Anda di halaman 1dari 24

WRAP UP BLOK EMERGENSI

SKENARIO 3
KEMBUNG PADA ANAK

KELOMPOK B-3

Ketua : Nabilah Natasyah 1102016147


Sekretaris : Mutia Pratiwi 1102016143
Anggota : Monika Wulandari 1102015141
Prima Harlan Putra 1102015176
Shabrina Radyaning W 1102015220
Naufal Rizky Fadhi H 1102016152
Nurcahya Tria Agusti 1102016158
Ratih Rahmah Prastuti 1102016181
Redita Kurnia Vidyasari 1102016183

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574
Skenario 3

KEMBUNG PADA ANAK

Seorang bayi perempuan berumur 6 bulan dibawa ibunya ke UGD dengan keluhan
sejak satu hari yang lalu BAB berupa lender bercampur darah tanpa feses sebanyak tiga kali
dan muntah berwarna hijau lima kali. Anak rewel dan sering menangis mengangkat kaki,
tidak mau makan dan minum, serta badan panas. Hasil pemeriksaan fisik keadaan tampak
sakit sedang, tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 150x/menit, frekuensi nafas
36x/menit suhu 39 derajat celcius. Rectal toucher ditemukan ampula collaps dan tidak
ditemukan feses. Darah positif lendir currant jelly positif. Pemeriksaan penunjang BNO 3
posisi ditemukan adaya tanda-tanda step ladder dan herring bone serta air fluid level. USG
abdomen ditemukan donut sign positif.

1
Kata Sulit

1. Current Jelly
BAB berupa lendir bercampur darah.
2. Herring Bone
Gambaran seperti duri ikan pada pemeriksaan radiologi.
3. Step Ladder
Gambaran adanya cairan transudasi dalam usus halus yang mengalami distensi.
4. Donut sign
Gambaran yang terlihat pada pemeriksaan USG yang menandakan adanya
intususepsi.
5. Ampula Colaps
Kejadian yang diakibatkan karena adanya gerakan peristaltik pada kelenjar usus yang
kosong.
6. Air fluid Level
Batas antara udara dan cairan atau adanya gerakan peristaltik usus.

2
Pertanyaan dan Jawaban

1. Mengapa terjadi muntah berwarna hijau?


Karena adanya obstruksi mengakibatkan tekanan abdominal meningkat, keluar
muntah yang kemudian bercampur dengan cairan empedu sehingga muntah berwarna
hijau.
2. Mengapa pada pemeriksaan rectal toucher tidak ditemukan feses?
Karena adanya obstruksi.
3. Mengapa terjadi ampula collaps?
Karena bagian distal dari usus kosong dan gerakan peristaltik usus tetap terjadi terus
menerus.
4. Mengapa BAB berupa lendir bercampur darah tanpa ada feses?
Karena adanya obstruksi mengakibatkan tidak ada feses dan adanya kerusakan
mukosa saluran cerna mengakibatkan adanya darah bercampur lendir.
5. Mengapa currant jelly positif?
Karena terdapat lendir dan darah pada rectal toucher.
6. Apa tatalaksana pada pasien ini?
Rehidrasi cairan, dekompresi, operasi, NGT.
7. Mengapa tekanan darah meningkat namun frekuensi nadi menurun?
Tekanan darah menurun karena kekurangan cairan dan elektrolit, sedangkan nadi
meningkat merupakan kompensasi dari tekanan darah yang menurun.
8. Apa etiologi pada pasien ini?
Virus, idiopatik.
9. Bagaimana pemeriksaan BNO 3 posisi?
a. Abdomen AP Supine : posisi tidur terlentang
b. Abdomen AP ½ duduk : posisi duduk atau ½ duduk
c. Abdomen LLD : posisi tiduran miring ke kiri
10. Mengapa anak sering menangis sambil mengangkat kaki?
Karena adanya obstruksi usus sehingga terjadi hiperperistaltik usus dan
mengakibatkan colic abdomen (refleks untuk mengurangi rasa sakit).
11. Apa diagnosisnya?
Intususepsi, ileus obstruksi et causa intususepsi
12. Apa pemeriksaan penunjang lainnya?
Pemeriksaan AGD, pemeriksaan barium-enema
13. Komplikasi apa yang dapat terjadi?
Nekrosis, sepsis, perforasi usus.

3
Hipotesis

Intususepsi dapat disebabkan oleh virus maupun idiopatik. Pada kasus ini pasien mengalami
tekanan darah yang menurun karena kekurangan cairan dan elektrolit serta nadi yang
meningkat merupakan kompensasi dari tekanan darah yang menurun. Adapaun gejala lain
yang timbul seperti muntah berwarna hijau karena adanya obstruksi mengakibatkan tekanan
abdominal meningkat, sehingga keluar muntah yang kemudian bercampur dengan cairan
empedu, currant jelly positif karena terdapat lendir dan darah pada rectal toucher serta
ampula collaps yang terjadi karena bagian distal dari usus kosong dan gerakan peristaltik
usus tetap terjadi terus menerus. Pemeriksaan penunjagn yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis adalah BNO 3 posisi, pemeriksaan AGD, pemeriksaan
barium-enema. Tatalaksana yang dapat dilakukan yaitu rehidrasi cairan, dekompresi, operasi,
NGT. Apabila tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan nekrosis, sepsis dan perforasi
usus.

4
Sasaran Belajar

1. Memahami dan menjelaskan Intususepsi/Invaginasi


1.1 Memahami dan menjelaskan Definisi intususepsi
1.2 Memahami dan menjelaskan Etiologi dan faktor risiko intususepsi
1.3 Memahami dan menjelaskan Epidemiologi intususepsi
1.4 Memahami dan menjelaskan Patofisiologi intususepsi
1.5 Memahami dan menjelaskan Manifestasi Klinis intususepsi
1.6 Memahami dan menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding intususepsi
1.7 Memahami dan menjelaskan Tatalaksana intususepsi
1.8 Memahami dan menjelaskan Komplikasi intususepsi
1.9 Memahami dan menjelaskan Pencegahan intususepsi
1.10 Memahami dan menjelaskan Prognosis intususepsi

5
1. DEFINISI

Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke dalam
lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat berakhir
dengan strangulasi(1-4). Umumnya bagian yang proksimal (intususeptum) masuk ke bagian
distal (intussussipien).

2. ETIOLOGI
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal.

 Idiopatik
Menurut kepustakaan, 90-95% intususepsi pada anak di bawah umur satu tahun tidak
dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai “infantile idiophatic
intussusceptions”. Kepustakaan lain menyebutkan di Asia, etiologi idiopatik dari intususepsi
berkisar antara 42-100%.

Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian terkait intususepsi.
Sebagian besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk menggambarkan kasus dimana
tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan intususepsi
seperti diverticulum meckel atau polip yang dapat diidentifikasi saat pembedahan.

6
Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan yang teliti dapat mengungkapkan hipertrofi jaringan
limfoid mural (Peyer patch), yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau rotavirus.

Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk menjelaskan
kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi karena Peyer patch
yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului
oleh infeksi saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi
dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering
dijumpai pada pasien yang memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah
reaksi terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas.

 Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya kelainan usus dapat
menjadi penyebab intususepsi atau “lead point” seperti: inverted Meckel’s diverticulum,
polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma dan
duplikasi usus. Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip
seperti peutz-jeghers syndrome, dan duplikasi intestinal. Lead pointlain diantaranya
lymphangiectasias, perdarahan submukosa dengan Henoch-Schönlein purpura, trichobezoars
dengan Rapunzel syndrome, caseating granulomas yang berhubungan dengan tuberkulosis
abdominal.

Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab intususepsi pada anak yang berusia di
atas enam tahun. Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul
setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan
manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.

Penyebab dari invaginasi belum diketahui secara pasti. Tapi banyak yang menyebutkan
terkait dengan hal berikut ini:
1. Pembesaran limfoid usus ( peyer patches ), akibat peningkatan paparan terhadap antigen
baru.
2. Cacat lahir.
3. Massa yang keras dari isi usus ( mekonium ).
4. Usus yang melintir ( volvulus ).
5. Divertikel kelenjar Meckel ( suatu duktus yang timbul dari ileum yang menutup pada
ujung tali pusat tetapi tetap terbuka pada ujung usus ).

7
6. Infeksi saluran napas atas, karena umumnya intususepsi terjadi pada musim dingin atau
hujan ketika banyak terjadi infeksi saluran napas atas.
7. Infeksi saluran cerna ( diare ), karena pada pemeriksaan tinja dan kelenjar limfa
mesenterium, terdapat adenovirus bersama-sama invaginasi.
8. Pada umur 2 tahun ke atas, biasanya disebabkan polip usus, hemangioma dan
limfosarkoma.

Pada orang dewasa, penyumbatan usus dua belas jari mungkin disebabkan oleh :
1. Kanker pankreas.
2. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit Crohn.
3. Perlekatan, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus.
4. Penonjolan bagian usus melalui lubang yang abnormal ( hernia ), dan usus menjadi terjepit
di dalamnya.
5. Batu empedu.
6. Massa makanan yang tidak tercena.
7. Sekumpulan cacing.
Pada usus besar, penyebab penyumbatannya adalah :
1. Kanker.
2. Usus yang melintir.
3. Tinja yang keras.

3. EPIDEMIOLOGI

Perjalanan penyakit ini bersifat progresiv. Insiden 70% terjadi pada usia < 1 tahun tersering
usia 6-7 bulan, anak laki-laki lebih sering dibandingkan anak perempuan.

Pada anak di bawah usia 1 tahun, insidens mulai dari 35 tiap 100.000 anak di Brazil sampai
1200 tiap 100.000 anak di Inggris. Pada tahun 2002-2012, kasus intususepsi di bawah usia 18
tahun di dunia sebanyak 44.454 di Amerika Utara, Asia, Eropa, Oseania, Afrika,
Mediteranian Timur, Amerika Selatan juga Amerika Tengah. Angka kejadian terendah adalah
pada usia 0 – 2 bulan, yaitu 13-37 per 100.000 orang dan insidens tertinggi pada usia 4 – 7
bulan, yaitu 97 – 126 per 100.000 orang. Di Malaysia, 74,2% kasus pada anak di bawah usia
1 tahun, 58,1% pada anak laki – laki. Data epidemiologi di Indonesia sampai sekarang ini
belum ditemukan.

8
Intususepsi sering berulang, yaitu sekitar 8–15%. Rekurensi bisa lebih dari 1 kali. Sebuah
jurnal melaporkan 481 kasus dari 191 pasien; beberapa kasus mengalami rekurensi lebih dari
1 kali, bahkan 11 kasus mengalami rekurensi 6 kali. Rekurensi tertinggi terjadi pada 24 jam
pertama. Pasien berusia lebih dari 1 tahun lebih berisiko rekuren, mungkin karena pada anak
di bawah 1 tahun, tindakan operasi lebih sering daripada reduksi enema. Data tersebut juga
menunjukkan bahwa onset kurang dari 12 jam, tidak ada muntah; teraba massa di perut
bagian kanan juga mampu menjadi prediktor peningkatan faktor risiko rekurensi intususepsi.
Intususepsi sekunder lebih sering rekuren, muntah, dan teraba massa di perut bagian bawah
kiri. Kasus intususepsi pada dewasa jarang, hanya 5% dari total kasus dan hanya 8-20%
bersifat idiopatik, selebihnya adalah intususepsi sekunder.

4. PATOGENESIS

Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan pada dorongan
longitudinal sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh
adanya massa yang bertindak sebagai “lead point” atau oleh pola yang tidak teratur dari
peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan elektrolit berhubungan dengan
berbagai masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal,
dan mengarah pada terjadinya invaginasi. Beberapa penelitian terbaru pada binatang
menunjukkan pelepasan nitrit oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat,
menyebabkan relaksasi dari katub ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal.
Penelitian lain telah mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu
dapat menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan intususepsi.

Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke dalam lumen.
Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal, dan mengakibatkan
intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem
limfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan
mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon, akan dijumpai mukosa intussusseptum
menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai
keadaan strangulasi dan perforasi usus.

Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous
return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus.
Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB
darah lendir yang disebut juga red currant jelly stool.

9
5. MANIFESTASI KLINIS
Trias invaginasi :
• Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengangkat kaki (Craping pain)
• Muntah warna hijau (cairan lambung)
• Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam) currant
jelly stool
Pada kasus-kasus yang khas, nyeri kolik hebat yang timbul mendadak, hilang timbul, sering
kumat dan disertai dengan rasa tersiksa yang menggelisahkan serta menangis keras pada anak
yang sebelumnya sehat. Pada awalnya, bayi mungkin dapat dihibur tetapi jika invaginasi
tidak cepat di reduksi bayi menjadi semakin lemah dan lesu. Akhirnya terjadi keadaan seperti
syok dengan kenaikan suhu tubuh sampai 41 C, nadi menjadi lemah-kecil, pernafasan
menjadi dangkal, dan nyeri dimanifestasikan hanya dengan suara rintihan. Muntah terjadi
pada kebanyakan kasus dan biasanya pada bayi lebih sering pada fase awal. Pada fase lanjut,
muntah disertai dengan empedu, tinja dengan gambaran normal dapat dikeluarkan pada
beberapa jam pertama setelah timbul gejala kemudian pengeluaran tinja sedikit atau tidak
ada, dan kentut jarang atau tidak ada. Darah umumnya keluar pada 12 jam pertama, tetapi

10
kadang-kadang tidak keluar sampai 1-2 hari. Pada bayi 60% mengeluarkan tinja bercampur
darah berwarna merah serta mucus

6. DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING


Pemeriksaan Fisik :
- Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan
- Nyeri tekan (+)
- Dance’s sign (+) à Sensasi kekosongan pada kuadran kanan bawah karena
masuknya sekum pada kolon ascenden
- RT : pseudoportio(+),à Sensasi seperti portio vagina akibat invaginasi usus yang
lama
- Pada feces lender darah (+)

Radiologis:
Foto abdomen 3 posisi

11
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika circularis
usus).
Colon In loop berfungsi sebagai :
- Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi
- Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi dan
kejadian < 24 jam

Gambar : cupping sign pada colon in loop


Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium keluar
bersama feses dan udara.
Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah sulit, meskipun
pada umumnya diagnoasis preoperatifnya adalah obstruksi usus tanpa dapat
memastikan kausanya adalah intususepsi, pemerikasaan fisik saja tidaklah cukup
sehingga diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan radiologi
(barium enema, ultra sonography dan computed tomography), meskipun umumnya
diagnosisnya didapat saat melakukan pembedahan.

12
Gambar : CT Scan abdomen pada pasien invaginasi (target sign)

Gambar : Coil spring appearance pada invaginasi Gambar : Pseudokidney pada


USG abdomen

13
Gambar : USG abdomen pada pasien invaginasi
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik. Pada
penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema mungkin dapat
memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan obstruksi aliran barium pada
apex dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada barium di tempatini.

Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin akan


tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh suatu
coil spring appearance yang merupakan diagnostik untuk intususepsi. Jika salah satu
atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu masa dapat diraba pada tempat
obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan.
Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya yaitu
melalui :
1. Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis seperti
diatas).
2. Pemeriksaan penunjang ( Ultra sonography, Barium Enema dan Computed
Tomography)

14
Gambar : colo-colic intususepsi

DIAGNOSIS BANDING
Gastro-enteritis: bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa
sakit, muntah dan perdarahan.
Divertikulum Meckel: dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri
Disentri amoeba: disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila
disentri berat disertai adanya nyeri diperut, tenesmus dan demam.
Enterokolitis: tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
Prolapsus recti atau rectal prolaps: dimana biasanya terjadi berulang kali, dan pada colok
dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada invaginasi
didapati adanya celah.

7. TATALAKSANA
Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi, penatalaksanaan lini
pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut. Selang
lambung (Nasogastric tube) harus dipasang sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan
distensi abdomen sehingga bisa dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan
yang adekuat dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter
untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat
dilakukan.
“Pneumatic” atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk diagnosa maupun terapi
reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat kesehatan. Namun untuk meminimalisir
komplikasi, tindakan ini harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah

15
satunya adalah menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene
pada usus. Semakin lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar kemungkinan
kegagalan dari terapi reduksi tersebut.

Tindakan Non Operatif

Hydrostatic Reduction

Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak dideskripsikan


pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik dengan menggunakan barium di
bawah panduan fluoroskopi telah menjadi metode yang dikenal sejak pertengahan 1980-an,
kebanyakan pusat pediatrik menggunakan kontras cairan saline (isootonik) karena barium
memiliki potensi peritonitis yang berbahaya pada perforasi intestinal.

Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:

 Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi kuat diantara
pertengahan bokong.
 Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis sehubungan dengan
risiko perforasi dan obstruksi loop tertutup.
 Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas: (1) reduksi hidrostatik
dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan; (3) tiap
percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.
 Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik konstan
dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.
 Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas melalui katup
ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada rentang 45-95% dengan kasus tanpa
komplikasi.
 Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal reduksi menggunakan
air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan perbandingan 9:1) dengan panduan USG.
Keberhasilannya mencapai 90%, namun sangat tergantung pada kemampuan expertise USG
dari pelakunya.
Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan reduksi
secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan
di rumah sakit.

16
Pneumatic Reduction

Reduksi udara pada intususepsi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1897 dan cara tersebut
telah diadopsi secara luas hingga akhir tahun 1980. Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi
sejak udara dimasukkan ke dalam rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80
mmHg untuk bayi dan 110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini
bahwa metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi.
Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi daripada
reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaannya:
Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan direkatkan dengan
kuat.
Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter, dan udara
dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120 mmHg) dan
diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara akan berhenti pada bagian intususepsi, dan
dilakukan sebuah foto polos.

Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati melewati usus
kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan
duluan sebelum kateter dilepas.

Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan decubitus/upright views) harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.

Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan glucagon (0.5 mg/kg)
untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil yang beragam dan tidak rutin
dikerjakan.

Tindakan Operatif

Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray, mengalami kegagalan
dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti nyata akan peritonitis
difusa, maka penanganan operatif harus segera dilakukan.

Prosedur operatif:

 Insisi
Antibiotik intravena preoperatif profilaksis harus diberikan 30 menit sebelum insisi kulit.

17
Pasien diposisikan terlentang dan sayatan kulit sisi kanan perut melintang dibuat sedikit
lebih rendah daripada umbilikus (Gambar 12). Sayatan bisa dibuat sejajar, di bawah atau di
atas umbilikus, tergantung pada derajat intususepsi.

 Diseksi
Teknik pemisahan otot dimulai dari eksternal, obliqus internus, dan fascia transversalis.
Usus yang mengalami intususepsi secara hati-hati dijangkau dari luka operasi dan reduksi
dilakukan dengan lembut, meremas usus distal ke apex bersamaan dengan tarikan lembut
dari usus proksimal untuk membantu reduksi (Gambar 13). Traksi yang kuat atau menarik
usus intususeptum dari intususipien harus dihindari, karena ini dapat dengan mudah
mengakibatkan cedera lebih lanjut pada usus besar.

18
Setelah reduksi, kondisi umum ileum terminal
yang mengalami intususepsi harus dinilai dengan
hati-hati (Gambar 14).

Kadang-kadang, reseksi usus segmental diperlukan


jika reduksi tidak dapat dicapai atau usus nekrotik
diidentifikasi setelah reduksi. Umumnya, ileum
terminal yang direduksi muncul kehitaman dan
menebal pada palpasi. Penempatan spons yang
hangat dan lembab selama beberapa menit dapat
meningkatkan perfusi jaringan lokal, sehingga,

berpotensi menghindari reseksi bedah yang tidak


perlu.
Appendektomi standar dilakukan jika dinding cecal berdekatan adalah normal (Gambar 15).

19
 Menutup
Setelah reduksi dicapai atau reseksi dilakukan (jika diperlukan) dan hemostasis dipastikan,
penutupan fasia perut dilakukan di lapisan menggunakan benang absorbable 3-0.
Kulit reapproximated dengan jahitan subcuticular 5-0 yang diserap.

Perawatan pasca Operasi

Pada kasus tanpa reseksi, Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi pada saluran cerna
selama 1-2 hari dan penderita tetap dengan infus. Setelah oedem dari intestine menghilang,
pasase dan peristaltik akan segera terdengar. Kembalinya fungsi intestine ditandai dengan
menghilangnya cairan kehijauan dari nasogastric tube. Abdomen menjadi lunak, tidak
distensi. Dapat juga didapati peningkatan suhu tubuh pasca operasi yang akan turun secara
perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada kasus dengan reduksi. Pada
kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama.

8. KOMPLIKASI
Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis usus dapat
menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus dapat menyebabkan
komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel syndrome”. Meskipun diterapi dengan
reduksi operatif maupun radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang
terlibat.

Komplikasi post operatif :


- Adynamis usus yang berkepanjangan
- Demam, infeksi pada luka operasi, urinary tract infection
- Enterostomy stenosis, subhepatic abses
- Gangguan keseimbangan elektrolit
- Sepsis

9. PENCEGAHAN

Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan ialah dengan tidak memberikan makanan padat
selain asi pada bayi dibawah 6 bulan karena sistem pencernaan dan daya tahan tubuh bayi
belum sempurna. Vaksin rotavirus generasi lama diketahui dapat menimbulkan intususepsi

20
pada bayi/anak yang mendapatkannya. Akibatnya pemakaian vaksin ini kemudian dilarang.
Vaksin rotavirus generasi yang baru telah diantisipasi untuk tidak menyebabkan hal yang
sama sebelum dipakai secara massal pada bayi dan anak. Tidak ada obat atau cara untuk
mencegah terjadinya intususepsi yang diketahui sampai saat ini.

10. PROGNOSIS

Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak sekarang
jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap tinggi di
beberapa negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk datang ke pusat
kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat
intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.

Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam kebanyakan
studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani
dalam waktu 24 jam setelah onset pertama. Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi
nonoperatif dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.

21
DAFTAR PUSTAKA
Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [serial online] Available from:
URL: http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview#showall

Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [serial online] Available
from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall

Wyllie R. Ileus, adhesi, insusepsi dan obstruksi lingkar tertutup in Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. Behrmen, Kliegmen, Arvin editors. 15th ed. Vol 2. EGC: Jakarta. 1999. p.1319.

Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and management. Puri P,


Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg. 2009.

Kartono D. Invaginasi in Kumpulan kuliah ilmu bedah. Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, et


al. Binarupa Aksara: Tangerang. 2005.

Pendergast LA & Wilson M. Intussusception: a sonographer’s perspective. JDMS 19:231-


238. Jul-Aug. 2003.

Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM (eds). 4th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2005.

Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children: Incidence, Clinical


Presentation and Management: A Global Perspective. Geneva, Switzerland: World Health
Organization, 2002.

Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al. The epidemiology
of Paediatric Inturssusception in Singapore: 1997 to 2004. Ann Acad Med Singapore
2006;35:674-9.e

Ekenze SO, Mgbor SO. Childhood intussusception: The implications of delayed presentation.
Afr J Paediatr Surg 2011;8:15-8.

van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos A. Intussusception
in a tropical country: comparison among patient populations in Jakarta, Jogyakarta, and
Amsterdam. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:402-5.

http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/006/6710-0550×0475.jpg

22
Santoso MIJ, Yosodiharjo A dan Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal
hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang dirawat di
RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara: Medan. 2011.

http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/CAP/Case05/Images/Case05.01.jpg

http://dynamic.psu.ac.th/kidsurgery.psu.ac.th/Pediatric%20surgery/KID/Atlas/Images/E/E5/D
SC01002.jpg

Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds. Ashcraft’s
Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.

Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang & Kan JH. Radiographic evaluation of
intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA 2008;248:3.

http://onradiology.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

http://www.erpocketbooks.com/er-ultrasounds/other-ultrasounds/

Chung DH. Intussusception. In: Atlas of General Surgical Techniques. Townsend CM &
Evers. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.

23

Anda mungkin juga menyukai