Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena
bentuknya sangat bervariasi di setiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang
terbesar yaitu, sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus spenoid dekstra dan sinistra.
Sinus paranasal dapat terinfeksi oleh berbagai macam patogen yang pada akhirnya akan
mengakibatkan radang sinus (sinusitis). Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang paling
sering terjadi di masyarakat.2 Berdasarkan letak anatominya sinusitis dapat dibagi menjadi
sinusitis maksila, sinusitis frontal, sinusitis ethmoid dan sinusitis sphenoid. Namun yang paling
sering ditemukan, ialah sinusitis maksila dan yang paling jarang adalah sinusitis frontal.1 Dari 71
kasus yang terdiri dari 34 laki-laki dan 37 perempuan dengan usia 16-64 tahun didapatkan sinusitis
maksilaris kronis 25 kasus (35,20%).3 Dan dari 71 kasus tersebut, 60% penderita sinusitis
maksilaris kronis disebabkan oleh bakteri.
Adapun bakteri yang berperan penting pada patogenesis sinusitis maksilaris kronis yaitu
Streptococcus pneumoni, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis dan Staphylococcus
aureus.2,3 Salah satu cara sederhana yang dapat digunakan dalam pemeriksaan sinusitis maksilaris
dan frontalis adalah pemeriksaan transiluminasi. Hasil yang didapatkan memang tidak begitu
spesifik, namun transiluminasi dapat mengindikasikan adanya pus yang menumpuk pada sinus.
Transiluminasi dikerjakan dalam ruangan gelap dengan menggunakan senter yang diarahkan ke
dalam mulut.4,5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI SINUS
2.1.1. Sinus Frontalis
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan
ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5
cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 67 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik,
terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan
dinding anterior dan posterior. Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis
yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke
posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara
ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak
terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus.
2.1.2. Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi
yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang
disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid.
Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis yang terbesar, letak
ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung
dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu P1 dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
2.1.3. Sinus Etmoidalis
Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior
sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak
diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid

2
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.
Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila.
2.1.4. Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua
oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid. Ukuran sinus ini kira-kira
pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar
7,5 ml (0,05-30 ml). Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus
dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons.

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus

3
Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang
2.2 RINOSINUSITIS
2.2.1. DEFINISI RINOSINUSITIS
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi atau infeksi karena
bakteri, virus atau jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dibahagikan kepada 3 yaitu ;
rinosinusiitis akut apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis
subakut apabila gejalanya berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis
apabila gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan. Terdapat 4 jenis sinus yaitu sinus frontalis,
maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis. Apabila rinosinusitis terjadi pada beberapa sinus,maka ia
dikenali sebagai multisinusitis,sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal dikenal sebagai
pansinusitis.
2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
a. Virus
Virus yang lebih sering menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus parainfluenza,
respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Setiap virus mempunyai banyak serotype
yang mempunyai potensi tersendiri untuk memperparahkan infeksi tersebut. Infeksi akibat
rhinovirus merupakan penyebab tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada
musim gugur. RSV dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan
di awal musim semi.
b. Bakteri
Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S. pneumoniae dan H.
influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya rinosinusitis sejak kali pertama
dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s.
aureus, staphylococcus koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative.

4
c. Jamur
Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi virus paranasal
dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukormikosis pula
merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang menjadi patogenik pada orang
yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna
pekat,gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida
bersama histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis
adalah kasus yang jarang mengenai hidung.
d. Alergi
Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan
suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang
mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari
antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim
membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul ,
misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi
akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit.
e. Kelainan anatomi dan struktur hidung
Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika
permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas
silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah
kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar.
f. Hormonal
Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama
menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas.
g. Lingkungan
Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada oleh lingkungan yang
berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama.
2.2.3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya “clearance”
mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernapasan.
Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan, maka apabila terjadi
edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu sehingga menyebabkan gerakan silia

5
terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya muncul tekanan negative di dalam rongga sinus yang
seterusnya menyebabkan terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous. Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media
pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari kejadian ini adalah sekret menjadi
purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan
memerlukan terapi antibakteri.
Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai
akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip
dan kista. Pada keadaan ini mungkin peril dilakukan tindakan operasi.

Gambar 2.3 Kompleks Osteo Meatal.

2.2.4. KLASIFIKASI
Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:
• Rinosinusitis akut : durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu
• Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu.
• Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu

6
• Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita episode
rinosinusitis, tapi episode lebih kurang durasinya 7-10 hari.
Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas:
• Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
• Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis seperti
infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).
2.2.5. GEJALA KLINIS
Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The American Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) telah membuat kriteria mayor dan minor
untuk mempermudahkan mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila
dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria
minor. Gejalanya menurut kriteria mayor dan minor adalah:
• Gejala Mayor :
- Obstruksi hidung
- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut
PND (Postnasal drip).
- Kongesti pada daerah wajah
- Nyeri /rasa tertekan pada wajah
- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)
- Demam (hanya pada akut)
• Gejala Minor:
- Sakit kepala
- Sakit/ rasa penuh pada telinga
- Halitosis/ nafas berbau
- Sakit gigi
- Batuk dan iritabilitas
- Demam (semua nonakut)
- Lemah

7
Gejala Subjektif
1. Nyeri
Nyeri yang timbul bersesuaian dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan yang aktif
bagian sinus maksila atau frontalis nyerinya biasanya sesuai dengan daerah yang terkena.
Manakala pada sinus etmoid dan sfenoid yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam
kepala. Tidak begitu jelas lokasi nyeri atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada
hubungan dengan lokasi sinus.
2. Sakit kepala
Pada penyakit sinus, jenis sakit kepalanya sering unilateral atau dimulai sebagai nyeri kepala
unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala akan meningkat pada posisi badan yang
membungkuk ke depan dan jika terjadi perubahan posisi secara tiba-tiba. Nyeri kepala akan
menetap saat menutup mata dan saat istirahat. Sakit kepala akibat sinus juga dikatakan sebagai
nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang menetap.
3. Nyeri pada penekanan
Pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah seperti sinus frontal, etmoid
anterior dan maksila, terdapat nyeri apabila disentuh atau nyeri pada penekanan jari. Nyeri tekan
pada os frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel
etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada
pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.
4. Gangguan penciuman Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.
Gejala Objektif
1. Pembengkakan dan edema
Pada infeksi akut sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid) dapat
terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Pada palpasi dengan
jari boleh didapatkan sensasi seperti ada penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering
pada sinus frontal.
2. Sekret nasal Kecurigaan terdapatnya peradangan pada sinus seharusnya sudah timbul
apabila adanya pus dalam rongga hidung. Pada sinus frontal, etmoid anterior dan maksila,
tandanya adalah terdapatnya pus pada meatus medius karena sinus-sinus ini bermuara ke
dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura olfaktorius, maka sel-sel etmoid posterior
dan sfenoid mungkin terkena karena sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior
di atas konka medius.
3. Transiluminasi
Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal,
tetapi tidak untuk sinus lainnya. Digunakan apabila tiada fasilitas radiologis. Pada
transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut
pasien dengan mata pasien terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan
sabit tidak ada maka kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus

8
frontal, cahaya diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita,
dan kedua sisi dibandingkan.
4. Cairan radioopak
Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar. Dengan adanya cairan
itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga penebalan mukosa dan adanya polip
dapat diketahui dan ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.
2.2.6. DIAGNOSA
Gambaran klinis
Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran
klinik, yaitu:
Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International
Conference on Sinus Disease 1993 & 2004

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat
dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus
medius atau di daerah meatus superior.
Rinoskopi anterior Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling
spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah pemeriksaan
yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian dekongestan topikal.
Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah
dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas.

9
Endoskopi nasal Di samping memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa rinosinusitis,
endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter
menggunakan menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang berikut :
- Gejala-gejala pasien sahaja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosa.
- Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang
tidak diketemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencitraan.
- Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal.
- Kultur endoskopik berguna untuk organisme yang menyebabkan rinosinusitis.
Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat
dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan
hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan
mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari
antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisma penyebab penyakit ini.
Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa :
1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos
gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang
meluas.
CT scan
CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya
kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis
kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi
yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata.
MRI
Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT scan, namun
MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik.
2.2.7. Terapi
Tujuan terapi rinosinusitis adalah untuk mempercepatkan penyembuhan, mencegah komplikasi,
dan mencegah progresifitas penyakit menjadi lebih kronik. Prinsip kerja pengobatan rinosinusitis
adalah dengan membuka sumbatan di kompleks osteo meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus
dipulihkan secara alami.

10
1. Rinosinusitis akut
Bagi pengobatan rinosinusitis akut, antibiotik empirik diberikan 2x24 jam. Di sini,obat lini
I golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan seperti dekongestan oral +
topikal, mukolitik digunakan untuk memperlancarkan drainase. Analgetik juga dapat
diberikan untuk menghilangkan rasa nyeri. Jika terdapat pembaikan, maka pemberian
harus diteruskan selama 10-14 hari.
Namun, apabila tidak ada kebaikan, antibiotik lini II diberikan selama 7 hari seperti
amoksisilin klavulanat, atau ampisilin sulbaktam, sefalosporin generasi II, makrolid dan
terapi tambahan. Setelah pemberian pengobatan ini terdapat pembaikan, maka pemberian
antibiotik diteruskan selama 10-14 hari. Namun apabila tidak terdapat pembaikan, maka
pasien harus dijalani foto rontgen polos, CT scan atau naso-endoskopi.
Menurut pemeriksaan ini,jika terdapat kelainan,seterusnya dilakukan terapi rinosinusitis
kronis. Jika tidak terdapat kelainan, maka harus dilakukan evaluasi diagnosa yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari sinus.
2. Rinosinusitis subakut
Pertama sekali harus diberikan pengobatan medikamentosa, dan apabila perlu sahaja maka
dibantu dengan tindakan diatermi atau pencucian sinus. Dari segi pengobatan, antibiotik
berspektrum luas diberikan sesuai dengan resistensi kuman selama 10-14 hari. Selain itu,
obatan simptomatis juga dapat diberikan seperti dekongestan. Obatan seperti analgetik,
antihistamin dan mukolitik juga dapat diberikan kepada pasien.
Tindakan diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy)
dilakukan sebanyak 5 hingga 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki atau
melancarkan vaskularisasi sinus. Setelah tindakan ini masih tidak ada pembaikan, maka
harus dilakukan pencucian sinus. Pada sinus maksila, ini dilakukan dengan pungsi irigasi
manakala pada sinus etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dilakukan
dengan cuci sinus cara Proetz,di mana prinsip kerjanya adalah dengan membuat tekanan
negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal.
3. Rinosinusitis kronis Pada penatalaksanaan rinosinusitis, jika diketemukan faktor
predisposisi, dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai bersama terapi tambahan. Jika
terdapat perbaikan setelah pemberian terapi, maka antibiotik yang diberi harus diteruskan
selama 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak diketemui, maka pemberian terapi sesuai
episode akut lini II dan terapi tambahan dapat diberikan. Sambil menunggu hasil pemberian
terapi, pasien dapat diberi antibiotik alternatif 7 hari atau dilakukan kultur.
Jika ada pembaikan, diteruskan pemberian antibiotic selama 10-14 hari. Namun, jika tidak
ada pembaikan, maka diteruskan proses evaluasi dengan pemeriksaan naso-endoskopi,
sinuskopi (jika irigasi sebanyak 5 kali tidak membaik). Jika terdapat obstruksi osteo meatal,
maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional.
Walaubagaimanapun, jika tidak ada obstruksi kompleks osteo meatal, maka dilakukan
kembali evaluasi diagnosa.
Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik
yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya berupa sinusitis kronik yang tidak

11
membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista, atau kelainan yang
irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur.
2.2.8. KOMPLIKASI
1. Kelainan pada orbita
Penyebab komplikasi ini adalah sinus ethmoidalis karena lokasinya yang terletak berdekatan
dengan mata. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun
sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi
orbita juga. Pada komplikasi ini terdapat lima tahapan:
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Ini terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini sering ditemukan pada anak, karena lamina papirasea
yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur
ini.
b. Selulitis orbita,di mana edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus masih belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus telah terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena
kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
2. Kelainan intracranial
a) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari
sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b) Abses dura, adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium, sering kali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh
nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
c) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan
otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu nyeri kepala yang membandel dan
demam tinggi dengan tandatanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul
sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam ruang
subarachnoid.
d) Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi
perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi
melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang
lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arachnoid hingga
ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks seebri.

12
3. Kelainan tulang
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus
frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan
menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk
abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi
tertutup.Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat
memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh.
4. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, Kista ini paling
sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya
tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan, mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
didekatnya.
5. piokel
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut
dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

2.2.9 PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantungan kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi
penyakit. Jika drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien
mempunyai prognosis yang baik. 5

13
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus
paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan
tulang di bawahnya., terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen,
nafas bau, post nasal drip.
Sinusitis disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu genetik, kondisi
kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor lingkungan yaitu infeksi bakteri,
trauma, medikamentosa, tindakan bedah. Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan
infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran
hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung,
barotrauma, berenang atau menyelam. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya
sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.
Gejala sinusitis berupa demam, malaise, nyeri kepala, wajah terasa bengkak dan
penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak (sewaktu naik atau turun tangga),
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung
dan berbau busuk.

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Rita Anggraini D. Anantomi Dan Fungsi Sinus Paranasal. Dalam: Jurnal Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan; 2005. Hal 15 - 50
2. Wardani, RS, Mangunkusumo E. 2010. Sinusitis. Buku ajat ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta Balai penerbit FKUI: 150-3
3. L. Adams, George, MD et all. BOIES buku ajar penyakit THT: Edisi 6 jakarta :
penerbit buku kedokteran
4. Thompon LDR. Sinosial carsinomas. Current diagnostic patholoy. Woodland
hill: USA, 2006; p. 57-98
5. Larry J. peterson. Contemporary oral dan maxillofacial surgery 4 th . Ed. Mosby.
2003.
6. Patel AM, Vaughan WC. Chronic Maxillary Sinusitis Surgical Treatment. May 19,
2005. Available from:http://www.emedicine.com.
7. Handley John G, Tobin Evan, Tagge bryan. The Nose and Paranasal Sinuses. in: Rakel
Robert E, editors. Textbook of family practice 6th editions. WB Saunders Company,
Philadelphia, 2001, p 446-453.
8. Johnson Jonas T, Ferguson Berylin J. Paranasal Sinuses. in: Cummings CW, Frederickson
JM, Harker LA, Krause CJ, Richardson M, editors. Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. Mosby, St Luois-Missouri, 1998, p 1059-1118.

15

Anda mungkin juga menyukai