Anda di halaman 1dari 67

LAMPIRAN

PERATURAN DIREKTUR
RS ROYAL PROGRESS
NOMOR 014/PER/DIR/XI/2014
TENTANG PEDOMAN
MANAJEMEN NYERI

BAB I
KETENTUAN UMUM

I.1 Definisi

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang sedang
atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang
merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (International
Association for the Study of Pain. Nyeri bersifat individual dan subjektif
dimana berhubungan juga dengan faktor-faktor psikologis seseorang,
faktor lingkungan seperti riwayat terdahulu, kebiasaan, prognosa suatu
penyakit, rasa takut dan cemas.
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,
memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau
penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama.
Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti. 1

1.2. Tujuan Pedoman Nyeri

1. Untuk mengoptimalkan kontrol nyeri


2. Meningkatkan kemampuan fungsional, fisik dan psikilogis
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
4. - Meminimalkan hasil yang merugikan

Pedoman Manajemen Nyeri 1


I.2 Kebijakan

1. Semua pasien rawat inap dan rawat jalan di skrining untuk rasa sakit dan
dilakukan asesmen apabila ada rasa nyerinya.
2. Skrining nyeri juga dilakukan jika terdapat kecurigaan ada rasa nyeri yang
timbul selama masa perawatan.

Pedoman Manajemen Nyeri 2


BAB II

SKRINING NYERI

Manajemen nyeri yang efektif dimulai dengan skrining awal nyeri. Tahap ini sangat
penting terhadap kualitas pelayanan dan kualitas penyembuhan pasien. Kebijakan
RS Royal Progress menetapkan bahwa semua pasien yang datang di Instalasi Rawat
Jalan, Rawat Inap, dan Gawat Darurat, dilakukan skrining nyeri. Selain itu, skrining
nyeri dilakukan kapan saja jika terdapat kecurigaan adanya rasa nyeri pada pasien
selama masa perawatan. Jika terdapat nyeri, maka dilakukan asesmen nyeri dengan
menggunakan teknik pengukuran yang sesuai dengan indikasi. Teknik pengukuran
nyeri dibahas di bab III Pedoman Manajemen Nyeri ini.

Skrining nyeri dilakukan dengan cara:

1. Bertanya dengan jawaban: ya atau tidak


Pada umumnya, pada pasien yang sadar baik, skrining nyeri dilakukan
dengan menanyakan, apakah terdapat nyeri/rasa sakit. Hal ini dikarenakan
nyeri adalah perasaan yang sangat subyektif.

2. Bertanya dengan jawaban anggukan atau gelengan


Pasien yang dapat diajak berkomunikasi namun tidak dapat berbicara
diarahkan untuk menjawab pertanyaan skrining dengan mengangguk (untuk
ya, ada nyeri) atau menggeleng (untuk ‘tidak ada nyeri).

3. Skrining nyeri kronis


Khusus untuk skrining pada pasien dengan kecurigaan nyeri kronis, skrining
dilakukan dengan empat pertanyaan berikut:
a. Apakah ada nyeri/rasa sakit saat ini?
b. Apakah nyeri tersebut menghalangi Anda untuk beraktivitas?
c. Apakah nyeri tersebut membuat Anda tidak bisa tidur di malam
hari?
d. Apakah Anda merasakan nyeri setiap hari?

Pedoman Manajemen Nyeri 3


Form skrining nyeri kronis ada di lampiran. Hasil skrining dilaporkan
kepada DPJP.

4. Teknik skrining dan asesmen Pain Assesment in Advanced Dementia


(PAINAD) Scale
Tatacara skrining dengan cara menanyakan apakah ada rasa nyeri atau tidak kepada
pasien tidak dapat dilaksanakan pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi dengan
baik atau memang tidak dapat berkomunikasi sama sekali. Misalnya pada pasien

Perhatikan 0 1 2 Skor
Pernafasan Normal Pernafasan Nafas sesak dan
spontan sesak sesekali bersuara. Periode
atau bunyi Periode hiperventilasi lama.
nafas hiperventilasi Respirasi Cheyne-
singkat Stokes
Vokalisasi Tidak ada Kadang Kesulitan memanggil
negatif mengerang. yang berulang.
Berbicara Erangan keras.
dengan nada Menangis
suara rendah
dan kualitas
buruk
Ekspresi Tersenyum Sedih. Meringis (facial
wajah atau tanpa Ketakutan. grimace)
ekspresi Cemberut.
Bahasa Santai Tegang. Kaku. Tangan
tubuh Mondar- terkepal. Lutut ditarik
mandir ke atas. Menarik atau
tertekan.Gelisa mendorong menjauh.
h Mencorat-coret.
Kebutuhan Tidak Terganggu Tidak dapat
untuk membutuh dengan suara menghibur,
dihibur kan untuk atau sentuhan menenangkan, atau
dihibur meyakinkan
Total
Pedoman Manajemen Nyeri 4
stroke atau pada pasien yang berada di tahap akhir penyakit Alzheimer’s. Pada
pasien-pasien ini dilakukan skrining sekaligus asesmen dengan menggunakan Pain
Assessment in Advanced Dementia (PAINAD) Scale.
Jika nilai skor adalah 0 maka berarti tidak ada nyeri

Pain Assessment in Advanced Dementia (PAINAD) Scale

Range skor total adalah antara 0 (tidak ada nyeri) sampai 10 (nyeri hebat).

Pernafasan
a. Pernafasan normal ditandai dengan nafas yang tanpa usaha, tidak
bersuara, dan teratur
b. Pernafasan sesak seseskali ditandait dengan episode suara mirip ledakan
atau suara yang keras, kesulitan menarik nafas
c. Periode hiperventilasi singkat ditandai dengan adanya interval yang
cepat, nafas dalam bertahan selema periode waktu yang singkat
d. Pernafasan sesak dan bersuara ditandai dengan suara nafas negative
pada inspirasi dan ekspirasi. Dapat keras, gurgling (seperti berkumur),
atau wheezing. Muncul seperti suara yang berat.
e. Cheyne-Stoke respirasi ditandi dengan pernafasan dalam diikuti dengan
pernafasan yang danggl dengan periode apnea (berhentinya pernafasan)

Vokalisasi negative
a. Tidak adanya vokalisasi negative ditandai dengan perkataan atau
vokalisasi yang netral dengan kualitas yang baik
b. Erangan sesekali ditandai dengan suara seperti berkumur, mengerang,
atau meratap. Groaning ditandai dengan suara yang keras yang timbul
involunter dan tidak bermakna, seringkala tiba-tiba mulai dan berakhir.
c. Nada suara rendah dengan kualitas negative atau mengecewakan
ditandai dengan suara seperti bersungut, bergumam, merengek,
menggeram, mengumpat atau menympah dengan volume rendah dan
nada mengeluh, sarkastis atau pedas.
d. Kesulitan memanggil yang berulang ditandai dengan frasa atau kata-kata
yang berulang dengan nada seperti menunjukkan kecemasan, kesulitan,
atau tekanan.

Pedoman Manajemen Nyeri 5


e. Erangan yang keras ditandai dengan suara yang sedih atau berduka,
meratap, namun dengan volume yang lebih besar dari biasanya.
Groaning yang keras ditandai dengan suara yang lebih keras yang
timbul involunter dan tidak bermakna, seringkala tiba-tiba mulai dan
berakhir
f. Menangis ditandai dengan ucapan atau emosi diikuti dengan air mata.
Menangis dapat berupa menangis yang tersedu-sedu atau diam-diam
menangis.

Ekspresi wajah
a. Tersenyum ditandai dengan lengkungan mulut ke atas, kecerahan mata
dan wajah yang mencerminkan rasa senang atau puas. Tanpa ekspresi
merujuk pada wajah yang terlihat netral, mudah, santai, atau kosong.
b. Sedih ditandai dengan tidak senang, merasa sendiri, pedih atau perih.
Mungkin ada air mata yang jatuh.
c. Ketakutan ditandai dengan wajah yang nampaktakut, waspada, atau
peningkatan kecemasan. Mata terbuka lebar.
d. Cemberut ditandai dengan lengkungan mulut yang kebawah,
peningkatan kerutan di dahi dan sekitar mulut.
e. Meringis (facial grimace) ditandai dengan wajah yang Nampak tertekan.
Alis lebih mengerut seperti area sekitar mulut. Mata mungkin berkerut
menutup

Bahasa tubuh

5. Teknik skrining dan asesmen CRIES (Cry, Respiration, Increasing HR/BP,


Expression, and Sleep)
Pada neonates yang baru dilakukan operasi, skrining dan asesmen nyeri
dilakukan dengan teknik CRIES

0 1 2
Menangis Tidak Melengking tinggi Tidak dapat
Pedoman Manajemen Nyeri 6
ditenangkan
Kebutuhan O2 Tidak <30% >30%
untuk mencapai
saturasi oksigen
>95%
Peningkatan Nadi dan Nadi dan Tensi Nadi dan Tensi
tanda vital Tensi = atau meningkat < 20% meningkat
< dari nilai nilai preoperatif >20% nilai
sebelum preoperatif
operasi
Ekspresi Tidak ada Grimas (meringis) Meringis atau
mendengkur
Tidak dapat Tidak Bayi bangun pada Bayi bangun
tidur interval tertentu selalu

Nilai skor 0 artinya tidak ada rasa nyeri

Jika nilai skor lebih dari 5 maka bayi post operasi tersebut merasakan nyeri
sehingga perlu dilakukan manajemen nyeri dengan pemberian anlgesik.
Asesmen ulang dilakukan setiap 2 jam selama 24 jam pertama setelah
dilakukan tindakan dan setiap 4 jam pada 48 jam berikutnya.

6. Teknik skrining dan asesmen dengan Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)
Teknik NIPS digunakan untuk melakukan skrining pada bayi dan anak < 1
tahun. Skor 0 berarti tidak ada nyeri

7. Teknik skrining dan asesmen dengan Behavioral Pain Scale (BPS)


Teknik skrining BPS digunakan pada pasien yang sedang terventilasi di
ICU. Nilai skor 3 menandakan pasien tidak merasakan nyeri

Penilaian Deskripsi Skor


Ekspresi wajah Santai 1
Tertekan sebagian (misalnya alis turun) 2
Tertekan seluruhnya (misalnya kelopak 3
mata tertutup)
Grimas (meringis) 4

Pedoman Manajemen Nyeri 7


Pergerakan Tidak ada pergerakan 1
anggota gerak Bengkok sebagian 2
atas Bengkok seluruhnya dengan jari fleksi 3
Tertarik secara permanen 4

Kepatuhan Pergerakan yang masih dapat ditoleransi 1


terhadap Batuk namun dapat ditoleransi 2
ventilasi Melawan ventilator 3
mekanis Tidak dapat mngontrol ventilasi 4

BAB III
ASESMEN DAN PENGUKURAN NYERI

III.1 Tujuan Asesmen Nyeri

Tujuan assesmen nyeri adalah:

Pedoman Manajemen Nyeri 8


1. Untuk menggali informasi riwayat nyeri pada pasien sesuai standar yang
telah ada.
2. Membantu menegakkan tipe nyeri dan etiologi yang memungkinkan.
3. Untuk mengetahui efek nyeri yang dialami pasien apakah berhubungan
dengan fungsi sistemik tubuhnya.
4. Sebagai acuan untuk perencanaan dan pemberian terapi .
5. Sebagai bentuk komunikasi efektif antar petugas /tim manajemen nyeri.

Asesmen nyeri dilakukan baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang diagnostic lainnya dengan menggunakan berbagai macam
teknik asesmen. Hasil dari asesmen nyeri dituangkan secara tertulis dalam form
dengan sistem checklist PQRST.

III.2 Asesmen dengan menggunakan PQRST Checklist

PQRST Checklist ini digunakan baik untuk asesmen nyeri general maupun
asesmen khusus :
P = Provocation and Palliation
• Adakah penyebab dan pemicu nyeri ?
• Adakah hal-hal yang membuat nyeri berkurang ?
• Hal-hal apa sajakah yang membuat nyeri bertambah ?
Q = Quality and Quantity
• Apa yang ditemukan saat dilakukan perabaan, pengamatan dan
pendengaran ?
• Seberapa kuat rasa nyerinya ?
R = Region and Radiation
• Dapatkah menyebutkan di mana pusat nyerinya ?
• Apakah nyeri tersebut menyebar ?
S = Severity and Scale
• Apakah nyeri berhubungan saat melakukan aktifitas ?
• Dapatkah rasa nyeri tersebut diukur dengan skala 1 hingga 10 ?
T = Timing and Type of Onset
• Kapan pertama kali nyeri muncul ?
• Seberapa sering nyeri tersebut timbul ?
• Apakah nyeri timbul secara tiba-tiba atau perlahan ?

Form PQRST
P = Provocation and

Pedoman Manajemen Nyeri 9


Palliation : _________________________________
Penyebab nyeri : _________________________________
Pemicu nyeri : _________________________________
Hal yang membuat nyeri
berkurang : _________________________________
Hal yang membuat nyeri
bertambah : _________________________________
Q = Quality and Quantity
Kulitas/kekuatan nyeri : _________________________________
Kualitas nyeri saat
dilakukan perabaan : _________________________________
Kualitas nyeri saat
dilakukan pengamatan : _________________________________
Kualitas nyeri saat
dilakukan pendengaran : _________________________________
R = Regio and Radiation
Lokasi nyeri : _________________________________
Penyebaran nyeri : _________________________________
S = Severity and Scale
Tingkat nyeri (skala 1-10)
Aktivitas terkait nyeri : _________________________________
: _________________________________
T = Timing and Type of Onset
Nyeri muncul pertama
kali pada
Durasi nyeri : _________________________________
Tingkat kekerapan nyeri : _________________________________
(frekuensi)
Nyeri timbul secara tiba- : _________________________________
tiba/perlahan
: _________________________________

III.3 Tatalaksana Asesmen Nyeri

III.3.1 Anemnesis pada Asesmen Nyeri

Anamnesis yang komprehensif diperlukan untuk mendapatkan keterangan


akurat mengenai nyeri. Ananesis di dalam asesmen nyeri meliputi:
Pedoman Manajemen Nyeri 10
1. Riwayat penyakit sekarang
a. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
b. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam,
rasa terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
c. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
d. Durasi dan lokasi nyeri
e. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik.
f. Faktor yang memperberat dan memperingan
g. Kronisitas
h. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respons terapi
i. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
j. Penggunaan alat bantu
k. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas
hidup dasar (activity of daily living)
l. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat
yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
2. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
3. Riwayat psiko-sosial
a. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
b. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
c. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri
d. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang
berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas
penggantinya.
e. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri)
dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan
kooperasi pasien dengan program penanganan / manajemen nyeri ke
depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan
dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
f. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres
bagi pasien / keluarga.
4. Riwayat pekerjaan

Pedoman Manajemen Nyeri 11


Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.
5. Obat-obatan dan alergi
a. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri
(suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS
mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin)
b. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi,
efektifitas, dan efek samping.
c. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-
obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.
6. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
7. Asesmen sistem organ yang komprehensif
a. Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal,
neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan
muskuloskeletal)
b. Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari,
keringat malam, dan sebagainya.2
8. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi
sedang, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien
menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau
bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik

III.3.2 Pemeriksaan Fisik pada Asesmen Nyeri

1. Pemeriksaan umum
a. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
b. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien

Pedoman Manajemen Nyeri 12


c. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut
akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
d. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment),
atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
2. Status mental
a. Nilai orientasi pasien
b. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
c. Nilai kemampuan kognitif
d. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi,
tidak ada harapan, atau cemas.
3. Pemeriksaan sendi
a. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
b. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
c. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
d. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
e. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera
ligamen.
4. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di
bawah ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan
tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi
tidak mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot

5. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick),
getaran, dan suhu.

Pedoman Manajemen Nyeri 13


6. Pemeriksaan neurologis lainnya
a. Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri
wajah atau servikal dan sakit kepala
b. Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk
mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.

Refleks Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1

c. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif


menunjukkan lesi upper motor neuron)
d. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan
melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan
tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan
(Romberg dan Romberg modifikasi).

7. Pemeriksaan khusus
a. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien
dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria,
dan depresi.
b. Kelima tanda ini adalah:
i. Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
ii. Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
iii. Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
iv. Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes /
pemeriksaan nyeri.
v. Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah)
saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda
(distraksi)

III.3.3 Penunjang Diagnostik pada Asesmen Nyeri

Pedoman Manajemen Nyeri 14


1. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang
terkena
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang
berhubungan dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi
obat.
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan
respons terhadap terapi
f. Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono- / poli-neuropati,
radikulopati.

2. Pemeriksaan sensorik kuantitatif


a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi

3. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang
belakang
ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang
belakang, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
i. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung
kemih, atau ereksi.
ii. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
iii. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan
karakteristik nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang
(fraktur, ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis,
spondilolisis, neoplasma)
ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang
(herniasi diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi
ruang diskus, keganasan, kompresi tulang belakang,
infeksi)

Pedoman Manajemen Nyeri 15


iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus,
stenosis spinal.
iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi
perubahan metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis
dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal, keganasan
primer, metastasis tulang)

4. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial

II.4 Teknik Asesmen Nyeri

Asesmen nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan:


1. Numeric Rating Scale
2. Wong Baker Faces Pain Scael
3. Comfort Scale
4. FLACC Score
5. Behavioural Pain Scale (BPS) dan Critical Care Pain-Observation
Tool (CPOT)
6. CRIES
7. PAINAD

III.4.1 Numeric Rating Scale


a. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 3 tahun
yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas
nyeri yang dirasakannya.
b. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang
dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
c. Penilaian skor:
0 = tidak nyeri
1 – 3 = nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat
berkomunikasi dengan baik )
4 – 6 = nyeri sedang ( secara obyektif pasien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendiskripsikan, dapat mengikuti perintah dengan baik.

Pedoman Manajemen Nyeri 16


7 – 9 = nyeri berat (secara obyektif pasien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkksn lokasi nyeri, tidak dapat
mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
10 = nyeri yang sangat (pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul )

III.4.2 Wong Baker FACES Pain Scale


a. Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan
asesmen
b. Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana
yang paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi
dan durasi nyeri
c. Penilaian skor:
0 tidak merasa nyeri
1 sedikit rasa sakit
2 nyeri ringan
3 nyeri sedang
4 nyeri berat
5 nyeri sangat berat

Wong Baker FACES Pain Scale4


III.4.3 COMFORT scale
a. Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif /
kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Numeric Rating Scale atau pun Wong-Baker FACES
Pain Scale.

Pedoman Manajemen Nyeri 17


b. Instruksi: terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1-
5, dengan skor total antara 9 – 45.
c. Kategori tersebut adalah:
i. Kewaspadaan
ii. Ketenangan
iii. Distress pernapasan
iv. Menangis
v. Pergerakan
vi. Tonus otot
vii. Tegangan wajah
viii. Tekanan darah basal
ix. Denyut jantung basal

COMFORT Scale5
Kategori Skor Tanggal /
waktu

Kewaspa 1 – tidur pulas / nyenyak


daan 2 – tidur kurang nyenyak
3 – gelisah
4 – sadar sepenuhnya dan waspada
5 – hiper alert
Ketenang 1 – tenang
an 2 – agak cemas
3 – cemas
4 – sangat cemas
5 – panik
Distress 1 – tidak ada respirasi spontan dan tidak
pernapas ada batuk
an 2 – respirasi spontan dengan sedikit /
tidak ada respons terhadap ventilasi
3 – kadang-kadang batuk atau terdapat
tahanan terhadap ventilasi
4 – sering batuk, terdapat tahanan /
perlawanan terhadap ventilator
5 – melawan secara aktif terhadap
ventilator, batuk terus-menerus /

Pedoman Manajemen Nyeri 18


Kategori Skor Tanggal /
waktu

tersedak
Menangi 1 – bernapas dengan tenang, tidak
s menangis
2 – terisak-isak
3 – meraung
4 – menangis
5 – berteriak
Pergerak 1 – tidak ada pergerakan
an 2 – kedang-kadang bergerak perlahan
3 – sering bergerak perlahan
4 – pergerakan aktif / gelisah
5 – pergrakan aktif termasuk badan dan
kepala
Tonus 1 – otot relaks sepenuhnya, tidak ada
otot tonus otot
2 – penurunan tonus otot
3 – tonus otot normal
4 – peningkatan tonus otot dan fleksi
jari tangan dan kaki
5 – kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari
tangan dan kaki
Tegangan 1 – otot wajah relaks sepenuhnya
wajah 2 – tonus otot wajah normal, tidak
terlihat tegangan otot wajah yang
nyata
3 – tegangan beberapa otot wajah
terlihat nyata
4 – tegangan hampir di seluruh otot
wajah
5 – seluruh otot wajah tegang, meringis
Tekanan 1 – tekanan darah di bawah batas
darah normal
basal 2 – tekanan darah berada di batas
normal secara konsisten
3 – peningkatan tekanan darah sesekali
Pedoman Manajemen Nyeri 19
Kategori Skor Tanggal /
waktu

≥15% di atas batas normal (1-3 kali


dalam observasi selama 2 menit)
4 – seringnya peningkatan tekanan
darah ≥15% di atas batas normal
(>3 kali dalam observasi selama 2
menit)
5 – peningkatan tekanan darah terus-
menerus ≥15%
Denyut 1 – denyut jantung di bawah batas
jantung normal
basal 2 – denyut jantung berada di batas
normal secara konsisten
3 – peningkatan denyut jantung sesekali
≥15% di atas batas normal (1-3 kali
dalam observasi selama 2 menit)
4 – seringnya peningkatan denyut
jantung ≥15% di atas batas normal
(>3 kali dalam observasi selama 2
menit)
5 – peningkatan denyut jantung terus-
menerus ≥15%
Skor total

III.4.4 NIPS ( Neonatal Infant Pain Scale )

Indikasi : untuk melakukan asesmen nyeri pada infant dan neonatal usia
< 1 tahun
Minimal skore : 0
Maksimal skore : 6
Parameter Finding Points

facial expression relaxed 0


grimace 1

Pedoman Manajemen Nyeri 20


Parameter Finding Points

Cry no cry 0
whimper 1
vigorour crying 2
breathing patterns relaxed 0
change in breathing 1
Arms restrained 0
relaxed 0
flexed 1
extended 1
Legs restrained 0
relaxed 0
flexed 1
extended 1
state of arousal sleeping 0
awake 0
fussy 1

Total skor antara 0-7. Intervensi yang dilakukan dilaksanakan


berdasarkan skor tersebut seperti tampak pada table berikut

Tingkat nyeri Intervensi


0-2 = tidak ada nyeri sampai Tidak ada
nyeri ringan
3-4 nyeri ringan sampai Non farmakologis intervensi
moderate dengan asesmen ulang 30 menit
>4 = nyeri hebat Intervensi non farmakologis dan
mungkin farmakologis dengan
asesmen ulang dalam 3 menit

III.4.5 FLACC Score

Pedoman Manajemen Nyeri 21


Untuk usia < 3 tahun dapat dinilai juga dengan FLACC score. Dimana
penilaian skala berdasarkan Face,legs,activity,cry and consolability.
Skore 0= tidak nyeri 1-3= nyeri ringan 4-6= nyeri sedang 7-9 = nyeri
berat 10= nyeri sangat berat.

Kriteria 0 1 2
Sering
Tidak ada Sesekali mengerutkan
Face
ekspresi meringis,menger dahi,rahang
(wajah)
tertentu/tersenyu utkan dahi,tidak terkatup,dagu
m tertarik gemetar
Legs Cemas,gelisah,te Menendang,me
( Kaki) Normal/santai gang narik kaki
Berbaring
Activity tenang,posisi
(aktifitas) normal,bergerak Menggeliat,tegan Melengkung,ka
mudah g ku,menyentak
Menangis
Cry terus,terisak,me
(tangis) Tidak ada Mengerang,merin ngeluh terus-
teriakan,tenang tih,mengeluh terusan
Sesekali
Consolabili dihibur,dialihkan, Sulit untuk
ty puas,tenang,sant diyakinkan dihibur dan
ai dengan sentuhan dibuat nyaman

III.5 Asesmen Ulang Nyeri

1. Asesmen ulang nyeri pada manajemen nyeri akut adalah:


a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan umum:
1) Pemberian parenteral: 30 menit
2) Pemberian oral: 60 menit
3) Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.
Pedoman Manajemen Nyeri 22
2. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari
beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
a. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien
b. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri,dilakukan
monitoring tiap 30 menit dan assesmen ulang nyeri dalam kurang
dari 2 jam setelah tatalaksana nyeri non farmakologik.
c. Monitoring setiap 30 menit dan assesmen ulang setiap empat jam
(pada pasien yang sadar/ bangun) yang diberikan intervensi obat
non opioid pasien, yang menjalani prosedur menyakitkan,
sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah
sakit.
d. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-
obat intravena
e. Pada nyeri akut / kronik, dilakukan monitoring setiap 1 jam dan
asesmen ulang tiap 4 – 6 jam setelah pemberian obat nyeri opioid
3.

BAB IV
PENDEKATAN TERAPI PADA NYERI

Pedoman Manajemen Nyeri 23


VI.1 Pendekatan Farmakologis

1. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%


a. Berisi lidokain 5% (700 mg).
b. Mekanisme kerja: memblok aktivitas abnormal di kanal natrium
neuronal.
c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal,
tanpa adanya efek anestesi (baal), bekrja secara perifer sehingga
tidak ada efek samping sistemik
d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia
pasca-herpetik, neuropati diabetik, neuralgia pasca-pembedahan),
nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis
e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya
lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan: dapat memakai hingga 3 patches di area
yang paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka terbuka),
dipakai selama <12 jam dalam periode 24 jam.

2. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)


a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%
b. Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak
dan pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor
superfisial dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi.
c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal
natrium saraf sensorik.
d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek
anesthesia lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi
kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kassa dilepas.
e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada
kulit dan tutuplah dengan kassa oklusif.

3. Parasetamol

Pedoman Manajemen Nyeri 24


a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik
yang lebih besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk
dewasa dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.

4. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)


a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-
sedang, anti-piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung,
angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid.
c. Efek samping: gastrointestinal (erosi / ulkus gaster), disfungsi renal,
peningkatan enzim hati.
d. Ketorolak:
i. merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk
parenteral. Efektif untuk nyeri sedang-berat
ii. bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau
dikombinasikan dengan opioid untuk mendapat efek
sinergistik dan meminimalisasi efek samping opioid
(depresi pernapasan, sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat
baik untuk terapi multi-analgesik.

5. Efek analgesik pada Antidepresan


a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan
serotonin sehingga meningkatkan efek neurotransmitter tersebut dan
meningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif.
b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik,
cedera saraf perifer, nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine,
despiramin: efek antinosiseptif perifer. Dosis: 50 – 300 mg, sekali
sehari.

6. Anti-konvulsan
a. Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping:
somnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-
3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan
perminggu hingga dosis efektif.

Pedoman Manajemen Nyeri 25


b. Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri
neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik.
Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).

7. Antagonis kanal natrium


a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi
b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan
1-3mg/kgBB/jam titrasi.
c. Prokain: 4-6,5 mg/kgBB/hari.

8. Antagonis kanal kalsium


a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif
sebagai analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping: pusing, mual,
nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping
ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat
dihentikan.
b. Nimodipin, Verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala kronik.
Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang
menggunakan eskalasi dosis morfin.

9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral,
dengan efek samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik
dengan medikasi OAINS.
b. Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang
(nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati
DM, fibromyalgia, neuralgia pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal:
400mg dalam 24 jam.
f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi,
terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat
toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko
tinggi jatuh.

Jadwal titrasi tramadol

Pedoman Manajemen Nyeri 26


Protokol Dosis Jadwal titrasi Direkomendas
Titrasi inisial ikan untuk
Titrasi 4x  2 x 50mg selama 3 hari.  Lanjut usia
10-hari 50mg  Naikkan menjadi 3 x  Risiko jatuh
selama 50mg selama 3 hari.  Sensitivitas
3 hari  Lanjutkan dengan 4 x medikasi
50mg.
 Dapat dinaikkan sampai
tercapai efek analgesik
yang diinginkan.
Titrasi 4x  2 x 25mg selama 3 hari.  Lanjut usia
16-hari 25mg  Naikkan menjadi 3 x  Risiko jatuh
selama 25mg selama 3 hari.  Sensitivitas
3 hari  Naikkan menjadi 4 x medikasi
25mg selama 3 hari.
 Naikkan menjadi 2 x
50mg dan 2 x 25mg
selama 3 hari.
 Naikkan menjadi 4 x
50mg.
 Dapat dinaikkan sampai
tercapai efek analgesik
yang diinginkan.

10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat
ditiadakan oleh nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil,
meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping:
i. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
 Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemberian secara infus, opioid long acting

Pedoman Manajemen Nyeri 27


 Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin,
antihistamin, antiemetik tertentu)
 Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit,
hipovolemia, uremia, gangguan respirasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
 Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas
intermiten

ii. Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau


dengan menggunakan skor sedasi, yaitu:
 0 = sadar penuh
 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah
dibangunkan
 2 = sedasi sedang, sering secara konstan
mengantuk, mudah dibangunkan
 3 = sedasi berat, somnolen, sukar
dibangunkan
 S = tidur normal

iii. Sistem Saraf Pusat:


 Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
 Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat
menimbulkan koma
iv. Toksisitas metabolit
 Petidin (norpetidin) menimbulkan tremor, twitching,
mioklonus multifokal, kejang
 Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam
untuk penatalaksanaan nyeri pasca-bedah
 Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan
fungsi ginjal, terutama pada pasien usia > 70 tahun
v. Efek kardiovaskular :
 Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status
volume intravascular; serta level aktivitas
simpatetik
 Morfin menimbulkan vasodilatasi
 Petidin menimbulkan takikardi

Pedoman Manajemen Nyeri 28


vi. Gastrointestinal: Mual, muntah. Terapi untuk mual dan
muntah: hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat,
hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan
pasien, obat antiemetic.

Perbandingan Obat-Obatan Anti-Emetik


Kategori Metokloprami Droperidol, Ondansetro Proklorperazin
d butirofeno n , fenotiazin
n
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis 8-24 6
rendah)
24 (dosis
tinggi)
Efek samping:
 Ekstrapiramid ++ ++ - +
al - + - +
 Anti- + + - +
kolinergik
 sedasi
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
jam
Jalur pemberian Oral, IV, IM IV, IM Oral, IV Oral, IM

f. Pemberian Oral:
i. sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis
yang sesuai.
ii. Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi
medikasi oral.
g. Injeksi intramuscular:
i. merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
ii. Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas
penyerapannya tidak dapat diandalkan.
iii. Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena:
i. Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
Pedoman Manajemen Nyeri 29
ii. Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-
menerus (melalui infus).
iii. Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang
tidak sesuai dosis.
j. Injeksi supraspinal:
i. Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal
gray (PAG).
ii. Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
iii. Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda
nyeri pada pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
i. Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di
neuron kornu dorsalis spinal.
ii. Sangat efektif sebagai analgesik.
iii. Harus dipantau dengan ketat
l. Injeksi Perifer
i. Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer
menimbulkan efek anestesi lokal (pada konsentrasi tinggi).
ii. Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami
inflamasi2

Analgesik non opioid dan dosisnya ( Diberikan oleh DPJP/ dokter umum )
Nama obat
Dosis (mg)
Durasi efek
Dosis maksimal/hari (mg)
Obat Untuk nyeri ringan

Paracetamol
500-1000
4-6 jam
4000
aspirin
325-1000
4-6 jam
6000

Pedoman Manajemen Nyeri 30


Obat untuk nyeri sedang

Ibuprofen
200-800
4-6 jam
3200
Naproxen
250-500
6-8 jam
1500
Indometacin
25
8-12 jam
200
Diclofenak
50
8 jam
150
Nabumeton
500-750
8-12 jam
2000
Ketorolak
30-60 ( IM)
30 ( IV )

120
celecoxib
100-200
12jam
400

Pedoman Manajemen Nyeri 31


Analgesik opioid dan dosisnya
(Diberikan oleh dokter anestesi )

Nama obat
Dosis (mg)
Durasi efek
Frekuensi
Keterangan
Morfin
5-10mg
oral: 30-60 menit
SC-IV : 4-6 jam
Tiap 4 jam
Nyeri berat
Hydromorfin
1-2mg
oral: 30-60 menit
SC-IV : 4-6 jam
Tiap 4 jam
Nyeri berat
Fentanyl
50 mcg (IV/SC)
30-60 menit

Nyeri berat
Codein

Pedoman Manajemen Nyeri 32


30-60mg
( oral )
2-4 jam
Tiap 4 jam
Nyeri ringan-sedang
Oxycodone
7,5mg (oral)
3-6 jam
Tiap 6 jam
Nyeri sedang-berat
Tramadol
50-150mg

Tiap 8 jam
Nyeri ringan-sedang

IV.2 Pendekatan Non Farmakologis

Beberapa Pendekatan non farmakologis (tanpa obat-obatan) dalam


Manajemen Nyeri adalah:
1. Terapi Rehabilitasi Medik
2. Terapi Psikologis
3. Asuhan keperawatan untuk nyeri
4. Pendekatan non farmakologis untuk nyeri akut

IV.2.1 Terapi Rehabilitasi Medik dalam Manajemen Nyeri

Terapi Rehabilitasi Medik dalam manajemen nyeri menggunakan


berbagai latihan dan modalitas fisik yang memberikan efek
terapeutik dalam jaringan.
1. Latihan
2. Modalitas fisik pasif :
a. Terapi dingin
- Kemasan dingin
- Pijat es
- Perendaman air dingin
b. Terapi panas

Pedoman Manajemen Nyeri 33


- Kemasan panas/bantal pemanas
3. Teknik Terapi okupasi
a. Penilaian ergonomis/adaptasi
b. Aktivitas hidup/modifikasi pekerjaan
c. Strategi langkah
d. Mekanika tubuh dan sikap dinamis
4. Terapi manual
a. Mobilisasi dengan stretching
b. Manipulasi (terapi siropraktik)
c. Pijatan (massage)
Merupakan manipulasi yang dilakukan pada jaringan
lunak yang bertujuan untuk mengatasi masalah fisik,
fungsional atau terkadang psikologi.
Pijatan dilakukan dengan penekanan terhadap
jaringan lunak baik secara terstruktur ataupun tidak,
gerakan-gerakan atau getaran, dilakukan
menggunakan bantuan media ataupun tidak.
Beberapa teknik massage yang dapat dilakukan untuk
distraksi adalah sebagai berikut;
a. Remasan. Usap otot bahu dan remas secara
bersamaan.
b. Selang-seling tangan. Memijat punggung dengan
tekanan pendek, cepat dan bergantian tangan.
c. Gesekan. Memijat punggung dengan ibu jari,
gerakannya memutar sepanjang tulang punggung
dari sacrum ke bahu.
d. Eflurasi. Memijat punggung dengan kedua
tangan, tekanan lebih halus dengan gerakan ke
atas untuk membantu aliran balik vena.
e. Petriasi. Menekan punggung secara horizontal.
Pindah tangan anda dengan arah yang
berlawanan, menggunakan gerakan meremas.
f. Tekanan menyikat. Secara halus, tekan punggung
dengan ujung-ujung jari untuk mengakhiri pijatan.

5. Traksi

IV.2.2 Terapi Psikologis dalam Manajemen Nyeri

Pedoman Manajemen Nyeri 34


1. Terapi prilaku kognitif (CBT): terdiri dari 3 fase yaitu
a. Pendidikan tentang model biopsikososial sakit
b. Pelatihan ketrampilan: teknik relaksasi, aktivitas
melangkah, penjadwalan kegiatan menyenangkan,
teknik pencitraan, strategi gangguan, restrukturisasi
kognitif (perubahan pola pikir negatif), memecahkan
masalah dan penetapan tujuan
c. Fase aplikasi: praktek dan penerapan ketrampilan dalam
situasi kehidupan nyata
2. Kegiatan aktif ditandai dengan
a. Memecahkan masalah
b. Mencari informasi
c. Mencari dukungan sosial
d. Mencari bantuan profesional
e. Perubahan lingkungan
f. Merencanakan kegiatan dalam menanggapi beberapa
stres, fisik, atau emosional. Hal ini untuk menghindari
strategi, yang membawa orang-orang kedalam kegiatan
(seperti penggunaan alkohol) atau keadaan mental
(seperti penarikan diri) yang menjaga mereka dari
menangani langsung peristiwa yang dihadapi.

IV.2.3 Asuhan Keperawatan untuk Nyeri

1. Distraksi
Teknik distraksi adalah teknik yang dilakukan untuk
mengalihkan perhatian klien dari nyeri. Teknik distraksi yang
dapat dilakukan adalah:
a. Melakukan hal yang sangat disukai, seperti membaca
buku, melukis, menggambar dan sebagainya, dengan
tidak meningkatkan stimuli pada bagian tubuh yang
dirasa nyeri.
b. Melakukan kompres hangat pada bagian tubuh yang
dirasakan nyeri.
c. Bernapas lembut dan berirama secara teratur.
Pedoman Manajemen Nyeri 35
d. Menyanyi berirama dan menghitung ketukannya
2.Terapi perilaku
Bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat
menurunkan nyeri
3.Terapi musik
Terapi musik adalah proses interpersonal yang digunakan
untuk mempengaruhi keadaan fisik, emosional, mental, estetik
dan spiritual, untuk membantu klien meningkatkan atau
mempertahankan kesehatannya.
Therapy musik digunakan oleh individu dari bermacam
rentang usia dan dengan beragam kondisi; gangguan
kejiwaan, masalah kesehatan, kecacatan fisik, kerusakan
sensorik, gangguan perkembangan, penyalahgunaan zat,
masalah interpersonal dan penuaan. Therapy ini juga
digunakan untuk mendukung proses pembelajaran,
membangun rasa percaya diri, mengurangi stress, mendukung
latihan fisik dan memfasilitasi berbagai macam aktivitas yang
berkaitan dengan kesehatan.

4. Guided Imaginary
Yaitu upaya yang dilakukan untuk mengalihkan persepsi rasa
nyeri dengan mendorong pasien untuk mengkhayal dengan
bimbingan. Tekniknya sebagai berikut:
a. Atur posisi yang nyaman pada klien.
b. Dengan suara yang lembut, mintakan klien untuk
memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau
pengalaman yang membantu penggunaan semua
indra.
c. Mintakan klien untuk tetap berfokus pada bayangan
yang menyenangkan sambil merelaksasikan tubuhnya.
d. Bila klien tampak relaks, perawat tidak perlu bicara
lagi.
e. Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah,
atau tidak nyaman, perawat harus menghentikan
latihan dan memulainya lagi ketika klien siap.

5. Relaksasi

Pedoman Manajemen Nyeri 36


Teknik relaksasi didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh
berespon pada ansietas yang merangsang pikiran karena
nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat
menurunkan ketegangan fisiologis. Teknik ini dapat
dilakukan dengan kepala ditopang dalam posisi berbaring
atau duduk dikursi. Hal utama yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien dengan posisi
yang nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan
lingkungan yang tenang. Teknik relaksasi banyak jenisnya,
salah satunya adalah relaksasi autogenic. Relaksasi ini
mudah dilakukan dan tidak berisiko.
Ketika melakukan relaksasi autogenic, seseorang
membayangkan dirinya berada dalam keadaan damai dan
tenang, berfokus pada pengaturan napas dan detakan
jantung. Langkah-langkah latihan relaksasi autogenic adalah
sebagai berikut:
a. Persiapan sebelum memulai latihan
1) Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan
bantal, dan mata terpejam.
2) Atur napas hingga napas menjadi lebih teratur.
3) Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara
perlahan-lahan sambil katakan dalam hati ‘saya
damai dan tenang’.
b. Langkah 1 : merasakan berat
1) Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan
kedua lengan terasa berat. Selanjutnya, secara
perlahan-lahan bayangkan kedua lengan terasa
kendur, ringan, sehingga terasa sangat ringan
sekali sambil katakana ‘saya merasa damai dan
tenang sepenuhnya’.
2) Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung,
leher dan kaki.
c. Langkah 2 : merasakan kehangatan
1) Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan
rasakan hawa hangatnya aliran darah, seperti
merasakan minuman yang hangat, sambil
mengatakan dalam diri ‘saya merasa senang dan
hangat’.

Pedoman Manajemen Nyeri 37


2) Ulangi enam kali.
3) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai,
tenang’.
d. Langkah 3 : merasakan denyut jantung
1) Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan
tangan kiri pada perut.
2) Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut
dengan teratur dan tenang. Sambil katakana
‘jantungnya berdenyut dengan teratur dan
tenang’.
3) Ulangi enam kali.
4) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan
tenang’.
e. Langkah 4 : latihan pernapasan
1) Posisi kedua tangan tidak berubah.
2) Katakan dalam diri ‘napasku longgar dan
tenang’
3) Ulangi enam kali.
4) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan
tenang’.
f. Langkah 5 : latihan abdomen
1) Posisi kedua tangan tidak berubah. Rasakan
pembuluh darah dalam perut mengalir dengan
teratur dan terasa hangat.
2) Katakan dalam diri ‘darah yang mengalir dalam
perutku terasa hangat’.
3) Ulangi enam kali.
4) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan
tenang’.
g. Langkah 6 : latihan kepala
1) Kedua tangan kembali pada posisi awal.
2) Katakan dalam hati ‘kepala saya terasa benar-
benar dingin’
3) Ulangi enam kali.
4) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan
tenang’.
h. Langkah 7 : akhir latihan

Pedoman Manajemen Nyeri 38


Mengakhiri latihan relaksasi autogenik dengan
melekatkan (mengepalkan) lengan bersamaan dengan
napas dalam, lalu buang napas pelan-pelan sambil
membuka mata.

IV.2.4 Pendekatan Non Farmakologis untuk Nyeri Akut

Intervensi non farmakoogis untuk nyeri akut

Tipe nyeri Metode fisik Metode Lainnya


atau sumber psikologis
Nyeri akut Imobilisasi Edukasi pasien,
getaran atau relaksasi,
dingin pencitraan,
gangguan
Nyeri  Latihan atau  Edukas Akupuntur
perioperativ imobilisasi i pasien,
e  Pijat relaksasi,
 Aplikasi panas gangguan,
atau dingin akupuntur,
 Analgesia pencitraan,
elektro respon bio,
hypnosis
Trauma  Istirahat, Relaksasi,
kompres es, hipnosis,
elevasi gangguan,
 Terapi fisik dukungan
( peregangan, psykoterapi,
penguatan, pelatihan
terapi thermal, ketrampilan
TENS,
getaran)
Luka bakar  Ektremitas Edukasi pasien,
ketinggian relaksasi
 Minimalkan mendalam,
pergantian gangguan,
pakaian pencitraan,
relaksasi musik
Pedoman Manajemen Nyeri 39
Tipe nyeri Metode fisik Metode Lainnya
atau sumber psikologis
Prosedural  Aplikasi
dingin
(sebelum dan
sesudah
prosedur)
 Iritasi konter
(pijat
sederhana,
menggaruk,
tekanan)
 Istirahat atau
imobilisasi
(setelah
prosedur)
Kebidanan Edukasi pasien,
relaksasi
pernafasan,
gangguan
BAB V
KLASIFIKASI DAN MANAJEMEN NYERI

Klasifikasi nyeri meliputi:


1. Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung sesaat dengan durasi beberapa
menit yang hilang timbul hingga beberapa hari. Ciri khas suatu nyeri akut
adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata
dan akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya.
(Tabel terlampir )
2. Nyeri kronis non cancer. Tujuan dari manajemen nyeri tersebut adalah
untuk mengurangi penderitaan termasuk nyeri yang berhubungan dengan
distres emosional, meningkatkan kualitas fisik,sosial dan fungsi
komunikasi serta untuk meningkatkan kemampuan strategi menolong diri
sendiri dan hubungan dengan orang lain.
Manajemen nyeri meliputi :
a. Edukasi pasien : konseling nyeri, perubahan pola hidup yang
mengurangi nyeri

Pedoman Manajemen Nyeri 40


b. Pendekatan rehabilitasi fisik : berjalan,peregangan,exercise

c. Pendekatan fisikal non obat : terapi panas atau dingin, TENS,


pemijatan, akupunctur

d. Terapi okupasi : perhatian mengenai mekanisme tubuh, terapi


menjalani level aktifitas normal sehari-hari

e. Terapi obat-obatan : Non opioid, opioid, anti depresan, obat


antiepilepsi, antihistamin, stimultan, anestetikum

f. Pendekatan psikologis : Teknik relaksasi, hipnotikum, biofeedback,


modifikasi behavior, psikoterapi

g. Teknik operasi : Neuroablasi, neurolisis, dekompresi mikrovaskular

3. Nyeri karena cancer. Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik,
maka masalah nyeri kanker jauh lebih rumit. Hal itu disebabkan karena
nyeri kanker tidak saja bersumber dari faktor fisik akibat adanya
kerusakan jaringan, tetapi juga diperberat oleh faktor nonfisik berupa
faktor psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang secara keseluruhan
disebut nyeri total. Dengan kata lain, Nyeri total dibentuk oleh berbagai
unsur yakni, biopsikososio-kulturo-spiritual. Oleh karena itu, pengelolaan
nyeri kanker yang baik membutuhkan pendekatan multidisplin yang
melibatkan sernua disiplin ilmu yang terkait. Bahkan lebih dari itu,
anggota keluarga penderita pun harus dilibatkan utamanya dalam
perawatan yang tidak kurang pentingnya. Dalam pedoman ini, nyeri
karena cancer tidak dibahas karena di RS Royal Progress tidak terdapat
pelayanan penderita cancer

V.1 Nyeri Akut

1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu.


2. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang.
3. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik:
Pedoman Manajemen Nyeri 41
1) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kima dari sel yang cedera dan memediasi
inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.
2) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri
bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
3) Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri visceral:
1) Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic,
sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang
kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan
benda berat.
2) Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament,
spasme otot polos, distensi organ berongga / lumen.
3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual,
muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik:
1) Berasal dari cedera jaringan saraf
2) Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia
(nyeri saat disentuh), hiperalgesia.
3) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat
cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada
tempat cederanya)
4) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple
sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani
kemoterapi / radioterapi.
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.7
a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
i. OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif
untuk nyeri sedang-berat.
ii. Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah
(langkah 1 dan 2) dnegan pemberian intermiten (pro re
nata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
iii. Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-
berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan
opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam
setelah langkah 1).

Pedoman Manajemen Nyeri 42


iv. Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang
sering digunakan adalah morfin, kodein.
v. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat
diberikan opioid ringan.
vi. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan
pengurangan dosis secara bertahap
 Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
 Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin,
anxiolytic, kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS,
opioid, tramadol.
 Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid,
fenotiazin
 Topical: lidokain patch, EMLA
 Subkutan: opioid, anestesi lokal7

3-Step WHO Analgesic Ladder8


*Keterangan:
 patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut
karena tidak sesuai indikasi dan onset kerjanya lama.
 Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi
analgesik adjuvant (misalnya amitriptilin, gabapentin).
*Istilah:
 NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
 S/R: slow release
 PRN: when required
vii. Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn)
intravena untuk nyeri akut, dengan syarat:
 Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat
instruksi
 Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin
di ruang rawat inap biasa
 Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi
selama 15 menit sehingga semua pasien harus
diobservasi dengan ketat selama fase ini.
Keterangan:

Pedoman Manajemen Nyeri 43


Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh  Jika tekanan darah
1-3 = nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, sistolik <
4-6 = nyeri sedang mudah 100mmHg:
7-10 = nyeri berat dibangunkan haruslah dalam
2 = sedasi sedang, sering secara rentang 30%
konstan mengantuk, tekanan darah
mudah dibangunkan sistolik normal
3 = sedasi berat, somnolen, sukar pasien (jika
dibangunkan diketahui), atau
S = tidur normal carilah
saran/bantuan.
Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan)
Teruskan penggunaan OAINS IV jika diresepkan bersama dengan opioid.

viii. Manajemen efek samping:


 opioid
 Mual dan muntah: antiemetic
 Konstipasi: berikan stimulant buang air
besar, hindari laksatif yang mengandung
serat karena dapat menyebabkan produksi
gas-kembung-kram perut.
 Gatal: pertimbangkan untuk mengganti
opioid jenis lain, dapat juga menggunakan
antihistamin.
 Mioklonus: pertimbangkan untuk
mengganti opioid, atau berikan
benzodiazepine untuk mengatasi
mioklonus.
 Depresi pernapasan akibat opioid: berikan
nalokson (campur 0,4mg nalokson dengan
NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai
10ml). Berikan 0,02 mg (0,5ml) bolus
setiap menit hingga kecepatan pernapasan
meningkat. Dapat diulang jika pasien
mendapat terapi opioid jangka panjang.
 OAINS:

Pedoman Manajemen Nyeri 44


 Gangguan gastrointestinal: berikan PPI
(proton pump inhibitor)
 Perdarahan akibat disfungsi platelet:
pertimbangkan untuk mengganti OAINS
yang tidak memiliki efek terhadap agregasi
platelet.
b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di
tempat nyeri.
c. Non-farmakologi:
i. Olah raga
ii. Imobilisasi
iii. Pijat
iv. Relaksasi
v. Stimulasi saraf transkutan elektrik8
5. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
i. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien,
serta tatalaksananya.
ii. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya
untuk pasien
iii. Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika
memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai
kondisinya.
iv. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun
manajemen nyeri (termasuk penjadwalan medikasi,
pemilihan analgesik, dan jadwal control).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
6. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat
beraktivitas seperti biasa / normal.
b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.
7. Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri akut:

Pedoman Manajemen Nyeri 45


Algoritma Asesmen Nyeri Akut7

Pasien mengeluh nyeri

Anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Asesmen nyeri
Prioritas utama:
ya identifikasi dan
atasi etiologi nyeri
Apakah etiologi nyeri bersifat
reversibel?
tidak
 Lihat
ya manajemen
nyeri kronik.
Apakah nyeri berlangsung > 6  Pertimbangkan
minggu? untuk merujuk
tidak ke spesialis
yang sesuai

Tentukan mekanisme nyeri (pasien dapat


mengalami > 1 jenis nyeri)

Nyeri somatic Nyeri viseral Nyeri neuropatik


Pedoman
Nyeri Manajemen
bersifat tajam, NyeriNyeri bersifat difus, seperti
46 ditekan Nyeri bersifat menjalar, rasa
menusuk, terlokalisir, seperti benda berat, nyeri tumpul terbakar, kesemutan, tidak
ditikam spesifik.
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7

Nyeri somatic
Nyeri viseral Nyeri neuropatik
 Parasetamol
 Kortikosteroid  Antikonvulsan
 Cold packs
 Anestesi lokal intraspinal  Kortikosteroid
 Kortikosteroid
 OAINS  Blok neuron
 Anestesi lokal (topical /
 Opioid  OAINS
infiltrasi)
 Opioid
 OAINS
 Opioid  Antidepresan trisiklik
(amitriptilin)
 Stimulasi taktil

Pilih alternatif terapi yang


lainnya
Pencegahan

 Lihat manajemen tidak  Edukasi pasien


nyeri kronik.  Terapi farmakologi
 Pertimbangkan ya  Konsultasi (jika perlu)
untuk merujuk ke Apakah nyeri > 6  Prosedur pembedahan
spesialis yang minggu?  Non-farmakologi
sesuai

ya

tidak Analgesik adekuat?


Kembali ke kotak Mekanisme
‘tentukan nyeri sesuai?
mekanisme ya
nyeri’ tidak ya
Efek samping Manajemen efek
pengobatan? samping
tidak

Follow-up / nilai ulang

Pedoman Manajemen Nyeri 47


V.2 Nyeri Kronis Non Kanker

1. Lakukan asesmen nyeri:


a. anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat
manajemen nyeri sebelumnya)
b. pemeriksaan penunjang: radiologi
c. asesmen fungsional:
i. nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan /
disabilitas
ii. buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan
pasien
iii. nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen
pengobatan

2. tentukan mekanisme nyeri:


a. manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis:
i. Nyeri neuropatik:
 disebabkan oleh kerusakan / disfungsi sistem
somatosensorik.
 Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal,
neuralgia pasca-herpetik.
 Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat
penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal,
kesemutan, alodinia.
 Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus
pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri
berlangsung selama > 3bulan

ii. Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial


 mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung
bawah, panggul, dan ekstremitas bawah.
 Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis
otot, berakibat kelemahan, keterbatasan gerak.
 Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang
repetitive.

Pedoman Manajemen Nyeri 48


 Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan
fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor yang
memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor
pekerjaan)

iii. Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri


nosiseptif):
 Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka),
nyeri pasca-operasi
 Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas
pada tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera / luka.
 Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan
antibiotic / antirematik, OAINS, kortikosteroid.

iv. Nyeri mekanis / kompresi:


 Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang
dengan istirahat.
 Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan
dengan strain/sprain ligament/otot), degenerasi
diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi,
fraktur.
 Merupakan nyeri nosiseptif
 Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau
stabilisasi.

3. Nyeri kronik: nyeri yang persisten / berlangsung > 6 minggu

4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah
psikiatri (depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan,
riwayat penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)
b. Masalah pekerjaan dan disabilitas

c. Faktor yang mempengaruhi:


i. Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk

Pedoman Manajemen Nyeri 49


ii. Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik
pasien
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
i. Hambatan komunikasi / bahasa
ii. Faktor finansial
iii. Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas
kesehatan
iv. Kepatuhan pasien yang buruk
v. Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman

5. Manajemen nyeri kronik


a. Prinsip level 1:
i. Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif
(buat tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik,
manajemen stress, kurangi nyeri).

Berikut adalah formulir rencana perawatan pasien dengan


nyeri kronik:

Pedoman Manajemen Nyeri 50


Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik

1. Tetapkan tujuan
 Perbaiki skor kemampuan fungsional (ADL) menjadi:____ pada tanggal: _________
 Kembali ke aktivitas spesifik, hobi, olahraga____________ pada tanggal: _________
a. ____________________________________________
b. ____________________________________________
c. ____________________________________________
 Kembali ke  kerja terbatas/ atau  kerja normal pada tanggal: __________
2. Perbaikan tidur (goal: _______ jam/malam, saat ini: ________ jam/malam)
 Ikuti rencana tidur dasar
a. Hindari kafein dan tidur siang, relaksasi sebeum tidur, pergi tidur pada jam yang
ditentukan _____________
 Gunakanii. medikasi saat mau tidur
a. ______________________________________________
b. ______________________________________________
c. ______________________________________________
3. ingkatkan aktivitas fisik
 Ikuti fisioterapi ( hari/minggu ___________________)
 Selesaikan peregangan harian (_____ kali/hari, selama _____ menit)
 Selesaikan latihan aerobic / stamina
a. Berjalan (_____ kali/hari, selama _____ menit)
b. Treadmill, bersepeda, mendayung (_____ kali/minggu, selama ____menit)
c. Goal denyut jantung yang ditargetkan dengan latihan ______ kali/menit
 Penguatan
a. Elastic, angkat beban (_____ menit/hari, _____ hari/minggu)
4. Manajemen stress – daftar penyebab stress utama _____________________________
 Intervensi formal (konseling, kelompok terapi)
a. _________________________________________________
 Latihan harian dengan teknik relaksasi, meditasi, yoga, dan sebagainya
a. _________________________________________________
b. _________________________________________________
 Medikasi
a. _________________________________________________
b. _________________________________________________
5. Kurangi nyeri (level nyeri terbaik minggu lalu: _/10, level nyeri terburuk minggu lalu: _/10)
 Tatalaksana non-medikamentosa
a. Dingin/panas _______________________________________
b. __________________________________________
 Medikasi
a. ___________________________________________________
b. ___________________________________________________
c. ___________________________________________________
d. ___________________________________________________
 Terapi lainnya: ___________________________________________________
Nama Dokter: __________________________________________ Tanggal: _______________

Pedoman Manajemen Nyeri 51


iii. Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk
meningkatkan fungsi
iv. Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku
kognitif dengan restorasi fungsi untuk membantu
mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
 Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik
adalah masalah yang rumit dan kompleks.
Tatalaksana sering mencakup manajemen stress,
latihan fisik, terapi relaksasi, dan sebagainya
 Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah
manajemen nyerinya
 Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam
manajemen nyeri
 Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
 Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan
biarkan penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh
peningkatan level nyeri pasien.
 Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan
dukungan kepada pasien
 Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara
bertahap
 Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena
takut nyeri.
v. Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan
pasien)

b. Manajemen level 1: menggunakan pendekatan standar dalam


penatalaksanaan nyeri kronik termasuk farmakologi, intervensi, non-
farmakologi, dan tetapi pelengkap / tambahan.
i. Nyeri Neuropatik
 Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
 Control gula darah pada pasien DM
 Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk
pasien tumor dengan kompresi saraf
 Control infeksi (antibiotic)
 Terapi simptomatik:
 antidepresan trisiklik (amitriptilin)

Pedoman Manajemen Nyeri 52


 antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
 obat topical (lidocaine patch 5%, krim
anestesi)
 OAINS, kortikosteroid, opioid
 anestesi regional: blok simpatik, blok
epidural / intratekal, infus epidural /
intratekal
 terapi berbasis-stimulasi: akupuntur,
stimulasi spinal, pijat
 rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat
bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis
 prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf
dengan radiofrekuensi
 terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi
(mengurangi tegangan otot dan toleransi
terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif
(mengurangi perasaan terancam atau tidak
nyaman karena nyeri kronis)
ii. nyeri otot
 lakukan skrining terhadap patologi medis yang
serius, faktor psikososial yang dapat menghambat
pemulihan
 berikan program latihan secara bertahap, dimulai
dari latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara
bertahap.
 Rehabilitasi fisik:
 Fitness: angkat beban bertahap,
kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan
 mekanik
 pijat, terapi akuatik

 manajemen perilaku:
 stress / depresi
 teknik relaksasi
 perilaku kognitif
 ketergantungan obat
 manajemen amarah
Pedoman Manajemen Nyeri 53
 terapi obat:
 analgesik dan sedasi
 antidepressant
 opioid jarang dibutuhkan

iii. nyeri inflamasi


 control inflamasi dan atasi penyebabnya
 obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid

iv. nyeri mekanis / kompresi


 penyebab yang sering: tumor / kista yang
menimbulkan kompresi pada struktur yang sensitif
dengan nyeri, dislokasi, fraktur.
 Penanganan efektif: dekompresi dengan
pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat bantu.
 Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat
digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain
diaplikasikan.

c. Manajemen level 1 lainnya


i. OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau
nyeri non-neuropatik
ii. Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi
terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-
kanker.9

Pedoman Manajemen Nyeri 54


BAB VI
MANAJEMEN EFEK SAMPING OPIOID

1. Pendekatan umum untuk mengobati efek samping Opioid:

a. Bedakan efek samping Opioid dari kondisi co-morbid atau obat lain
yang bersamaan.
b. Mengurangi dosis opioid jika nyeri dikendalikan dengan baik. Jika
nyeri tidak terkontrol:
c. Menambahkan non opioid co-analgesic (misalnya NSAIDs)
d. Menambahkan obat nyeri tertentu (misalnya gabapentin untuk post
Herpetic Neuralgia)
e. Menargetkan sumber nyeri (misalnya penggantian pinggul untuk
osteoarthritis yang parah)
f. Anastesi regional atau teknik bedah ablative (misalnya radio facet
neurotomy)
g. Beralih opioid untuk melihat apakah opioid lain memiliki
keseimbangan yang lebih baik dari analgesia vs. efek samping.
h. Pengobatansymptomatic dari efek samping.

2. Sembelit
a. Tambahkan serat untuk makanan pasien
b. Olahraga
c. Minum setidaknya 4-6 gelas per hari
d. Ketika mulai terapi opioid lebihbaik menjaga perut “longgar”
1) Tambahkan simultan pencahar misalnya Bisacodyl mulai dari
satu tablet dua kali per hari dan meningkatkan menjadi
maksimal 8 tablet per hari
2) Lactulose/sorbital/polyethylen glycol
e. Surfactant misalnya Docusate

3. Mual dan muntah


a. Antimetics secara rutin ketika memulai opioids
b. Coba terlentang jika mual berselang

Pedoman Manajemen Nyeri 55


c. Coba Dimenhydramine 25-50mg PO atau 50mg-100mg per
rectal(PR) q4-6hr PRN
d. Berikutnya coba Haloperidol 0.5-5mg setiap hari untuk BID (dosis
biasanya kurang dari 2mg/hari)
e. Berikutnya coba Prochlorperazine 5-10mg atau PR q4-6hrs PR
f. Berikutnya coba atau tambahkan Metoclopramide atau
Domperidone 10-40mg PO (terutama jika motilitas lambung
menurun)
g. Coba transdermal Scoplomine patch, satu diterapkan setiap 2-3 hari
h. Dosis kecil oral Cannabinoids (Dronabinol atau Nabilone) 5-
10mg/kg
i. Jika mual tidak tertahankan, cobalah beralih ke opioid lain

4. Obat penenang
a. Obat penenang ringan biasanya terjadi ketika pertama kali memulai
opioids atau dengan dosis titration
b. Biasanya berkurang dengan dosis stabildalam 7-14 hari jika
dosisnya benar
c. Methadone – diinduksi obat penenang mungkin memakan waktu
lebih lama untuk mereda
d. Tidak menyetir sementara dosis titrating
e. Hentikan semua obat penenang lainnya jikalau kasus mengantuk
berkepanjangan
f. Menurunkan dosis opioid atau beralih opioids jika kantuk masih
bertahan

DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Manajemen Nyeri 56


AMDA (2004) Pain Assessment in Advanced Dementia (PAINAD) Scale. American
Medical Director ssociation. geriatrictoolkit.missouri.edu/cog/
painad.pdf (sitasi 20 Juni 2016)

Atjeh, I (2013) Penilaian dan Diagnostik Nyeri. http://ivan-atjeh.blogspot.co.id/


2013/07/penilaian-dan-diagnostik-nyeri.html (sitasi 20Juni 16)

Barr, J.B., Fraser, G.F., Puntillo, K., Ely, E.W., Gelinas, C., Dasta, J.F., dkk
(2013) Clinical Practice Guidelines for the Mangemenet of Pain,
Agitation, and Delirium in adult Patients in the Intensive Care Unit. J.
of Critical Care Medicine 41(1): 263-306. http://www.learnicu.org/
SiteCollectionDocuments/Pain,%20Agitation,%20Delirium.pdf (sitasi
20 Juni 2016)

Borun, A. dan Borun, H. (2004) Pain Screening Training Module


http://www.geronet.med.ucla.edu/centers/borun/modules/Pain_Screening/pai
n3.pdf. UCLA/JHA Borun Center (sitasi 20 Juni 2016)

Herr, K., Coyne, P.J., McCaffrey, M., Manworren, R., dan Merkel, S. (2011) Pain
Assessment in the Patient Unable to Self-Report: Position Statement with
Clinical Practice Recommendations. Pain Management Nursing. Vol 12 (4):
230-250. http://www.aspmn.org/documents/PainAssessmentinthePatient
UnabletoSelfReport.pdf (sitasi 20 Juni 2016)

Kumar, N. (2007) WHO Normative Guidelines on Pain Management. Report of a


Delphi Study to determine the need for guidelines and to identify the
number and topics of guidelines that should be developed by WHO. Geneva

Lorenz, K.A dan McCaa, M.D (2016) Effective Screening for Pain Study
(ESP). VA Office of Research and Development.
https://clinicaltrials.gov/ct2/show/study/NCT01816763?
show_desc=Y#desc (sitasi 20 Juni 2016)

Pedoman Manajemen Nyeri 57


Medical Board of California (2014) Pain Management Guidelines. Rev
6/2014. http://www.mbc.ca.gov/About_Us/Meetings/2014/Materials/
materials_20140619_rx-1.pdf (sitasi 20 Juni 2016)

National Quality Forum (2011) NQF #1634 Hospice and Palliative Care – Pain
Screening. National Quality Forum. Measure Submission and Evaluation
Worksheet 5.0. www.qualityforum.org/WorkArea/linkit.aspx?Link
Identifier=id&ItemID=... (sitasi 20 Juni 2016)

Unknown (2016) Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) Ages Birth – One Year.
http://www.cincinnatichildrens.org/assets/0/78/176/4711/4717/4213d844-
3558-4c76-a342-84a9f377420c.pdf#page=1&zoom=auto,-21,792 (sitasi 20
Juni 2016)

Unknown (2016) CRIES Neonatal Postoperative Pain Measurement


Toolshttp://wps.prenhall.com/wps/media/objects/3103/3178396/tools/calculation_pai
n_cries.pdf (sitasi 20 Juni 2016)

Pedoman Manajemen Nyeri 58


LAMPIRAN 1
SPO Prosedur Asesmen dan Manajemen Nyeri

PROSEDUR ASSESMEN DAN


MANAJEMEN NYERI
Jl. Danau Sunter Utara,
Sunter Paradise Jakarta 14350 No. Dokumen No. Revisi Halaman
Telp: 021-6400261- RSRP/ SPO/ 1 1/1
6459877Fax: 021-6400778 NSG/ 161

Tanggal Terbit Ditetapkan


Standar Prosedur 24 November Direktur,
Operasional 2014

Dr. Djoti Atmodjo, SpA,


MARS

Pengertian : Assesmen nyeri adalah bagian dari asuhan


pelayanan pasien dalam mengurangi nyeri yang
dirasakan pasien yang memerlukan terapi khusus
dalam mengurangi angka morbiditas pasien.
Tim manajemen nyeri adalah tim yang terdiri dari
DPJP, dokter anestesi,dokter umum, PJ shift,
kepala ruang, perawat pelaksana yang
bertanggung jawab dalam asuhan untuk
mengurangi nyeri yang dirasakan oleh setiap
pasien yang berobat atau dalam masa perawatan.

Kebijakan : Semua pasien rawat inap dan rawat jalan di

Pedoman Manajemen Nyeri 59


skrining untuk rasa sakit dan dilakukan asesmen
apabila ada rasa nyerinya.
Tujuan :
1. Untuk menggali informasi riwayat nyeri
pada pasien sesuai standar yang telah ada.
2. Membantu menegakkan tipe nyeri dan
etiologi yang memungkinkan.
3. Untuk mengetahui efek nyeri yang dialami
pasien apakah berhubungan dengan fungsi
sistemik tubuhnya.
4. Sebagai acuan untuk perencanaan dan
pemberian terapi
5. Sebagai bentuk komunikasi efektif antar
tim manajemen nyeri.

Prosedur : 1. Lakukan skrining nyeri pada pasien yang


datang berobat ke RS Royal Progress.
2. Isilah lembar assesmen nyeri pasien sesuai
anamnesa yang digali dari pasien
3. Lakukanlah intervensi non farmakologik
Skore nyeri 1-3 untuk mengurangi nyeri
pada pasien
4. Lakukanlah monitoring hingga 2 jam setelah
intervensi non farmakologik dilaksanakan

Pedoman Manajemen Nyeri 60


PROSEDUR ASESMEN NYERI DAN
MANAJEMEN PENATALAKSANAAN NYERI

Jl. Danau Sunter Utara, No. Dokumen No. Revisi Halaman


Sunter Paradise Jakarta
14350 RSRP/ SPO/ 1 2/2
Telp: 021-6400261- NSG/ 162
6459877Fax: 021-6400778

5. Lakukan assesmen ulang terhadap nyeri yang


6. dialami pasien
Skore nyeri 4-6 atau skore nyeri tidak berkurang
7. setelah intervensi. Informasikan hasil assesmen
ke PJ shift atau ka ru.
8. PJ shift / ka ru menghubungi DPJP/ dokter umum
untuk pemberian penatalaksanaan farmakologik
9. Lakukanlah monitoring hingga 4 jam setelah
10. intervensi farmakologik non opioid
Lakukan assesmen ulang terhadap nyeri yang
dialami pasien
11. Skore nyeri > 7 atau skore nyeri tidak berkurang
setelah intervensi. DPJP/ dokter umum
12. menginformasikan kepada dokter anestesi untuk
pemberian terapi farmakologik opioid
Petugas terkait : Lakukanlah monitoring hingga 4-6 jam setelah
intervensi farmakologik non opioid
Lakukan assesmen ulang terhadap nyeri yang
dialami pasien

1. Perawat pelaksana
2. PJ shift/ ka ru
3. DPJP, dokter umum, dokter anestesi
Pedoman Manajemen Nyeri 61
Pedoman Manajemen Nyeri 62
LAMPIRAN 2
Form Skrining dan Asesmen Nyeri di Asesmen Gawat Darurat Perawat

SKRINING NYERI
Pasien merasa nyeri : ya / tidak*
Jika ya, gunakan Asesmen Nyeri berikut ini
(jika ada kecurigaan nyeri kronis, gunakan form Skrining untuk Nyeri
kronis)

ASESMEN NYERI

P = Provocation and Palliation


Penyebab nyeri
Pemicu nyeri
Hal yang membuat nyeri berkurang
Hal yang membuat nyeri bertambah
Q = Quality and Quantity
Kulitas/kekuatan nyeri
Kualitas nyeri saat dilakukan perabaan
Kualitas nyeri saat dilakukan pengamatan
Kualitas nyeri saat dilakukan pendengaran
R = Regio and Radiation
Lokasi nyeri
Penyebaran nyeri
S = Severity and Scale
Tingkat nyeri (skala 1-10)
Aktivitas terkait nyeri
T = Timing and Type of Onset
Nyeri muncul pertama kali pada
Durasi nyeri
Tingkat kekerapan nyeri (frekuensi)
Nyeri timbul secara tiba-tiba/perlahan
Nyeri diberitahukan ke dokter :
□ Ya, pukul……….. □ Tidak

Pedoman Manajemen Nyeri 63


LAMPIRAN 3
FORM SKRINING NYERI UNTUK NYERI KRONIS

SKRINING NYERI KRONIS


No Rekam Medis

Nama Pasien : Jenis Kelamin Tanggal


P/W kunjungan:
Tanggal lahir :
Alamat : Dokter :
No Pertanyaan Ya Tidak TT/TR/M
1. Apakah ada nyeri/rasa sakit saat ini?
2. Apakah nyeri tersebut menghalangi
Anda untuk beraktivitas?
3. Apakah nyeri tersebut membuat Anda
tidak bisa tidur di malam hari?
4. Apakah Anda merasakan nyeri setiap
hari?
KEMUNGKINAN NYERI KRONIS:
(3/> Jawaban ya atau ya untuk pertanyaan no 4) (TIDAK DAPAT DINILAI)
Keterangan:
TT/TR/M = Tidak Tahu/Tidak Respon atau Respon tidak adekuat/Menolak untuk
menjawab
Jakarta............................ , 20 .../Pkl………..
Yang melaksanakan skrining

(………………………………………………………)
Telah dilaporkan ke DPJP
Nama DPJP
Tanggal/Jam
Paraf DPJP
Paraf dan Nama Terang yang melaporkan

Pedoman Manajemen Nyeri 64


P = Provocation and Palliation (Pemicu dan
pengurang nyeri )
1. Penyebab / pemicu
nyeri : □ Tidak ada □ Ada , sebutkan :
............................................
2. Nyeri dapat berkurang
karena : □ Obat-obatan □ Tidur/istirahat
□ Lain-lain
3. Nyeri makin bertambah
karena : □ Aktifitas □ Berpindah posisi tertentu
□ Terpapar
sesuatu
Q = Quality and quantity ( Kualitas dan
kuantitas nyeri
4.Penemuan saat dilakukan pengamatan,perabaan dan auskultasi
nyeri :
Pengamatan : □ tidak ada kelainan □ Kemerahan □ Kebiruan
□ Luka terbuka □ Edema
Palpasi dan
perkusi : □ tidak ada kelainan □ Teraba massa
□ Krepitasi □ Lain-lain
Auskultasi : □ tidak ada kelainan □ Ada, sebutkan :
......................................
5.Nyeri yang dirasakan : □Tj : Tajam □L : Lemah

T : Tertekan □ Rt : Rasa terbakar □ Br : Berat
R = Region and radiation
( Pusat nyeri )
6. Letak pusat nyeri : □Ab : Abdomen □Dd : Dada
□L : Lengan □Co : Coxigis
: Pergelangan
□Pk kaki □C/S : Cervical Spine
□P : Punggung □Tl : Telinga
□Kp : Kepala □Stk : Sisi tubuh bag kiri
□Lp : Lipat paha □Kk : Kaki
□Sk : Siku □Lt : Lutut
□Ep : Epigastrik □Lb : Lumbal
□Pg : Panggul □TkA : Tungkai atas
□Rh
□TkB
B : Rahang bawah : Tungkai bawah
Pedoman Manajemen Nyeri 65
□W : Wajah □Stk : Sisi tubuh bag kanan
□Mt : Mata
7.Nyeri bersifat menyebar ke bagian tubuh
□ Ya □ Tidak
yang lain
LAMPIRAN 4
FORM ASESMEN NYERI

Pedoman Manajemen Nyeri 66


Pedoman Manajemen Nyeri 1

Anda mungkin juga menyukai