebih
besar dari asam lemak rantai panjang. Sebagian besar glukosa di daur ulang
setelah mengalami glikolisis anaerob menjadi laktat kemudian digunakan untuk
glukoneogenesis hati. Kelebihan glukosa pada pasien keadaan hipermetabolik
menyebabkan akumulasi glukosa dihati berupa glikogen dan lemak.
Hiperglikemia merupakan salah satu gambaran karakteristik pada pasien-pasien
cedera, sepsis dan luka bakar dimana nilainya bervariasi dari yang berada sedikit
di atas normal pasca operasi elektif, sampai setinggi 800 mg/dl pada kasus-kasus
yang berat. Hiperglikemia berat akan merugikan secara klinis oleh karena dapat
menyebabkan hiperosmolaritas darah yang tinggi. Hiperglikemia jenis ini disebut
sebagai “diabetes of injury.” Akan tetapi tidak seperti diabetes melitus yang
biasanya disebabkan oleh karena kekurangan insulin, pada “diabetes of injury”
malahan terjadi peningkatan kadar insulin.2,3
Glukosa yang dibentuk bahkan lebih banyak dari pada glukosa yang
dioksidasi pada trauma dan sepsis, oleh karena terjadinya peningkatan glikolisis
yang merupakan kebutuhan pada daerah luka dan pada sepsis. Pada penderita
sepsis, lokasi yang menjadi tempat infeksi akan mengalami peningkatan jumlah
sel darah putih, yang menggunakan glukosa lebih banyak untuk glikolisis
dibandingkan untuk oksidasi. Pada pasien-pasien luka bakar jaringan yang
mengalami penyembuhan juga menggunakan glukosa untuk glikolisis
dibandingkan untuk oksidasi. Dalam proses glikolisis ini hampir semua glukosa
yang dimanfaatkan diubah menjadi laktat, yang merupakan sumber energi 1/12-

8
nya dibandingkan dengan energi yang diperoleh dari glukosa melalui proses
oksidasi.2,3 Orang dewasa sedikitnya menerima 100 g tapi tidak lebih dari 500 g
karbohidrat perhari. Bila lebih dari 500 g dapat meningkatkan enzim hepatik
serum secara signifikan dan kedang-kadang menimbulkan hepatomegali. Gula
darah sebaiknya dipertahankan antara 100 – 200 mg/gL karena gula darah yang
lebih tinggi dari 200 mg/dL dapat menimbulkan komplikasi metabolik. Pasien
dengan renal insufisiensi sedang dapat terjadi metabolik asidosis dan
penumpukkan laktat darah karena hiperglikemia berkepanjangan. Pada pasien
seperti ini seharusnya pemberian karbohidrat sebaiknya dikurangi dan permberian
natrium klorida diganti dengan garam asetat untuk mengurangi asidosis
metabolik.2,3
2.2.2 Lemak
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral atau
parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30%-50% dari
total kebutuhan. Satu gram lemak mengandung 9 kalori. Lemak memiliki fungsi
antara lain sebagai sumber energi, membantu absorpsi vitamin yang larut dalam
lemak, menyediakan asam lemak esensial, membantu dan melindungi organ-organ
internal, membantu regulasi suhu tubuh. Pemberian kalori dalam bentuk lemak
akan memberikan keseimbangan energi dan menurunkan insiden dan beratnya
efek samping akibat pemberian glukosa dalam jumlah besar. Dalam keadaan
hipermetabolik maka akan terjadi oksidasi lemak yang jauh lebih tinggi,
dibandingkan pada orang-orang normal. Lipolisis trigliserida dari simpanan lemak
tubuh meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan oksidasi lemaknya.
Walaupun metabolisme lemak ditingkatkan oleh stres yang diderita, namun proses
ketogenisnya ternyata lebih rendah kalau dibandingkan dengan orang-orang yang
puasa normal. Perbedaan utama antara kondisi puasa pada penderita cedera berat,
dengan orang-orang normal adalah tingginya glukosa yang produksi, terutama
dipakai oleh jaringan yang mengalami stres untuk proses glikolisis. Oleh karena
ketogenesis sebagian dihambat oleh tingginya kadar glukosa dan insulin, maka
hampir semua kebutuhan enegi otak hanya akan dipenuhi oleh glukosa dan dalam
keadaan-keadaan seperti itu jaringan-jaringan lain juga mengoksidasikan glukosa.

9
Tingginya oksidasi glukosa ini hampir semua diperoleh dari pemecahan protein
otot, yang dapat meningkat dalam laju 2,5 kali dibandingkan pada orang normal.2,3
Lemak dapat diberikan 1 – 3 g/kg BB/ hari. Konsentrasi trigliserida dan kolesterol
serum sebaiknya diperiksa setiap minggu atau lebih sering. Pada pasien yang
dapat mentoleransi karbohidrat dan lemak dengan baik, sebaiknya diberikan kalori
nonprotein. Sedangkan jika pasien tidak mentoleransi karbohidrat dan lemak
dengan baik, kalori non protein yang dipilih adalah yang dapat ditoleransi lebih
baik. Disarankan agar pemberian lemak dan karbohidrat dipidahkan yaitu lemak
pada siang hari (pukul 6 pagi – 6 sore) dan karbohidrat di malam hari (pukul 6
sore – 6 pagi), dimana masing-masing diberikan bersama dengan makanan yang
mengandung nitrogen.2,3 Selama hari-hari pertama pemberian emulsi lemak
khususnya pada pasien yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus
selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT)
kurang dari 0,1 gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride
(MCT)/ Long Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang dari 0,15
gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma sebaiknya dimonitor dan kecepatan
infus selalu disesuaikan dengan hasil pengukuran.11,12

2.2.3 Protein (Asam-Asam Amino)


Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8
g/kgbb/ hari atau kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli
merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk setiap gram nitrogen (6,25 gram
protein setara dengan 1 gram nitrogen). Kebutuhan ini didasarkan pada kebutuhan
minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen.
Beratnya gradasi hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat
diberikan nitrogen sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari. Kepustakaan lain
menyebutkan rata-rata kebutuhan protein pada dewasa muda sebesar 0,75 gram
protein/kgbb/hari. Namun selama sakit kritis kebutuhan protein meningkat
menjadi 1,2-1,5 gram/kgbb/hari. Kebutuhan protein pada pasien sakit kritis bisa
mencapai 1,5-2 gram protein/kgbb/hari, seperti pada keadaan kehilangan protein
dari fistula pencernaan, luka bakar, dan inflamasi yang tidak terkontrol.

10
Keseimbangan nitrogen negatif lebih tinggi 8 kali pada pasien dengan luka bakar,
dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila dibandingkan dengan individu normal.
Data ini dengan jelas mengindikasikan pertimbangan kondisi penyakit ketika
mencoba untuk mengembalikan keseimbangan nitrogen.11

2.2.4 Vitamin dan Mineral


Untuk menjamin penggantian yang adekuat dari mineral dan elemen
penting lainnya, terutama pada pasien yang menerima formula berdelusi kuat,
kadarnya dalam serum sebaiknya diperiksa sedikitnya sekali dalam seminggu
sampai elemen ini dapat distabilkan. Nilai kadar serum normal dari mineral
terlihat dalam Tabel 1. Kandungan vitamin dari makanan cair biasanya menurun
bila disimpan terlalu lama.11
Tabel 1
Mineral Gejala Kekurangan Nilai Normal Dalam
Serum
Kalsium Osteomalasia, tetani 2 , 2 - 2 , 7 m M (8,6-10,6
mg/dL)
Klorida Alkalosis metabolik 95-105 mEq/L
Kromium Intoleransi glukosa 2-4 ng/mL
Kobalt Tidak diketahui 2-5 ng/mL
Tembaga Anemia, neutropenia 90-130 μg/dL
Iodium Kretinisme, miksedemia 4-11 μg/dL
Besi Hipokromik mikrositik SI >60 μg/dL
anemia
TIBC <250 μg/dL
Feritin >30 μg/dL
Magnesium Tetani Kelemahan otot 1,2-2,5 mg/dL
Mangan Gangguan pembekuan 6-1 ng/dL
Molibdenum confusional state 0,5-2 ng/dL
Fosfor Osteomalasia, tetani 2,5-4,5 mg/dL

11
2.3 Dukungan Nutrisi Pada Pasien
2.3.1 Tujuan Bantuan Nutrisi Pasien di ICU
Tujuan bantuan nutrisi di ICU adalah : 13
1. Memperoleh bantuan nutrisi yang sesuai dengan kondisi medik
penderita, status nutrisi dan cara pemberiannya.
2. Mencegah atau mengobati kekurangan atau defisiensi makro nutrien dan
mikro nutrien.
3. Memperoleh nutrien yang layak dengan adanya metabolisme.
4. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan teknik pemberian
diet.
5. Memperbaiki pengeluaran penderita dari rumah sakit yang ada
berhubungan dengan penyakitnya.
2.3.2 Indikasi dukungan nutrisi.
Indikasi dukungan nutrisi pada penderita di ICU adalah :
1. Penderita tidak dapat makan
2. Penderita harus puasa
3. Penderita tidak mau makan
4. Pemderita tidak cukup makan
Cara pemberian nutrisi pada penderita dapat dimulai dengan energi yang
rendah sampai maksimal, kemudian diturunkan sampai semula, semuanya
dimulai dan diakhiri dengan perlahan- lahan.

12
2.4 Jenis-jenis Terapi Nutrisi
Strategi dalam menentukan jenis terapi
Pasien anoreksia

Fungsi saluran pencernaan

Baik Terganggu sebagian Terganggu seluruhnya

Nutrisi Nutrisi
enteral parenteral

Jenis terapi dibedakan menjadi 3 yaitu:13


a. Oral Feeding
Pemberian makan melalui oral adalah memasukann nutrisi melalui mulut.
Pasien perlu didorong untuk makan, bukan hanya untuk mendapatkan nutrisi
secara optimal, namun pasien juga mendapatkan manfaat kepuasan fisik dan
psikologis yang dihubungkan dengan makan.13

1) Tujuan
a) Memperoleh nutrisi yang optimal.
b) Memberikan kepuasan fisik dan psikologis yang dihubungkan dengan
makan.
c) Meningkatkan berat badan.
d) Meningkatkan kontrol diri dengan mampu melakukan aktivitas harian
secara mandiri.
2) Indikasi
a) Pasien yang dapat makan melalui oral.

13
b. Enteral Nutrition (EN)
Enteral Nutrition (EN) adalah pada nutrien yang diberikan melalui
saluran gastrointestinal. Hal ini termasuk makanan keseluruhan, campuran
semua makanan, suplemen oral, dan formula selang pemberian makan. Nutrisi
enteral adalah metode yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan nutrisi jika
saluran gastrointestinal klien berfungsi dengan menyediakan dukungan
psikologi, keamanan, dan nutrisi yang ekonomis. Pada klien yang mengalami
kesulitan makan, maka dapat diberikan nutrisi enteral dengan selang
nasogastrik, jejunum, atau lambung. Nutrisi enteral dan infuse dengan mudah
diberikan dalam lingkungan perawatan rumah oleh perawat atau keluarga.13
Penelitian telah menunjukkan efek yang menguntungkan dari
pemberian makan enteral bila dibandingkan dengan nutrisi parenteral, yang
mengandung zat gizi pada mukosa gastrointestinal. Pemberian makan dengan
rute enteral dapat mengurangi sepsis, mengumpulkan respons hipermetabolik
pada trauma, dan memelihara struktur dari fungsi intestinal.13
EN telah digunakan dengan berhasil selama 24 hingga 48 jam setelah
operasi atau trauma untuk menyediakan cairan, elektrolit, dan nutrisi. Gastric
ileus dapat mencegah pemberian makan nasogastrik dalam kasus selang
nasointestinal atau jejunum memungkinkan pemberian makan postpilorik yang
berhasil.13
Penderita yang tidak mendapat nutrisi enteral dapat mengalami atrofi
mukosa usus, karena tidak ada bahan nutrien untuk enterosit dan colonosit. Bila
pemberian nutrisi enteral tidak cukup, maka fungsi barier usus mengalami
kegagalan dan mengakibatkan translokasi endotoksin dan bakteri dan ini sangat
membahayakan penderita.
Dengan memberikan enteral nutrisi dini maka penderita dapat :
 Mempertahankan mukosa usus
 Mengurangi risiko sepsis dan translokasi bakteri
 Dapat meningkatkan status imunologi
 Mempersingkat lama rawat di rumah sakit
 Biaya murah

14
c. Parenteral Nutrition (PN)
Pada saat terjadi gangguan intestinal secara partial ataupun total dan
dukungan nutrisi melalui oral maupun enteral tube feeding (ETF) tidak dapat
dilaksanakan, PN dapat menjadi alternatif akhir bagi pemenuhan nutrisi pasien.
Parenteral nutrition merupakan metode pemberian nutrisi secara intra vena dan
dapat dipilih bila status perubahan metabolik atau bila abnormalitas mekanik atau
fungsi dari saluran GI tidak dapat menerima pemberian makanan secara interal.
Pada umumnya PN hanya digunakan selama beberapa hari atau minggu. Namun
pada kondisi tertentu, penggunaan PN dalam jangka waktu lama juga dapat
dilakukan. 13
PN adalah bentuk dukungan nutrisi yang khusus yaitu pemberian nutrient
melalui rute intravena. Tujuannya tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan energi
basal dan pemeliharaan kerja organ, tetapi juga menambah nutrisi untuk kondisi
tertentu, seperti keadaan stress (sakit berat, trauma), untuk perkembangan dan
pertumbuhan. Terapi nutrisi parenteral di bagi menjadi 2 kategori : 13
a. Terapi nutrisi parenteral parsial (supportive atau suplemen) di berikan bila :
1) Dalam waktu 5 sampai 7 hari, pasien diharapkan mampu menerima
nutrisi enteral kembali.
2) Masih ada nutrisi enteral yang dapat diterima pasien. PN parsial ini
diberikan dengan indikasi relatif.
b. Terapi nutrisi parenteral total, diberikan jika batasan jumlah kalori ataupun
batasan waktu tidak terpenuhi. PN total ini diberikan atas indikasi absolut.

Indikasi nutrisi parenteral adalah penderita dengan :


 Hemodinamik tidak stabil
 Tidak dapat akses ke saluran cerna
 Permukaan absorbsi usus tidak cukup
 Laparatomi, open abdomen
 Ileus paralitik
 Obstruksi usus
 High output fistula

15
 Suplemen parsial untuk nutrisi enteral.
Monitoring NPE
 Laboratorium
o Gula darah
o Fungsi ginjal
o Fungsi hati

Cara pemberian nutrisi pada penderita sakit kritis


Cara terpilih untuk memberikan tunjangan nutrisi artifsial pada penderita
sakit kritis meliputi 2 cara utama. Pertama: secara enteral, dimana nutrisi yang
diberikan melalui saluran cerna apakah lewat mulut atau langsung ke daerah
lambung, duodenum atau jejunum, dengan caranya masing-masing. Cara yang
kedua adalah melalui parenteral yang didefinisikan sebagai cara pemberian
tunjangan nutrisi artifisial melalui intravena, baik secara perifer maupun sentral.
Apabila telah diambil keputusan untuk memberikan tunjangan nutrisi kepada
seorang penderita, maka langkah berikutnya adalah menetapkan cara terpilih
melalui mana nutrisi tersebut akan diberikan.2,3

2.5 Nutrisi Pada Beberapa Kondisi Penyakit


2.5.1 Nutrisi Pada Pasien Luka Bakar
Pasien dengan luka bakar mayor membutuhkan nutrisi yang baik untuk
menghindari kehilangan masa tubuh yang berlebihan dan mencegah kelemahan
yang akan terjadi. Dukungan nutrisi yang segera diindikasikan untuk mengatur
"stress respon" berat karena akan terjadinya katabolisme. Dukungan nutrisi juga
diindikasikan untuk pasien yang sudah mengalami kekurangan gizi. Tingkat
dukungan nutrisi harus disesuaikan dengan ukuran luka bakar. Pemberian protein,
kalori dan mikronutrisi harus ditingkatkan sesuai kebutuhan sebelum terjadinya
komplikasi yang akan menyebabkan terjadinya kehilangan berat badan, dan
perkembangan ke arah protein energy malnutrition. Untuk menghitung kebutuhan
total energi = (BEE) X stress faktors. Adapun Stress faktor untuk luka bakar berat
(Severe burn) adalah 2,0.11 Pada pasien luka bakar rata-rata memerlukan protein

16
1,2 sampai 2 gr / kg / hari, sementara untuk luka bakar mayor (major burn)
membutuhkan protein sebanyak 1,5 – 2 gr/kg/hari. Pemberian kandungan protein
lebih dari 2 gr/kg/hari tidak akan meningkatkan sintesis protein lebih jauh lagi dan
protein tersebut hanya digunakan untuk kalori.14

2.5.2 Nutrisi Pada Pasien Pankreatitis Akut


Nutrisi enteral dapat diberikan, namun ada beberapa bukti bahwa
pemberian nutrisi enteral dapat meningkatkan keparahan penyakit. Nutrisi
parenteral pada pankreatitis akut berguna sebagai tambahan pada pemeliharaan
nutrisi. Mortalitas dilaporkan menurun seiring dengan peningkatan status nutrisi,
terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat sedang dan berat. Pada
pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi isokalorik maupun hiperkalorik
dapat mencegah katabolisme protein. Oleh karena itu, pemberian energi
hipokalorik sebesar 15 - 20 kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal
pada pasien-pasien non bedah dengan MOF. Pemberian protein sebesar 1,2 - 1,5
g/kg/hari optimal untuk sebagian besar pasien pankreatitis akut. Pemberian nutrisi
peroral dapat mulai diberikan apabila nyeri sudah teratasi dan enzim pancreas
telah kembali normal. Pasien awalnya diberikan diet karbohidrat dan protein
dalam jumlah kecil, kemudian kalorinya ditingkatkan perlahan dan diberikan
lemak dengan hati-hati setelah 3 - 6 hari.14

2.5.3 Nutrisi Pada Pasien PPOK


Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK, kondisi ini kemungkinan
disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat karena hipoksemia kronik yang kemungkinan menyebabkan
hipermetabolisme. Evaluasi malnutrisi pada pasien PPOK berdasarkan penurunan
berat badan, kadar albumin, antropometri, pengukuran kekuatan otot, serta hasil
metabolisme. Dalam hal ini diperlukan terapi nutrisi dengan prinsip porsi kecil
dengan frekuensi yang lebih sering.15

17
2.5.4 Nutrisi Pada Pasien Penyakit Ginjal Akut
Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure) ARF secara
umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi. Meski demikian
kondisi traumatik akut yang menetap dapat meningkatkan REE (misalnya pada
sepsis meningkat hingga 30%). Adanya penurunan toleransi terhadap glukosa dan
resistensi insulin menyebabkan uremia akut, asidosis atau peningkatan
glukoneogenesis. Pada pasien ARF membutuhkan perhatian yang hati-hati
terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin dimungkinkan dalam
larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik. Pemberian lipid harus dibatasi
hingga 20 - 25% dari energi total. Meski demikian lipid sangatlah penting karena
osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi CO2 yang rendah
dan asam lemak essensial. Protein atau asamamino diberikan 1,0 - 1,5 g/kg/hari
tergantung dari beratnya penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi (1,5 - 2,5
g/kg/hari) pada pasien ARF yang lebih berat dan mendapat terapi menggunakan
CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki klirens urea mingguan yang lebih
besar.15

2.5.5 Nutrisi Pada Pasien Penyakit Hati


Pada penyakit hati terjadi peningkatan lipolisis, sehingga lipid harus
diberikan dengan hati-hati untuk mencegah hipertrigliseridemia, yaitu tidak lebih
dari 1 g/kg perhari. Pembatasan protein diperlukan pada ensefalopati hepatik
kronis, mulai dari 0,5 g/kg perhari, dosis ini dapat ditingkatkan dengan hati-hati
menuju ke arah pemberian normal. Ensefalopati hepatik menyebabkan hilangnya
Branched Chain Amino Acids (BCAAs) mengakibatkan peningkatan
pengambilan asam amino aromatik serebral, yang dapat menghambat
neurotransmiter. Pada pasien dengan intoleransi protein, pemberian nutrisi yang
diperkaya dengan BCAAs dapat meningkatkan pemberian protein tanpa
memperburuk ensefalopati yang sudah ada. Kegagalan fungsi hati fulminan dapat
menurunkan glukoneogenesis sehingga terjadi hipoglikemia yang memerlukan
pemberian infus glukosa. Lipid dapat diberikan, karena masih dapat ditoleransi
dengan baik.14

18
BAB III
KESIMPULAN

Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat


keparahan cedera atau penyakitnya, dan status nutrisi sebelumnya. Pasien sakit
kritis memperlihatkan respon metabolik yang khas terhadap kondisi sakitnya.
Pada sakit kritis terjadi pelepasan mediator inflamasi (misalnya IL-1, IL-6, dan
TNF) dan peningkatan produksi counter regulatory hormone. (misalnya
katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat menyebabkan serangkaian
proses yang mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan menimbulkan efek yang
jelas pada status metabolik dan nutrisi pasien. Status nutrisi adalah fenomena
multi dimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk
indikator-indikator nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian / pengeluaran energi.
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan energi dan
nitrogen, namun harus dihindari overfeeding. Pada pasien sakit kritis tujuan
pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik, bukan untuk pemenuhan
kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori mungkin dapat merugikan
karena menyebabkan hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO2 yang
menyebabkan ketergantungan terhadap ventilator dan imunosupresi. Melengkapi
kebutuhan nutrisi penderita sakit kritis perlu mempertimbangkan faktor-faktor
stress yang diderita, sehingga jumlah dan komposisi nutrisinya dapat diberikan
dengan tepat. Komposisi nutrisi artifisial harus mencakup makronutrien dan
mikronutrien untuk mengoptimalkan tunjangan nutrisi artifisial yang diberikan.
Bila memungkinkan maka sebisa-bisanya agar diusahakan untuk memilih cara
enteral karena lebih menguntungkan, dibandingkan secara parenteral sehubungan
dengan beberapa komplikasinya.
Secara umum dapat diuraikan tujuan pemberian dukungan nutrisi pada
kondisi kritis adalah meminimalkan keseimbangan negatif kalori dan protein dan
kehilangan protein dengan cara menghindari kondisi starvasi, mempertahankan
fungsi jaringan khususnya hati, sistem imun, sistem otot dan otot-otot pernapasan,
dan memodifikasi perubahan metabolik dan fungsi metabolik dengan

19
menggunakan substrat khusus. Komplikasi yang menyertai masing-masing cara
pemberian tunjangan nutrisi, sedapat-dapatnya agar ditekan dengan memahami
resiko yang mungkin timbul dari masing-masing cara yang dipilih. Enteral nutrisi
cenderung menyebabkan aspirasi dan diare, sedangkan parenteral nutrisi sering
menyebabkan komplikasi infeksi dan komplikasi yang berhubungan dengan
teknik pemasangannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Roth RA. Diet and Clients with Special Needs. Nutrition & Diet Therapy,
10th Edition; 2011.
2. Baudouin S, Evans TW: Nutrition in The Crittically Ill: Principal of
Critical Care; 2nd ed, Hall JB et al, McGraw-Hill Inc. NY,1998: 205-219.
3. Kirby D, Parisian K. Enteral and Parenteral Nutrition. American College
of Gastroenterology. 2010 Mar. Available at : http://acg.gi.org. Acccesed:
Agust 2019
4. Mueller C, Compher C, Ellen DM. ASPEN Clinical Guidelines, Nutrition
Screening, Assessment and Intervention in Adult. JPEN 2011;35:16-24
5. Ferguson M, Capra S, Bauer J, Banks M. Development of a Valid and
Reliable Malnutrition Screening Tool for Adult Acute Hospital Patients.
Nutrition 1999;15:458-64
6. Neelemaat F, Meijers J, Kruizenga H, Ballegooijen HV, Schueren
MVBDVD. Comparison of Five Malnutrition Screening Tools in One
Hospital Inpatient Sample. Journal of Clinical Nursing 2011;1-9
7. Bratanaw S, Brown S. Nutrition in the Critically Ill.
(www.anaesthesiologist.org) diunduh pada tanggal 11 Agustus 2019
8. Sungurtekin H, Sungurtekin U, Oner O, Okke D. Nutrition Assessment in
Critically Ill Patients. Nutr Clin Pract 2008;23:635-41
9. Sanjith DRKS. Nutrition in the Critically Ill Patient. Medicine Update,
2012;22:711-714
10. R, Boullata J, Brantley S et al. Enteral Nutrition Practice
Recommendation. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition.
2009 April. 33;2 : 122-140
11. Kattelmann KK, Hise M, Russell M, Charney P, Stokes M, Compher C.
Preliminary evidence for a medical nutrition therapy protocol: enteral
feedings for critically ill patients. J Amer Dietetic Assoc. 2006;106:1226-
1241.

21
12. Singer P, Berger MM, Berghe G et al. ESPEN Guidelines on Parenteral
Nutrition : Intensive Care. 2009. 28 : 387-400
13. Peter J. Papadakos and James E. Szalados, Critical Care The Requisites in
Anesthesiology, 2005. Hal 106-115.
14. Mirtallo J, Canada T, Johnson D, et al; Task Force for the Revision of Safe
Practices for Parenteral Nutrition. Safe practices for parenteral nutrition.
JPEN J Parenteral Enteral Nutr. 2004;28:S39-S70.
15. Ayers et al. A.S.P.E.N. Parenteral Nutrition Safety Consensus
Recommendations. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition.
2014 Mar. 38(3): 296-333

22

Anda mungkin juga menyukai