Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

EPISTAKSIS

Disusun oleh:
Muhammad Faisal Alvianto 1102013179
Rian Nurdiansyah 1102013249
Dira Adhitya Ningrum 1102014077
Dyah Sri Anawati 1102014081
Muthi’ah Nabillah 1102014175

Pembimbing:
dr. Susilaningrum, Sp. THT – KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSPAD Gatot Soebroto


Periode 2 September – 5 Oktober 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis
dapat terjadi pada segala usia, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua.
Episktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka
mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia dibawah 10
tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas.1
Penyebab terjadinya episktasis dibagi menjadi dua yaitu secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik, kelainan
anatomis hidung, penggunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal, dan sebagainya.
Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah kelainan vaskuler, keganasan
hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi, alkohol, hipertensi, obat-obatan dan infeksi.1
Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, yang mana perdarahan
berasal dari anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach).
Epiktasis posterior umumnya berasal dari kavum nasal posterior melalui arteri sfenopalatina.
Epistaksis anterior secara klinis dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis posterior dapat
berlangsung asimptomatik atau dapat secara diam-diam menyebabkan mual, hematemesis,
anemia, hemoptisis atau melena.2
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan memasang
tahanan pada lubang hidung dengan menmenggunakan kain kasa atau kapas yang telah
dibasahi nasal dekongestan. Penekanan langsung setidaknya dilakukan terus-menerus selama
5 menit dan sampai 20 menit. Memiringkan kepala ke depan dapat mencegah darah mengalir
ke bagian posterior faring, hal ini mencegah mual dan obstruksi jalan napas.3
Edukasi kepada pasien dapat membantu mencegah terjadinya epistaksis. Diskusi terarah
tentang pentingnya mencegah pasien untuk tidak mengupil, mencegah dari paparan iritan
udara, bulu dan asap, serta pengendalian alergi dapat menurunkan episode terjadinya
epistaksis.3
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai definisi,
anatomi, fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan pencegahan pada epistaksis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yatu 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum), 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5)
kolumela, 6) lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan
3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulangnya adalah 1) lamina prependikularis, 2) vomer, 3) krista nasalis
os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah 1) kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.1

2
Gambar.1 Anatomi Cavum Nasi

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari
sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara
konka superior dan konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid.1
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribosa=saringan) tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sfenoid.1

2.1.1 Vaskularisasi Hidung


Pendarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri
etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis
3
anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri
etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina
terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri
septi posterior yang menyebar pada septum nasi.1
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.1
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera
oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber penyebab terterjadinya epistaksis.1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior
yang berhubungan dengan sinus kavernosus.1

4
Gambar.2 A.Perdarahan pada septum nasi. B.perdarahan pada dinding lateral nasal

2.1.2 Innervasi Hidung


Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris
dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.1
5
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1

2.2 FISIOLOGI
Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang canggih
untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi penyaringan partikel-
partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat torak semu bersilia
(pseudostratified ciliated columnar epithelium). Lapisan hidung, terutama pada konka
inferior dan media mengandung lamina propria bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka
berjalan melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi
dapat memblok aliran balik vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.1

2.2.1 Fungsi Respirasi


Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri
akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan melalui
refleks bersin.1

2.2.2 Fungsi Penghidu


Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.1

6
Gambar.3 Bagian Rongga Hidung

2.2.3 Fungsi Fonetik


Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi
akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut, yang paling sering
terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika
pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.1

2.2.4 Refleks Nasal


Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan
napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan
pankreas.1

2.3 DEFINISI
Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan
yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang
berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala usia, dengan puncaknya
terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan
primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis THT.
Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa
kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali
7
mencari asal perdarahan dan menghentikannya, disamping perlu juga menemukan dan
mengobati penyebab yang mendasarinya.1,2

2.4 ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan
oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.3
1) Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma
yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena
sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian
septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam
atau trauma pembedahan.3,4
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernapasan yang cenderung
mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan
dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan
erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.3,4
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal, misalnya
pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa
hidung. Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit
tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.3,4

8
Gambar.4 Epistaksis
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.3,4
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah. Hemangioma, angiofibroma
dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat
rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.3,4

Gambar.5 Epistaksis pada neoplasma

d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease) dan uga
sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiektasis hemoragik herediter adalah
9
kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.3,4

Gambar.6 Osler’s Disease

Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan
kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat
permukaan seperti saat terpotong, atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi
memar atau perdarahan dalam.3,4
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang
normal.3,4

Gambar.7a Pembekuan darah normal Gambar.7b Pembekuan darah tidak normal

10
Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.

Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran


darah ke daerah yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh
darah yang rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit
yang menyebar melepaskan zat yang mengaktifkan
trombosit lain didekatnya sehingga akan menggumpal
membentuk sumbat trombosit pada tempat yang terluka.
Ini disebut agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan
tempat terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah
yang beredar dalam darah diaktifkan pada permukaan
trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.

Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von
Willebrand) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai yang disebut cascade.3,4

Gambar.8a. Cascade koagulasi Gambar.8b Cascade koagulasi


normal Hemophilia

VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah. Pada
tahap ke 3, seseorang dapat memiliki kemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von
Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal.
Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di
sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat
melapisi dinding pembuluh darah.3,4
11
Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein
yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam
dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang
lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga
trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.3,4
e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis
sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh
dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat
korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah menjadi
rapuh.3,4
f) Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara
yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan
oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.3,4

2) Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.3,4
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi
trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan
tromboksan A₂ (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh
darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian
trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding
pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit juga akan
melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi
trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah
trombosit kurang dari 150.000/µl. Trombositopenia akan memperlambat waktu
koagulasi dan memperbesar risiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di
seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.3,4
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara

12
X- linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter,
dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya
secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya epistaksis.3,4
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini
dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi
membawa oksigen ke dalam jaingan dan organ-organ tubuh) dan trombosit (bagian kecil
sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada leukemia terjadi peningkatan
pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan
pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga
terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.3,4
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan
menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-
molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang
rusak. Aspirin dapat menyebabkan proses pembekuan darah menjadi lebih lambat
sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan
epistaksis.3,4
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti aterosklerosis, sirosis hepatis,
diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya
hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.3
1) Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan
darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang disebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis, dimana terjadi kontraksi pembuluh darah terus-menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2) Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan

13
vasodilatasi, sehingga terjadi ruptur dari pembuluh darah.3,4
3) Sirosis hepatis
Hepar merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII,
IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadi
perdarahan atau epistaksis.3,4
4) Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan glukosa darah yang menyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar glukosa darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal
sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga
menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah
menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga
epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.3,4
5) Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada penyakit DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit yang mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphate),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering
terjadi pada kasus demam berdarah.3,4
6) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron di pembuluh darah
yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang
menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya menyebabkan epistaksis.3,4

14
7) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan
terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia
dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravaskular
yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi
epistaksis.3,4

2.5 PATOFISIOLOGI
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar
ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.1,2,4
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber
perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri
ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan
dengan tindakan sederhana.1,2,4

Gambar.9 Epistaksis anterior

2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular.1,2,4

15
Gambar.10 Epistaksis posterior

2.6 GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN


Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.5,6
Kebanyakan kasus epistaksis timbul akibat sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan
mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat
pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum
aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit
dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini
berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat
banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak dimenggunakan, yang
mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.5,6
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung
dan suction (bila ada), serta pinset bayonet, kapas, dan kain kassa.5,6
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi
dalam hidung pasien.5,6
Dengan spekulum hidung dibuka nares anterior dan dengan suction dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan

16
faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang
dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2%
yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti. Setelah 10
sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi lebih lanjut.5,6
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa5,6,7 :
a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konka inferior harus diperiksa dengan cermat.

Gambar.11 Rhinoskopi Anterior

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

17
Gambar.12 Tampilan endoskopi epistaksis posterior

f) Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan
adanya kelainan pembekuan darah.
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari terjadinya epistaksis.

2.6 PENATALAKSANAAN
Penanganan pertama pada pasien epistaksis adalah kompresi hidung dan menutup lubang
hidung yang bermasalah dengan kassa atau kapas yang telah direndam pada topikal dekongestan.
Penekanan langsung sebaiknya dilakukan terus-menerus setidaknya 5 menit atau sampai 20
menit. Miringkan kepala ke depan agar mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal
ini untuk mencegah rasa mual dan obstruksi jalan napas. Penelitian lain mengatakan bahwa
pemakaian topikal oxymetazoline spray dapat menghentikan perdarahan pada 65% pasien
epistaksis di ruang emergensi.8,9,10

18
Gambar.13 Diagram penangan epistaksis

Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topikal vasokonstriktor
membutuhkan tindakan kauterisasi. Setelah mempersiapkan hidung untuk dianastesi dan
pemberian dekongestan, kauterisasi kimia (chemical cautery) dengan menmenggunakan silver
nitrat dapat dikerjakan. Hanya satu sisi septum yang dikauterisasi pada satu waktu agar
menurunkan risiko perforasi septum iatrogenik. Kauterisasi kimia dapat dilakukan pada
epistaksis dengan perdarahan ringan aktif atau setelah perdarahan aktif yang telah berhenti dan
sumber perdarahan telah teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi bilateral,
penanganannya harus dilakukan terpisah 4-6 minggu agar terjadi penyembuhan mukosa terlebih
dahulu. Epistaksis berat yang tidak berespon dengan kauterisasi kimia memerluka kauterisasi
elektrikal. Apabila perdarahan masih berlanjut walaupun setelah dilakukan tindakan diatas,
diperlukan pemasangan anterior nasal pack / tampon hidung anterior. Produk packing tradisional
mengandung materi yang non-degradasi seperti kassa yang dilapisi jeli petroleum, spons yang
terbuat dari hydroxylated polyvinyl acetate yang akan mengembang apabila basah (Merocel,
19
Medtronic), dan inflatable pack dilapisi hydrocolloid yang masih kontak dengan mukosa setelah
bagian tengah pack yang telah mengempis dan dibuang (Rapid Rhino, ArthroCare). Tampon-
tampon ini dipakai selama 1-3 hari kemudian dilepas.8,9,10
Pemasangan anterior nasal packing / tampon hidung anterior harus dilakukan dengan
hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps bayonet dan spekulum nasal dimenggunakan untuk
melipat lembaran kassa sedalam mungkin pada kavum nasi. Setiap lipatan harus ditekan sebelum
lembaran baru tambahkan diatasnya. Setalah cavum nasi tersisi dengan kassa, ujung kassa dapat
ditempelkan diatas lubang hidung dan diganti secara berkala.8,9,10
Selain menmenggunakan kassa untuk anterior nasal packing, dapat juga dimenggunakan
spons (Merocel atau Doyle Sponge). Tampon dimasukan dengan hati-hati pada dasar cavum nasi
karena akan mengembang apabila terkena darah atau cairan lain. Pemberian jel lubrikan pada
ujung tampon mempermudah pemasangan. Setelah tampon terpasang, tetesi tampon dengan
sedikit cairan vasokonstriktor untuk mempercepat penghentian perdarahan. Tetesi saline ke
dalam lubang hidung agar tampon dapat mengembang sempurna. Tampon dapat dilepas setelah
3-5 hari terpasang dengan memastikan telah terjadi formasi pembekuan darah yang adekuat. 8,9,10

Gambar.14 Anterior Nasal Packing / Tampon Hidung Anterior

Komplikasi dari pemasangan nasal packing ini adalah hematoma septum dan abses dari
trauma packing, sinusitis, singkop neurogenik selama pemasangan, dan nekrosis jaringan karena
penekanan dari tampon itu sendiri. Karena adanya kemungkinan terjadi sindrom syok toksik
pada pemasangan tampon yang lama, pemberian salep antibiotik topikal pada tampon
diperlukan.8,9,10

Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya ditangani
oleh dokter spesialis. Posterior nasal packing atau tampon posterior dilakukan dengan
memasukkan kateter melalui salah satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar
20
melalui mulut. Tampon kasa dikaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior,
kemudian kateter ditarik dari hidung sehingga tampon kassa dapat berada di belakang koana dan
menutupi aliran rongga hidung posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber
perdarahan. Prosedur ini memerlukan keterampilan khusus dan biasanya dilakukan oleh dokter
spesialis. Semua pasien dengan tampon posterior ini harus dilakukan monitoring di rumah
sakit.8,9,10

Gambar.15 Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior

Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarahan posterior dan menimbulkan
komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan prosedur packing. Konsepnya tetap sama,
dengan memasukkan udara atau cairan kedalam balon, balon akan mengembang dan
memberikan penekanan pada dinding lateral hidung dan septum. Tipe terbaru dari balon nasal
adalah double balloon, gabungan dari balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan untuk
tetap berada di tempatnya setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal dapat
memberikan jalur pernapasan melalui lubang yang ada ditengahnya. Sama seperti anterior nasal
packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada pemasangan posterior nasal packing yang salah
maupun pada pemasangan balon yang dikembangkan berlebihan.8,9,10

21
Gambar.16a Double Balloon terpasang Gambar.16b Perbandingan Double
Balloon sebelum dan sesudah
dikembangkan

Ketika tindakan konservatif gagal untuk menghentikan perdarahan, embolisasi atau


ligasi pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat melakukan embolisasi pada
cabang distal dari arteri maxillaris interna dan arteri sphenopalatina untuk epistaksis
posterior. Resiko terjadinya komplikasi mayor seperti stroke, paralisis wajah, kebutaan, atau
neuropati berhubungan dengan administrasi material kontras adalah sebesar 4%. Komplikasi
minor seperti hematoma terjadi pada 10%, kasus sedangkan angka kesuksesan dari
kebanyakan kasus adalah 80-90%.8,9,10
Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan literatur, tingkat kesuksesan ligasi
arteri sphenopalatina adalah sama atau lebih tinggi dibandingkan tindakan embolisasi. Ligasi
dapat dilakukan 30-60 menit dengan mengmenggunakan teknik endoskopik modern. Ligasi
endoskopik arteri sphenopalatina dapat mencegah terjadiya resiko-resiko diatas tetapi
membutuhkan anastesi umum.8,9,10
Epistaksis anterior yang gagal pada kauterisasi ataupun packing jarang terjadi, tetapi
intervensi bedah terkadang dibutuhkan. Embolisasi pada arteri etmoidalis anterior dan
posterior jarang dilakukan karena adanya resiko kanulasi dari arteri karotis interna yang mana
meningkatkan resiko terjadinya stroke, atau pada arteri ophtalmika yang mana meningkatkan
resiko terjadinya kebutaan. Kebanyakan otolaringologis melakukan ligasi eksternal dari arteri
ethmoidalis anterior dan posterior melalui insisi kecil di medial alis mata dan melakukan
kauter bipolar atau mengklem pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut keluar dari
foramen etmoidalis anterior dan posterior. Dengan begitu resiko stroke dan kebutaan dapat
diminimalisir.8,9,10
Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung penting untuk
22
diperhatikan agar menghindari rekurensi. Pemberian gel topikal, lotion, dan salep dapat
melembabkan mukosa dan mempercepat penyembuhan.8,9,10

2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi langsung akibat epistaksis itu sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya seperti pada pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena
ostium sinus tersumbat), air mata seperti darah (bloody tears) karena darah mengalir secara
retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia, akibat pemasangan tampon posterior
yang menimbulkan otitis media, hemotimpanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir
bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang saat ditarik.8,9,10
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard
dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau
transfusi darah.8,9,10

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dapat termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi
darah mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang rupture,
perdarahan di basis cranii yang menyebabkan darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun
tuba Eustachius.7

2.9 PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat dimenggunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis
antara lain:7
a. Menggunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
diberikan pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat
tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas,
didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b. Menggunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Menggunakan gel hidung larut air pada hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
memasukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
d. Menghindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Mengusahakan bersin melalui mulut.
f. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
23
g. Membatasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin atau ibuprofen.
h. Melakukan konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat
alergi biasa.
i. Berhenti merokok karena merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi.

2.10 PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.8

24
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit,
yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa
bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak
hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis
dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis
posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam
posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi,
skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang
dilakukan pada epistaksis adalah:
a. Memencet hidung
b. Pemasangan tampon anterior dan posterior
c. Kauterisasi
d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
e. Embolisasi

Epsitaksis dapat dicegah antara lain dengan tidak memasukkan benda keras ke dalam
hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut,
menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutama berhenti
merokok

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC,
1997.
2. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan.
Edisi Ketujuh, Jakarta FKUI, 2016; 131-135.
3. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19
[cited 2009 feb 28] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
4. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2009 Mar 1] Available from:
http://fkuii.org/tiki-
download_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM%20FK%20UII
5. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007 Nov 28
[cited Mar 2] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
6. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2009 Mar 4 Available
from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
7. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb 2 [cited 2009
Mar 4] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.aspx
8. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review. British Journal
of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
9. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American Family
Physician Vol 71 No 2.
10. Bailey BJ et al. 2001. Head and Neck Surgery – Otolangology 3rd Edition Lippincott
Williams & Wilkins Publishers.

26

Anda mungkin juga menyukai