KOAGULASI-FLOKULASI
LABORATORIUM TEKNIK SEPARASI DAN PURIFIKASI
DISUSUN OLEH:
1
2
1.3. Tujuan
1) Mengetahui prinsip kerja dari koagulasi-flokulasi.
2) Mengetahui pengaruh derajat keasaman sampel saat sebelum dan sesudah
penambahan tambahkan koagulan.
3) Mengetahui pengaruh turbidity sampel saat sebelum dan sesudah
penambahan tambahkan koagulan.
4) Mengetahui cara dan proses mengukur pH meter dan turbidity meter
1.4. Manfaat
1) Mampu mengetahui derajat keasaman, turbiditas, dan absorbansi
kandungan mangan sampel.
2) Mampu memahami proses koagulasi-flokulasi dengan baik.
3) Mampu mengetahui hubungan antara konsetrasi dan absorbansi dengan
persamaan regresi.
4) Mampu memahami dan mengoperasikan alat pH meter dan turbidity meter
pada proses koagulasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
berbasis logam Al dan Fe sudah dikenal dan digunakan secara luas dalam
pengolahan air. Garam aluminium dan besi akan membentuk gelatin hidroksida
logam yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan partikel-partikel pada
koloid. Koloid akan terbentuk flok yang akan di sedimentasikan (Yuliati, 2006) .
Proses pada jenis limbah cair tekstil, salah satunya limbah yang memiliki
karakteristik bening, proses koagulasi-flokulasi tidak bisa diterapkan dengan baik
karena larutan yang bening miskin akan partikel-partikel materi tersuspensi pada
pembentuk koloid. Proses ini perlu dilakukan secara bertahap yakni dengan terlebih
dahulu menaikkan kandungan partikel-partikel tersuspensi melalui penambahan
pada tanah lempung yang ada (Zikri dkk, 2016).
Menurut Yuliati (2006) menyatakan bahwa ketidakstabilan pada sistem
koloid akibat penetralan muatan akan menurunkan besarnya gaya tolak menolak
antar partikel-partikel koloid tersebut. Pengaruh mendorong pembentukan partikel,
harus diambil langkah-langkah tertentu mengurangi muatan partikel. Pengaruh
muatan pada koagulasi-flokulasi yang dapat mengatasinya dengan:
1) Penambahan ion
2) Penambahan bahan kimia
Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid,
suspended solid halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan
cepat untuk mendispersikan bahan kimia secara merata. Suspensi pada koloid tidak
mengendap bersifat stabil dan terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena
mempunyai gaya elektrostatis yang diperolehnya dari ionisasi bagian permukaan
serta absorpsi ion-ion dari larutan sekitar (Sohrabi dkk, 2018).
. Proses yang saat terjadi kontak antara molekul polimer dengan partikel
koloid, beberapa dari kelompok kimia pada polimer terserap ke permukaan partikel,
meninggalkan molekul polimer yang tersisa pada larutan. Proses yang terjadi
kontak antar molekul polimer yang tersisa dengan partikel kedua yang memiliki
permukaan adsorbsi yang kosong, maka akan terjadi ikatan. Partikel polimer
komplek akan terbentuk dengan polimer sebagai penghubung proses koagulasi pada
pengolahan air limbah, apabila kekuatan ionik dalam air sangat kecil sehingga
menyebabkan kondisi koloid stabil. Koloid umumnya susah saling berikatan,
karena memiliki muatan yang sama (Wirandani, 2017).
Sifat partikel selalu dalam keadaan stabil, hal ini disebabkan karena muatan
antar patikel sama sehingga terjadi gaya tolak menolak. Sifatnya tersebut maka
partikel koloid akan selalu menyebabkan kekeruhan dan sulit untuk dipisahkan
dengan cara penyaringan maupun pengendapan. Cara untuk dapat memperbesar
ukuran partikel tersebut salah satunya menetralkan muatan partikel dengan jalan
menambahkan larutan kimia tertentu, sehingga partikel koloid akan membentuk
suatu gumpalan atau flok (Metcalf dan Eddy, 2004).
Menurut Sohrabi (2018), menyatakan bahwa untuk merangsang partikel
koloid agar dapat bergabung membentuk gumpalan yang lebih besar diperlukan dua
cara, yaitu partikel harus didestabilisasikan dan dipindahkan. Destabilisasi partikel
dapat dicapai melalui cara penekanan lapisan ganda listrik, penyerapan untuk
netralisasi, penjeratan pada presipitasi, dan pembentukan antar partikel.
Penekanan lapisan ganda listrik dan penetralan dikategorikan sebagai proses
koagulasi, sedangkan penjeratan dan pembentukan antar partikel sebagai flokulasi.
Destabilisasi partikel dengan cara penekanan dapat dicapai melalui penambahan
elektrolit muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Dasar dari
mekanisme ini adalah bahwa interaksi dari koagulan dengan partikel koloid terjadi
karena efek berasal dari elektrostatik, ion sejenis dengan partikel koloid akan saling
tolak menolak satu sama lain, sedangkan pada partikel yang muatannya berlawanan
akan sama-sama saling tarik menarik. Ikatan valensi yang bersal dari koagulan
mengandung energi positif yang akan mencari partikel negatif ialah yang berasal
dari partikel negatif koloid, sehingga terjadi proses tarik menarik (Yuliati, 2006).
6
menghasilkan inti flok yang lain dari proses koagulasi dan flokulasi sangat
tergantung dari dosis koagulasi yang dibutuhkan bila pembubuhan koagulan sesuai
dengan dosis yang dibutuhkan maka pada proses pembentukan inti flok akan
berjalan dengan baik. Faktor selanjutnya ialah pada pengadukan yang dimana
tujuan pada pengadukan adalah untuk mencampurkan koagulan ke dalam air.
Faktor pengadukan hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengadukan harus benar-
benar merata, sehingga pada semua koagulan yang sedang dibubuhkan dapat
bereaksi dengan partikel-partikel atau ion-ion yang berada dalam air. Pada tingkat
kekeruhan yang rendah proses destibilisasi akan sukar terjadi.
2.5. Koagulan
Koagulan adalah senyawa yang memiliki kemampuan untuk menetralkan
muatan koloid dalam sebuah cairan dan mengikat partikel koloid sehingga
membentuk endapan berupa flok atau gumpalan (Sahu, 2013), koagulan juga dapat
diartikan sebagai bahan kimia yang dimasukkan ke dalam air untuk menghasilkan
efek koagulasi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam suatu koagulan, yaitu:
1) Kation bervalensi tiga (trivalent)
2) Tidak beracun
3) Tidak larut dalam kisaran pH netral
Bahan kimia yang digunakan sebagai koagulan adalah kapur, alum, dan
polielektrolit (organik sintesis) (Hammer, 1986). Polielektrolit dapat berupa kation,
anion, nonionik dan Miccellaneous (Sahu dan Chaudhari, 2013). Garam-garam besi
seperti feri klorida (FeCl3) dan besi sulfat (Fe2(SO4)3.H2O) dapat dipergunakan pula
sebagai koagulan (Metcalf dan Eddy, 2004). Alumunium sulfat dan poly alumunium
chloride (PAC) merupakan koagulan anorganik dengan produksi terbanyak. Bahan
koagulan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1) Aluminium sulfat Al2(SO4)3
2) Ferro sulfat: FeSO4
3) Ferri sulfat: Fe2(SO4)3
4) Natrium aluminat: NaAlO2
5) Ferro chloride: FeCl2
6) Ferri chloride: FeCl3
8
dengan aluminium sulfat. Harga dari senyawa logam biasanya lebih murah dari
pada tawas, tetapi senyawa logam biasanya bersifat korosif dan akan menimbulkan
beberapa kesulitan dalam proses pelarutannya, dan penggunaannya kemungkinan
menghasilkan konsentrasi logam yang tinggi di aliran prosesnya.
Garam metal paling banyak digunakan sebagai koagulan termasuk ferri
sulfat, ferri klorida, dan ferro sulfat. Senyawa-senyawa ini dapat menghasilkan
koagulasi yang baik saat kondisinya terlalu asam. Partikel-partikel koloid dapar
dihilangkan dengan sangat baik pada saat kondisinya asam, dan senyawa logam
memberikan hasil yang lebih baik lagi. Banyak produk hidrolisis merupakan
senyawa kation dan dapat berinteraksi dengan koloid negatif, menghasilkan proses
demineralisasi dan koagulasi, dibawah kondisi dan pH yang tepat. Fe (III) memiliki
kadar kelarutan terbatas pada saat pH netral, hal ini disebabkan oleh pengendapan
dari hidroksida yang tidak berbentuk (Sahu dan Chaudhari, 2013).
2.7. Koloid
Koloid merupakan suatu campuran berfase dua, yaitu: fase pendispersi dan
fase terdispersi dengan ukuran partikel terdispersi berkisar antara 1 nm sampai
dengan 100 nm. Sistem koloid merupakan suatu bentuk campuran yang keadaannya
terletak antara larutan dan suspensi (campuran kasar). Istilah koloid berasal dari
bahasa Yunani, yaitu “kolla” dan “oid” (Mose, 2014). Kolla berarti lem sedangkan
oid berarti seperti. Koloid adalah campuran heterogen dan merupakan sistem dua
fase. Dua fase ini meliputi zat terlarut sebagai partikel koloid atau yang sering
dikenal dengan fase terdispersi serta zat yang merupakan fase kontinu dimana
partikel koloid terdispersi yang disebut medium pendispersi. Besar ukuran pada
partikel koloid memiliki diameter berkisar antara 1-100 nm.
Sistem koloid terdiri atas dua fasa, yaitu fasa terdispersi dan fasa pendispersi
(medium disperse). Sistem koloid dapat dikelompokkan berdasarkan jenis fasa
terdispersi dan fasa pendispersinya (Pratiwi, 2014). Beberapa jenis koloid, yaitu sol,
emulsi, dan buih. Sol adalah jenis koloid dengan fase terdispersi padat. Sol
dibedakan menjadi sol padat, sol cair dan sol gas. Emulsi adalah campuran dari dua
jenis koloid dengan fase terdispersi cair. Emulsi memiliki tiga jenis, yaitu
emulsiipadat (gel), emulsi cair, dan emulsi gas (aerosol). Buih adalah koloid dengan
10
fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair atau zat padat. Buih
merupakan jenis koloid dengan fase terdispersi gas. Buih dibedakan menjadi buih
padatan dan buih cair. Buih padat adalah sistem koloid dengan fase terdispersi das
dan dengan medium pendestrasi di bawah dengan mengetahui konversi besar.
Menurut Mose (2014) terdapat beberapa sifat fisik yang membedakan
koloid dengan larutan sejati, salah satunya adalah efek Tyndall (hamburan cahaya).
Efek tyndall dapat digunakan untuk membedakan koloid dari larutan, sebab atom,
molekul atau ion yang membentuk larutan tidak dapat menghamburkan cahaya
akibat ukurannya terlalu kecil. Efek Tyndall oleh suatu campuran menunjukan
bahwa campuran tersebut adalah suatu koloid, dimana ukuran partikelnya lebih
besar dari ukuran partikel dalam larutan, sehingga dapat menghamburkan cahaya.
Sifat fisik yang membedakan koloid dengan larutan sejati adalah gerak
Brown. Partikel-partikel koloid akan tampak dalam larutan apabila mikroskop optik
diarahkan pada suatu dispersi koloid dengan arah tegak lurus terhadap berkas
cahaya yang dilewatkan. Partikel koloid bergerak terus-menerus secara acak
dengan arah yang zig-zag. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti bintik-bintik
cahaya pada saat melihat di mikroskop. Gerak partikel ini disebut dengan gerak
Brown. Gerakan acak dari partikel atau disebut juga dengan gerakan Brown
diakibatkan oleh tumbukan antarpartikel yang tidak merata (Gregory dkk, 2001).
Sifat fisik lainnya dari koloid adalah adsorpsi. Adsorpsi terjadi apabila
partikel-partikel sol padat ditempatkan dalam zat cair atau gas sehingga partikel-
partikel zat cair atau gas tersebut akan terakumulasi pada permukaan zat padatnya.
Partikel koloid sol memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi partikel-partikel pada
permukaannya, baik partikel bermuatan (kation atau anion) ataupun partikel netral
karena memiliki permukaan yang sangat luas (Mose, 2014).
Partikel koloid merupakan partikel diskrit yang terdapat dalam suspensi air
baku, dan partikel inilah yang merupakan penyebab utama kekeruhan. Partikel
koagulan yang mampu menyerap koloid, hanya saja dengan praktukum tidak pakai
PAC . Stabilitas koloid tergantung pada ukuran koloid serta muatan elektrik
yang dipengaruhi oleh kandungan kimia, pada koloid dan media dispersi seperti
kekuatan ion, pH dan kandungan organik dalam air (Rachmawati dkk, 2009).
11
2.9. Sedimentasi
Pengendapan yang dilakukan setelah tahapan proses koagulasi-flokulasi
disebut sedimentasi. Tahapan sedimentasi dilakukan untuk mengendapkan flok-
flok yang telah terbentuk pada proses koagulasi-flokulasi. Tujuan dilakukannya
sedimentasi adalah untuk memisahkan antara flok dengan air yang sudah bersih.
Sedimentasi dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda-beda.
Setiap molekul memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk mengendap.
Kecepatan pengendapan dipengaruhi oleh massa jenis flok. Semakin berat massa
jenis flok yang terdapat dalam air, maka waktu pengendapannya akan semakin
cepat. Hal ini berhubungan dengan gaya gravitasi. Massa jenis flok yang ringan
akan membuat proses pengendapan menjadi lama.
Sedimentasi, umumnya digunakan pada pengolahan air minum, pengolahan
air limbah, dan pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan. Pengolahan air minum,
terapan sedimentasi khususnya untuk pengendapan air permukaan, khususnya
pengolahan dengan filter pasir cepat, pengendapan flok hasil koagulasiflokulasi,
khususnya degnan disaring dengan filtrasi(Reynolds dkk, 1996).
12
13
14
Koagulan 1gram
disiapkan dan dilarutkan
dengan 100ml aquadest.
Kecepatan Parameter
Volume
Pengadukan Turbiditas
Koagulan (mL) pH
(rpm) (NTU)
7
6
5
4
pH
3
2
1
0
0 1 2 Dosis Koagulan
3 (mL) 4 5 6
Gambar 4.1. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap pH air sumur pada kecepatan
pengadukan 100 rpm
16
80
70
Turbiditas (NTU) 60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6
Dosis Koagulan (mL)
Gambar 4.2. Pengaruh Dosis Koagulan Terhadap turbiditas air sumur pada kecepatan
pengadukan 100 rpm
17
18
4.3. Pembahasan
Praktikum koagulasi dan flokulasi membahas mengenai proses pemurnian
atau penghilangan zat pengotor dari air limbah yang ingin diteliti. Air limbah yang
digunakan merupakan air sumur yang berasal dari sumur daerah Gandus. Air
tersebut memiliki tingkat kekeruhan yang cukup besar yakni turbiditas sebesasr 173
NTU. Termasuk kedalam kategori air yang tidak sehat karena masih mengandung
banyak impuritis, kadar Chemical Oxygen Demand (COD), serta kadar Biochemical
Oxygen Demand (BOD). Kadar zat pengotor yang cukup tinggi pada air perlu
dilakukan proses koagulasi dan flokulasi sehingga dapat membersihkan impuritis
atau zat pengotor dari air limbah yang bebentuk koloid.
Analisis air limbah sebelum ditambahkan dengan koagulan seperti analisa
pH dan turbiditas atau kekeruhan air. Hasil analisa pH air mendapatkan angka
sebesar 6,95 yang cukup mendekati dengan pH air normal. Analisa air setelah
penambahan koagulan berupa tawas didapatkan data pada Tabel 4.2. Pengukuran
dilakukan saat setelah proses pengendapan atau sedimentasi agar terlihat perbedaan
setelah ditambakan dengan koagulan dan proses pengandukan menggunkan alat jar
test. Pengukuran dilakukan setelah sedimentasi diharapkan flok mengendap.
Pengukuran pH setelah ditambahkan dengan koagulan menunjukan
penurunan pH yang mengindikasikan bahwa air hasil koagulasi-flokulasi semakin
asam. Penambahan koagulan sebanyak 2 mL menyebabkan penurunan pH air
limbah yang cukup signifikan, hasil dari data menunjukan bahwa pH menurun
sebanyak 1,3. Penurunan dari pH tersebut disebabkan koagulan tawas yang telah
memiliki rumus kimia Al2(SO4)3 atau alumunium sulfat yang bersifat asam,
sehingga penambahan koagulan yang semakin banyak akan menurunkan pH
semakin besar pula. Tingkat keasaman yang tinggi membuat air tidak sehat.
Hasil analisa turbiditas air limbah menunjukan bahwa penambahn koagulan
sebanyak 4 mL memiliki nilai kekeruhan yang paling sedikit yakni sebesar 8,64
NTU. Penambahan koagulan sebanyak 5 mL memiliki nilai turbiditas yang lebih
besar yakni sebesar 10,22 NTU, hal tersebut mengindikasikan bahwa dosis
optimum koagulan tawas berada pada percobaan ke empat. Dosis yang berlebihan
atau melewati kadar optimum akan membuat koagulan menjadi impuritis di dalam
air yang dibersikan. Dosis koagulan yang tepat ketika tawas sama dengan pengotor.
19
5.1. Kesimpulan
1) Prinsip kerja dari koagulasi-flokulasi adalah penambahan koagulan yang
dilanjutkan dengan proses pengadukan sehingga flok terbentuk.
2) Air sumur yang belum diberikan koagulan memiliki pH yang lebih besar
dibandingkan dengan air yang sudah diberikan koagulan. Koagulan
memiliki sifat yang asam karena mampu memperkecil pH air sumur.
3) Semakin tepat dosis koagulan yang diberikan, maka turbidity atau
kekeruhan dari air akan semakin kecil. Semakin tepat dosis koagulan yang
diberikan kepada air sumur, maka air akan menjadi semakin jernih.
4) Koagulan memiliki dosis optimum yaitu jumalah koagulasi sama dengan
jumlah koloid. Air yang diberikan koagulan dengan dosis yang melebihi
dosis optimum akan memiliki kualitas yang lebih buruk, karena apabila
koagulan melewati dosis optimum, maka koagulan akan menjadi pengotor
dalam air.
5) Proses sedimentasi dilakukan setelah proses koagulasi-flokulasi. Hal ini
dilakukan untuk mengendapkan flok yang terbentuk dari proses koagulasi-
flokulasi.
6) Efisiensi koagulasi dipengaruhi oleh koagulan yang diberikan, kecepatan
pengadukan, dan lama waktu pengendapan.
5.2. Saran
1) Praktikan harus lebih cepat dalam melakukan percobaan, sehingga dapat
memiliki lebih banyak data dan lebih banyak hasil analisa yang didapat.
2) Praktikan harus lebih teliti dalam menimbang tawas dan mengukur volume
setiap bahan, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan dalam analisa dapat
diperkecil.
20
DAFTAR PUSTAKA
Benefield, D.L., F.J. Indkins, dan L.B. Weand. 1982. Process Chemistry for Water
and Wastewater Treatment. Prentice-Hall Inc: New Jersey.
Gregory, John, Duan Jinming. 2001. Hydrolyzing Metal Salts as Coagulants. Pure
and Applied Chemistry. Vol. 73(12): 2017-2026.
Metcalf dan Eddy, Inc. 2004. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse. Ed.
IV. McGraw-Hill: Singapura.
Mose, Y. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Predict-Observe-Explain (POE) pada
Materi Koloid untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan
Keterampilan Proses Sains Siswa. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.
Pertiwi, Y. dan Notodarmojo S. 2014. Pemanfaatan Alum dari Limbah Buffering
Sebagai Koagulan untuk Menyisihkan Kekeruhan dan Total Suspended
Solid (TSS). Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 20(1): 48-57.
Pratiwi, A. E. 2014. Pengembangan Buku Suplemen Kimia BErorientasi Sains
Teknologi Masyarakat (STM) pada Materi Koloid. Universitas Isalm
Negeri:Jakarta.
Rahimah, Z., Heldawati, H. Syauqiah, H. 2016. Pengolahan Limbah Deterjen
dengan Metode Koagulasi Flokulasi Menggunakan Koagulan Kapur dan
PAC. Jurnal Konversi. Vol. 5(2): 13-19.
Rachmawati S.W., Iswanto B., dan Winarni. 2009. Pengaruh pH pada Proses
Koagulasi dengan Koagulan Aluminium Sulfat dan Ferri Klorida. Jurnal
Teknik Lingkungan. Vol. 5(2): 41-43.
Reynolds, Ton D. dan Richards, Paul A. 1996. Unit Operations and Processes in
Environmental Engineering, 2nd edition. Boston:PWS Publishing
Company.
Sahu, O.P. dan Chaudhari, P. K. 2013. Review on Chemical Treatment of Industrial
Waste Water. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 17(3): 242-243.
Sohrabi, Y., Ramihi S., Nafez A., Mirzaeni, N., Bagheri, A., Ghadiri, S. K., Rezaei,
S., dan Charganesh, S.S. 2018. Chemical Coagulation Efficiency in
Removal of Water Turbidity. International Journal Of Pharmaceutical
Research. Vol. 10(3): 189-192.
Vessilind, P. A. , Morgan, S. M., dan Heine, L. G. 2004. Introduction to
Environmental Engineering. USA: Cengage Learning.
Wirandani, M. Y., Sudarno, dan Purwono. 2017. Pengolahan Lindi Menggunakan
Metode Koagulasi Flokulasi Dengan Koagulan FeCl3 (Ferric Chloride) dan
AOPs (Advanced Oxidation Process) dengan FeH2O2. Jurnal Teknik
Lingkungan. Vol. 6(1): 1-17.
Weber, E.J. 1972. Physiochemical Processes for Water Quality Control. John
Willey & Sons Inc: Amerika Serikat.
Wolska, J. dan Marek, B. 2013. Methods For Boron Removal From Aqueous
Solutions. Wroclaw University of Technology. Vol. 3(10): 18-24.
Yuliati, S. 2006. Proses Koagulasi-Flokulasi pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT.
Capsugel Indonesia. Institus Pertanian Bogot, Bogor.
LAMPIRAN A
Rangkaian Alat