Anda di halaman 1dari 12

Obat tradiasional adalah obat yang dibuat dari bahan atau paduan bahan-bahan yang

diperolah dari tanaman, hewan atau mineral yang belum berupa zat murni. Obat
tradiosional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, hewan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut,
yang secara tradisioana; telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengamalaman. (Ditjen, POM, 1999)
Jenis dan sumber obat tradisional
1. Jamu
Adalah obat tradisional yang disediaan secara tradisional, misalnya dalam
bentuk serbuk seduhan, oil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman
yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional.
Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan
leluhur yang dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak 5-
10 macam bahkan lebih. Bentuk sediaanya berwujud sebagai serbuk
seduhan, rajangan untuk seduhan.
2. Obat Herbal Terstandar
Adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan
alam yang dapat berupa tanaman obat , hewan maupun mineral. Untuk
melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang mendukung dengan
pengetahuan maupun keterampilan pembuatan ekstrak. Jenis ini pada
umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmih berupa penelitian-
penelitian pra-klinik seperti stndar kandungan bahan berkhasia, standar
pembuatan ekstrak tanaman obat, standar pembuatan obat tradisional yang
higienis, dan uji toksisistas akut maupun kronis.
3. Fitofarmaka
Adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamananya dan khasiatnya.
Bahan bakunya terdiri dari simplisia atai sedian galenik yang telah
memenuhi persyaratan yang berlaku. Fitofarmaka merupakan bentuk obat
tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan bat modern
karena proses pembuatanya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti
ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia.

A. SAINTIFIKASI JAMU
Saintifikasi Jamu adalah upaya dan proses pembuktian ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Tujuan adalah untuk memberikan
landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan juga untuk meningkatkan kegiatan
penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu. Selain itu untuk
meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun
dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Tujuan Saintifikasi jamu adalah :
1. Memberikan landasan bukti ilmiah (evidence base) penggunaan jamu
melalui penelitian berbasis pelayanan,
2. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif
3. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman dan berkhasiat teruji secara
ilmiah, baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan
kesehatan.
Untuk menjalankan program Saintifikasi Jamu tersebut, berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1334 tahun 2010 dibentuklah Komisi Nasional Saintifikasi
Jamu (Komnas SJ). Tugas dan wewenang Komnas SJ adalah:
1. Membina pelaksanaan Saintifi kasi Jamu
2. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu
3. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu
(metodologi penelitian jamu)
4. Mengusulkan kepada Kepala Badan Litbangkes bahan jamu, khususnya segi budi
daya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan, yang layak digunakan untuk
penelitian
5. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta
organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang
produksi jamu
6. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek penelitiannya
7. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifi kasi jamu
8. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik,
hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang
memerlukannya
9. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen,
penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum serta sertifi kasi kompetensi
10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian pelayanan
termasuk perpindahan metode/upaya antara kuratif dan non kuratif hasil penelitian
pelayanan praktik/ klinik jamu
11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan
rujukan pelayanan jamu kepada Menteri melalui Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
12. Membina Komisi Daerah Saintifi kasi Jamu di Provinsi atau Kabupaten/Kota
13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifi kasi
Jamu kepada Menteri.
Saintifikasi jamu adalah upaya untuk mengangkat jamu agar dapat
mempunyai nilai ilmiah. Bahan-bahan jamu atau campuran jamu ini didukung oleh
data-data uji praklinik pada hewan coba baik in vitro dan uji klinik terbatas pada
sejumlah pasien. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan
bahwa 50% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan
maupun untuk pengobatan karena sakit. Data Riskesdas ini menunjukkan bahwa,
jamu sebagai bagian dari pengobatan tradisional, telah diterima oleh masyarakat
Indonesia. Meskipun pengobatan tradisional, termasuk jamu, sudah banyak
digunakan oleh tenaga kesehatan profesional maupun battra, namun banyak tenaga
profesional kesehatan yang mempertanyakan pengobatan tradisional (jamu) dalam
pelayanan kesehatan formal. Hal ini bisa dimengerti, karena sesuai dengan Undang-
undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter/dokter gigi dalam
memberikan pelayanan kesehatan harus memenuhi standar pelayanan medis, yang
pada prinsipnya harus memenuhi kaidah praktik kedokteran berbasis bukti
(evidence based medicine) (DKK Sukoharjo, 2014).

Dengan kata lain, pengobatan tradisional (jamu) masih memerlukan bukti


ilmiah yang cukup untuk dapat digunakan oleh tenaga profesional kesehatan.
Dalam rangka menyediakan bukti ilmiah terkait mutu, keamanan, dan manfaat obat
tradisional (jamu), maka Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian
Kesehatan RI, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
03/MENKES/PER/2010 tentang Saintifikasi Jamu. Saintifikasi Jamu adalah
pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Salah
satu tujuannya adalah memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan
jamu secara empirik melalui penelitian berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana
pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik jamu.
Penelitian dan pengembangan kesehatan merupakan salah satu sumber daya
kesehatan dalam rangka pembangunan kesehatan dalam rangka mengantisipasi
persaingan global di bidang jamu dan tersedianya jamu yang aman, memiliki
khasiat nyata yang teruji secara ilmiah. Jamu yang aman dan bermutu dapat
dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (DKK
Sukoharjo, 2014).

Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif,


promotif, rehabilitative dan paliatif. Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif
hanya dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementer alternatif
setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup. Pengobatan komplementer
alternative adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitative yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan
kualitas, keamanan, dan efektifitas yang tinggi yang berlandaskan ilmu
pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional
(DKK Sukoharjo, 2014).

Dalam Saintifikasi Jamu, karena pelakunya adalah dokter, maka pendekatan


yang kita usulkan untuk digunakan adalah kedokteran integratif (integrative
medicine). Pada dasarnya kedokteran integratif adalah pendekatan
mengkombinasikan kedokteran konvensional dengan komplementer alternatif.
Definsi kedokteran integratif adalah sintesis yang optimal dari kedokteran
konvensional dan alternatif yang dipraktikkan dengan pendekatan pribadi pasien
secara utuh (holistic) dilaksanakan dengan prinsip kesucian dan kemanusiaan.
Integrative medicine is an optimal synthesis of conventional and alternative
medicine practiced with a whole person approach delivered with reverence and
humanism (Wisneski & Anderson, 2009). Dengan pendekatan kedokteran
integratif, diharapkan metodologi program Saintifikasi Jamu, yang menggunakan
tenaga dokter konvensional sebagai pelaku di lapangan, dapat dijembatani atau
bahkan diperluas keilmuannya antara paradigma alopatik dan naturalistik. Hal ini
sebagaimana telah dikembangkan di beberapa universitas di Amerika (University
of Georgia, University of Arizona) dan juga di National Institute of Health
Amerika, bahwa kedokteran integratif adalah kedokteran yang berorientasi
penyembuhan (healing-oriented medicine), mempertimbangkan wilayah “mind-
bodyspirit”, berusaha mengkombinasikan ilmu modern dengan keagungan cara
penyembuhan tradisional/ komplementer. Dengan pendekatan kedokteran
integratif, maka diagnosis utama tetap menggunakan kedokteran konvensional
(misalnya, ICD 10), namun dapat ditambahkan diagnosis secara naturopati dan
tradisional sebagai tambahan informasi, sehingga terapi holistik dapat dilakukan.
Dengan pendekatan kedokteran integratif ini, diagnosis dapat dibagi ke dalam
empat kategori (1) diagnosis secara etik (kedokteran konvensional/ICD 10), (2)
diagnosis secara emik (apa yang dirasakan pasien), (3) diagnosis karakter pasien
(sanguinis, kholeris, melankolis, phlegmatis), dan (4) diagnosis kualitas hidup,
yang meliputi kebugaran (wellness) dan tingkat keparahan penyakit menurut pasien
(skor penyakit) (Badan Litbang Kesehatana, 2011). Dengan menambahkan
diagnosis secara emik, karakter pasien, dan kualitas hidup pasien, maka pendekatan
pengobatan dapat dilakukan secara kausal dan holistik. Melalui pendekatan
kedokteran integratif, variabel luaran klinik yang diukur tidak hanya mencakup
parameter objektif, misalnya hasil laboratorium dan pengukuran, namun juga
memperhatikan parameter subjektif, yakni skor penyakit sesuai penilaian pasien
(patient’s self-responded outcome), kualitas hidup pasien, dan indeks kebugaran
pasien. Dengan cara pengukuran luaran klinik yang demikian diharapkan uji klinik
jamu menjadi lebih sensitif, meskipun tetap memperhatikan prinsip-prinsip
metodologi penelitian yang kokoh.

Untuk memperjelas alur pikir program Saintifikasi Jamu, maka alur pikir tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagaimana dimaklumi, kerangka pengetahuan
(body of knowledge) pengobatan tradisional Indonesia (termasuk jamu) tidak
berkembang dan terdokumentasikan dengan baik, sebagaimana saudaranya seperti
Ayurveda dan Traditional Chinese Medicine. Jamu memang sudah
terdokumentasikan pada relief candi Borobudur yang diperkirakan didirikan pada
abad ke 9 Masehi (Sutarjadi, Rahman & Indrawati, 2012). Namun, penggunaannya
hanya bersifat turun temurun, dipelajari berdasarkan pengalaman dari satu generasi
ke generasi berikutnya, tanpa dibukukan dengan baik atau diajarkan secara formal.
Untuk itu, Komnas SJ mencoba mengembangkan Body of Knowledge Pengobatan
Tradsional Indonesia (Jamulogi) sebagai konsep awal pengembangan kedokteran
integratif sistem Pengobatan Tradisional Indonesia (termasuk Jamulogi).
Pendekatannya adalah dengan menggali sistem pengobatan asli Indonesia,
kemudian mensintesisnya dengan pendekatan natuopati, lalu mengintegrasikannya
dengan kedokteran konvensional.

Saintifikasi Jamu mengusulkan tahapan pembuktian manfaat dan keamanan


jamu baik untuk formula turun temurun maupun formula baru adalah sebagaimana
Gambar 2.
Ruang Lingkup dan Tujuan Saintifikasi Jamu
Menurut (Menkes RI, 2010) tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:
a. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara
empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif,
promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.
c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan
penggunaan jamu.
d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata
yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk
pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif,
promotif, rehabilitatif dan paliatif (Menkes, 2010).
Penyelenggaraan Saintifikasi Jamu
Secara umum jamu harus memenuhi kriteria:
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang khusus untuk itu;
b. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada; dan
c. Memenuhi persyaratan mutu yang khusus untuk itu.
Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis
pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum, atau
merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.

B. Rasionalisasi Obat
Penggunaan obat yang tidak tepat dapat berupa penggunaan
berlebihan, penggunaan yang kurang dari seharusnya, kesalahan dalam
penggunaan resep atau tanpa resep, polifarmasi, dan swamedikasi yang
tidak tepat (WHO, 2010). Tujuan dari penggunaan obat yang rasional yakni
untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan
kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang
terjangkau. Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang
sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan
biaya yang rendah. Obat merupakan produk yang diperlukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, namun jika penggunaannya
salah, tidak tepat, tidak sesuai dengan takaran dapat membahayakan
(Depkes, 2008). Suatu pengobatan dikatakan rasional apabila memenuhi
beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung
interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak mencakup sebagai berikut:
a. Ketetapan indikasi.
b. Ketepatan pemilihan obat.
c. Ketetapan cara pakai dan dosis obat
d. Ketetapan pasien (Santoso, dkk., 2006)
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari penggunaan obat yang
tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan dari segi
ekonomi dalam pemilihan obat yang tidak tepat, pola penggunaan obat
yang tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan
pengobatan, misalnya meningkatkan efek samping obat, meningkatnya
kegagalan pengobatan dan sebagainya (Depkes,2000).
Manfaat obat tradisional antara lain sebagai preventif (pencegahan),
promotif (peningkatan derajat kesehatan), kuratif (penyembuhan penyakit),
rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Peraturan tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokkan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia menetapkan
bahwa obat tradisional Indonesia dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan
cara pembuatan, jenis klaim penggunaan, dan tingkat pembuktian khasiat.
Tiga kategori tersebut adalah:
1. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine), adalah obat tradisional
bahan tanaman yang ada dalam resep dan disajikan secara tradisional
dalam bentuk seduhan, serbuk, cair, pil, atau kapsul. Kriteria yang harus
dipenuhi untuk kategori ini adalah: aman sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan, ememnuhi persyaratan mutu yang berlaku, dan klaim
khasiat harus dapat dibuktikan berdasarkan data empiris.

Logo Jamu
2. Obat Herbal Terstandar/OHT (Standarized Based Herbal Medicine),
adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian alam,
baik yang berasal dari tanaman obat, binatang, maupun mineral.
Persyaratan untuk kategori ini lebih ketat dibandingkan dengan jamu.
Selain harus aman dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku, klaim
khasiat harus dibuktikan secara ilmiah berupa penelitian pra-klinis dan
telah dilakukan standarisasi terhadap bahan bau yang digunakan dalam
produk jadi.
Logo Obat Herbal Terstandar
3. Fitofarmaka (Clinical based Herbal Medicine), merupakan kategori
obat tradisional yang memenuhi persyaratan yang berlaku untuk obat
modern dimana klaim khasiatnya harus dapat dibuktikan berdasarkan
uji klinis pada manusia.

Logo Fitofarmaka
Sumber : Tilaar, 2014
Obat tradisional jamu harus memenuhi persyaratan keamanan, klaim
khasiat dibuktkan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan
mutu; Obat tradisional OHT harus memenuhi persyaratan keamanan,
klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah (uji praklinik), bahan baku di
standarisasi, dan memenuhi persyaratan mutu; obat tradisional fitofarmaka
harus aman sesuai dengan persyaratan, klaim khasiat dibuktikan secara
ilmiah (uji klinik), bahan baku distandarisasi, dan memenuhi persyaratan
mutu. Tips menggunakan obat tradisional yakni harus konsultasi dan
periksa kondisi sebelum memakai obat tradisional terutama bagi ibu
hamil,menyusui, dan penderita penyakit kronis, semisal hipertensi,
diabetes, dll lalu gunakan obat tradisional beregistrasi, perhatikan label
dan kemasan, baca petunjuk penggunaan, pastikan kemasan tidak rusak,
jika menggunakan obat konvensional berikan tenggang waktu sekitar 2-3
jam sebelum mengonsumsi obat tradisional, simpan obat tradisional di
tempat sejuk, kering, dan terlindung dari sinar matahari secara langsung,
obat tradisional tak boleh mengandung bahan kimia obat, obat tradisional
secara umum tidaklahmemberikan efek instan, jangan megonsumsi obat
tradisional yang dilarang beredar oleh Badan POM.
Menurut Prof. Agus, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan
jamu antara lain belum terintegrasinya obat tradisional/jamu dengan
pelayanan kesehatan formal karena belum adanya pengakuan dari profesi
tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi) bahwa jamu aman (tidak toksis),
berkhasiat (efikasi), dan mutunya terjamin (standar). Untuk memperoleh
pengakuan itu harus didasarkan pada bukti-bukti empirik yang akan
didapatkan melalui proses saintifikasi jamu. Selain itu juga lemahnya
koordinasi dan kerjasama lintas sektor terkait, belum adanya standarisasi
penyediaan bahan baku (penanaman, pemanenan, pengolahan paska
panen), belum dilaksanakannya standar untuk menjamin mutu, manfaat,
dan keamanan, lemahnya data tentang akses obat tradisional yang
bermutu, aman, dan efikasi, serta kurangnya informasi terkait penggunaan
rasional obat tradisional. Untuk itu, disusunlah suatu Grand Strategy
Pengembangan Jamu oleh Kementerian Kesehatan melalui (1)
Penyusunan kebijakan nasional dan kerangka regulasi dalam
mengintegrasikan obat tradisional dengan pelayanan kesehatan formal, (2)
Meningkatkan keamanan, mutu, dan efikasi jamu, (3) Menjamin
ketersediaan bahan baku jamu yg berkualitas, (4) Meningkatkan akses thd
jamu yang bermutu, aman, dan berkhasiat, serta (5) Penggunaan rasional
obat tradisional/jamu, kata Prof. Agus.
Secara umum semua jenis obat herbal memang kecil sekali memiliki
efek samping atau bisa dikatakan aman dari efek samping. Meskipun aman
dari efek samping, konsumsi obat herbal juga harus sesuai aturan dan cara
pemakaian. Bahkan jika mengonsumsi obat herbal ini bersamaan dengan
obat kimia dapat mengakibatkan menurunnya efektifitas dari kerja obat
kimia tersebut maupun khasiat dari obat herbal itu sendiri. Oleh karena itu,
disarankan dalam mengkonsuminya diberikan waktu jeda antara 1 jam
lebih sebelum atau sesudah mengkonsumsi obat kimia yang biasa diberikan
oleh dokter. Obat herbal masih jarang digunakan sebagai resep dokter.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa sebagian besar dokter di Indonesia
ataupun di negara yang lain, sedikit sekali yang menyarankan atau
memberikan resep obat herbal sebagai obat untuk menyembukan sakit
pasien. Hal ini wajar saja, dikarenakan obat herbal/obat tradisional dalam
hirarki kualitas obat memang masih dibawah obat kimia. Hal ini
dikarenakan obat herbal belum melalui uji klinis pada hewan uji ataupun
pada manusia itu sendiri, sehingga khasiat penyembuhannya masih sebatas
didasarkan pada keyakinan secara turun termurun (fakta empiris). Oleh
karena itu, tingkat kepercayaan khasiat obat herbal bagi dunia medis masih
kalah jauh dibandingkan dengan obat kimia. Dari sisi harga konsumen, obat
herbal juga memiliki harga yang lebih murah, sehingga pemanfaatannya
dapat lebih luas dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat baik dari
kalangan ekonomi kelas atas, menengah, ataupun masyarakat kelas bawah.
Maka, pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan juga kalangan
akademisi sebagai penentu objektif keamanan dan khasiat obat, serta para
dokter, apoteker dan tenaga paramedis lainnya untuk mulai menggalakan
dan mensosialisasikan penggunaan obat tradisional secara tepat, benar dan
rasional, sehingga dapat meminimalisir efek samping dari obat kimia, serta
meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.

Anda mungkin juga menyukai