Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN TETAP

KOAGULASI-FLOKULASI
LABORATORIUM TEKNIK SEPARASI DAN PURIFIKASI
.

..DISUSUN OLEH:

JUSTINE TANWENDO (03031281722051)


FIRSTA ADELA (03031381722079)
INDRY PERMATA HANI (03031381722086)
RIZKA SHAFIRA (03031381722088)
..

NAMA CO-SHIFT : M. PUTRA BRAMAZI FASHA


NAMA ASISTEN : 1) FAJRIA SEPTIA SUKMA
2) MUHAMMAD NOPRIANSYAH

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
ABSTRAK

Percobaan koagulasi-flokulasi bertujuan untuk mengetahui mekanisme dari proses


koagulasi-flokulasi untuk pemurnian air sumur serta variabel-variabel yang terkait
dengan proses tersebut. Keberadaan koloid merupakan permasalahan utama dalam
industri pengolahan air karena sifatnya yang stabil dan ukuran partikulatnya yang
terlalu kecil. Proses koagulasi-flokulasi adalah proses yang dianggap paling tepat
untuk menyelesaikan masalah ini. Masalah tersebut yang akan menjadi dasar guna
memahami proses koagulasi-flokulasi secara lebih mendalam dan juga mendetail
sehingga dapat memanfaatkan metode koagulasi-flokulasi untuk pengolahan air.
Percobaan dilakukan dengan membandingkan pH dan juga kekeruhan air sampel
dengan pengadukan cepat 100 rpm dan 200 rpm. Koagulan tawas diberikan secara
serentak ke dalam 5 sampel air 100 mL. Variasi koagulan yang diberikan adalah
1, 2, 3, 4, dan 5 mL. Sampel lalu diaduk dengan jar test dengan pengadukan cepat
selama 3 menit dan pengadukan lambat selama 8 menit dan akan diakhiri dengan
proses penyaringan menggunakan kertas saring. Hasil percobaan menunjukkan
kecepatan pengadukan 100 rpm memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
pengadukan 200 rpm. Nilai turbiditas paling kecil dicapai pada penambahan 2 mL
koagulan dengan kecepatan pengadukan 100 rpm dengan pH yang dicapai pada
kondisi tersebut adalah 8,25 serta nilai turbiditas menjadi 1,47.
Kata kunci: koloid, koagulasi, flokulasi, air sumur, tawas, jar test
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah utama yang dijumpai di dalam aplikasi pengolahan air maupun
air limbah adalah banyaknya partikel-partikel koloid yang terkandung di dalam air
tersebut. Kontaminan yang masih terkandung dalam limbah air rumah tangga,
pada kisaran 50-70% tergolong ke dalam partikel koloid (Suriawiria, 1996). Unsur
biologis seperti bakteri, virus, lipid, dan protein juga dapat digolongkan sebagai
partikulat koloid. Partikulat koloid juga memiliki luas permukaan yang terlalu
besar serta nilai stabilitas yang terlalu tinggi untuk dapat diendapkan dengan
metode gravitasi dan juga memiliki ukuran yang terlampau kecil untuk dipisahkan
dengan metode filtrasi. Sifat-sifat ini membawa kesulitan bagi proses pemurnian
air ataupun air limbah sehingga studi sampai tahap molekular dilakukan untuk
menuntaskan permasalahan terkait dengan partikulat koloid.
Fenomena tersebut tentunya membawa masalah yang pelik bagi kehidupan
dan bagi lingkungan. Permasalahan seperti air yang berwarna, berbau, dan keruh,
ataupun air yang berkarat adalah permasalahan yang harus dihadapi dalam upaya
mendapatkan air yang layak pakai. Air limbah juga akan terlalu sulit diolah oleh
karena adanya partikulat-partikulat koloid dan hal tersebut bukanlah suatu kondisi
yang baik untuk lingkungan dan ekosistem. Air limbah yang dibuang pasti masih
memiliki kandungan unsur atau senyawa yang berbahaya di dalamnya dan unsur
ini juga dapat mencemari sumber-sumber air minum sehingga peristiwa ini juga
pasti akan memberikan efek yang tidak baik bagi kesehatan manusia.
Fenomena tersebut menyebabkan para ilmuan harus melakukan penelitian
yang lebih mendalam guna menemukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah
koloid. Penemuan sifat koloid lalu membawa kesuksesan bagi para ilmuan untuk
menemukan suatu metodelogi paling efektif dan juga efisien guna menanggulangi
masalah partikulat koloid. Metode ini adalah proses koagulasi-flokulasi. Uraian
latar belakang inilah yang kemudian akan dijadikan dasar guna memahami proses
koagulasi-flokulasi secara lebih mendalam dan juga mendetail sehingga kita dapat
memanfaatkan metode koagulasi-flokulasi untuk pengolahan air maupun limbah.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


1) Bagaimanakah mekanisme pemurnian air sampel dengan metode
koagulasi-flokulasi?
2) Bagaimanakah pengaruh dari koagulasi-flokulasi terhadap kadar keasaman
air sampel?
3) Bagaimanakah pengaruh kecepatan pengadukan terhadap tingkat
keasaman dan kekeruhan air sampel?
4) Bagaimanakah pengaruh proses koagulasi-flokulasi terhadap kekeruhan air
sampel?
5) Bagaimana pengaruh partikulat koloid terhadap kualitas air?

1.3. Tujuan
1) Mengetahui mekanisme pemurnian air sampel dengan metode koagulasi-
flokulasi.
2) Mengetahui dampak dari koagulasi-flokulasi terhadap kadar keasaman air
sampel.
3) Mengetahui pengaruh kecepatan pengadukan terhadap tingkat keasaman
dan kekeruhan air sampel.
4) Mengetahui dampak koagulasi-flokulasi terhadap kekeruhan air sumur.
5) Mengetahui pengaruh partikulat koloid terhadap kualitas air.

1.4. Manfaat
1) Mampu mengaplikasikan koagulasi-flokulasi di lingkungan masyarakat.
2) Mengetahui metodelogi dari penanganan partikel koloid di dalam air guna
meningkatkan kualitas air.
3) Dapat memanfaatkan proses koagulasi-flokulasi untuk menangani masalah
pencemaran air.
4) Mampu memberi pengetahuan dasar dalam rangka pengembangan studi
proses koagulasi-flokulasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koloid
Mayoritas senyawa yang terkandung dalam air ataupun air limbah adalah
senyawa golongan partikulat koloid. Limbah air domestik 50-70% di dalamnya
masih terdiri atas partikel-partikel koloid (Suriawiria, 1996). Partikulat koloid ini
akan mengakibatkan peristiwa suspensi yang stabil. Suspensi secara umum cukup
stabil sehingga tidak menyebabkan terjadinya presipitasi dari partikulat-partikulat
koloid. Kestabilan muatan yang dimiliki oleh keberadaan suspensi menyebabkan
kestabilan akan sulit diubah sehingga mengharuskan adanya suatu metode khusus
untuk menghilangkan suspensi koloid dari air limbah (Christensen dan Li, 2014).
Fine particle bisa dikategorikan sebagai partikulat koloid jikalau partikulat
tersebut punya suatu rentang ukuran antara 0,0010-1 µm (Weiner dan Matthews,
2003). Ukuran ini jika dikategorikan lebih lanjut akan berada pada rentang ukuran
molekul dan bakteria. Industri pengolahan air berdasarkan praktek lebih lanjut
mengklasifikasi penyebab dari sifat seperti warna, turbiditas, virus, bakteri, alga,
dan senyawa organik juga disebabkan karena adanya partikel koloid. Keberadaan
senyawa atau komponen yang bersifat mirip atau menunjukkan reaksi dengan
partikulat koloid juga merupakan penyebab lainnya (Suriawiria, 1996).
Koloid merupakan partikulat yang berukuran cukup besar untuk memiliki
luas permukaan yang dapat diamati secara mikroskopik ataupun bisa melakukan
adsorpsi pada fase lain. Luas permukaan minimal yang dapat diamati pada kisaran
1 yard persegi atau 1 hektar per gram (Christensen dan Li, 2014). Luas permukaan
partikulat koloid akan mendominasi berbagai partikulat lain. Luas permukaan dari
partikulat koloid cukup besar sehingga mampu mencegah peristiwa penggabungan
antara partikulat-partikulat koloid dengan koagulan (Hanum dkk, 2015).
Senyawa yang tergolong membentuk partikulat kolid di dalam air adalah
cesium. Waktu satu tahun diperlukan sebagai upaya untuk mengendapkan satu
mikrometer dari cesium tiap satu meter dengan metode gravitasi. Molekul cesium
yang memiliki diameter kurang dari tujuh mikrometer juga terlampau kecil untuk

3
4

difiltrasi menggunakan alat filtrasi biasa (Weiner dan Matthews, 2003). Koloid
tidak akan dapat difiltrasi ataupun diendapkan kecuali partikulat-partikulat koloid
sudah menjadi gumpalan-gumpalan yang jauh lebih besar. Metode penggumpalan
partikulat koloid disebut proses koagulasi-flokulasi (Christensen dan Li, 2014).
Luas permukaan mungkin merupakan cara pengukuran konsentrasi koloid
yang sangat baik, tetapi cara pengukuran ini cukup sulit untuk dilakukan dan cara
pengukuran solid tersuspensi juga tidak tepat untuk dipakai. Ukuran koloid yang
sangat kecil akan dapat menyulitkan penencarian filter yang tepat. Metode terbaik
dalam mengkuantifikasi konsentrasi partikulat koloid ialah nephelometry. Metode
pengukuran dilakukan dengan mengukur cahaya yang dihamburkan oleh suatu
partikel koloid yang juga dikenal dengan efek Tyndall (Chianese dan Kramer,
2012). Partikulat koloid juga termasuk dalam rentang panjang gelombang cahaya
tampak dan partikulat koloid menghamburkan cahaya tampak.
Proses nephelometry dilakukan dengan menghitung intensitas cahaya pada
sudut yang tepat terhadap sumber cahaya. Cahaya ditembakkan ke larutan yang
tersuspensi koloid. Persentase dari hamburan cahaya yang dihasilkan akan
proporsional terhadap konsentrasi partikulat koloid. Konsentrasi koloid standar
digunakan untuk mengkalibrasi sistem. Metode pengukuran dengan mengukur
hamburan cahaya ini akan mencegah interferensi material terlarut lain yang hanya
dapat menyerap cahaya, tapi tidak dapat memantulkan ataupun menghamburkan
cahaya tersebut. Konsentrasi koloid dinyatakan sebagai Turbidity Units (TU) atau
tingkat kekeruhan suatu larutan (Hanum dkk, 2015).
Stabilitas koloid dipengaruhi oleh derajat afinitas zat pelarut dari partikulat
koloid yang tersuspensi di larutan. Partikulat koloid dapat digolongkan menjadi
koloid hidrofobik dan koloid hidrofilik. Koloid hidrofobik adalah jenis partikulat
koloid yang umumnya memiliki muatan negatif dan sifat dispersinya distabilisasi
oleh gaya tolak elektrostatik partikulat koloid itu sendiri. Muatan ion negatif pada
koloid hidrofobik umumnya disebabkan karena sifat fisik atau sifat kimia dari
kandungan koloid seperti metal, oksida, sulfida atau dari jenis logam alkali dan
alkali tanah. Koloid hidrofobik juga diklasifikasikan sebagai jenis partikulat tidak
stabil secara termodinamis atau irreversible, yang jika diberikan waktu yang
5

memadai maka partikulat koloid jenis ini akan mengendap. Koloid hidrofobik
adalah jenis koloid yang tidak suka dengan air sehingga membutuhkan proses
yang relatif lama untuk menghilangkan koloid jenis ini (Hanum dkk, 2015).
Koloid hidrofilik sebenarnya sangat sedikit muatan negatif, tetapi sifat
dispersinya akan didestabilisasi dengan hidrasi atau gaya tarik antara partikel air.
Jenis koloid hidrofilik ini adalah partikulat yang berasal dari suatu aktifitas unsur
biologis serta unsur biologis lain seperti gelatin, pati, dan protein. Partikulat dapat
dikategorikan stabil secara termodinamis. Partikulat akan bereaksi secara spontan
di dalam air sehingga akan membentuk partikulat koloid dan partikulat koloid
tersebut akan turun ke bawah sesuai gaya gravitasi (Rachmawati dkk, 2009).
Koloid yang biasanya berada di dalam air ataupun air limbah merupakan
jenis koloid hidrofobik, jadi sebagai upaya menanggulanginya akan dicoba untuk
meningkatkan kinetika proses pengendapan untuk mendapatkan efektifitas proses
pengolahan air yang dilakukan (Weiner dan Matthews, 2003). Perlu diingat bahwa
partikel koloid yang dihadapi ini tidaklah sepenuhnya hidrofobik atau tidak suka
air karena biasanya ada lapisan air yang berada pada permukaan partikulat. Alasan
utama dari stabilitas yang terjadi pada jenis koloid hidrofobik adalah karena
adanya perubahan permukaan (Chianese dan Kramer, 2012).
Penyebab perubahan permukaan yang terjadi pada jenis koloid hidrofobik
ini karena adanya beberpa faktor. Faktor-faktor penyebabnya adalah adsorpsi ion
potensial, ketidaksempurnaan lattice, pergantian isomorfik, dan ada gugus iogenik
pada permukaan partikulat. Adsorpsi ion potensial biasanya terjadi pada senyawa
dengan ikatan Van der Waals dan pada ikatan hidrogen. Surfaktan dan permukaan
alkali, asam humus pada silika, dan gugus hidroksil pada banyak jenis mineral
adalah contohnya. Ketidaksempurnaan lattice serta perubahan isomorfik terjadi
pada mineral logam seperti aluminium serta silikon (Christensen dan Li, 2014).

2.2. Electrical Double Layer


Double layer secara teoritis merupakan suatu lapisan permukaan yang diisi
oleh koagulan yang bermuatan positif yang akan mengikat ion-ion negatif terletak
pada lingkaran luar. Muatan di positif dan negatif bertemu maka terjadi gaya Van
6

der Waals (tarik-menarik) diantara kedua ion tersebut sehingga terjadi ikatan yang
sangat kuat dan terbentuklah koagulan itu yang selanjutnya akan membentuk flok
yang dapat menurunkan senyawa organik dalam limbah (Hanum dkk, 2015).
Partikel bermuatan ditempatkan ke dalam suspensi ion, maka pada muatan
primer akan menarik ion yang muatannya berlawanan dan counterions oleh gaya
tarik elektrostatik. Muatan primer tidak dapat menarik banyak muatan counterions
yang sama karena ketika gradien counterions yang terbentuk itu akan mendorong
counterions ini agar menjadi lebih jauh dari permukaan(Stechemesser dan Dobiás,
2005). Pembentukan electrical double layer terjadi melalui tarikan di counterions
oleh sebuah permukaan muatan primer kemudian difusi counterions menjauh dari
permukaan, karena counterions bersifat bergerak secara aktif (Torrie, 1984).
2.2.1. Potensial Zeta
Efek elektrokinetik akan muncul akibat terjadi gerakkan dari lapisan ion
terdapat pada diffusse layer relatif terhadap permukaan padat. Diffusse layer dapat
dimodelkan bahwa lapisan Helmholtz adalah lapisan yang diam dan lapisan Gouy
adalah sebuah lapisan yang bergerak. Model ini menyatakan bahwa terdapat suatu
lapisan slipping surface atau permukaan yang bergerak terdapat pada diffuse
layer. Potensial yang terdapat pada permukaan yang bergeser dan tingkat
kestabilan koloid lebih dikenal sebagai electrokinetic potential atau dikenal juga
dengan sebutan lapisan potensial zeta (Chianese dan Kramer, 2012).
Nilai potensial zeta memiliki hubungan dengan stabilitas di suspensi
koloid dan merupakan parameter utama yang mempengaruhi stabilitas dari
sedimen, nilai potensial zeta yang lebih besar menyebabkan suatu sistem dispersi
yang akan jadi semakin stabil. Nilai zeta potensial yang baik pada umumnya
adalah lebih besar dari 30 mV atau kurang dari -30 mV. Nilai potensial zeta yang
semakin besar akan mengakibatkan meningkatnya gaya tolak antar molekul yang
hanya berpengaruh pada nilai potensial zeta yang dapat diukur (Kusdarini, 2016).
2.2.2. Model Helmholtz
Model ini merupakan model pertama dan sederhana yang diciptakan oleh
Helmholtz pada tahun 1879, dianggap sebagai konsep pemisahan muatan antara
elektroda logam dan larutan elektrolit. Elektroda itu berdasarkan pada kerapatan
7

muatan (σM) yang timbul dari excess (-σM) atau defisiensi (+σM). Beban pada
elektroda diimbangi dengan redistribusi ion dalam larutan yang setimbang akan
tetapi untuk jumlah ion yang dibebankan sebaliknya. Garis yang ditarik melalui
pusat ion tersebut menandai batas yang dikenal sebagai Outer Helmholtz Plane
(OHP) dan bagian yang ada di dalamnya itu adalah fenomena yang akan dikenal
sebagai fenomena electrical double layer (Stechemesser dan Dobiás, 2005).
2.2.3. Model Gouy and Chapman
Gouy dan Chapman adalah yang pertama menyatakan bahwa ada gerakan
termal dari ion yang dekat dengan permukaan elektroda. Model menggambarkan
bahwa diffuse double layer yang terdiri dari suatu lapisan counterions, sehingga
ketika lapisan counterions tertarik ke permukaan, maka permukaan elektroda akan
menolak ion dari muatan yang berlawanan dengan permukaan itu (Torrie, 1984).
Gaya inilah yang menyebabkan partikulat koloid sulit menyatu.
2.2.4. Model Stern
Stern pada 1924, hanya mengembangkan double layer theory dan juga ada
memberikan saran terhadap cara yang lebih realistis yaitu mendeskripsikan situasi
fisika pada tiap permukaan. Stern menggabungkan dua model sebelumnya dengan
mengadaptasi lapisan ion-ion yang tersusun rapat oleh permodelan Helmholtz dan
lapisan difusi model Gouy-Chapman hingga mendapatkan konsep larutan bulk.
Dia mengungkapkan fakta bahwa ion-ion memiliki ukuran yang terbatas, sehingga
mengakibatkan Outer Helmholtz Plane (OHP) yang dekat dengan elektroda akan
berbeda dengan jari-jari ion. Partikel koloid negatif kemudian menarik counterios
air menuju ke permukaan elektroda tersebut (Chianese dan Kramer, 2012).

2.3. Koagulasi-Flokulasi
Destabilisasi atau koagulasi dapat diartikan sebagai proses penghapusan
koloid hidrofobik berupa pengurangan gaya yang bekerja pada partikulat koloid
untuk menjaga agar partikel terpisah serta setelah molekul partikel tersebut saling
bersinggungan pada gaya tolak lebih rendah. Koagulasi merupakan proses kimia
fisik dari pencampuran bahan koagulan ke dalam aliran limbah dan selanjutnya
dilakukan pengadukan cepat sehingga ada membentuk campuran (Yulianti, 2006).
Perbedaan flokulasi dengan koagulasi adalah flokulasi adalah metode menyatukan
8

tiap partikel-partikel koloid yang tidak stabil, memungkinkan partikel teragregasi


dalam ukuran di mana partikel koloid tersebut mengendap karena adanya gaya
gravitasi. Proses sedimentasi dan proses filtrasi digunakan untuk menghilangkan
partikulat koloid yang sudah diproses dengan metode koagulasi-flokulasi sehingga
flok dapat diangkat dari dalam air (Rachmawati dkk, 2009).
2.3.1. Double Layer Compression
Double layer compression adalah salah satu proses penghilangan koloid
dalam proses pengolahan air biasa dalam rumah tangga serta air limbah. Metode
double layer compression umum dilakukan dengan cara menambahkan indifferent
electrolyte atau ion-ion bermuatan tanpa ada daya tarik khusus untuk permukaan
primer koloid. Penambahan indifferent electrolyte meningkatkan kekuatan ionik
dari larutan yang memiliki tekanan elektrikal. Counterions ketika didorong lebih
dekat ke permukaan, gaya tolak menjadi lebih mudah untuk dihilangkan oleh gaya
Van der Waals. Memasukkan Indifferent Electrolyte merupakan langkah penting
menurut aturan Schulze-Hardy dan yang menyatakan dosis koagulasi yang efektif
secara logaritmik berkaitan dengan pengisian zat pada suatu konsentrasi tertentu.
Konsentrasi ion Na+, Ca2+, dan Al3+ yang diperlukan untuk koagulasi efektif akan
bervariasi dalam rasio antara ketiga senyawa tersebut (Torrie, 1984).
2.3.2. Adsorpsi dan Netralisasi
Ion lawan bermuatan positif akan memiliki afinitas elektron khusus untuk
permukaan koloid (bukan hanya tarikan elektrostatik), maka adsorpsi counterions
akan mengurangi muatan primer koloid. Peristiwa demikian bisa mengurangi
potensi bersih satu perbandingan tertentu sehingga membuat gaya-gaya tarik lebih
efektif. Counterions dapat diadsorpsi oleh pertukaran ion, ikatan koordinasi, gaya
Van der Waals, dan tolak koagulan fase cairan (Stechemesser dan Dobiás, 2005).
2.3.3. Adsorpsi dan Jembatan Antar Partikel
Polimer, garam logam, atau jenis organik sintetik lain yang secara khusus
teradsorpsi ke permukaan yang sering terjadi ketika pengisian netralisasi. Bagian
lain dari polimer teradsorpsi pada koloid lain akan membentuk jembatan partikel
yang luas. Adsorpsi spesifik (normalnya ikatan kimia antar atom) dalam disiplin
ilmu dimungkinkan untuk menyerap polimer negatif atau netral ke permukaan
9

koloid yang negatif. Banyak pemanfaatan yang dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dari hasil polimerisasi partikel. Hasil polimer juga akan menyebabkan
penutupan permukaan koloid tanpa menjembatani koloid lain (Kusdarini, 2016).
2.3.4. Teori Pembentukan Flok
Proses saling mengikat antar partikel dan saat terjadinya pembentukan flok
dapat dijelaskan dalam berbagai macam teori. Pembentukan sebuah flok pertama-
tama terjadi karena beberapa tumbukan partikel koloid dengan koagulan (sweep
coagulation). Pembentukan flok juga terjadi karena adanya penetralan/pemuatan
partikel koloid yang dilanjutkan dengan adanya gaya tarik menarik antar partikel.
Pembentukan penghubung antar-polimer atau jembatan intra-partikel. Pemahaman
terjadinya proses pembentukan flok tersebut tergantung dari jenis koagulan yang
ditambahkan dalam proses tersebut (Stechemesser dan Dobiás, 2005).
Garam logam misalnya Al2(SO4)3 dan FeCl3 ditambahkan dalam jumlah
yang cukup untuk melewati kelarutan produk dari logam hidroksida, oksida, atau
karbonat maka sweep floc akan terbentuk. Koloid akan terperangkap dalam flok
pengendapan kemudian menetap dan keluar dari suspensi. Partikulat dapat juga
berfungsi sebagai tempat nukleasi untuk pengendapan senyawa aluminium oksida,
hubungan antara dosis koagulan aluminium yang optimal serta konsentrasi koloid
sering terbalik. Netralisasi muatan primer dan penghubung polimer ada beberapa
yang terjadi secara bersamaan. Bukti kemungkinan ada keterbalikan muatan dapat
dikurangi oleh keberadaan SO42-. Ion yang dipostulasi untuk diadsorpsi menuju
permukaan primer dan permukaan menjadi negatif kembali (Kusdarini, 2016).
2.3.5. Flokulasi
Flokulasi adalah proses pembentukan flok pada pengadukan lambat untuk
meningkatkan suatu hubungan antar partikel yang goyah sehingga meningkatkan
penyatuan antar flokuan dan koloid (aglomerasi). Aglomerasi (melalui flokulasi)
yang berasal dari partikel halus dan koloid menjadi partikulat yang lebih besar
merupakan cara yang sudah terbukti untuk menghilangkan pengotor dalam suatu
campuran. Flokulasi dapat mendorong aglomerasi partikel melalui pencampuran
yang halus agar terjadi pengikatan dan pembentukan agregat fraktal massa yang
berbentuk gumpalan. Flokulasi yang tidak efektif bisa mengakibatkan adanya air
10

umpan berkualitas buruk dan berpotensi membahayakan kualitas air yang diolah
dan juga meningkatkan biaya operasional secara signifikan. Kriteria yang saling
berkaitan mengatur efisiensi pada tahap flokulasi, yaitu jenis dan dosis koagulan,
pengaturan pH dan komposisi dari campuran (Zemmouri dkk, 2012).
Flokulasi diartikan sebagai perubahan partikel destabilisasi yang lebih
kecil menjadi agregat-agregat atau flok yang lebih besar yang akan dihilangkan
melalui proses sedimentasi dan proses pengendapan. Semua flok dalam suatu fase
pertumbuhan awal dan di dalam proses pembentukan flok dapat dipahami sebagai
keseimbangan antara laju agregasi yang berinduksi ke tabrakan. Laju kerusakan
yang terjadi pada kondisi geser yang diberikan pada flok tersebut. Peristiwa yang
koagulasi menghasilkan partikulat yang diendapkan oleh koagulan atau juga
flokulan di bagian bottom campuran larutan (Bridgeman dkk, 2014).

2.4. Hubungan Garam-Metal dengan Koagulasi


Garam aluminium dan besi dalam kehidupan sehari-hari banyak digunakan
sebagai koagulan di dalam pengolahan air dan limbah (Stechemesser dan Dobiás,
2005). Senyawa garam efektif dalam menghilangkan berbagai kotoran dalam air,
termasuk partikel koloid dan zat organik terlarut lain. Cara kerja senyawa garam
aluminium yaitu dengan dua mekanisme yaitu dengan suatu muatan netralisasi
dari partikulat bermuatan negatif karena produk hidrolisis kationik. Penggabungan
kotoran di dalam endapan amorf logam hidroksida juga termasuk di dalamnya
(Wang dan Shammas, 2016). Kepentingan relatif kedua mekanisme ini tergantung
pada banyak faktor, terutama pH dan dosis koagulan (Zemmouri dkk, 2012).
Hidrolisis garam-logam berbasis aluminium atau juga besi sangat banyak
digunakan sebagai koagulan dalam pengolahan air. Alum atau aluminium sulfat
juga telah digunakan untuk penjernihan air sejak zaman kuno. Hidrolisis koagulan
telah diterapkan secara rutin sejak awal abad ke-20 dan memainkan peran penting
dalam menghilangkan banyak partikulat dari perairan yang tercemar (Christensen
dan Li, 2014). Pengotor ini juga termasuk partikulat anorganik, seperti tanah liat,
mikroba patogen, dan juga bahan organik alami terlarut (Suriawiria, 1996). Aditif
yang paling umum adalah tawas atau umumnya dikenal sebagai aluminium sulfat,
besi klorida dan besi sulfat. Produk jenis lain banyak juga yang didasarkan pada
11

logam-logam pra-terhidrolisa konvensional juga sekarang telah banyak digunakan


dalam proses pemurnian air termasuk berbagai bahan yang disebut sebagai Poly
Aluminium Chloride (PAC) (Wang dan Shammas, 2016).
Semua pengotor koloid dalam air mempunyai muatan negatif dan mungkin
stabil sebagai akibat dari tolakan listrik. Destabilisasi dapat dicapai di sepanjang
garis-garis batas baik dengan menambahkan jumlah garam yang relatif besar atau
jumlah kation yang lebih kecil. Garam berinteraksi secara khusus dengan
partikulat bermuatan negatif dan juga menetralisir muatannya. Kation yang
bermuatan tinggi seperti Al3+ serta Fe3+ harus bersifat efektif, tetapi di atas kisaran
nilai pH normal 5-8. Kation unsur sederhana tidak ditemukan dalam konsentrasi
yang signifikan tetapi hanya dalam jumlah kecil sebagai hasil dari hidrolisis, yang
dapat memberikan berbagai produk (Stechemesser dan Dobiás, 2005). Banyak
produk hidrolisis yang bersifat kationik dan produk kationik dapat berinteraksi
kuat dengan koloid negatif, memberikan suatu destabilisasi dan koagulasi, di
bawah kondisi dosis dan juga pH yang benar (Wang dan Shammas, 2016).
Tingkat keasaman yang netral, baik Al3+ dan Fe3+ memiliki kelarutan
terbatas disebabkan adanya pengendapan produk hidroksi amorf yang dapat
memainkan peran yang penting dalam proses koagulasi-flokulasi yang praktis.
Partikel-partikel endapan yang bermuatan positif dapat mengendap pada partikel-
partikel pengotor atau heterocoagulation. Partikel bisa memberikan kemungkinan
netralisasi dan juga destabilisasi muatan pada partikulat-partikulat koloid sehingga
campuran memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Tingkat kemurnian yang tinggi
adalah koloid telah diambil seluruhnya (Yulianti, 2006).
Kondisi yang perlu diperhatikan dalam penggunaan senyawa garam metal
untuk proses koagulasi terdiri atas empat kondisi umum. Kondisi umum peristiwa
ini meliputi konsentrasi koloid tinggi alkalinitas rendah, konsentrasi koloid tinggi
alkalinitas tinggi, konsentrasi koloid rendah alkalinitas tinggi, dan juga kosentrasi
koloid rendah alkalinitas rendah. Kondisi masing-masing memiliki pengaruh yang
berbeda terhadap hasil koagulasi dan hasil flokuasi serta perlakuan kondisi operasi
yang berbeda. Peristiwa juga tergantung pada pemilihan garam metal yang ingin
digunakan pada proses pemurnian dengan koagulasi (Wang dan Shammas, 2016).
12

2.5. Penelitian Terkait


Zhaoyang, dkk. (2019) dalam jurnal yang berjudul Coagulation of Surface
Water: Observations on the Significance of Biopolymers mempelajari metode
pelucutan zat polimer dari dalam air menggunakan metode filtrasi dan Al2(SO4)3
sebagai bahan koagulan. Penelitian mengindikasikan terbentuknya flok dalam
jumlah besar di dalam sampel hasil koagulasi. Senyawa radikal seperti sulfat dan
gugus hidroksil dihasilkan selama proses berlangsung. Flok dan senyawa radikal
terbentuk karena proses pretreatment koagulan yang diubah menjadi ukuran nano.
Jianbing, dkk. (2019) dalam Treatment of Coking Wastewater Using Oxic-
Anoxic-Oxic Process Followed by Coagulation and Ozonation meneliti pelucutan
amonium dan COD dari larutan hasil dari proses coking. Proses ozonasi dan Oxic-
Anoxic-Oxic (OAO) dipakai sebagai koagulan. Penelitian mengindikasikan kadar
amonium serta tingkat keasaman memiliki berbagai efek terhadap efisiensi dari
proses pelucutan bahan amonium. Proses OAO akan menyebabkan efek potensial
zeta natrium oleat menjadi negatif. Proses OAO juga menurunkan kadar nitrogen
dari limbah coking. Kondisi optimum proses OAO dan ozonasi dapat menurunkan
total natrium oleat sampai pada kisaran presentase 93,3%.
Indriyati dan Diyono (2016) dalam jurnal Pengolahan Effluent Reaktor
Fixed Bed Secara Koagulasi meneliti mengenai penggunaan proses koagulasi-
flokulasi untuk menurunkan kandungan Biological Oxygen Demand (BOD) dan
Chemical Oxygen Demand (COD) effluent reaktor fixed bed. Bahan koagulan
yang dipakai adalah Ca(OH)2 dan aluminium sulfat. Penelitian mengindikasikan
kenaikan kualitas air limbah dengan menambahkan Al2(SO4)3 dan Ca(OH)2.
Hendrawati, dkk. (2012) dalam jurnal berjudul Penggunaan Kitosan
sebagai Koagulan Alami dalam Perbaikan Kualitas Air Danau meneliti cara
pemurnian air tanah menggunakan koagulan alternatif pengganti bahan Poly
Aluminium Chloride yang umum dipakai. Koagulan kitosan dipilih menggantikan
PAC. Peneitian mengindikasikan adaya penurunan kekeruhan, pH, dan kandungan
unsur mangan dalam air setelah proses koagulasi-flokulasi berlangsung sehingga
menghasilkan air yang bersih dari limbah. Metode yang dipakai dalam penelitian
ini dapat menurunkan turbiditas air sampel sampai 94,43% dan bakteri 99,18%.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1) Gelas beker 250 mL
2) Corong
3) Jar test
4) pH meter
5) Spektofotometer UV-Vis
6) Turbidity meter
7) Pipet volume
8) Bola hisap
9) Erlenmeyer
10) Neraca analitis
11) Spatula
3.1.2. Bahan
1) Sampel limbah cair 1,5 liter
2) Koagulan (tawas)
3) Kertas filter Whatman 42

3.2. Prosedur Percobaan


1) Disediakan sampel air limbah.
2) Kekeruhan (turbidity) sampel, pH sampel, dan absorbansi mangan sampel
diukur menggunakan spektofotometer.
3) Koagulan (tawas) ditimbang sebanyak 1 gram.
4) Koagulan (tawas) dilarutkan menggunakan 100 mL aquadest.
5) Limbah sebanyak 100 mL dimasukkan ke dalam 5 gelas beker 250 mL.
6) Koagulan ditambahkan secara bersamaan pada masing-masing gelas beker
sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 mL.
7) Alat jar test disiapkan dengan menekan tombol power dimana sebelumnya
telah disiapkan alat pencatat waktu terlebih dahulu.
8) Pengadukan cepat dilakukan dengan kecepatan 100 rpm selama 3 menit.

13
14

9) Pengadukan lambat dilakukan dengan kecepatan 50 rpm selama 8 menit.


Amati pembentukan flok yang terjadi.
10) Alat dihentikan setelah 8 menit dan flok dibiarkan mengendap selama 15
imenit.
11) Masing-masing larutan disaring menggunakan kertas saring.
12) Hasil filtrasi diambil dan dianalisa pH, kekeruhan, dan absorbansi mangan
imenggunakan portable spektofotometer.
13) Hal yang sama dilakukan untuk kecepatan pengadukan 300 rpm dan 500
Irpm.
15

3.3. Blok Diagram

Tawas Air Sumur

1 gram tawas ditimbang dan pH, turbiditas, dan


dilarutkan dalam 100 mL aquadest absorbansi mangan
diukur
100 mL air sumur
Larutan tawas diukur
dimasukkan dalam 5
sebanyak 1,2,3,4,5 mL
beaker 250 mL

Larutan tawas
dimasukkan ke tiap
gelas beaker secara
bersamaan

Alat jar test dan pencatat


waktu disiapkan

Pengadukan 50 rpm, 8 menit


dan100 rpm, 3 menit

Pembentukan flok diamati selama 8


menit dan pengendapan ditunggu
selama 15 menit

Turbiditas, absorbansi mangan, dan


pH kembali diukur

Tiap larutan disaring

Proses diulang dengan pengadukan


300 dan 500 rpm

Selesai

Gambar 3.1. Blok Diagram Prosedur Percobaan Koagulasi-Flokuasi


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Tabel 4.1. Analisa Sampel Sebelum Penambahan Koagulan
pH Kekeruhan (NTU)
7,2500 3,9100

Tabel 4.2. Analisa Sampel Setelah Penambahan Koagulan

Kecepatan Parameter
Volume
Pengadukan Turbiditas
Koagulan (mL) pH
(rpm) (NTU)

1,0000 8,0900 3,0100

2,0000 8,2500 1,4700


100,0000 3,0000 7,5600 4,2800

4,0000 4,7400 5,7000


5,0000 4,4500 9,7400
1,0000 7,4400 10,2700
2,0000 7,6600 19,7000
200,0000 3,0000 7,2400 19,7000
4,0000 7,1500 4,8600
5,0000 4,3400 12,7600

16
4.2. Grafik Hasil Pengamatan

9
8
7
6
5
4
1 2 3 4 5

Pengadukan 100 rpm Pengadukan 200 rpm

Gambar 4.1. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap pH Air Sumur pada Kecepatan
Pengadukan 100 rpm dan 200 rpm

20

15

10

0
1 2 3 4 5

Pengadukan 100 rpm Pengadukan 200 rpm

Gambar 4.2. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap Turbiditas Air Sumur pada Kecepatan
Pengadukan 100 rpm dan 200 rpm

21
22

4.3. Pembahasan
Praktikum koagulasi-flokulasi bertujuan untuk memanfaatkan koagulasi-
flokulasi guna memurnikan atau menghilangkan partikel koloid yang merupakan
kontaminan atau pengotor terbanyak di dalam air sumur. Sampel air sumur yang
digunakan diambil di sumur warga di daerah Sungai Itam, Palembang. Hasil tes
kekeruhan yang dilakukan meunjukkan angka kekeruhan yang rendah yaitu pada
kisaran 3,91 NTU. Hasil tes ini menunjukkan bahwa pada dasarnya sampel yang
digunakan bukanlah air dengan kandungan pengotor seperti Biological Oxygen
Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi. Perlu dilihat
dan diketahui kemampuan proses koagulasi-flokulasi untuk menghilangkan koloid
di dalam air yang pada dasarnya sudah rendah akan partikulat koloid.
Proses koagulasi-flokulasi dilakukan dengan variasi jumlah koagulan
serta variasi pada kecepatan pengadukannya. Kecepatan pengadukan 100 rpm
menunjukkan kecenderungan yang baik. Tingkat kekeruhan air dapat diturunkan
di bawah angka 2 NTU, atau lebih tepatnya sampai ke angka 1,47 NTU. Kondisi
dicapai dengan panambahan koagulan sebanyak 2 mL. Kecenderungan berbeda
dapat ditunjukkan pada kecepatan pengadukan 200 rpm. Nilai turbiditas air tidak
selalu menunjukkan penurunan dari nilai turbiditas awal. Nilai turbiditas terendah
yang dicapai pada kecepatan pengadukan 200 rpm hanyalah 4,86.
Kondisi selanjutnya akan dibahas adalah pada kecepatan pengadukan 200
rpm. Pengadukan pada dasarnya dilakukan untuk memperbanyak peristiwa kolisi
atau tumbukan antara partikulat koloid dan koagulan. Peristiwa tumbukan ini akan
menyebabkan partikulat koloid akan terikat dengan ion koagulan dan membentuk
senyawa yang stabilitas partikelnya rendah. Pengadukan juga dapat memperkecil
partikel koagulan sehingga akan memungkinan partikel koagulan untuk berikatan
dengan partikulat koloid menjadi lebih besar. Partikel koagulan berukuran kecil
ini barulah akan bekerja dengan baik jika partikulat koloid yang ada untuk diikat
berjumlah banyak atau setidaknya dalam jumlah yang memadai.
Air sampel yang digunakan memiliki nilai turbiditas awal 3,91 NTU dan
hal ini menunjukkan partikulat koloid hadir dalam jumlah yang sedikit di dalam
sampel air. Partikel koagulan yang telah berubah menjadi partikel-partikel kecil
23

tidak akan sepenuhnya dapat mengikat partikel koloid dan akan menyisahkan
banyak partikel koagulan yang tidak berikatan dan tidak berubah menjadi flok.
Partikel menjadi terlalu kecil untuk disaring dengan kertas filter yang tersedia dan
akibatnya air menjadi keruh bukan karena partikulat koloid, tetapi karena partikel
koagulan di dalam sampel. Turbidity meter akan mendeteksi partikel koagulan ini
sebagai kekeruhan. Alasan tersebut yang menjadi penyebab nilai turbiditas yang
tinggi untuk kecepatan pengadukan 200 rpm.
Kondisi optimum pada proses koagulasi-flokulasi air sampel ini dicapai di
penambahan 2 mL koagulan dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Kondisi ini
merupakan kondisi optimum untuk proses koagulasi-flokulasi air sampel. Kondisi
juga menunjukkan bahwa jumlah koagulan yang ditambahkan tidak proporsional
dengan nilai turbiditas air sampel. Nilai kekeruhan yang terkecil dapat dicapai jika
jumlah koagulan yang ditambahkan proporsional terhadap konsentrasi partikulat
koloid yang terkandung di dalam sampel air.
Tingkat keasaman dari air limbah juga merupakan salah satu variabel yang
perlu untuk diamati karena tingkat keasaman juga menjadi faktor penentu kualitas
air. Tingkat keasaman air sampel menunjukkan angka 7,25 yang berarti pH air
sumur masih berada pada kisaran nilai pH normal air yaitu 7. Proses koagulasi-
flokulasi biasanya digunakan untuk menghilangkan koloid dan menurunkan BOD
dan COD dari dalam air, selain itu perlu diketahui pengaruh koagulasi-flokulasi
terhadap tingkat keasaman dari air yang diproses.
Gambar 4.1. menunjukkan secara jelas bahwa terdapat penurunan pH air
sampel setelah kondisi optimum pada penambahan sebanyak 2 mL koagulan dan
pengadukan 100 rpm telah tercapai. Kondisi ini disebabkan karena tawas pada
dasarnya mempunyai sifat asam. Koagulan yang telah selesai mengikat partikulat
koloid dan menyisakan partikel koagulan yang tidak berikatan. Partikel koagulan
yang tidak berikatan ini lalu akan bereaksi dengan molekul air, membentuk
senyawa Al(OH)3 dan H2SO4. Asam sulfat tidak akan terbentuk dalam jumlah
yang besar tetapi kehadiran asam sulfat akan cukup untuk mempengaruhi pH air.
Kehadiran Al(OH)3 akan membawa dampak bagi tingkat keasaman air sampel.
Asam sulfat tergolong ke dalam golongan asam kuat maka kehadiran asam sulfat
24

akan lebih mempengaruhi tingkat keasaman air sampel dibandingkan keberadaan


Al(OH)3. Tingkat keasaman yang tinggi sebenarnya tidak dikehendaki dalam air
karena dapat menganggu peralatan dan mengganggu kesehatan konsumen jika air
hasil proses koagulasi-flokulasi dikonsumsi secara langsung.
Kondisi optimum yang dicapai mempunyai pH yang tinggi dan ini berarti
air sampel bisa digolongkan sebagai larutan basa. Kondisi dapat dijelaskan sesuai
dengan dasar teori yang ada. Teori adsorpsi dan netralisasi menjelaskan bahwa
ion-ion koagulan hanya akan berikatan dengan partikulat koloid dengan muatan
yang berbeda (Stechemesser dan Dobiás, 2005). Tingkat keasaman yang rendah di
dalam sampel pada kondisi optimum mengindikasikan bahwa koloid di dalam
sampel air lebih banyak memiliki muatan positif. Kesimpulan ini dapat diambil
karena ion koagulan yang membawa sifat asam adalah ion sulfat (SO4)2-.
Berdasarkan teori adsorpsi dan netralisasi, ion-ion di koagulan hanya akan
berikatan dengan partikel kolid dengan muatan yang berbeda. Ion sulfat pasti akan
berikatan dengan koloid muatan positif dan ion aluminium (Al3+) akan berikatan
dengan koloid negatif. Sampel air yang memiliki pH tinggi berarti koagulan
dengan muatan positif akan lebih banyak tersisa di dalam air sampel dan jika ion
aluminium bereaksi dengan ion hidroksil maka senyawa basa Al(OH)3 dan pH air
sampel pun akan naik. Fenomena inilah yang dapat dibahas berdasarkan data hasil
percobaan yang telah dilakukan sebelumnya.
Fenomena yang terjadi pada penambahan 4 mL koagulan dan pengadukan
berkecepatan 200 rpm memiliki nilai turbiditas 4,86 NTU. Nilai ini jauh berbeda
dibandingkan nilai turbiditas lain pada kecepatan pengadukan yang sama. Alasan
peristiwa dapat terjadi karena gelas beker yang digunakan sebagai wadah sampel
unntuk sampel 4 mL, 200 rpm bukan gelas beker 250 mL melainkan gelas beker
500 mL. Gelas beker yang berukuran lebih besar diduga menjadi alasan fenomena
dapat terjadi. Wadah yang lebih besar artinya luas permukaan air sampel semakin
luas. Partikel koagulan lebih banyak memiliki ruang untuk bergerak dan tumbuk-
an antar partikel koagulan juga menjadi lebih jarang sehingga fine particle lebih
sulit terbentuk. Koloid di dalam sampel juga akan lebih sulit untuk didestabilisasi
karena waktu koagulasi koloid akan berbanding terbalik dengan luas permukaan.
25

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1) Air sampel dimurnikan dengan penambahan koagulan, pengadukan cepat
dan lambat, serta penyaringan.
2) Proses koagulasi-flokulasi dengan jumlah penambahan koagulan tawas 1
dan 2 mL akan menaikkan pH air ssampel.
3) Pengadukan 200 rpm akan menaikkan kekeruhan dan menurunkan pH air
sampel.
4) Proses koagulasi-flokulasi dengan jumlah penambahan koagulan tawas 1
dan 2 mL dapat menurunkan nilai turbiditas air sampel.
5) Partikulat koloid akan menyebabkan kekeruhan dan mempengaruhi pH air
sampel.
6) Proses koagulasi-flokulasi dengan kadar koagulan tawas yang berlebihan
akan menurunkan pH air sampel.
7) Jumlah pemberian koagulan harus sesuai dengan konsentrasi koloid dalam
air yang akan dimurnikan.
8) Semakin banyak koagulan tawas yang ditambahkan bukan berarti nilai ke-
keruhan air sampel akan semakin berkurang
9) Proses koagulasi-flokulasi dengan jumlah penambahan koagulan tawas di-
atas 2 mL akan menaikkan nilai turbiditas air sampel.
10) Tingkat keasaman air akan bergantung pada unsur penyusun partikel
koloid di dalam air.

5.2. Saran
1) Sebelum melakukan pemurnian air dengan koagulasi-flokulasi, usahakan
untuk mengetahui tingkat kekeruhan air yang akan dimurnikan.
2) Jangan tambahkan tawas/koagulan terlalu banyak untuk air yang tidak
terlalu keruh hal tersebut akan menurunkan kualitas air.
3) Jika tawas ditambahkan ke dalam air untuk keperluan sehari-hari maka
usahakan menormalkan pH air sebelum dipakai untuk menjaga kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Bridgeman, J., Jefferson, B., dan Parsons S. A. 2014. Computational Fluid


Dynamics Modelling of Flocculation in Water Treatment: A Review.
Engineering Applications of Computational Fluid Mechanics Journal.
Vol. 3 (2): 222-229.
Chianese, A., dan Kramer, H. 2012. Industrial Crystallization Process Monitoring
and Control. Weinheim: Wiley-VCH.
Christensen, E. R., dan Li, A. 2014. Physical and Chemical Process in the
Aquatic Environment. New Jersey: John Wiley & Sons.
Hendrawati, Sumarni, S., dan Nurhasni. 2015. Penggunaan Kitosan sebagai
Koagulan Alami dalam Perbaikan Kualitas Air Danau. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Ilmu Kimia. Vol. 1(1): 1-11.
Indriyati, dan Diyono. 2011. Pengolahan Effluent Reaktor Fixed Bed Secara
Koagulasi. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 12(3): 277-282.
Jianbing, W., Yuxian, J., Fengyuan, Z., Dongliang, W., Xuwen, H., dan
Chunrong, W. 2019. Treatment of Coking Wastewater Using Oxic-
Anoxic-Oxic Process Followed by Coagulation and Ozonation. Carbon
Resource Conversion Journal. Vol. 2(7): 151-156.
Kusdarini, E. 2016. Kajian Metode Koagulasi Pada Pengolahan Air Sumur
Mengandung Timbal Bervalensi II di Kota Pasuruan. Jurnal IPTEK. Vol.
20(1): 43-54.
Rachmawati, S. W., Iswanto, B., dan Winarni. 2009. Pengaruh pH Pada Proses
Koagulasi Dengan Koagulan Aluminium Sulfat dan Ferri Klorida. Jurnal
Teknologi Lingkungan. Vol. 5(2): 40-45.
Stechemesser, H., dan Dobiás, B. 2005. Coagulation and Floculation. New York:
Taylor & Francis.
Suriawiria, U. 1996. Mikrobiologi Air. Bandung: Alumni.
Torrie, M. 1984. Theory of The Electrical Double Layer: Ion Size Effect in a
Molecular Solvent. Canada: Royal Military Colege.
Wang, L. K., dan Shammas, N. K. 2016. Water Engineering: Hydraulics,
Distribution and Treatment. New Jersey: John Wiley & Sons.
Weiner, R. F., dan Matthews, R. 2003. Environmental Engineering. Bellingham:
Elsevier Science.
Yulianti, S. 2006. Proses Koagulasi–Flokulasi pada Pengolahan Tersier Limbah
Cair PT. Capsugel Indonesia. [SKRIPSI]. Bogor (IDN). Institut Pertanian
Bogor.
Zemmouri, H., Drouichea, M., Sayeh, A., Lounici, H., dan Mameri, N. 2012.
Coagulation Flocculation Test of Keddara's Water Dam Using Chitosan
and Sulfate Aluminium. Procedia Engineering Journal. Vol. 33(34): 254-
260.
Zhaoyang, S., Tiang, L., Wenzheng, Y., Xiang, L., dan Graham, J. D. N. 2019.
Coagulation of Surface Water: Observations on the Significance of
Biopolymers. Water Research Journal. Vol. 126(15): 144-152.
LAMPIRAN A
RANGKAIAN ALAT

Gambar 1. Rangkaian Alat Jar Test

Gambar 2. Rangkaian Alat Filtrasi

Gambar 3. Rangkaian Alat Turbidity Meter Gambar 4. Rangkaian Alat pH meter


DESAIN CLARIFIER DI INDUSTRI

Limbah cair yang dihasilkan oleh industri mempunyai beban pencemar


yang cukup tinggi. Parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
pencemaran tersebut adalah biological oxygen demand (BOD), dan chemical
oxygen demand (COD). Parameter tersebut jika keberadaannya melebihi dari baku
mutu limbah cair yang telah ditetapkan dan dapat menimbulkan pencemaran pada
air sehingga berkurangnya nilai estetika dan gangguan kesehatan pada manusia.
Alternatif yang dapat menurunkan kandungan pencemaran limbah cair industri di
antaranya yaitu penjernihan dengan prinsip sedimentasi (pengendapan). Alternatif
pengembangan tersebut adalah dengan alat pengendap tipe clarifier dan dengan
koagulan untuk meningkatkan efisiensi pengolahan limbah (Setyobudiarso, 2007).

1. Desain Primary Clarifier


Primary clarifier banyak dirancang dan dioperasikan untuk menghasilkan
sludge primer yang tebal. Fakta lebih lanjut dicontohkan oleh praktik pemompaan
limbah lumpur aktif untuk umpan primary clarifier dengan sludge yang menebal
bersama dengan lumpur primer. Perancangan dan pengoperasian untuk menangani
sludge secara sempurna dimiliki oleh primary clarifier yang memiliki konsentrasi
sotal suspension solid (TSS) efluen sama dengan konsentrasi total suspension
solid yang nonsettleable dalam influen ke primary clarifier. Peningkatan laju
penguapan di permukaan dan peningkatan konsentrasi dapat diatur dengan TSS
yang berada dalam efluen. Peningkatan laju penguapan terjadi secara bersamaan
dalam partikel yang dapat diendapkan. Kadar BOD dan COD dalam air limbah
yang ingin diproses juga dapat diatur (Wilson, 2005).
Desain untuk primary clarifier melibatkan tangki silinder dengan dasar
berbentuk miring dan ukuran diameter bawah yang lebih kecil guna mekanisme
pengendapan dan jalan pengotor keluar dari larutan (Swarovsky, 1990 dalam V.,
Kochergin, 2010). Kecepatan tunggu hidrolik primary clarifier dimulai pada 1
m3/h/m2 (0,4 gpm/ft2) dan berjalan pada kecepatan 6 m3/h/m2 (2,5 gpm/ft2) untuk
beberapa padatan koloid yang terkontak dengan clarifier secara optimal. Ukuran
nominal pada 2,4 m3/h/m2 (1 gpm/ft2) baik untuk digunakan sebagai kecepatan
tunggu di setiap aplikasi mekanisme alat. Nilai tersebut telah dipertimbangkan
untuk koagulan dan flokulan yang mendukung pada kecepatan putaran tersebut.
Penambahan zat kimia dalam proses selalu dibutuhkan dalam aplikasi penjernihan
selama peningkatan efektifitas terjaga (Mular dkk, 2002).
Pengecekan kinerja alat primary clarifier merupakan tugas insinyur desain
untuk mengetahui karakteristik air yang akan diolah. Wahlberg Al (1998) dalam
Graw, M.C. dan Hill. (2005) mengemukakan bahwa konsentrasi TSS dan COD
dihitung setelah 30 menit flokulasi dan 30 menit setelah pengendapan secara
operasional tidak dimungkinkan. Jumlah dari primary clarifier dipasang dengan
menggunakan weirsefluent untuk menyeimbangkan aliran ke beberapa tangki.
Momentum dan turbulensi dapat menyebabkan banyak aliran yang dipaksa masuk
ke dalam satu tangki dibandingkan unit lainnya yang saling berdekatan meskipun
ketinggian dari weirs identik (Wilson, 2005).
Struktur distribusi upflow dengan weirs tetap dapat digunakan sebagai cara
memberikan aliran identik yang tepat ke beberapa unit. Panjang weirs disesuaikan
agar proporsional dengan luas permukaan. Sisi weirs yang berbeda juga pasti akan
mempengaruhi kedalaman air di dalam tangki, sehingga perlu disesuaikan dengan
ukuran volume. Kecepatan up-flow dalam kotak pemisah aliran harus kurang dari
0,3 m/s atau 1,0 ft/detik. Tingkat perendaman yang memadai harus terdapat di
bagian atas saluran masuk dan weirs untuk membuang panas (Mular dkk, 2002).
Mekanisme clarifier dengan aliran vertikal, dijelaskan dengan slurry yang
bergerak ke atas sedangkan flok akan bergerak ke bawah untuk mengendap. Air
akan menempuh jarak setinggi bagian silinder dalam waktu tinggal rata-rata.
Kecepatan aliran air ke atas menuju overflow dapat dinyatakan sebagai laju alir
per satuan luas efektif. Flok dapat mengendap ketika kecepatan pengendapannya
lebih besar dari kecepatan aliran air yang bergerak ke atas. Selisih kecepatan
pengendapan flok dengan kecepatan aliran air yang bergerak ke atas merupakan
kecepatan flok mengendap di dalam clarifier yang sebenarnya. Jenis aliran dalam
bagian silinder harus laminar. Aliran laminar akan memberikan kesempatan flok
yang terbentuk untuk mengendap sebab kecepatan aliran slurry ke atas masih
dapat dilawan oleh kecepatan flok yang mengendap (Setyobudiarso, 2007).
2. Desain Secondary Clarifier
Clarifiers merupakan metode treatment utama yang mengandalkan proses
sedimentasi, proses gravitasi digunakan untuk menghilangkan padatan tersuspensi
dari dalam air. Pengolahan air limbah dalam proses fisiknya akan menghilangkan
partikel padatan melalui sedimentasi dibantu oleh flokulasi dan filtrasi. Flokulasi
diperoleh dengan menambahkan koagulan, yang mengarah pada agregasi partikel
yang sangat kecil untuk membentuk flok (Forrister, 2018).
Fungsi utama dari secondary clarifier adalah penjernihan yang merupakan
proses pemisahan padatan yang menghasilkan flok biologis dari aliran. Partikel
lumpur akan dialirkan menuju bagian bawah tangki dan menghasilkan underflow
yang terkonsentrasi selama proses thickening. Konsentrasi padatan terkonsentrasi
adalah fungsi dari perbandingan recycle dalam clarifier dengan banyaknya beban
kurang dan muatan sedikit. Fungsi sekunder digunakan untuk menyimpan lumpur
selama periode aliran yang optimal. Kinerja proses biologis mungkin tidak terlalu
terpengaruh jika clarifier tidak memenuhi salah satu dari fungsi-fungsi ini. Sisa
padatan akibat kurangnya optimalisasi clarifier akan mengakibatkan limbah yang
tidak memenuhi batas buangan yang ditentukan (Wilson, 2005).
Secondary clarifier dirancang sebagai unit penjernihan dan tidak boleh
dirancang tanpa mempertimbangkan proses up-stream ataupun down-stream.
Alasan dari hal ini adalah efisiensi clarifier yang berhubungan langsung dengan
kualitas lumpur yang disebabkan oleh kondisi di bioreaktor. Kemampuan
pengendapan lumpur yang buruk akan menghasilkan Return Activated Sludge
(RAS) rendah dan laju alir RAS yang tinggi untuk larutan di dalam bioreaktor
campuran padat yang sama. Turbulensi berlebihan dalam sistem pengangkutan
bioreaktor yang dibuat oleh pompa atau penurunan yang signifikan pada profil
hidrolik dapat memecah flok dan menghasilkan sebuah refleksi. Alat clarifier
penting dirancang guna menjaga distribusi aliran yang akurat (Mular dkk, 2002).
Ukuran tangki yang tidak sama membuat aliran harus didistribusikan
secara proporsional dan untuk tangki berbentuk silinder, digunakan pemisah aliran
atau pipa. Ukuran yang berbeda ini harus memiliki sistem kontrol. Tangki yang
berbentuk persegi empat memerlukan gerbang inlet pada saluran umpan umum.
Struktur pemisah aliran dapat berbentuk seperti splitter weirsfeed pada pemisah
ruang up-flow dan tanpa struktur splitter weirsfeed, pengukuran aliran dan umpan
balik perlu memiliki pemisah yang tepat dan terkontrol (V. dkk, 2010).
Keuntungan dari hydraulic control adalah perawatan yang mudah dan
biaya awal yang rendah. Hydraulic control yang proporsional memiliki ukuran
kurang lebih 150 mm (0,5 kaki). Penggunaan hydraulic control dapat menghemat
energi selama alat beroperasi. Hydraulic control diperlukan untuk memastikan
agar proses dengan alat clarifier berjalan dengan baik (Randall dkk, 1992).
Ekama dkk, (1997) dalam Wilson, (2005) mendefinisikan dua tipe metode
hubungan arus pendek dalam secondary clarifier dengan feed padatan dan cairan
pada aliran bawah dan limbah masing-masing mencapai kondisi ideal. Kondisi
ideal dicapai pada metode “first-in-first-out” untuk feed padatan dan cairan. Tes
warna secondary clarifier dengan diameter 34,1 m dan kedalaman 3,66 m akan
diamati bahwa pewarna muncul dalam arus bawah dengan waktu 10 menit dan
mencapai puncaknya selama 2,5 jam untuk pengendapan sempurna seluruhnya.
Metode pengolahan yang paling tepat digunakan untuk air limbah industri
tertentu terutama peralatan secondary clarifier sangat bergantung pada kandungan
dan jumlah partikulat pengotor sekaligus sifat-sifatnya, baik sifat fisik, kimiawi,
maupun biologis. Pemilihan metode yang tepat tersebut dimaksudkan agar proses
pengolahan air limbah dapat efektif dan efisien. Tindakan ini berkaitan dengan
proses utama pengolahan air limbah, yaitu untuk mengurangi bahan-bahan
cemaran hingga pada tingkat yang memenuhi baku mutu air limbah yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Metode ini mengharapkan air limbah dapat dibuang
secara aman tanpa menimbulkan pencemaran pada permukaan air dan lingkungan.
Peningkatan mutu air diharapkan dapat menyeluruh untuk kebersihan dan kualitas
lingkungan hidup yang tinggi (Setyobudiarso, 2007).
Laju pengurangan kadar BOD dalam sistem plug-flow sebagian besar
membutuhkan pasokan udara (O2) ke bagian pertama tangki aerasi. Konsentrasi
oksigen terlarut dapat turun di bawah nilai kritis dan sejumlah besar organisme
dapat terbentuk jika penambahan udara tidak sesuai dengan oksigen yang diminta.
Penggabungan teknologi terbaru dapat mengurangi beberapa masalah ini. Oksigen
terlarut sangat diperlukan sebagai fungsi waktu tunggu dan laju penghentian
penyerapan oksigen dalam sistem secara terus menerus untuk mengendalikan
pertumbuhan suatu filamen. Penyesuaian kebutuhan oksigen di udara biasanya
dicapai dengan aerasi atau operasi step-feed (Wilson, 2005).

3. Desain Tertiary Clarifier


Tertiary clarifier adalah proses unit yang digunakan setelah pengolahan
biologis konvensional untuk memberikan kualitas air limbah yang lebih baik dari
standar sekunder. Aplikasi umum tertiary clarifier adalah guna usaha peningkatan
pengurangan fosfor, padatan tersuspensi, logam, dan patogen. Tertiary clarifier
tidak banyak digunakan. Peralatan tertiary clarifier umumnya diterapkan untuk
aplikasi pengolahan air limbah modern, termasuk metode penghilangan fosfor,
pelucutan logam, inaktivasi dan penghilangan patogen, dan pretreatment dengan
teknologi lapisan membran yang lebih maju (Wilson, 2005).
Kemampuan yang diharapkan dalam desain clarifier adalah kemampuan
untuk menghilangkan silika dan beberapa jenis garam yang sedikit larut yang akan
membagi membran Reverse Osmosis (RO) dalam aplikasi pemurnian air tingkat
tinggi. Penyediaan penghalang patogen tambahan juga diharapkan. clarifier jenis
ini juga diharapkan memiliki kemampuan penghapusan logam, meskipun
sebagian besar logam akan dihilangkan oleh membran RO. Logam tersebut
terkonsentrasi dalam aliran air asin pada konsentrasi yang tidak bisa ditolerir.
Clarifier jenis tertitary diharapkan dapat mengendapkan logam sebagai senyawa
yang tidak larut di mana mereka dapat terikat secara permanen (Wilson, 2005).
Karakterisasi pertama yang perlu di perhatikan dalam mendesain clarifier
adalah karakterisasi partikel. Teknik analitik untuk mengukur ukuran fine particle
meliputi penyumbatan dan hamburan cahaya, perubahan resistansi listrik, analisis
mikroskopis, filtrasi membran, dan fraksionasi aliran medan muatan koloid (Neis
dan Tiehm, 1997). Partikel dalam aliran limbah sebagian besar berupa koloid dan
bermuatan negatif. Ukuran flok biasanya berada dalam rentang 10-70 µm dengan
densitas partikel sebesar 1,015-1,034 g/cm3. Kebanyakan jenis partikel ini
memiliki energi muatan dalam rentang 10-18 mV. Partikel umumya berada dalam
kondisi stabil sehingga cukup sulit diolah (Andreadakis, 1993).
Laju pengendapan dan overflow adalah parameter yang perlu diperhatikan.
Desain tertiary clarifier harus didasarkan pada daerah pengendapan yang berada
dalam suatu rentang dan kecepatan pengendapan untuk jenis padatan yang sesuai
dengan penyisihan untuk penyimpangan dari kondisi ideal. Daerah pengendapan
dalam aplikasi tertiary clarifier adalah bentuk padatan tersuspensi biologis yang
keluar dari tangki sedimentasi sekunder serta endapan kimia setelah pretreatment
sekunder. Kecepatan pengendapan dapat disimpulkan dari ukuran partikel yang
tersedia dan laju luapan klarifikasi desain yang dipublikasikan (Wilson, 2005).
Wilson, (2005) menjelaskan bahwa pemeriksaan data ukuran partikel pada
penggunaan tertiary clarifier yang paling efisien ialah ketika tangki sedimentasi
didahului oleh koagulasi-flokulasi untuk menggumpalkan flok dengan kecepatan
pengendapan yang tinggi. Konfigurasi proses dan berbagai bahan dapat membantu
mengoptimalkan kinerja clarifier dan meminimalkan produksi sludge dan biaya.
Metcalf dan Eddy, (2003) dalam Wilson, (2005) menjabarkan tentang
parameter desain pencampuran cepat adalah gradien kecepatan, waktu tinggal,
konfigurasi reaktor, dan alat pencampuran larutan. Waktu yang diperlukan untuk
mendestabilisasi partikel adalah 10-10-1,0 detik. Jar test direkomendasikan untuk
menetapkan desain waktu penahanan hidraulik dan juga gradien kecepatan. Waktu
penahanan untuk campuran harus cepat. Waktu 30-60 detik mungkin tidak
optimal dan tumbukan berlebihan akan terjadi dan dapat memecah flok.
Partikel koloid kebanyakan memiliki muatan negatif. FeCl2 dan Al2(SO4)3
merupakan jenis koagulan yang paling banyak digunakan untuk jenis clarifier ini.
Flok hidroksida yang dibentuk oleh penambahan garam logam ke dalam air akan
mengikat dan menyerap partikel yang lebih kecil. Mekanisme ini memungkinkan
partikel-partikel koloid menggumpal dan menjadi partikel yang lebih besar yang
mengendap oleh gravitasi. Peningkatan jumlah partikel dan peningkatan ukuran
partikel meningkatkan kinerja sedimentasi dengan cara meningkatkan kecepatan
pengendapan dan laju flokulasi. Manfaat potensial koagulan dehidrolisasi adalah
dosis koagulan yang lebih rendah, rentang pH optimal yang lebih luas, konsentrasi
logam residu yang lebih kecil, dan sensitivitas terhadap temperatur yang akan jauh
lebih rendah (Diamadopoulos dan Vlachos, 1996).
4. Model Matematis dan Fisik Desain Classifier
Permodelan dalam desain clarifier dapat diklasifikasikan menjadi 2 model
yaitu model matematis dan model analog. Model matematis yang memodelkan
persamaan momentum dan kontinuitas untuk sistem dua atau tiga dimensi dapat
juga disebut sebagai permodelan Computational Fluid Dynamics (CFD) (Ourliac
dan Rida, 2017). Hubungan matematis dalam model ini umumnya terbagi menjadi
beberapa jenis seperti persamaan regresi empiris, jenis persamaan aljabar teoritis
disederhanakan, persamaan diferensial, dan persamaan parsial diferensial (Wilson,
2005). Persamaan difrensial biasanya diselesaikan sebagai persamaan aljabar.
Diskretasi persamaan melibatkan konsep ruang dan waktu menjadi poin
koordinat. Informasi disekitar wilayah poin harus didapatkan dengan pendekatan
interpolasi (Ourliac dan Rida, 2017). Model umum paling sederhana terdiri atas
persamaan matematis yang secara statistika dapat diaplikasikan dengan input dan
output yang diketahui. Model ini biasanya dikenal dengan istilah black box karena
model hanya memberikan sedikit gambaran dari proses pengontrolan. Aplikasi
permodelan akan dibatasi oleh kondisi kalibrasi yang digunakan (Wilson, 2005).
Model digunakan untuk merepresentasikan semua proses yang penting di
dalam tank clarifier. Model lalu akan digunakan untuk menyelesaikan persamaan
kontinuitas, momentum, energi, perpindahan massa, dan reaksi biologis, realistik
terhadap kondisi batas. Model ini disebut sebagai model glass box karena model
dapat memperlihatkan peran hukum yang berlaku guna mengetahui performa dari
tank clarifier. Model dapat diaplikasikan diluar zona kalibrasi.
Model yang berdasarkan pada penyederhanaan persamaan dengan asumsi
pada hukum fisika yang berlaku. Hukum fisika yang umumnya diasumsikan pada
permodelan ini biasanya adalah teori fluks, plug-flow, dan model reaktor difusi.
Model ini disebut model gray box karena asumsi yang dibuat mendekati dari
proses yang berjalan tetapi kemungkinan error juga besar (Wilson, 2005). Model
fisika merujuk pada skala geometris model yang mempunyai sifat sesuai dengan
sistem skala penuh. Kasus pada model fisik adalah versi pilot yang tidak
terdistorsi terhadap sistem asli. Model fisik diperkecil dari sistem full scale dalam
aplikasinya. Penggunaannya menggunakan hukum tertentu (Heller, 2011).
Model fisik memiliki fungsi yang sama dengan model matematis glass box
yang merepresentasikan proses fisik di tank clarifier yang sebenarnya. Kesamaan
antara model-model ini tidak akan pernah tercapai karena semua model skala pilot
akan dipengaruhi oleh efek error pada perbandingan skala. Aplikasi model fisik di
sistem clarifier dapat dibagi menjadi sebagai berikut (Wilson, 2005):
1) Zona aliran 3-D seperti pipa masuk, ruangan distribusi, dan mainfolds
2) Aliran masuk energi disipasi
3) Aliran densitas di clarifier dan settling tank
4) Estimasi waktu tinggal
5) Ruang mixing
6) Demonstrasi sifat aliran di unit pemrosesan
Model fisik adalah analog dari sistem skala penuh. Sistem skala penuh
bias disebut sebagai prototype. Hukum penskalaan akan sangat dibutuhkan untuk
usaha mengkonversi data yang diukur dalam model untuk menyamakan nilai-nilai
dalam prototype. Hukum dibuat berdasarkan kemiripan atau kesamaan kebutuhan
antar model dan prototype. Syarat kemiripan yang harus dipenuhi antara model
dengan prototypenya adalah kesamaan geometris, kesamaan pola kecepatan dan
percepatan, dan kesamaan driving force (Ourliac dan Rida, 2017).
Desain clarifier melibatkan beberapa langkah dan berbagai kerumitan
dalam permodelan. Desain awal dapat diaplikasikan berdasarkan data di lapangan
dan juga persamaan empiris yang melibatkan beberapa parameter desain seperti
udara kering, Steam Overflow Rates (SORs), Solid Loading Rate (SLR), kegiatan
pemeliharaan, dan waktu tinggal. Clarifier sekunder umumnya berfungsi meng-
analisa sampel dan dilakukan untuk mengestimasi luas permukaan wadah yang
dibutuhkan untuk koagulasi-flokulasi air limbah (Heller, 2011).
Permodelan akan sangat menentukan dimensi aproksimasi dari beberapa
tangki yang dibutuhkan sehingga dapat menghemat biaya produksi. Tiga hal yang
perlu diperhatikan untuk membuat permodelan detail desain akhir adalah optimasi
wadah clarifier, serta pemilihan dan tata cara pemasangan baffle. Komponen ini
sangat bergantung pada model matematis dan fisik yang dibuat sehingga penting
menentukan model matematis dan fisik tersebut (Wilson, 2005).
5. Pengujian Lapangan
Pengujian lapangan alat clarifier mempunyai banyak manfaatnya. Alasan
terkuat melakukan pengujian yaitu menentukan karakteristik kinerja unit yang
ada, kelebihan atau kelemahan clarifier dan mengidentifikasikan peningkatan fitur
clarifier yang sesuai. Tujuan utamanya yaitu mengoptimlkan kinerja clarifier saat
menggunakan komponen dasar yang ada. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan
penangkapan suspensi solid, memenuhi total suspensi solid tertentu atau batas
turbiditasnya, dan juga agar dapat mencapai tingkat penghilangan unsur tertentu.
Kebutuhan lain adalah meningkatkan kapasitas unit yang ada untuk pemrosesan
aliran wet weather yang mengalir di dalam pabrik. Tujuan tindakan ini adalah
meningkatkan kapasitas dari clarifier (Wilson, 2005).
Tujuan paling umum dari pengujian adalah merekam limbah padatan
tersuspensi yang berasal dari clarifiers selama periode aliran tinggi. Kinerja yang
ada di black box dari clarifiers, tidak menyediakan informasi mengenai proses
yang ada di bagian permukaan bawah tangka sehingga pengujian glass box sangat
diperlukan. Informasi mengenai proses yang ada di bawah tangka adalah untuk
meningkatkan geometri pengaktifan lumpur dari clarifier dan tangki aerasi. Sebab
paling penting itu akan berpengaruh terhadap detail geometrik dari permukaan
bawah tangki. Hasil uji lapangan dari pengoperasian clarifiers atau tangki aerasi
bisa memberikan gambaran proses yang ada di bagian permukaan bawah. Biasa-
nya digunakan untuk memvalidasi hasil dari permodelan. Model yang divalidasi
kemudian dapat digunakan untuk menyelidiki pengaruh perubahan fitur geometrik
terhadap kinerja alat dalam waktu lama (Bhargava dan Rajagopal, 1993).
Langkah pertama dalam proses evaluasi lapangan adalah mengidentifikasi
semua perincian yang berkaitan dengan desain, tidak hanya untuk tiap clarifier,
tetapi juga untuk keseluruhan sistem. Penentuan aliran pada clarifiers melibatkan
verifikasi full-plant flow, penentuan aliran untuk clarifiers battery, dan penentuan
dari individual clarifier. Aliran dan muatan padat banyak diasumsikan berdasar-
kan bacaan plant flow-meter, jadi akurasi pembacaan harus diverifikasi dahulu
dengan mengandalkan fullplant flow. Aliran yang mengarah ke individual clarifier
atau clarifiers battery umum ditentukan oleh teknik pengukuran aliran sederhana.
Contohnya penyisipan bendung persegi panjang pada pencuci limbah dan juga
penentuan tipe agitator di dalam individual clarifier. Persyaratan digunakan untuk
menentukan aliran relatif pada setiap unit (Wilson, 2005).
Kemampuan kinerja clarifier pada umumnya adalah suatu fungsi dari
karakteristik umpan flok yang sebelumnya berasal dari suatu chemical reactors.
Lumpur aktif memiliki kualitas pengendapan yang lambat atau flok kimia yang
akan terbentuk tidak beraturan mengakibatkan kinerja dari clarifier akan dibatasi
dengan kondisi tersebut. Kondisi anomali berubah menjadi kondisi normal dapat
terjadi jika kondisi tersebut diperbaiki sebelum melakukan tes kapasitas.
Kemampuan flok biologis atau kimia untuk menggumpal dan mengendap
biasanya diukur dengan settleometer. Settleometer mencatat volume lumpur yang
menetap pada berbagai interval waktu saat campuran mengendap. Penyelesaian
tes kemampuan flok berlangsung dalam waktu 30 menit. Suspensi padatan dalam
supernatant harus diukur sebagai indikasi seberapa bagus campuran membuat air
limbah menjadi jernih. Tes selanjutnya adalah tes kemampuan pokok campuran
untuk menjernihkan air limbah dalam flokulasi campuran, misalnya 50 rpm dalam
20 menit sebelum mengendap (Bhargava dan Rajagopal, 1993).
Supernatant dari sampel flokulasi merupakan produk terbaik dari
penjernih air yang ideal dan yang berflokulasi dan pengendapannya tidak
bergerak. Tes pengendapan dilakukan secara rutin dan flok biologis harus
diperiksa secara mikroskopis untuk menentukan kondisi campuran dan jenis-jenis
biota yang ada. Adanya filament, penambahan uji coba pengendapan dengan
berbagai pengenceran campuran dapat menentukan filament yang ada itu
membatasi pengendapan dan pemadatan. Kondisi untuk uji coba pembentukan
flok terdiri dari penentuan kondisi flok sebelum masuk ke clarifier, penentuan
kondisi flok dalam zona flokulasi pada clarifier, dan penentuan kondisi flok
mendekati pencucian air limbah yang terakhir. Teknik dasar untuk uji coba
pembentukan flok secara visual dari flok biologis dengan menggunakan
mikroskop dan jar testing. Hasilnya untuk pengendapan berbagai konsentrasi flok
dan variasi jumlah koagulan. Uji coba pada sifat lumpur aktif, tingkat pengendap-
an dan lumpur aktif adalah faktor utama perawatan clarifier(Jenkins dkk, 1993).
DAFTAR PUSTAKA

Andreadakis, A.D. 1993. Physical and Chemical Properties of Activated Sludge


Floc. Journal of Civil Engineering. Vol. 27(12): 1707-1714.
Bhargava, D. S., dan Rajagopal K. 1993. Differentiation between Transition Zone
and Compression in Zone Settling. Water Research. Vol. 27(3): 457-463.
Diamadopoulos, E., dan Vlachos, C. 1996. Coagulation-Filtration of a Secondary
Effluent by Means of Pre-Hydrolized Coagulants. Journal of Pre-
hydrolyzed coagulant. Vol. 33(10-11): 193-201.
Droste, R. L. 1997. Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment.
Michigan: Waley.
Forrister, Thomas. 2018. Analyzing Wastewater Contaminant Removal in A
Secondary Clarifier. (Online). https://www.comsol.com/blogs/analyzing-
wastewater-contaminant-removal-in-a-secondary-clarifier/. (Diakses pada
23 September 2019).
Heller, V. 2011. Scale Effects in Physical Hydraulic Engineering. Journal of
Hydraulic Research. 49(3): 293-306.
Jenkins, D.M., Richard M., dan Daigger G. 1993. The Causes and Cures of
Activated Sludge Bulking and Foaming. Lewis Publisher: Ann Arbor,
Michigan.
Mular, A.L., Halbe, D.N., dan Barratt D.J. 2002. Mineral Processing Plant
Design, Practice, and Control. USA: SME.
Neis, U., dan Tiehm, A. 1997. Particle Size Analysis in Primary and Secondary
Waste Water Effluents. Journal of Particle Size Analysis. Vol. 36(4): 151-
158.
Ourliac, M., TangYee, W., dan Rida, A. 2017. Computational Fluid Dynamics
along the Energy Value Chain: From Natural Gas processing to Industrial
End-Use. Energy Procedia Journal. 143(39): 381-388.
Setyobudiarso, Hery. 2007. Uji Kemampuan Clarifier Thickener dalam
Menurunkan Kadar BOD dan PO4 dalam Limbah Tahu. Jurnal FTSP ITN.
Vol. 5(9): 1-15.
Randall, C.W., Barnard, J.L., dan Stensel, H.D. 1992. Design and Retroffit Waste-
water Treatment Plants for Biological Nutrient Removal. USA: Technomic
V., Kochergin, C., Gaudet, dan M., Robert.2010. A Juice Clarifier with
Turbulence Reduction Devices: Result of Fisrt Industrial.Proceeding of S
Afr Sug Technol Ass. USA. 8 Maret 2010: Hal. 315-325.
Wahlberg, E. J. 1996. Secondary Clarifiers: The Mechanism Behind the Myths.
Jourrnal Civil Engineering. Vol. 13(1): 12-18.
Wilson, T. E. 2005. Clarifier Design. New York: McGraw-Hill.
Nama : Justine Tanwendo
NIM : 03031281722051
Shift : Jumat (13.30-16.30 WIB)
Kelompok : 2 (Dua)

KEUNGGULAN PROSES KOAGULASI-FLOKULASI DIBANDINGKAN


PROSES PEMURNIAN LAIN

Masalah utama yang dijumpai di dalam aplikasi pengolahan air maupun


air limbah adalah banyaknya jumlah partikulat koloid yang terkandung di dalam
air. Kontaminan dalam limbah air rumah tangga 50-70% tergolong ke dalam
partikulat koloid. Unsur biologis seperti bakteri, virus, dan protein juga dapat
digolongkan partikulat koloid (Suriawiria, 1996). Sifat partikel koloid membawa
kesulitan bagi proses pemurnian air dan juga air limbah sehingga studi ke tahap
molekular dilakukan untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Hasil penelitian
yang dilakukan mengindikasikan bahwa proses koagulasi-flokulasi adalah proses
yang paling tepat untuk menanggulangi masalah. Kesimpulan diambil berdasarkan
keunggulan proses koagulasi-flokulasi dibandingkan proses pemurnian lainnya.
Keunggulan proses koagulasi-flokulasi dibandingkan proses pemurnian lain akan
dibahas secara lebih lanjut dalam pembahasan berikut.

1. Waktu Pemrosesan yang Lebih Cepat


Koagulasi-flokulasi adalah proses yang pada umumnya digunakan untuk
menghilangkan warna, kekeruhan, alga, dan berbagai jenis mikroorganisme lain
dari dalam air permukaan. Penambahan senyawa kimia koagulan ke dalam air ini
akan menyebakan terbentuknya formasi endapan, atau flok, yang menjebak unsur
pengotor di dalam air. Senyawa dengan logam seperti besi dan aluminium sebagai
unsur penyusunnya juga mampu dilucuti dari dalam air dengan metode koagulasi-
flokulasi, walaupun memerlukan kondisi operasi yang sesuai. Flok yang terbentuk
lalu akan dipisahkan dari air yang telah diproses dengan proses sedimentasi dan
proses filtrasi, walaupun proses flotasi juga dapat digunakan sebagai ganti proses
sedimentasi yang lebih sering digunakan (Mazille dan Spuhler, 2019).
Sedikit penjelasan di atas sebenarnya sudah memberikan suatu gambaran
mengenai keunggulan proses koagulasi-flokulasi dibanding proses pemurnian air
lainnya. Keunggulan yang pertama adalah keuntungan dari waktu proses. Proses
koagulasi-flokulasi adalah proses yang pada dasarnya dilakukan dengan tujuan
untuk menghilangkan partikulat koloid dari dalam air. Partikulat koloid ini akan
mengakibatkan peristiwa suspensi yang stabil. Suspensi secara umum cukup stabil
sehingga tidak akan menyebabkan terjadinya presipitasi dari partikulat-partikulat
koloid tersebut (Weiner dan Matthews, 2003). Partikulat koloid sebenarnya juga
mengendap tanpa melalui proses koagulasi-flokulasi, tetapi proses pemurnian ini
yang hanya mengandalkan proses sedimentasi akan memakan waktu yang lama.
Cesium adalah contoh partikulat koloid yang proses sedimentasinya sudah
pernah diteliti. Hasil penelitian mengindikasikan akan diperlukan waktu selama
satu tahun sebagai upaya mengendapkan satu mikrometer unsur cesium tiap satu
meter persegi luas wadah dengan metode sedimentasi (Christensen dan Li, 2014).
Proses koagulasi-flokulasi hanya membutuhkan beberapa menit atau beberapa jam
untuk mengendapkan partikulat koloid dalam jumlah sama. Fenomena ini yang
menjadikan proses koagulasi-flokulasi lebih banyak dipilih dibandingkan proses
sedimentasi dan filtrasi (Stechemesser dan Dobiás, 2005).

2. Mengatasi Fine Particles


Proses filtrasi secara langsung juga hampir mustahil untuk dilakukan oleh
karena ukuran koloid yang sangat kecil. Koloid adalah partikulat dengan ukuran
0,0010-1 μm (Weiner dan Matthews, 2003). Pemurnian air dengan memanfaatkan
filtrasi biasa mustahil dilakukan untuk menangani partikulat dengan ukuran yang
terlalu kecil. Filter dengan ukuran pori yang lebih kecil dari 0,0010 μm diperlukan
untuk menyaring partikulat koloid. Penyaring yang dapat digunakan adalah jenis
yang menggunakan teknologi membran, akan tetapi teknologi membran berharga
mahal dan cukup sulit proses pengaplikasiannya. Proses koagulasi-flokulasi hanya
memerlukan senyawa koagulan untuk membentuk flok dari partikulat berukuran
mikro tersebut dan tidak memerlukan sistem kompleks (Hendrawati dkk, 2015).

3. Menghilangkan Mikroorganisme
Protozoa, bakteri, virus, alga, dan mikroorganisme lain adalah musuh bagi
proses pengolahan air, khususnya untuk industri yang mengolah air untuk menjadi
air minum. Mikroorganisme pasti akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi
kesehatan. Mikroorganisme juga akan membawa dampak buruk untuk air proses.
Bakteri dapat menimbulkan reaksi di dalam air sehingga air akan menjadi bau.
Alga dan protozoa juga bisa hidup dan berkembang dalam air pendingin dan juga
akan berdampak buruk bagi peralatan di dalam heat exchanger (Christensen dan
Li, 2014). Alasan tersebut yang menyebabkan pentingnya menghilangkan dan
membunuh mikroorganisme sebelum air dapat dipakai.
Proses yang paling tepat untuk menghilangkan dan membunuh
mikroorganisme adalah proses koagulasi-flokulasi (Suriawiria, 1996). Koagulan
yang ditambahkan akan mengikat mikroorganisme selama proses pembentukan
flok. Alasan ini menyebabkan bakteri dan mikroorganisme lain dapat dihilangkan
dengan metode koagulasi-flokulasi (Borchate dkk, 2014).

4. Pengaplikasian yang Mudah dan Murah


Proses koagulasi-flokulasi adalah salah satu proses yang mudah dilakukan.
Proses ini sudah banyak dilakukan di kalangan masyarakat awam dan ini sudah
dilakukan selama berpuluh-puluh tahun. Koagulan tawas sudah sering digunakan
untuk menjernihkan air sumur ataupun air sungai sebelum dipakai untuk kegiatan
sehari-hari seperti mandi dan bahkan untuk konsumsi masyarakat.
Garam aluminium dan besi dalam kehidupan sehari-hari banyak digunakan
sebagai koagulan di dalam pengolahan air dan limbah (Stechemesser dan Dobiás,
2005). Hidrolisis garam-logam berbasis aluminium atau juga besi sangat banyak
digunakan sebagai koagulan dalam pengolahan air. Alum atau aluminium sulfat
juga telah digunakan untuk penjernihan air sejak zaman kuno. Hidrolisis koagulan
telah diterapkan secara rutin sejak awal abad ke-20 dan memainkan peran penting
dalam menghilangkan partikel dari perairan tercemar (Christensen dan Li, 2014).
Proses aplikasi yang mudah membuat membuat proses koagulasi-flokulasi lebih
banyak dimintai. Proses ini hanya melibatkan penambahan koagulan dengan dosis
tertentu dan membiarkan flok terbentuk selama beberapa waktu sebelum proses
penyaringan dilakukan untuk memisahkan flok dari air yang sudah diproses.
Proses koagulasi-flokulasi juga dapat dikatakan sebagai proses yang cukup
murah untuk diaplikasikan. Proses lain seperti teknologi membran atau adsorpsi
karbon aktif memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan proses koagulasi.
Biaya utama dalam pengaplikasian proses koagulasi-flokulasi hanya berupa biaya
pembelian koagulan. Alat proses koagulasi-flokulasi juga bukanlah alat khusus
sehingga biaya pembelian peralatan juga dapat dikurangi (Borchate dkk, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Bhargava, D.S., dan Rajagopal, K. 1993. Differentiation between Transition Zone


and Compression in Zone Settling. Water Research. Vol. 27(3): 457-463.
Borchate, S., Kulkarni, G., Kore, V. S., dan V., K. S. (2014). A Review on
Applications of Coagulation-Flocculation and Ballast Flocculation for
Water and Wastewater. International Journal of Innovations in
Engineering and Technology, 4(4), 216-223.
Christensen, E. R., dan Li, A. 2014. Physical and Chemical Process in the
Aquatic Environment. New Jersey: John Wiley & Sons.
Hendrawati, Sumarni, S., dan Nurhasni. 2015. Penggunaan Kitosan sebagai
Koagulan Alami dalam Perbaikan Kualitas Air Danau. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Ilmu Kimia. Vol. 1(1): 1-11.
Jenkins, D. M., Richard M. G., dan Glen, T. D. 1993. The Causes and Cures of
Activated Sludge Bulking and Foaming. Lewis Publisher: Ann Arbor,
Michigan.
Mazille, F., dan Spuhler, D. Coagulation-Flocculation. (Online). https://sswm.
info/sswm-university-course/module-6-disaster-situations-planning-and-
preparedness/further-resources-0/coagulation-flocculation. (Diakses pada
tanggal 21 September 2019).
Stechemesser, H., dan Dobiás, B. 2005. Coagulation and Floculation. New York:
Taylor & Francis.
Suriawiria, U. 1996. Mikrobiologi Air. Bandung: Alumni.
Wahlberg, E.J. 1996. Secondary Clarifiers: The Mechanism Behind the Myths.
Jourrnal Civil Engineering. Vol. 13(1): 12-18.
Weiner, R. F., dan Matthews, R. 2003. Environmental Engineering. Bellingham:
Elsevier Science.
Wilson, T. E. 2005. Clarifier Design Second Edition. Newyork: McGraw-Hill.
Nama : Firsta Adela
NIM : 03031381722079
Shift : Jumat (13.30-16.30 WIB)
Kelompok : 2 (Dua)

KOAGULAN HIDROFILIK DAN KOAGULAN HIDROFOBIK

Koagulan merupakan bahan kimia atau zat kimia yang dibutuhkan untuk
membantu proses koagulasi dalam suatu larutan dimana terdapat koloid-koloid di
dalamnya. Koloid-koloid tersebut akan di destabilisasikan dan diendapkan oleh
koagulan. Kekeruhan dan warna pada suatu larutan juga dapat dihilangkan dengan
penambahan zat kimia koagulan (Kasdadi, 2016). Koloid yang ada dalam larutan
dapat diklasifikasikan memiliki dua jenis sifat berlawanan yang terdiri dari koloid
hidrofobik dan koloid hidrofilik (Brown dkk, 2009).
Koloid hidrofobik adalah jenis partikulat koloid yang biasanya memiliki
muatan negatif dan sifat dispersinya distabilisasi oleh suatu gaya tolak
elektrostatik. Koloid hidrofilik merupakan partikulat koloid berasal dari aktifitas
biologis yang memiliki sedikit muatan negatifnya dan sifat dispersinya akan
distabilisasi dengan hidrasi dan dengan gaya tarik antar partikel air (Weiner dan
Matthews, 2003). Klasifisikasi koloid yang berbeda-beda itulah membuat jenis
koagulan yang digunakan untuk mendestabilisasi koloid juga tentu berbeda.

1. Koagulan Hidrofilik
Koloid hidrofilik ini adalah partikulat-partikulat yang berasal dari aktifitas
biologis dan unsur biologis seperti gelatin, pati, dan protein. Partikulat ini
dikategorikan stabil secara termodinamis. Partikulat-partikulat ini akan bereaksi
secara spontan dalam air untuk membentuk koloid (Weiner dan Matthews, 2003).
Produk olahan pangan berbasis curd yang berasal dari kedelai atau biasa dikenal
dengan nama tahu. Penyebab keragaman tekstur curd itu karena pembuatan curd
dengan proses gelasi protein atau proses koagulasi protein (Karsono dkk, 2012).
Proses koagulasi protein tergolong aktifitas biologis, sehingga koloidnya
didestabilisasikan dengan penambahan koagulan hidrofilik pada proses. Gelatisasi
protein terjadi ketika koagulan dimasukkan ke dalam sari kedelai (Obatulu, 2007).
Jenis koagulan yang ditambahkan pada proses ini adalah Glucono Delta Lactone
(GDL) agar menghasilkan curd yang lembut seperti jeli dan koagulan whey tahu
agar menghasilkan tahu yang lebih keras dan beremah. Banyak sekali koagulan
yang sering digunakan untuk koagulasi protein yang memiliki koloid hidrofilik.
Koagulan tersebut diantaranya adalah pada pembuatan tahu umum meng-
gunakan koagulan garam seperti CaCl2, CaSO4, dan MgCl2. Koagulan asam seperti
asam asetat dan juga Glucono Delta Lactone (GDL). Koagulan alam yang dipakai
adalah belimbing wuluh, jeruk nipis, dan larutan kitosan (Chang, 2006). Hasil
penelitian menunjuk-kan bahwa penggunaan koagulan alami seperti belimbing
wuluh, jeruk nipis, dan larutan kitosan menghasilkan produk dengan yield dan
kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan koagulan CaSO4 (Supriyanti, 2016).
Proses koagulasi lateks adalah proses yang sangat penting dalam proses
pengolahan karet alam menggunakan koagulan ekstrak gadung (Fauzi dkk, 2010).
Penggunaan enzim rennet yang diperoleh di dalam lambung anak sapi digunakan
sebagai koagulan yang umum digunakan pada proses pembuatan keju (Supriyanti,
2016). Proses koagulasi dalam industri pembuatan tahu merupakan tahap yang
menentukan kualitas tahu dan susu kedelai. Proses umumnya memanfaatkan jenis
koagulan alami seperti lemon, tamarind, garcinia, goosberry, markisa, ekstrak
rosella, ekstrak daun calotropis procera, withania, dan bubuk cangkang kerang,
belimbing wuluh, atau jeruk nipis (Wardhani dkk, 2016).
Berdasarkan proses koagulasi protein dalam pembuatan tahu, konsentrasi
koagulan Glucono Delta Lactone (GDL) dan whey yang ditambahkan dalam sari
kedelai serta suhu pada saat penambahan koagulan akan mempengaruhi kecepatan
proses koagulasi dan agregasi protein menjadi curd. Tingginya konsentrasi dan
suhu maka koagulasi dan agregasi akan berlangsung cepat. Kecepatan koagulasi
protein akan mempengaruhi banyak protein yang menyatu membentuk matriks
curd dan kemampuan matrik protein untuk mengikat komponen lain khususnya
air. Hal itulah mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan beragam membuat
profil proteinnya juga berbeda (Karsono dkk, 2012).
Proses pembuatan keju yang menggunakan koagulan enzim rennet. Enzim
rennet adalah enzim protease yang berasal dari lambung anak sapi yang berumur
3-4 minggu. Harganya cukup mahal dan tersedia dalam jumlah terbatas. Alternatif
lain pengganti koagulan enzim rennet yaitu menggunakan enzim papain dapat
menekan biaya produksi pada pembuatan cottage keju yang dihasilkan dari proses
fermentasi susu tanpa mematangkan dadih (Supriyanti dan Geantaresa, 2010).
2. Koagulan Hidrofobik
Koloid hidrofobik memiliki muatan negatif umumnya disebabkan karena
ada sifat fisik atau sifat kimia dari kandungan koloid seperti metal, oksida, sulfida
atau juga logam alkali dan alkali tanah. Koloid hidrofobik ini diklasifikasikan
sebagai jenis yang tidak stabil secara termodinamis atau irreversible, yang berarti
jika diberikan waktu yang cukup maka partikulat koloid jenis ini akan mengendap
walaupun waktu sangat lama (Weiner dan Matthews, 2003). Contoh koagulan
untuk koloid hidrofobik yaitu kitosan yang termasuk koagulan alami berasal dari
limbah udang berupa kulit, kepala, ekor yang mengandung senyawa kimia berupa
kitin. Kitosan digunakan sebagai absorben untuk menyerap logam berat seperti
seng, kobalt, kromium, tembaga, nikel dan besi. Koagulan hidrofilik yang
biasanya digunakan untuk penjernihan air yaitu biji kelor karena mengandung
protein dengan cara adsorpsi dan membuat jembatan antar partikel. Biji asam
jawa, biji kecipir juga tergolong sebagai koagulan hidrofobik karena digunakan
untuk menjernihkan air limbah yang sangat kotor (Nurhasni, 2015).
Limbah semi konduktor dapat diolah dengan koagulan tepung jagung yang
telah diekstrak (Fatehah, 2007). Koagulan biji anggur bisa digunakan untuk
menghilangkan zat warna pada limbah tekstil. Pengolahan limbah kaolin dapat
menggunakan koagulan ekstrak Phaseolus vulgaris atau buncis. Limbah cair kota
dan air sungai menggunakan koagulan ekstrak tannin atau senyawa polifenol yang
berasal dari tumbuhan. Menurunkan kadar zat warna congo red dalam limbah
tekstil dapat menggunakan koagulan alami seperti biji kelor, kitosan, dan ekstrak
jagung. Koagulan untuk koloid hidrofobik juga yang umumnya banyak digunakan
berasal dari koagulan kimia seperti alum sulfat, poly aluminium chloride (PAC),
ferro sulfat (FeSO4), dan besi (III) klorida atau ferri klorida (Effendi dkk, 2013).
Alasan utama bagusnya penggunaan koagulan alami seperti kitosan
dibandingkan koagulan sintetik seperti PAC, jika digunakan terus-menerus
pastinya akan menimbulkan dampak negatif karena koagulan akan terakumulasi
didalam tubuh ketika proses pengolahan air danau. Parameter yang biasanya
digunakan untuk penelitian kualitas air yaitu turbiditas, kadar logam, Biological
Oxygen Demand (BOD), Dissolved Oxygen (DO), dan pH (Nurhasni, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Brown, T.L., H. E. Lemay, B. E. Bursten, dan C.J. Murphy. 2009. Chemistry the
Central of Science 11 th ed. New Jersey: Pearson Uducation International.
Chang, K. C. 2006. Chemistry and Technology of Tofu Making in Hui YH eds
Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. CRC Press:
Boca Raton.
Effendi, A. K., dan Prihatinningtyas, E. 2013. Aplikasi Koagulan Alami dari
Tepung Jagung dalam Pengolahan Air Bersih. Jurnal Teknosains. Vol.
2(2): 71-158.
Fatehah. 2007. Semiconductor Wastewater Treatment: with Natural Starch as
Coagulant Using Responce Surface Methodology. Malaysia: Universiti
Teknologi Malaysia.
Fauzi, A., Ali, F., dan Sihombing, A. 2010. Koagulasi Lateks dengan Ekstrak
Gadung. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 17(3): 8-16.
Karsono, Y., Syah, D., Faradilla, R. H. F., dan Trisna, V. 2012. Pengaruh
Koagulan dan Kondisi Koagulasi terhadap Profil Protein Curd Kedelai
serta Korelasinya terhadap Tekstur. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
Vol. 23(1): 94-99.
Kasdadi, F. H. 2016. Jenis Koagulan dan Koagulan Aid. (Online).
https://banyubiru berkahsejati.co.id/jenis-koagulan-dan-aid/. (Diakses
pada tanggal 23 September 2019).

Nurhasni, Hendrawati, Sumarni, S. 2015. Penggunaan Kitosan sebagai Koagulan


Alami dalam Perbaikan Air Danau. Jurnal Kimia Valensi. Vol. 1(1): 1-11.
Obatolu, V. A. 2008. Effect of Different Coagulants on Yield and Quality of Tofu
from Soymilk. Journal European Food Research and Technology. Vol.
226(3): 467-472.
Supriyanti, F. M., Geantaresa, E. 2012. Pemanfaatan Ekstrak Kasar Papain
sebagai Koagulan pada Pembuatan Keju Cottage Menggunakan Bakteri.
Jurnal Sains dan Teknologi Kimia. Vol. 1(1): 38-43.
Wardhani, D. H., Aryanti, N., Kurniawati, D., dan Maharani, A. 2016. Karakter
dan Analisis Sensorik Produk Tahu dengan Koagulan Alami. Jurnal
Ilmiah Teknosains. Vol. 2(2): 73-81.
Weiner, R. F., dan Matthews, R. 2003. Environmental Engineering. Bellingham:
Elsevier Science.
Nama : Rizka Shafira
NIM : 03031381722088
Shift : Jumat (13.30-16.30 WIB)
Kelompok : 2 (Dua)

HUBUNGAN GAYA VAN DER WAALS TERHADAP PROSES


KOAGULASI

Koagulasi merupakan proses kimia untuk menghilangkan limbah cemaran


yang tersuspensi ataupun koloid. Penambahan koagulan menyebabkan terjadinya
destabilisasi muatan negatif partikel koloid dalam limbah cair. Pengadukan cepat
membantu proses koagulasi dengan mendistribusikan koagulan secara merata ke
dalam air. Pengadukan memudahkan muatan positif koagulan berikatan dengan
muatan negatif partikel koloid dan membuat kestabilan partikel koloid terganggu.
Destabilisasi partikel koloid terjadi jika energi kinetik yang bekerja pada partikel
cukup. Energi kinetik diperoleh dari proses pengadukan (Nurlina dkk, 2015).
Koagulasi juga menyebabkan terjadinya proses netralisasi muatan dimana
terdapat gaya Van der Waals sehingga partikel-partikel koloid akan terflokulasi.
Partikel koloid mengalami destabilisasi yang kemudian partikel-partikel tersebut
dibawa kedalam suatu kontak antara satu dengan lainnya dan dapat menggumpal
dan membentuk partikel yang lebih besar yang siap untuk mengendap. Proses ini
merupakan proses flokulasi pengadukan lambat. Flokulasi sangat mempengaruhi
efisiensi penghilangan partikel koloid (Borchate dkk, 2014).

1. Gaya Van der Waals


Gaya saling tarik menarik muncul pada setiap dua benda yang memiliki
massa. Gaya dominan antara dua objek netral yang disebut dengan gaya tarik Van
der Waals berasal dari interaksi antara energi termal dan kuantum partikel yang
berfluktuasi secara mekanis dari masing-masing molekul di dalamnya (Langbein,
1974). Perilaku potensial antar molekul ikatan Van der Waals relatif terkenal dan
sejumlah besar pemodelan fungsi gaya tersebut telah tersedia.
Van der Waals atau gaya dispersi diketahui memiliki pengaruh pada
koagulasi partikel. Gaya Van der Waals merupakan gaya tarik antara molekul atau
antara kelompok molekul yang sama, selain yang disebabkan oleh pembentukan
ikatan dan interaksi elektrostatik ion atau kelompok ionik satu sama lain dan
dengan molekul netral (McNaught and A. Wilkinson, 1997). Derajat dari gaya
tarik ini merupakan fungsi massa dari dua molekul dan jarak antara molekul
tersebut. Gaya tolak yang muncul akibat adanya muatan listrik akan menjauhkan
dua partikel koloid sebelum mereka dapat bergerak mendekat agar gaya Van der
Waals dapat bekerja pada partikel-partikel koloid secara signifikan. Pengurangan
gaya elektrostatis akan menyebabkan partikel akan saling mendekat dan membuat
gaya tarik Van der Waals mendominasi (Nugroho, 2009).
Kekuatan antara dua partikel koloid pada dasarnya timbul dari dipol yang
berfluktuasi yang mempolarisasi partikel yang berinteraksi. Gaya yang dihasilkan
menarik jika medium di antaranya memiliki polarisasi dielektrik yang lebih kecil
daripada interaksi. Mayoritas zat liquid menunjukkan satu mode osilasi yang
mendominasi dengan energi yang mengatur interaksi Van der Waals. Jarak antar
molekul yang dekat menyebabkan sinkronisasi antara dipol berjalan dengan baik,
sedangkan pada jarak besar waktu propagasi permukaan yang lebih mendetail dan
interaksi antar partikel lebih lemah (Schmidt-Ott dan Burtscher, 1982)
Kompresi lapisan ganda menggambarkan suatu lapisan berada di antara
interfase molekul. Mekanisme destabilisasi suspensi adalah dengan penambahan
indifferent electrolyte dengan konsentrasi yang tepat sangat menentukan kerja
mekanisme ini. Kompresi lapisan ini memberikan muatan pada lapisan ganda,
terutama pada lapisan diffused untuk ternetralisasi sehingga jarak antar partikel
cukup dekat untuk membuat gaya Van der Waals dapat bekerja (Nugroho, 2009).

2. Hubungan Gaya Van der Waals Terhadap Jarak Antar Partikel


Gaya Van der Waals sehubungan dengan proses koagulasi penting untuk
dipahami selain adanya lapisan kompresi ganda dan potensial zeta. Ketika dua
muatan partikel koloid yang sama berhadapan satu dengan lain, lapisan difusi
mereka mulai berinteraksi. Dua partikel koloid semakin dekat maka gaya tolak
elektrostatik makin meningkat. Energi potensial penolakan (yR) mengalami
penurunan yang besar ketika jarak pemisahan partikel meningkat. Gaya tolak ini
menjaga partikel terhadap proses penggumpalan (Ampera, 2018).
Gaya Van der Waals berkurang dengan cepat ketika jarak antar partikel itu
terus meningkat. Energi potensial yang menarik (yA) juga berkurang seiring
dengan meningkatnya jarak antara partikel koloid dengan koagulan. Jumlah
partikel diskrit mempengaruhi kejenuhan larutan sehingga partikel koloid dapat
menjadi lebih rapat. Gaya Van Der Waals akan semakin tinggi ketika jarak antar
partikel lebih rapat. Efek muatan pada stabilitas koloid dapat dijelaskan dengan
menambahkan energi interaksi yang menarik dan yang menolak. Jaringan energi
interaksi (yR-yA) dianggap sebagai energi penghalang atau rintangan terhadap
agregasi partikel koloid. (Amirtharajah dan O’Melia, 1990).

3. Hubungan Gaya Van der Waals Terhadap Muatan Partikel


Kimiawan koloid sejak lama menunjukkan bahwa hasil koagulasi ketika
koagulan yang memiliki muatan berlawanan dengan muatan koloid ditambahkan
ke larutan koloid. Atmosfer ionik dari lapisan difusi yang mengelilingi setiap
partikel mengembang dan berkontraksi ketika kandungan garam larutan menurun
dan meningkat. Peningkatan konsentrasi ion yang ditambahkan menyebabkan
lapisan difusi dikontrak sampai titik tercapainya gaya tarik Van der Waals yang
lebih kuat daripada gaya tolak potensial zeta. Valensi ion dari muatan berlawanan
dan efek yang diamati mengikuti aturan Schulze-Hardy, menyatakan bahwa ion
bivalen 50-60 kali lebih efektif daripada ion monovalen dan ion trivalen 700-
1.000 kali lebih efektif daripada ion monovalen. Koloid juga dapat diendapkan
dengan penambahan koagulan dengan muatan berlawanan (Black, 1960).
Keelektronegatifan muatan koloid yang sama membuat partikel-partikel
koloid saling menolak sehingga partikel-partikel koloid terpisah dan membuatnya
tetap berada dalam suspensi. Pengurangan muatan negatif pada partikel koloid
tersebut menyebabkan terjadinya gaya Van der Waals yang membantu terjadinya
agregasi koloid dan partikel tersuspensi halus untuk membentuk flok berukuran
mikro. Partikel-partikel koloid pada suspensi cairan bermuatan negatif maka dari
itu ion-ion yang ditambahkan berupa molekul dengan muatan positif agar dapat
menetralisi muatan negatif koloid (Hambali dkk, 2017).
Kelebihan kation pada suspensi dapat menyebabkan restabilisasi muatan
partikel koloid karena terjadinya adsorpsi counterions. Kelebihan pengadsorpan
counterions menyebabkan muatan partikel koloid menjadi positif dan partikel-
partikel ini justru akan saling menjauh sehingga gaya Van der Waals tidak dapat
bekerja. Penambahan koagulan harus dilakukan dengan dosis yang tepat agar
tidak terjadi perubahan muatan koloid (Nugroho, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Amirtharajah, A., dan O’Melia, C. R. 1990. Water Quality and Treatment AWWA,
5th Edition. Denver: American Water Works Association.
Ampera, M. P. J. 2018. Penurunan Kekeruhan Air Baku Ipa Badak Singa dengan
Penggunaan Koagulan PAC dan Plat Alumunium pada Proses Koagulasi-
Elektrokoagulasi. [SKRIPSI]. Bandung (IDN). Universitas Pasundan.
Black, A. P. 1960. Basic Mechanisms of Coagulation. Proceeding of Annual
Conference. San Francisco. April 1960: 492-504.
Borchate, S. S., Kulkarni G. S., Kore V. S., dan Kore S. V. 2014. A Review on
Applications of CoagulationFlocculation and Ballast Flocculation for
Water and Wastewater. International Journal of Innovations in
Engineering and Technology (IJIET). Vol. 4(4): 216-223.
Hambali, M., Wijaya, E., dan Reski, A. 2017. Pembuatan Kitosan dan
Pemanfaatannya Sebagai Agen Koagulasi-Flokuasi. Jurnal Teknik Kimia.
Vol. 23(2): 104-113.
Langbein, D. 1974. Theory of Van der Waals Attraction. Springer-Verlag: New
York.
McNaught, A. D., and Wilkinson, A. 1997. Compendium of Chemical
Terminology, 2nd ed. (the "Gold Book"). (Online).
https://goldbook.iupac.org/terms/view/V06597. (Diakses pada tanggal 22
September 2019).
Nugroho, W. A. 2009. Optimasi Penggunaan Koagulan pada Pengolahan Air
Limbah Batubara. [SKRIPSI]. Depok (IDN). Universitas Indonesia.
Nurlina, Zahara, T. A., Gusrizal, dan Kartika, I. D. 2015. Efektivitas Penggunaan
Tawas dan Karbon Aktif pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu.
Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat. Pontianak.
2015: 690-699.
Schmidt-Ott, A., dan Burtscher, H. 1982. The Effect of van der Waals Forces on
Aerosol Coagulation. Journal of Colloid and Interface Science. Vol. 89(2):
353-357.

Anda mungkin juga menyukai