Anda di halaman 1dari 9

ISSN 2338-7785

KEJAHATAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)


(TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG)

Mas Ahmad Yani


Universitas Muhammdiyah Jakarta
E-mail: masahmad_yani@yahoo.co.id
Abstrak: Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia dimulai sejak Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, telah menunjukkan arah positif. Namun, hasilnya belum optimal. Kenudian disusun Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang . Tujuan penelitian ini untuk membahas
seberapa jauh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dapat
diberlakukan secara efektif. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dengan pendekatan deskriptif, eksploratif, dan analitis. Dapat
disimpulkan antara lain bahwa: (1) adanya tindak pidana sebagaimana yang telah ditetapkan secara limitatif di dalam pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 terhadap dugaan adanya tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup jika ada dugaan
bahwa uang tersebut berasal dari tindak pidana korupsi misalnya, dengan catatan jika terdapat dua alat bukti sebagai bukti permulaan; (2)
tindak pidana pencucian uang secara kriminologis dikualifikasi sebagai kejahatan kerah putih (White Collar Crime), maka penggunaan
metode pembuktian terbalik menjadi sangat relevan, hanya saja di dalam pelaksanaannya masih tergantung pada kemauan hakim. Disarankan
agar semua unsur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dalam menghadapi kasus-kasus semacam ini, selain perlu integritas dan
dedikasi kuat, juga harus memiliki keahlian yang khusus dan memadai dibantu oleh ahli di bidang sistem keuangan atau perbankan.

Kata kunci: pencucian uang, metode pembuktian terbalik,

Abstract: Pretension of Money laundring in Indonesia has started since the act no. 15, 2002 about pretension of money laundry changes
into the act no. 15, 2003 and it shown a positive impact. Meanwhile, the act does not seem optimal. Therefore, the Indonesin parliament
constructs another act which is act no.8, 2010 about prevention and pretension of money. The objective of this study is to discuss about
how far the act no.8, 2010 about prevention and pretension of money laundry can be implemented effectively. The method used library study
with descriptive, explorative and analytic approaching. It can be concluded that: 1. Occurs some criminal offense as it is limited implemented
in the second clause of act no. 8, 2010 towards money laundry presumption, does not need pre verification as long as the money came from
corruption with the record of 2 proof as the initial proof. 2. Money laundry in criminology is qualified as white collar criminalization,
therefore using inverse method is relevant, but in the implementation it is depended on the judge’s will. The suggestion that, all the element
of law enforcement and the criminal justice system should have well integration and dedication in this kind of cases meanwhile special skills
regarding the financial system and the support from financial expert are needed.

Key words: money laundring, inverse method.

PENDAHULUAN sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban


Latar belakang penulisan makalah ini berdasarkan pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya
adanya Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang
Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang- jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Undang-Undang ini.
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Berdasarkan hal tersebut, maka disusun Undang-
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai
Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah pengganti Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
yang positif. Namun demikian, upaya yang dilakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang
tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-
peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda- Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam
beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, antara lain: (1)

E-Journal WIDYA Yustisia 20 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana money loundering adalah legalitas dari sumber uang,
Pencucian Uang, (2) penyempurnaan kriminalisasi tindak pendapatan atau kekayaan yang berasal dari
pidana Pencucian Uang, (3) pengaturan mengenai aktivitas/kegiatan illegal . Dengan demikian money
penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrative, (4) loundering dapat dinyatakan sebagai suatu cara atau
pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa proses untuk mengubah uang yang sebenarnya dihasilkan
(5) perluasan Pihak Pelapor, (6) penetapan mengenai jenis dari kegiatan haram /illegal menjadi seolah-olah berasal
pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya, dari hasil kegiatan yang halal .
(7) penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan, (8) Menurut Neil Jensen (Austrac) & Rick MC Donald
pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia (2009,152) Money
menunda Transaksi, (9) perluasan kewenangan Direktorat laundering sebagai proses perubahan keuntungan dari
Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai yang melawan hukum menjadi aset keuangan yang terlihat
dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar berasal dari sumber yang sah. Sedangkan Amin Sunaryadi
daerah pabean, (10) pemberian kewenangan kepada merumuskan money laundering sebagai proses perubahan
penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak keuntungan yang didapat dari kegiatan melawan hokum
pidana Pencucian Uang, (11) perluasan instansi yang menjadi asset keuangan yang berasal dari sumber yang
berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, tidak melawan hukum. (BPK,1999,471). Sarah N Welling
(12) penataan kembali kelembagaan PPATK, (13) (1992,257), menyatakan bahwa:
“money loundering is the process by wich one conceals the existence,
penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan
illegal source illegal application of income, and than disguises that
untuk menghentikan sementara Transaksi, (14) penataan income to make it appear legitimate,”
kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Sedangkan Pamela H Bucy (1992,8) mengartikan bahwa;
“money loundering as concealment of the existence, nature or illegal
Pencucian Uang; dan (15) pengaturan mengenai penyitaan source of illicit funds in such a manner that the funds will appear
Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. legitimate if discovered”.
Tujuan penulisan makalah ini untuk membahas Tujuan Menurut Sutan Remy Sjahdaeni (2003,6), money
seberapa jauh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 loundering yaitu rangkaian kegiatan yang merupakan
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi
Pencucian Uang, dapat diberlakukan secara efektif. Metoda terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari
yang digunakan adalah kajian kepustakaan dengan kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau
pendekatan deskriptif eksploratif. meyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau
otoritas yang berwenang melakukan tindakan terhadap
PEMBAHASAN tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang
Kejahatan Pencucian Uang tersebut ke dalam sistem keuangan sehingga uang tersebut
Istilah Money Laundering sebenarnya belum lama selanjutnya dapat dikeluarkan dari system keuangan itu
dipakai dimana untuk pertama kalinya digunakan oleh sebagai uang yang halal.
surat kabar dalam memberitakan skandal Watergate yang Menurut Convention against Transnasional Organized
melibatkan Presiden Nixon di Amerika Serikat pada tahun Crime, Kejahatan pencucian uang (money loundering)
1973. Sedangkan sebagai istilah hukum muncul untuk merupakan salah satu bentuk Transnasional Organized
pertama kalinya tahun 1982 dalam perkara US vs Crime, di samping korupsi, penyelundupan orang asing
$4,255,625.39. (1982) 551 F Supp.314. Sejak tahun itulah (migrant), dan perdagangan wanita dan anak-anak.
menurut Billy Steel istilah ini dipakai secara resmi di Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang
seluruh dunia. (http/www.laundryman.u-net.com). Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-
Sebagai istilah hukum, yang dipersoalkan dalam undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

E-Journal WIDYA Yustisia 21 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

Pencucian Uang memberikan pengertian yaitu sebagai Melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, menerbitkan Letter of Credit (L/C) dengan cara
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, memalsukan dokumen dokumen dan bekerja sama dengan
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau oknum terkait, (5) Mendirikan/memanfaatkan/melakukan
perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya prakteik bank gelap.
atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan Proses pencucian uang biasanya dilakukan melalui
maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal- tiga tahap, yaitu: (1) Placement ; adalah penempatan
usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta uang/asset hasil kejahatan pada sistem keuangan baik
kekayaan yang sah. yang berada di dalam negeri maupun luar negeri dengan
Pengertian tindak pidana pencucian uang sebagaimana tujuan untuk memindahkan uang/asset tersebut dari sumber
tersebut di atas, kemudian diredefinisi oleh Undang- asalnya. Untuk menghindarkan pengawasan pihak
Undang Nomor 8 Tahun 2010 melalui pasal 1 angka 1 berwajib, uang/asset tersebut biasanya dikonversi ke
yang menyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang dalam bentuk asset yang berbeda, misalnya dengan
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur memanfaatkan instrument perbankan seperti
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang- deposito/tabungan atas nama orang lain, traveller cheque,
Undang ini. Dalam kaitan ini, pengertian tindak pidana giro, e-cash, dan lain-lain. Modus lainnya adalah
pencucian uang secara definitive dapat dilihat dalam menggabungkan uang hasil kejahatan dengan uang hasil
beberapa perbuatan dan ancaman pidana sebagaimana kegiatan yang sah dalam satu instrumen perbankan, (2)
tersebut dalam pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, dan pasal Layering; adalah pelapisan uang haram untuk
7 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang memperpanjang jalur pelacakan dengan cara melakukan
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian berlapis-lapis transaksi keuangan yang dirancang untuk
Uang. menghilangkan jejak dan menciptakan anonim. Modus
Selain itu ada pihak yang hanya memberikan contoh operasinya adalah dana ditransfer ke luar negeri misalnya
tentang kegiatan money loundering, misalnya Basle sebagai bagian dari pembayaran impor melalui LC yang
Committee pada Desember 1988 dalam Statement on dibayarkan kepada perusahaan yang sah. Modus lainnya
Prevention of Criminal Use of the Banking System for dapat pula dilakukan melalui pembukaan rekening bank
the Purpose of Money Loundering menyebutkan: atas nama sebanyak mungkin perusahaan-perusahaan
Criminal and their associates use the financials system to make
payment and tsransfers of funds from one account to another, and to fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, (3)
provide to storage for bank note through a safe-deposite facility this Integration; adalah penempatan uang/aset hasil kejahatan
activities are commonly referred to as money loundering. (Robert
C.Effros 1994,327) yang telah melalui tahap placement dan layering untuk
Modus Operandi Money Loundering menjadi uang/ asset yang benar-benar terlihat legal. Pada
Pada tindak pidana money loundering (pencucian tahap ini, uang/asset tersebut diintegrasikan ke dalam
uang), instrument dalam system keuanganlah yang paling sistem keuangan yang legal dan diasimilasikan dengan
dominan dan banyak digunakan (modus), terutama semua uang/ asset yang ada. Pelaku dalam hal ini berusaha
instrument keuangan yang ditawarkan oleh sector untuk menjelaskan bahwa uang/asset yang dimiliki adalah
perbankan. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang berasal dari kegiatan dan transaksi yang sah. Dari
dapat berupa: (1) Menyimpan uang hasil tindak pidana uang/asset yang telah terintegrasi inilah, pelaku kemudian
dalam bentuk tabungan /deposito/rekening koran/giro melakukan transaksi/pembayaran-pembayaran dengan
dengan nama palsu, (2) Menukar pecahan uang hasil memanfaatkan instrumen bank. Modus operandinya adalah
kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau dilakukan transaksi yang bersih. Dana yang telah terlapis
lebih kecil, (3) Menggunakan fasilitas transfer, (4) tadi baru kemudian digunakan untuk melakukan

E-Journal WIDYA Yustisia 22 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

pembayaran atas transaksi yang dilakukan dengan/melalui atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
lembaga keuangan biasa sebagai bagian dari transaksi dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
yang sah. Misalnya untuk melakukan pembayaran utang menurut hukum Indonesia.
atau tagihan- tagihan lainnya. Adapun di dalam pasal 2 ayat (2) dari Undang-undang
Berbagai tahapan dalam proses pemutihan uang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dinyatakan
setidaknya empat faktor yang menjadi tujuan pencucian bahwa: ”Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
uang, yakni: (1) merahasiakan siapa pemilik sebenarnya akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau
dari uang yang diperoleh dari hasil kejahatan tersebut; tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris,
(2) memperoleh bentuk penempatan/pelapisan/integrasi atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak
atas uang yang diperoleh dari hasil kejahatan tersebut ke pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
dalam sistem/instrumen keuangan yang mudah di bawa Dapat dinyatakan bahwa pencucian uang merupakan
ke mana-mana, misalnya ke dalam instrumen Traveller proses atau rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Cheque; (3) merahasiakan proses pencucian uang sehingga seseorang atau suatu korporasi/badan usaha/organisasi
sulit untuk dilacak, dan (4) mudah diawasi oleh pemilik dalam memperlakukan uang haram yang berasal dari
sebenarnya dari uang hasil kejahatan ini. Sebagai catatan, tindak pidana sebagai tersebut dalam pasal 2 ayat (1) dan
bahwa untuk kasus di Indonesia, money laundering makin ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 2010, yang
mudah dilakukan antara lain karena Traveller Cheque dimiliki/diterimanya/ dikuasainya dengan cara
misalnya dapat dijual tanpa memerlukan tanda tangan menyamarkan atau memasukkan uang tersebut dalam
dan identitas pembeli atau penjual dan Pelaku Money system keuangan (financial system), sehingga uang tersebut
Laundering dapat berupa institusi keuangan maupun dapat dikeluarkan/dicairkan atau dipindah bukukan dari
kalangan profesional seperti Fund Manajemen, Reksadana, sistim keuangan tersebut sebagai uang/transaksi keuangan
Bank, dan Asuransi. Sedangkan kalangan profesional yang sah.
seperti Akuntan, Pengacara, atau Bankir. Untuk mengatasi masalah tersebut, di dalam Undang-
Sumber Perolehan Uang Dalam Money Laundering undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Di dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah
8 Tahun 2010 dinyatakan bahwa hasil tindak pidana adalah diantisipasi melalui ketentuan sebagaimana diatur dalam
Harta Kekayaan yang diperoleh berasal dari tindak pidana: pasal 34, 35, dan 36. Pasal-pasal tersebut selengkapnya
(a). korupsi; (b). penyuapan; (c). narkotika; (d). mengatur hal- hal sebagai berikut:
Pasal 34 ayat (1) ; Setiap orang yang membawa uang tunai
psikotropika; (e). penyelundupan tenaga kerja; (f). dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau instrumen
penyelundupan migran; (g). di bidang perbankan; (h). di pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup
bayar, atau bilyet giro paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
bidang pasar modal; (i). di bidang perasuransian; (j). rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar
kepabeanan; (k). cukai; (l). perdagangan orang; (m). daerah pabean Indonesia, wajib memberitahukannya kepada Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
perdagangan senjata gelap; (n). terorisme; (o). penculikan; Pasal 34 ayat (2) : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib
(p). pencurian; (q). penggelapan; (r). penipuan; (s). membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pemalsuan uang; (t). perjudian; (u). prostitusi; (v). di menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak diterimanya pemberitahuan.
bidang perpajakan; (w). di bidang kehutanan; (x). di Pasal 34 ayat (3) : PPATK dapat meminta informasi tambahan
bidang lingkungan hidup; (y). di bidang kelautan dan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang
tunai dan/atau instrument pembayaran lain sebagaimana dimaksud
perikanan; atau (z). tindak pidana lain yang diancam pada ayat (1).
dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang Pasal 35 ayat (1): Setiap orang yang tidak memberitahukan
pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi

E-Journal WIDYA Yustisia 23 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari dalam daftar negara-negara yang tidak dapat bekerja sama
seluruh jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang
dibawa dengan jumlah paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus memerangi tindakan pencucian uang, misalnya dalam hal
juta rupiah). transaksi keuangan perbankan, dan perdagangan
Pasal 35 ayat (2): Setiap orang yang telah memberitahukan
pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain Internasional yang pada akhirnya dapat menimbulkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), tetapi jumlah uang
tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa lebih besar kerugian bagi Negara Indonesia.
dari jumlah yang diberitahukan dikenai sanksi administratif berupa Berdasarkan kondisi di atas, maka pada tanggal 13
denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari kelebihan jumlah uang
tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa dengan Oktober 2003 disahkan Undang-undang Nomor 25 tahun
jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 35 ayat (3) : Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
2003 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15
pada ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan pembawaan uang tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
tunai diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan disetorkan
ke kas negara oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. dengan pertimbangan antara lain untuk menghindari
Pasal 35 ayat (4): Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus sanksi-sanksi terkait dengan masalah transaksi perbankan
membuat laporan mengenai pengenaan sanksi administrative
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan maupun perdagangan internasional.
menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak sanksi administratif ditetapkan. Hal yang menarik dari Undang-Undang Nomor 25
Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang
pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain,
pengenaan sanksi administratif, dan penyetoran ke kas negara Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Uang ini terlihat dari adanya kewajiban bank untuk
Money Loundering sebagai Kejahatan Transnasional melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan kepada
dan Terorganisir Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Sebagai jenis kejahatan transnasional yang terorganisir, (PPATK), padahal di sisi lain berdasarkan Undang-undang
money laundering, tidak hanya merupakan tanggung Perbankan, bank diwajibkan untuk merahasiakan
jawab negara per-negara, tetapi sudah merupakan nasabahnya. Antara lain berdasarkan kondisi tersebut,
kewajiban seluruh negara yang dapat diwujudkan dalam selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 2010 telah lahir
kerjasama regional atau internasional melalui forum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
bilateral maupun multilateral. Menurut Edi Setiadi dan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang
Rena Yulia (2010:147), sebagai sesuatu yang sifatnya mencabut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
baru dikenal dan masih berkembang di Indonesia, Undang- Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002
undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pencucian Uang, memang masih belum sempurna, dan Dalam Undang-undang yang terakhir itu, antara
disinyalir pada saat itu masih banyak mengandung lain, fungsi, tugas dan kewenangan PPATK kemudian
kelemahan. Seperti di antaranya yang dikemukakan oleh lebih diperluas, termasuk dalam hal kerahasiaan nasabah
Financial Action Task Force (FATF) yaitu suatu organisasi bank, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 45 UU Nomor
internasional anti money loundering yang memandang 8 Tahun 2010, bahwa ; dalam melaksanakan
dari sudut substansial bahwa Undang-undang tersebut kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam undang-
masih belum memenuhi standar internasional, sehingga undang ini, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan
Indonesia masih dimasukkan dalam list of uncooperation peraturan perundang-undangan dan kode etik yang
nations in the fight against money loundering (daftar mengatur kerahasiaan.
negara-negara yang tidak dapat bekerja sama memerangi Dengan berlakunya ketentuan itu, maka PPATK
tindakan pencucian uang) dan dipandang sebagai tempat dalam rangka pemeriksaan terhadap transaksi keuangan
yang aman bagi para pelaku pencucian uang. FATF sebagai yang diduga sebagai hasil tindak pidana sebagaimana
Organisasi Internasional dalam kiprahnya dapat ditentukan dalam pasal 2 UU Nomor 8 tahun 2010, dapat
memberikan sanksi terhadap negara-negara yang masuk menerobos atau merupakan pihak yang dikecualikan oleh

E-Journal WIDYA Yustisia 24 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

undang-undang dari ketentuan-ketentuan yang mengatur modus operandinya selain memerlukan sarana/ prasarana
kerahasiaan, termasuk kerahasiaan bank. yang lengkap dan canggih, juga perlu kepiawaian/
Dua Bentuk Pidana dan Masalah Pembuktiannya. kepintaran atau kewenangan tertentu untuk
Dalam tindak pidana pencucian uang, setidaknya mengoperasikan system keuangan, sehingga Penyelidik
terkait dua bentuk tindak pidana. Pertama berupa tindak atau Penyidik dapat menelusuri asal-usul uang yang
pidana yang menghasilkan uang haram, dan yang kedua diduga sebagai uang haram tersebut.
tindak pidana pencucian uangnya itu sendiri. Dalam hal Praktik yang demikian, dalam kajian kriminologi
ini, misalnya uang yang diperoleh karena hasil korupsi, dikualifikasi sebagai kejahatan kerah putih (White Collar
atau hasil perjudian, hasil penculikan, hasil terorisme, Crime). Oleh karena itu, semua unsur penegak hukum
hasil pelacuran, hasil tindak pidana penyelundupan tenaga dalam sistem peradilan pidana dalam menghadapi kasus-
kerja, dan lain sebagainya itu, keberadaan uang tersebut kasus semacam ini, perlu memiliki keahlian/keterampilan
harus dibuktikan terlebih dahulu apakah sebagai uang khusus dan memadai serta perlu pula dibantu oleh ahli
hasil tindak pidana atau bukan, sehingga dapat di bidang sistem keuangan atau perbankan. Dalam kaitan
dikualifikasi atau diklasifikasi sebagai tindak pidana inilah, peran dan fungsi Pusat Pelaporan dan Analisis
pencucian uang. Untuk menjawab persoalan tersebut, kita Transaksi Keuangan (PPATK) sangat diperlukan.
dapat mengacu selain pada pasal 3, 4, 5, dan pasal 6, juga Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
telah ditegaskan dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor Keuangan (PPATK)
8 tahun 2010. Dalam pasal 69 dinyatakan bahwa untuk Dalam pasal 37 ayat (1) Undang –Undang Nomor
dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan bahwa PPATK
Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat
asalnya. independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh
Berdasarkan ketentuan ini, maka adanya tindak kekuasaan mana pun. Ayat (2) menyatakan : PPATK
pidana sebagaimana yang telah ditetapkan secara limitatif bertanggung jawab kepada Presiden. Ayat (3): Setiap
di dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, Orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan
tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Misalnya untuk terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
tindak pidana pencucian uang yang diduga berasal dari Adapun ayat (4): PPATK wajib menolak dan/atau
tindak pidana korupsi, menurut Edi Setiadi dan Rena mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak
Yulia (2010,178), cukuplah jika ada pengetahuan atau mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan
dugaan bahwa uang tersebut berasal dari perbuatan korupsi, kewenangannya.
dengan catatan jika sudah terdapat paling tidak dua alat Fungsi PPATK ini ini sangat penting karena merupakan
bukti sebagai bukti permulaan yang dianggap cukup. salah satu entry point (pintu masuk) untuk membongkar
Dalam kaitan ini, penggunaan metode pembuktian terbalik kasus/praktik pencucian uang. Fungsi ini mirip dengan
menjadi sangat relevan. atau semacam Financial Intelegence Unit yang diberikan
Permasalahannya adalah bagaimana para Penyelidik otoritas sebagai lembaga yang dapat menyelidiki keluar-
atau Penyidik mampu atau dapat menggunakan metode masuk/ mutasi atas suatu transaksi keuangan yang
pembuktian terbalik sehingga dapat mengumpulkan dua menggunakan sistem keuangan dan perbankan, sehingga
alat bukti tersebut untuk mengungkap kasus pencucian berfungsi strategis dalam memberantas praktik pencucian
uang ? Padahal di sisi lain, disadari pula bahwa untuk uang, baik secara preventif maupun represif. Namun
membuktikan perbuatan pidana pencucian uang akan demikian dalam masalah pelaksanaan pembuktian terbalik,
mengalami kesulitan atau kerumitan, mengingat bahwa peran PPATK masih sangat tegantung pada kehendak

E-Journal WIDYA Yustisia 25 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

hakim. “tidak wajib” atau “tidak harus” dan sangat tergantung


Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun pada kemauan/ kehendak hakim itu sendiri.
2010, persoalan untuk melaksanakan kewajiban Dalam kaitan ini, persoalan yang terjadi dalam
pembuktian terbalik nampaknya sudah disadari oleh pelaksanaan pasal 35 Undang undang Nomor 15 Tahun
pembentuk Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang 2002 seperti telah diuraikan sebelumnya, yang seharusnya
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian telah tuntas diatasi dan disempurnakan melalui Undang-
Uang. Ketentuan seperti yang tertuang dalam pasal 35 Undang nomor 8 Tahun 2010, nampaknya masih
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002, saat ini dapat menyisakan persoalan sama dalam hal pelaksanaan
dilihat dengan redaksi yang kurang lebih sama pada pasal ketentuan pembuktian terbalik, yakni masih menyisakan
77 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, yang debatable, dan mengandung ketidak pastian hukum.
menyatakan bahwa : Untuk kepentingan pemeriksaan di Faktor Penyebab Money Laundering
sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa 1. Dampak Kemajuan Teknologi dalam Sistem
Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Transfer Keuangan.
Di dalam penjelasan pasal ini sudah dinyatakan “cukup Timbulnya praktik money loundering dapat dikatakan
jelas”. sebagai dampak dari kemajuan teknologi dalam sistem
Dengan demikian, penjelasan pasal 77 Undang- transfer keuangan, karena pengiriman keuangan /pemindah
Undang Nomor 8 tahun 2010 telah menjawab masalah bukuan keuangan secara elektronik dapat berlangsung
yang timbul akibat penjelasan pasal 35 Undang-Undang mudah dan hanya dalam waktu beberapa detik saja,
Nomor 15 tahun 2002 yang justru menimbulkan ketidak misalnya dengan memanfaatkan Automatic Teller
jelasan. Namun demikian, jika kita perhatikan ketentuan Machines (ATM) atau Anjungan Tunai Mandiri (ATM),
yang terdapat dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 dan Electronic Wire Transfer. Kemajuan teknologi di
Tahun 2010, nampaknya juga masih menimbulkan bidang transfer keuangan ini memudahkan tumbuh
ketidaktegasan dalam pelaksanaan pembuktian terbalik suburnya praktik Money loundering, karena: (a) tidak
ini. Persoalannya juga berasal dari penjelasan pasal ini memiliki geographic horizon,(b) beroperasi selama 24
yang justru menyatakan “cukup jelas”. Padahal seharusnya jam, serta (c) memiliki kecepatan bertransaksi secara
justru harus ada penjelasan. Sebab, di dalam bunyi pasal elektronik.
78 (1) tersebut dinyatakan, bahwa “dalam pemeriksaan Wire transfer merupakan cara cepat dan tepat dalam
di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal pencucian uang, karena dapat mengakses pada lembaga
77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan keuangan di negara manapun, melakukan pemindahan
bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan uang atau pemindah bukuan keuangan (dalam wilayah
berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana domestik maupun internasional) dalam jumlah besar dari
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)”. aktivitas illegal yang sulit dilacak oleh penegak
Pernyataan “hakim memerintahkan” dalam pasal hukum.dalam kaitan ini dapat dinyatakan bahwa kemajuan
78 ayat (1) tersebut di atas, merupakan pernyataan yang teknologi tidak selamanya berdampak positif bagi negara
belum sampai pada ukuran atau derajat yang menegaskan, dan masyarakat. kemajuan kadang-kadang justru
apakah kalimat tersebut sudah sampai pada tahap dan menyebabkan tumbuh dan berkembangnya kejahatan,
mengandung arti kewajiban/keharusan atau masih dalam khususnya kejahatan kerah putih (white collar crime),
tahap dan mengandung arti kebolehan yang sifat dan yang dikonstatir oleh para ahli bahwa kejahatan kerah
derajatnya sama dengan kata “dapat memerintahkan”, putih ini pun sudah tidak lagi mengenal batas- batas
yang berarti pula “tidak wajib”/ “tidak harus”. Sehingga wilayah negara. dalam kaitan ini, pelaku kejahatan selalu
kalimat “hakim memerintahkan”, bisa jadi akan bermakna berusaha untuk menyelamatkan uang hasil kejahatannya

E-Journal WIDYA Yustisia 26 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

dengan berbagai cara, salah satunya melalui praktik money PENUTUP


loundering. Kesimpulan
2. Dampak Perkembangan Globalisasi Ekonomi. 1. Adanya tindak pidana asal sebagaimana yang telah
Perkembangan globalisasi ekonomi telah menyebabkan ditetapkan secara limitatif di dalam pasal 2 Undang-
terbukanya ekonomi negara bagi arus dana dari negara- Undang Nomor 8 tahun 2010 terhadap dugaan tindak
negara maju. Kebijakan pemerintah Indonesia yang pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih
dahulu, cukup jika ada pengetahuan atau dugaan bahwa
membuka kran selebar-lebarnya bagi penanaman modal
uang tersebut berasal dari tindak pidana korupsi, misalnya,
asing jika tidak dilakukan secara cermat dan akurat akan
dengan catatan jika terdapat dua alat bukti sebagai bukti
berdampak negatif, yaitu terbukanya potensi masuknya
permulaan.
arus money laundering dari Negara-negara lain ke
2. Pembuktian untuk perbuatan tindak pidana pencucian
Indonesia. Kekhawatiran ini cukup beralasan jika dilihat
uang itu sendiri masih mengalami kesulitan atau kerumitan,
dari adanya kenyataan sering dijumpai kejahatan-kejahatan
mengingat bahwa modus operandinya selain memerlukan
yang melibatkan orang asing di Indonesia semakin sarana/ prasarana yang lengkap dan canggih, juga Tindak
meningkat. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh orang- pidana pencucian uang secara kriminologis dikualifikasi
orang yang ingin mendapatkan keuntungan secara cepat sebagai kejahatan kerah putih (White Collar Crime), yang
tapi tidak halal, misalnya mempraktikkan penyelamatan sulit dibuktikan.
uang dari hasil kejahatan narkotika, pelacuran, 3. Sekalipun peran dan fungsi Pusat Pelaporan dan Analisis
penyelundupan, penjualan senjata api illegal, dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang sangat diperlukan
sebagainya. telah diperluas untuk membantu tugas penyidik dalam
Kebijakan pemerintah yang terbuka dalam bidang penggunaan metode pembuktian terbalik untuk
penanaman modal asing ditambah dengan krisis yang mengungkap kasus- kasus di bidang pencucian uang.
melanda Indonesia, memungkinkan praktik-praktik money Akan tetapi di dalam pelaksanaannya, penggunaan metode
laundering tumbuh subur. Menurut Edi Setiadi (2010:151), pembuktian terbalik, masih sangat tergantung pada
perangkat hukum dan tingkat profesionalisme aparat kemauan/kehendak hakim untuk pelaksanaannya.
penegak hukum di Indonesiapun masih belum baik,
Saran-saran
sekalipun Indonesia telah memiliki perangkat Undang-
1. Untuk memperoleh dua alat bukti yang cukup, Petugas
undang tentang pemberantasan pencucian uang, tapi
Penyelidik dan Penyidik dalam sistem peradilan pidana
Indonesia masih dipersepsi oleh pandangan dari Negara-
perlu diberikan kewenangan tertentu untuk
negara lain sebagai surga bagi praktik pencucuian uang,
mengoperasikan sistem keuangan, sehingga Penyelidik
dan kenyataannya memang undang-undang yang ada tidak
atau Penyidik dapat menelusuri asal-usul uang yang
dapat berlaku secara efektif untuk memberantas kejahatan
diduga sebagai uang haram tersebut.
ini. Keberhasilan undang-undang ini dalam memberantas 2. Semua unsur penegak hukum dalam sistem peradilan
tindak pidana pencucian uang tergantung kepada pidana, juga harus memiliki keahlian/keterampilan yang
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bea cukai, para regulator khusus dan memadai dengan dibantu oleh ahli di bidang
di bidang keuangan seperti; Bank Indonesia, Departemen sistem keuangan atau perbankan.
Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal, penyedia 3. Penggunaan metode pembuktian terbalik menjadi
jasa keuangan yaitu (perbankan, asuransi, perusahaan sangat diperlukan dan relevan sekali, oleh karenanya
pembiayaan, pengelola dana reksa, dan perusahaan efek), diusulkan agar pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor
serta peran media masa dan masyarakat. 8 Tahun 2010 dihapuskan saja, sebab masih menimbulkan

E-Journal WIDYA Yustisia 27 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013


Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8
Mas Ahmad Yani, 20 - 28 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

multi tafsir, dan penggunaan metode pembuktian terbalik Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang;
tidak tergantung pada kemauan hakim. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang;
DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP),Strategi Pencegahan dan Pemberantasaan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Pemberantasan Korupsi Nasional, Edisi maret 2000.
Robert C Effros, Current legal Issues Affecting Central Bank”. (ed.)
Billy Steel, “Money Loundering-What is Money Vol.2, International
oundering,”http/www.laundryman.u-net.com. Monetery Fund, Washington,1994.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Sarah N Welling,Smurfs, Money Laundering,and The United States,
Criminal Federal Law”,
Yogyakarta, 2010.
Sutan Remy Sjahdaeni, Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah, Faktor-
Pamela H Bucy, White Collar Crime: Cases and materials, West faktor Penyebab dan Dampaknya bagi Masyarakat, Jurnal
Publishing Co, St.Paul Minn,1992. Hukum Bisnis, Vol.22 No.3, Tahun 2003.

E-Journal WIDYA Yustisia 28 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013

Anda mungkin juga menyukai