Anda di halaman 1dari 52

PENGEMBANGAN MAKANAN FORMULA

“Autisme,Psoriasis, dan SLE (Systemic Lupus Erythematosus)”

Disusun Oleh :

Faizzatul Mahfudhah P23131116014


Lulu Ilmaknun Junelry P23131116019
Naufal Maulidza P23131116024
Risti Nofitasari P23131116030

Dosen Pengampu :
Dr. Marudut Sitompul,MPS

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II


Sarjana Terapan Gizi
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat, karunia, dan bimbingan-Nya penyusunan makalah “pengembangan
Makanan Formula Autisme,Psoriasis dan SLE (Systemic Lupus Erythematosus) dapat
diselesaikan dengan tepat waktu.
Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembagana
Pengembangan Makanan Formula yang dibimbing oleh Dr.Marudut Sitompul, MPS.
Selama penyusunan laporan ini penulis banyak mendapat bimbingan dan petunjuk
dari beberapa pihak.Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari dan mohon maaf dalam penyusunan makalahl ini masih
jauh dari sempurna, maka saran dan kritik sangat diharapkan oleh penulis agar dapat
memperbaiki kekurangannya.

Jakarta, 15 Mei 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................2
Daftar Isi.........................................................................................................3
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang...........................................................................................4
B. Tujuan.........................................................................................................8

Bab II Pembahasan
I. Autisme.................................................................................................9
II. Psoriasis................................................................................................23
III. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)................................................35

BAB III Penutup


Kesimpulan dan Saran................................................................................51
Daftar Pustaka..............................................................................................52

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
I. Autisme

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang


menyangkut masalah komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi. Istilah
autis hingga kini masih banyak masyarakat yang belum mengenal secara baik apa
yang dimaksud autis, sehingga seringkali permasalahan autisme ini dianggap sebagai
suatu hal yang negatif. Menurut Rachmawati (dalam Setiafitri, 2014), autis
merupakan kelainan perilaku dimana penderita hanya tertarik pada aktivitas
mentalnya sendiri, seperti melamun atau berkhayal.Gangguan perilakunya dapat
berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, kesulitan dalam
mengembangkan bahasa, dan pengulangan tingkah laku. Sutadi (dalam Hadis, 2006),
juga mengungkapkan bahwa anak autis adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk
berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.
Autisme juga merupakan gangguan perkembangan organik yang
mempengaruhi kemampuan anak dalam berinteraksi dan menjalani kehidupannya
(Hanafi, 2002). Menurut data dari Unesco pada tahun 2011, terdapat 35 juta orang
penyandang autisme di seluruh dunia. Rata-rata, 6 dari 1000 orang di dunia telah
mengidap autisme. Di Amerika Serikat, autisme dimiliki oleh 11 dari 1000 orang.
Sedangkan di Indonesia, perbandingannya 8 dari setiap 1000 orang. Angka ini
terhitung cukup tinggi mengingat pada tahun 1989, hanya 2 orang yang diketahui
mengidap autism.Autisme masih menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar orangtua.
Beberapa orangtua langsung merasa stress saat mendengar anaknya telah diagnosis
autisme. Di kalangan masyarakat juga masih ada pemahaman bahwa anak-anak autis

4
bisa menularkan penyakitnya.Maka, beberapa orangtua justru menyembunyikan
anaknya yang mengidap autis.
Salah satu faktor yang paling penting dalam keberhasilan penanganan autisme
adalah keterlibatan dan komunikasi orang tua.Ketika mendapatkan diagnosa anak
menyandang autisme, orangtua perlu menerima dengan tulus, dan yang paling penting
adalah menyiapkan diri dengan empati, karena hal tersebut penting dalam merawat
dan mengasuh anak penyandang autisme. Penerimaan merupakan sikap seseorang
yang menerima orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan
atau penilaian. Apabila dalam keluarga terutama pada ibu ada penerimaan, maka
dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung perkembangan pada anak.
Namun tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima begitu saja kondisi anak
yang autis.Ibu merupakan tokoh yang lebih rentan terhadap masalah penyesuaian.Hal
ini dikarenakan ibu berperan langsung dalam kelahiran anak.Biasanya ibu cenderung
mengalami perasaan bersalah dan depresi yang berhubungan dengan
ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih mudah terganggu secara emosional. Ibu juga
merasa stress karena perilaku yang ditampilkan oleh anaknya seperti
tantrum,hiperaktif, kesulitan bicara, perilaku yang tidak lazim, ketidakmampuan
bersosialisasi dan berteman
Dukungan dari orang lain atau keluarga sangat dibutuhkan oleh orang tua
yang memiliki anak autis. Contoh dari emotion focused – control yaitu seperti
dukungan keluarga sangat dimanfaatkan sebagai perjuangan untuk mengatasi, untuk
memahami gangguan autis dan untuk mencari lebih lanjut informasi mengenai
gangguan yang diderita anak autis. Hasil penelitian dari Twoy dkk (2007)
menyimpulkan bahwa orang tua menunjukkan mencari informasi dan saran dari
keluarga lain yang menghadapi masalah yang sama. Memperoleh dan menerima
bantuan dari komunitas dan progam-program yang dirancang untuk membantu
keluarga dalam situasi tertekan dan memanfaatkan sumber daya, Berbagai strategi
yang dilakukan tidak semuanya berhasil untuk dilakukan, Orang tua yang aktif dalam

5
mendampingi perkembangan anak autis akan memperoleh hasil yang diinginkan.
Sunaryo (2014) menyebutkan bahwa seorang Ibu berinisial D yang memiliki anak
autis pelukis, mendampingi anak setiap melakukan aktivitas yang digemari anak dan
kerap kali seorang Ibu ini diminta anak untuk ikut melukis.Memberikan perlengkapan
melukis dan menyekolahkan anak yang dapat mengembangkan seni lukis.
II. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit bersifat kronis-residif yang
diperantarai oleh sistem imun, melibatkan daerah kulit, kulit kepala, kuku dan
persendian dengan gejala klinis berupa plak eritematosa yang berbatas tegas dalam
berbagai ukuran yang ditutupi oleh skuama yang tebal berwarna keperakan.Gejala
fisik yang dapat dijumpai berupa kulit mudah teriritasi, lebih sensitif, gatal,
terbakar/menyengat, mudah berdarah dan nyeri yang frekuensi gejalanya berbeda
berdasarkan tipe psoriasisnya.
Psoriasis dialami sekitar 2-3% dari populasi di dunia, dimana insidensi antara
laki-laki dan perempuan adalah sama.Data dari Amerika Serikat menunjukkan
bahwa 150.000 kasus baru diobservasi setiap tahunnya, mengenai hampir 2,2%
dari populasi Amerika Serikat. Data nasional prevalensi psoriasis di Indonesia
belum diketahui, namun di Rumah Sakit Umum Pusat Negeri Dr.Cipto
Mangunkusumo selama tahun 1997 sampai 2001, insidensi psoriasis mencapai
2,6%.Sedangkan berdasarkan data rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan periode Januari-Desember 2011, menunjukkan bahwa dari
5644 orang pasien yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
sebanyak 64 pasien (1,13%) di diagnosis menderita psoriasis. Dari jumlah tersebut
37 pasien (57,8%) berjenis kelamin laki-laki dan 28 pasien (42,2%) berjenis
kelamin perempuan. Data rekam medik RSUP H. Adam Malik periode
Januari-Desember 2012 dari total 5342 orang yang datang berobat ke
PoliklinikDepartemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 36 pasien (0,67%)

6
didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris. Berdasarkan jumlah tersebut didapatkan 22
pasien (61,1%) adalah laki-laki dan 14 pasien (38,9%) adalah perempuan.
Psoriasis umumnya tidak menular dan mengancam jiwa, namun penyakit ini
memiliki dampak pada penderitanya yang dapat dilihat melalui dampak negatif
yang signifikan terhadap kualitas hidup, dengan melibatkan berbagai aspek dalam
kehidupan mencakup efek fisik, psikologis, psikososial dan emosional.
III. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis
menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu penyakit auto
imun kronis yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan
target organ atau sistem yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit
1000 wajah.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit Lupus biasanya
menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah penderita Lupus dan sebagian
tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular.
Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ tubuh
terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan
berkepanjangan serta sensitif terhadap sinar matahari. Semua itu merupakan
sebagian dari gejala penyakit Lupus.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8 per
100.000. Di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya. Sedangkan di
RS Ciptomangunkusumo Jakarta, dari 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991
sampai akhir 1996 , 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5
juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sembilan puluh
persen kasus Lupus Eritematosus Sistemik menyerang wanita muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio
wanita dan laki-laki 5:1.

7
Karena semakin banyaknya penderita penyakit-penyakit diatas, maka dari itu
perlu diadakannya pengembangan makanan formula untuk mengoptimalkan zat
gizi yang dibutuhkan oleh penderita penyakit sehingga dapat mencegah
mempermarah penyakit-penyaki tersebut.
B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian autis
2. Mahasiswa mampu memahami ciri ciri autis
3. Mahasiswa mampu memahami klasifikasi autis
4. Mahasiswa mampu memahami pathogenesis autis
5. Mahasiswa mampu memahami gangguan biokimia pada anak autis
6. Mahasiswa mampu memahami makananan yang perlu diperhatikan pada anak
7. Mahasiswa mampu membuat pengembangan makanan formula untuk autis
8. Mahasiswa mampu menganalisis zat gizi dari makanan formula untuk autis
9. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian psoriasis
10. Mahasiswa mampu mengetahui gambaran klinis psoriasis
11. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi dan faktor pencetus psoriasis
12. Mahasiswa mampu mengetahui diet untuk penderita psoriasis
13. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian dari SLE
14. Mahasiswa mampu mengetahui jenis-jenis Lupus
15. Mahasiswa mampu memahami patofisologis SLE
16. Mahasiswa mampu memahami kriteria identifikasi SLE
17. Mahasiswa mampu memahami zat gizi yang diperlukan untuk SLE
18. Mahasiswa mampu membuat pengembangan makanan formula untuk SLE
19. Mahasiswa mampu menganalisis zat gizi dari makanan formula untuk SLE

8
BAB II PEMBAHASAN
1. Autisme
A. Pengertian autis

Autisme merupakan suatu sindrom yang dicirikan dengan adanya


gangguan dalam hal hubungan sosial, bahasa dan komunikasi,
gerakan-gerakan abnormal dan disfungsi sensorik (Bernard, 2000). Menurut
Puspita (2003), autisme adalah kelainan pada anak yang berhubungan dengan
perilaku yang tidak bisa melakukan reaksi terhadap lingkungannya, memiliki
gejala-gejala gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan
interaksi. Selanjutnya McCandless (2003) menyatakan bahwa autisme
merupakan gangguan biomedis pada anak yang mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan kognitifdan perilaku yang merupakan efek samping dari
penyakitpenyakit fisik yang diderita oleh anak-anak tersebut.
Penyebab autisme hingga saat ini belum diketahui secara
pasti.Walaupun telah diyakini oleh beberapa peneliti sebagai kelainan
anatomis pada otak yang terjadi secara genetik, namun beberapa penelitian
terbaru menunjukkan bahwa keluhan autisme juga dapat dipengaruhi dan
diperberat oleh manifestasi makanan.Kekurangan nutrisi dan paparan merkuri
atau logam berat dapat mengubah fungsi saraf dan meningkatkan stres
oksidatif pada anak autism.
B. Ciri ciri autis

1. Perkembangan yang tidak seimbang


Perkembangan yang tidak seimbang pada bayi atau anak autis,
dikarenakan sistem motorik anak mengalami gangguan, sehingga
perkembangan otaknya pun tidak bisa berkembang dengan baik sebagai mana

9
mestinya.
Mereka cenderung tidak tertarik dengan segala jenis interaksi dengan
orang lain, bahkan tidak tertarik pada mainan, seperti anak lainnya. Padahal
umumnya usia kanak-kanak sangat responsif terhadap hal baru seperti mainan
dan hal-hal baru.

2. Menyukai kegiatan yang mengulang


Jika ia menyukai kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan
dalam frekuensi yang sangat tinggi, kemungkinan ia mengidap autis. Misalnya
sering melompat, apalagi jika kegiatan ini dilakukan dimanapun dan
kapanpun.Karena ciri-ciri anak autis sejak bayi apabila si Kecil menyukai
suatu kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang.
3. Gangguan komunikasi
Salah satu ciri yang mudah untuk Anda kenali pada anak autis adalah
dari gaya bicaranya. Anak autis memiliki gaya bicara yang khas yaitu gagap,
terlambat dan kurang bisa mengerti kata-kata yang sering digunakan oleh
orang-orang pada umumnya.
Anak autis terkadang juga memiliki bahasa dan istilah sendiri yang
membuat lawan bicara bingung.Tapi Anda sebagai orang tua harus
memaklumi dan Anda lah yang harus belajar bahasa mereka. Namun Anda
harus tetap memberikan pengetahuan mengenai bahasa pada umumnya.
4. Membenci suara bising
Sebaiknya jika sedang melakukan pembicaraan dengan anak autis
jangan menggunakan nada dan intonasi yang keras.Karena salah satu tanda
Anak autis adalah tidak menyukai suara yang terlalu keras dan bising. Ketika
anak autis mendengar suara terlalu keras atau bising maka dirinya akan
langsung gelisah dan tidak tenang bahkan respon mereka bisa berlebihan,

10
bahkan bisa menjerit keras.
5. Tidak suka kontak fisik
Anak autis juga tidak menyukai jika adanya kontak fisik, apalagi
dengan orang yang tidak ia kenal. Jika anak autis disentuh, maka ia cenderung
menghindar dan bersembunyi. Anak autis juga tidak menyukai ada
pembicaraan dengan orang lain, sekalipun berbicara maka mereka tidak
akanmemandang orang yang menjadi lawan bicaranya.
6. Emosi yang tidak stabil
Anak yang mengalami autis juga tidak bisa mengontrol dan
mengendalikan emosi mereka. Anak autis akan meluapkan segala emosinya
dan biasanya terjadi pada waktu yang tidak terduga dan dalam situasi apapun.
Misalnya tiba-tiba menangis, tiba-tiba menjerit, tertawa tanpa sebab yang
jelas.
7. Asyik dengan dunianya sendiri
Anak autis memiliki dunianya sendiri dan hanya dia yang tahu
bagaimana cara menikmati dunianya tersebut. Oleh karenanya, Anak autis
tidak menyukai bermain dan berinteraksi dengan anak-anak yang sebaya
bahkan ia akan menghindari mereka. Saat bermain dengan dunianya sendiri
ini lah, anak autis akan mengekspresikan kemampuan bicaranya.
8. Tidak mau melakukan kontak mata
Anak autis akan menghindari kontak mata secara langsung pada lawan
bicaranya bahkan ia akan cendrung menunduk ke bawah. Maka ajari anak
untuk menatap lawan bicara, dan jangan segan-segan untuk mengarahkan
wajahnya agar menatap Anda.
9. Kaku jika digendong
Saat anak berusia 6 - 12 bulan, jika Anda menggendongnya maka
tubuhnya akan kaku dan tegang serta tidak memiliki ketertarikan untuk
disentuh dan dibelai seperti anak lainnya. Padahal biasanya bayi sangat suka

11
digendong, dibelai-belai, disayang dan dimanja.
10. Belum bisa berjalan saat usianya sudah menginjak 2 - 3 tahun
Umumnya memasuki usia 2 - 3 tahun anak sedang
aktif-aktifnya karena sudah bisa berjalan dan suka mengeksplorasi hal-hal
yang ada disekitarnya. Namun lain halnya bagi anak yang mengalami autis,
mereka belum bisa berjalan dan masih digendong. Karena, perkembangan sel
motoriknya yang lambat, sehingga mengakibatkan terjadinya hal ini, bahkan
Anak enggan menggerakan tubuhnya.
C. Klasifikasi Autis

Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan


gejalanya.Sering kali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa
autis.Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale
(CARS). Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
1) Autis Ringan Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan
adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung lama.Anak autis ini dapat
memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan
ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun
terjadinya hanya sesekali.
2) Autis Sedang Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan
sedikit kontak mata namun tidak memberikan respon ketika namanya
dipanggil.Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan
gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit untuk dikendalikan
tetapi masih bisa dikendalikan.
3) Autis Berat Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan
tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali.Biasanya anak autis
memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus
menerus tanpa henti.Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak
memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di

12
pelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya.Anak
baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur (Mujiyanti,
2011).
D. Patofisiologi

Etiologi dan Patofisiologi Menurut Sari (2009) autis merupakan


penyakit yang bersifat multifaktor. Teori mengenai penyebab dari autis
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Faktor genetika
Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus dilakukan.
Sampai saat ini ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme.
Namun kejadian autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen.
Bisa saja gejala autisme tidak muncul meskipun anak tersebut membawa gen
autisme (Budhiman, M; Shattock, P; Ariani, E, 2002).Jumlah anak berjenis
kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan,
hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen atau beberapa gen pada
kromosom X yang terlibat dengan autis.
Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki memiliki
satu kromosom X. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada
kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada
kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil
pada perilaku yang berkaitan dengan autis ( Mujiyanti, 2011).
Menurut laporan Journal Nature Genetics, gen neuroxin yang
ditemukan pada kromosom manusia merupakan salah satu gen yang berperan
penting dalam terjadinya sindrom autisme. Neuroxin merupakan protein yang
berperan dalam membantu komunikasi sel saraf. Salah satu protein dari family
neuroxin yang dikodekan oleh gen CNTNAP2 (Contactine Assosiates
Protein-like 2) berfungsi sebagai molekul reseptor pada sel saraf. Pada saat
dalam kandungan, ketika sampel darah janin diambil dan dianalisis, anak autis

13
mengalami peningkatan protein dalam darah, yaitu tiga kali lebih tinggi
dibanding dengan anak normal (Winarno, 2013).
2) Kelainan anatomis otak
Menurut Winarno (2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan
dengan laju kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan
memiliki puzzling sign of inflammation (peradangan yang membingungkan).
Bagian corpus callosum, biasanya pada anak autis berukuran lebih
kecil.Corpus callosum merupakan pita tenunan pengikat yang
menghubungkan hemisphere otak kanan dan otak kiri.Kegiatan crossing
bagian otak yang berbeda menjadi kurang terkoordinir sehingga lalu lintas
stimulus tidak harmonis.Sedangkan menurut Mujiyanti (2011) kelainan
stimulus otak ditemukan khususnya di lobus parietalis dan serebelum.Serta
pada sistem limbiknya.
Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai kelainan di lobus
parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap
lingkungannya.Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum),
terutama pada nervus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses
sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian).
Kelainan khas juga ditemukan pada sistem limbik yang disebut hipokampus
dan amigdala.Kelainan tersebut menyebabkan kelainan fungsi kontrol
terhadap agresi dan emosi.
3) Disfungsi metabolik
Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan
memecah komponen asam amino phenolik.Amino phenolik banyak
ditemukan di berbagai makanan dan dilaporkan komponen utamanya dapat
menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis.Sebuah
publikasi dari lembaga psikiatri biologi menemukan bahwa anak autis
mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat

14
sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino
phenolik. Komponen animo phenolik merupakan bahan baku pembentukan
neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme dengan baik
akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi syaraf. Makanan yang
mengandung amino phenolitik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula,
coklat, pisang dan apel (Mujiyanti, 2011).
4) Infeksi kandidiasis / jamur
Anak-anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan usus yang
meradang sangat mudah diserang oleh jamur khususnya jamur dari spesies
Candida.Kultur feces dan tes-tes laboratorium lainnya seringkali
mengidentifikasi pertumbuhan Candida albicans yang berlebihan.Ternyata
beberapa riset mengidentifikasikan bahwa beberapa spesies Candida dan
jamur lainnya dapat menjadi penyebab utama dari banyak tingkah laku yang
tidak pantas dan masalah kesehatan yang terlihat pada pasien autistik
(McCandless, 2003).
Infeksi Candida Albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat,
karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh dengan
subur.Makanan ini dilaporkan dapat menyebabkan anak menjadi
autis.Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya
infeksi Candida Albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis seperti
gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata
(Mujiyanti, 2011).
5) Teori kelebihan opioid dan hubungannya dengan protein kasein dan
protein gluten
Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi,
kognisi dan emosi penyandang autis. Peptide tersebut berasal dari pencernaan
makanan yang tidak sempurna khususnya gluten dan kasein.Gluten berasal

15
dari gandum dan biji-bijian (sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan
oats. Kasein berasal dari susu dan produk susu. Karena adanya kebocoran
usus (leaky gut) maka terjadi peningkatan jumlah peptide yang masuk ke
darah.Karena adanya peningkatan jumlah peptide yang terbentuk diusus
sehingga yang masuk ke aliran darah pun relative lebih banyak, demikian juga
yang melewati sawar darah otak.Hal ini dapat mengakibatkan gangguan
perilaku yang tampak secara klinis (Nugraheni, 2008).Pencernaan anak autis
terhadap kasein dan gluten tidak sempurna.Kedua potein ini hanya terpecah
sampai polipeptida.Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap dalam
aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak.Pori-pori yang tidak
lazim kebanyakan ditemukan di membrane saluran cerna pasien autis, yang
menyebabkan masuknya peptide didalam darah.Hasil metabolisme gluten
adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D.
Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat
ketat bebas gluten dan casein menurunkan kadar peptide opioid serta dapat
mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet
merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien
(Mujiyanti, 2011).
6) Toxicity Logam Berat dan Gangguan Proses Detoksifikasi

Merkuri dan beberapa logam berat lainnya selama ini juga diketahui
ikut berperan dalam patogenesis autisme.Logam berat dapat menembus
blood-brain barrier, sehingga dapat menimbulkan gangguan pada
perkembangan anak, fungsi kognitif, atensi dan konsentrasi, impulsifitas serta
kemampuan dalam berespon dan berinteraksi.Logam berat dapat memasuki
tubuh melalui makanan, pernafasan, maupun diserap melalui kulit.Anak
autisme tidak dapat mengeluarkan secara efisien zat-zat beracun yang
memasuki tubuh mereka. Penyebab proses detoksifikasi natural menjadi rusak
pada anak autisme masih belum terdapat penjelasan yang jelas. Akumulasi

16
dari logam berat ini juga secara alami akan menyebabkan penekanan jumlah 4
antioksidan glutation dalam tubuh selain itu juga dapat mengakibatkan
gangguan neurobehaviour maupun kognitif.
E. Gangguan Proses Biokimia Sulfasi, Metilasi, Glutation dan Stress
Oksidatif
Dalam beberapa studi terbaru juga di dapatkan abnormalitas profil
metabolik pada anak autisme. Sulfasi, metilasi, glutation dan stres oksidatif
merupakan jalur biokimia yang biasanya didapatkan normal pada orang sehat
sehingga sistem kekebalan tubuh juga berjalan dengan baik.
1. Sulfasi
Sulfat termasuk salah satu mineral penting yang banyak dijumpai
dalam tubuh, sekitar 80% diproduksi secara in vivo melalui oksidasi
metionin atau cystein, keduanya mengandung sulfur asam amino yang
diperoleh dari protein makanan. Sulfasi diperlukan untuk banyak fungsi
terutama untuk proses detoksifikasi, inaktivasi katekolamin, sintesis
jaringan otak, dan sulfasi protein musin yang melapisi saluran pencernaan.
Bahan kimia berbahaya yang dikenal sebagai fenol melekat pada sulfat dan
dikeluarkan dari tubuh. Ketika kadar sulfat dalam aliran darah berkurang,
senyawa fenolik dapat tertimbun dalam tubuh sehingga dapat mengganggu
fungsi neurotransmitter. Pada anak autisme dijumpai kadar sulfat plasma
yang rendah (James et al. 2009 ; Newman 2009).
2. Metilasi
Metilasi adalah serangkaian reaksi biokimia yang sangat penting
dalam tubuh yang berperan untuk kesehatan secara keseluruhan. Proses ini
sering terganggu anak dengan autisme. Metilasi ini berfungsi untuk fungsi
otak normal, proses detoksifikasi, DNA protection dan mencegah proses
penuanan dini (Newman 2009).
3. Glutation

17
Glutathione (Lγ-glutamyl-L-cysteinyl-glisin) adalah peptida
intraseluler yang memiliki berbagai fungsi termasuk detoksifikasi
xenobiotik dan metabolitnya, menjaga keseimbangan redoks intraseluler,
dan antioksidan endogen utama yang dihasilkan untuk melawan radikal
bebas. Glutation sangat berperan dalam proses detoksifikasi sehingga
defisiensi glutation dapat menyebabkan akumulasi bahan toksik lingkungan
dan logam-logam berat. Jika hal ini terjadi pada awal perkembangan anak
akan dapat mempengaruhi ekspresi gen yang berfungsi mengatur
perkembangan saraf. Glutation termasuk antioksidan utama dan didapatkan
sangat rendah pada anak autisme. (James et al. 2004; Kałużna-Czaplińska
et al. 2011; Main et al. 2012).
4. Stres Oksidatif
Di dalam tubuh anak autisme didapatkan kadar stres oksidatif yang
tinggi. Ditandai dengan meningkatnya nitric oxide yang dapat merusak
blood brain barrier dan menyebabkan demyelinasi, merusak reseptor
kolinergik, penurunan fungsi GABA reseptor sehingga konsentrasi
glutamic acid decarboxylase (GAD) yang berfungsi untuk mengubah
excitotonin 5 glutamate menjadi GABA menurun yang akan
mengakibatkan menurunnya resistensi terjadinya apoptosis neuron dan juga
dapat merusak mucin usus sehingga menyebabkan meningkatnya
permeabilitas usus ( Bernhoft & Buttar 2008; James et al. 2009; Newman
2009 ). Glutation termasuk antioksidan utama dan didapatkan sangat rendah
pada anak autisme. Defisiensi glutation ini dapat disebabkan karena
pemakaian glutation yang berlebih pada anak autisme atau akibat defisiensi
asam amino yang diperlukan sebagai prekursor glutation (Warsiki 2012).

18
F. Macam makanan yang perlu diperhatikan
a. Hindari pemberian ikan, utama ikan laut karena kandungan logam
beratnya yang tinggi akibat pencemaran lingkungan.
b. Membatasi asupan gula baik gula murni maupun gula buatan.

c. Bebas jamur Semua jenis makanan yang diolah dengan proses


fermentasi tidak diberikan. Jenis makanan tersebut seperti : semua jenis jamur
segar maupun kering, kecap, tauco, keju, kue yang dibuat dengan
menggunakan soda pengembang, vermipan, atau sejenisnya, makanan yang
sudah lama disimpan atau buah-buahan yang dikeringkan, hindarkan makanan
yang dibuat melalui peragian (tempe, roti, dan lain-lain)
d. Bebas GFCF (Gluten free – Casein free) Diet ini adalah diet dengan
menghindarkan semua produk yang mengandung gluten dan casein. Gluten
adalah protein yang secara alami terdapat dalam gandung/terigu,
havermuth/oat, dan barley. Sedangkan kasein adalah protein susu.

19
e. Bebas zat aditif Hindari memberikan makanan dengan zat aditif atau
makanan yang mengandung campuran bahan-bahan kimia.

f. Diet bebas fenol dan salisilat

G. Zat gizi autis

a. Vitamin B6 dan Magnesium Dibutuhkan dosis harian Vitamin B6


300-50 mg diberikan bersamaan dengan 200 mg magnesium. Manfaatnya
mencakup peningkatan pada kontak mata, bertambah minatnya terhadap dunia
sekitar mereka, berkurangnya tantrum, dapat meningkatkan kemampuan
berbicara, merangsang perkembangan bicara (speech), mendukung sistem
imun, proses visual, sensori, dan kemampuan kognitif, mendukung proses
detoksifikasi, serta mendukung sistem pencernaan.
b. Seng /Zinc Penambahan seng berhubungan dengan peningkatan
pertumbuhan terutama diantara anak-anak yang terhambat pertumbuhannya.
Seng juga mengurangi jangka waktu dan tingkat diare kronis serta akut. Dosis
yang umum diberikan adalah 25-50 mg (2-3 mg per kilogram berat badan),
namun jika anak autisme tersebut juga memiliki kadar copper/ tembaga yang
tinggi maka dosis seng dapat ditingkatkan karena bermanfaat untuk melawan

20
dan menurunkan kadar tembaganya karena seng dapat berfungsi untuk proses
metallothioneine yang diperlukan untuk melawan radikal bebas dan
mengeluarkan racun logam berat dari tubuh.
c. Kalsium Anak-anak yang kekurangan kalsium lebih cenderung
menunjukkan sifat mudah tersinggung, mengalami gangguan tidur, amarah
dan tidak mampu memberikan perhatian pada sesuatu. Anak-anak
membutuhkan kalsium 800– 200 mg perhari terutama yang sedang menjalani
diet GFCF.
d. Selenium Selenium adalah mineral dengan sifat antioksidan yang
bekerja sama dengan vitamin E untuk mencegah radikal bebas yang dapat
merusak membran sel. Kekurangan selenium menyebabkan penurunan fungsi
imun dan berakibat meningkatnya kerentanan pada infeksi karena penurunan
kadar sel darah putih. Total pemberian selenium berkisar 100- 200 mcg/hari,
hati-hati agar tidak overdosis karena dapat mengakibatkan toksik bagi tubuh.
e. Vitamin A Vitamin A berperan sebagai antioksidan dan
meningkatkan imun. Vitamin A dalam bentuk alami dapat ditemukan pada cod
liver oil yang dapat diberikan pada anak autisme dengan 8 pemberian
suplemen cod liver oil (5000 IU/hari) sehingga dapat meningkatkan fungsi
penglihatan, persepsi sensorik, pengolahan bahasa dan perhatian.
f. Vitamin C dan E Vitamin C bekerja secara sinergis dengan vitamin
E sehingga keduanya harus diberikan secara bersamaan. Vitamin C dianjurkan
hingga 1000 mg per hari atau lebih dan vitamin E 200- 600 IU/ hari. Vitamin
E merupakan antioksidan utama yang sangat penting, berfungsi untuk
menjaga membran sel dari kerusakan oksidatif, dapat memperbaiki
metabolisme dan penerimaan vitamin D serta kalsium, meningkatkan sirkulasi,
dan memperbaiki jaringan tubuh.
g. Asam Lemak Essential Asam lemak Omega-3 sangat vital untuk
perkembangan normal otak dan pemeliharaan neurotransmitter yang

21
diperlukan untuk mempengaruhi perilaku dan cara belajar serta dapat
meningkatkan perhatian. Asam lemak Omega-3 essential juga membantu
meningkatkan respon imun, membantu melawan inflamasi di sistem
pencernaan. Dosis yang dinjurkan untuk EPA (Eicosapentaenoic Acid)
500-1000 mg/hari, DHA (Docosahexaenoic Acid )250-500 mg/hari dan GLA
(Gamma Linolenic Acid ) 50-100 mg/hari.

No Asli Modif
No Bahan Jumlah Bahan Jumlah
1 Tepung terigu 110 Tepung mocaf 60
2 Tepung tapioca 30 Tepung kc hijau 50
3 Oat 100 Tepung tapioca 30
4 Kcng mete 100 Kismis 50
5 Butter cair 70 Kcng mete 50
6 Garam 1 Kcng almond 50
7 Madu 100 Margarin cair 70
8 Gula pasir 5 Garam 1
9 Air 10 Madu 100
10 Gula halus 5
11 Air 10
Makanan formula untuk anak autis yaitu snack bar

Prosedur :
1. Masukan kismis kcng mete dan almond ke dalam Loyang lalu oven hingga warna
kecoklatan
2. Campurkan bahan tepung mocaf kc hijau tapioca lalu margarin cair garam madu
gula halus dan air
3. Setelah tercampur tuangkan campuran kismis kcng mete dan almond lalu cetak
adonan dan masukan kedalam adonan hingga rata
4. Lalu masukan kedalam oven selama 25 menit ( suhunya diliat ) sekitar 180-200
5. Angkat lalu dinginkan didalam kulkas selama 1 jam

Snack bar/potong

energi 361,4
Protein 3
Lemak 19,2
Karbohidrat 47,45
Vit c 4.9 mg

22
Vit e 4.05
Vit a 44.65
Vit b6 0.05mg
Kalsium 38 mg
Magnesium 40 mg
Seng 0.475

2. Psoriasis
A. Pengertian
Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan
karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis,
dan berwarna putih keperakan terutama pada siku, lutut, kepala, punggung,
umbilikus dan lumbal.
Psoriasis adalah nama yang diberikan oleh seorang dermatologi asal
Vienna, Ferdinan von Hebra pada tahun 1841. Kata psoriasis berasal dari
bahasa Yunani yaitu “psora” yang berari “gatal”, meskipun sebagian besar
pasien tidak mengeluhkan rasa gatal. Pada masa lalu, psoriasis dikenal sebagai
bentuk dari penyakit kusta. Namun pada tahun 1841 akhirnya penyakit ini
diberi nama psoriasis yang dianggap sebagai penyakit radang kulit kronik yang
melibatkan faktor genetik dalam patogenesisnya.

B. Gambaran Klinis
Keluhan utama pasien psoriasis adalah lesi yang terlihat, rendahnya
kepercayaan diri, gatal dan nyeri terutama jika mengenai telapak tangan,
telapak kaki dan daerah intertriginosa.Selain itu psoriasis dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari bukan hanya oleh karena keterlibatan kulit, tetapi juga
menimbulkan arthritis psoriasis.Gambaran klinis psoriasis adalah plak
eritematosa sirkumskrip dengan skuama putih keperakan diatasnya dan tanda
Auspitz.Warna plak dapat bervariasi dari kemerahan dengan skuama minimal,
plak putih dengan skuama tebal hingga putih keabuan tergantung pada

23
ketebalan skuama.Pada umumnya lesi psoriasis adalah simetris.
Beberapa pola dan lokasi Psoriasis antara lain:
1. Psoriasis Vulgaris
Psoriasis vulgaris merupakan bentuk yang paling umum dari psoriasis dan
sering ditemukan (80%).Psoriasis ini tampak berupa plak yang berbentuk
sirkumskrip. Jumlah lesi pada psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari satu
hingga beberapa dengan ukuran mulai 0,5 cm hingga 30 cm atau lebih. Lokasi
psoriasis vulgaris yang paling sering dijumpai adalah ekstensor siku, lutut,
sakrum dan scalp. Selain lokasi tersebut diatas, psoriasis ini dapat juga timbul
di lokasi lain.

2. Psoriasis Gutata
Lesi psoriasis ini menetap selama 2-3 bulan dan akhirnya akan
mengalami resolusi spontan. Pada umumnya terjadi pada anak-anak dan
remaja yang seringkali diawali dengan radang tenggorokan.
3. Psoriasis Pustulosa Generalisata (Von Zumbusch)
Psoriasis jenis ini tampak sebagai erupsi generalisata dengan eritema
dan pustul.Pada umumnya diawali oleh psoriasis tipe lainnya dan dicetuskan
oleh penghentian steroid sistemik, hipokaSLEmia, infeksi dan iritasi lokal.

4. Psoriasis Pustulosa Lokalisata


Nama lain dari tipe ini disebut juga dengan pustulosis palmoplantar
persisten. Psoriasis ini ditandai dengan eritema, skuama dan pustul pada
telapak tangan dan kaki biasanya berbentuk simetris bilateral.

C. Etiologi dan Faktor Pencetus

24
Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah
dilakukan penelitian dasar dan klinis secara intensif.Diduga merupakan
interaksi antar faktor genetik, sistem imunitas, dan lingkungan.Sedangkan tiga
komponen patogenesis dari psoriasis adalah infiltrasi sel-sel radang pada
dermis, hiperplasia epidermis, dan diferensiasi keratinosit yang abnormal.
1. Faktor Genetik
Sekitar 1/3 orang yang terkena psoriasis melaporkan riwayat penyakit
keluarga yang juga menderita psoriasis.Pada kembar monozigot resiko
menderita psoriasis sebesar 70% bila salah seorang menderita
psoriasis.Apabila orang tua tidak menderita psoriasis maka resiko mendapat
psoriasis sebesar 12%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita psoriasis
maka resiko terkena psoriasis meningkat menjadi 34-39%.Berdasarkan onset
penyakit dikenal dua tipe yaitu psoriasis tipe 1 dengan onset dini yang bersifat
familial dan Psoriasis tipe II dengan onset lambat yang bersifat non familial.
Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa
psoriasis berkaitan dengan HLA (Human LeukocyteAntigen).Psoriasis tipe I
berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57 dan Cw6. Psoriasis tipe II
berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2, sedangkan psoriasis pustulosa berkaitan
dengan HLA-B27.Pada analisa HLA yang spesifik dalam suatu populasi,
didapatkan bahwa suseptibilitas terhadap psoriasis berhubungan dengan
Major HistocompatibilityComplex (MHC) kelas I dan II pada atau dekat
dengan kromosom 6 dan lainnya berada di kromosom 17.Lokus Psoriasis
Susceptibilitas 1 (PSORS1) dianggap sebagai lokus yang terpenting untuk
psoriasis.Hal ini disebabkan PSORS1 berkaitan pada lebih dari 50% kasus
psoriasis.Lokus susceptibilitas lainnya 17q25 (PSORS2), 4q34 (PSORS3),
1q21 (PSORS4), 3q21 (PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32 (PSORS7), 16q
(PSORS8), dan 4q31 (PSORS9), 18p11 (PSORS10), 5q31-q33 (PSORS 11)
dan 20q12 (PSORS12).Pada onset lanjutan yang merupakan tipe 2 didapatkan

25
gambaran HLA-Cw2 yang menonjol.Individu yang memiliki HLA-B17 dan
HLA-B13 memiliki kemungkinan untuk menderita psoriasis 5 kali lebih
banyak dari individu normal.

2. Faktor Imunologi
Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari
ketiga jenis sel yaitu limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau
keratinosit.Keratinosit psoriasis membutuhkan stimulasi untuk
aktivasinya.Lesi psoriasis umumnya ditemukan limfosit T di dermis yang
terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit limfositik dalam
epidermis.Pada lesi baru umumnya lebih didominasi oleh sel limfosit T
CD8.Lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya
meningkat.Sel Langerhans juga berperan dalam imunopatogenesis
psoriasis.Terjadinya proliferasi epidermis dimulai dengan adanya pergerakan
antigen baik endogen maupun eksogen pada sel Langerhans.Pada psoriasis
pembentukan epidermis lebih cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit
normal lainnya 27 hari.
Nickoloff berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan penyakit
autoimun.Lebih 90% dapat mengalami remisi setelah diobati dengan
imunosupresif. Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebutkan
dalam kepustakaan diantaranya adalah stress psikis, infeksi lokal, trauma
(fenomena kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol dan
merokok. Stress psikis merupakan faktor pencetus utama. Infeksi lokal
mempunyai hubungan erat dengan psoriasis gutata, sedangkan hubungannya
dengan psoriasis vulgaris tidak jelas.

3. Faktor Pencetus
Penyebab dan patogenesis psoriasis vulgaris belum diketahui dengan

26
pasti, secara patologis terjadi proliferasi yang berlebihan pada keratinosit dan
peradangan kronis, sehingga penyakit ini bersifat kronik-residif. Faktor
pencetus lokal terjadinya psoriasis antara lain trauma, paparan sinar ultraviolet,
dan lokasi lesi psoriasis vulgaris. Berbagai trauma baik fisik, kimiawi, bedah,
infeksi dan peradangan, dapat memperberat atau mencetuskan lesi
psoriasis.Lesi psoriasis yang ditrauma disebut Fenomena Kobner.Salah
satunya akibat paparan sinar matahari juga mangakibatkan eksersebasi melalui
reaksi kobner.Beberapa penelitian menyatakan terjadinya keparahan penyakit
seiring dengan meningkatnya paparan sinar matahari.
Adapun faktor pencetus sistemik antara lain: infeksi, obat, konsumsi
alkohol, stress, endokrin, dan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV),
infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat mencetuskan terjadinya psoriasis
vulgaris. Bakteri dapat menghasilkan endotoksin yang berfungsi sebagai
superantigen yang dikemudian hari akan meningkatkan aktivasi sel limfosit T,
makrofag, sel Langerhans, dan keratinosit.
Hubungan antara stress dan eksaserbasi psoriasis belum jelas namun
diduga karena mekanisme neuroimunologis. Psoriasis dilaporkan akan
bertambah buruk dengan timbulnya stress yaitu pada 30-40% kasus. Pada saat
periode premenstruasi, lesi psoriasis dikatakan sering kambuh.Angka kejadian
psoriasis meningkat pada waktu pubertas dan menopause dan diduga peranan
dari faktor endokrin.Psoriasis pada pasien HIV lebih berat karena terjadi
defisiensi sistem imun.

D. Diet untuk Penderita Psoriasis


1. Polyunsaturated Fatty Acids (PUFA)
Polyunsaturated Fatty Acids atau asam lemak tak jenuh adalah
lemak yang molekulnya tersusun atas rangkaian atom-atom karbon yang
memiliki dua atau lebih ikatan ganda.Sumber-sumber penting PUFA

27
adalah asam lemak omega-3 dan asam lemak omega-6. Contoh asam
lemak omega-3 adalah asam lemak linoleat (C-18:3, n-3), asam lemak
EPA/eicosapentaenoic acid (C20:5, n-3), dan DHA/Docosahexaenoic
Acid (C22:6, n-3). Asam lemak omega-3 tidak dapat diproduksi oleh
tubuh, sehingga dibutuhkan asupan dari bahan makanan. Omega-3 dapat
diperoleh dari makanan nabati ataupun hewani, paling banyak dari ikan
laut (seperti ikan salmon, makerel, dan tuna); kandungan terbanyak pada
minyak ikan, yaitu EPA dan asam lemak dokosaheksaenoat (DHA). Secara
metabolik Omega 3 dan Omega 6 memiliki fungsi berlawanan, dimana
asam lemak omega-6 (linoleic acid/ LA) bersifat pro-inflamasi dengan
derivatnya AA sedangkan asam lemak omega-3 (alpha-linolenic
acid/ALA) bersifat anti-inflamasi dengan derivatnya eicosapentaenoic
acid (EPA) dan docosahexanoic acid (DHA). Efek anti inflamasi asam
lemak omega-3 menekan eikosanoid proinflamasi asam lemak omega-6
yang berkompetisi menduduki enzim cyclooxygenase (COX) dan
lipoxygenase (LOX).Asam arakidonat dan metabolit proinflamasinya
diketahui berhubungan terhadap timbulnya lesi psoriasis dan penyakit
inflamasi dan autoimun lainnya. Oleh karena itu, salah satu pilihan terapi
psoriasis adalah dengan penggantian AA dengan asam lemak alternatif lain,
terutama EPA, yang dimetabolisme melalui jalur enzimatik yang sama
dengan AA. Dengan demikian, ketika asam lemak omega-3 dimetabolisme
oleh enzim siklooksigenase dan lipoksigenase untuk menggantikan AA
pada membran sel, senyawa ini dapat berperan untuk mengurangi proses
inflamasi pada psoriasis. Minyak ikan dapat mengubah komposisi serum
dan lipid epidermis dan membran sel darah, yang menjadikannya pilihan
terapi pada psoriasis.

2. Gluten
Gluten adalah protein nabati yang terdapat dalam berbagai jenis

28
gandum, seperti terigu, gandum hitam.Gluten terdiri dari asam glutamat
(43%), kasein (23%), dan gelatin (12%).Beras tidak mengandung
gluten.Intoleransi gluten sering ditemukan pada celiac disease (CD), yaitu
malabsorpsi dan atrofi vili usus dan dapat diterapi dengan diet bebas
gluten.Sitokin Th1 berperan dalam patogenesis celiac disease dan
psoriasis.Pada psoriasis, Th1 berperan memproduksi interferon gamma
dan interleukin-2, sedangkan pada CD, Th1 memproduksi sitokin mirip
yang berespons terhadap gluten.Peningkatan sitokin-sitokin tersebut dapat
menjadi faktor pencetus CD dan psoriasis.
Sebuah studi mendapatkan pasien psoriasis mengalami perbaikan
lesi kulit dengan gluten free diet (GFD).Suatu penelitian menunjukkan
peningkatan kadar antigliadin antibodies (AGA) pasien psoriasis sebesar
16%; 33 pasien AGA positif dan 6 pasien AGA negatif diberi GFD selama
3 bulan dan didapatkan hasil pada 30 pasien dari 33 pasien dengan AGA
positif mengalami penurunan skor PASI.

3. Antioksidan

Pasien psoriasis menunjukkan gangguan status antioksidan, yaitu

29
peningkatan konsentrasi malondialdehid (MDA) dan penanda peroksidasi
lipid. Konsumsi alkohol tinggi dan perokok aktif merupakan faktor risiko
peningkatan stres oksidatif yang menurunkan kadar antioksidan pada
individu dengan riwayat penyakit kronis lebih dari 3 tahun. Konsumsi
buah dan sayuran dengan kandungan vitamin A, C, E, dan flavonoida
dapat bermanfaat mencegah ketidakseimbangan stres oksidatif dengan
anti-oksidan sebagai pencegahan psoriasis.Risiko psoriasis secara
signifikan berbanding terbalik dengan asupan wortel, tomat, dan buah
segar, serta asupan -karoten. Asupan sayuran hijau tinggi menunjukkan
hubungan terbalik, dengan risiko psoriasis.Konsumsi sayuran dan
buah-buahan dapat bermanfaat untuk terapi psoriasis karena kandungan
tinggi berbagai antioksidan seperti karotenoid, flavonoid, dan vitamin C.

4. Selenium

Selenium merupakan salah satu mikronutrien esensial pengatur


sistem imun dan anti- proliferasi, yang berpengaruh terhadap respons
imun baik melalui perubahan pengeluaran sitokin maupun reseptor lain,
atau dengan meningkatkan kekebalan sel tersebut terhadap stres oksidatif.
Sebuah studi Daviddovici menyatakan bahwa pasien penyakit inflamasi
kulit, kanker kulit, melanoma maligna, dan limfoma sel T kutaneus
memiliki kadar selenium rendah. Kadar selenium rendah dapat menjadi
salah satu faktor berkaitan dengan keparahan penyakit psoriasis.

5. Analog Vitamin d

Vitamin D merupakan pro-hormon yang dihasilkan dari


perombakan 7-dehidrokolesterol melalui paparan ultraviolet B (UVB)
sinar matahari pada kulit. Vitamin D berperan menjaga homeostasis
kalsium dan metabolisme tulang; berperan penting dalam proliferasi sel,

30
diferensiasi, apoptosis, angiogenesis; pengurangan risiko penyakit
inflamasi kronis, seperti penyakit autoimun, penyakit-penyakit infeksi,
penyakit kardiovaskular, dan beberapa penyakit kanker (kanker payudara,
kolorektal, dan prostat).Vitamin D dapat memberikan efek pada
penyakit-penyakit inflamasi yang diatur oleh limfosit Th1, seperti diabetes,
psoriasis, Crohn’s disease, dan multipel sklerosis.Analog vitamin D
(kalsipotrien dan takalsitol) merupakan terapi lini pertama pada
pengobatan psoriasis.Pasien psoriasis yang tidak menggunakan terapi
topikal analog vitamin D disarankan mengonsumsi suplemen vitamin D.

6. Vitamin B12

Vitamin B12 di alam ataupun tubuh manusia dalam bentuk


hidroksikobalamin, adenosil kobalamin, dan sebagian besar sebagai
metilkobalamin. Vitamin ini terdapat dalam makanan hewani, seperti
daging, ikan, hati, telur, dan susu. Vitamin B12 ini tidak ditemukan dalam
tumbuh-tumbuhan.Vitamin B12 dapat mempengaruhi psoriasis karena
perannya dalam sintesis asam nukleat.Dalam studi in vitro vitamin B12
menunjukkan efek imunomodulator pada limfosit T dan
sitokin.Penggunaan metrotreksat sebagai terapi sistemik psoriasis
mempunyai efek samping defisiensi vitamin B12 dan asam folat, yang
dapat menyebabkan anemia megaloblastik; untuk mencegahnya,
dianjurkan juga untuk menambah asupan vitamin B12.

7. Zink

Kekurangan Zn sering dihubungkan dengan psoriasis tipe


plak.Haase, dkk.mengatakan tingkat serum Zn menunjukkan hubungan
dengan skor psoriasis area severity index (PASI), walaupun suplementasi

31
Zn tidak mengubah skor PASI secara signifikan. Pasien psoriasis dengan
lesi kulit luas kadar Znnya lebih rendahdibandingkan pasien dengan lesi
kulit lebih sedikit.
8. Asam Folat

Peranan asam folat pada pasien psoriasis belum diketahui


pasti.Penelitian pada 58 pasien psoriasis vulgaris dengan body surface area
(BSA) >6% yang mendapat suplemen kalsium folat dibandingkan dengan
58 pasien yang tidak mendapat terapi tambahan, pasien dengan terapi
tambahan tidak menunjukkan efek samping pengobatan.Dosis asam folat
pada orang dewasa adalah 1 mg/hari dan pada anak-anak 300-800
µg/hari.Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui manfaat
suplemen asam folat pada pasien psoriasis.

32
Kesimpulan Tatalaksana Diet Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, umumnya
ditandai dengan plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama berlapis
keputihan.Diet rendah kalori dan diet vegetarian bermanfaat untuk
pencegahan psoriasis.Pasien dianjurkan mengonsumsi makanan kaya PUFA,
buah- buahan, dan sayuran, serta vitamin karena memiliki kandungan
antioksidan yang tinggi.
E. Makanan Formula untuk Psoriasis

Cookies oat alpukat


Resep Asli
Bahan Jumlah (gr)
Tepung terigu 100
Tepung Maizena 10
Oat meal 100
Selai kacang 100
Gula 50
Mentega 150

Resep Modifikasi
No Bahan Jumlah (gr)
1 Tepung mocaf 100
2 Oat meal 100
3 Selai kacang kenari 100
4 Alpukat 50
5 Madu 10
6. Unsalted Butter 10

Alat-alat :
1. Kertas minyak
2. Loyang
3. Oven
4. Wadah
5. Timbangan

Cara Membuat :
1. Masukkan selai kacang kenari dan madu, aduk sampai tercampur rata

33
2. Tambahkan tepung mocaf dan alpukat yang sudah dihancurkan
3. Diamkan didalam kulkas selama 10 menit
4. Bentuk adonan bulat-bulat lalu ditekan dengan garpu
5. Panggang dengan suhu 170 0 selama 15 sampai 20 menit

 Analisis Zat Gizi

Jumlah Vit.
No Bahan
(gr) E P L KH Vit.d B12 zink
1 Tepung mocaf 100 350 Kal 1,2 g 0,6 g 85 g 0.0 0.0 0,6 mg
2 Oat meal 100 370 Kal 12,5 g 7g 63,3 g 0.0 0.0 0,41 mg
Selai kacang
3 100
kenari 657 Kal 15,0 g 66 g 13 g 0.0 0.0 3,0 mg
4 Alpukat 50 42,5 Kal 0,45 g 3,25 g 3,85 g 0.0 0.0 0,2 mg
5 Madu 10 2,94 Kal 0,003 g 0 0,795 g 0.0 0.0 0,002 mg
6 Unsalted Butter 10 7,42 Kal 0,005 g 0,816 g 0,014 g 0,1 0.0 0.0
Jumlah 1429,86 Kal 29,158 g 77,66 g 165,95 g 0,1 0 4,212 g

34
3. SLE (Systemic Lupus Erythematous)
A. PENGERTIANSLE
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu
penyakit autoimun yang kronik danmenyerang berbagai sistem dalam
tubuh.Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam,
bersifatsementara, dan sulituntuk didiagnosiskarena itu angka yang pasti tentang
jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh.SLE menyerang
perempuan kira-kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki.Penyakit ini
seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Di Amerika Serikat,
penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering
daripada perempuan Kaukasia. (Sylvia& Lorraine, 2005).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit,pada sekitar tahun
1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk
“kupu-kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang
menyerupai gigitan serigala(lupusadalah kata dalam bahasa Latin yang berarti
serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini

35
apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu
kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang etiologinya tidak
diketahui.Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, artritis
rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan – gangguan ini seringkali memiliki
gejala yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat menjadi
semakin slit untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia& Lorraine, 2005).
Menurut Para Ahli reumatologi Indonesia,
Lupus adalah penyakit autoimun sistemik yangditandai dengan adanya
autoantibodi terhadap autoantigen,pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, sehinggaterjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan
penyakit lupus bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap
penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya
penyakit lupus dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit
yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang
muncul dan organ yang terlibat (PRI. 2011)
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh
dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang
terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood, 1999).

B. JENIS-JENIS PENYAKIT LUPUS


1. Lupus Eritematosis Diskoid (DLE)
Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan manifestasi
beberapa jenis kelainan kulit. Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka
(terutama hidung, pipi), telinga atau leher. Penyakit yang terbatas pada lesi kulit

36
yang makroskopik dan mikroskopik menyerupai SLE. Hanya 35% penderita
mengalami antibodi antinukleus positip. Berbeda dengan SLE, hanya lesi kulit
yang menunjukkan deposit Ig-komplemen pada membran basal. Setelah
beberapa tahun, 5%-10% penderita bermanifestasi sistemik. Diskoid Lupus
tidak serius dan jarang sekali melibatkan organ-organ lain (Robbins dkk; 1999).
2. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
SLE merupakan penyakit demam sistemik, kronik, berulang dengan gejala
yang berhubungan dengan semua jaringan, terutama sendi, kulit, dan membran
serosa. Dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus paru-paru,
lupus pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, lupus kulit, lupus ginjal, lupus
jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi, dan lain-lain
(Robbins dkk; 1999).
3. Lupus Eritematosus yang disebabkan obat
Obat-obatan seperti hidralazin (obat hipertensi), prokainamid (untuk
mengobati detak jantung yang tidak teratur), isoniazid, dan D-penisilamin
sering menyebabkan ANA positip, kurang sering menyebabkan sindrom seperti
LE. Pada sindrom seperti LE, meskipun melibatkan banyak organ, penyakit
ginjal dan susunan saraf pusat jarang terjadi. Penyakit mempunyai hubungan
dengan HLA-DR4. Penyakit ini timbul akibat efek samping obat dan akan
sembuh sendiri dengan memberhentikan obat terkait (Robbins dkk; 1999).
C. PATOFISIOLOGI SLE

Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi,
dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi
kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan
oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering
ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan
yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas
autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus

37
dapat menyebabkan 6 cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan
generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ
target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3)
secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan
atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis,
muncul sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang
pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan
homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi,
berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

D. KRITERIA IDENTIFIKASI SLE


American College of Rheumatology (ACR) mengembangkan kriteria untuk
mengidentifikasi pasien lupus.Kriteria ini dikembangkan pada tahun 1971, direvisi
pada tahun 1982, dan dimodifikasi sedikit pada tahun 1997.Kriteria tidak mencakup

38
semua manifestasi klinis penyakit dan digunakan terutama untuk membedakan SLE
dari penyakit collagen-vascular lainnya (Dipiro, et al., 2005).
Kriteria klasifikasi Lupus Sistemik Erythematosus (Dipiro, et al., 2005) :

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan fotikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter
Arthritis Arthritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau
efusia.
Serositis a. Pleuritis - Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura
atau
b. Perikarditis – Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapatbukti effusi pericardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 50 gram perhari atau > 3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder sekunder : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan

39
neurologi metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidak
seimbangan elektrolit)
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
hematologik atau
b. Leukopenia < 4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
c. Limfofenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-obatan.
Gangguan a. Anti DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal.
atau
b. Anti-Sm:terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan posistif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM
2) Tes lupus anti koagulanpositif menggunakan metoda standar,
atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan
tes imobilisasi Treponema pollidium atau tes fluoresensi
absorbsi antibodi treponema

40
Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuklear positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
(ANA) waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat

Jika terdapat 4 atau lebih dari 11 kriteria yang didokumentasikan dalam sejarah
medis pasien, diagnosis SLE dapat ditegakkan dengan spesifisitas 95% dan sensitifitas
85%. Meskipun kriteria ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosa, diagnosis
tetap membutuhkan uji serologi tambahan, immunopathologic, dan evaluasi klinis
(Dipiro, et al., 2005).

E. ZAT GIZI YANG DIPERLUKAN SLE

Gizi seimbang adalah yang tepat untuk penderita lupus. Meskipun bukti yang
menunjukkan beberapa zat gizi berperan penting dalam manajemen lupus, para ahli
sepakat bahwa diet seimbang menawarkan manfaat terbesar. Berikut ini zat gizi
yang diperlukan setiap hari bagi penderita lupus :
1. Kalsium .
Sertakan sumber kalsium yang kaya, khususnyajika meminum
kortikosteroid, yang dapat mengganggu penyerapan kalsium dan bisa
memicuuntuk osteoporosis. Makanan tinggi kalsiumtermasuk susu dan produk
susu, dan, untuktingkat lebih rendah, brokoli, sayuran (chard, okra,kangkung,
bayam, dll.), asinan kubis, kol,rutabaga, salmon dan kacang kering. Untuk
meningkatkan penyerapan,Konsumsi kalsium dengan makanan yang
mengandung asam atau vitamin C.Kebanyakan wanita tidak mengkonsumsi
kalsium yang cukup dalam makanan merekadan membutuhkan suplemen.
Namun, jika mengkonsumsi suplemen kalsium diskusikan terlebih dahulu
dengan dengan dokter ,terutama jika Anda memiliki penyakit ginjal.

41
2. Zat Besi
Konsumsi sumber zat besi yang kaya. Untuk meningkatkan penyerapan, dapat
mengkonsumsi zat besi dengan makanan yang mengandung asam atau
vitamin C. Sumber zat besi termasuk krim gandum, hati, daging sapi, domba,
babi, ayam, telur, ikan, kacang, plum, aprikot, kacang polong dan sereal.
Namun,mengonsumsi kalsium bersamaan dengan zat besi dapat mengurangi
penyerapan besi. Jika penderita lupus mengambil suplemen zat besi harus
dikonsumsi sesuai saran dokter.
3. Vitamin C

Beberapa sel sistem kekebalan membutuhkan vitamin C untuk melakukan


tugasnya, terutama fagosit dan sel-t.Oleh karena itu, vitamin C bukanlah obat
pencegah, tetapi lebih diperlukan untuk memastikan fungsi sistem kekebalan
tubuh yang tepat.Pada akhirnya, sistem kekebalan tubuh inilah yang
melindungi tubuh terhadap penyaki.Vitamin C, antioksidan penting, mencegah
stres oksidatif, mengurangi peradangan dan menurunkan tingkat antibodi
(anti-dsDNA, IgG), juga mencegah komplikasi kardiovaskular. Oleh karena itu,
vitamin C harus ditambahkan dalam diet pasien SLE dengan dosis maksimum 1
g / hari, atau dalam kombinasi dengan vitamin E (vitamin C; 500 mg dan
vitamin E; 800 IU), karena tindakan sinergisnya.Makanan tinggi vitamin C. Ini
termasuk tomat segar, brokoli, jambu, jeruk dan buah jeruk lainnya, stroberi,
kembang kol, blewah,.

4. Vitamin B kompleks B6,B12 dan folat


Mengenai perkembangan aterosklerosis pada SLE, hubungan dengan
peningkatan kadar homosistein darah baru-baru ini telah ditemukan. Vitamin
B6 dan B12 dan folat dikenal sebagai kofaktor penting dalam metabolisme
homocystein. Sertakan makanan yang kaya vitamin B6 ,Makanan initermasuk
serealgandum dan roti, ikan, unggas, daging(Terutama hati), pisang,

42
kacang-kacangan, alpukat, kacang hijau,kentang, dan sayuran berdaun hijau
seperti bayam.
Vitamin B kompleks membantu mengurangi tingkat TG dan LDL-C, dan
gejala klinis pada SLE.Suplai makanan terbaik untuk vitamin B adalah daging
merah, hati dan sereal yang diperkaya, tetapi juga dapat ditemukan pada
ayam, salmon, sarden, kacang-kacangan, telur, pisang, dan alpukat.
5. Asam Retonoat
Asam retinoat, metabolit vitamin A, memiliki efek antineoplastik,
menghambat Th-17 dan mengurangi tingkat antibodi, dan oleh karena itu
suplementasi diet harus mencakup 100.000 IU vitamin A setiap hari, dengan
hati-hati agar tidak melebihi dosis ini, menyebabkan gejala yang berkisar dari
kulit kering, alopecia , sakit kepala, mual dan anemia, sampai kematian.

6. Vitamin D

Data medis menunjukkan bahwa bentuk aktif vitamin D (kalsitriol) dapat


meningkatkan respon imun bawaan, mengatur respon sel T dan B. Oleh karena
itu, kadar vitamin D yang lebih rendah dapat menjadi faktor risiko untuk
memicu tidak hanya SLE, tetapi juga penyakit autoimun lainnya. , satu
penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang tinggi juga dapat
membantu melawan kelelahan pada pasien SLE.
Sertakan makanan yang kaya vitamin D untuk meningkatkan penyerapan
kalsium dan mengurangi risiko osteoporosis pada penderita lupus. Makanan ini
termasuk telur, minyak ikan dan makanan yang diperkaya termasuk susu dan
beberapa sereal; periksa labelnya. .
7. Kurangi Konsumsi Lemak Jenuh

Untuk mengurangi risiko penyakit jantung, ikuti diet rendah lemak jenuh
dan kolesterol.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet rendah lemak
dapat menurunkan sistem kekebalan yang terlalu aktif.Rendah asupan lemak

43
juga mengurangi risiko kanker tertentu.Pilih minyak zaitun atau minyak canola.

8. Omega 3
Omega-3 memiliki sifat anti-inflamasi. Omega-3 PUFA dapat menghambat
kemotaxis leukosit, adhe- Ekspresi molekul sion dan produksi inflamasi sitokin,
melalui aksi pro-penyelesaian khusus mediator, seperti lipoxin, resolvins,
protectins, dan maresin, yang mengurangi peradangan Asam eikosapentaenoat
dan asam docosahexaenoic, asam lemak omega-3 yang ditemukan pada ikan
berminyak, sebagian dapat menghambat peradangan, tetapi lebih lanjut klinis uji
coba diperlukan untuk melihat efeknya pada SLE. Tergantung dosis aksi n-3
PUFA pada respon inflamasi miliki belum dijelaskan dengan baik, tetapi
setidaknya 2 g / hari diperlukan untuk mencapai efek antiinflamasi . Biji rami
bubuk, minyak biji rami dan kacang kenari tinggi asam lemak omega-3. Ikan
dengan tinggi Termasuk kandungan asam lemak omega-3 makarel, salmon dan
sarden.
9. Likopen

Terdapat pada tomat , tomat memiliki kadar likopen yang tinggi, yang dapat
mengurangi risiko jantung penyakit.
10. Serat.

Asupan harian serat yang ditemukan dalam sereal, buah-buahan dan


sayuran, harus sekitar 38 g untuk pria dan 32 g untuk wanita, untuk mengurangi
kadar glikemia dan lipid pasca-prandial, mengatur hiperlipidemia, dan
menurunkan tekanan darah dan protein reaktif . Sejauh menyangkut konsumsi
serat, asupan air yang memadai harus dipertimbangkan, dan melebihi asupan
serat harus dihindari karena dapat menyebabkan asupan energi yang rendah.

11. Polifenol, isoflavon.

44
Hanya sedikit informasi yang diketahui tentang polifenol, komponen bioaktif
dari berbagai makanan, seperti buah-buahan dan sayuran, anggur merah dan teh,
dengan dampak yang sangat bermanfaat pada mikrobiota usus . Sebuah studi
baru-baru ini ditetapkan untuk menentukan hubungan antara asupan polifenol
dan mikrobiota tinja pada pasien dengan SLE dan kontrol .Flavonoid mewakili
kelas polifenol terbesar dan diklasifikasikan dalam enam subkelas termasuk
flavon, flavonon, flavonol, chalcone, anthocyanin dan isoflavonoid.Penguat
kesehatan yang luar biasa ini, selain mempromosikan respons imun yang lebih
baik, memiliki efek antioksidan dan antimikroba yang mapan, serta peran
antipenuaan.
Makanan utama yang menyediakan asupan flavon meliputi berbagai buah
dan sayuran (jeruk, selada, semangka, kiwi, tomat, apel, lentil, seledri). Studi
Cuervo et al , menunjukkan jeruk memberikan jumlah utama flavonon pada
pasien SLE, sementara dihydrochalcones dipastikan hanya dari asupan apel.
Dihydroflavonols sebagian besar berasal dari konsumsi anggur merah, sedangkan
asupan flavonol adalah karena teh, apel, bayam, kenari, kacang putih, selada,
asparagus, brokoli, kacang hijau dan tomat. Studi ini menunjukkan bahwa diet
seimbang, dengan asupan tinggi apel dan jeruk, serta buah-buahan dan sayuran
lain yang kaya akan flavonoid, telah dikaitkan dengan tingkat feses
mikroorganisme menguntungkan (Lactobacillus, Blautia dan Bifidobacterium) di
SLE pasien. Isoflavon adalah komponen bioaktif yang memiliki efek
antiinflamasi dan antioksidan, mengurangi proteinuria dan produksi antibodi, dan
dapat mengurangi sekresi IFN-Υ. Sumber isoflavon lainnya adalah kacang
hitam, minyak zaitun, dan sereal
12. Natrium

Asupan natrium tidak hanya tidak memiliki efek menguntungkan tetapi juga
memperburuk disfungsi ginjal pada pasien SLE, yang harus disarankan untuk
mengurangi garam dan bumbu dari makanan mereka. Untuk pasien ini, asupan

45
natrium harus kurang dari 3 g / hari
13. Selenium

Selenium memiliki efek antioksidan dan antiinflamasi dan dapat


ditambahkan ke diet pasien dari konsumsi kacang-kacangan, sereal utuh, telur.
14. L-canavanine.

Hasil bertentangan muncul mengenai L-canavanine.non-proteicaminoacid


yang mengendalikan sintesis antibodi dan memiliki efek penekan pada sel T.
Sumber utama untuk L-canavanine adalah kedelai dan alfalfa, tetapi juga dapat
diekstraksi dari bawang merah . Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa
kecambah alfalfa menginduksi sindrom seperti lupus pada orang yang sehat dan
mengaktifkan kembali SLE baik secara klinis maupun serologis pada pasien
dengan penyakit tidak aktif.
15. Taurin.
Taurin dapat ditemukan dalam daging, telur dan tiram, adalah asam amino β
yang mengatur respon imun, mengurangi stres oksidatif dan menurunkan tingkat
sitokin dan lipid inflamasi .
16. Royal jelly.
Royal jelly kaya akan asam amino dan vitamin, dapat melengkapi diet
pasien SLE, karena efek hipokolesterolemia, antiinflamasi, dan
imunoregulatorinya.
17. Curcumin.

Curcumin,polifenol yang diekstrak dari rempah yang disebut Curcuma


longa, juga dikenal sebagai kunyit, telah sangat dipelajari dalam percobaan
pra-klinis dan klinis. Karena efek anti-inflamasi, antioksidan, antibakteri,
hipoglikemik dan penyembuhan luka dan curcumin telah digunakan dalam
berbagai penyakit inflamasi termasuk spektrum dermatologis (psoriasis,
vitiligo, SLE-lupus nephritis, oral) lichen planus) . Dosis yang

46
direkomendasikan untuk lupus nephritis adalah 500 mg setiap hari selama 3
bulan, yang mengarah pada pengurangan proteinuria, hematuria, dan tekanan
darah pada pasien SLE yang kambuh dengan nefritis lupus yang tidak terobati .
Curcumin memodulasi sitokin pro-inflamasi, molekul adhesi dan CRP,
sehingga memunculkan efek antiinflamasi yang bermanfaat pada arthritis,
dengan mengurangi rasa sakit dan tingkat CRP, dan meningkatkan jarak
berjalan, dengan dosis 200 mg setiap hari selama 3 bulan (48.49) ). Ketika
digunakan dalam kombinasi dengan celecoxib (penghambat COX-2), efeknya
sinergis. Dosis untuk SLE berkisar antara 100-200 mg setiap hari hingga 4,5 g
/ hari, tetapi suplementasi kurkumin dianggap aman hingga 12 g setiap hari.
F. Makanan Formula untuk SLE

“CREKERS”

RESEP ASLI MODIFIKASI


No Bahan Jumlah No Bahan Jumlah
(gr) (gr)
1 Tepung singkong 180 1 Tepung sagu 80 gr
2 Golden flaxseed 24 2 Tepung tapioka 80 gr
meal
3 Garam ½ sdt 3 Oats 20 gr
4 Bubuk bawang ½ sdt 4 Tepung Ikan makarel 5 gr
putih
5 Baking soda 1/8 sdt 5 Tepung bayam 12 gr
6 Cream of tartar ¼ sdt 6 Puree tomat 20 gr
7 Dried Oregano 3 sdt 7 Canola oil 78 gr
8 Olive oil 78 gr 8 Garam ½ sdt
9 Air 108 ml 9 Lada ½ sdt
10 Tomato paste 20 gr 10 Oregano 5 gr
11 Air 58 ml

Alat-alat :
1. Kertas minyak
2. Loyang
3. Oven
4. Wadah

47
Cara Membuat :
1. Masukkan tepung singkong ke dalam wadah, campurkan dengan bahan lain
seperti tepung ikan sarden, tepung bayam, bakin soda,garam, lada dan oregano.
Lalu aduk hingga rata.
2. Masukkan air ke dalam wadah terpisah dan campurkan dengan minyak dan
pasta tomat. Lalu aduk hingga rata.
3. Campurkan wadah yang berisi air ke dalam wadah tepung secara perlahan.
Kemudian aduk menggunakan spatula hingga merata dan gunakan tangan
ketika sudah berbentuk seperti adonan.
4. Pipihkan adonan di atas kertas kue dan tutupi lagi menggunakan kertas. Lalu
giling adonan hingga pipih sama rata.
5. Buka kertas pada bagian atas. Lalu potong menggunakan pisau berbentuk kotak
seperti bentuk krekers. (4 x 4 cm)
6. Masukkan ke dalam oven selama 40 menit. lalu angkat dan potong dan
pisahkan setiap krekers agar tidak terlalu rapat.
7. Masukkan kembali krekers ke dalam oven selama 15 menit.
8. Angkat krekers. Maka krekers siap di hidangkan.

48
Analisis Nilai Gizi 1 Porsi (5 Keping = 42,5 gr)

Bahan Berat E P L(gr) KH(gr) Vit Ca Fe


Makanan (gr) (kkal) (gr) C (mg) (mg)
Tepung sagu 13,3 gr 47.2 0.02 0.02 6.86 0 1.3 0.15
Tepg tapioka 13,3 gr 48,2 0.14 0.05 11.7 0 11.1 0.13
Oats 3,3 gr 13.2 0.37 0.33 2.26 - - -
Tepung Ikan 0.83 gr 8.17 1.49 0.13 0.25 - 7.12 0.09
makarel
Tepung bayam 2 gr `1.6 0.09 0.04 0.36 4,2 17.2 0.36
Puree tomat 3.3 gr 0.79 0.04 0.01 0.15 1.12 0.2 0.01
Canola oil 13 gr 114,9 0 13 - - - -
TOTAL 232.46 2.15 13.58 21.58 1.12 36.92 0.74

49
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

50
DAFTAR PUSTAKA
Soenardi,T, Soetardjo, 2009, ‘Terapi makanan anak dengan gangguan
autisme’,PT. Penerbitan Sarana Bobo, diunduh pada diunduhtanggal18/05/19,
http://www.autis.info/index.php/terapiautisme/terapi-makanan
James, SJ, et al. 2004, ‘Metabolic biomarkers of increased oxidative stress and
impaired methylation capacity in children with autism’, Am J Clin Nutr, 80: 1611–7
10
James, SJ, et al. 2009, ‘Efficacy of methylcobalamin and folinic acid treatment
on glutathione redox status in children with autism’, Am J Clin Nutr, 89: 425-30
Bernhoft R & Buttar, R 2008, ‘Autism : Multi-system oxidative and inflammatory
disorder’, di unduh pada tanggal diunduhtanggal18/05/19,
http://69.164.208./Autism--Multi-System Oxidative and Inflammatory Disorder.pdf
Newman, L 2009, ‘What You Should Know – Facts About Methylation, Sulfation
and Oxidative Stress’,diunduhtanggal18/05/19,
http://blogs.kirkmanlabs.com/blog/2009/11/10/what-you-should-know-facts-aboutm
ethylation-sulfation-and-oxidative-stress/
Etty Farida Mustifah, Rini Hastuti dkk. Peranan diet pada tatalaksana psoriasis
Oliviti, Natali, 2013 Hubungan antara kadar prolaktin serum penderita proriasis
vulgaris dengan skor psoriasis area and severity index, program pendidikan dokter
spesalis, Medan.
Aulawi, Dede Farhan 2008, Mengenal Penyakit Lupus, Diakses 2 Mei 2014
(http://www.panduankesehatan.com).
Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,
Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.
Joseph A. Bellanti, M.D. 1993, Imunologi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Michelle Petri, M.D., M.P.H. 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus,
Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.

51
Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V 1999, Dasar Patologi Penyakit, EGC, Jakarta.
Sjaiffoellah, Noer 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Sylvia, A.P & Lorraine, M.W 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, EGC, Jakarta.
Underwood, J.C.E 1999, Patologi Umum dan Sistematik, EGC, Jakarta.
Wallace, J.D 2007, The Lupus Book: Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan
Keluarganya, B first, Jakarta.
https://www.lupuscanada.org/wp-content/uploads/2015/09/Nutrition-Online.pdf
Journal of Eidemiology.Minami,Yuko,dkk. Intakes of Vitamin B6 and Clinical
Course of Systemic Lupus Erythematosus : A Prospective Study of Japanese Female
Patients.2011
Magdalena,Maria,dkk.Significance and impact of dietary factors on systemic
lupus erythematosus pathogenesis (Review) Romania Received July 3, 2018;
Accepted August 14, 2018

52

Anda mungkin juga menyukai