KOAGULASI-FLOKULASI
LABORATORIUM TEKNIK SEPARASI DAN PURIFIKASI
.
..DISUSUN OLEH:
1
2
1.3. Tujuan
1) Mengetahui mekanisme pemurnian air sampel dengan metode koagulasi-
flokulasi.
2) Mengetahui dampak dari koagulasi-flokulasi terhadap kadar keasaman air
sampel.
3) Mengetahui pengaruh kecepatan pengadukan terhadap tingkat keasaman
dan kekeruhan air sampel.
4) Mengetahui dampak koagulasi-flokulasi terhadap kekeruhan air sumur.
5) Mengetahui pengaruh partikulat koloid terhadap kualitas air.
1.4. Manfaat
1) Mampu mengaplikasikan koagulasi-flokulasi di lingkungan masyarakat.
2) Mengetahui metodelogi dari penanganan partikel koloid di dalam air guna
meningkatkan kualitas air.
3) Dapat memanfaatkan proses koagulasi-flokulasi untuk menangani masalah
pencemaran air.
4) Mampu memberi pengetahuan dasar dalam rangka pengembangan studi
proses koagulasi-flokulasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Koloid
Mayoritas senyawa yang terkandung dalam air ataupun air limbah adalah
senyawa golongan partikulat koloid. Limbah air domestik 50-70% di dalamnya
masih terdiri atas partikel-partikel koloid (Suriawiria, 1996). Partikulat koloid ini
akan mengakibatkan peristiwa suspensi yang stabil. Suspensi secara umum cukup
stabil sehingga tidak menyebabkan terjadinya presipitasi dari partikulat-partikulat
koloid. Kestabilan muatan yang dimiliki oleh keberadaan suspensi menyebabkan
kestabilan akan sulit diubah sehingga mengharuskan adanya suatu metode khusus
untuk menghilangkan suspensi koloid dari air limbah (Christensen dan Li, 2014).
Fine particle bisa dikategorikan sebagai partikulat koloid jikalau partikulat
tersebut punya suatu rentang ukuran antara 0,0010-1 µm (Weiner dan Matthews,
2003). Ukuran ini jika dikategorikan lebih lanjut akan berada pada rentang ukuran
molekul dan bakteria. Industri pengolahan air berdasarkan praktek lebih lanjut
mengklasifikasi penyebab dari sifat seperti warna, turbiditas, virus, bakteri, alga,
dan senyawa organik juga disebabkan karena adanya partikel koloid. Keberadaan
senyawa atau komponen yang bersifat mirip atau menunjukkan reaksi dengan
partikulat koloid juga merupakan penyebab lainnya (Suriawiria, 1996).
Koloid merupakan partikulat yang berukuran cukup besar untuk memiliki
luas permukaan yang dapat diamati secara mikroskopik ataupun bisa melakukan
adsorpsi pada fase lain. Luas permukaan minimal yang dapat diamati pada kisaran
1 yard persegi atau 1 hektar per gram (Christensen dan Li, 2014). Luas permukaan
partikulat koloid akan mendominasi berbagai partikulat lain. Luas permukaan dari
partikulat koloid cukup besar sehingga mampu mencegah peristiwa penggabungan
antara partikulat-partikulat koloid dengan koagulan (Hanum dkk, 2015).
Senyawa yang tergolong membentuk partikulat kolid di dalam air adalah
cesium. Waktu satu tahun diperlukan sebagai upaya untuk mengendapkan satu
mikrometer dari cesium tiap satu meter dengan metode gravitasi. Molekul cesium
yang memiliki diameter kurang dari tujuh mikrometer juga terlampau kecil untuk
3
4
difiltrasi menggunakan alat filtrasi biasa (Weiner dan Matthews, 2003). Koloid
tidak akan dapat difiltrasi ataupun diendapkan kecuali partikulat-partikulat koloid
sudah menjadi gumpalan-gumpalan yang jauh lebih besar. Metode penggumpalan
partikulat koloid disebut proses koagulasi-flokulasi (Christensen dan Li, 2014).
Luas permukaan mungkin merupakan cara pengukuran konsentrasi koloid
yang sangat baik, tetapi cara pengukuran ini cukup sulit untuk dilakukan dan cara
pengukuran solid tersuspensi juga tidak tepat untuk dipakai. Ukuran koloid yang
sangat kecil akan dapat menyulitkan penencarian filter yang tepat. Metode terbaik
dalam mengkuantifikasi konsentrasi partikulat koloid ialah nephelometry. Metode
pengukuran dilakukan dengan mengukur cahaya yang dihamburkan oleh suatu
partikel koloid yang juga dikenal dengan efek Tyndall (Chianese dan Kramer,
2012). Partikulat koloid juga termasuk dalam rentang panjang gelombang cahaya
tampak dan partikulat koloid menghamburkan cahaya tampak.
Proses nephelometry dilakukan dengan menghitung intensitas cahaya pada
sudut yang tepat terhadap sumber cahaya. Cahaya ditembakkan ke larutan yang
tersuspensi koloid. Persentase dari hamburan cahaya yang dihasilkan akan
proporsional terhadap konsentrasi partikulat koloid. Konsentrasi koloid standar
digunakan untuk mengkalibrasi sistem. Metode pengukuran dengan mengukur
hamburan cahaya ini akan mencegah interferensi material terlarut lain yang hanya
dapat menyerap cahaya, tapi tidak dapat memantulkan ataupun menghamburkan
cahaya tersebut. Konsentrasi koloid dinyatakan sebagai Turbidity Units (TU) atau
tingkat kekeruhan suatu larutan (Hanum dkk, 2015).
Stabilitas koloid dipengaruhi oleh derajat afinitas zat pelarut dari partikulat
koloid yang tersuspensi di larutan. Partikulat koloid dapat digolongkan menjadi
koloid hidrofobik dan koloid hidrofilik. Koloid hidrofobik adalah jenis partikulat
koloid yang umumnya memiliki muatan negatif dan sifat dispersinya distabilisasi
oleh gaya tolak elektrostatik partikulat koloid itu sendiri. Muatan ion negatif pada
koloid hidrofobik umumnya disebabkan karena sifat fisik atau sifat kimia dari
kandungan koloid seperti metal, oksida, sulfida atau dari jenis logam alkali dan
alkali tanah. Koloid hidrofobik juga diklasifikasikan sebagai jenis partikulat tidak
stabil secara termodinamis atau irreversible, yang jika diberikan waktu yang
5
memadai maka partikulat koloid jenis ini akan mengendap. Koloid hidrofobik
adalah jenis koloid yang tidak suka dengan air sehingga membutuhkan proses
yang relatif lama untuk menghilangkan koloid jenis ini (Hanum dkk, 2015).
Koloid hidrofilik sebenarnya sangat sedikit muatan negatif, tetapi sifat
dispersinya akan didestabilisasi dengan hidrasi atau gaya tarik antara partikel air.
Jenis koloid hidrofilik ini adalah partikulat yang berasal dari suatu aktifitas unsur
biologis serta unsur biologis lain seperti gelatin, pati, dan protein. Partikulat dapat
dikategorikan stabil secara termodinamis. Partikulat akan bereaksi secara spontan
di dalam air sehingga akan membentuk partikulat koloid dan partikulat koloid
tersebut akan turun ke bawah sesuai gaya gravitasi (Rachmawati dkk, 2009).
Koloid yang biasanya berada di dalam air ataupun air limbah merupakan
jenis koloid hidrofobik, jadi sebagai upaya menanggulanginya akan dicoba untuk
meningkatkan kinetika proses pengendapan untuk mendapatkan efektifitas proses
pengolahan air yang dilakukan (Weiner dan Matthews, 2003). Perlu diingat bahwa
partikel koloid yang dihadapi ini tidaklah sepenuhnya hidrofobik atau tidak suka
air karena biasanya ada lapisan air yang berada pada permukaan partikulat. Alasan
utama dari stabilitas yang terjadi pada jenis koloid hidrofobik adalah karena
adanya perubahan permukaan (Chianese dan Kramer, 2012).
Penyebab perubahan permukaan yang terjadi pada jenis koloid hidrofobik
ini karena adanya beberpa faktor. Faktor-faktor penyebabnya adalah adsorpsi ion
potensial, ketidaksempurnaan lattice, pergantian isomorfik, dan ada gugus iogenik
pada permukaan partikulat. Adsorpsi ion potensial biasanya terjadi pada senyawa
dengan ikatan Van der Waals dan pada ikatan hidrogen. Surfaktan dan permukaan
alkali, asam humus pada silika, dan gugus hidroksil pada banyak jenis mineral
adalah contohnya. Ketidaksempurnaan lattice serta perubahan isomorfik terjadi
pada mineral logam seperti aluminium serta silikon (Christensen dan Li, 2014).
der Waals (tarik-menarik) diantara kedua ion tersebut sehingga terjadi ikatan yang
sangat kuat dan terbentuklah koagulan itu yang selanjutnya akan membentuk flok
yang dapat menurunkan senyawa organik dalam limbah (Hanum dkk, 2015).
Partikel bermuatan ditempatkan ke dalam suspensi ion, maka pada muatan
primer akan menarik ion yang muatannya berlawanan dan counterions oleh gaya
tarik elektrostatik. Muatan primer tidak dapat menarik banyak muatan counterions
yang sama karena ketika gradien counterions yang terbentuk itu akan mendorong
counterions ini agar menjadi lebih jauh dari permukaan(Stechemesser dan Dobiás,
2005). Pembentukan electrical double layer terjadi melalui tarikan di counterions
oleh sebuah permukaan muatan primer kemudian difusi counterions menjauh dari
permukaan, karena counterions bersifat bergerak secara aktif (Torrie, 1984).
2.2.1. Potensial Zeta
Efek elektrokinetik akan muncul akibat terjadi gerakkan dari lapisan ion
terdapat pada diffusse layer relatif terhadap permukaan padat. Diffusse layer dapat
dimodelkan bahwa lapisan Helmholtz adalah lapisan yang diam dan lapisan Gouy
adalah sebuah lapisan yang bergerak. Model ini menyatakan bahwa terdapat suatu
lapisan slipping surface atau permukaan yang bergerak terdapat pada diffuse
layer. Potensial yang terdapat pada permukaan yang bergeser dan tingkat
kestabilan koloid lebih dikenal sebagai electrokinetic potential atau dikenal juga
dengan sebutan lapisan potensial zeta (Chianese dan Kramer, 2012).
Nilai potensial zeta memiliki hubungan dengan stabilitas di suspensi
koloid dan merupakan parameter utama yang mempengaruhi stabilitas dari
sedimen, nilai potensial zeta yang lebih besar menyebabkan suatu sistem dispersi
yang akan jadi semakin stabil. Nilai zeta potensial yang baik pada umumnya
adalah lebih besar dari 30 mV atau kurang dari -30 mV. Nilai potensial zeta yang
semakin besar akan mengakibatkan meningkatnya gaya tolak antar molekul yang
hanya berpengaruh pada nilai potensial zeta yang dapat diukur (Kusdarini, 2016).
2.2.2. Model Helmholtz
Model ini merupakan model pertama dan sederhana yang diciptakan oleh
Helmholtz pada tahun 1879, dianggap sebagai konsep pemisahan muatan antara
elektroda logam dan larutan elektrolit. Elektroda itu berdasarkan pada kerapatan
7
muatan (σM) yang timbul dari excess (-σM) atau defisiensi (+σM). Beban pada
elektroda diimbangi dengan redistribusi ion dalam larutan yang setimbang akan
tetapi untuk jumlah ion yang dibebankan sebaliknya. Garis yang ditarik melalui
pusat ion tersebut menandai batas yang dikenal sebagai Outer Helmholtz Plane
(OHP) dan bagian yang ada di dalamnya itu adalah fenomena yang akan dikenal
sebagai fenomena electrical double layer (Stechemesser dan Dobiás, 2005).
2.2.3. Model Gouy and Chapman
Gouy dan Chapman adalah yang pertama menyatakan bahwa ada gerakan
termal dari ion yang dekat dengan permukaan elektroda. Model menggambarkan
bahwa diffuse double layer yang terdiri dari suatu lapisan counterions, sehingga
ketika lapisan counterions tertarik ke permukaan, maka permukaan elektroda akan
menolak ion dari muatan yang berlawanan dengan permukaan itu (Torrie, 1984).
Gaya inilah yang menyebabkan partikulat koloid sulit menyatu.
2.2.4. Model Stern
Stern pada 1924, hanya mengembangkan double layer theory dan juga ada
memberikan saran terhadap cara yang lebih realistis yaitu mendeskripsikan situasi
fisika pada tiap permukaan. Stern menggabungkan dua model sebelumnya dengan
mengadaptasi lapisan ion-ion yang tersusun rapat oleh permodelan Helmholtz dan
lapisan difusi model Gouy-Chapman hingga mendapatkan konsep larutan bulk.
Dia mengungkapkan fakta bahwa ion-ion memiliki ukuran yang terbatas, sehingga
mengakibatkan Outer Helmholtz Plane (OHP) yang dekat dengan elektroda akan
berbeda dengan jari-jari ion. Partikel koloid negatif kemudian menarik counterios
air menuju ke permukaan elektroda tersebut (Chianese dan Kramer, 2012).
2.3. Koagulasi-Flokulasi
Destabilisasi atau koagulasi dapat diartikan sebagai proses penghapusan
koloid hidrofobik berupa pengurangan gaya yang bekerja pada partikulat koloid
untuk menjaga agar partikel terpisah serta setelah molekul partikel tersebut saling
bersinggungan pada gaya tolak lebih rendah. Koagulasi merupakan proses kimia
fisik dari pencampuran bahan koagulan ke dalam aliran limbah dan selanjutnya
dilakukan pengadukan cepat sehingga ada membentuk campuran (Yulianti, 2006).
Perbedaan flokulasi dengan koagulasi adalah flokulasi adalah metode menyatukan
8
koloid yang negatif. Banyak pemanfaatan yang dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dari hasil polimerisasi partikel. Hasil polimer juga akan menyebabkan
penutupan permukaan koloid tanpa menjembatani koloid lain (Kusdarini, 2016).
2.3.4. Teori Pembentukan Flok
Proses saling mengikat antar partikel dan saat terjadinya pembentukan flok
dapat dijelaskan dalam berbagai macam teori. Pembentukan sebuah flok pertama-
tama terjadi karena beberapa tumbukan partikel koloid dengan koagulan (sweep
coagulation). Pembentukan flok juga terjadi karena adanya penetralan/pemuatan
partikel koloid yang dilanjutkan dengan adanya gaya tarik menarik antar partikel.
Pembentukan penghubung antar-polimer atau jembatan intra-partikel. Pemahaman
terjadinya proses pembentukan flok tersebut tergantung dari jenis koagulan yang
ditambahkan dalam proses tersebut (Stechemesser dan Dobiás, 2005).
Garam logam misalnya Al2(SO4)3 dan FeCl3 ditambahkan dalam jumlah
yang cukup untuk melewati kelarutan produk dari logam hidroksida, oksida, atau
karbonat maka sweep floc akan terbentuk. Koloid akan terperangkap dalam flok
pengendapan kemudian menetap dan keluar dari suspensi. Partikulat dapat juga
berfungsi sebagai tempat nukleasi untuk pengendapan senyawa aluminium oksida,
hubungan antara dosis koagulan aluminium yang optimal serta konsentrasi koloid
sering terbalik. Netralisasi muatan primer dan penghubung polimer ada beberapa
yang terjadi secara bersamaan. Bukti kemungkinan ada keterbalikan muatan dapat
dikurangi oleh keberadaan SO42-. Ion yang dipostulasi untuk diadsorpsi menuju
permukaan primer dan permukaan menjadi negatif kembali (Kusdarini, 2016).
2.3.5. Flokulasi
Flokulasi adalah proses pembentukan flok pada pengadukan lambat untuk
meningkatkan suatu hubungan antar partikel yang goyah sehingga meningkatkan
penyatuan antar flokuan dan koloid (aglomerasi). Aglomerasi (melalui flokulasi)
yang berasal dari partikel halus dan koloid menjadi partikulat yang lebih besar
merupakan cara yang sudah terbukti untuk menghilangkan pengotor dalam suatu
campuran. Flokulasi dapat mendorong aglomerasi partikel melalui pencampuran
yang halus agar terjadi pengikatan dan pembentukan agregat fraktal massa yang
berbentuk gumpalan. Flokulasi yang tidak efektif bisa mengakibatkan adanya air
10
umpan berkualitas buruk dan berpotensi membahayakan kualitas air yang diolah
dan juga meningkatkan biaya operasional secara signifikan. Kriteria yang saling
berkaitan mengatur efisiensi pada tahap flokulasi, yaitu jenis dan dosis koagulan,
pengaturan pH dan komposisi dari campuran (Zemmouri dkk, 2012).
Flokulasi diartikan sebagai perubahan partikel destabilisasi yang lebih
kecil menjadi agregat-agregat atau flok yang lebih besar yang akan dihilangkan
melalui proses sedimentasi dan proses pengendapan. Semua flok dalam suatu fase
pertumbuhan awal dan di dalam proses pembentukan flok dapat dipahami sebagai
keseimbangan antara laju agregasi yang berinduksi ke tabrakan. Laju kerusakan
yang terjadi pada kondisi geser yang diberikan pada flok tersebut. Peristiwa yang
koagulasi menghasilkan partikulat yang diendapkan oleh koagulan atau juga
flokulan di bagian bottom campuran larutan (Bridgeman dkk, 2014).
13
14
Larutan tawas
dimasukkan ke tiap
gelas beaker secara
bersamaan
Selesai
Kecepatan Parameter
Volume
Pengadukan Turbiditas
Koagulan (mL) pH
(rpm) (NTU)
16
4.2. Grafik Hasil Pengamatan
9
8
7
6
5
4
1 2 3 4 5
Gambar 4.1. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap pH Air Sumur pada Kecepatan
Pengadukan 100 rpm dan 200 rpm
20
15
10
0
1 2 3 4 5
Gambar 4.2. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap Turbiditas Air Sumur pada Kecepatan
Pengadukan 100 rpm dan 200 rpm
21
22
4.3. Pembahasan
Praktikum koagulasi-flokulasi bertujuan untuk memanfaatkan koagulasi-
flokulasi guna memurnikan atau menghilangkan partikel koloid yang merupakan
kontaminan atau pengotor terbanyak di dalam air sumur. Sampel air sumur yang
digunakan diambil di sumur warga di daerah Sungai Itam, Palembang. Hasil tes
kekeruhan yang dilakukan meunjukkan angka kekeruhan yang rendah yaitu pada
kisaran 3,91 NTU. Hasil tes ini menunjukkan bahwa pada dasarnya sampel yang
digunakan bukanlah air dengan kandungan pengotor seperti Biological Oxygen
Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi. Perlu dilihat
dan diketahui kemampuan proses koagulasi-flokulasi untuk menghilangkan koloid
di dalam air yang pada dasarnya sudah rendah akan partikulat koloid.
Proses koagulasi-flokulasi dilakukan dengan variasi jumlah koagulan
serta variasi pada kecepatan pengadukannya. Kecepatan pengadukan 100 rpm
menunjukkan kecenderungan yang baik. Tingkat kekeruhan air dapat diturunkan
di bawah angka 2 NTU, atau lebih tepatnya sampai ke angka 1,47 NTU. Kondisi
dicapai dengan panambahan koagulan sebanyak 2 mL. Kecenderungan berbeda
dapat ditunjukkan pada kecepatan pengadukan 200 rpm. Nilai turbiditas air tidak
selalu menunjukkan penurunan dari nilai turbiditas awal. Nilai turbiditas terendah
yang dicapai pada kecepatan pengadukan 200 rpm hanyalah 4,86.
Kondisi selanjutnya akan dibahas adalah pada kecepatan pengadukan 200
rpm. Pengadukan pada dasarnya dilakukan untuk memperbanyak peristiwa kolisi
atau tumbukan antara partikulat koloid dan koagulan. Peristiwa tumbukan ini akan
menyebabkan partikulat koloid akan terikat dengan ion koagulan dan membentuk
senyawa yang stabilitas partikelnya rendah. Pengadukan juga dapat memperkecil
partikel koagulan sehingga akan memungkinan partikel koagulan untuk berikatan
dengan partikulat koloid menjadi lebih besar. Partikel koagulan berukuran kecil
ini barulah akan bekerja dengan baik jika partikulat koloid yang ada untuk diikat
berjumlah banyak atau setidaknya dalam jumlah yang memadai.
Air sampel yang digunakan memiliki nilai turbiditas awal 3,91 NTU dan
hal ini menunjukkan partikulat koloid hadir dalam jumlah yang sedikit di dalam
sampel air. Partikel koagulan yang telah berubah menjadi partikel-partikel kecil
23
tidak akan sepenuhnya dapat mengikat partikel koloid dan akan menyisahkan
banyak partikel koagulan yang tidak berikatan dan tidak berubah menjadi flok.
Partikel menjadi terlalu kecil untuk disaring dengan kertas filter yang tersedia dan
akibatnya air menjadi keruh bukan karena partikulat koloid, tetapi karena partikel
koagulan di dalam sampel. Turbidity meter akan mendeteksi partikel koagulan ini
sebagai kekeruhan. Alasan tersebut yang menjadi penyebab nilai turbiditas yang
tinggi untuk kecepatan pengadukan 200 rpm.
Kondisi optimum pada proses koagulasi-flokulasi air sampel ini dicapai di
penambahan 2 mL koagulan dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Kondisi ini
merupakan kondisi optimum untuk proses koagulasi-flokulasi air sampel. Kondisi
juga menunjukkan bahwa jumlah koagulan yang ditambahkan tidak proporsional
dengan nilai turbiditas air sampel. Nilai kekeruhan yang terkecil dapat dicapai jika
jumlah koagulan yang ditambahkan proporsional terhadap konsentrasi partikulat
koloid yang terkandung di dalam sampel air.
Tingkat keasaman dari air limbah juga merupakan salah satu variabel yang
perlu untuk diamati karena tingkat keasaman juga menjadi faktor penentu kualitas
air. Tingkat keasaman air sampel menunjukkan angka 7,25 yang berarti pH air
sumur masih berada pada kisaran nilai pH normal air yaitu 7. Proses koagulasi-
flokulasi biasanya digunakan untuk menghilangkan koloid dan menurunkan BOD
dan COD dari dalam air, selain itu perlu diketahui pengaruh koagulasi-flokulasi
terhadap tingkat keasaman dari air yang diproses.
Gambar 4.1. menunjukkan secara jelas bahwa terdapat penurunan pH air
sampel setelah kondisi optimum pada penambahan sebanyak 2 mL koagulan dan
pengadukan 100 rpm telah tercapai. Kondisi ini disebabkan karena tawas pada
dasarnya mempunyai sifat asam. Koagulan yang telah selesai mengikat partikulat
koloid dan menyisakan partikel koagulan yang tidak berikatan. Partikel koagulan
yang tidak berikatan ini lalu akan bereaksi dengan molekul air, membentuk
senyawa Al(OH)3 dan H2SO4. Asam sulfat tidak akan terbentuk dalam jumlah
yang besar tetapi kehadiran asam sulfat akan cukup untuk mempengaruhi pH air.
Kehadiran Al(OH)3 akan membawa dampak bagi tingkat keasaman air sampel.
Asam sulfat tergolong ke dalam golongan asam kuat maka kehadiran asam sulfat
24
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1) Air sampel dimurnikan dengan penambahan koagulan, pengadukan cepat
dan lambat, serta penyaringan.
2) Proses koagulasi-flokulasi dengan jumlah penambahan koagulan tawas 1
dan 2 mL akan menaikkan pH air ssampel.
3) Pengadukan 200 rpm akan menaikkan kekeruhan dan menurunkan pH air
sampel.
4) Proses koagulasi-flokulasi dengan jumlah penambahan koagulan tawas 1
dan 2 mL dapat menurunkan nilai turbiditas air sampel.
5) Partikulat koloid akan menyebabkan kekeruhan dan mempengaruhi pH air
sampel.
6) Proses koagulasi-flokulasi dengan kadar koagulan tawas yang berlebihan
akan menurunkan pH air sampel.
7) Jumlah pemberian koagulan harus sesuai dengan konsentrasi koloid dalam
air yang akan dimurnikan.
8) Semakin banyak koagulan tawas yang ditambahkan bukan berarti nilai ke-
keruhan air sampel akan semakin berkurang
9) Proses koagulasi-flokulasi dengan jumlah penambahan koagulan tawas di-
atas 2 mL akan menaikkan nilai turbiditas air sampel.
10) Tingkat keasaman air akan bergantung pada unsur penyusun partikel
koloid di dalam air.
5.2. Saran
1) Sebelum melakukan pemurnian air dengan koagulasi-flokulasi, usahakan
untuk mengetahui tingkat kekeruhan air yang akan dimurnikan.
2) Jangan tambahkan tawas/koagulan terlalu banyak untuk air yang tidak
terlalu keruh hal tersebut akan menurunkan kualitas air.
3) Jika tawas ditambahkan ke dalam air untuk keperluan sehari-hari maka
usahakan menormalkan pH air sebelum dipakai untuk menjaga kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
3. Menghilangkan Mikroorganisme
Protozoa, bakteri, virus, alga, dan mikroorganisme lain adalah musuh bagi
proses pengolahan air, khususnya untuk industri yang mengolah air untuk menjadi
air minum. Mikroorganisme pasti akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi
kesehatan. Mikroorganisme juga akan membawa dampak buruk untuk air proses.
Bakteri dapat menimbulkan reaksi di dalam air sehingga air akan menjadi bau.
Alga dan protozoa juga bisa hidup dan berkembang dalam air pendingin dan juga
akan berdampak buruk bagi peralatan di dalam heat exchanger (Christensen dan
Li, 2014). Alasan tersebut yang menyebabkan pentingnya menghilangkan dan
membunuh mikroorganisme sebelum air dapat dipakai.
Proses yang paling tepat untuk menghilangkan dan membunuh
mikroorganisme adalah proses koagulasi-flokulasi (Suriawiria, 1996). Koagulan
yang ditambahkan akan mengikat mikroorganisme selama proses pembentukan
flok. Alasan ini menyebabkan bakteri dan mikroorganisme lain dapat dihilangkan
dengan metode koagulasi-flokulasi (Borchate dkk, 2014).
Koagulan merupakan bahan kimia atau zat kimia yang dibutuhkan untuk
membantu proses koagulasi dalam suatu larutan dimana terdapat koloid-koloid di
dalamnya. Koloid-koloid tersebut akan di destabilisasikan dan diendapkan oleh
koagulan. Kekeruhan dan warna pada suatu larutan juga dapat dihilangkan dengan
penambahan zat kimia koagulan (Kasdadi, 2016). Koloid yang ada dalam larutan
dapat diklasifikasikan memiliki dua jenis sifat berlawanan yang terdiri dari koloid
hidrofobik dan koloid hidrofilik (Brown dkk, 2009).
Koloid hidrofobik adalah jenis partikulat koloid yang biasanya memiliki
muatan negatif dan sifat dispersinya distabilisasi oleh suatu gaya tolak
elektrostatik. Koloid hidrofilik merupakan partikulat koloid berasal dari aktifitas
biologis yang memiliki sedikit muatan negatifnya dan sifat dispersinya akan
distabilisasi dengan hidrasi dan dengan gaya tarik antar partikel air (Weiner dan
Matthews, 2003). Klasifisikasi koloid yang berbeda-beda itulah membuat jenis
koagulan yang digunakan untuk mendestabilisasi koloid juga tentu berbeda.
1. Koagulan Hidrofilik
Koloid hidrofilik ini adalah partikulat-partikulat yang berasal dari aktifitas
biologis dan unsur biologis seperti gelatin, pati, dan protein. Partikulat ini
dikategorikan stabil secara termodinamis. Partikulat-partikulat ini akan bereaksi
secara spontan dalam air untuk membentuk koloid (Weiner dan Matthews, 2003).
Produk olahan pangan berbasis curd yang berasal dari kedelai atau biasa dikenal
dengan nama tahu. Penyebab keragaman tekstur curd itu karena pembuatan curd
dengan proses gelasi protein atau proses koagulasi protein (Karsono dkk, 2012).
Proses koagulasi protein tergolong aktifitas biologis, sehingga koloidnya
didestabilisasikan dengan penambahan koagulan hidrofilik pada proses. Gelatisasi
protein terjadi ketika koagulan dimasukkan ke dalam sari kedelai (Obatulu, 2007).
Jenis koagulan yang ditambahkan pada proses ini adalah Glucono Delta Lactone
(GDL) agar menghasilkan curd yang lembut seperti jeli dan koagulan whey tahu
agar menghasilkan tahu yang lebih keras dan beremah. Banyak sekali koagulan
yang sering digunakan untuk koagulasi protein yang memiliki koloid hidrofilik.
Koagulan tersebut diantaranya adalah pada pembuatan tahu umum meng-
gunakan koagulan garam seperti CaCl2, CaSO4, dan MgCl2. Koagulan asam seperti
asam asetat dan juga Glucono Delta Lactone (GDL). Koagulan alam yang dipakai
adalah belimbing wuluh, jeruk nipis, dan larutan kitosan (Chang, 2006). Hasil
penelitian menunjuk-kan bahwa penggunaan koagulan alami seperti belimbing
wuluh, jeruk nipis, dan larutan kitosan menghasilkan produk dengan yield dan
kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan koagulan CaSO4 (Supriyanti, 2016).
Proses koagulasi lateks adalah proses yang sangat penting dalam proses
pengolahan karet alam menggunakan koagulan ekstrak gadung (Fauzi dkk, 2010).
Penggunaan enzim rennet yang diperoleh di dalam lambung anak sapi digunakan
sebagai koagulan yang umum digunakan pada proses pembuatan keju (Supriyanti,
2016). Proses koagulasi dalam industri pembuatan tahu merupakan tahap yang
menentukan kualitas tahu dan susu kedelai. Proses umumnya memanfaatkan jenis
koagulan alami seperti lemon, tamarind, garcinia, goosberry, markisa, ekstrak
rosella, ekstrak daun calotropis procera, withania, dan bubuk cangkang kerang,
belimbing wuluh, atau jeruk nipis (Wardhani dkk, 2016).
Berdasarkan proses koagulasi protein dalam pembuatan tahu, konsentrasi
koagulan Glucono Delta Lactone (GDL) dan whey yang ditambahkan dalam sari
kedelai serta suhu pada saat penambahan koagulan akan mempengaruhi kecepatan
proses koagulasi dan agregasi protein menjadi curd. Tingginya konsentrasi dan
suhu maka koagulasi dan agregasi akan berlangsung cepat. Kecepatan koagulasi
protein akan mempengaruhi banyak protein yang menyatu membentuk matriks
curd dan kemampuan matrik protein untuk mengikat komponen lain khususnya
air. Hal itulah mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan beragam membuat
profil proteinnya juga berbeda (Karsono dkk, 2012).
Proses pembuatan keju yang menggunakan koagulan enzim rennet. Enzim
rennet adalah enzim protease yang berasal dari lambung anak sapi yang berumur
3-4 minggu. Harganya cukup mahal dan tersedia dalam jumlah terbatas. Alternatif
lain pengganti koagulan enzim rennet yaitu menggunakan enzim papain dapat
menekan biaya produksi pada pembuatan cottage keju yang dihasilkan dari proses
fermentasi susu tanpa mematangkan dadih (Supriyanti dan Geantaresa, 2010).
2. Koagulan Hidrofobik
Koloid hidrofobik memiliki muatan negatif umumnya disebabkan karena
ada sifat fisik atau sifat kimia dari kandungan koloid seperti metal, oksida, sulfida
atau juga logam alkali dan alkali tanah. Koloid hidrofobik ini diklasifikasikan
sebagai jenis yang tidak stabil secara termodinamis atau irreversible, yang berarti
jika diberikan waktu yang cukup maka partikulat koloid jenis ini akan mengendap
walaupun waktu sangat lama (Weiner dan Matthews, 2003). Contoh koagulan
untuk koloid hidrofobik yaitu kitosan yang termasuk koagulan alami berasal dari
limbah udang berupa kulit, kepala, ekor yang mengandung senyawa kimia berupa
kitin. Kitosan digunakan sebagai absorben untuk menyerap logam berat seperti
seng, kobalt, kromium, tembaga, nikel dan besi. Koagulan hidrofilik yang
biasanya digunakan untuk penjernihan air yaitu biji kelor karena mengandung
protein dengan cara adsorpsi dan membuat jembatan antar partikel. Biji asam
jawa, biji kecipir juga tergolong sebagai koagulan hidrofobik karena digunakan
untuk menjernihkan air limbah yang sangat kotor (Nurhasni, 2015).
Limbah semi konduktor dapat diolah dengan koagulan tepung jagung yang
telah diekstrak (Fatehah, 2007). Koagulan biji anggur bisa digunakan untuk
menghilangkan zat warna pada limbah tekstil. Pengolahan limbah kaolin dapat
menggunakan koagulan ekstrak Phaseolus vulgaris atau buncis. Limbah cair kota
dan air sungai menggunakan koagulan ekstrak tannin atau senyawa polifenol yang
berasal dari tumbuhan. Menurunkan kadar zat warna congo red dalam limbah
tekstil dapat menggunakan koagulan alami seperti biji kelor, kitosan, dan ekstrak
jagung. Koagulan untuk koloid hidrofobik juga yang umumnya banyak digunakan
berasal dari koagulan kimia seperti alum sulfat, poly aluminium chloride (PAC),
ferro sulfat (FeSO4), dan besi (III) klorida atau ferri klorida (Effendi dkk, 2013).
Alasan utama bagusnya penggunaan koagulan alami seperti kitosan
dibandingkan koagulan sintetik seperti PAC, jika digunakan terus-menerus
pastinya akan menimbulkan dampak negatif karena koagulan akan terakumulasi
didalam tubuh ketika proses pengolahan air danau. Parameter yang biasanya
digunakan untuk penelitian kualitas air yaitu turbiditas, kadar logam, Biological
Oxygen Demand (BOD), Dissolved Oxygen (DO), dan pH (Nurhasni, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Brown, T.L., H. E. Lemay, B. E. Bursten, dan C.J. Murphy. 2009. Chemistry the
Central of Science 11 th ed. New Jersey: Pearson Uducation International.
Chang, K. C. 2006. Chemistry and Technology of Tofu Making in Hui YH eds
Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. CRC Press:
Boca Raton.
Effendi, A. K., dan Prihatinningtyas, E. 2013. Aplikasi Koagulan Alami dari
Tepung Jagung dalam Pengolahan Air Bersih. Jurnal Teknosains. Vol.
2(2): 71-158.
Fatehah. 2007. Semiconductor Wastewater Treatment: with Natural Starch as
Coagulant Using Responce Surface Methodology. Malaysia: Universiti
Teknologi Malaysia.
Fauzi, A., Ali, F., dan Sihombing, A. 2010. Koagulasi Lateks dengan Ekstrak
Gadung. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 17(3): 8-16.
Karsono, Y., Syah, D., Faradilla, R. H. F., dan Trisna, V. 2012. Pengaruh
Koagulan dan Kondisi Koagulasi terhadap Profil Protein Curd Kedelai
serta Korelasinya terhadap Tekstur. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
Vol. 23(1): 94-99.
Kasdadi, F. H. 2016. Jenis Koagulan dan Koagulan Aid. (Online).
https://banyubiru berkahsejati.co.id/jenis-koagulan-dan-aid/. (Diakses
pada tanggal 23 September 2019).
Amirtharajah, A., dan O’Melia, C. R. 1990. Water Quality and Treatment AWWA,
5th Edition. Denver: American Water Works Association.
Ampera, M. P. J. 2018. Penurunan Kekeruhan Air Baku Ipa Badak Singa dengan
Penggunaan Koagulan PAC dan Plat Alumunium pada Proses Koagulasi-
Elektrokoagulasi. [SKRIPSI]. Bandung (IDN). Universitas Pasundan.
Black, A. P. 1960. Basic Mechanisms of Coagulation. Proceeding of Annual
Conference. San Francisco. April 1960: 492-504.
Borchate, S. S., Kulkarni G. S., Kore V. S., dan Kore S. V. 2014. A Review on
Applications of CoagulationFlocculation and Ballast Flocculation for
Water and Wastewater. International Journal of Innovations in
Engineering and Technology (IJIET). Vol. 4(4): 216-223.
Hambali, M., Wijaya, E., dan Reski, A. 2017. Pembuatan Kitosan dan
Pemanfaatannya Sebagai Agen Koagulasi-Flokuasi. Jurnal Teknik Kimia.
Vol. 23(2): 104-113.
Langbein, D. 1974. Theory of Van der Waals Attraction. Springer-Verlag: New
York.
McNaught, A. D., and Wilkinson, A. 1997. Compendium of Chemical
Terminology, 2nd ed. (the "Gold Book"). (Online).
https://goldbook.iupac.org/terms/view/V06597. (Diakses pada tanggal 22
September 2019).
Nugroho, W. A. 2009. Optimasi Penggunaan Koagulan pada Pengolahan Air
Limbah Batubara. [SKRIPSI]. Depok (IDN). Universitas Indonesia.
Nurlina, Zahara, T. A., Gusrizal, dan Kartika, I. D. 2015. Efektivitas Penggunaan
Tawas dan Karbon Aktif pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu.
Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat. Pontianak.
2015: 690-699.
Schmidt-Ott, A., dan Burtscher, H. 1982. The Effect of van der Waals Forces on
Aerosol Coagulation. Journal of Colloid and Interface Science. Vol. 89(2):
353-357.