Anda di halaman 1dari 7

PEWARISAN MONOHIBRID

Nama : Inas Fahira Ramadani


NIM : B1A018135
Kelompok :5
Rombongan : C2
Asisten : Salsabila Pratiwi

LABORATORIUM GENETIKA DAN MOLEKULER


FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1.1. Perolehan F2 Persilangan Monohibrid
Kel/Romb Liar Ebony Jumlah
1/A1 5 20 25
1/A2 12 8 20
1/B1 12 8 20
1/B2 22 18 40
1/C1 5 0 5
1/C2 20 5 25
1/D1 13 7 20
1/D2 22 18 40

Tabel 1.2. Hasil F2 Persilangan Monohibrid Rombongan C2 dan Uji Chi-


Square
(O − E)2
Nisbah Fenotip Observed Expected X2 Hitung
E
3 Liar ¾ x 25 = (20 − 18,75)2
20 0,083
18,75 18,75
1 Ebony ¼ x 25 = (5 − 6,25)2
5 0,25
6,25 6,25
Total
25 0,33

Perhitungan :

Diketahui : n (jumlah fenotipe) = 2


α = 5% = 0,05
df = n – 1 = 2 – 1 = 1
Ditanya : XTabel?
Jawab : XTabel = 3,84

X2 Hitung ≤ XTabel → Diterima

X2 Hitung > XTabel → Ditolak

Berdasarkan perhitungan chi-square, diperoleh hasil X2 Hitung ≤ XTabel yaitu 0,33 ≤ 3,84
maka hasil dari perhitungan uji chi-square diterima, persilangan memenuhi nisbah
mendel.
B. Pembahasan
Monohibrid adalah persilangan antar dua spesies yang sama dengan satu sifat
beda. Persilangan monohibrid ini sangat berkaitan dengan hukum Mendel I atau yang
disebut dengan hukum segresi. Hukum ini berbunyi, “Pada pembentukan gamet untuk
gen yang merupakan pasangan akan disegresikan kedalam dua anakan. Mendel
pertama kali mengetahui sifat monohibrid pada saat melakukan percobaan
penyilangan pada kacang ercis (Pisum sativum). Persilangan monohibrid selalu
berlaku hukum Mendel I. Masa hidup Mendel belum diketahui sifat keturunan modern,
belum diketahui adanya sifat kromosom dan gen, apalagi asam nukleat yang membina
bahan genetik itu. Mendel menyebut bahan genetik itu hanya faktor penentu
(determinant) atau disingkat dengan faktor (Pai, 1992).
Lalat yang digunakan dalam persilangan monohibrid pada praktikum kali ini
yaitu lalat Drosophila melanogaster, untuk tipe jantannya adalah wildtype (liar) dan
untuk lalat betina tipenya mutan ebony. Lalat ebony mempunyai ciri-ciri warna tubuh
lebih hitam dibandingkan lalat betina tipe liar dan ruas-ruas tubuhnya renggang,
sedangkan lalat tipe liar memiliki warna tubuh lebih cerah, ruas-ruas tubuhnya lebih
rapat, dan pada ujung abdomennya berwarna hitam. Penggunaan dari spesies ini antara
lain kromosomnya yang hanya berjumlah 4 pasang sehingga variasi sifatnya masih
dapat teramati dan mudah dibudidayakan. Sementara tipe mutan yang digunakan pada
praktikum kali ini adalah ebony. Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk
membuktikan terjadinya hukum segregasi, dimana akan terjadi penurunan sifat
parental atau tidak. Jika hukum segregasi terjadi maka pasti akan ada keturunan yang
bersifat mutan seperti parentalnya (Ashburner, 1989).
Berikut pola persilangan monohibrid lalat tipe liar dan lalat ebony :
P: EE x ee
(Wild Type) (Ebony)
G: E e
F1: Ee

P: Ee x Ee
(Wild Type) (Wild Type)
G: E,e E,e
F2: E_ (Wild Type) & ee (Ebony)
Perbandingan Fenotipe = Wild Type : Ebony = 3:1
Perbandingan Genotipe = EE : Ee : ee = 1 : 2 : 1

Peristiwa yang menyebabkan terjadinya modifikasi nisbah 3 : 1, yaitu semi


dominansi, kodominansi, dan gen letal. Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu
gen dominan tidak menutupi pengaruh alel resesifnya dengan sempurna, sehingga
pada individu heterozigot akan muncul sifat antara (intermedier). Individu heterozigot
akan memiliki fenotipe yang berbeda dengan fenotipe individu homozigot dominan.
Generasi F2 tidak didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1, tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti
halnya nisbah genotipe. Contoh peristiwa semi dominansi dapat dilihat pada pewarisan
warna bunga pada tanaman bunga pukul empat (Mirabilis jalapa). Gen yang mengatur
warna bunga pada tanaman ini adalah M, yang menyebabkan bunga berwarna merah,
dan gen m, yang menyebabkan bunga berwarna putih. Gen M tidak dominan sempurna
terhadap gen m, sehingga warna bunga pada individu Mm bukannya merah, melainkan
merah muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm akan
menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah : merah muda : putih = 1 : 2
: 1 (Stansfield, 1991).

Peristiwa kodominansi akan menghasilkan nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada


generasi F2. Perbedaannya adalah kodominansi tidak memunculkan sifat antara pada
individu heterozigot, tetapi menghasilkan sifat yang merupakan hasil ekspresi masing-
masing alel. Kedua alel akan sama-sama diekspresikan dan tidak saling menutupi.
Peristiwa kodominansi dapat dilihat misalnya pada pewarisan golongan darah sistem
ABO pada manusia (lihat juga bagian pada bab ini tentang beberapa contoh alel
ganda). Gen IA dan IB masing-masing menyebabkan terbentuknya antigen A dan
antigen B di dalam eritrosit individu yang memilikinya. Pada individu dengan
golongan darah AB (bergenotipe IAIB) akan terdapat baik antigen A maupun antigen
B di dalam eritrositnya. Artinya, gen IA dan IB sama-sama diekspresikan pada individu
heterozigot tersebut (Stansfield, 1991).

Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian pada individu
homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa embrio atau beberapa saat setelah
kelahiran. Adakalanya pula terdapat sifat subletal, yang menyebabkan kematian pada
waktu individu yang bersangkutan menjelang dewasa. Dua macam gen letal, yaitu gen
letal dominan dan gen letal resesif. Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat
menimbulkan efek subletal atau kelainan fenotipe, sedangkan gen letal resesif
cenderung menghasilkan fenotipe normal pada individu heterozigot. Peristiwa letal
dominan antara lain dapat dilihat pada ayam redep (creeper), yaitu ayam dengan kaki
dan sayap yang pendek serta mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan
genotipe CpCp mengalami kematian pada masa embrio. Apabila sesama ayam redep
dikawinkan, akan diperoleh keturunan dengan nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) :
ayam normal (cpcp) = 2 : 1. Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp tidak pernah
ada. Gen letal resesif misalnya adalah gen penyebab albino pada tanaman jagung.
Tanaman jagung dengan genotipe gg akan mengalami kematian setelah cadangan
makanan di dalam biji habis, karena tanaman ini tidak mampu melakukan fotosintesis
sehubungan dengan tidak adanya khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau
kekuningan, sedang tanaman GG adalah hijau normal. Persilangan antara sesama
tanaman Gg akan menghasilkan keturunan dengan nisbah fenotipe normal (GG) :
kekuningan (Gg) = 1 : 2 (Stansfield, 1991).

Menurut Suryo (1990), perbandingan fenotip yang ditemukan dalam


persilangan monohibrid tidak sepenuhnya merupakan perbandingan yang pasti. Dalam
kejadian nyata terdapat penyimpangan atau deviasi. Perbandingan hasil persilangan di
dalam kenyataan berbeda atau memiliki selisih dengan perhitungan, maka dari itu
perlu diadakan evaluasi. Cara evaluasi tersebut adalah dengan mengadakan chi-square
test (χ2). Chi-square test adalah uji yang dibuat dengan tujuan data yang telah
didapatkan dari hasil pengamatan sesuai dengan nilai ekspektasinya yang juga
diartikan sebagai hasil observasi sesuai dengan teori yang ada. Hasil perhitungan uji
chi-square yang telah dilakukan pada praktikum monohibrid untuk X2Hitung adalah
0,33, sedangkan untuk Xtabel adalah 3,84. Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa
X2Hitung ≤ XTabel atau 0,33 ≤ 3,84 , yang artinya perhitungan uji chi-square diterima.
Persilangan monohibrid antara lalat tipe liar dan ebony pada praktikum kali ini
memenuhi nisbah hukum mendel I.

Persilangan monohibrid tidak selalu memenuhi nisbah yang ditentukan, serta


penyimpangan seringkali terjadi. Variasi sifat yang berkelanjutan merupakan faktor
pertama yang menyebabkan satu fenotipe bisa diekspresikan oleh beberapa genotipe.
Banyak gen yang dapat mengekspresikan ukuran tubuh dari individu. Semua gen
tentunya berperan dalam menentukan fenotipe dan akan saling bersegregasi, akibatnya
akan ada banyak variasi sifat dari ukuran tubuh yang selanjutkan akan diturunkan ke
keturunan berikutnya. Semakin banyak gen yang mempengaruhi suatu sifat, maka
variasi sifat berkelanjutan pun akan semakin banyak pula dan menyebabkan nisbah
hukum Mendel I tidak terpenuhi. Faktor variasi sifat berkelanjutan ini juga berkaitan
dengan efek pleiotropik, dimana satu alel dapat mengekspresikan lebih dari satu
fenotipe. Gen yang kurang dominan pun dapat menyebabkan penyimpangan
persilangan monohibrid, yaitu pada peristiwa semi dominansi. Lingkungan pun dapat
memberi efek pada hasil persilangan monohibrid. Beberapa alel yang peka terhadap
suhu, sehingga alel dapat kurang terekspresikan atau tidak sama sekali ketika berada
di luar rentang suhu optimal dari pengekspresian alel yang bersangkutan (Raven,
2002).
DAFTAR REFERENSI

Ashburner, M., 1989. Drosophila, A Laboratory Handbook. USA: Coldspring Harbor


Laboratory Press.
Pai, A.C., 1992. Dasar-dasar Genetika Ilmu untuk Masyarakat. Jakarta : Erlangga.
Raven, P.H., Johnson, G.B., Mason, K.A., Losos, J.B., & Singer, S.S., 2002. Biology,
6th Edition. Boston: Mc-Graw Hill Educations.
Stansfield, D. W., 1991. Genetika. Jakarta : Erlangga.
Suryo, 1990. Genetika Manusia. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai