Anda di halaman 1dari 31

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di tengah berkembangnya strukturalisme yang menggunakan metode


intropeksi dan fungsionarisme yang memiliki cakupan materi terlalu
beragam, behaviorisme adalah teori yang muncul untuk menjadi ilmu dalam
psikologi yang populer. Behaviorisme adalah mempelajari perilaku manusia
untuk kajian ilmu psikologi. Introspeksi tidak dapat diandalkan, pengalaman
sadar tidak dapat diamati, dan orang-orang memiliki pengalaman seperti itu
tidak dapat dipercaya untuk melaporkannya secara akurat (Murray, Kilgour,
& Wasylkiw, 2000).

Perilaku tersebut dapat dilatih, tidak bergantung kepada ras,


keturunan, bakat, serta kecenderungan. Pengaruh lingkungan yang besar yang
dapat membentuk perilaku tersebut sesuai karya Skinner. Behaviorisme yang
dipelajari akan sesuai dengan teori pembelajaran. Ciri khas teori
pengkondisian bukanlah bahwa mereka berurusan dengan perilaku tetapi
lebih tepatnya mereka menjelaskan belajar pada peristiwa yang terjadi di
lingkungan. Teori yang paling utama dari behaviorisme adalah teori dari B.F
Skinner, namun teori ini muncul akibat teori-teori seperti koneksionisme
Thorndike, Pavlov pengkondisian klasik, dan pengkondisian berdekatan
Guthrie.

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku


sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus dan respon (Hariyanto, 2011). Seseorang dianggap telah
mengalami proses belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
tingkah laku. Menurut teori ini, hal terpenting dalam belajar adalah input
yang berupa stimulus dan output yang berupa respon

1. 2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan teori behaviorisme ?
2. Apa saja teori yang termasuk kedalam pandangan behaviorisme ?
2

3. Bagaimana implikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran ?

1.3 Tujuan

1. Mengtahui pengertian teori behaviorisme.


2. Mengetahui teori-teori yang termasuk kedalam pandangan behaviorisme.
3. Mengetahui implikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEMBELAJARAN TRIAL-AND-ERROR


Edward L. Thorndike (1874–1949) adalah seorang psikolog
terkemuka AS yang teorinya tentang belajar — koneksionisme — dominan di
Amerika Serikat pada paruh pertama abad kedua puluh (Mayer, 2003). Tidak
seperti banyak psikolog awal, ia tertarik dalam pendidikan dan terutama
belajar, transfer, perbedaan individu, dan kecerdasan (Hilgard,1996;
McKeachie, 1990). Dia menerapkan pendekatan eksperimental ketika
mengukur siswa hasil pencapaian. Dampaknya pada pendidikan tercermin
dalam Thorndike Award, kehormatan tertinggi yang diberikan oleh Divisi
Psikologi Pendidikan Amerika Asosiasi Psikologis untuk kontribusi
terkemuka untuk psikologi pendidikan.

Pekerjaan utama Thorndike adalah seperti yang terdapat pada seri tiga
jilid Pendidikan Psikologi (Thorndike, 1913a, 1913b, 1914). Dia mendalilkan
bahwa jenis pembelajaran yang paling mendasar melibatkan pembentukan
asosiasi (koneksi) antara pengalaman sensorik (persepsi rangsangan atau
peristiwa) dan impuls saraf (tanggapan) yang memanifestasikan diri secara
perilaku. Dia percaya bahwa belajar sering terjadi dengan coba-coba
(memilih dan menghubungkan). Thorndike mulai belajar belajar dengan
serangkaian percobaan pada hewan (Thorndike, 1911). Hewan dalam situasi
bermasalah mencoba mencapai tujuan (misal Mendapatkan makanan,
mencapai tujuan). Dari sekian banyak respons yang dapat mereka lakukan,
mereka memilih satu, lakukan itu, dan alami konsekuensinya. Semakin sering
3

mereka merespons stimulus, semakin tegas respons itu terhubung ke stimulus


itu.

Dalam situasi eksperimental yang khas, kucing ditempatkan di dalam


kandang. Kucing dapat membuka pintu keluar dengan mendorong tongkat
atau menarik rantai. Setelah serangkaian tanggapan acak,kucing akhirnya
lolos dengan membuat respons yang membuka lubang palka. Kucing itu
kemudian dimasukkankembali ke kandang. Selama percobaan, kucing
mencapai tujuan (melarikan diri) lebih cepat dan berhasil lebih sedikit
kesalahan sebelum merespons dengan benar. Plot hasil yang khas ditunjukkan
pada gambar 1.

Gambar 1.

Pembelajaran Trial-and-Error terjadi secara bertahap (secara bertahap)


sebagai respon yang suksesyang mapan dan tidak berhasil ditinggalkan.
Koneksi terbentuk secara mekanismelalui pengulangan; kesadaran tidak
perlu. Hewan tidak "menangkap" atau "Memiliki wawasan." Thorndike
memahami bahwa belajar manusia lebih kompleks karena orang terlibat
dalam jenis pembelajaran lain yang melibatkan menghubungkan gagasan,
menganalisis, dan bernalar (Thorndike, 1913b). Meskipun demikian,
kesamaan dalam hasil penelitian dari hewan dan studi pada manusia
mengarahkan Thorndike untuk menjelaskan pembelajaran yang kompleks
dengan pembelajaran dasar prinsip Orang dewasa yang berpendidikan
memiliki jutaan koneksi stimulus-respons.
4

2.1.1 Hukum Latihan dan Efek


Ide dasar Thorndike tentang belajar diwujudkan dalam Hukum
Latihan dan Efek. Hukum Latihan memiliki dua bagian: Hukum Penggunaan
— respons terhadap stimulus menguat koneksi mereka; Hukum Disuse —
ketika respons tidak dilakukan terhadap stimulus, kekuatan koneksi melemah
(dilupakan). Semakin lama interval waktu sebelum respons dibuat, semakin
besar penurunan kekuatan koneksi. Hukum Pengaruh merupakan pusat teori
Thorndike (Thorndike, 1913b): Ketika koneksi yang dapat dimodifikasi
antara situasi dan respons dibuat dan sedang disertai atau diikuti oleh keadaan
yang memuaskan, kekuatan koneksi meningkat: Ketika dibuat dan disertai
atau diikuti oleh keadaan yang menjengkelkan, kekuatannya adalah menurun.

Hukum Pengaruh menekankan konsekuensi perilaku: Respons yang


menghasilkan konsekuensi memuaskan (dihargai) dipelajari; tanggapan
menghasilkan menjengkelkan (menghukum)konsekuensinya tidak dipelajari.
Ini adalah akun fungsional pembelajaran karena pemuas (tanggapan yang
menghasilkan hasil yang diinginkan) memungkinkan individu untuk
beradaptasi dengan lingkungan mereka. Studi berikut menggambarkan
penerapan Hukum Pengaruh (Thorndike, 1927). Peserta ditunjukkan 50
lembar kertas, dengan panjang mulai dari 3 hingga 27 sentimeter (cm), satu
per satu. Di sebelah setiap strip adalah strip kedua yang peserta tahu adalah
10 panjang cm. Mereka awalnya memperkirakan panjang setiap strip tanpa
umpan balik. Mengikuti ini pretest, 50 strip disajikan lagi, satu per satu.
Setelah masing-masing perkiraan, mereka diceritakan "benar" atau "salah"
oleh eksperimen. Setelah 50 strip disajikan berulang kali selama beberapa
hari, mereka kembali disajikan tanpa umpan balik tentang keakuratan
panjang. Performa tambahan atas uji cobamencontohkan belajar percobaan-
anderror Thorndike. Setelah pelatihan, perkiraan panjang peserta lebih dekat
dengan perkiraanpanjang sebenarnya strip daripada perkiraan sebelumnya.
Thorndike menyimpulkan itu hasil ini, yang mirip dengan yang dari
percobaan di mana hewan dihargai dengan makanan atau kebebasan,
mendukung gagasan bahwa memuaskan (benar) stimulus-respons koneksi
diperkuat dan yang menjengkelkan (salah) melemah.
5

2.1.2 Prinsip-Prinsip Lain

Teori Thorndike (1913) memasukkan prinsip-prinsip lain yang relevan


dengan pendidikan. Satu prinsip adalah Hukum Kesiapan, yang menyatakan
bahwa ketika seseorang siap (siap) untuk bertindak, melakukannya adalah
bermanfaat dan tidak melakukannya adalah hukuman. Jika seseorang lapar,
respons yang mengarah pada makanan adalah dalam kondisi siap, sedangkan
respons lain yang tidak mengarah ke makanan tidak dalam kondisi kesiapan.
Jika seseorang lelah, ia dihukum dipaksa untuk berolahraga. Menerapkan
gagasan ini ke belajar, kita dapat mengatakan bahwa ketika siswa siap untuk
belajar tindakan tertentu (dalam istilah tingkat perkembangan atau perolehan
keterampilan sebelumnya), maka perilaku yang mendorong pembelajaran ini
akan bermanfaat. Ketika siswa tidak siap untuk belajar atau tidak memiliki
prasyarat keterampilan, kemudian berusaha untuk belajar adalah hukuman
dan buang-buang waktu.

Prinsip pengalihan asosiatif mengacu pada situasi di mana respons


dibuat stimulus tertentu akhirnya dibuat untuk stimulus yang sama sekali
berbeda jika, diulangi percobaan, ada perubahan kecil dalam sifat stimulus.
Sebagai contoh, untuk mengajar siswa membagi angka dua digit menjadi
angka empat digit, pertama-tama kita mengajar mereka untuk membagi
nomor satu digit menjadi nomor satu digit dan kemudian secara bertahap
menambahkan lebih banyak digit ke pembagi dan dividen. Prinsip elemen
identik mempengaruhi transfer (generalisasi), atau sejauh itu memperkuat
atau melemahkan satu koneksi menghasilkan perubahan yang serupa di
koneksi lain (Hilgard, 1996; Thorndike, 1913b; lihat Bab 7). Transfer terjadi
ketika situasimemiliki elemen identik dan menyerukan respons serupa.
Thorndike dan Woodworth (1901) menemukan bahwa latihan atau pelatihan
keterampilan dalam konteks tertentu tidak meningkatkan kemampuan
seseorang untuk mengeksekusi keterampilan itu secara umum. Dengan
demikian, pelatihan tentang estimasi luas persegi tidak memajukan
kemampuan peserta didik untuk memperkirakan bidang segitiga, lingkaran,
dan angka tidak teratur. Keterampilan harus diajarkan dengan berbagai jenis
konten pendidikan bagi siswa untuk memahami cara menerapkannya
6

2.1.3 Revisi terhadap Teori Thorndike

Thorndike merevisi Hukum Latihan dan Efek setelah bukti penelitian


lainnya tidak mendukung mereka (Thorndike, 1932). Thorndike membuang
Hukum Latihan ketika dia menemukan bahwa pengulangan sederhana dari
suatu situasi tidak serta merta memberi respons. Di satu percobaan, misalnya,
peserta menutup mata mereka dan menggambar garis yang mereka pikir
panjangnya 2, 4, 6, dan 8 inci, ratusan kali selama beberapa hari, tanpa umpan
balik akurasi panjang (Thorndike, 1932). Jika Hukum Latihan benar, maka
respons yang paling sering dilakukan selama 100 atau lebih gambar pertama
seharusnya menjadi lebih sering sesudahnya; tetapi Thorndike tidak
menemukan dukungan untuk gagasan ini. Sebaliknya, panjang rata-rata
berubah seiring waktu; orang tampaknya bereksperimen dengan panjang yang
berbeda karena mereka tidak yakin dengan panjang yang benar. Dengan
demikian, pengulangan suatu situasi mungkin tidak meningkatkan
kemungkinan masa depan dari respons yang sama yang terjadi.

2.1.4 Memfasilitasi Transfer

Thorndike menyarankan agar siswa mengebor pada keterampilan


tertentu tidak membantu mereka menguasainya juga tidak mengajari mereka
bagaimana caranya terapkan keterampilan dalam konteks yang berbeda.
Ketika guru mengajar sekolah menengah siswa bagaimana menggunakan
skala peta, mereka juga harus mengajar mereka untuk menghitung mil dari
inci. Siswa menjadi lebih cakap jika mereka benar-benar menerapkan
keterampilan pada berbagai hal peta dan membuat peta sendiri lingkungan
daripada jika mereka hanya diberikan banyak masalah untuk dipecahkan.

Ketika guru sekolah dasar dimulai bekerja dengan siswa pada cairan
dan kering pengukuran, meminta siswa menggunakan resep untuk benar-
benar mengukur bahan dan membuat barang makanan jauh lebih banyak lebih
berarti daripada menggunakan gambar, grafik, atau hanya mengisi gelas
dengan air atau pasir.

Di sekolah kedokteran, memiliki siswa sebenarnya mengamati dan


terlibat dalam berbagai prosedur atau operasi banyak lebih bermakna dari
7

sekedar membaca tentang kondisi dalam buku teks.

Sehubungan dengan Hukum Pengaruh, Thorndike awalnya berpikir


bahwa efek dari pemuas (penghargaan) dan pengganggu (hukuman) adalah
berlawanan tetapi sebanding, tetapi penelitian menunjukkan ini bukan
masalahnya. Sebaliknya, penghargaan memperkuat koneksi, tetapi hukuman
tidak lantas melemahkan mereka (Thorndike, 1932). Sebaliknya, koneksi
melemah ketika koneksi alternatif diperkuat. Dalam satu penelitian
(Thorndike, 1932), peserta disajikan dengan kata-kata bahasa Inggris yang
tidak biasa (misalnya, edacious, eidolon). Setiap kata diikuti oleh lima kata
bahasa Inggris yang umum, salah satunya adalah sinonim yang benar. Di
setiap percobaan, peserta memilih sinonim dan menggarisbawahi, setelah
eksperimen mengatakan "benar" (hadiah) atau "salah" (hukuman). Hadiah
meningkatkan pembelajaran, tetapi hukuman tidak mengurangi kemungkinan
respon yang terjadi pada kata stimulus itu. Hukuman menekan respons, tetapi
itu tidak dilupakan. Hukuman bukanlah suatu cara yang efektif untuk
mengubah perilaku karena tidak mengajarkan siswa perilaku yang benar
melainkan memberi tahu mereka tentang apa yang tidak boleh dilakukan. Ini
juga berlaku untuk keterampilan kognitif. Coklat dan Burton (1978)
menemukan bahwa siswa belajar algoritma buggy (aturan yang salah) untuk
menyelesaikannya masalah (mis. kurangi angka yang lebih kecil dari yang
lebih besar, kolom demi kolom, 4371 # 2748 # 2437). Ketika siswa diberi
tahu bahwa metode ini tidak benar dan diberikan umpan balik korektif dan
latihan dalam memecahkan masalah dengan benar, mereka belajar yang
benarmetode tetapi jangan lupa dengan cara lama.

2.1.5 Thorndike dan Pendidikan

Sebagai seorang profesor pendidikan di Teachers College, Universitas


Columbia, Thorndike menulis buku yang membahas topik-topik seperti
tujuan pendidikan, proses pembelajaran, pengajaran metode, urutan kurikuler,
dan teknik untuk menilai hasil pendidikan (Hilgard, 1996; Mayer, 2003;
Thorndike, 1906, 1912; Thorndike & Gates, 1929). Beberapa kontribusi
Thorndike untuk pendidikan adalah sebagai berikut.
8

2.1.6 Prinsip-Prinsip Pengajaran

Guru harus membantu siswa membentuk kebiasaan yang baik.


Sebagai Thorndike (1912) mencatat:

 Bentuk kebiasaan. Jangan berharap mereka menciptakan diri mereka


sendiri.

 Waspadalah terhadap membentuk kebiasaan yang harus dihancurkan


kemudian.

 Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan ketika seseorang akan


melakukannya juga.

 Hal-hal lain dianggap sederajat, memiliki kebiasaan yang membentuk


cara menggunakannya.

Prinsip terakhir memperingatkan terhadap konten pengajaran yang


dihapus dari penerapannya: "Karena bentuk kata sifat dalam bahasa Jerman
atau Latin selalu digunakan dengan kata benda, mereka harus dipelajari
dengan kata benda”. Siswa perlu memahami cara mendaftarpengetahuan
dan keterampilan yang mereka peroleh. Penggunaan harus dipelajari
bersama dengan konten.

2.1.7 Urutan Kurikulum

Keterampilan harus diperkenalkan (Thorndike & Gates, 1929):

o Pada saat itu atau tepat sebelum waktu itu dapat digunakan dalam
beberapa cara yang dapat diperbaiki

o Pada saat pelajar sadar akan kebutuhannya sebagai sarana untuk


memuaskan beberapa tujuan yang bermanfaat

o Ketika itu paling cocok dalam kesulitan dengan kemampuan pelajar

o Ketika itu akan selaras sepenuhnya dengan tingkat dan jenis emosi,
selera, naluriah dan disposisi kehendak yang paling aktif pada saat itu

o Ketika difasilitasi sepenuhnya dengan segera sebelum pembelajaran dan


kapan itu akan sepenuhnya memfasilitasi pembelajaran yang akan
9

segera diikuti

Prinsip-prinsip ini bertentangan dengan penempatan konten yang khas


di sekolah, di mana konten berada dipisahkan oleh subjek (misalnya, studi
sosial, matematika, sains). Tapi Thorndike dan Gates (1929) mendesak agar
pengetahuan dan keterampilan diajarkan dengan mata pelajaran yang
berbeda. Sebagai contoh, bentuk pemerintahan adalah topik yang sesuai
tidak hanya dalam kewarganegaraan dan sejarah, tetapi juga dalam Bahasa
Inggris (bagaimana pemerintah tercermin dalam sastra) dan bahasa asing
(pemerintah struktur di negara lain).

2.1.8 Disiplin Mental

Disiplin mental adalah pandangan bahwa mempelajari mata pelajaran


tertentu (misalnya, teori klasik, matematika) meningkatkan fungsi mental
umum lebih baik daripada belajar lainnya mata pelajaran. Disiplin mental
adalah pandangan populer di kalangan pendidik selama masa Thorndike. Dia
menguji ide ini dengan 8.500 siswa di kelas 9 hingga 11 (Thorndike, 1924).
Siswa diberikan tes kecerdasan satu tahun terpisah, dan program studi mereka
tahun itu dibandingkan untuk menentukan apakah kursus tertentu dikaitkan
dengan perolehan intelektual yang lebih besar. Hasil tidak memberikan
dukungan untuk disiplin mental. Siswa yang memiliki kemampuan lebih
besarulailah dengan membuat kemajuan terbaik terlepas dari apa yang mereka
pelajari.

Jika penyelidikan yang dilakukan oleh psikolog dari Mars, siapa yang
tidak tahu apa-apa tentang teori disiplin mental, dan hanya mencoba
menjawab pertanyaan, "Apa saja pengaruh jenis kelamin, ras, usia, jumlah
kemampuan, dan studi yang diambil, berdasarkan hasil yang diperoleh selama
tahun 2007 kekuatan untuk berpikir, atau kecerdasan, atau apa pun yang
diukur oleh tes kecerdasan stok kami, ”dia bahkan mungkin menolak
"penelitian yang diambil" dengan komentar, "Perbedaannya sangat kecil dan
tidak dapat diandalkan relatif sangat besar sehingga faktor ini tampaknya
tidak penting. ”Satu faktor penyebab yang ia inginkan pastikan sedang
bekerja akan menjadi intelek sudah ada. Mereka yang memiliki paling banyak
10

untuk memulai dengan keuntungan terbesar sepanjang tahun. (Thorndike,


1924, hlm. 95)

Jadi daripada mengasumsikan bahwa beberapa bidang studi


meningkatkan kemampuan mental siswa lebih baik daripada yang lain, kita
harus menilai bagaimana bidang studi yang berbeda mempengaruhi
kemampuan siswa untuk berpikir, serta hasil lainnya (misalnya, minat,
tujuan). Penelitian berpengaruh Thorndike mengarahkan para pendidik untuk
mendesain ulang kurikulum dari ide disiplin mental.

2.2 PENGKONDISIAN KLASIK

Ivan Pavlov, seorang ahli fisiologi Rusia mewariskan teori belajar tentang
pengkondisian klasik. Pavlov adalah direktur fisiologis laboratorium di
Institute of Experimental Medicine di Petrograd. Ia memperhatikan bahwa
anjing sering akan mengeluarkan air liur saat melihat pelayan membawa
mereka makanan atau bahkan dengar suara langkah kaki petugas. Pavlov
menyadari bahwa stimulus untuk refleks air liur karena pelayan tidaklah
wajar; sebaliknya, Pavlov meyakini stimulus itu didapatkan dari makanan.

Tabel prosedur pengondisian klasik:


Fase Stimulus Respon
1 UCS (makanan) UCR (air liur)
2 CS (metronome), lalu UCS (makanan) UCR (air liur)
3 CS (metronome) UCR (air liur)

2.2.1 Proses Dasar


Pengkondisian klasik adalah prosedur multistep yang awalnya
melibatkan penyajian unconditioned stimulus (UCS), yang memunculkan
respons tanpa syarat (UCR). Pavlov menyajikan bubuk daging kepada anjing
lapar (UCS), yang memicu anjing mengeluarkan air liur (UCR). Untuk
mengkondisikan hewan membutuhkan berulang kali menyajikan stimulus
netral untuk periode singkat sebelum menyajikan UCS. Pavlov sering
menggunakan metronom yang berdetak sebagai stimulus netral. Dalam uji
coba awal, detak metronom tidak menghasilkan air liur. Akhirnya, anjing
mengeluarkan air liur sebagai tanggapan terhadap metronom yang berdetak
11

sebelum presentasi bubuk daging. Metronom telah menjadi stimulus


terkondisi (CS) yang menghasilkan respon terkondisi (CR) miripdengan UCR
asli. Presentasi berulang tanpa memperkuat CS (yaitu, tanpa UCS)
menyebabkan intensitas CR berkurang dan menghilang, sebuah fenomena
yang dikenal sebagai kepunahan (Larrauri & Schmajuk, 2008; Pavlov,
1932b).

Pemulihan spontan terjadi setelah selang waktu di mana CS tidak


disajikan danCR mungkin dipadamkan. Jika CS disajikan dan CR kembali,
kita katakanbahwa CR secara spontan pulih dari kepunahan. CR yang pulih
tidak akan bertahan lamakecuali CS disajikan lagi. Pasangan CS dengan UCS
mengembalikan CR ke penuhkekuatan. Fakta bahwa pasangan CS-CR dapat
dipasang tanpa kesulitan besarhalitu menunjukkankepunahan tidak
melibatkan penghapusan asosiasi (Redish, Jensen, Johnson, &Kurth-Nelson,
2007).

Generalisasi berarti bahwa CR terjadi pada rangsangan yang mirip


dengan CS.Setelah seekor anjing dikondisikan untuk mengeluarkan air liur
sebagai respons terhadapmetronom yang berdetak pada 70 ketukan permenit,
itu juga dapat mengeluarkan air sebagai respons terhadap metronom yang
berdetak lebih cepat atau lebih lambat, jugauntuk mencentang jam atau
timer. Semakin berbeda stimulus baru ke CS atausemakin sedikit elemen
yang mereka bagikan, semakin sedikit generalisasi (Harris, 2006).

Diskriminasi adalah proses komplementer yang terjadi ketika anjing


belajar untuk merespons CS tetapi tidak terhadap rangsangan lain yang
serupa. Untuk melatih diskriminasi, seorang eksperimenmungkin
memasangkan CS dengan UCS dan juga menghadirkan rangsangan lain yang
serupa tanpa UCS. JikaCS adalah metronom yang berdetak pada 70 denyut
per menit, disajikan dengan UCS,sedangkan irama lain (misalnya, 50 dan 90
denyut per menit) disajikan tetapi tidak dipasangkandengan UCS.

Setelah stimulus dikondisikan, itu dapat berfungsi sebagai UCS dan


tatanan yang lebih tinggipengkondisian dapat terjadi (Pavlov, 1927). Jika
seekor anjing telah dikondisikan untuk mengeluarkan air liur diterdengar
12

metronom berdetak pada 70 denyut per menit, metronom berdetik dapat


berfungsi sebagai UCS untuk pengkondisian tingkat tinggi. Stimulus netral
baru (seperti bel)dapat dibunyikan selama beberapa detik, diikuti oleh
metronom yang berdetak. Jika, setelah beberapa kali percobaan, anjing mulai
mengeluarkan air liur saat suara bel, bel telah menjadi CS orde
dua. Pengkondisian urutan ketiga melibatkan CS orde kedua yang berfungsi
sebagaiUCS dan stimulus netral baru dipasangkan dengannya. Pavlov (1927)
melaporkan bahwa pengkondisian di luar ordo ketiga sulit.

2.2.2 Variabel Informasi

Pavlov percaya bahwa pengkondisian adalah proses otomatis yang terjadi


berulang-ulangPasangan CS – UCS dan non-pasangan yang berulangdapat
memadamkan CR. Namun pada manusia,pengkondisian dapat terjadi dengan
cepat, kadang-kadang setelah hanya satu pasangan CS-UCS. Pengulangan
non-pasangan dari CS dan UCSmungkin tidak dapat memadamkan
CR. Kepunahan tampaknya sangat tergantung pada konteks (Bouton, Nelson,
& Rosas, 1999). Respontetap punah di konteks yang sama, tetapi ketika
pengaturan diubah, CRs dapat muncul kembali. Temuan ini
menjadipertanyaandarideskripsi Pavlov tentang pengkondisian

2.2.3 Pengaruh Biologis

Pavlov (1927, 1928) percaya bahwa setiap stimulus yang dirasakan dapat
dikondisikan untuk setiap respons yang dapat dibuat. Penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa generalisasi pengkondisian terbatas. Dalam spesies apa
pun, respon dapat dikondisikan untuk beberapa rangsangan tetapi tidak
untuklainnya. Pengkondisian tergantung pada kompatibilitas rangsangan dan
respon denganreaksi spesifik spesies (Hollis, 1997). Semua organisme secara
inheren memiliki pola perilaku dasar yang memungkinkan mereka untuk
bertahan hidup dalam ceruk mereka, tetapi belajar memberikan penyesuaian
yang diperlukan untuk adaptasi yang sukses (Garcia & Garcia y Robertson,
1985).

2.2.4 Reaksi Emosional yang Dikondisikan


13

Pavlov menerapkan prinsip pengkondisian klasik pada perilaku abnormal


danmembahas bagaimana neurosis dan keadaan patologis lainnya dapat
berkembang. Pandangannya seperti ituspekulatif dan tidak berdasar, tetapi
prinsip pengkondisian klasik telah diterapkanoleh orang lain untuk
mengkondisikan reaksi emosional.

Pengondisian klasik adalah fenomena yang kompleks;seseorang tidak


dapat mengkondisikan respons terhadap rangsangan apapun. Spesies telah
mengembangkan mekanismepredisposisi mereka untuk dikondisikan dalam
beberapa hal dan tidak dalam cara lain (Hollis, 1997).Di antara manusia,
pengkondisian terjadi ketika orang sadar akan hubungan antara keduanyaCS
dan UCS, dan informasi bahwa UCS mungkin tidak mengikuti CS dapat
menghasilkan kepunahan.

Cara yang lebih dapat diandalkan untuk menghasilkan pengkondisian


emosional adalah dengan desensitisasi sistematis, yang sering digunakan
dengan individu yang memiliki ketakutan melemahkan

Desensitisasi terdiri dari tiga fase. Yang pertamafase, terapis dan klien
bersama-sama mengembangkan hirarki kecemasan dari beberapa situasi yang
dinilai dari paling-paling-paling-memproduksi kecemasan untuk klien. Untuk
cemassiswa, situasi kecemasan rendah mungkin mendengar pengumuman tes
di kelas danmengumpulkan materi untuk dipelajari. Situasi kecemasan sedang
mungkin sedang belajarmalam sebelum ujian dan berjalan ke kelas pada hari
ujian. Situasi kecemasan tinggi dapat mencakup menerima salinan tes di kelas
dan tidak mengetahui jawabannyauntuk pertanyaan uji.

Pada fase kedua, klien belajar untuk rileks dengan membayangkan


adegan yang menyenangkan (misalnya,berbaring di pantai) dan mengutip
relaksasi (mengatakan "santai"). Pada fase ketiga, klien,sambil santai,
membayangkan adegan terendah (paling tidak cemas) pada hierarki. Ini
mungkindiulang beberapa kali, setelah itu klien membayangkan adegan
berikutnya. Perawatan melanjutkan hierarki sampai klien dapat
membayangkan adegan yang paling menimbulkan kecemasantanpa merasa
cemas. Jika klien melaporkan kecemasan saat membayangkan adegan,
14

klienturun kembali hierarki ke adegan yang tidak menghasilkan


kecemasan. Perawatan mungkinmemerlukan beberapa sesi.

Desensitisasi melibatkan counterconditioning. Adegan santai yang satu


bayangkan(UCS) menghasilkan relaksasi (UCR). Isyarat penghasil
kecemasan (CS) dipasangkan dengan adegan santai. Relaksasi tidak sesuai
dengan kecemasan. Dengan awalnya memasangkan kecemasan yang
lemahisyarat dengan relaksasi dan dengan perlahan-lahan meningkatkan
hierarki, semua penghasil kecemasanisyarat akhirnya harus mendapatkan
relaksasi (CR).Prinsip pengkondisian klasik adalah relevan dengan beberapa
perilaku disfungsional.

Desensitisasi adalah prosedur efektif yang dapat dilakukan oleh terapis


atau kantor konselor. Itu tidak mengharuskan klien untuk melakukan aktivitas
pada hierarki. Kerugiannya adalah bahwa klien harus dapat membayangkan
adegan. Orang berbedadalam kemampuan mereka untuk membentuk citra
mental. Desensitisasi juga memerlukan keterampilan terapis atau konselor
profesional dan tidak boleh dicoba oleh siapa pun yang tidak memiliki
keahlian penerapannya.

2.3 PENGKONDISIAN BERDEKATAN


Individu lain yang memajukan perspektif perilaku dalam belajar adalah
Edwin R. Guthrie (1886–1959), yang mendalilkan prinsip-prinsip
pembelajaran berdasarkan asosiasi (Guthrie, 1940). Bagi Guthrie, perilaku
utama adalah tindakan dan gerakan.

2.3.1 Tindakan dan Gerakan

Menurut Guthrie (dalam Uno 2006:8) mengungkapkan bahwa teori


belajar behavioristik merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan
respons tertentu. Diperlukan pemberian stimulus yang sering agar muncul
respons yang lebih kuat.
Prinsip dasar Guthrie mencerminkan gagasan hubungan antara
rangsangan dan respons: Kombinasi rangsangan yang telah menimbulkan
gerakan (Guthrie, 1952, hlm. 23) Dan pola stimulan yang aktif pada saat
15

respons cenderung diulang, untuk mendapatkan tanggapan itu. (Guthrie,


1938, hlm. 37)
Pendapat Thorndike dan Pavlov ditegaskan lagi oleh Guthrie, di mana ia
menyatakan dengan hukumnya yakni “The Law of Association”, yang
berbunyi : “A combination of stimuli which has accompanied a movement
will on its recurrence tend to be followed by that movement” (Guthrie, 1952 :
13). Secara sederhana dapat diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu
kelas stimuli yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada
kecenderungan bahwa gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang
sama.
2.3.2. Hadiah dan Hukuman
Belajar itu memerlukan hadiah (reward) dan adanya kedekatan antara
stimulus dengan respons. Namun Guthrie percaya bahwa tanggapan tidak
perlu dihargai untuk dipelajari. Selain itu, adanya suatu hukuman
(punishment) atas ketidak-mampuan siswa dalam melaksanakan sesuatu
tugas, ada sisi baiknya dan juga ada sisi buruknya. Efektif tidaknya (sisi baik)
hukuman itu sangat tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan siswa
menjadi belajar ataukah malah menjadi malas belajar.
2.3.3. Perubahan Kebiasaan

Kebiasaan adalah kecenderungan yang dipelajari untuk mengulangi


tanggapan di masa lalu (Wood & Neal, 2007). Karena kebiasaan adalah
perilaku yang ditetapkan pada banyak isyarat, guru yang ingin siswa
berperilaku baik di sekolah harus menghubungkan aturan sekolah dengan
banyak isyarat. "Perlakukan orang lain dengan hormat," perlu untuk
dihubungkan dengan ruang kelas, lab komputer, aula, kafetaria, gimnasium,
auditorium, dan taman bermain. Dengan menerapkan aturan ini di setiap
pengaturan ini, perilaku hormat siswa terhadap orang lain menjadi kebiasaan.
Jika siswa percaya mereka harus mempraktikkan rasa hormat hanya di dalam
kelas, menghormati orang lain tidak akan menjadi kebiasaan.

Kunci untuk mengubah perilaku adalah “menemukan petunjuk yang


memulai tindakan dan untuk berlatih tanggapan lain terhadap isyarat ini
16

”(Guthrie, 1952, p. 115). Guthrie mengidentifikasi tiga metode untuk


mengubah kebiasaan: ambang batas, kelelahan, dan respons yang tidak
kompatibel.

Metode Penjelasan Contoh


Threshold (ambang Memperkenalkan Perkenalkan konten
batas) stimulus yang lemah. akademik dalam blok
Tingkatkan stimulus, waktu singkat untuk
tetapi pertahankan di anak-anak. Secara
bawah nilai ambang batas bertahap menambah
itu akan menghasilkan panjang sesi, tetapi tidak
respons yang tidak sampai titik di mana
diinginkan. siswa menjadi frustrasi
atau bosan.
Kelelahan Paksa anak untuk Berikan anak yang
membuat respons yang membuat pesawat kertas
tidak diinginkan berulang di kelas setumpuk kertas
kali dengan adanya dan mintalah anak
stimulus. membuat setiap lembar
menjadi sebuah pesawat.
Respons yang tidak Dengan stimulus, Isyarat isyarat yang
kompatibel mintalah anak membuat terkait dengan pusat
respons yang tidak sesuai media dan lebih
dengan respons yang menyarankan untuk
tidak diinginkan. membaca daripada
berbicara.

Dalam metode threshold, isyarat (stimulus) agar kebiasaan diubah (yang


tidak diinginkan (respons) diperkenalkan pada tingkat yang sangat lemah
sehingga tidak menimbulkan respons; hal itu di bawah ambang batas respons.
Perlahan-lahan stimulus diperkenalkan pada intensitas yang lebih besar
hingga diberikan dengan intensitas yang besar. Misalnya beberapa anak
17

bereaksi terhadap rasa bayam dengan menolak memakannya. Untuk


mengubah kebiasaan ini, orang tua dapat memperkenalkan bayam dalam
gigitan kecil atau dicampur dengan makanan yang dinikmati anak. Seiring
waktu, jumlah bayam yang dimakan sang anak bisa ditingkatkan.
Dalam metode kelelahan, isyarat untuk terlibat dalam perilaku diubah
menjadi isyarat untuk menghindarinya. Di sini stimulus diperkenalkan pada
intensitas yang besar dan individu melakukan respons yang tidak diinginkan
hingga ia menjadi lelah. Misalnya untuk mengubah perilaku anak berulang
kali melempar mainan, orang tua mungkin membuat anak melempar mainan
sampai tidak lagi menyenangkan (terus menerus disuruh untuk melempar
mainan.
Metode respons yang tidak kompatibel dapat digunakan dengan siswa
yang berbicara dan berkelakuan buruk di lingkungan yang banyak orang.
Disini guru beranggapan bahwa membaca lebih baik daripada berbicara,
sehingga siswa diminta untuk membaca buku-buku yang menarik daripada
ramai atau berbicara pada murid yang lain. Selain itu contoh lainnya adalah
seorang guru memiliki beberapa siswa yang tidak memperhatikan di kelas.
Guru menyadari bahwa menggunakan papan dan slide saat pelajaran sangat
membosankan. Kemudian guru mulai memasukkan unsur-unsur lain ke dalam
setiap pelajaran, seperti percobaan, klip film dan debat, dalam upaya
melibatkan siswa dan meningkatkan minat mereka dalam pembelajaran.

Teori ini adalah teori yang dikembangkan oleh B.F Skinner yang
mengungkapkan bahwa tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap
stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant. Tingkah laku
adalah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah
laku yang dimaksud terletak diantara dua pengaruh yaitu pengaruh yang
mendahuluinya dan pengaruh yang mengikutinya. Konsep-konsep yang
dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-
konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu
18

menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan


konsepnya tentang belajar secara komprehensif (Sagala, 2011).

Oleh sebabitu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar


perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan
lainnya, serta memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut
(Sagala, 2011).

Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-


perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan
menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya. Dari semua pendukung teori
behavioristik, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya. Program-
program pembelajaran seperti teaching machine, pembelajaran berprogram,
modul, dan program-program pembelajaran lain berpijak pada
konsephubungan stimulus-respons serta mementingkan beberapa faktor atau
proses dasar (Sagala, 2011).

Menurut Schunk (2012), proses dasar dalam operant conditioning yaitu :

1. Penguatan (Reinforcement)
Untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan
suatu penguatan. Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif
dan penguatan negative.
a. Penguatan positif (Positive reinforcement)
Penguatan ini didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon
akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung
penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkanakan meningkat karena
diikuti oleh stimulus menyenangkan.
Contoh, peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga mendapat
rangking satu akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang
ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin belajar sehingga menjadi
19

rangking satu dan penguatan positif/stimulus menyenangkan adalah


pemberiansepeda.
b. Penguatan negatif (Negative reinforcement)
Penguatan ini didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon
akan meningkat karena diikuti dengansuatu stimulus yang tidak
menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan
akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak
menyenangkan.
Contohnya peserta didik sering bertanya dan guru tidak mengkritik
terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati guru sehingga peserta
didik akan sering bertanya. Jadi, perilaku yang ingin diulangi atau
ditingkatkan adalah sering bertanya dan stimulus yang tidak
menyenangkan yang ingin dihilangkan adalah kritikan guru sehingga
peserta didik tidak malu dan akan sering bertanya karena guru tidak
mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
2. Kepunahan (Extinction)
Melibatkan penurunan kekuatan respons akibat nonpenguatan.
Contohnya, siswa yang mengangkat tangan mereka di kelas tetapi tidak
pernah dipanggil mungkin suatu saat mereka akan berhenti mengangkat
tangan mereka dan orang yang mengirimbanyakpesan e-mail kepada
orang lain namun tidak pernah menerima balasan akhirnya dapat berhenti
mengirim pesan ke orang tersebut.
2.4.1. Penguatan Primer dan Sekunder (Primary and Secondary
Reinforcement)
Penguatan primer dapat dikatakan seperti makanan, air dan tempat
berlindung karena hal tersebut merupakan syarat utama untuk bertahan hidup.
Penguatan sekunder mempelajari penguatan positif, penguat sekunder
dipelajari seperti classical conditioning. Penguatan sekunder merupakan
penguat yang membutuhkan tenaga penguat karena sudah diasosiasikan
dengan penguat utama, seperti memuji seseorang.
2.4.2. Prinsip Premack (Premack principle)
20

Salah satu prinsip perilaku yang penting adalah bahwa aktivitas yang
kurang disukai dapat ditinggalkan dengan cara mengaitkan aktivitas tersebut
dengan aktivitas lain yang lebih disukai.

2.4.3. Hukuman (Punishment)

Merupakan suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya


suatu perilaku. Jadi, perilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau
bahkan hilang karena diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan.
Contoh, peserta didik yang berperilaku mencontek akan diberikan sanksi,
yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak
menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin dihilangkan adalah perilaku
mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak
menyenangkan atau hukuman.

2.4.4. Jadwal penguatan (Schedules of Reinforcement)

Apa yang membuat Operant Conditioning ini penting untuk menjelaskan


belajar adalah pengembangan jadwal penguatan yang dilakukan oleh Skinner.
Jadwal ini merupakan bentuk lain dari penyajian penguatan yang
dihasilkannya perbedaan pada taraf respons (respons rate).

2.4.5. Generalisasi (Generalization)

Setelah respontertentuterjadisecarateratur pada rangsangan yang


diberikan, respon juga dapat terjadi pada stimulus lain, inilah yang dinamakan
generalisasi. Bila stimulus atau event yang mengawali suatu respon itu mirip,
maka perilaku (respon) yang sama cenderung untuk muncul.

2.4.6. Diskriminasi (Discrimination)


Diskriminasi, proses pelengkap untuk generalisasi, melibatkan
menanggapi secara berbeda (dalam intensitas atau tingkat) tergantung pada
rangsangan atau fitur dari suatu situasi. Diskriminasi bertujuan agar subjek
dapat melakukan perbedaan terhadap stimulus atau situasi yang dihadirkan
agar subjek hanya melakukan respon terhadap stimulus atau situasi yang
sesuai. Dalam hal ini diskriminasi dengan pemberian penguatan terhadap
21

respon yang diinginkan dalam suatu situasi atau stimulus yang sesuai dan
tidak memberikan penguatan apabila respon tersebut muncul dalam situasi
yang tidaksesuai.
Perubahan perilaku memiliki implikasi penting dalam kegiatan belajar.
Menurut Schunk (2012), perubahan perilaku tersebuty aitu :
1. Perkiraan berturut-turut (Shpaing/membentuk).

Metode dasar operant conditioning perubahan perilaku adalah


membentuk, atau penguatan diferensial dari perkiraan berturut-turut kebentuk
yang diinginkan atau tingkat perilaku. Untuk membentuk perilaku, harus
mematuhi aturan sebagai berikut:

a. Identifika siapa yang dapat dilakukan siswa sekarang (perilaku awal)


b. Mengidentifikasi perilaku yang diinginkan
c. Mengidentifikasi potensi penguat di lingkungansiswa
d. Pecahkan perilaku yang diinginkan menjadi sub-langkah kecil untuk
dikuasai secara berurutan
e. Memindahkan siswa dari perilaku awal untuk perilaku yang diinginkan
dengan berturut-turut memperkuat setiap pendekatan perilaku yang
diinginkan.
2. Chaining
Chaining adalah proses memproduksi atau mengubah beberapa variabel
yang berfungsi sebagai rangsangan untuk masa depan tanggapan. Sebuah
rantai terdiri dari serangkaian operan, masing-masing yang menetapkan
kesempatan untuk respon lebih lanjut.
Modifikasi perilaku (atau terapi perilaku) mengacu pada penerapan
sistematis prinsip pembelajaran perilaku untuk memfasilitasi perilaku adaptif.
Modifikasi tingkah laku telah digunakan pada orang dewasa dan anak dalam
konteks yang beragam seperti ruang kelas, pengaturan konseling, penjara, dan
rumah sakit jiwa. Ini telah digunakan untuk mengobati fobia, bahasa
disfungsional, perilaku mengganggu, interaksi sosial negatif, membesarkan
anak miskin, dan kontrol diri yang rendah (Schunk, 2012).

Menurut Schunk (2012), modifikasi perilaku ini antara lain :


22

1. Teknik

Teknik dasar modifikasi perilaku termasuk penguatan perilaku yang


diinginkan dan kepunahan yang tidak diinginkan. Hukuman jarang digunakan
tetapi, ketika digunakan lebih sering melibatkan menghilangkan bala bantuan
positif daripada menghadirkan bala bantuan negatif.

Dalam memutuskan program perubahan, pengubah perilaku biasanya


fokus pada tiga masalah berikut :

a. Manakah dari perilaku individu yang maladaptif, dan mana yang harus
ditingkatkan (dikurangi) ?
b. Kontinjensi lingkungan apa yang saat ini mendukung perilaku individu
(baik untuk mempertahankan perilaku yang tidak diinginkan atau untuk
mengurangi kemungkinan melakukan respons yang lebih adaptif) ?
c. Fitur lingkungan apa yang dapat diubah untuk mengubah perilaku
individu ?

Perubahan kemungkinan besar ketika pengubah dan klien sepakat bahwa


perubahan diperlukan dan bersama-sama memutuskan tujuan yang
diinginkan. Langkah pertama dalam membangun program adalah
mendefinisikan masalah dari segi perilaku. Misalnya, pernyataan, "Keith
terlalu sering keluar dari kursinya," mengacu pada perilaku terbuka yang
dapat diukur: Seseorang dapat mencatat jumlah waktu yang dikeluarkan Keith
dari kursinya. Ekspresiumum yang merujuk pada unobservables ("Keith
memiliki sikap buruk") tidak memungkinkan untuk mendefinisikan masalah
secara objektif.

Langkah selanjutnya adalah menentukan bala bantuan mempertahankan


perilaku yang tidak diinginkan. Mungkin Keith mendapatkanperhatian guru
hanya ketika dia keluar dari tempat duduknya dan bukan ketika dia duduk.
Sebuah rencana sederhana adalah meminta guru hadir di Keith ketika dia
duduk dan terlibat dalam pekerjaan akademik dan mengabaikannya ketika dia
keluar dari kursinya. Jika jumlah kali Keith keluardari kursinya berkurang,
perhatian guru adalah penguat yang positif.
23

Suatu program modifikasi perilaku dapat menggunakan penguat yang


digeneralisasi seperti itu sebagai poin yang ditukar oleh siswa dengan penguat
cadangan, seperti imbalan nyata, waktu luang, atau hak istimewa. Memiliki
lebih dari satu cadangan memastikan bahwa setidaknya satu akan efektif
untuk setiap siswa setiap saat. Kriteria perilaku harus ditetapkan untuk
mendapatkan penguatan.

2. Modifikasi Perilaku Kognitif (Cognitive behaviour modification)

Para peneliti juga telah memasukkan elemen kognitif kedalam prosedur


modifikasi perilaku. Dalam modifikasi perilaku kognitif, pikiran pesertadidik
(ketika diucapkan) berfungsi sebagai rangsangan diskriminatif dan
memperkuat. Dengan demikian, peserta didik dapat secara lisan
menginstruksikan diri mereka sendiri apa yang harus dilakukan dan kemudian
melakukan perilaku yang sesuai. Teknik modifikasi perilaku kognitif sering
diterapkan pada siswa yang cacat dan digunakan untuk mengurangi hiperaktif
dan agresi. Pelatihan self-instruksional Meichenbaum (1977) adalah contoh
modifikasi perilaku kognitif.

2.5 APLIKASI INSTRUKSIONAL

Skinner berpendapat bahwa banyak permasalah proses belajar siswa


contohnya, bahwa siswa mengerjakan tugas-tugas dari guru adalah karena
faktor takut kena hukum oleh guru, kedua adalah bahwa penguatan jarang
terjadi dan sering kali tidak pada tempatnyawaktu. Guru menghadiri setiap
siswa hanya beberapa menit setiap hari. Akibatnya, siswa dapat belajar
dengan tidak benar, yang berarti bahwa guru harus meluangkan waktu
tambahan untuk memberikan umpan balik korektif. Ketiga bahwa ruang
lingkup dan urutan kurikulum tidak memastikan bahwa semua siswa
memperoleh keterampilan. Siswa tidak belajar dengan kecepatan yang sama.
Untuk menutupi semua materi,guru dapat pindah ke pelajaran berikutnya
sebelum semua siswa menguasai pelajaran sebelumnya.

Skinner berpendapat bahwa masalah ini dan masalah lainnya tidak dapat
diselesaikan dengan membayar gurulebih banyak uang (meskipun mereka
24

akan menyukainya, memperpanjang hari sekolah dan tahun,


meningkatkanstandar, atau pengerasan persyaratan sertifikasi guru.
Sebaliknya, ia merekomendasikan penggunaan waktu pengajaran yang lebih
baik. Karena itu tidak realistis untuk mengharapkan siswa untuk bergerak
melaluikurikulum pada tingkat yang sama, instruksi individual akan
meningkatkan efisiensi

Skinner percaya bahwa mengajar diperlukan mengatur kontingensi


penguatan yang tepat.. Instruksi lebih efektif ketika (1) guru menyajikan
materi dalam langkah-langkah kecil,(2) peserta didik secara aktif merespons
daripada mendengarkan secara pasif, (3) guru memberikan umpan balik
segera setelah tanggapan peserta didik, dan (4) peserta didik bergerak melalui
materi dilangkah mereka sendiri.

Proses dasar pengajaran melibatkan pembentukan. Tujuan pengajaran


(perilaku yang diinginkan) dan perilaku awal siswa diidentifikasi. Substeps
(perilaku) yang berasal dari perilaku awal hingga perilaku yang diinginkan
dirumuskan. Setiap subtep mewakili modifikasi kecil dari yang sebelumnya.
Siswa dipindahkan melalui urutan menggunakan berbagai pendekatan
termasuk demonstrasi, kerja kelompok kecil, dan kursi individukerja. Siswa
secara aktif merespons materi dan menerima umpan balik segera.

2.5.1 Tujuan Perilaku

Tujuan perilaku adalah pernyataan yang jelas tentang hasil pengajaran


yang diinginkan siswa.Sasaran dapat berkisar dari umum kespesifik. Tujuan
umum atau tidak jelas seperti “meningkatkan Kesadaran siswa ”dapat
dipenuhi oleh hampir semua jenis instruksi. Sebaliknya, tujuanyang terlalu
spesifik dan mendokumentasikan setiap menit perubahan dalamperilaku
siswa memakan waktu untuk menulis dan dapat menyebabkan guru
kehilangan hasil belajar yang paling penting. Tujuan optimal berada di antara
kedua ekstrem ini
25

Tujuan perilaku menggambarkan apa yang siswa lakukan ketika


menunjukkan prestasi mereka dan bagaimana guru mengetahui apa yang
siswa lakukan (Mager, 1962). Empat bagian dari tujuan yang baik adalah:

o Kelompok siswa tertentu


o Perilaku aktual yang harus dilakukan siswa sebagai konsekuensi
darikegiatan pembelajaran
o Kondisi atau konteks di mana siswa melakukan perilaku
o Kriteria untuk menilai perilaku siswa untuk menentukan apakah tujuan
memiliki telah bertemu

Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diberikan tujuan perilaku


memiliki ingatan kata demi kata yang lebih baik informasi verbal
dibandingkan dengan siswa yang tidak diberikan dengan tujuan (Faw&
Waller, 1976; Hamilton, 1985). Tujuan dapat memberi isyarat kepada siswa
untuk memproses informasi pada tingkat yang sesuai; dengan demikian,
ketika siswa diberikan tujuan yang membutuh kaningatan, mereka terlibat
latihan dan strategi lain yang memfasilitasi penarikan jenis itu. Penelitian
juga menunjukkan hal itu memberikan siswa dengan tujuan tidak
meningkatkan pembelajaran materi yang tidak terkait dengan tujuan
(Duchastel& Brown, 1974), yang menunjukkan bahwa siswa dapat
berkonsentrasi materi pembelajaran yang relevan dengan tujuan dan
mengabaikan materi lainnya.

2.5.2 Waktu Belajar.

Carroll (1963, 1965) merumuskan model pembelajaran sekolah yang


menempatkan penekanan utama pada variabel pembelajaran waktu yang
dihabiskan untuk belajar. Siswa berhasil belajar sejauh mereka menghabiskan
jumlah waktu yang mereka butuhkan untuk belajar.

Menghabiskan waktu dalam belajar. Waktu yang diperbolehkan untuk


belajar merupakan salah satu pengaruh pada faktor ini. Itu kurikulum sekolah
mencakup begitu banyak konten sehingga waktu yang dialokasikan untuk
jenis pembelajaran tertentu kurang optimal bagi sebagian siswa. Ketika guru
26

mempresentasikan materi ke seluruh kelaspada saat yang bersamaan,


beberapa peserta didik lebih mungkin mengalami kesulitan memahami dan
membutuhkan instruksi tambahan. Ketika siswa dikelompokkan berdasarkan
kemampuan, jumlah waktu yang disediakan untuk konten yang berbeda
bervariasi tergantung pada kemudahan siswa belajar.

Pengaruh kedua adalah waktu peserta didik bersedia untuk menghabiskan


waktu belajar. Bahkan ketika peserta didik diberi cukup waktu untuk belajar,
mereka mungkin tidak menghabiskan waktu itu untuk bekerja secara
produktif Apakah karena minat yang rendah, kesulitan tugas yang dirasakan
tinggi, atau faktor-faktor lain, siswa dapat tidak termotivasi untuk bertahan
pada tugas untuk jumlah waktu yang mereka butuhkan untuk
mempelajarinya. Carroll memasukkan faktor-faktor ini ke dalam formula
untuk memperkirakan tingkat pembelajaran bagi setiap siswa pada tugas yang
diberikan:

Tingkat waktu belajar yang dihabiskan = waktu yang dibutuhkan

Cara lain untuk meningkatkan waktu belajar adalah melalui program di


luar sekolah, seperti program setelah sekolah . Dibandingkan dengan
penelitian di blok penjadwalan, penelitian tentang efek program luar sekolah
menunjukkan konsistensi yang lebih besar. Dalam ulasan mereka, Lauer etal.
(2006) menemukan efek positif untuk program tersebut pada siswa prestasi
membaca dan matematika; efek lebih besar untuk program dengan perangkat
tambahan (mis., les). Mahoney, Lord, dan Carryl (2005) menemukan manfaat
dari program setelah sekolah pada kinerja akademik dan motivasi anak-anak;
hasilnya paling kuat untuk anak-anak dinilai sangat terlibat dalam kegiatan
program setelah sekolah. Konsisten dengan Model Carroll, kami dapat
menyimpulkan bahwa program di luar sekolah berhasil sejauh mereka fokus
pada pembelajaran siswa dan memberikan dukungan untuk mendorongnya.

2.5.3. Penguasaan Belajar

Model Carroll meramalkan bahwa jika siswa berbeda dalam kecakapan


untuk mempelajari suatu mata pelajaran dan jika semua menerima jumlah dan
27

jenis pengajaran yang sama, prestasi mereka akan berbeda. Jika jumlah dan
jenis instruksi bervariasi tergantung pada perbedaan individu di antara peserta
didik, maka setiap siswa memiliki potensi untuk menunjukkan penguasaan;
hubungan positif antara bakat dan prestasi akan hilang karena semua siswa
akan menunjukkan kesetaraan prestasi terlepas dari bakat.

Ide-ide ini membentuk dasar dari penguasaan pembelajaran (Anderson,


2003; Bloom, 1976; Bloom, Hastings, &Madaus, 1971). Penguasaan
pembelajaran menggabungkan ide-ide Carroll kedalam a rencana pengajaran
sistematis yang mencakup mendefinisikan penguasaan, perencanaan untuk
penguasaan, pengajaran untuk penguasaan, dan penilaian untuk penguasaan
(Block & Burns, 1977). Penguasaan pembelajaran mengandung elemen
kognitif, meskipun formulasinya nampaknya lebih bersifat perilaku
dibandingkan dengan banyak teori kognitif saat ini.

Ulasan tentang pengaruh penguasaan pembelajaran terhadap prestasi


belajar siswa beragam. Blokdan Burns (1977) umumnya menemukan
penguasaan pembelajaran lebih efektif daripada bentuk tradisional instruksi.
Dengan mahasiswa, Péladeau, Forget, dan Gagné (2003) memperoleh hasil
menunjukkan bahwa penguasaan pembelajaran meningkatkan prestasi siswa,
retensi jangka panjang, dansikap terhadap kursus dan materi pelajaran. Kulik,
Kulik, dan Bangert-Drowns (1990) memeriksa lebih dari 100 evaluasi
program penguasaan pembelajaran dan menemukan efek positif pada kinerja
akademik dan sikap kursusdi antara pelajar sekolah dasar, sekolah menengah,
dan pelajar sekolah dasartingkat atas. Mereka juga menemukan bahwa
penguasaan pembelajaran dapatmeningkatkan waktu yang dihabiskan siswa
untuk tugas pengajaran. Sebaliknya, Bangert, Kulik, danKulik (1983)
menemukan dukungan yang lebih lemah untukprogram pembelajaran
penguasaan. Mereka mencatat bahwa pengajaran berbasis penguasaan lebih
efektif di tingkat perguruan tinggi daripada di tingkat yang lebih rendah.
Efektivitasnya tidak diragukan tergantung pada kondisi pengajaran yangtepat
(mis., Perencanaan, mengajar, menilai) sedang dibentuk (Kulik et al., 1990).
28

Premis penting dari penguasaan pembelajaran adalah latihan berulah untuk


mengasah kemampuan individu. Ketika siswa perbaikan didapat pengalaman
dengan instruksi penguasaan, mereka secara bertahap membutuhkan lebih
sedikit waktu ekstra untuk mencapai penguasaan karena keterampilan entry-
level mereka meningkat. Hasil ini menyiratkan manfaat kumulatif dari
penguasaan pembelajaran.

Teknik penguasaan pembelajaran bisa jadi diimplementasikan dengan


menggunakan pusat pembelajaran dan kelompok kecil. Anak-anak dapat
ditempatkan di pusat dan kelompok yang berbeda menurut level mereka saat
ini. Lalu mereka bisa bergerak melalui berbagai tingkatan dengan tarif
mereka sendiri. Penguasaan pembelajaran juga dapatmembangun siswa self-
efficacy untuk belajar. Seperti mereka catat kemajuan mereka dalam
menyelesaikan unit, mereka cenderung percaya bahwa mereka mampu
pembelajaran lebih lanjut. Meningkatkan self-efficacy adalah sangat penting
dengan pelajar perbaikan yang mengalami kegagalan sekolah dan meragukan
kemampuan mereka untuk belajar, juga untuk anak kecil dengan pengalaman
terbatas dan keterampilan.

2.5.4. Instruksi terprogram

Instruksi terprogram (PI) mengacu pada bahan ajar yang dikembangkan


sesuai dengan prinsip pengkondisian operan belajar Pada 1920-an, Sidney
Pressey mendesain mesin untuk digunakan terutama untuk pengujian. Siswa
diberi pertanyaan pilihan ganda, dan mereka menekan tombol yang sesuai
dengan pilihan mereka. Jika siswa merespons dengan benar, mesin dihadirkan
pilihan selanjutnya; jika mereka merespons secara tidak benar, kesalahan
dicatat dan mereka melanjutkan untuk menanggapi item.

PI menggabungkan beberapa prinsip pembelajaran (O'Day et al., 1971).


Tujuan perilaku tentukan apa yang harus dilakukan siswa pada saat
menyelesaikan instruksi. Unit ini dibagi lagi menjadi frame yang diurutkan,
masing-masing menyajikan sedikit informasi dan tes item yang ditanggapi
peserta didik. Meskipun banyak materi dapat dimasukkan dalam program,
29

peningkatan frame-to-frame kecil. Peserta didik bekerja dengan langkah


mereka sendiri dan menanggapi pertanyaan saat mereka bekerja melalui
program. Respons mungkin mengharuskan pelajar untuk berikan kata-kata,
berikan jawaban numerik, atau pilih yang mana dari beberapa pernyataan
yang paling menggambarkan ide yang disajikan. Umpan balik tergantung
pada respons pelajar. Jika pelajar benar, item berikutnya diberikan. Jika
pelajar menjawab salah, informasi perbaikan tambahan disajikan dan item
diuji dalam bentuk yang sedikit berbeda.

Karena PI mencerminkan pembentukan, peningkatan kinerja kecil dan


pembelajar hampir selalu merespons dengan benar. Program linier dan
bercabang dibedakan menurut bagaimana mereka memperlakukan kesalahan
pelajar. Program linear disusun sedemikian rupa sehingga semua siswa
melanjutkannya dalam urutan yang sama (tetapi tidak harus pada tingkat yang
sama). Terlepas dari apakah siswa merespons dengan benar atau tidak
benar suatu bingkai, mereka pindah kebingkai berikutnya di mana mereka
menerima umpan balik tentang keakuratan jawaban mereka. Program
meminimalkan kesalahan dengan menutupi materi yang sama di lebih dari
satu bingkai dan dengan mendorong respons siswa.

2.5. 5. Kontrak Kontinjensi

Kontrak darurat adalah perjanjian antara guru dan siswa yang menentukan
apa pekerjaan yang siswa akan capai dan hasil yang diharapkan (penguatan)
untuk kinerja yang sukses (Homme, Csanyi, Gonzales, &Rechs, 1970). Suatu
kontrak dapat dibuat secara verbal, meskipun biasanya ditulis.Guru dapat
menyusun kontrak dan bertanya apakah siswa setuju dengan itu, tetapi sudah
menjadi kebiasaan bagi guru dan siswa untuk merumuskannya bersama.
Sebuah keuntungan dari partisipasi bersama adalah bahwa siswa mungkin
merasa lebih berkomitmen untuk memenuhi ketentuan kontrak. Ketika orang
berpartisipasi dalam pemilihan tujuan, mereka sering lebih berkomitmen
untuk mencapai tujuan daripada ketika mereka dikeluarkan dari proses seleksi
(Locke & Latham, 1990).
30

Mengembangkan kontrak dengan siswa dan memantau kemajuan


memakan waktu.Untungnya, sebagian besar peserta didik tidak memerlukan
kontrak untuk berperilaku sesuai atau mencapai kerja. Kontrak tampaknya
sangat membantu sebagai sarana membantu siswa untuk mengerjakan tugas
lebih produktif. Tugas jangka panjang yang panjang dapat dibagi lagi menjadi
serangkaian tujuan jangka pendek dengan tanggal jatuh tempo. Jenis rencana
ini membantu siswa mengikuti pekerjaan dan menyerahkan materi tepat
waktu.

Kontrak didasarkan pada prinsip bahwa tujuan yang spesifik, sementara


ditutup pada tangan, dan sulit tetapi dapat dicapai akan memaksimalkan
kinerja (Schunk, 1995). Kontrak juga menyampaikan informasi kepada siswa
tentang kemajuan mereka dalam menyelesaikan tugas. Informasi tentang
kemajuan tersebut meningkatkan motivasi dan prestasi siswa (Locke &
Latham,1990). Kontrak harus meningkatkan prestasi jika mereka memperkuat
kemajuan siswa dalam belajar atau dalam mencapai lebih banyak perilaku
saat bertugas.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Teori behavioristik adalah teori yang menekankan perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman.
2. Teori-teori yang termasuk kedalam pandangan behaviorisme antara lain
teori koneksionisme yang oleh Thorndike, teori pengkondisian klasik oleh
Pavlov, teori pengkondisian yang berdekatan oleh E.R Guthrie dan teori
oleh B.F Skinner
3. Implikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran haruslah mencakup hal-
hal sebagai berikut yakni tujuan perilaku, waktu belajar, penguasaan
belajar, instruksi terprogam serta kontrak kontijensi
31

3.2 SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan


jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah di atas

DAFTAR PUSTAKA

Guthrie, E. R. 1938. The psychology of human conflict. New York: Harper &
Brothers.
Guthrie, E. R. 1940. Association and the law of effect. Psychological Review, 47,
127–148.
Guthrie, E. R. 1952. The psychology of learning (Rev. ed.). New York: Harper &
Brothers.
Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Locke, E. A., Frederick, E., Lee, C., & Bobko, P. 1984. Effect of self-efficacy,
goals, and task strategies on task performance. Journal of Applied
Psychology, 69, 241–251.
Maes, S., & Karoly, P. 2005. Self-regulation assessment and intervention in
physical health and illness: A review. Applied Psychology: An International
Review, 54, 245–277.
Mayer, R. E. 2003. E. L. Thorndike’s enduring contributions to educational
psychology. In B. J. Zimmerman & D. H. Schunk (Eds.), Educational
psychology: A century of contributions (pp. 113–154). Mahwah, NJ:
Erlbaum.
Meichenbaum, D. 1977. Cognitive behavior modification: An integrative
approach. New York: Plenum.
Murray, D. J., Kilgour, A. R., & Wasylkiw, L. 2000. Conflicts and missed signals
in psychoanalysis, behaviorism, and Gestalt psychology. American
Psychologist, 55, 422–426.
O’Day, E. F., Kulhavy, R. W., Anderson, W., & Malczynski, R. J. 1971.
Programmed instruction: Techniques and trends. New York: Appleton-
Century-Crofts.
Sagala, S. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Schunk, D.H. 2012. Learning Theories: An Educational Perspectives, 6th Edition.
New York: Pearson Education Inc.
Thorndike, E. L. 1932. The fundamentals of learning. New York: Teachers
College Press.
Uno, Hamzah B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wood, W., & Neal, D. T. 2007. A new look at habits and the habit-goal interface.
Psychological Review, 114, 843–863.

Anda mungkin juga menyukai