DIFFUSE PERITONITIS
Disusun Oleh:
Sastri Huya Ahwini 140100006
Syarifah Fauziah 140100051
Tasya Indriani Putri 140100038
Pembimbing:
dr. Ahmad Yafiz Hasby, M.Ked(An), Sp.An
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Diffuse
Peritonis”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ahmad
Yafiz Hasby, M.Ked(An), Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
ii
BAB III STATUS ORANG SAKIT ........................................................ 55
3.1. Identitas Pasien......................................................................... 55
3.2. Alloanamnesis ......................................................................... 55
3.3. Times Sequence ....................................................................... 56
3.4. Primary Survey ........................................................................ 56
3.5. Secondary Survey..................................................................... 57
3.6. Pemeriksaan Penunjang ........................................................... 58
3.6.1 Laboratorium .......................................................................... 58
3.6.2 Foto Cervical Lateral.............................................................. 59
3.6.3 Foto Thorax AP Supine.......................................................... 60
3.6.4 CT Scan Kepala Non Kontras ................................................ 61
3.7 Diagnosis ................................................................................... 62
3.8. Tatalaksana IGD....................................................................... 62
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus baru per
1 juta populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-
500.000 orang mengalami cedera medula spinalis. Penelitian terakhir menunjukkan
90% kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh adalah trauma seperti
kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau kecelakaan kerja.
Angka mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam pertama. Sekitar 80%
meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra servikalis. Cedera servikal
merupakan cedera tulang belakang yang paling sering menimbulkan kecacatan dan
kematian serta memiliki risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5,
diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10. dari beberapa penelitian terdapat
korelasi antara tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu
semakin tinggi tingkat cedera servikal semakin tinggi pula morbiditas dan
mortalitasnya. Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik,
disebabkan dislokasi, rotasi, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis.2
(Milby, 2008 & Weishaupt, 2010)
2
1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya mengenai cedera tulang belakang (spinal).
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan ini adalah meningkatkan
pemahaman terhadap kasus cedera tulang belakang (spinal) serta penanganan
kegawatdaruratan sesuai kompetensi pada tingkat pelayanan primer.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Karakteristik Umum Vertebra
Meskipun vertebra menunjukkan perbedaan regional, mereka semua memiliki
pola yang sama (Gambar 2.2). Vertebra tipikal terdiri dari korpus bundar di
anterior dan lengkung vertebra di posterior yang membuat suatu ruang yang
disebut foramen vertebral, melalui ruang tersebut berjalan sumsum tulang
belakang dan penutupnya. Lengkungan tulang belakang terdiri dari sepasang
pedikel silindris, yang membentuk sisi lengkungan, dan sepasang lamina yang
datar, yang melengkapi lengkung posterior. Lengkungan vertebral
menimbulkan tujuh prosessus: satuspinosus, dua transversal, dan empat
artikular.4
Gambar 2.2 A.Penampakan Lateral dari Column Vertebral, B. Ciri-ciri umum pada
masing-masing vertebra yang berbeda1
4
Prosessus spinosus, atau spina, berarah ke posterior dari persimpangan dua
lamina. proses transversus berarah secara lateral dari persimpangan lamina dan
pedikel. Baik prosessus spinosus maupun transversa berfungsi sebagai pengungkit
dan menerima perlekatan otot dan ligamen. Prosessus artikular tersusun secara
vertikal dan terdiri dari dua prosessus superior dan dua prosessus inferior. Prosessus
tersebut muncul dari persimpangan antara lamina dan pedikel. Dua prosessus
artikular superior dari satu arkus vertebra berartikulasi dengan dua prosessus
artikular inferior dari arkus di atasnya membentuk dua sendi sinovial. Pedikel
berlekuk di batas atas dan bawahnya, membentuk takik (notch) vertebral superior
dan inferior. Di setiap sisi, takik superior dari satu vertebra dan takik inferior dari
vertebra yang berdekatan Bersama-sama membentuk foramen intervertebralis.
Foramina ini, dalam kerangka yang diartikulasikan, berfungsi untuk mengirimkan
saraf tulang belakang dan pembuluh darah. Serabut saraf (Nerve Root) anterior dan
posterior dari saraf tulang belakang (Spinal Nerve) bersatu dalam foramina ini
dengan pembungkus dura untuk membentuk saraf tulang belakang segmental.4
Gambar 2.3A.Persendian yang terdapat pada daerah servikal, thorakal, dan lumbar dari
kolom vertebral B.Vertebra lumbalis 3 dilihat dari atas menunjukkan hubungan dengan
diskus intervetebralis dan cauda equina4
5
Sendi Kolom Vertebral
Di bawah axis, vertebra berartikulasi satu sama lain oleh sendi tulang rawan antara
tubuh/body dan oleh sendi sinovial antara prosessus artikular mereka.
Diskus berfungsi sebagai peredam kejut saat ketika beban pada kolom
tulang belakang tiba-tiba meningkat. Sayangnya, ketahanan mereka secara bertahap
hilang dengan bertambahnya usia. Setiap disk terdiri dari bagian perifer, anulus
fibrosus, dan bagian tengah, nucleus pulposus (Gambar 2.3). Anulus fibrosus terdiri
dari fibrocartilage, yang sangat melekat pada korpus tulang belakang dan ligamen
longitudinal anterior dan posterior dari kolom vertebral. Nukleus pulposus pada anak
muda berupa massa ovoid dengan bahan agar-agar. Nukleus ini biasanya di bawah
tekanan dan terletak sedikit lebih dekat ke posterior daripada margin anterior dari
diskus. Permukaan atas dan bawah tubuh vertebra yang berdekatan serta berbatasan
dengan disk ditutupi dengan piring tipis tulang rawan hialin. Sifat semifluid dari
nucleus pulposus memungkinkan untuk berubah bentuk dan memungkinkan satu
vertebra untuk bergerak maju atau mundur satu sama lain. Peningkatan beban
kompresi yang tiba-tiba pada kolom vertebral menyebabkan nukleus pulposus
menjadi rata, dan ini diakomodasi oleh ketahanan anulus fibrosus di sekitarnya.
Kadang-kadang, dorongan luar terlalu besar untuk anulus fibrosus sehingga pecah,
memungkinkan nukleus pulposus mengalami herniasi dan menjorok ke kanal
vertebral, di mana ia bisa menekan akar saraf tulang belakang, saraf tulang belakang,
atau bahkan spinal cord.4
6
Dengan bertambahnya usia, nukleus pulposus menjadi lebih kecil dan digantikan
oleh fibrocartilage. Serat kolagen anulus degenerasi, dan akibatnya, anulus tidak bisa
selalu menahan nukleus pulposus di bawah tekanan. Pada usia tua, diskus tipis dan
kurang elastis, dan tidak mungkin lagi untuk membedakan inti dari anulus.
Ligamen
Sendi antara dua arkus tulang belakang terdiri dari sendi synovial diantara
prosessus artikular superior dan inferior pada vertebra yang berdekatan (Gambar
2.3).4
7
Persyarafan Sendi Vertebral
8
merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan
melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral
terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar
melalui foramen intervertebral. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra
dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).5,6
9
e. 1 pasang saraf koksigeal
Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea)
yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang,
substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior atau
posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis.
Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis
merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi grisea mengandung
badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan
motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian posterior sebagai input atau
afferent, anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang
dan substansi alba merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
10
Fungsi medula spinalis :5,8,9
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau
kornuventralis.
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan
respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun
eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks
yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks
yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut refleks
otonom atau visceral.
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang
dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal
juga membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ
dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut
dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.5
2.3.1 Definisi
11
2.3.2 Etiologi
12
2.3.3 Epidemiologi
2.3.4 Patofisiologi
Trauma spinal dapat merusak kolumna vertebra dan jaringan saraf. Saat terjadi
trauma banyak kerusakan yang dapat terjadi pada kolumna vertebra dan spinal cord
sehingga selalu ada kekhawatiran bahwa setiap pergerakan yang dilakukan oleh
atau pada pasien dapat memperparah trauma saraf. Sehingga penting untuk
menentukan apakah sebuah trauma ini stabil atau tidak stabil.14
Trauma yang stabil yaitu ketika komponen tulang belakang tidak mengalami
pergerasan dengan pergerakan normal. Pada trauma yang stabil cedera saraf
biasanya jarang terjadi. Pada cedera yang tidak stabil terdapat risiko terjadinya
pergeseran pada komponen tulang belakang yang dapat meganggu saraf.15
Dalam menilai stabilitas terdapat tiga bagian yang dinilai. Pertama adalah
kolum posterior yang terdiri atas pedikel, sendi facet, arkus posterior, ligament
interspinosusdan ligament supraspinosus. Kedua adalah kolum media yang terdiri
atas setengah korpus vertebra bagian posterior, setengah diskus intervertebral
bagian posterior dan ligament longitudinal posterior. Ketiga adalah kolum anterior
terdiri dari setengah korpus vertebra bagian anterior, setengah diskus intervertebral
13
bagian anterior dan ligament longitudinal anterior. Konsep tiga kolum untuk
penilaian stabilitas ini dikemukakan oleh Denis tahun 1983.15
Perubahan primer yang terjadi pada trauma kolumna vertebra antara lain trauma
pada jaringan lunak, trauma pada ligament hingga fraktur dan dislokasi pada
susunan tulang vertebra. Trauma pada spinal cord dapat terjadi bersamaan dengan
trauma atau proses berkelanjutan akibat instabilitas dari segmen vertebra
menyebabkan kompresi langsung, transfer energi yang berat dan kerusakan pada
pembuluh darah disekitarnya. Perubahan sekunder terutama terjadi perubahan
biokimia yang terjadi dalam hitungan jam dan hari. Perubahan ini menyebabkan
perubahan bertahap di tingkat seluler dan perluasan dari kerusakan jaringan safar
awal.16
3. Mekanisme Cedera
Secara umum mekanisme trauma terjadi akibat trauma langsung dan tidak
langsung. Pada trauma langsung dapat terjadi akibat trauma tusuk atau trauma
akibat penetrasi peluru yang ditembakkan. Trauma tidak langsung merupakan
trauma tersering yang terjadi pada kolumna vertebra. Pada waktu terjadinya trauma
tidak langsung, beberapa gaya bekerjasama menghasilkan perubahan struktur pada
kolumna vertebra. Namun pada umumnya terdapat satu gaya utama yang
menghasilkan arah trauma mayor pada tulang dan ligamen.
Fraktur yang terjadi pada tulang belakang tentunya disebabkan oleh trauma
dengan mekanisme arah gaya tertentu. Gaya yang umum terjadi pada trauma
kolumna vertebra antara lain :15,16
a. Kompresi Axial
14
deformitas kifosis pada tulang belakang. Pada kasus fraktur kompresi tipe
wedge berdasarkan konsep tiga kolum dari Denis dikemukakan bahwa kolum
anterior mengalami kompresi sedangkan kolum tengah dan posterior tidak.
Umumnya kolum anterior mengalami kompresi di bagian upper end plate.
b. Fleksi Distraksi
15
kolum dari Denis disebutkan bahwa pada fraktur tipe fleksi distraksi, kolum
tengah dan kolum posterior mengalami distraksi sedangkan kolum anterior
dapat normal dapat mengalami kompresi. Mekanisme fleksi distraksi dapat
terjadi pada kecelakaan lalu lintas dimana korban menggunakan sabuk
pengaman pada pinggang. Trauma ini sering juga disertai dengan lesi pada
organ viscera.13
c. Hiperekstensi
16
2.3.5 Klasifikasi
17
C Inkomplit Fungsi motorik
terganggu dibawah
level, tapi otot-otot
motorik utama masih
punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik
terganggu dibawah
level, otot-otot motorik
utamanya punya
kekuatan > 3
E Normal Fungsi sensorik dan
motorik normal
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi
atas:17
a. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik
karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b. Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak
komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American
Spinal Cord Injury Association yaitu :17
(1) Central Cord Syndrome
(2) Brown Sequard Syndrome
(3) Anterior Cord Syndrome
(4) Posterior Cord Syndrome
(5) Cauda Equina Syndrome
18
Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan
Central cord syndrome Cedera pada posisi Menyebar ke daerah sacral.
sentral dan sebagian Kelemahan otot
daerah lateral. ekstremitas atas lebih berat
Sering terjadi pada dari ekstremitas bawah.
trauma daerah servikal
Brown- Sequard Cedera pada sisi Kehilangan proprioseptif
Syndrome anterior dan posterior dan kehilangan fungsi
dari medula spinalis. motorik secara ipsilateral
Cedera akan
menghasilkan
gangguan medulla
spinalis unilateral
Anterior cord syndrome Kerusakan pada Kehilangan funsgsi
anterior dari daerah motorik dan sensorik secara
putih dan abu- abu komplit.
medulla spinalis
Posterior cord syndrome Kerusakan pada Kerusakan proprioseptif
posterior dari daerah diskriminasi dan getaran.
putih dan abu- abu Fungsi motorik juga
medulla spinalis terganggu
Cauda equine syndrome Kerusakan pada saraf Kerusakan sensori dan
lumbal atau sacral lumpuh flaccid pada
sampai ujung medulla ekstremitas bawah dan
spinalis kontrol berkemih dan
defekasi.
Tabel 2.2 5 sindroma utama cedera medulla spinalis inkomplit menurut ASIA17
Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1) Fase akut / spinal shock (2-3 minggu), cirinya:
a. Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke
empat extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah
daerah cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah
yang disebut paraplegi.
b. Gangguan sensorik
19
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang
terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun
sensasi dalam.
c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)
Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran
pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus
pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di
dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar
apabila sudah penuh.
d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4
yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi
tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan
bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan.
e. Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior
menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi
penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit
dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang
terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan
endurancenya menurun.
2) Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a. Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
b. Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
c. Kriteria 3
20
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d. Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3) Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete /
incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu:
Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign pasien
menurun dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan
pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis di
atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai
respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang
mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus
suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak,
berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level
lesi, hidung tersumbat, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu
menjadi lambat.17
ANAMNESA
Jika pasien dapat dianamnesis, maka fokuslah pada poin-poin riwayat perjalanan
terjadinya cedera sebagaimana yang berkaitan dengan cedera tulang belakang.
Evaluasilah gejala-gejala nyeri pada garis tengah tubuh, cedera menyakitkan yang
menganggu, parestesia, kehilangan fungsi tubuh, perubahan status mental
(termasuk kehilangan kesadaran), atau gejala neurologis lainnya (terutama
inkontinensia kemih atau tinja atau priapisme). Berikan perhatian khusus pada
setiap gejala yang mengindikasikan gangguan pernapasan saat ini atau yang akan
21
datang, termasuk dispnea, jantung berdebar, pernapasan perut, dan kecemasan,
yang dapat mengindikasikan cedera tulang belakang leher tinggi (high cervical
spine injury).18
PEMERIKSAAN FISIK
A. PEMERIKSAAN SPINAL19
Saat melakukan Log-roll pada pasien, orang yang mengendalikan kepala
dan leher mengarahkan gerakan. Kemudian dengan teliti memeriksa untuk
mengetahui apakah adanya nyeri tekan (tenderness), step-deformity, gibbus,
pelebaran celah interspinosus dan penonjolan proses spinosus. Mungkin saja
tidak terdapat nyeri tekan dengan kasus fraktur tubuh vertebral. Melepas setiap
22
puing/debris dari bagian bawah pasien bila ada serta tetap menjaga agar pasien
tetap tertutup dan hangat, karena penurunan tonus vasomotor simpatis akan
meningkatkan risiko mengalami hipotermia. Untuk menurunkan risiko stress
ulcer, segera lepaskan pasien dengan cepat dari papan tulang belakang (spinal
board).
B.PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Setelah pasien stabil dan cedera yang mengancam jiwa lainnya telah
dieksklusikan atau diobati, maka selanjutnya melakukan penilaian neurologis
terperinci. Pemeriksaan neurologis awal yang tepat dan terperinci adalah
pentinguntuk memungkinkan perbandingan jika nantinya kondisi pasien
memburuk. Nilai status mental pasien dan perhatikan bukti klinis adanya
keracunan/intoksikasi. Pemeriksaan fisik harus fokus pada menggambarkan tingkat
cedera sumsum tulang belakang (Gambar 2.8). Dokumentasikan ada tidaknya
nyeri garis tengah leher atau nyeri tekan punggung. Tes fungsi motorik untuk
kelompok otot (Tabel 2.3). Tentukan tingkat kehilangan sensorik (Gambar 2.9),
dan selidiki fungsi propriosepsi atau getaran untuk memeriksa fungsi kolom
posterior. Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat,
terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau
hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien dengan
menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas. Untuk
mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan tangannya
sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus dievaluasi pada lengan
dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu pemeriksa
mengetahui letak lesi.18
23
Tabel 2.3 Skor kekuatan Motorik18
24
2.9 Dermatom untuk Pemeriksaan Sensorik18
25
Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral
menunjukkan syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama yang
kembali setelah syok spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik
setelah refleks telah kembali menunjukkan adanya cidera spinal yang lengkap.
Tidak adanya refleks ini dalam kasus di mana syok tulang belakang tidak
dicurigai dapat menunjukkan lesi atau cedera medullaris konus atau cauda
euina syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah awal untuk
m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut "Bulbospongiosus
refleks".21
Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa
cedera komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak adanya BCR
pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya
lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equina.
Jika refleks telah kembali tapi masih ada kurangnya fungsi sensorik dan
motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord Injury komplit. Dalam hal
ini tidak mungkin bahwa fungsi neurologis penting yang pernah akan kembali.
Jika syok spinal tidak terlibat, belum ada atau tidak adanya refleks ini maka
26
bisa mengindikasikan cedera akar saraf sakral. Hal ini juga dapat diuji secara
electrophysiologik melalui ransangan listrik pada penis dan rekaman dari
kontraksi anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi jika ada
motor atau fungsi sensorik dari akar sakral dan di medullaris konus.22
Syok spinal biasanya berlangsung 48 jam dan pengakhiran shock spinal
sinyal itu datang belakang bulbokavernosus refleks. Tetapi harus diingat bahwa
shock spinal tidak diamati pada cedera yang terjadi di bawah lesi injurynya.
Karena ini tidak menyebabkan shock spinal sehingga tidak adanya refleks
bulbokavernosus menunjukkan adanya cedera cauda equina atau cedera conus
medullaris.22
Berikut ini adalah kegunaan memeriksa refleks bulbocavernosus:
Bulbocaverosus refleks menunjuk pada kontraksi sfingter anal sebagai
respon terhadap meremas pada glans penis atau menarik pada Foley kateter
Refleks mencakup S-1, S-2, dan S-3 akar saraf dan lengkung refleks
sumsum tulang belakang yang dimediasi;
Setelah trauma tulang belakang, ada atau tidak adanya refleks ini membawa
makna prognostik yang signifikan
Periode syok spinal biasanya sembuh dalam waktu 48 jam dan kembalinya
BCR menandai berakhirnya shock spinal itu sendiri.
Syok spinal tidak terjadi untuk lesi yang terjadi di bawah spinal cord, dan
karenanya, fraktur daerah lumbal bagian bawah seharusnya tidak
menyebabkan spinal syok (dan dalam situasi ini, tidak adanya refleks
bulbocaveronsus menunjukkan bahwa adanya cauda equina syndrome
Hilangnya refleks persisten bulbokavernosus mungkin akibat dari conus
medullary syndrome, misalnya berasal dari suatu Burst fracture V lumbal
Kegunaan Reflex Bulbocavernosus untuk Prognostik:
Absennya fungsi motorik dan fungsi sensorik bagian distal atau sensasi
perirectal, bersama dengan pemulihan refleks bulbokavernosus, menunjukkan
SCI yang komplit, dan dalam kasus seperti itu jarang terjadi pemulihan fungsi
neurologis yang signifikan. Oleh karena itu, jika tidak ada pemulihan fungsi
motorik atau sensorik dibawah fraktur site, pasien dicurigai memiliki cedera
27
saraf tulang belakang yg komplit dan kita tidak lagi mengharapkan pemulihan
fungsi motorik.
Di sisi lain, adanya fungsi motorik sensorik dibawah level dari trauma, kita
anggap sebagai SCI yang incomplete dimana pemulihannya ditentukan oleh
bagian dari spinal cord yang paling terkena.
28
C.POLA CEDERA SUMSUM TULANG18
Ada tiga sindrom medulla spinalis utama yang tidak lengkap (incomplete)
yang diidentifikasi oleh temuan pemeriksaan fisik yang dapat diprediksi, meskipun
tumpang tindih dalam temuandapat saja terjadi (Tabel 2.4).
29
spinal anterior dapat menyebabkan cedera iskemik pada medula anterior. Cedera
tali pusat juga dapat dihasilkan oleh massa ekstrinsik yang dapat dihilangkan
dekompresi bedah.Prognosis keseluruhan untuk pemulihan fungsi buruk.18
Sindrom corda pusat biasanya terlihat pada pasien yang lebih tua dengan yang
sudah ada sebelumnya riwayat spondylosis servikal yang mengalami cedera
hiperekstensi. Seperti namanya, cedera ini lebih cenderung melibatkan bagian
tengah sumsum tulang dibandingkan bagianperiferal. Serat-serat yang berlokasi
sentral dari traktus kortikospinal dan spinothalamikus terpengaruh. Saluran saraf
yang menyediakan fungsi ke ekstremitas atas berada dalam posisi paling
medialdibandingkan dengan toraks, ekstremitas bawah, dan serat saraf sakral
memiliki distribusi lebih lateral. Secara klinis,pasien dengan sindrom corda sentral
hadir dengan penurunan kekuatandan, pada tingkat lebih rendah, penurunan rasa
sakit dan sensasi suhu, lebih banyakdi bagian ekstremitas atas daripada ekstremitas
bawah. Getaran dan sensasi posisibiasanya intak. Paraparesis spastik atau
quadriparesis spastik juga dapat terlihat. Mayoritas akan memiliki kontrol usus dan
kandung kemih, meskipun inimungkin terganggu pada kasus yang lebih parah.18
30
SINDROM CAUDA EQUINA
SYOK NEUROGENIK
Syok neurogenik adalah jenis syok distributif yang dapat terjadi pada cedera SSP
atau cedera tulang belakang yang mungkin terjadi pada kurang dari 20% pada
pasien dengan cedera sumsum tulang belakang. Hilangnya persarafan simpatis
perifermenyebabkan vasodilatasi ekstrem sekunder akibat hilangnya tonus arteri
simpatis. Hal ini menyebabkan pengumpulan darah di sirkulasi distal sehingga
menyebabkan hipotensi. Jika tingkat korda T1 hingga T4 terganggu, hilangnya
persarafan simpatis pada jantung mengakibatkan persarafan parasimpatisvagal
yang tidak dapat dilawan. Hal ini menghasilkan bradikardia atautidak adanya
refleks takikardia. Secara umum, pasien dengansyok neurogenic hangat, dan terjadi
vasodilatasi perifer, dan hipotensi dengan bradikardia relatif. Pasien cenderung
31
mentoleransi hipotensi secara relative baik, karena pengiriman oksigen perifer
mungkin normal. Hilangnyanada simpatik dan ketidakmampuan berikutnya untuk
mengarahkan darah daripinggiran ke inti dapat menyebabkan kehilangan panas dan
hipotermia yang berlebihan.Diagnosis syok neurogenik adalah diagnosis eksklusi.
Petunjuk tertentu,seperti bradikardia dan kulit hangat dan kering, mungkin jelas,
tetapi hipotensi pada pasien trauma tidak pernah dapat dianggap disebabkan
olehsyok neurogenik sampai kemungkinan sumber hipotensi lainnya
dieksklusikan.18
SHOCK SPINAL
Syok tulang belakang bukan syok neurogenik; kedua istilah tersebut sangat
berbedamaknanya dan tidak bisa saling dipertukarkan. Syok tulang belakang
bersifat sementara dimana terjadi kehilangan atau depresi aktivitas refleks tulang
belakang yang terjadi di bawah cedera medulla spinalis lengkap ataupun tidak
lengkap. Presentasi yang khasmelibatkan flacciditas, kehilangan refleks, dan
kehilangan gerakan volunter.Semakin rendah tingkat cedera tulang belakang,
semakin besar kemungkinan itu semuarefleks distal tidak ada. Hilangnya fungsi
neurologis yang terjadidengan syok tulang belakang dapat menyebabkan cedera
saraf tulang belakang yang inkomplitseolah-olah meniru cedera saraf tulang
belakang yangkomplit. Oleh karena itu, lesi korda spinalis tidak dapat disebut
lengkapsampai syok tulang belakang telah teratasi. Refleks plantar dan
bulbocavernosus yang tertunda adalah yang pertama kembali ketika syok tulang
belakang membaik.durasi syok tulang belakang bervariasi; umumnya berlangsung
selama berhari-hari hingga berminggu-minggutetapi bisa bertahan selama
berbulan-bulan.18
32
2.2.6.2 Radiologi
Menurut pedoman SCI terakhir, pasien trauma yang memiliki keluhan nyeri
leher, nyeri tulang belakang, gejala atau tanda-tanda defisit neurologis yang terkait
dengan tulang belakang, dan pasien yang tidak dapat dinilai secara jelas (orang-
orang yangtidak sadar, tidak kooperatif, tidak koheren atau mabuk) membutuhkan
sebuah studi radiografi sumsum tulang belakang.Studi Pemanfaatan X-Radiografi
Darurat NasionalProtokol/National Emergency X-ray Utilization Study (NEXUS)
dirancang sebagai upaya untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko rendah
33
untuk fraktur serviks / subluksasi / dislokasi. Hal tersebut terdiri dari lima kriteria:
tidak ada nyeri leher serviks garis tengah posterior, tidak ada keracunan, status
mental normal, tidak ada nyeri cedera lainnyadan tidak ada defisit neurologis.
Pasien yang memenuhi semuakriteria ini berisiko rendah untuk cedera serviks dan
pencitraanleher atau sumsum tulang belakang bisa dilepaskan. Protokol NEXUS
memiliki sensitivitas 99% dan nilai prediksi negative 99,9% untuk cedera sumsum
tulang belakang leher. Protokol lain yang menangani masalah yang sama adalah
Canadian C-Spine Rule, yang terdiri dari tiga pertanyaan:adanya faktor risiko tinggi
yang mengamanatkan radiografi(usia> 65 tahun, mekanisme trauma berbahaya,
atau parestesia pada ekstremitas), adanya faktor risiko rendah yang memungkinkan
penilaian yang aman terhadap rentang gerakan, dan kemampuan untukaktif
memutar leher 45º ke kiri dan kanan. Penggunaan protokol C-Spine Rule Kanada
menghasilkan sensitivitas 100% untuk cedera tulang belakang leher dengan
spesifisitas 42,5%.Modalitas pencitraan yang dipilih adalah computed tomography
(CT). Jika tidak tersedia, rontgen tulang belakang tiga tampilan direkomendasikan
(tampilan anteroposterior, odontoid dan lateral), kemudian ditambah dengan CT
scan nanti.Pencitraan resonansi magnetic (MRI) harus diperoleh, kapandapat
dilakukan, dalam 48 jam pertama setelah trauma. MRI dapat mendeteksilesi pada
6% kasus di mana CT normal, dan sangat berguna untuk lesi ligamen. MRI juga
merupakan alat yang baik untuk mengklasifikasikan keparahan dan memprediksi
hasil berdasarkan adanya perdarahan, luasnya edema, dan keparahan awalkompresi.
Perdarahan intraspinal (panjang> 1 cm) jugaperubahan sinyal T2 memanjang>
3cm, berhubungan dengan prognosa yang buruk. Gambar resonansi magnetik awal
yang normal biasanya dikaitkan dengan pemulihan lengkap.23
PEMERIKSAAN IMAGING
34
fraktur tubuh vertebral, proses spinosus, dan peg paling baik dilihat pada tampilan
lateral. Dislokasi unifacet menyebabkan perpindahan anterior ≤50% dari diameter
AP tubuh vertebral. Perpindahan> 50% menunjukkan dislokasi facet bilateral. Cari
pembengkakan jaringan lunak prevertebral.
Pandangan AP (AP view) dapat menunjukkan cedera pada pedikel, sisi, dan
massa lateral. Pandangan odontoid mulut terbuka (open-mouth odontoid view)
biasanya menunjukkan fraktur peg/dens/prosessus odontoid. Tampilan fleksi /
ekstensi (flexion and extention view) untuk menilai stabilitas leher dan jarang
diindikasikan segera setelah cedera, karena spasme otot dapat menghambat gerakan
dan ada potensi untuk memperburuk kerusakan spinal cord. CT biasanya
merupakan investigasi yang lebih tepat. Tampilan standar untuk tulang belakang
thoracolumbar adalah AP dan lateral. Di daerah dada (thorax) struktur tumpang
tindih dapat membuat interpretasi menjadi sulit dan memerlukan pencitraan lain.
Jika sinar-X memiliki kualitas diagnostik, visualisasi kompresi atau fraktur pecah,
dan perpindahan tidak sulit, tetapi hal ini memiliki sedikit hubungan dengan tingkat
cedera tali pusat.
Menafsirkan sinar-X tulang belakang mungkin sulit dan jika ragu, dapatkan
bantuan ahli yang lebih senior untuk membantu. Pendekatan sistematis membantu
mencegah cedera agar tidak luput dari diagnosis:
35
• Periksa kesejajaran vertebra (vertebral alignment), Tulang belakang harus lurus
atau mengiikuti kurva tipis dan jangan menunjukkan pengeluaran ‘step’. Pada
lateral X-ray menilai perataan dengan memeriksa secara bergiliran: batas vertebral
anterior, batas vertebral posterior, facet posterior, batas anterior proses spinosus,
dan batas posterior proses spinosus. juga pada jarak interspinal.
• Periksa kesejajaran pada film AP dengan mengikuti proses spinosus dan ujung-
ujung proses transversus (Gbr. 8.13). Cari deformitas rotasional dan adanya
asimetri.
• Waspada dalam menilai tampilan odontoid peg (Gbr. 8.13), cari asimetri /
perpindahan massa lateral C1. Bedakan fraktur (terbatas pada area tulang) dari
bayangan jaringan lunak di atasnya (memanjang di luar area tulang). Perhatikan
bahwa jarak atlanto-odontoid harus menjadi ≤3mm pada orang dewasa dan ≤5mm
pada anak-anak.
• Cari bukti tidak langsung dari cedera tulang belakang yang signifikan
(peningkatan ruang prevertebral). Ketebalan normal jaringan lunak prevertebral
pada perbatasan anteroinferior C3 (yaitu jarak antara faring dan tubuh vertebral)
adalah <0,5cm.19
36
Gambar 2.12 Interpretasi dari x-ray spine23
a. Diseksi aorta
b. Infeksi epidural (spinal epidural abscess) dan infeksi subdural (subdural
empyema)
c. Hanging injury and strangulation
d. Trauma leher
e. Spinal cord infections
f. Syphilis
g. Fraktur vertebra
37
2.3.8 Komplikasi
a. Syok
b. Mal Union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang
kurang baik menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang
terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling
beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union)
juga menyebabkan mal union.
c. Non Union
d. Delayed Union
e. Emboli Lemak
38
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
f. Sindrom Kompartemen
Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun
tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena
ini disebut ischemi Volkmann. Ini dapat terjadi pula pada pemasangan gips
yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu aliran darah dan terjadi edema
didalam otot.
g. Dekubitus
Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena itu
perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.24
2.3.9 Penatalaksanaan
Catastrophic haemorrhage
Airway with in-line spinal immobilization
Breathing
Circulation
Disability (neurological)
Eposure and environment11
39
IN-LINE IMMOBILIZATION
Di semua tahap penilaian perlu melindungi tulang belakang leher orang tersebut
dengan melakukan imobilisasi tulang belakang in-line manual, khususnya selama
intervensi jalan nafas dan hindari memindahkan tulang belakang lainnya. Menilai
orang tersebut untuk cedera tulang belakang, awalnya dengan mempertimbangkan
faktor-faktor yang tercantum di bawah ini yaitu Periksa apakah orang tersebut:
Melakukan imobilisasi tulang belakang in-line penuh jika ada faktor yang
Rekomendasikan diatas hadir atau jika penilaian ini tidak dapat dilakukan.11
40
belakang degeneratif parah menyebabkan mereka memiliki deformitas kyphotic
atau angulasi nontraumatic pada tulang belakang. Pasien seperti itu seharusnya
diimobilisasi di papan dengan posisi yang nyaman bagi pasien. Padding tambahan
sering diperlukan. Mencoba untuk mensejajarkan tulang belakang untuk tujuan
imobilisasi pada papan tidak dianjurkan jika hal tersebut menyebabkan rasa sakit.
Imobilisasi leher dengan kerah semirigid (semirigid collar) tidak memastikan
stabilisasi lengkap serviks tulang belakang. Imobilisasi menggunakan papan tulang
belakang (long spine board) dengan perangkat penopang (bolstering device) yang
tepat lebih efektif dalam membatasi gerakan leher tertentu. Penggunaan papan
tulang Panjang direkomendasikan. Cedera tulang belakang leher membutuhkan
imobilisasi terus menerus seluruh pasien dengan kerah servikal semirigid,
imobilisasi kepala, papan, selotip, dan tali sebelum dan selama transfer ke fasilitas
perawatan definitive (perhatikan gambar 2.13). Ekstensi dan fleksi leher harus
dihindari karena gerakan ini adalah paling berbahaya bagi sumsum tulang belakang.
Jalan nafasnya adalah sangat penting pada pasien dengan cedera tulang belakang,
dan intubasi dini harus dilakukan jika terdapat bukti gangguan pernapasan. Selama
intubasi, leher harus dijaga dalam posisi netral.25
41
Perlu perhatian khusus pada pemeliharaan yang memadai dari imobilisasi
pasien yang gelisah, agitasi, atau kasar. Perilaku seperti itu bisa disebabkan oleh
rasa sakit, kebingungan yang terkait dengan hipoksia atau hipotensi, alkohol atau
penggunaan narkoba, atau gangguan kepribadian. Dokter harus selalu mencari dan
memperbaiki penyebab perilaku, jika memungkinkan. Dan bila perlu mungkin
dapat diberikan obat penenang atau paralitik, sambil memastikan perlindungan,
kontrol, dan ventilasi jalan napas yang memadai. Setelah pasien tiba di UGD, setiap
upaya harus dibuat untuk melepaskan papan tulang belakang yang kaku sedini
mungkin untuk mengurangi risiko pembentukan ulkus tekan (stress ulcer).
Pelepasan papan sering dilakukan sebagai bagian dari survei sekunder ketika pasien
dilakukan log-rolled untuk inspeksi dan palpasi punggung. Hal tersebut seharusnya
tidak ditunda semata-mata untuk tujuan mendapatkan radiografi tulang belakang
definitif, terutama jika evaluasi radiograf mungkin tidak selesai selama beberapa
jam.25
Gerakan aman, atau logrolling, dari pasien dengan tulang belakang yang
tidak stabil atau berpotensi tidak stabil membutuhkan perencanaan dan bantuan
empat orang atau lebih, tergantung pada ukuran pasien (gambar 2.14). Keselarasan
anatomi netral dari seluruh vertebral Kolom harus dipertahankan saat
menggulingkan dan mengangkat pasien. Satu orang ditugaskan untuk
mempertahankan in-line imobilisasi kepala dan leher. Individu lain yang
diposisikan di sisi yang sama dari batang tubuh pasien secara manual mencegah
rotasi segmental, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau kendurnya dada atau perut
selama pemindahan pasien. Individu lain bertanggung jawab untuk menggerakkan
kaki dan melepaskan papan tulang belakang serta memeriksa punggung pasien.25
42
Gambar 2.14 Four-Person Logroll. Logrolling pasien dilakukan untuk melepaskan
papan tulang belakang dan / atau memeriksanya bagian belakang harus
diselesaikan menggunakan setidaknya empat orang. (A) satu orang berdiri di
daerah kepala pasien untuk mengendalikan kepala dan tulang belakang, dan dua di
sepanjang sisi pasien untuk mengendalikan tubuh dan ekstremitas. (B) Ketika
pasien sedang berguling, tiga orang mempertahankan penyelarasan tulang
belakang, sementara (C) orang keempat melepas papan dan memeriksa bagian
belakang. (D) setelah papan dilepas, pasien dikembalikan ke posisi terlentang,
sambil mempertahankan keselarasan tulang belakang.25
Menilai apakah orang tersebut berisiko tinggi, rendah atau tidak ada risiko
cedera tulang belakang leher menggunakan aturan C-spine Kanada (Canadian C-
Spine Rule) sebagai berikut:
43
Orang tersebut berisiko tinggi (High Risk) jika mereka memiliki setidaknya
satu dari faktor risiko tinggi berikut:
1. Berusia 65 tahun atau lebih
2. Mekanisme cedera yang berbahaya (jatuh dari ketinggian lebih dari 1 meter
atau 5 langkah, beban aksial ke kepala - misalnya menyelam, tabrakan
kendaraan bermotor berkecepatan tinggi, kecelakaan roll-over motor,
terlempar dari kendaraan bermotor, kecelakaan melibatkan kendaraan
rekreasi bermotor, tabrakan sepeda, kecelakaan ketika berkuda)
3. paraesthesia di tungkai atas atau bawah
Orang tersebut berisiko rendah (Low Risk) jika mereka memiliki setidaknya
satu dari faktor risiko rendah berikut:
1. terlibat dalam tabrakan kendaraan bermotor ujung-belakang kecil
2. nyaman dalam posisi duduk
3. rawat jalan setiap saat sejak cedera
4. tidak ada nyeri punggung tengah garis tengah serviks
5. keterlambatan timbulnya nyeri leher
44
Perlu diketahui bahwa menerapkan aturan C-spine Kanada untuk anak-anak
adalah sulit dan tahap perkembangan anak harus diperhitungkan.11
faktor-faktor ini:
45
Perlu diketahui bahwa menilai anak-anak dengan dugaan cedera tulang
belakang toraks atau lumbosacral itu sulit dan tahap perkembangan anak harus
dipertimbangkan.
Memiliki faktor risiko tinggi (high risk) untuk cedera tulang belakang leher
diidentifikasi dan diindikasikan oleh Canadian C-Spine Rule
Memiliki faktor risiko rendah (low risk) untuk cedera tulang belakang leher
yang teridentifikasi dan diindikasikan oleh Canadian C-Spine Rule dan
orang tersebut tidak dapat secara aktif memutar leher mereka 45 derajat ke
kiri dan kanan
Memenuhi satu atau lebih faktor yang tercantum dalam Penilaian untuk
cedera tulang belakang thoracic atau lumbosacral diatas.
46
dahi untuk mencegah rotasi. Kerah harus pas dengan aman, tetapi tidak
menutup jalan napas atau mengganggu aliran balik vena dari kepala. Hati
hati pada pasien dengan deformitas leher yang sudah ada sebelumnya (mis.
ankylosing spondylitis) untuk tidak memanipulasi leher atau untuk
memaksa kerah pada tempatnya. (lihat gambar 2.15)19
Gambar 2.15 (kiri) In-line Immobilization (kanan) Aplikasi cervical collar dibantu
dengan kantong pasir yang ditempatkan di kedua sisi kepala dan diikat oleh pita
pada dahiuntuk mencegah rotasi19
Meskipun hipoksia dapat terjadi karena cedera kepala, dada dan saluran
napas bagian atas, cedera tulang belakang itu sendiri dapat menyebabkan gangguan
ventilasi. Dengan cedera di atas C5, dapat terjadi kelemahan dari diafragma, batuk
tidak efektif dan pengurangan 80-90% dari volume tidal. Pasien dengan kondisi
tersebut jelas membutuhkan ventilasi dukungan dini untuk mengobati gagal napas
dan mencegah kerusakan hipoksia sekunder. Pasien dengan cedera tulang belakang
thoracic mungkin memiliki pengurangan signifikan, tetapi jauh lebih jelas pada
volume tidal dan fungsi pernapasan. Kegagalan pernafasan yang terjadi mungkin
terjadi tersembunyi. Anestesi pra-rumah sakit dan intubasi trakea mungkin
diperlukan meskipun terdapat kekhawatiran yang cukup besar tentang eksaserbasi
selanjutnya dari cedera tulang belakang, terdapat sedikit bukti bahwa bila intubasi
orotrakeal yang dilakukan dengan benar dengan immobilisasi in-line manual akan
menyebabkan bahaya. Namun, suction oral, dan Intubasi laringoskopi dapat
47
memicu bradikardia yang parah karena stimulasi vagal yang tidak dapat dilawan
(unopposed vagal stimulation) pada pasien dengan gangguan otonom dari cedera
tulang belakang serviks atau toraks bagian atas sehingga atropin seharusnya segera
tersedia.26
• Pastikan patensi jalan napas dan ventilasi yang memadai —hipoksia dapat
memperburuk sumsum tulang belakang yang terluka. Awalnya pada pasien yang
48
tidak sadar, Jaw thurust dan suction ke jalan napas atas dapat digunakan. Ingat
bahwa stimulasi orofaringeal dapat memicu bradaritmia berat. Bantuan adjuvant
saluran napas sederhana seperti oro- dan nasofaring airway sering dapat
mempertahankan patensi jalan napas atas, tetapi kadang-kadang diperlukan intubasi
trakea. Hal ini pasti dilakukan oleh seorang individu yang berpengalaman dalam
teknik anestesi canggih (biasanya Rapid Sequence Intubation, jarang serat optik)
dengan asisten mengendalikan kepala / leher untuk membatasi pergerakan tulang
belakang leher.
• Ventilasi dapat memburuk karena edema / iskemia spinal cord, jadi perhatikan
secara teratur untuk pernapasan diafragma (diafragma dipasok oleh C3 / 4/5) dan
penggunaan otot-otot tambahan pernapasan. Gunakan pulse oximetry dan analisis
ABG reguler untuk memastikan oksigenasi dan ventilasi yang memadai. Mungkin
diperlukan intubasi trakea dan ventilasi terkontrol.
• Biasanya, pasien diangkut menggunakan papan tulang belakang, yang mana harus
dilepaskan segera setelah survei utama selesai dan resusitasi dimulai. Lepaskan
papan sebelum pencitraan jika memungkinkan.19
CIRCULATION
49
Syok neurogenik dihasilkan dari interupsi tonus simpatik karena gangguan
dalam kontrol supraspinal, dan adanya pengaruh parasimpatis yang utuh melalui
saraf vagus, menyebabkan ketidakseimbangan dalam kontrol otonom. Oleh karena
itu terjadi juga kehilangan tonus vaskular perifer dan bradikardia. Meskipun
konsekuensi buruk dari hipotensi pada SCI belum dinilai secara prospektif
terkontrol, ada bukti yang meyakinkan bahwa hipotensi berkontribusi terhadap
cedera sekunder setelah SCI akut, mengurangi aliran sumsum tulang belakang dan
perfusi. Berdasarkan ini, rekomendasi saat ini adalah untuk benar-benar
menghindari hipotensi, dan mempertahankan mean arterial pressure (MAP) pada
85-90mmHg selama tujuh hari setelah cedera (level Bukti III). Untuk mencapai
tujuan itu, Andalan pengobatannya adalah terapi cairan intravena (terutama dengan
kristaloid) untuk mempertahankan status euvolemik atau sedikit hipervolemik,
dalam hubungannya dengan vasopresor. Penting untuk melakukan pemantauan
tekanan darah invasif dengan arteri-line.23
50
tulang belakang di bawah T6 lebih banyak kemungkinan mengindikasikan
perdarahan.26
Cairan Intravena
Pada pasien yang diduga cedera tulang belakang, cairan intravena diberikan
seperti biasanya untuk resusitasi pasien trauma. Jika perdarahan aktif tidak
terdeteksi atau dicurigai, hipotensi persisten harus meningkatkan kecurigaan syok
neurogenik. Pasien dengan syok hipovolemik biasanya memiliki takikardia,
sedangkan mereka yang syok neurogenic klasik menderita bradikardia. Jika tekanan
darah tidak membaik setelah fluid challenge, penggunaan yang bijaksana dari
vasopresor dapat diindikasikan. Direkomendasikan fenilefrin hidroklorida,
dopamin, atau norepinefrin. Pemberian cairan yang terlalu banyak dapat
menyebabkan edema paru pada pasien dengan syok neurogenik. Ketika status
cairan tidak pasti, penggunaan invasive pemantauan mungkin bermanfaat. Kateter
urin dimasukkan untuk memantau keluaran urin dan mencegah distensi kandung
kemih.25
MANAGEMEN CIRCULATION
Mengelola sirkulasi
Pantau EKG dan TD. Gangguan pada sistem simpatis pada spinal cord
menyebabkan hilangnya tonus vasomotor sehingga menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan venous pooling, dan penurunan TD.
Flaccidity dan arreflexia, bersama dengan tidak adanya reflex takikardia dan
bradikardia terkait (tidak tepat) adalah petunjuk ‘syok neurogenik’, tetapi
sebelum mendiagnosis 'syok neurogenik' eksklusikan dan obati penyebab
lain hipotensi (misalnya kehilangan darah, tension pneumothorax,dll).
Cairan IV biasanya mengoreksi setiap hipovolemia relatif, tetapi inotrop
mungkin diperlukan jika penurunan curah jantung tetap ada meskipun
penggantian volume yang adekuat dan koreksi bradaritmia oleh atropin.
51
Gunakan pemantauan CVP untuk pasien syok neurogenik untuk mencegah
kelebihan cairan.
Pertimbangan lainnya
PERTIMBANGAN KHUSUS
CORTICOSTEROID
52
pengobatan steroid jangka panjang, serta hipotermi (salah satu gejala yang
timbul pada cedera medula spinalis).27
Bila terjadi spastisitas otot, berikan: Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen
3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara
tradisional digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal yang
menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.28,29,30
Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti
inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan
untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering
terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal.
Antidepresan trisiklik: digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk
mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala.27
BEDAH
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah
untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan
defisit neurologis inkomplit. Edema dan perdarahan progresif berkontribusi
pada tekanan mekanis yang sedang berlangsung pada sirkulasi mikrovaskuler.
Dekompresi bedah bertujuan untuk meringankan tekanan ini, dengan demikian
mengurangi hipoksia sekunder dan iskemia. Indikasi untuk pembedahan
termasuk kompresi spinal cord dengan gangguan neurologis progresif dan
fraktur tidak berespon, atau tidak dapat dilakukan, redksi tertutup, sebagai
patah tulang belakang yang tidak stabil. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang
terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi
terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit
neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang
mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi
stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.27 Indikasi
lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai
dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya
53
epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak
stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws
dikombinasi dengan bone fusion.31
2.3.10 Prognosis
Status neurologis awal menentukan hasil akhir dari trauma trauma vertebra.
Dengan tidak adanya gangguan fungsi neurologi, nyeri danfungsi pergerakan
akan kembali normal dalam 3 sampai 8 tahun. Hasil akhir dari trauma spinal
ditentukan oleh usia dan tingkat keparahan trauma spinal. Penyebab kematian
tersering adalah gagal ginjal dan penyakit saluran pernafasan. Harapan hidup
ditentukan juga oleh keparahan defisit neurologi. Pasien usia tua dengan trauma
spinal berkaitan dengan harapan hidup yang rendah.13
54
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 50 tahun
Alamat : Jalan Medan Klio
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk : 9 Juni 2019
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 168 cm
3.2 Alloanamnesis
KU : Penurunan kesadaran
T : Dialami os ± 1 jam sebelum masuk RS HAM setelah pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas (KLL). Kejadian berawal saat pasien sedang
menyebrang jalan, tiba-tiba pasien ditabrak oleh sepeda motor dari arah
samping. Setelah terjatuh di jalan, pasien ditabrak lagi oleh mobil dengan
mekanisme yang tidak jelas. Riwayat muntah tidak dijumpai, riwayat kejang
tidak ada. Pasien segera dibawa ke RSUP HAM. Sesak nafas dijumpai. RPT
(-), RPO (-).
Alergi : (-)
Medikasi : tidak jelas
Past Illness : hipertensi
Last Meal : jam 12.00 WIB
Event : kecelakaan lalu lintas
55
3.3 Time Sequences
9 Juni 2019 • Pasien tiba di IGD RSUP Haji Adam Malik Medan
(15.30)
• Pasien dikonsulkan oleh bedah saraf ke anestesi untuk perbaikan keadaan umum dan
pendampingan CT scan kepala non-kontras
9 Juni 2019
(16.15)
• ACC tindakan anestesi
• Pasien didiagnosa dengan Open depressed fracture (L) oksipital + traumatik Subarrachnoid
hemorrhage sehingga harus dilakukan operasi cito. Konsul anestesi untuk pendampingan
9 Juni 2019
(19.00)
craniectomy cito
56
- Pemasangan cervical collar brace dan oropharyngeal airway
B (Breathing)
- RR: 26 x/menit
- SaO2: 98%
C (Circulation)
- Tekanan darah: 180/100 mmHg
- Nadi: 96 x/menit, reguler, T/V cukup
- Akral hangat, merah, dan kering
- CRT < 2”
D (Disability)
- Sensorium: somnolen, GCS 9 (E2M5V2)
- Pupil isokor, refleks cahaya +/+, diameter 4mm/4mm
E (Exposure)
- Temp: 36,5oC
- Luka robek pada kepala regio occipital kiri dan luka lecet regio frontal
kanan
- Jejas pada dada dan perut kanan
57
B5 (Bowel) : Abdomen soepel, peristaltik normal (+)
B6 (Bone) : Edema (-), fraktur depresi (+) di regio oksipital
kiri, luka robek di kepala (+), jejas pada dada dan
perut kanan (+)
58
3.6.2 Foto Servikal Lateral (09-06-2019)
Hasil:
Alignment vertebra servikal baik, tak tampak listesis
Densitas tulang menurun dengan end plate sklerotik
Tak tampak lesi litik, blastik maupun destruksi
Tak tampak pembentukan osteofit
Ruang diskus intervertebralis baik, tidak menyempit
Pedikels intak
Jaringan lunak baik
Kesimpulan : Osteoporosis
59
3.6.3 Foto Thorax AP Supine (09-06-2019)
Hasil
Trakea di tengah dan hilus tidak menebal
Kedua sinus costophrenicus lancip dan kedua diafragma licin
Tidak tampak infiltrat pada kedua lapangan paru
Jantung ukuran normal, CTR < 50% dan aorta baik
Tulang – tulang dan soft tissue baik
Kesimpulan: tidak tampak kelainan pada jantung dan paru
60
3.6.4 CT-scan Kepala Non-Kontras (09-06-2019)
Hasil:
Cortical sulci, fissure Sylvii dan gyri baik
Sistem ventrikel dan sisterna baik
Tidak tampak pergeseran garis tengah
Tampak lesi hiperdens mengisi sebagian sisterna suprasella
Tampak lesi hipodens pada lobus parieto-oksipital kanan, basal ganglia dan korona
radiata kanan.
Infratentorial: pons, serebeli, dan CPA baik
Sella dan parasellar baik
Sinus paranasalis dan pneumatisasi mastoid air-cell kiri berselubung
Kedua orbita dan bulbus okuli intak
Tampak fraktur kominutiva pada os parieto-oksipital kiri
Tampak pembengkakan disertai lesi hipodens multipel pada jaringan lunak region
temporo-parieto-oksipital kiri
Tampak pembengkakan jaringan lunak region fronto-temporo-parietal kanan
61
3.7 Diagnosis
Pasien didiagnosis dengan Fractur Cervical C3 + Open depressed
fracture regio occipital (L) + Traumatic Subarachnoid Hemorhagic
62
BAB IV
FOLLOW UP
63
11- 12 Juni 2019 (ICU Pasca Bedah)
S – Rawatan Hari ke 2 & 3
O - Airway clear, Terintubasi dengan MV CMV, VT: 400, PEEP: 5, FiO2:
50%.
RR: 22 x/i, SP: Vesikuler, ST: Rh (-/-), Wh (-/-), S/G/C : -/-/-.
SpO2:99%
- Akral: H/M/K. T: 158/80. N: 70x/i
- Sens: DPO, Pupil: bulat isokor ᴓ 4mm/4mm, GCS E2M4Vt
- UOP: Kateter (+), kuning
- Abdomen: soepel, peristaltik (n)
- Edema (-),fraktur depresi (+) di regio oksipital kiri, jejas pada dada
dan perut kanan (+)
A Fractur Cervical 3 + Open depressed fracture regio occipital (L) +
Traumatic Subarachnoid Hemorhagic
P - Bed rest + head up 30o
- IVFD Rsol 20gtt/i
- IVFD Manitol 125 cc / 6 jam
- Dexmedetomidine 200 mg / 50 cc NaCl 0,9% >> 2cc/jam
- Rocuronium 3 cc/ jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24 jam/IV
- Inj. Metronidazole 500mg /8 jam
- Inj. Fenitoin 100 mg/ 8 jam
- Inj. Esomeprazole 40 mg / 24 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
R -
Lab -
13 - 14 Juni 2019 (ICU Pasca Bedah)
S – Rawatan Hari ke 4, 5 & 6
64
O - Airway clear, Terintubasi dengan MV SIMV, VT: 450, PEEP: 5,
FiO2: 40%.
RR: 17 x/i, SP: Vesikuler, ST: Rh (-/-), Wh (-/-), S/G/C : -/-/-.
SpO2:98%
- Akral: H/M/K. T: 164/56. N: 70x/i
- Sens: DPO, Pupil: bulat isokor ᴓ 4mm/4mm, GCS E2M4Vt
- UOP: Kateter (+), kuning
- Abdomen: soepel, peristaltik (n)
- Edema (-),fraktur depresi (+) di regio oksipital kiri, jejas pada dada
dan perut kanan (+)
A Fractur Cervical 3 + Open depressed fracture regio occipital (L) +
Traumatic Subarachnoid Hemorhagic
P - Bed rest + head up 30o
- IVFD Widabes 20gtt/i
- Inj. Perdipin / 50 cc Nacl 0,9% >> 4 cc/ jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24 jam/IV
- Inj. Metronidazole 1500mg /24 jam
- Inj. Fenitoin 100 mg/ 8 jam
- Inj. Esomeprazole 40 mg / 24 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
R -
Lab -
65
- UOP: Kateter (+), kuning
- Abdomen: soepel, peristaltik (n)
- Edema (-),fraktur depresi (+) di regio oksipital kiri, jejas pada dada
dan perut kanan (+)
A Fractur Cervical C2-C3 + Open depressed fracture regio occipital (L) +
Traumatic Subarachnoid Hemorhagic
P - Bed rest + head up 30o
- IVFD Widabes 20gtt/i
- IVFD Tutofusin 7 gtt/i
- IVFD Manitol 125 cc/ 8 jam
- Inj. Perdipin 10mg / 50 cc Nacl 0,9% >> 4 cc/ jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24 jam/IV
- Inj. Metronidazole 1500mg /24 jam
- Inj. Fenitoin 100 mg/ 8 jam
- Inj. Esomeprazole 40 mg / 24 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Parasetamol 1 gr (k/p)
R -
Lab 20 juni 2019
- pH/PCO2/PO2/HCO3/TCO2/BE/SaO2: 7.45/ 36/ 130/ 25/ 26,1/ 1,2/ 99
66
- Edema (-),fraktur depresi (+) di regio oksipital kiri, jejas pada dada
dan perut kanan (+)
A Fractur Cervical C2-C3 + Open depressed fracture regio occipital (L) +
Traumatic Subarachnoid Hemorhagic
P - Bed rest + head up 30o
- IVFD Widabes 20gtt/i
- IVFD Tutofusin 7 gtt/i
- IVFD Manitol 125 cc/ 8 jam
- Inj. Perdipin 10mg / 50 cc Nacl 0,9% >> 4 cc/ jam
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24 jam/IV
- Inj. Metronidazole 1500mg /24 jam
- Inj. Fenitoin 100 mg/ 8 jam
- Inj. Esomeprazole 40 mg / 24 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Parasetamol 1 gr (k/p)
R - Perawatan ICU
Lab 24 juni 2019
- Hb/Ht/Leu/Plt: 11,2/33/24.230/436.000
- BUN/ Ur/ Kr : 18/ 39/ 0,66
- Na/K/Cl: 131/4,8/103
- KGDs: 277
67
- Abdomen: soepel, peristaltik (n)
- Edema (-),fraktur depresi (+) di regio oksipital kiri, jejas pada dada
dan perut kanan (+)
A Fractur Cervical C2-C3 + Open depressed fracture regio occipital (L) +
Traumatic Subarachnoid Hemorhagic
P - Bed rest + head up 30o
- IVFD R Sol 20gtt/i
- Inj. Fentanyl 300mg + midazolam 150mg 50 cc Nacl 0,9%
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24 jam/IV
- Inj. Metronidazole 1500mg /24 jam
- Cefadroxil tab 2 x 1
- Inj. Omeprazole 40 mg / 24 jam
- Valsartan 1 x 80 mg
- Adalat Oros 1 x 30 mg tab
R - Konsul PPRA
Lab -
68
BAB V
DISKUSI
Teori Kasus
Disability (neurological)
Eposure and environment
69
Setiap pasien dengan dugaan cedera
tulang belakang harus diimobilisasi di
atas dan di bawah lokasi cedera yang
dicurigai sampai fraktur dieksklusikan
oleh pemeriksaan x-ray. Setelah pasien
tiba di UGD, setiap upaya harus dibuat
untuk melepaskan papan tulang
belakang yang kaku sedini mungkin
untuk mengurangi risiko pembentukan
ulkus tekan (stress ulcer). Pelepasan
papan sering dilakukan sebagai bagian
dari survei sekunder ketika pasien
dilakukan log-rolled untuk inspeksi
dan palpasi punggung.
70
Memenuhi satu atau lebih
faktor yang tercantum dalam
Penilaian untuk cedera tulang
belakang thoracic atau
lumbosacral diatas.
71
anestesi canggih (biasanya Rapid • NPO sejak direncanakan
Sequence Intubation, jarang fiber operasi Craniotomy
optik) dengan asisten Debridement
mengendalikan kepala / leher untuk
membatasi pergerakan tulang
belakang leher.
Circulation
Pantau EKG dan TD. Gangguan
pada sistem simpatis pada
spinal cord menyebabkan
hilangnya tonus vasomotor,
menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan venous pooling,
dan penurunan TD
Flaccidity dan arreflexia,
bersama dengan tidak adanya
reflex takikardia dan
bradikardia terkait (tidak tepat)
72
adalah petunjuk ‘syok
neurogenik’, tetapi sebelum
mendiagnosis 'syok neurogenik' • Dilakukan pemeriksaan EKG
eksklusikan dan obati penyebab dan Tekanan Darah
lain hipotensi (misalnya
kehilangan darah, tension • Pasang IV line dengan
pneumothorax,dll). abbocath bore 18G di tangan
Cairan IV biasanya mengoreksi kiri, pastikan lancar sebanyak
setiap hipovolemia relatif,
tetapi inotrop mungkin • Ambil darah untuk
diperlukan jika penurunan pemeriksaan lab dan cross
curah jantung tetap ada match
meskipun penggantian volume
yang adekuat dan koreksi
• Resusitasi cairan dengan Rsol
bradaritmia oleh atropin.
20 tetes/i
Gunakan pemantauan CVP
untuk pasien syok neurogenik
• Pasang kateter urin urine
untuk mencegah kelebihan
output berwarna kuning pekat
cairan.
300 cc
Pertimbangan lainnya
• Bersihkan darah dan luka
Masukkan kateter kemih
menggunakan kasa
(teknik aseptik ketat) untuk
memantau keluaran urin dan
mencegah distensi kandung
kemih.
Jika tidak ada cedera
kraniofasial, tabung NG akan
mencegah distensi lambung
(ileus biasanya berkembang
73
setelah cedera spinal cord), dan
penurunan risiko aspirasi dan
gangguan pernapasan.
74
dengan defisit neurologis inkomplit.
Edema dan perdarahan progresif
berkontribusi pada tekanan mekanis
yang sedang berlangsung pada sirkulasi
mikrovaskuler. Dekompresi bedah
bertujuan untuk meringankan tekanan
ini, dengan demikian mengurangi
hipoksia sekunder dan iskemia.
75
eksternal. seperti penyakit infeksi
perkembangan.
76
Berikan perhatian khusus pada Sesak nafas dijumpai dengan
setiap gejala yang yang frekuensi pernafasan 26
mengindikasikan gangguan x/menit.
pernafasan saat ini atau yang Frekuensi nadi 96 x/menit.
akan datang, termasuk dispnea,
jantung berdebar dan
kecemasan, yang dapat
mengindikasikan cedera tulang
belakang leher tinggi (high
cervical spine injury).
Pemeriksaan Spinal
Dengan teliti memeriksa untuk
mengetahui apakah adanya nyeri tekan Nyeri tekan (-)
(tenderness), step-deformity, gibbus, Step-deformity tidak dijumpai
pelebaran celah interspinosus dan Gibbus tidak dijumpai
penonjolan proses spinosus. Mungkin Gangguan motorik sulit dinilai
saja tidak terdapat nyeri tekan dengan Gangguan sensorik sulit dinilai
kasus fraktur tubuh vertebral Reflex tendon sulit dinilai
Pemeriksaan Neurologis
77
memeriksa fungsi kolom posterior.
Adanya keluhan berupa parestesi harus
di perhatikan. Sakit kepala hebat,
terutaama sakit kepala daerah oksipital,
biasanya disertai fraktur odontoid atau
hangman's fracture (fraktur bilateral
dari pedikel C2). Untuk mengetahui
adanya paralisis, pasien diminta untuk
menggerakkan tangannya sendiri dan
diberikan tahanan. Refleks tendon
dalam harus dievaluasi pada lengan dan
kaki, berkurang atau hilangnya reflek
tersebut dapat membantu pemeriksa
mengetahui letak lesi. Refleks lain
yang dapat dilakukan adalah abdomen,
anogenital, dan kremaster.
Radiologi
pasien dengan trauma kepala Sensorium : somnolen , GCS 9
atau leher yang kesadarannya E2M4V2, Pupil: isokor , RC
tidak sepenuhnya waspada (+/+)
(Glasgow skor skala koma
<15) harus menjalani
pencitraan tulang belakang
leher.
Pemanfaatan X-Radiografi
Darurat berdasarkan National
Emergency X-ray Utilization
Study (NEXUS), terdiri dari
lima kriteria: Nyeri sulit dinilai
78
- tidak ada nyeri leher serviks tidak ada keracunan
garis tengah posterior, sensorium : somnolen
- tidak ada keracunan defisit neurologis sulit dinilai
- status mental normal
- tidak ada nyeri cedera lainnya
- tidak ada defisit neurologis
Pasien yang memenuhi semua kriteria
ini, berisiko rendah untuk cedera
serviks dan pencitraan leher atau
sumsum tulang belakang tidak perlu
dilakukan.
Canadian C-Spine Rule, yang
usia os 50 tahun
terdiri dari tiga pertanyaan:
mengalami fraktur depresi (+)
1. adanya faktor risiko tinggi
di regio oksipital kiri, luka
yang mengamanatkan
robek di kepala (+)
radiografi (usia> 65 tahun,
parestesia sulit dinilai
mekanisme trauma berbahaya,
atau parestesia pada
ekstremitas)
2. adanya faktor risiko rendah
yang memungkinkan penilaian
yang aman terhadap rentang
gerakan, dan kemampuan
untuk aktif memutar leher 45º
ke kiri dan kanan
Tidak dilakukan spine CT-
Modalitas pencitraan yang
Scan
dipilih adalah
a.Spine computed tomography
Dilakukan foto servikal dengan
scan.
hasil : Alignment vertebra
79
b. Jika tidak tersedia, rontgen servikal baik, tak tampak
tulang belakang tiga tampilan listesis
direkomendasikan (tampilan Densitas tulang menurun
anteroposterior, odontoid dan dengan end plate sklerotik
lateral). Ruang diskus intervertebralis
baik, tidak menyempit
Pedikels intak
80
BAB VI
KESIMPULAN
Tn. M, usia 50 tahun datang ke RSUP HAM dengan keluhan utama
penurunan kesadaran. Hal ini dialami os ± 1 jam sebelum masuk RS HAM setelah
pasien mengalami kecelakaan lalu lintas (KLL). Kejadian berawal saat pasien
sedang menyebrang jalan, tiba-tiba pasien ditabrak oleh sepeda motor dari arah
samping. Setelah terjatuh di jalan, pasien ditabrak lagi oleh mobil dengan
mekanisme yang tidak jelas. Riwayat muntah tidak dijumpai, riwayat kejang tidak
jelas. Pasien segera dibawa ke RSUP HAM. Sesak nafas dijumpai. RPT (-), RPO (-
).
Pasien didiagnosa dengan Fractur Cervical C2-C3 + Open depressed
fracture regio occipital (L) + Traumatic Subarachnoid Hemorhagic dan mendapat
tatalaksana berupa:
• Pembebasan jalan nafas melalui pemasangan Oropharingeal Tube
• Pemberian suplemen O2 dengan rebreathing mask 10 l/i
• Stabilisasi servikal menggunakan colar brace
• NPO sejak direncanakan operasi Craniotomy Debridement
• Pasang IV line dengan abbocath bore besar no 16G di tangan kanan dan
18G di tangan kiri, pastikan lancar sebanyak 2 line
• Ambil darah untuk pemeriksaan lab dan cross match
• Resusitasi cairan dengan Rsol 20 tetes/i
• Pasang kateter urin urine output berwarna kuning pekat 300 cc
• Bersihkan darah dan luka menggunakan kasa
• Analgetik Inj.Ketorolac 30mg + Inj. Ranitidin 50mg
• Antibiotik broad spectrum inj. Ceftriaxone 1000mg IV/ 12jam
• Tetragam 250 U/ IM
• IVFD Manitol 125 cc / 6 jam
• IVFD Widabes 20gtt/i
• IVFD Tutofusin 7 gtt/i
• Dexmedetomidine 200 mg / 50 cc NaCl 0,9% >> 2cc/jam
• Rocuronium 3 cc/ jam
81
• Inj. Ceftriaxon 2gr/24 jam/IV
• Inj. Metronidazole 500mg /8 jam
• Inj. Fenitoin 100 mg/ 8 jam
• Inj. Esomeprazole 40 mg / 24 jam
• Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
82
DAFTAR PUSTAKA
1. Elsa Lase. Spinal cord injury. 2018. Fakultas Kedokteran Universitas Prima
Indonesia: Medan.
2. Sujana IB. Trauma Vertebra. 2016. Fakultas Kedokteran Udayana :
Denpasar, Bali.
3. American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2015. Fractures of the
Thoracic and Lumbar Spine.
4. Richard S. S. Clinical Neuroanatomy. 7th edition. Philadelphia: Wolters
Kluwer, 2010. Pp132-185.
5. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat; 2003.h. 35-36.
6. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi
ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.
7. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer
Assiciates; 2002.h.23-36, 277-283.
8. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-
42.
9. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu.
10. Lawrence S Chin, MD, FACS, FAANS Robert B and Molly G King. Spinal
Cord Injuries. Medscape 2018. [ONLINE]. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/793582-overview
11. National Institute for Health and Care Excellence. Spinal injury: Assesment
and initial Management [Internet]. [London]: NICE; 20017 [updated 2016
Apr; cited 2019 June 16]. (Clinical guideline [CG90]). Available from:
nice.org.uk/guidance/ng41
12. Elsa Lase. Spinal cord injury. 2018. Fakultas Kedokteran Universitas Prima
Indonesia: Medan.
13. Sujana IB. Trauma Vertebra. 2016. Fakultas Kedokteran Udayana :
Denpasar, Bali.
83
14. American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2015. Fractures of the
Thoracic and Lumbar Spine.
15. Kuntz C. Spinal Fractures. 2013. Mayfield Clinic / University of Cincinnati
Department of Neurosurgery : Cincinnati. Ohio.
16. Kristine E. Ensrud MD. Dkk. Vertebral Fraktures. 2011. The New England
Journal of Medicine 2011 ;364;1634-1642.
17. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu.
18. Judith E Tintinalli. Tintinalli’s Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide. 8th edition. US:Mc grawhill. 2016. Pp1708-1724.
19. J. P. Wyatt, R. N. Illingworth, C. A. Graham, K. Hogg. Oxford Handbook
of Emergency Medicine. 4th edition. Newyork: University Press. 2012. pp
380-387.
20. Bulbocavernosus Reflex - Wheeless' Textbook of Orthopaedics
Dikutip dari http//www.wheelessonline.com\ortho
21. Vodusek, David B.; Deletis, Vedran (2002). "Intraoperative
Neurophysiological monitoring of the Sacral Nervous System".
Neurophysiology in Neurosurgery, a Modern Intraoperative Approach
(Academic Press): 153–165.
22. Spector et all, Review Article: Cauda equina syndrome. JAAOS 16:2008
23. Carolina R, Danyelle R, Eva R, Vivan G, Gisele Sampaio S. Traumatic
Spinal Cord Injury: Current Concepts and Treatment Update. Brasil:
Deparmento de Neurologia e Neurocirurgia. 2017. Pp 387-394.
24. Hadley MN. Guidelines for Management of Acute Cervical Spine and
Spinal Cord Injury. Section of Disorder Spine and Peripheral Nerve of the
American Association of Neurological Surgeons and the Congress of
Neurological Surgeons. 2010.
25. Advanced Traumatic Life Support (ATLS). 9th edition. US:American
college of Surgeon. Pp175-193
26. Maj R Mackenjie. Spinal Injuries. J R Army Med Corps 2002; 148:163-171.
84
27. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., &
Galloway, A. C. (2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA:
McGraw-Hill.
28. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis
dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.
29. Consortium Member Organizations and Steering Committee
Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord
Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The
Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006.
30. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta:
Dian Rakyat; 2005.h.115-116.
31. Manley , Geoffrey T; Rosenthal, Guy; Papanastasio, Alexande M; Pitts,
Larry H;. (2006). Spinal Cord Injury. In G. M. Doherty, Current Surgical
Diagnosis & Treatment (Vol. 37). California: McGraw-Hill.
85