Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera
yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi
utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau
sebagian. Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama
disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat data nasional cedera medula
spinalis (National Spinal Cord Injury Statistical Center/ NSCISC 2004)
memperkirakan setiap tahun di Amerika serikat ada 11.000 kasus cedera
medula spinalis. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda (usia 16-30
tahun), dan biasanya lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita.
Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50,4%), jatuh (23,8%), dan
cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya akibat kekerasan
terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.
Dahulu, penatalaksanaan cedera medula spinalis akut hanya terapi
konservatif. Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-1,
2, dan 3), penemuan terapi farmakologi dengan metilprednison menurunkan
defisit neurologis. Baru-baru ini operasi dekompresi, stabilisasi dan fiksasi
tulang belakang secara potensial mampu memperbaiki kerusakan akibat
cedera medula spinalis. Hal tersebut menunjukkan kelak pendekatan secara
farmakologi dan operasi akan mampu menurunkan kerusakan akibat cedera
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Definisi Spinal Cord Injury?
2. Bagaimana Gejala Klinis Spinal Cord Injury?
3. Bagaimana Diagnosis Spinal Cord Injury?
4. Bagaimana Tata Laksana Spinal Cord Injury?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi Spinal Cord Injury
2. Untuk mengetahui Gejala Klinis Spinal Cord Injury
3. Untuk mengetahui Diagnosis Spinal Cord Injury
4. Untuk mengetahui Tata Laksana Spinal Cord Injury

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Spinal Cord Injury


Spinal Cord Injury adalah cedera atau suatu kerusakan pada medulla
spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan
pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang
timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot,
gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan
area yang dipersyarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem
vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya
gangguan fungsi seksual.

2.2 Epidemiologi Spinal Cord Injury


Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Centre dari
University of Alabama yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden
eidera medulla spinalis diperkirakan sekitar 40 kasus per satu juta populasi di
Amerika Serikat atau 12.000 kasus per tahun. Cedera medulla spinalis
seringkali diderita oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh
kasus terjadi pada usia 16-30 tahun. Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis
yang diderita adalah tetraplegia inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia
inkomplit 18,7%, paraplegia komplit 18% dan tetraplegia komplit 11,6%.7

2.3 Klasifikasi Spinal Cord Injury


American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan
Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan
dan mempublikasikan standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan
neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel
pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena
sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif.

3
Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:
1. Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di
seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.
2. Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk
segmen S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan
baik.
3. Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih
berfungsi dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari
3.
4. Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih
berfungsi dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3.
5. Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.
Skala kerusakan berdasarkanAmerican Spinal Injury Association
(ASIA) / International Medical Society of Paraplegia (IMSOP).
Grade Tipe Gangguan spinalis ASIA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan
motorik sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi
fungsi motorik terganggu sampai
segmen sakral S4-5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah
level, tapi otot-otot motorik utama
masih punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah
level, otot-otot motorik utamanya
punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi sensorik dan motorik normal
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi
atas:
1. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.

4
2. Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak
komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet
menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu :
1. Central Cord Syndrome
2. Brown Sequard Syndrome
3. Anterior Cord Syndrome
4. Posterior Cord Syndrome
5. Cauda Equina Syndrome
Nama Pola dari lesi saraf Kerusakan
Sindroma
Central cord Cedera pada posisi sentral Menyebar ke daerah
syndrome dan sebagian daerah lateral. sacral. Kelemahan otot
Sering terjadi pada trauma ekstremitas atas lebih
daerah servikal berat dari ekstremitas
bawah.
Brown- Cedera pada sisi anterior Kehilangan proprioseptif
Sequard dan posterior dari medula dan kehilangan fungsi
Syndrome spinalis. Cedera akan motorik secara ipsilateral
menghasilkan gangguan
medulla spinalis unilateral
Anterior cord Kerusakan pada anterior Kehilangan funsgsi
syndrome dari daerah putih dan abu- motorik dan sensorik
abu medulla spinalis secara komplit.
Posterior cord Kerusakan pada posterior Kerusakan proprioseptif
syndrome dari daerah putih dan abu- diskriminasi dan getaran.
abu medulla spinalis Fungsi motorik juga
terganggu

5
Cauda equine Kerusakan pada saraf Kerusakan sensori dan
syndrome lumbal atau sacral sampai lumpuh flaccid pada
ujung medulla spinalis ekstremitas bawah dan
kontrol berkemih dan
defekasi.
Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1. Fase akut / spinal shock (2-3 minggu), cirinya:
a. Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke
empat extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di
bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak
bawah yang disebut paraplegi.
b. Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal
yang terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur
ataupun sensasi dalam.
c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)
Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran
pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus
pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di
dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar
apabila sudah penuh.
d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level
C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang
mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma
pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena
gangguan pernafasan.
e. Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior
menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi

6
penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit
dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang
terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan
endurancenya menurun.
2. Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a. Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
b. Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
c. Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d. Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3. Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete /
incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu:
Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign
pasien menurun dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang
berlebihan pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera
medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem
saraf otonom sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung
kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih,
manipulasi rectal, stimulus suhu atau nyeri dan distensi visceral.
Tandanya yaitu hipertensi mendadak, berkeringat, kedinginan, muka
memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung buntu, sakit kepala,
pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.

7
2.4 Etiologi Spinal Cord Injury
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula
spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra.
2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit
vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan
perkembangan
2.5 Patofisiologi Spinal Cord Injury
Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk
dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat
dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.
Pada skema (Gambar), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam
tipe cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika
secara progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah
cedera memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer
seringkali menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut
yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia.

8
A. B.
Gambar Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalis intak
(sebelum trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.

Akson asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal


memperbaiki diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat
menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson
bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian remielinasi
muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.

Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi


vertebra yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark
dari medula atau distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan
mengakibatkan tarikan (stretch) pada medula. Biasanya cedera medula
spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari vertebra yang
menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang
belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan
tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam
kanalis spinalis dan menjepit medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali
terjadi pada orang tua dengan artritis degeneratif dan stenosis vertebra

9
servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum flavum yang terletak
di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit diantara
spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari
ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan
sebutan sindroma medula sentral.

Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera


primer dan sekunder. Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula
spinalis, pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada
umumnya terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada
spinal, fraktur dislokasi, dan ruptur diskus akut. Kedua, Dampak cedera
disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan
penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi.
Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan
pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi,
ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau
peregangan dari medula spinalis dan atau asupan darahnya. Biasanya
mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis dan pada umumnya
terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang rawan,
ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah.
Pada orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis
umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang
belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat luka
tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi
dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.

Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi
substansia grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer,
tahap awal akan terjadi perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan
terganggunya aliran darah medula spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia
sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea rusak.

10
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan
metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik
terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro
(mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat
menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari
pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel
selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan
selama 72 jam setelah cedera.

Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan


patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera
memicu timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino,
neurotransmiter, eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari
peroksidasi lipid. Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi
kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan peningkatan tekanan
jaringan. Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka suplai darah
menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder. Cedera
sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan
dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium
dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan
fungsi mitokondria, dan proses lainnya.

2.6 Gejala Klinis Spinal Cord Injury


1. Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan
kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis
yaitu, hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk
bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani)
dan reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena
perubahan aliran darah dan kadar ion pada lesi. Pada trauma medula
spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga

11
prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat kembali seperti
semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik
secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun
iskemik dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera
berdasarkan anatomi dari terjadinya cedera. Defisit neurologis yang
timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat digambarkan dari pola
kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya, antara
lain:
a. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi
dan fungsi transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan
sensorik dibawah lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra
subluksasi yang parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan
menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau
quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik
termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.
b. Lesi Inkomplit
1) Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada
separuh bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus
kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan
sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga,
meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri
(nosiseptif dan termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan
mekanisme herniasi diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri
spinal.
2) Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara
ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan
(paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif
ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi)
kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka
tusuk atau tembak.

12
3) Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera
pada sentral medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali
disertai cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan
kelemahan pada ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan
ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal serta
motorik dan sensorik ekstrimitas inferior masih terjaga karena
distal kaki dan serabut saraf sensorik dan motorik sakral sebagian
besar terletak di perifer medula servikal. Lesi ini terjadi akibat
mekanisme kompresi sementara dari medula servikal akibat
ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma hiperekstensi
leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.
Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat
menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke
serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi
upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang
atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis
kompresi lumbosakral dibawah konus medularis. Pada umumnya terdapat
disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan paralisis.
Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada
pada daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan
mengalami gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot
dan juga hilangnya sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat
bersifat sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung
dari beratnya cedera yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya
medula spinalis atau merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis
menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang
mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi
sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau
beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya
kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya

13
menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka
otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas
(flaccid). Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang
menjadi spasme otot yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis
spastik).
Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa
menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap
berfungsi secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan
oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut
tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat
menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan
menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat
terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan
keras dan sering mengalami kedutan.
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, refleks hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia
gaster dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus
vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi
kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat
penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan
kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat
yang lebih tinggi.
Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka
tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan
seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh
refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock.
Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis.
Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas
refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan
cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam
keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali.

14
Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai
dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa
spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi
jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul
gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan
biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai kauda ekuina, di
samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan
bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. Dapat
dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu :
a. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia,
parastesia.
b. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-
otot dan reflek tendon myotome.
c. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan
sapstic blader dan bowel.
d. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan
diri.
e. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur
ke duduk, Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda
ke bed.
f. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru
dan hipotensi.
g. Skin problem menyangkut adanya dekubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu
diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4.
Cedera pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif.
Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis,
scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu
mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan sebagian m. pectoralis
mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan

15
abdominal, dampak umumnya yaitu efektifitas kinerja otot pernafasan
menurun.
2.7 Diagnosis Spinal Cord Injury
a. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma.
Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa
(sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera
medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar
servikal (collar brace) dan papan (backboards).
Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan
penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang
biasanya ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga
dapat terjadi hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi
simpatik pada jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut
syok neurogenik. Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan
ileus paralitik disertai sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung
kemih, dan hipotermi.
Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra
yang tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto
rontgen). Resusitasi terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera
dilakukan. Jika pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk
mekanisme terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain
yang timbul. Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit
kepala hebat, terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai
fraktur odontoid atau hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel
C2). Palpasi pada pasien dengan menggerakan vertebra minimal
didapatkan nyeri tekan atau deformitas. Untuk mengetahui adanya
paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan tangannya sendiri dan
diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus dievaluasi pada lengan dan
kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu pemeriksa
mengetahui letak lesi.

16
Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen
bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya
reflek kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan
yang diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medula T12-
L1. Adanya reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan
melakukan kompresi pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan
tekanan trigonum bladder dengan balon kateter foley ketika kateter secara
gentle ditarik keluar) menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik
sacral masih berfungsi. Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada
syok spinal atau cedera radiks dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada
ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus dilakukan untuk mengetahui
tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau hilang. Sensasi pada sebagian
region sakral hampir selalu disebabkan cedera inkomplit.
Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik
fireman’s carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada
masing-masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan
sekaligus mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle
(4-7 kg) menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya
pada oksiput.
b. Pemeriksaan Reflex Bulbo Cavernous
Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan
kontraksi dari otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis
ditarik atau glans penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.
Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk
mengetahui apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks ini
merupakan refleks polysynaptic yang berguna selain untuk mengetahui
adanya syok spinal juga memperoleh informasi tentang adanya cedera
sumsum tulang belakang / Spinal Cord Injury (SCI).
Tes ini melibatkan pemantauan kontraksi sfingter anal sebagai respon
terhadap gerakan meremas pada glans penis/klitoris atau tertariknya
kateter Foley. Refleks ini dimediasi oleh syaraf tulang belakang S2-S4.

17
Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral
menunjukkan syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama
yang kembali setelah syok spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi
sensorik setelah refleks telah kembali menunjukkan adanya cidera spinal
yang lengkap. Tidak adanya refleks ini dalam kasus di mana syok tulang
belakang tidak dicurigai dapat menunjukkan lesi atau cedera medullaris
konus atau cauda euina syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah awal
untuk m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut
"Bulbospongiosus refleks".
Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan
bahwa cedera komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak
adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal,
mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus medullaris atau
cauda equina.
Jika refleks telah kembali tapi masih ada kurangnya fungsi sensorik
dan motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord Injury komplit.
Dalam hal ini tidak mungkin bahwa fungsi neurologis penting yang pernah
akan kembali. Jika syok spinal tidak terlibat, belum ada atau tidak adanya
refleks ini maka bisa mengindikasikan cedera akar saraf sakral. Hal ini
juga dapat diuji secara electrophysiologik melalui ransangan listrik pada
penis dan rekaman dari kontraksi anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasi jika ada motor atau fungsi sensorik dari akar sakral dan di
medullaris konus.
Syok spinal biasanya berlangsung 48 jam dan pengakhiran shock
spinal sinyal itu datang belakang bulbokavernosus refleks. Tetapi harus
diingat bahwa shock spinal tidak diamati pada cedera yang terjadi di
bawah lesi injurynya. Karena ini tidak menyebabkan shock spinal
sehingga tidak adanya refleks bulbokavernosus menunjukkan adanya
cedera cauda equina atau cedera conus medullaris.Berikut ini adalah
kegunaan memeriksa refleks bulbocavernosus:

18
1. Bulbocaverosus refleks menunjuk pada kontraksi sfingter anal sebagai
respon terhadap meremas pada glans penis atau menarik pada Foley
kateter
2. Refleks mencakup S-1, S-2, dan S-3 akar saraf dan lengkung refleks
sumsum tulang belakang yang dimediasi
3. Setelah trauma tulang belakang, ada atau tidak adanya refleks ini
membawa makna prognostik yang signifikan
4. Periode syok spinal biasanya sembuh dalam waktu 48 jam dan
kembalinya BCR menandai berakhirnya shock spinal itu sendiri.
5. Syok spinal tidak terjadi untuk lesi yang terjadi di bawah spinal cord,
dan karenanya, fraktur daerah lumbal bagian bawah seharusnya tidak
menyebabkan spinal syok (dan dalam situasi ini, tidak adanya refleks
bulbocaveronsus menunjukkan bahwa adanya cauda equina syndrome
6. Hilangnya refleks persisten bulbokavernosus mungkin akibat dari
conus medullary syndrome, misalnya berasal dari suatu Burst fracture
V lumbal
Kegunaan Reflex Bulbocavernosus untuk Prognostik:
Absennya fungsi motorik dan fungsi sensorik bagian distal atau
sensasi perirectal, bersama dengan pemulihan refleks bulbokavernosus,
menunjukkan SCI yang komplit, dan dalam kasus seperti itu jarang terjadi
pemulihan fungsi neurologis yang signifikan. Oleh karena itu, jika tidak
ada pemulihan fungsi motorik atau sensorik dibawah fraktur site, pasien
dicurigai memiliki cedera saraf tulang belakang yg komplit dan kita tidak
lagi mengharapkan pemulihan fungsi motorik.
Di sisi lain, adanya fungsi motorik sensorik dibawah level dari trauma,
kita anggap sebagai SCI yang incomplete dimana pemulihannya
ditentukan oleh bagian dari spinal cord yang paling terkena.
c. Pemeriksaan Sacral Sparing
Sacral sparing diuji dengan sentuhan ringan dan sensasi pin di
persimpangan mukokutan anal (S4/5 dermatom), di kedua sisi, serta
pengujian kontraksi anal dan sensasi anal yang mendalam sebagai bagian

19
dari pemeriksaan dubur. Jika ada salah satu yang hadir, baik utuh atau
gangguan, individual memiliki hasil sakral sparing (+) dan karena cedera
sumsum tulang belakang yang inkomplit
d. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada
trauma vertebra. Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk
penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal. Foto lateral paling dapat
memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap
alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan
dengan vertebra torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level.
Jaringan lunak paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya
merupakan indikasi perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligamen
yang rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat
menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan
luasnya pedikel yang rusak.Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah
dan torak atas seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto
polos komplit pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang
menunjukkan adanya proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien
yang diduga mengalami trauma servikal. Gambaran oblik dari servikal
atau lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi.
Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat
menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak
tampak pada foto polos, MRI memberikan gambaran yang sempurna dari
vertebra, diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur diagnostik
pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis.10,14 Kanalis yang
mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas
tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi EDH atau
kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau daerah yang
mengalami iskemi.
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma

20
2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas
3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis

2.8 Tata Laksana Spinal Cord Injury


Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga
terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Transeksi anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada
cedera medula spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk
melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat
cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
(cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk
sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga
kondisi optimal supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan
penyembuhan sistem saraf. Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus
dilakukan secara aktif untuk memaksimalkan fungsi yang masih bertahan
meskipun jaringan saraf tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai
dengan meminimalisir biaya secara ekonomi, sosial dan dan emosional dari
cedera medula spinalis.
a. Steroid Dosis Spinal
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan
NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula
spinalis dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui
mengalami cedera medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30
mg/kgBB secara IV dalam 8 jam, dan terutama dalam 3 jam setelah
cedera, dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kgBB tiap 45
menit setelah pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan bolus
metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien
tersebut menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika
pemberian metilprednisolon dalam 3 jam setelah cedera, maka pemberian

21
infus prednisolon diberikan selama 24 jam. Penelitian menunjukkan akan
terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1
tahun pada pasien yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi,
penggunaan kortikosteroid belum jelas kesepakatannya. Steroid dosis
spinal juga kontra indikasi untuk pasien dengan luka tembak atau cedera
radiks dorsalis (kauda ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun, atau
dalam pengobatan steroid jangka panjang, serta hipotermi (salah satu
gejala yang timbul pada cedera medula spinalis).
Bila terjadi spastisitas otot, berikan: Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari,
Baklopen 3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan
secara tradisional digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal
yang menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.
Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti
inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai
pengobatan untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus
dihindari karena sering terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi
ginjal dan gastrointestinal.
Antidepresan trisiklik: digunakan dalam pengobatan nyeri kronik
untuk mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala.
b. Alat Ortotik
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal
dengan cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan
beban pada spinal. Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar
brace) tidak adekuat untuk C1, C2 atau servikotorak yang instabil.
Cervicothoracic orthoses brace diatas torak dan leher, meningkatkan
stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces meningkatkan stabilisasi
servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan oksiput. Pemasangan
alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan stabilisasi servikal
eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak kepala)
untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan
sebagai torakolumbal ortose.

22
Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat
dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat
digunakan sementara. Thoraciter tractions anhald lumbar fractures
dilakukan dengan mempertahankan pasien pada posisi netral, log rol
diperlukan untuk penatalaksanaan dalam merawat kulit dan pulmonary.
c. Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama
adalah untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien
dengan defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang
terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi.
Fiksasi terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal
dengan defisit neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau
pada pasien yang mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa
defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini,
perawatan, dan terapi fisik. Indikasi lain operasi yaitu adanya benda asing
atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit neurologis yang
progresif sehingga menyebabkan terjadinya epidural spinal atau subdural
hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil meliputi, spinal
fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws dikombinasi dengan
bone fusion.
d. Perawatan Berkelanjutan
Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari
thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus
dekubitus. Banyak pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi
membutuhkan bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk
bernafas. Pasien dengan cedera medula spinalis biasanya bernafas dengan
menggunakan diafragma. Jika terjadi ileus paralitik disertai distensi
abdomen atau pasien tampak lemah maka ventilasi akan memburuk.
Pasien akan mengalami hipoksik, sehingga perlu diberikan intubasi atau
ventilasi mekanik. Pasien dengan cedera medula servikal tinggi (diatas C4)
seringkali membutuhkan bantuan ventilasi permanen.

23
Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah
menjadi rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri
rata-rata 85-90 mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah
terjadinya cedera medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada
medula yang cedera. Jika produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan
kateter, pasien dengan hipotensi sedang akan merespon terhadap
pemberian konstriktor seperti efedrin, akan tetapi hal tersebut hanya boleh
diberikan setelah dipastikan tidak ada perdarahan pada rongga dada atau
abdomen.

2.9 Komplikasi Spinal Cord Injury


Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara potensial
dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi
saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang
yang menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan
dengan cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan
defisit motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi
thrombosis vena dalam. Pasien sebaiknya mendapatkan low-molecular-weight
heparin, pneumatic compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis.
Berikut ini adalah komplikasi yang sering terjadi:
1. Ulkus dekubitus: Merupakan komplikasi paling utama pada cedera
medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada
daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada
cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan
sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan
berkurang.
2. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla
spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal,
tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang
menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak

24
melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan
kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang.
3. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis di
bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi
paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat
progresif sesuai keadaan.
4. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam
cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi
yang normal daripada pembuluh darah.
5. Cardiovasculer disease: Komplikasi dari sistem kardiorespirasi
merupakan resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis.
6. Neuropatic pain : Merupakan masalah yang penting dalam cedera
medulla spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla
spinalis. Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di
sekitarnya dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien
akan merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar
pada level lesi ke inervasinya.
7. Perubahan Tonus Otot : Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah
paralisis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena.
Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus
descending, akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi
tersebut akan diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan
inkontinensia dari bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan
terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks.
8. Komplikasi Sistem respirasi : Bila lesi berada di atas level C4 akan
menimbulkan paralisis otot inspirasi sehingga biasanya penderita
membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan
pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi
disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi
yang mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan

25
m. intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat
kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret.
9. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada konus
medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen sekral.
Selama fase spinal syok, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus
otot dan refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas,
kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral.
Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder,
akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter
utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah
dengan adanya lesi pada cauda equina.
10. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan
komplit atau inkompletnya trauma. Terdapat dua macam respon,
reflekogenik atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada
penderita dengan lesi UMN dan psikogenik, dimana timbul melalui
aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN.
Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai refleksif ereksi, tapi
bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk
ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada kauda ekuina tidak
memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi.
11. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak
terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester
terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat
dari hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan disrefleksia
autonomik.

2.10 Prognosis Spinal Cord Injury


Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas
cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan

26
kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya
tidak mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit
dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda
lebih mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior
prognosisnya tidak sebaik sindroma medula inkomplit, sindroma medula
sentral, dan Brown Squard’s sindrome. Penyebab utama kematian sindroma
medula spinalis meliputi penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga
termasuk dukungan emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian
dan latihan bekerja.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari makalah diatas tentang spinal cord injury adalah kerusakan atau trauma
pada sumsum tulang belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan
fungsi menyebabkan mobilitas dikurangi.
1. Spinal cord injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada sumsum
belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi
menyebabkan mobilitas dikurangi atay perasaan.
2. Prinsif-prinsif utama pelaksanaan trauma spinal :
a. Imobilisasi
b. stabilisasi medis
c. mempertahankan posisi normal
d. dekompresi dan stabilisasi spinal
e. rehabilisasi
3. Bowel trining dan traning
Membantu pasien untuk traning dan bladdek melatih bowel terhadap
evakuasi interval yang spesifik, dengan tujuan untuk melatih bowel
secara rutin pada pasien yang mengalami gangguan pola bowel,
dilakukan pada pasien yang mengalami masalah eliminasi bowel tidak
teratur.
3.2 Saran
a. Diharapkan dengan hadirnya makalah ini mahasiswa dapat meningkatkan
rasa ingin tahu mengenai isi makalah.
b. Diharapkan mahasiswa dapat menjadikan ini sebagai referensi bacaan
dalam mata kuliah ini.

28
DAFTAR PUSTAKA

Norrbrink C. 2009. Transcutaneous electrical nerve stimulation for treatment of


spinal cord injury neurophatic pain. Journal of rehabilitation research and
development.
Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., &
Galloway, A. C. (2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA:
McGraw-Hill.
Anonim. Management of Bone Injuries. [Serial Online]. http://www.free-
ed.net/sweethaven/MedTech/MedTech/default.asp?iNum=0411&uNum=2.
(Diakses pada tanggal 19 September 2019).
Miller- Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health,
Seventh Edition. by Saunders, an imprint of Elsevier, Inc. All rights
reserved. [Serial Online]. http://medical-dictionary.thefreedictionary
.com/Cervico-Thoraco-Lumbo-Sacral+Orthosis. (Diakses pada tanggal 19
September 2019).
Anonim. Primary Surgery Vol.2 – Trauma : The spine : Skeletal traction. [Serial
Online]. http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0232.html.
(Diakses pada tanggal 19 September 2019).
Ferdianto. 2014. Nyeri Punggung Bawah. (Diakses pada tanggal 19 September
2019) dari http://prodiaohi.co.id/nyeri-pinggang-bawah.html
American Association of Neuroscience Nurses. 2009. Lumbar Spine Surgery.
Glenview; Medtronic.

29

Anda mungkin juga menyukai