Anda di halaman 1dari 10

JURNAL PSIKOLOGI

2003, NO. 2, 81 – 90

EMPATI DAN PERILAKU MEROKOK


DI TEMPAT UMUM
Ari Tris Ochtia Sari*), Neila Ramdhani**), dan Mira Eliza*)

ABSTRACT

Do the emphaty determine the smoking behavior? And is the smoking


behavior in the public areas, such as in the train station, in the cinema, in the
cafetaria, in the car park, and on the bus affected by the low of empathy.? One
hundred and fifty students, 15-22 years old participated in this study. They were
asked to fill the Emphaty Scales (SE) and Smoking Behavior Scales (SPM) in
when they were smoking in the public area. The Product Moment analysis
showed that there is a negative correlation (-0,207) between the two. The higher
the emphatetic the lower the smoking behavior, especially in the public areas.
This research also found out that the frequency of smoking is related to the
empathy. Therefore, people who smoke in the public areas should be the hard
smokers.
Keywords: Emphaty, Smoking Behavior, Public Area

PENGANTAR dapat memperberat sejumlah penyakit lain-


nya. White & Watt (1981) mengungkapkan
Kesehatan merupakan aspek yang
bahwa seorang perokok yang menghisap 1-
sangat penting bagi kehidupan manusia.
9 batang rokok perhari akan mengalami
Saat ini banyak penyakit yang diderita
pemendekan umur sekitar 5,5 tahun.
tidak disebabkan oleh kuman atau bakteri,
tetapi lebih disebabkan oleh kebiasaan atau Dalam membahas perilaku merokok,
pola hidup tidak sehat. Jantung koroner, perlu ditelaah terlebih dahulu alasan
kanker, stroke, kanker kulit, diabetes, gigi mengapa seseorang merokok sementara
keropos dan tekanan darah tinggi orang lain tidak merokok. Aritonang (1997)
merupakan contoh dari penyakit-penyakit menulis bahwa merokok adalah perilaku
tersebut. Hardinge, dkk. (2001) mengemu- yang kompleks, karena merupakan hasil
kakan bahwa merokok adalah salah satu interaksi dari aspek kognitif, lingkungan
kebiasaan atau pola hidup yang tidak sehat sosial, kondisi psikologis, conditioning,
itu. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa dan keadaan fisiologis. Secara kognitif,
perilaku merokok tidak hanya menyebab- para perokok tidak memperlihatkan
kan berbagai macam penyakit tetapi juga keyakinan yang tinggi terhadap bahaya

.
*)
Fakultas Psikologi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
**)
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ISSN : 0215 - 8884


82 SARI, RAMDHANI & ELIZA

yang didapat dari merokok. Mereka paru-paru yang tidak bisa disembuhkan ini
beranggapan bahwa merokok tidak akan menduduki peringkat keempat setelah
merusak kesehatan asal diimbangi dengan gangguan mental, kecelakaan lalu lintas
olahraga secara teratur dan mengkonsumsi dan penyakit jantung. Bahkan
makanan bergizi. Bila ditinjau dari aspek Mangunnegoro, ahli paru-paru dari RSUP
sosial, sebagian besar perokok menyatakan Persahabatan Jakarta dan menurut data
bahwa mereka merokok karena terpengaruh WHO tahun 1990, penyakit paru-paru
oleh orang-orang lain di sekitarnya. ‘Demi termasuk peringkat ke-12 penyebab
pergaulan’ adalah alasan yang paling sering kesakitan dan kematian utama penyakit
dikemukakan oleh perokok pada saat tidak menular di dunia (Republika, 2001).
ditanya mengapa mereka merokok. Secara Resiko tersebut sesungguhnya tidak
psikologis, perilaku merokok dilakukan hanya mengenai perokok (aktif) saja tetapi
untuk relaksasi, mengurangi ketegangan juga orang-orang di sekitar perokok, yaitu
dan melupakan sejenak masalah yang orang yang tidak merokok tetapi harus
sedang dihadapi. menghirup asap rokok atau orang yang
Terlepas dari alasan apa yang men- berada di sekitar perokok atau untuk
dorong seseorang merokok, hampir dapat selanjutnya dikatakan dengan perokok
dipastikan bahwa mereka akan memperoleh pasif. Perokok pasif secara tidak langsung
perasaan yang menyenangkan. Pada telah memasukkan zat-zat yang berbahaya
kondisi inilah bangkit hasrat untuk ke dalam tubuh bersamaan dengan asap
mengulangi perilaku tersebut rokok yang tanpa sengaja terhisap. Kondisi
(conditioning). Pada saat yang bersamaan, ini lebih membahayakan karena tubuh
nikotin pada rokok dapat menimbulkan perokok pasif tidak terbiasa dengan asap
perasaan tergantung (Glasgow dan yang terhisap ke dalam tubuh mereka
Bernstein, dalam Aritonang, 1997). Efek (Sarafino, 1990). Beberapa penelitian
toleran yang disebabkan oleh nikotin melaporkan bahwa sekitar 20% - 30%
sesungguhnya relatif ringan, tetapi sifat kejadian terkena resiko penyakit kanker
adiktifnya dapat menyebabkan tubuh paru-paru, dialami oleh perokok pasif
tergantung dan termanifestasi dalam bentuk (Aditama, 1997).
pusing-pusing, mudah gugup, lesu, sakit Interaksi antara perokok aktif dengan
kepala, dan perasaan cemas (Theodorus, perokok pasif ini biasanya terjadi di
dalam Komarasari, 2000) tempat-tempat umum, seperti misalnya
Beberapa penelitian mengenai resiko stasiun kereta api, terminal, di dalam bus
yang mungkin dialami perokok menunjuk- kota, dll. Di tempat-tempat seperti ini, tidak
kan bahwa perokok mempunyai ada pembatas antara ruangan yang
kemungkinan sebelas kali mengidap diperuntukkan bagi perokok dengan yang
penyakit paru-paru yang menyebabkan bukan perokok, sehingga asap yang
kematian dibanding bukan perokok. dikeluarkan akan terhisap tidak hanya oleh
Diperkirakan tahun 2020 nanti kematian perokok itu sendiri tetapi juga juga oleh
yang disebabkan oleh penyakit paru-paru orang lain yang berada di sana. Mereka
atau lebih dikenal dengan PPOK (Penyakit menghisap asap rokok tanpa mereka
Paru-paru Obstruksi Kronik) atau penyakit inginkan. Itulah sebabnya mereka disebut

ISSN : 0215 - 8884


EMPATI DAN PERILAKU MEROKOK DI TEMPAT UMUM 83

dengan perokok pasif. Dalam konteks ini, menyamaratakan orang lain dengan
pemahaman terhadap kondisi atau keadaan dirinya, bukan memandangnya sebagai
orang lain sangat dibutuhkan oleh perokok, individu yang unik. Pada tingkat yang lebih
terutama pada saat mereka berada di tempat rendah, empati mensyaratkan kemampuan
umum. membaca emosi orang lain, pada dataran
Johnson dkk (1983) mengemukakan yang lebih tinggi, empati mengharuskan
bahwa empati adalah kecenderungan untuk seseorang mengindera sekaligus menang-
memahami kondisi atau keadaan pikiran gapi kebutuhan atau perasaaan seseorang
orang lain. Seorang yang empati yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di
digambarkan sebagai seorang yang toleran, tataran yang paling tinggi empati adalah
mampu mengendalikan diri, ramah, menghayati masalah-masalah atau
mempunyai pengaruh, serta bersifat kebutuhan-kebutuhan yang tersirat dibalik
humanistik. Batson dan Coke (Brigham, perasaan seseorang.
1991) mendefinisikan empati sebagai suatu Goleman (2000) mengemukakan
keadaan emosional yang dimiliki oleh prasyarat untuk dapat melakukan empati
seseorang yang sesuai dengan apa yang adalah kesadaran diri, mengenali sinyal-
dirasakan oleh orang lain. Kemampuan sinyal perasaan yang tersembunyi dalam
merasakan perasaan ini membuat seorang reaksi-reaksi tubuh sendiri. Dengan kata
yang empati seolah mengalami sendiri lain, seseorang hanya dapat berempati
peristiwa yang dialami orang lain apabila mereka sudah terlebih dahulu
(Eisenberg dan Fabes, 1989). Apabila ia mengenali diri sendiri (Boyatzis et all.,
seorang perokok, ia akan mampu 2000). Brammer dan Mc Donald (dalam
mengendalikan diri untuk tidak merokok di Munawaroh, 1999) mengungkapkan bahwa
tempat-tempat umum karena menyadari pengenalan diri sendiri ini dapat membantu
bahwa rokok tidak hanya berbahaya bagi individu dalam berupaya menempatkan diri
dirinya tetapi juga bagi orang lain. pada internal frame of reference orang lain,
Pendapat senada juga dikemukakan oleh tanpa kehilangan objektivitasnya. Empati
Koestner dan Franz (1990) yang akan lebih muncul pada saat individu
mengartikan empati sebagai kemampuan melakukan aktivitas ”thingking with”
untuk menempatkan diri dalam perasaan daripada “thingking for about ” orang lain.
atau pikiran orang lain tanpa harus secara Empati memerlukan kerjasama antara
nyata terlibat dalam perasaan atau kemampuan menerima, memahami secara
tanggapan orang tersebut. kognitif dan afektif. Komponen kognitif
Kemampuan mengindera perasaan melibatkan pemahaman terhadap perasaan
seseorang sebelum yang bersangkutan orang lain, baik melalui tanda-tanda atau
mengatakannya merupakan intisari empati. proses hubungan yang simpel maupun
Tanpa kemampuan ini orang dapat menjadi pengambilan perspektif yang kompleks.
terasing, salah menafsirkan perasaan Dalam konteks perilaku merokok, perokok
sehingga mati rasa atau tumpulnya memahami bahwa orang yang hadir di
perasaan yang berakibat rusaknya sekitarnya tidak semuanya menyukai
hubungan. Salah satu wujud kurangnya rokok. Selanjutnya, di samping kemam-
empati adalah ketika seseorang cenderung puan kognitif, empati juga melibatkan

ISSN : 0215 - 8884


84 SARI, RAMDHANI & ELIZA

kemampuan afektif, yaitu respon emosional b. Definisi Operasional Variabel


yang sesuai, sehingga apabila perokok Penelitian
memahami bahwa ada orang yang tidak
Perilaku merokok adalah aktivitas
suka dengan rokok, mereka akan mampu
menghisap atau menghirup asap rokok
merasakan betapa penatnya berada di
dengan menggunakan pipa atau rokok.
antara asap dan bau rokok walaupun
Perilaku merokok ini diukur melalui
mereka sesungguhnya menikmati bau dan
aktivitas subjek berdasarkan pada
rasa itu. Lebih jauh empati membutuhkan
pengakuan mereka mengenai volume atau
pengambilan keputusan untuk bertindak
frekuensi, tempat, waktu, dan fungsi
dengan perspektif afektif, sehingga
merokok dalam kehidupan sehari-hari.
pemahaman dan perasaan tersebut di atas
Tempat Umum adalah sarana yang di
diwujudkan dalam bentuk perilaku.
selenggarakan oleh pemerintah, swasta,
Dengan demikian perokok aktif yang atau perorangan yang digunakan untuk
mempunyai empati akan dengan kesadaran kegiatan bagi mayarakat. Di samping itu
diri bisa lebih bersikap toleran atau tempat umum dan atau tempat kerja yang
menghargai perasaan orang lain sewaktu ia secara spesifik, misalnya tempat yang
berada di tempat umum, misalnya ruang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
rapat, kampus atau sekolah, kendaraan kesehatan, proses belajar mengajar, arena
umum dan tempat-tempat umum lainnya, kegiatan (rekreasi), kegiatan ibadah dan
sehingga ia tidak akan merokok atau angkutan umum dinyatakan sebagai
langsung mematikan putung rokoknya kawasan tanpa merokok sebagaimana
ketika ada teman yang datang. Berdasarkan dimuat dalam PP RI No. 81 tahun 1999
paparan di atas, dirumuskan suatu hipotesis tentang Pengamanan Rokok Bagi
ada hubungan negatif antara empati dengan Kesehatan (Sitepoe, 2000). Semakin tinggi
perilaku merokok di tempat umum. skor perilaku merokok maka semakin
Semakin tinggi empati seorang perokok, tinggi pula perilaku merokok subjek
semakin rendah kemungkinannya merokok berdasar skala perilaku merokok,
di tempat umum. Sebaliknya, semakin sebaliknya semakin rendah skor perilaku
rendah empati seorang perokok, semakin merokok subjek menunjukkan bahwa
sering ia merokok di tempat-tempat umum. perilaku merokok subjek semakin sedikit
(tidak sama sekali)
METODE Empati adalah kemampuan individu
a. Variabel Penelitian untuk menempatkan diri dalam memahami
kondisi atau keadaan pikiran, sifat serta
Variabel-variabel penelitian yang perasaan orang lain; mampu merasakan dan
digunakan terdiri dari: memahami keadaan emosional orang lain
1. Variabel tergantung: Perilaku Merokok sehingga timbul perasaan toleransi,
di tempat umum menghargai perasaan orang lain,
2. Variabel bebas: Empati. mengendalikan diri, ramah, dan humanis.
Dalam penelitian ini empati seseorang
dilihat dari jumlah sekor empati yang
diperoleh subjek dalam menjawab skala

ISSN : 0215 - 8884


EMPATI DAN PERILAKU MEROKOK DI TEMPAT UMUM 85

empati yang terdiri dari empat pengambilan d. Alat Pengambilan Data


secara spontan sudut pandang orang lain
Data dalam penelitian ini diperoleh dari
(perspektif taking), fantasi (kecenderungan
skala empati dan skala perilaku merokok di
seseorang untuk mengubah diri kedalam
tempat umum.
perasaan dan tindakan dari karakter
khayalan yang terdapat dalam film-film, Skala Perilaku Merokok. Skala
buku, maupun dalam permainan), empathy perilaku merokok (SPM) ini merupakan
concern (orientasi seseorang terhadap modifikasi dari skala perilaku merokok
orang lain berupa perasaan simpati dan yang disusun oleh Cahyani (1995) dan
peduli terhadap orang lain yang ditimpa Komarasari (2000). Beberapa aitem
kemalangan), personal distress (orientasi disusun dan ditambahkan, untuk kemudian
seseorang terhadap dirinya sendiri meliputi diuji cobakan. Alat ukur yang digunakan
perasaan cemas dan gelisah pada situasi dalam penelitian ini tersusun atas 80 aitem
interpersonal). Tinggi rendahnya empati dengan 41 aitem pernyataan yang bersifat
seorang subjek tergantung pada tinggi favorable dan 39 aitem pernyataan yang
rendahnya sekor Skala Empati ini. bersifat unfavorable. Setiap pernyataan
terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu:
c. Subjek Penelitian Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
Subjek penelitian ini adalah 150 orang Nilai yang diberikan untuk pernyataan
remaja usia 15-22 tahun yang merupakan favorable bergerak dari 1 untuk jawaban
perokok aktif. Pemilihan subjek ini sangat setuju (SS) hingga 4 untuk sangat
dilakukan secara insidental ketika mereka tidak setuju (STS). Sedangkan untuk
berada ditempat-tempat umum. Dengan pernyataan unfavorable sebaliknya. Hasil
demikian teknik yang digunakan adalah uji coba memperlihatkan bahwa 63 dari 80
teknik nonrandom sampling yaitu dengan aitem yang dinyatakan sahih 17, dan
incidental sampling. Subjek yang dijadikan lainnya gugur. Koefisien validitas skala ini
sampel hanyalah orang-orang yang dapat bergerak antara 0,3046 - 0.8057. Uji
dijumpai secara kebetulan dalam hal ini reliabilitas terhadap skala perilaku merokok
adalah orang-orang yang merokok dan menghasilkan koefisien alpha sebesar
berada di tempat-tempat umum seperti di 0,9732.
jalan-jalan, stasiun kereta api, gedung
Skala Empati. Skala empati (SE) yang
bioskop, tempat-tempat parkir, warung-
digunakan dalam penelitian ini adalah yang
warung makan, dan lain-lain. Remaja yang
disusun oleh Fathiyah (1996) yang telah
dijadikan subjek penelitian disini adalah
dimodifikasi berdasarkan aspek-aspek
remaja berusia 15-22 tahun. Hal ini juga
empati: perspektif taking, empathik
didasari hasil survei 1994 (Tresnawaty,
concern, distress diri dan fantasi (Fathiyah,
2000) bahwa 41,5% remaja mulai merokok
1996). Skala empati ini berbentuk angket
pada usia 15-22 tahun.
tertutup yang terdiri dari 30 aitem
favorable dan 29 aitem yang unfavorable.
Sebagaimana Skala Perilaku Merokok di
Muka Umum, skala ini menggunakan

ISSN : 0215 - 8884


86 SARI, RAMDHANI & ELIZA

model skala dengan empat alternatif seperti pengorbanan waktu, tenaga dan
jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju biaya. Dengan demikian seseorang yang
(S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju mempunyai empati tinggi akan peduli
(STS). Penilaian untuk pernyataan terhadap orang lain disekelilingnya yang
favorable bergerak dari 4 (Sangat Setuju) merasa terganggu dengan asap rokok.
hingga 1 (Sangat Tidak Setuju). Sedangkan Solichah (2000) dalam penelitiannya juga
untuk pernyataan unfavorable sebaliknya. mendukung pendapat tersebut yang
Hasil analisis kesahihan butir skala Empati menyatakan bahwa semakin tinggi
menunjukkan bahwa 59 butir aitem yang keyakinan subjek bahwa asap rokok
diujicobakan diperoleh 39 aitem sahih dan mengganggu orang lain maka semakin
20 aitem gugur. Koefisien validitas 39 rendah frekuensi dan kualitas merokok
aitem yang sahih tersebut bergerak antara subjek ketika berada di antara orang lain.
0,3037- 0,5593. Uji reliabilitas terhadap Adanya kesadaran bahwa perilaku
skala Empati menghasilkan koefisien alpha merokok di tempat umum dapat merugikan
sebesar 0,8961. orang lain merupakan cerminan sikap
toleran, yang merupakan bagian penting
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI dari empati (Johnson, dkk., 1983). Pada
a. Hasil Penelitian saat menyaksikan orang lain batuk atau
mengalami sesak nafas karena udara
Hasil analisis statistik yang telah diuraikan sekitarnya dicemari asap rokok, seorang
diatas menunjukkan bahwa terdapat perokok yang empatik akan merasakan hal
hubungan negatif yang signifikan antara ini, dan mereka mampu mengendalikan
empati dengan perilaku merokok di tempat keinginan merokoknya. Sangat berbeda
umum. Hal ini terlihat dari nilai korelasi r = dengan perokok yang tidak empatik,
– 0,207 (p < 0,05). Sumbangan efektif yang mereka tidak mempedulikan sekitarnya
diberikan oleh empati terhadap perilaku sehingga tidak terlintas dibenak mereka
merokok sebesar 0,043 (4,3%). untuk menghentikan ataupun
mengendalikan keinginan merokok ini.
b. Diskusi Jelas sekali di sini, empati berkaitan
dengan pemahaman terhadap diri sendiri
Empati merupakan emosi atau afeksi yang
yang berujud kesadaran diri, mengenali
positif. Empati ini berperan penting dalam
sinyal-sinyal perasaan yang tersembunyi
mengatasi masalah yang sedang dihadapi
dalam reaksi-reaksi tubuh sendiri
individu dan dalam membentuk sikap dan
(Goleman, 2000) dan mengenali sinyal-
perilaku terhadap orang lain. Perilaku
sinyal perasaan orang lain yang terganggu
merokok di tempat umum merupakan suatu
akibat perilaku merokok (Wood dkk.,
perilaku yang dapat mencerminkan
1994;). Kesadaran dan kepekaan untuk
karakter empati seseorang. Brigham (1991)
mengetahui apa yang dirasakan oleh orang
mengemukakan bahwa orang yang
lain inilah yang seharusnya dimiliki oleh
mempunyai empati tinggi lebih berorientasi
para perokok. Tanpa kemampuan ini orang
pada orang lain yang mengalami kesulitan
dapat menjadi terasing, salah menafsirkan
tanpa banyak mempertimbangkan
perasaan atau mati rasa, atau tumpulnya
kerugian-kerugian yang akan diperoleh,

ISSN : 0215 - 8884


EMPATI DAN PERILAKU MEROKOK DI TEMPAT UMUM 87

perasaan yang pada puncaknya dapat rerata. Secara logis, perilaku merokok
merusak hubungan dengan orang lain. mereka seharusnya cenderung rendah.
Penemuan lain pada penelitian ini Tetapi, proses sosial dan sikap lingkungan
adalah bahwa subjek penelitian memiliki yang permisif terhadap perilaku orang lain,
rerata sekor empirik skala empati lebih dalam hal ini perokok menjadi salah satu
besar (119,34) daripada rerata hipotetiknya kendala. Misalnya, seringkali kita
(97,5). Ini mengindikasikan bahwa subjek menyaksikan seseorang dengan tulusnya
penelitian termasuk kategori orang yang mengatakan tidak keberatan apabila ada
memiliki empati yang sedang cenderung yang ingin merokok di antara kehadiran
tinggi. Penemuan ini menjadi menarik orang lain.
untuk dicermati karena tingginya empati Data tambahan yang diambil dari isian
tidak konsisten dengan rendahnya perilaku angket terbuka yang diisi subjek dapat
merokok karena sekor rerata empirik diketahui bahwa alasan subjek merokok
perilaku merokok di tempat umum (173,84) yang paling dominan adalah karena
juga lebih tinggi daripada rerata hipotetik kebiasaan dan kebutuhan 35%, coba-
(157,5). Bila demikian dapat disimpulkan coba/iseng 20,67%, menenangkan pikiran
bahwa subjek penelitian ini termasuk 14,67%, pergaulan 8%, enak rasanya
dalam kategori perokok yang agak banyak 7,33%, suka 4,67%, banyak masalah
merokok di tempat-tempat umum tetapi 4,33%, cari inspirasi dan motivasi 4%,
memiliki empati yang agak tinggi. mengisi waktu 1,33%. Subjek mulai
Sumbangan efektif yang diberikan oleh merokok dilakukan sejak usia 9-11 tahun
empati terhadap perilaku merokok di (SD) 10%, 12- 14 (SLTP)56%, 16-19 tahun
tempat umum sebesar 0,043 atau sebesar (SLTA) 34%.
4,3% memang sangat kecil. Banyak sekali Dari data ini dapat diketahui bahwa di
faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi usia anak-anak sudah mulai merokok. Hal
perilaku merokok di tempat umum sebesar ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
95,7%, diantaranya adalah sikap dan Traguet (dalam Komarasari, 2000) yang
kepercayaan, pengaruh proses sosial seperti mengatakan bahwa proses untuk menjadi
pengaruh kebiasaan orang tua atau perokok telah diawali sejak masa kanak-
kelompok, dan konsep diri (Brigham, kanak. Erikson (1982) juga menyebutkan
1991). Castro (dalam Fuhrmann, 1990) bahwa merokok antara usia 6-11 tahun
lebih menekankan pentingnya pengaruh biasanya adalah sebagai media untuk
kelompok, konformitas sosial, sikap mengatasi perasaan inferiornya, sedangkan
keluarga, stres, dan ketidakmampuan remaja yang mulai merokok antara usia 12-
melakukan coping. 18 tahun biasanya adalah menetapkan
Apabila ditilik lagi hasil pembandingan identitas dirinya.
rerata empirik SE dan SPM dengan rerata Frekuensi rokok yang dihisap setiap
hipotetik, nampaknya faktor yang sangat hari oleh subjek menunjukkan bahwa ada
dominan mempengaruhi perilaku merokok 30% merokok antara 1- 10 batang sehari,
di tempat umum, yaitu pengaruh proses 51,33% merokok antara 11-22 batang
sosial dan sikap keluarga. Empati subjek sehari, 14, 67% merokok lebih dari 24
penelitian termasuk dalam kategori di atas batang sehari, dan 5% merokok tidak tentu

ISSN : 0215 - 8884


88 SARI, RAMDHANI & ELIZA

jumlahnya. Berdasarkan perhitungan Hal tersebut sesuai dengan yang


deskripsi data penelitian diketahui bahwa diungkapkan oleh Brigham (1991) yang
perilaku merokok subjek berada dalam menyatakan bahwa perilaku merokok dapat
kategori sedang, dengan rata-rata dipengaruhi oleh faktor emosi misalnya
menghisap 12 batang rokok perhari. Bila ketika seseorang sedang mengalami
dilihat dari banyaknya rokok perhari, maka perasaan yang negatif seperti cemas, marah
subjek penelitian ini mempunyai atau depresi. Pada saat remaja menghadapi
kecenderungan untuk menjadi perokok masalah atau beban pikiran yang berat,
berat. Seperti yang diungkapkan oleh remaja akan merasa dirinya lebih santai
Sitepoe (2000) yang membagi perokok ketika menghubungkan gejolak perasaan-
menjadi 3 yaitu a. perokok ringan, merokok nya pada rokok. Hal senada juga
1-10 batang sehari, b. perokok sedang diungkapkan oleh Komarasari (2000) yang
merokok 11-20 batang sehari, c. perokok menyebutkan bahwa remaja telah memiliki
berat merokok lebih dari 24 batang sehari. pandangan bahwa rokok mampu membantu
Selain itu Lavental & Cleary (1980) dalam mengurangi beban masalah,
mengatakan bahwa remaja yang menghisap cenderung akan menjadikan rokok sebagai
4 batang atau lebih per hari, akan menjadi kompensasi atau sarana penyaluran atas
perokok beban masalah. Akan tetapi bila remaja
Peneliti juga memanfaatkan data tidak melakukan tindakan yang tepat dalam
frekuensi merokok subjek per hari dan mencari jalan pemecahan masalah,
mengkorelasikan dengan variabel-variabel menyebabkan intensitas perilaku merokok
penelitian. Analisis tersebut menunjukkan akan semakin meningkat dan permasalahan
ada hubungan yang negatif antara frekuensi yang sedang dihadapi tidak terpecahkan.
merokok dengan empati, yang ditunjukkan Kepuasan psikologis yang dimaksud
dengan nilai r = -0,306. Hasil ini dalam penelitian ini adalah perasaan yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi empati menyenangkan yang dirasakan setelah
seseorang maka akan semakin sedikit menghisap rokok. Perasaan subjek setelah
jumlah rokok yang dihisap oleh subjek di merokok yang dominan di antaranya adalah
tempat umum. Hal ini menguatkan hasil puas 28,67%, nikmat 22%, biasa saja 10%,
penelitian diatas yang menerima hipotesis masalah hilang 9,67%, tenang 5,67%, fly
yang diajukan yaitu ada hubungan yang 5,33%, nyaman 4%, berkurang stresnya
negatif antara empati dengan perilaku 2,67%, enak 2,67%, perasaan fress 1,33%,
merokok di tempat umum. Perokok yang santai 1,33%, percaya diri 1,33%.
merokok di tempat-tempat umum adalah Hal ini sesuai dengan penelitian
perokok berat, makin banyak jumlah rokok Scolichah (2000) yang menunjukkan ada
yang dihisap perhari, makin tinggi hubungan positif antara faktor kenikmatan
frekuensi merokok di tempat umum (r = dengan tingkah laku merokok sehingga
0,521). semakin positif keyakinan subjek tentang
Frekuensi merokok subjek meningkat tingkah laku merokok akan mendatangkan
bila dalam kondisi stres (24%), suntuk/ perasaan nikmat pada organ tubuh maka
boring/jenuh (19%), kumpul dengan teman semakin tinggi kualitas merokok subjek.
(10%), mengerjakan pekerjaan berat (10%). Selain itu juga terdapat hubungan yang

ISSN : 0215 - 8884


EMPATI DAN PERILAKU MEROKOK DI TEMPAT UMUM 89

positif antara faktor adiksi dengan perilaku and Parker, J.D.A. (eds.) ‘Handbook of
merokok sehingga semakin positif Emotional Intelligence’. Sanransisco:
keyakinan subjek bahwa tingkah laku Jossey-Bass.
merokok akan mendatangkan ketergan- Brigham. J. C. 1991. Social Psychology.
tungan maka semakin tinggi kualitas Second Edition. New York: Harper
merokok subjek. Komalasari (2000) dalam Collins Publishers Inc.
penelitiannya juga mengungkapkan bahwa
ada hubungan antara kepuasan psikologis Cahyani, 1995. Hubungan Antara Persepsi
dengan perilaku merokok yang sangat Terhadap Merokok Dan Kepercayaan
signifikan. Hal ini berarti semakin tinggi Diri Dengan Perilaku Merokok Pada
kepuasan psikologis yang dirasakan akan Siswa STM Muhammadiyah Pakem
semakin tinggi perilaku merokok yang Sleman Yogyakarta. Skripsi (tidak
ditunjukkan. Dalam penelitian ini, diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
kepuasan psikologis sangat berpengaruh Psikologi UGM.
pada perilaku merokok subjek. Davis, M.H., 1983. Measuring Individual
Differences in Empaty: Evidence For a
KESIMPULAN Multidimensional Approach. Journal
Of Personality and Social Psychology.
Berdasarkan hasil penelitian yang Vol.44 no.1,113-126.
diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada hubungan negatif antara empati Eisenberg, N dan Fabes, 1989. The Roots
dengan perilaku merokok di tempat umum, Of Prosocial Behavior In Children.
khususnya pada remaja madya dan remaja New York: Cambridge University
akhir yang merokok di tempat umum. Press.
Semakin tinggi empati maka perilaku Eisenberg, N dan Strayer, J. 1990. Empathy
merokok ditempat umum semakin and its Development. USA. Cambridge
berkurang begitu pula sebaliknya, semakin University Press.
rendah empati maka perilaku merokok di Erikson, Erik H., (1982) The Life Cycle
tempat umum semakin meningkat. Completed, New York, W.W. Norton
& Company.
DAFTAR PUSTAKA
Fathiyah. K.N. 1996. Kemampuan Empati
Aditama, T. Y. 1997. Rokok dan Di Tinjau Dari Sikap Kompetitif Dan
Kesehatan. Jakarta. UI Press. Jenis Kelamin. Skripsi (tidak
Aritonang. M. E. R. 1997. Fenomena diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Wanita Merokok. Skripsi (Tidak Psikologi UGM.
diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Goleman, D. 2000. Kecerdasan Emosi
Psikologi UGM. Untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Boyatzis, R.E., Goleman, D., and Rhee, K, Cetakan ke-1. Jakarta: PT Gramedia
(2000). Clustering Competence in Pustaka Utama.
Emotional Intelligence: Insights From Hardinge. M.G & Shryock. H. 2001. Kiat
The Emotional Competencies Keluarga Sehat Mencapai Hidup
Inventory (ECI). Dalam Bar-On, R. Prima Dan Bugar. (Terjemahan). P.A.

ISSN : 0215 - 8884


90 SARI, RAMDHANI & ELIZA

Siboro. Jakarta: Indonesia Publishing Sarafino, Edward P. 1990. Health


House Offset . Psychology: Biopsychosocial
Johnson. J. A. Check, J. M, Smither R., interactions. New york: John Willey
1983. The Structure of Empathy. and Sons inc.
Journal Of Personality and Social Solichah, M. 1990. Hubungan antara
Psychology. Vol. 45, No. 6, 1299- Keyakinan Terhadap Akibat-Akibat
1312. Tingkah Laku Merokok dengan
Komarasari, D. 2000. Hubungan Antara Tingkah Laku Merokok Dikalangan
Lingkungan Keluarga, Lingkungan Remaja SMA di Yogyakarta. Skripsi
Teman Sebaya Dan Kepuasan (tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Psikologis Dengan Perilaku Merokok Fakultas Psikologi UGM.
Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Sitepoe. 2000. Kekhususan Rokok di
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII. Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Koestnerr, R. and Franz, C. 1990. The Widiasarana Indonesia.
family Origins Of Empathic Concern: White, R. W & Watt, N.F. 1981. The
A-26 Year Longitudinal Study. Abnormal Personality. 7 th Edition.
Journal Of Personality and Social New York: John Wiley and Sons.
Psychology.Vol 58, No 4, 709-717. Wood, S., Thalhalmmer, K, Bird, K.m,
Munawaroh. S. M. 1999. Empati Dan Aveny P. G. Sullivan, J. L. 1994.
Intensi Prososial pada Perawat. Skripsi Adolecent And Political Tolerance: Up
(tidak diterbitkan). Yogyakarta: Synching To The Tune Of Democracy.
Fakultas Psikologi UGM. USA: Gordon and Breach Science
Republika. 2001. Paru Obstruktif Kronik Publishers SA.
lebi berbahaya dari Asma. 20
November 2001

ISSN : 0215 - 8884

Anda mungkin juga menyukai