Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuaan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah korupsi

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi
adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan, dan merugikan kepentingan umum.

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi
merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh
penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling
rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin
ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.

Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia.


Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang
melihat peringkat dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga
ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang
berwenang, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja
maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan dengan
tenaga dan waktu yang dimiliki KPK.

1. Pra kemerdekaan
a. Masa Pemerintahan Kerajaan: Singosari, Majapahit, Demak, dan
Banten.
Gejala korupsi dan penyimpangan kekuasaan masih didominasi para
kalangan elite bangsawan, sultan, dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris belum mengenal atau memahaminya.
b. Masa Kolonial Belanda
 Perilaku korup tidak hanya oleh masyarakat Nusantara, tetapi
orang Belanda, Portugis dan Jepang pun gemar mengorup
harta-harta korps, institusi, atau pemerintahannya.
 Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan tersebut
turut menyuburkan budaya korupsi di Indonesia, seperti
kebiasaan mengambil upeti (pajak) dari rakyat.
2. Pasca kemerdekaan
a. Orde Lama

Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno tercatat 2 kali membentuk


Badan Pemberantasan Korupsi yakni, Panitia Retooling Aparatur Negara
(PARAN) dan operasi Budhi dipimpin oleh Abdul Haris Nasution.
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) sebagai Badan
Pemberantasan Korupsi mengharuskan Pejabat mengisi formulir daftar
kekayaan pejabat negara.

Usaha Panitian Retooling Aparatur Negara (PARAN) akhirnya mengalami


deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden,
sehingga diserahkan kembali ke Pemerintah (kabinet Juanda).

Pada Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963,
upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan dengan membentuk
lembaga yang bertugas meneruskan kasus-kasus korupsi di meja
pengadilan yang dikenal “Operasi Budhi”.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan


negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp11 miliar, jumlah
yang cukup signifikan untuk kurung waktu itu. Karena dianggap
menggangu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan


pembubaran Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi
Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR), yang diketuai
langsung oleh Presiden Soekarno, dan dicatat pemberantasan korupsi
pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

b. Orde Baru

Pada Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto menyalahkan


rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi. Pidato
tersebut memberi isyarat bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke
akar-akarnya. Sebagai wujud dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
yang diketuai Jaksa Agung.

Pada Tahun 1970, Pelajar dan Mahasiswa melakukan unjuk rasa


memprotes kinerja Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang mana
perusahaan perusahaan negara dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) disorot sebagai sarang korupsi, akhirnya Presiden Soeharto
membentuk Komite Empat Pembentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof.
Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A. Tjokroaminoto yang mempunyai
tugas utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama,
Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun komite
ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan
korupsi di BUMN tidak direspons Pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah
Operasi Tertib (Opstib) yang bertugas antara lain memberantas korupsi.
Seiring dengan berjalannya waktu Operasi Tertib (Opstib) pun hilang
ditiup angin tanpa bekas.

c. Era reformasi

Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun


1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi seperti KPKPN, KPPU, atau
lembaga Ombudsman.

Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk
dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu
untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial
review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu,
Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat


Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur
didera kasus Buloggate dan menyebabkan Gus Dur lengser.

Presiden Megawati pun menggantikannya melalui apa yang disebut


sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak
luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual
aset-aset negara.

Pada tahun 2003 dibentuk suatu komisi untuk mengatasi,


menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini
dinamai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Berdasarkan data ICW, Kemenkes merupakan lembaga yang paling besar


merugikan negara, yakni Rp 249,1 miliar. Ada sembilan kasus korupsi
yang berhasil ditindak aparat penegak hukum di kementerian tersebut.
Selanjutnya, 46 kasus korupsi terjadi di Dinkes, baik tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota. Ada juga 55 kasus kesehatan di RS dan 9 di
Puskesmas.

Mulai tahun 2003 s.d. 2014 yaitu kerja sama KPK dengan PPATK, BPK,
Polri, dan Kejaksaan Agung. Data dari Lembaga Survei Nasional (LSN)
Pada Pemilu tahun 2009, sebanyak <40% publik bersedia menerima uang
dari caleg/partai. Data dari SuaraMerdeka.com, money politic sangat
rawan terjadi dalam pemilu 2014, mayoritas publik mengaku bersedia
menerima pemberian uang dari caleg/partai sebesar 69,1%.

Peran mahasiswa pada institusi pendidikan tenaga kesehatan dituntut


untuk ikut berpartisipasi dalam memberantas korupsi. Untuk itu, melalui
pemahaman yang baik tentang arti korupsi serta bagaimana dampak
negatif korupsi terhadap kesejahteraan rakyat, maka mahasiswa
diharapkan menjadi salah satu pilar utama di negeri ini, yang akan dapat
membantu memberantas penyakit korupsi di tengah-tengah masyarakat.

2.2 Lembaga penegakan hukum di indonesia


1) Kepolisian Negara RI

Salah satu Anggota Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan adalah Kepolisian.


Lembaga yang pertama ini sudah sangat familiar dengan masyarakat. Keberadaannya
bersinggungan langsung dengan masyarakat. Ada banyak unit yang berada dalam lembaga
kepolisian RI. Misalkan saja unit cyber crime yang melindungi masyarakat dari kejahatan
pelanggaran hukum di dunia maya dan SATLANTAS (Satuan Lalu Lintas) yang mengatur
mengenai kehidupan lalu lintas di jalanan umum. Fungsi dari kepolisian sudah ditetapkan
oleh pemerintah. Berarti keberadaannya telah dijamin pula oleh pemerintah. Menurut Pasal
2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia : Menyebutkan
bahwa “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

2) Mahkamah Konstitusi

MK atau Mahkamah Konstitusi menangani kasus-kasus hukum di atas meja


peradilan. Lembaga ini sangat berperan dalam penegakan hukum. Alasannya sederhana
saja, meja peradilan adalah ujung yang memutuskan suatu perkara akan ditindaklanjuti,
terutama persengketaan yang memang belum ada yurisprudensinya. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi baru disahkan mulai tahun 2003 dengan menuangkan poin mengenai
Mahkamah Konstitusi ke dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
yang disahkan di bulan Agustus tahun tersebut mengatur tentang Mahkamah Konstitusi.
Berikut ini subjek dari mahkamah konstitusi:

A. Hakim Konstitusi

Hakim yaitu orang yang memiliki wewenang menghakimi suatu perkara. Hakim di
Mahkamah Konstitusi boleh menyandang jabatan selama dua periode, di mana setiap
periodenya memiliki jangka waktu 5 tahun. Ada 9 orang hakim konstitusi yang masing-
masing terdiri dari :
 3 orang pilihan dari Mahkamah Agung (MA)
 3 orang pilihan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
 3 orang pilihan dari Presiden

B. Ketua Mahkamah Konstitusi

Ketua Mahkamah Konstitusi adalah seseorang yang menjadi kepala dalam institusi MK.
Seorang Kepala MK dipilih oleh para hakim konstitusi untuk jabatan 3 tahun lamanya.

3) Mahkamah Agung

MA yang mempunyai memiliki hirarki kedudukan tinggi dalam system peradilan di


Indonesia. MA akan mengadili perkara-perkara tingkat kasasi. Sementara itu, Ada beberapa
tingkat peradilan seperti berikut :

 Tingkat pertama : diadili oleh Pengadilan Negeri


 Tingkat kedua : diadili oleh Pengadilan Tinggi
 Tingkat kasasi : diadili oleh Mahkamah Agung
4) Pengadilan Militer

Pengadilan militer adalah representasi kekuatan kehakiman di lingkungan angkatan


bersenjata. Pembentukannya telah dipertimbangkan berdasarkan keamanan Negara.
Lingkungan peradilan militer juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat, sebagaimana berikut:

A.Peradilan Militer tingkat A berada di kota tempat KODAM

B. Peradilan Militer tingkat B berada di kota tempat KOREM

2.3 Pemberantasan korupsi di Indonesia

Pemberantasan korupsi di Indonesia dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama,
Orde Baru, dan Orde Reformasi.

1.Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960

Antara 1951–1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang
pdipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani
menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah
peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas
intervensi PM Ali

Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi
Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada
Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus
tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya),
Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil
ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap
sebagai lawan politik Sukarno.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang


sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution
mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di
bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.

Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun
kurang berhasil.

Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi
gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar
Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto,
Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang
kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan
menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.

2. Orde Baru

Dasar Hukum: UU 3 tahun 1997

Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.

3. Reformasi

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

 Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)

Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan


peradilan umum dan berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Khusus untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap kota madya yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pengadilan
Tipikor diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.

 Komisi Pemberantasan Korupsi


 Kepolisian
 Kejaksaan
 BPKP

2.4 Pencegahan Korupsi

1. Penanaman Semangat Nasional

Penanaman semangat nasional yang positif dilakukan oleh pemerintah Indonesia


dalam bentuk penyuluhan atau diksusi umum terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai
kepribadian bangsa Indonesia. Kepribadian yang berdasarkan Pancasila merupakan
kepribadian yang menjunjung tinggi semangat nasional dalam penerapan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan adanya penanaman semangat nasional Pancasila dalam diri
masyarakat, kesadaran masyarakat akan dampak korupsi bagi negara dan masyarakat akan
bertambah. Hal ini akan mendorong masyarakat Indonesia untuk menghindari berbagai
macam bentuk perbuatan korupsi dalam kehidupan sehari-hari demi kelangsungan hidup
bangsa dan negaranya.

2. Melakukan Penerimaan Pegawai Secara Jujur dan Rerbuka

Upaya pencegahan sebagai bentuk upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan


oleh pemerintah dapat dilakukan melalui penerimaan aparatur negara secara jujur dan
terbuka. Kejujuran dan keterbukaan dalam penerimaan pegawai yang dilakukan oleh
pemerintah menunjukkan usaha pemerintah yang serius untuk memberantas tindak pidana
korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap dalam penerimaan pegawai. Pemerintah yang
sudah berupaya melakukan tindakan pencegahan dalam penerimaan pegawai perlu
disambut baik oleh masyarakat terutama dalam mendukung upaya pemerintah tersebut.

Jika pemerintah telah berupaya sedemikian rupa melakukan tindakan pencegahan


korupsi dalam penemerimaan aparatur negara tapi masyarakat masih memberikan peluang
terjadinya korupsi, usaha pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi sia-
sia. Selain itu, jika perilaku masyarakat yang memberikan peluang terjadinya tindakan
korupsi dalam penerimaan pegawai diteruskan, maka tidak dapat dipungkiri praktik
tindakan korupsi akan berlangsung hingga dapat menimbulkan konflik diantara masyarakat
maupun oknum pemerintah. (baca juga: Pengertian Konflik Menurut Para Ahli)

3. Himbauan Kepada Masyarakat

Himbauan kepada masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah dalam upaya


melakukan pencegahan sebagai bentuk upaya pemberantasan korupsi di kalangan
masyarakat. Himbauan biasanya dilakukan oleh pemerintah melalui kegiatan-kegiatan
penyuluhan di lingkup masyarakat kecil dan menekankan bahaya laten adanya korupsi di
negara Indonesia. Selain itu, himbauan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat
menekankan pada apa saja yang dapat memicu terjadinya korupsi di kalangan masyarakat
hingga pada elite pemerintahan.
4. Pengusahaan Kesejahteraan Masyarakat

Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi juga dilakukan melalui upaya


pencegahan berupa pengusahaan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pemerintah.
Pemerintah berupa mensejahterakan masyarakat melalui pemberian fasilitas umum dan
penetapan kebijakan yang mengatur tentang kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat
yang diupayakan oleh pemerintah tidak hanya kesejahteraan secara fisik saja melain juga
secara lahir batin. Harapannya, melalui pengupayaan kesejahteraan masyarakat yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup dapat memberikan penguatan kepada masyarakat untuk
meminimalisir terjadinya perbuatan korupsi di lingkungan masyarakat sehingga dapat
mewujudkan masyakarat yang madani yang bersih dari tindakan korupsi dalam kehidupan
sehari-hari. (baca juga: Syarat Terwujudnya Masyarakat Madani)

5. Pencatatan Ulang Aset

Pencatan ulang aset dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memantau sirkulasi
aset yang dimiliki oleh masyarakat. Pada tahun 2017 ini, pemerintah menetapkan suatu
kebijakan kepada masyarakatnya untuk melaporkan aset yang dimilikinya sebagai bentuk
upaya pencegahan tindakan korupsi yang dapat terjadi di masyarakat. Pencatatan aset yang
dimiliki oleh masyarakat tidak hanya berupa aset tunai yang disimpan di bank, tetapi juga
terhadap aset kepemilikan lain berupa barang atau tanah. Selain itu, pemerintah juga
melakukan penelurusan asal aset yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengetahui apakah
aset yang dimiliki oleh masyarakat tersebut mengindikasikan tindak pidana korupsi atau
tidak.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Korupsi_di_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai