Anda di halaman 1dari 3

Kabut Asap dan Nalar

indoprogress.com/2015/10/kabut-asap-dan-nalar/

Kabut Asap dan Nalar 27 October 2015 Irwansyah Harian October 27,
IndoPROGRESS 2015

Foto diambil dari http://blog.act.id

PERHATIAN publik saat ini terfokus pada soal bencana asap yang merajalela dari
berbagai lokasi kebakaran hutan – terutama yang terjadi dalam skala hebat di Sumatera
dan Kalimantan. Asap yang pekat mencekat, membangkitkan jeritan-jeritan protes
kemarahan warga yang hidup dekat dengan pusat kebakaran mau pun mereka yang
turut diserang kabut, sekalipun tinggal di negeri-negeri seberang. Kekalutan dan
kebingungan bukan hanya dialami mereka yang terserang langsung oleh serangan
bencana asap ini. Nyaris seluruh bangsa, dapat dikatakan, terlanda keprihatinan akan
situasi kesedihan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh serangan bencana asap yang
terus meluas ini. Kita tentu mengerti betapa berbahaya dan memprihatinkannya situasi
yang harus ditanggung makhluk hidup yang terkepung kabut asap beracun. Karenanya
wajar bila kemarahan dan solidaritas juga mengalir deras dari kita yang tidak/belum
diserang bencana kabut asap.

Kabut asap dikabarkan telah mengepung langit dan menyelubungi pandangan


sedemikian rupa hingga menghalangi kemudahan beraktivitas normal sehari-hari.
Kepungan kabut asap jelas menghasilkan keadaan disorientasi alias kehilangan arah
yang parah. Di berbagai tempat, mereka yang dikepung asap tidak dapat melihat dengan
jelas ruang sekeliling yang mereka huni. Mereka juga jelas kesulitan bernafas karena
berkurangnya pasokan oksigen ke tubuh, yang bila berlangsung berkelanjutan
berdampak mematikan dan juga kerusakan lanjutan pada organ-organ tubuh. Mereka
yang paling lemah, seperti kanak-kanak dan orang miskin adalah yang paling sulit
menghindari dampak negatif serangan kabut asap.
1/3
Sementara itu, tidak ada dari pihak berkuasa terkait yang mau mengambil tanggung
jawab penuh atas kondisi yang dinyatakan darurat dan terus parah ini. Singkatnya, para
pihak tersebut memajukan pandangan bahwa bencana ini hasil dari kelalaian,
keteledoran, ataupun ketidaktanggapan pihak lain. Beragam pandangan saling
mengaburkan tanggung jawab dan akar masalah. Seruan moral yang berkumandang
membahana di tengah keruhnya pandangan adalah ‘jangan saling menyalahkan, yang
mendesak adalah usaha-usaha nyata apa saja yang dapat dilakukan untuk menanggapi
keluhan-keluhan yang mempermasalahkan parahnya kabut asap di mana-mana.’

Maka perbincangan publik didominasi oleh ajakan-ajakan bertindak etis dan praktis.
Mulai dari boikot produk-produk perusahaan yang berinvestasi di lahan-lahan terbakar
penghasil kabut asap, ajakan-ajakan kreatif teknik memancing hujan agar kebakaran
segera padam, mempromosikan alat-alat untuk membatasi dampak serangan kabut
asap, hingga ajakan memperbanyak ibadah agar bencana segera dijauhkan. Sementara
perdebatan yang strategis dan kritis terkait soal bencana asap ini sangat lah minim.
Seperti telah disinggung juga oleh penulis kolom Logika di media kita ini, Dede Mulyanto,
bahwa tidak ada pembahasan bencana asap sebagai kritik terhadap kapitalisme.

Sesungguhnya, bukan kita tidak tahu sama sekali bahwa bencana kabut asap ini hasil
dari proses dan relasi produksi yang khas dalam masyarakat kapitalis. Pengetahuan kita
itu terkepung kabut nalar yang akut yang terus menyelubungi kesadaran kita. Padahal
kita tahu bahwa bencana asap ini adalah hasil pembakaran lahan-lahan gambut dalam
skala yang sangat luas dan terus menerus untuk kepentingan produksi industri. Kita pun
mengetahui para ahli telah melaporkan bagaimana proses produksi industri yang terkait
pembakaran hutan demikian agresifnya. Tingkat penggundulan hutan (deforestasi) kita
telah menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Penanaman sawit secara intensif pun
dilaporkan segera ditemukan selepas kebakaran hutan yang dipersoalkan banyak orang.

Kita sepatutnya bertanya lebih keras, mengapa kondisi bencana asap ini harus terus
berulang? Karena sesungguhnya kekacauan serta kepanikan massal terkait kebakaran
hutan terjadi secara menahun. Semua orang tahu dari pengalaman bahwa biasanya
masalah bencana asap ini akan mereda untuk muncul kembali. Kita pun telah membaca
berita bahwa berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menangani bencana asap
yang mencekam ini. Mulai dari upaya pemadaman hingga usaha-usaha mengurangi
penderitaan para korban yang terpapar langsung oleh serangan asap. Tapi pada saat
bersamaan, elit-elit negara menyatakan dukungannya terhadap para industrialis sawit
atau pun komoditas terkait hutan lainnya. Pemerintah memilih merahasiakan nama-
nama perusahaan sawit yang membakar hutan gambut sejalan dengan Ketua DPR yang
menolak pembatasan izin produksi sawit, karena dikatakan sebagai penopang ekonomi
yang penting.

Kabut nalar yang pekat telah mengepung kita 50-an tahun, sejak kebangkitan rezim
pengabdi kekuasaan akumulasi modal tanpa batas. Kabut nalar yang pekat membuat
cakrawala pandangan kita tidak dapat melihat akar masalahnya dari ranah produksi.
Operasi produksi dan relasi-relasi sosial yang berkembang mengikutinya, sudah kita

2/3
imani sebagai sebagai sesuatu yang secara mendasar menjadi keharusan yang tak
terelakkan. Kita percaya harus terus beradaptasi untuk tetap dapat mengikuti hukum
besi kompetisi ekonomi – terutama bagi seluruh elit politik yang punya kepentingan
mengumpulkan profit dari kompetisi tersebut. Kita tidak terlalu gusar dengan para ahli
(termasuk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Meteorologi dan
Geofisika) menyimpulkan situasi bencana kebakaran hutan dan kabut asap yang terjadi
sebagai kejahatan (terhadap alam mau pun terhadap manusia) dalam proporsi yang luar
biasa. Menghadapi kejahatan tersebut, ternyata kita punya toleransi yang cukup tinggi,
bahkan dalam bentuk yang kelihatan sangat etis: himbauan moral untuk boikot
konsumsi. Prioritas solusi kita ternyata bukan lah kendali atas proses produksi dan relasi-
relasi sosial politik yang menyertainya.

Adaptasi yang tidak hanya terbatas pada pengorbanan menanggung berbagai bencana
dan malapetaka sebagai dampak operasi produksi dan relasi-relasi sosial kapitalistik.
Kita juga harus terus beradaptasi untuk menjustifikasi represi dan diskriminasi terhadap
siapa pun yang dianggap menjadi ancaman terhadap sistem sosial yang mengabdi pada
akumulasi kapital tanpa batas. Kita sebagai bangsa sudah terbukti cukup tangguh terus
melarikan diri dari kabut malapetaka 1965 yang hingga kini terus menghantui. Tentu
bukan soal yang sulit juga untuk melakukan hal yang sama pada bencana-bencana sosial
lainnya. Itulah sebabnya, sejauh ini pula, tidak ada yang tahu kapan masalah bencana
kabut asap dan kabut nalar ini akan segera berakhir, apalagi memastikan tidak akan
berulang kembali.***

3/3

Anda mungkin juga menyukai