Anda di halaman 1dari 8

Impetigo Bullosa

Definisi

Impetigo adalah bentuk pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis.


Merupakan kelainan kulit berupa benjolan kecil yang dengan cepat membesar menjadi
benjolan besar berisi cairan (bula). Penyebab terseringnya adalah Staphylococcus
aureus. Impetigo bulosa adalah jenis impetigo yang khas terjadi pada bayi baru lahir,
meskipun dapat terjadi pula pada anak-anak dan orang dewasa.1

Sinonim

Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet.1

Epidemiologi

Dalam studi kasus di United Kingdom, insiden terjadinya impetigo pada anak usia
hingga 4 tahun adalah 2,8 %, sedangkan untuk anak usia 5-15 tahun adalah 1,6 %.2 Impetigo
Bulosa sendiri sering terjadi pada anak baru lahir, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak
dan orang dewasa.1

Etiologi

Penyebab tersering dari Impetigo Bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus.1


Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif yang memiliki bentuk bulat dan
berukuran 1 µm, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus tunggal,
berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan.

Cara kerja Staphylococcus dengan melakukan pembelahan diri dan menyebar luas
masuk ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Bahan-bahan
tersebut berupa enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim.
Staphylococcus dapat menghasilkan beberapa bahan seperti katalase, koagulase,
hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan
enterotoksin.

Patomekanisme

Infeksi akibat Staphylococcus aureus dimana sebelumnya diketahui bakteri tersebut


dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar
luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari
bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai
enzim. Staphylococcus aureus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase,
eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Toksin
yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area
lainnya. Toksin ini menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit. Sehingga
membuat protein ini rusak, dan semakin memudahkan bakteri menyebar dengan cepat. Dan
enzim yang dikeluarkan oleh Staphylococcus aureus akan membuat struktur kulit rusak dan
akan timbul rasa gatal yang dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit. 2
Pada awalnya, rasa gatal dengan lesi berbentuk berupa makula eritematosa yang
berukuran 1-2 mm, kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo Bulosa, bula
yang timbul secara tiba tiba pada kulit yang sehat dari plak (penonjolan datar di atas
permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah
ekstensor), bervariasi dari miliar sampai lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan
selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah, dapat terlihat krusta berwarna kuning yang mengalir
dengan perlahan.3
Impetigo bulosa umumnya disebabkan oleh racun eksfoliatif dari Staphylococcus
aureus yang disebut exfoliatins A dan B. Pada tahun 2006, racun eksfoliatif D (ETD)
diidentifikasi pada 10% isolat Staphylococcus aureus.4 Eksotoksin ini menyebabkan
hilangnya adhesi sel pada dermis superfisial, yang pada gilirannya, menyebabkan lepuh dan
kulit mengelupas dengan cara membelah lapisan sel granular epidermis. Salah satu protein
target untuk exotoxin A adalah desmoglein I, yang menjaga adhesi sel. Molekul-molekul ini
juga merupakan superantigen yang bekerja secara lokal dan mengaktifkan limfosit T.
Koagulase dapat menyebabkan toksin ini tetap terlokalisasi dalam epidermis atas dengan
memproduksi fibrin thrombi. Tidak seperti impetigo nonbullous, lesi impetigo bulosa terjadi
pada kulit yang utuh.3

Gejala Klinis

Impetigo bulosa paling sering terjadi pada neonatus dan bayi, dan ciri khasnya adalah
pertumbuhan cepat vesikel menjadi bula yang lunak. Bula biasanya muncul di area kulit yang
normal. Nicolsky sign (kulit yang tampak normal akan terkelupas jika kulit tersebut ditekan
dan digeser) negatif. Pada umumnya bula terdiri atas cairan kuning yang jernih yang
kemudian menjadi berwarna kuning gelap dan keruh, berbatas tegas dan tidak dikelilingi oleh
eritem. Bula terdapat di permukaan kulit, dan dalam satu atau dua hari bula tersebut akan
pecah dan kolaps sehingga membentuk krusta yang tipis dan berwarna cokelat terang hingga
kuning-kuning emas.5,6
Keadaan umum tidak dipengaruhi. Pada impetigo bulosa, predileksi tersering adalah di
ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Kelainan pada kulit berupa
eritema, bula, dan bula hipopion. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat,
vesikel/bula telah pecah sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih
eritematosa5,6

Penegakan Diagnosis
Anamnesis
Dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien, seperti : tempat timbulnya,
riwayat sebelumnya terdapat lepuh, dan lain-lain. Dan pada skenario sudah didaptakan
beberapa gejala dan keluhan yang dialami oleh pasien.1
Pemeriksaan Fisis
Dilakukan isnpeksi pada bagian-bagian badan tempat timbulnya bula. Pada hasil
inspeksi bisa didapatkan cairan bening atau keruh pada bula dengan dinding yang tebal
dan tipis, miliar hingga letikuler, kulit sekitarnya tidak menunjukkan peradangan, kadang-
kadang tampak hipopion. Dan pada palpasi, bula bisa didapatkan permukaan bula yang
tegang. 1
Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium dapat dilakukan dengan memeriksa eksudat dari bula di mana dapat
dilihat koloni bakteri gram positif. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes
grup 2 dapat dikultur dari spesimen bula yang intak.
Histopatologi, lesi dari impetigo bulosa menunjukkan bentuk vesikel di subkorneum
atau di stratum granulosum, kadang nampak akantolitik dengan bula, spongiosis, edema
papila dermis dan infiltrat campuran limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah
plexus superfisialis.1

Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit yang dapat dimasukkan sebagai diagnosis banding dari impetigo
bulosa adalah dermatitis kontak, pemfigoid bulosa, dermatitis herpetiformis, dan eritema
multiforme.
Dermatitis Kontak1
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak, yaitu :
1. Dermatitis kontak iritan (DKI), merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik,
jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. DKI timbul
akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau
fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak
lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit sehingga kulit menjadi kering.
2. Dermatitis kontak alergi (DKA), terjadi pada seseorang yang telah mengalami
terhadap suatu alergen. Mekanisme terjadinya kelainan kulit adalah
mengikuti respon imunyang diperantarai oleh cell-mediated immune respons
atau reaksi imunologik / hipersensitivitas tipe IV.
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang
berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah).
Penyakit-penyakit yang dapat dimasukkan sebagai diagnosis banding dari impetigo
bulosa adalah dermatitis kontak, pemfigoid bulosa, dermatitis herpetiformis, dan eritema
multiforme.

Pemfigoid Bulosa1
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang. Keadaan umum penderita
baik. Terdapat pada semua umur terutama pada orang tua. Kelainan kulit terutama terdiri
atas bula (dapat bercampur dengan vesikel), berdinding tegang, sering disertai eritema.
Predileksinya di ketiak, lengan bawah fleksor, dan lipat paha. Jika bula pecah, terdapat
daerah erosif yang luas. Mulut dapat terkena kira-kira pada 20% kasus.
Pada pemeriksaan histopatologi, dapat dilihat celah di perbatasan dermal-epidermal.
Bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil. Pada pemeriksaan
imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita di Basement
Membrane Zone.
Dermatitis Herpetiformis1
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat
polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa
sangat gatal. Penyebabnya belum diketahui. Dermatitis herpertiformis mengenai anak dan
dewasa, terbanyak pada umur dekade ketiga. Mulainya penyakit biasa perlahan-lahan,
perjalanannya kronik dan residif. Keadaan umum penderita baik. Keluhan utamanya sangat
gatal. Predileksi di punggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas,
sekitar siku, dan lutut. Ruam berupa eritem, papulovesikel, dan vesikel/bula yang
berkelompok dan sistemik. Kelainan yang utama ialah vesikel. Oleh karena itu disebut
herpetiformis yang berarti seperti herpes zoster. Vesikel-vesikel tersebut dapat tersusun
arsinar atau sirsinar. Dinding vesikel atau bula tegang.
Pada pemeriksaan histopatologi terdapat kumpulan neutrofil di papil dermis yang
membentuk mikroabses neutrofilik. Kemudian terbentuk edema papilar, celah subepidermal,
dan vesikel multiokuler dan subepidermal. Terdapat pula eosinofil pada infiltrat dermal dan
cairan vesikel. Hasil laboratorium pemeriksaan darah tepi terdapat hipereosinofilia, dapat
melebihi 40%. Imunoglobulin A terdapat di papil dermal berbentuk granular di kulit sekitar
lesi dan kulit normal.

Eritema Multiforme1
Eritema multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan
kadang-kadang pada selaput lendir. Dapat terjadi pada semua umur. Pada anak-anak dan
dewasa muda, erupsi biasanya disertai dengan infeksi.[15]
Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan selaput lendir
sampai bentuk berupa kelainan multisistem yang dapat menyebabkan kematian. Didapat 2
tipe dasar, yaitu tipe makula-eritem dan tipe vesikobulosa. Pada tipe vesikobulosa, lesi
mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di
tengahnya. Bentuk ini juga dapat mengenai selaput lendir.
Penatalaksanaan

Terapi non-medikamentosa antara lain, menghilangkan krusta dengan cara mandikan


anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah, mencegah
anak untuk menggaruk daerah lecet, dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban
tahan air dan memotong kuku anak, lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptik
dengan jarum suntik untuk mencegah penyebaran lokal, lanjutkan pengobatan sampai semua
lesi sembuh dan dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan natrium klorida
(NaCl) 0,9% pada lesi yang basah.

Adapun terapi medikamentosa menggunakan terapi topikal dan sistemik. Pengobatan


topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru
kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan
dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik.7 Antiseptik yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam pengobatan impetigo terutama yang telah dilakukan penelitian di
Indonesia khususnya Jember dengan menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus
Aureus (MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang
dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan 2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah
sebanyak 0 koloni. Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2% mampu untuk
mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus.8

Antibiotik Topikal dapat menggunakan mupirocin, fusidic acid, ratapamulin,


dicloxacillin. Terapi sistemik dapat menggunakan penisilin dan semisintetiknya, ampicillin,
amoksicillin, cloxacillin, phenoxymethyl penicillin (penicillin V), eritromisin (bila alergi
penisilin), clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna) dan penggunaan terapi
antibiotik sistemik lainnya. Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo
diantaranya cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan
pasien, terutama apabila terkena luka, jangan menggunakan pakaian yang sama dengan
penderita, bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan
pada orang lain, setelah digunakan pasien, mandi teratur dengan sabun dan air (sabun
antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit
sensitif), higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek
dan bersih, jauhkan diri dari orang dengan impetigo, cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak
dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah
sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan
disinfektan dan gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang
terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.9

Komplikasi

Dapat berkomplikasi menjadi selulitis, limpangitis, dan bakteremia, sehingga pada


keadaan lanjut dapat menjadi osteomielitis, arthritis septic, pneumonia, dan sepsis. Toksin
eksfoliatif juga bisa menyebabkan SSSS (Staphylococcal Scaldes-Skin Syndrome) pada anak
dan pada orang dewasa dapat terjadi pada orang yang imunokompromais atau terdapat
gangguan pada ginjal.7

Prognosis

Impetigo bullosa biasanya sembuh dalam waktu 2-3 minggu. Namun, pengobatan
menghasilkan angka kesembuhan yang lebih tinggi dan mengurangi penyebaran infeksi ke
bagian lain dari tubuh (melalui inokulasi) atau untuk orang lain. Dengan pengobatan yang
tepat lesi ini biasanya hilang setelah 7-10 hari.7

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Pioderma. Dalam : Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2015. p.72-73.

2. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 2000.


3. George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of treatments for
impetigo. Br J Gen Pract. 2003. 53:480–7.
4. Yamasaki O, Tristan A, Yamaguchi T, et al. Distribution of the exfoliative toxin D
gene in clinical Staphylococcus aureus isolates in France. Clin Microbiol Infect. 2006.
12(6):585-8.
5. Siregar, R.S. Atlas Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
6. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta; Binarupa Aksara. 1994.
7. Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2005. p. 35-36
8. Suswati, E. 2003.Efek Hambatan Triklosan 2% Terhadap Pertumbuhan Methicillin
Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). (Tesis). Fakultas Kedokteran Universitas
Jember. Jember. hlm 43-44
9. Northern Kentucky Health Department. 2005. Impetigo. Kentucky : Epidemiology
Services, Northern Kentucky Health Department. pp 138-149

Anda mungkin juga menyukai