Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori General Anestesi (GA)


1. Pengertian
Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen menurut Mangku &
Senapathi (2010) yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri = “mati ingatan’), analgesi
(bebas nyeri = “mati rasa”), dan relaksasi otot rangka (“mati gerak”). Ketiga target
anestesia tersebut populer disebut dengan “Trias anestesi”. General anestesi adalah
suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa
nyeri diseluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia.
2. Indikasi
a. Infant dan anak usia muda
b. Dewasa yang memilih anestesi umum
c. Pembedahannya luas / eskstensif
d. Penderita sakit mental
e. Pembedahan lama
f. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
g. Riwayat penderita toksik / alergi obat anestesi lokal
h. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia dan bedah anak biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi anestesi umum tergantung efek farmakologi pada organ yang
mengalami kelainan dan harus hindarkan pemakaian obat pada:
a. Hepar yaitu obat hepatotoksik, dosis dikurangi atau obat yang toksis terhadap
hepar atau dosis obat diturunkan
b. Jantung yaitu obat-obat yang mendespresi miokardium atau menurunkan aliran
darah koroner
c. Ginjal yaitu obat yg diekskresi di ginjal
d. Paru-paru yaitu obat yg merangsang sekresi Paru
e. Endokrin yaitu hindari obat yg meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan
pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada diabetes karena
bisa menyebabkan peninggian gula darah.
4. Teknik
General anestesi menurut Mangku & Senapathi (2010) membagi anestesi menjadi 3
komponen yang disebut trias anestesi dengan teknik general anestesi antara lain:
a. General Anestesi Intravena
Merupakan salah satu teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung kedalam pembuluh darah vena.
Obat induksi bolus disuntikkan dengan kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi hemodinamik harus selalu diawasi dan diberikan oksigen.
b. General Anestesi Inhalasi
Merupakan teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah
menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
Menurut Mangku & Senapathi (2010) ada beberapa teknik general anestesi
inhalasi antara lain:
1) Inhalasi sungkup muka
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan pada operasi
kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisi
terlentang.
2) Inhalasi Sungkup Laryngeal Mask Airway (LMA)
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan pada operasi
kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisi
terlentang.
3) Inhalasi Pipa Endotracheal (PET) nafas spontan
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan pada operasi
didaerah kepala-leher dengan posisi terlentang, berlangsung singkat dan tidak
memerlukan relaksasi otot yang maksimal.
4) Inhalasi Pipa Endotracheal (PET) nafas kendali
Inhalasi ini menggunakan obat pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya
dilakukan nafas kendali. Komponen anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik,
analgetik dan relaksasi otot. Teknik ini digunakan pada operasi yang
berlangsung lama >1jam (kraniotomi, torakotomi,laparatomi, operasi dengan
posisi lateral dan pronasi).
c. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan menggabungkan kombinasi obat-obatan baik
obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik
general anestesi dengan anestesi regional untuk mencapai trias anestesi secara
optimal dan berimbang
5. Komplikasi (Miller, 2010)
a) Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut
b) Hipertensi sistemik dan takikardi
c) Aspirasi cairan lambung
d) Barotrauma paru
e) Spasme laring
f) Edema laring

B. Konsep teori fraktur radius distal


1. Pengertian
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan
baik yang bersifat total maupun sebagian yang biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik (Helmi, 2012).
Fraktur radius distal adalah salah satu dari macam fraktur yang biasa terjadi
pada pergelangan tangan. Umumnya sering terjadi karena jatuh dalam keadaan
tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan lanjut usia. Bila
seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur, tangan akan tiba-tiba menjadi kaku,
dan kemudian menyebabkan tangan memutar dan menekan lengan bawah. Jenis
luka yang terjadi akibat keadaan ini tergantung usia penderita. Pada anak-anak dan
lanjut usia, akan menyebabkan fraktur tulang radius. Fraktur radius distal
merupakan 15 % dari seluruh kejadian fraktur pada dewasa.
ROI (Removle of Inplate) adalah suatu tindakan operasi pembedahan
untuk pelepasan internal fiksasi yang berbentuk plate dan skrew yang
diberikan untuk memfiksasi tulang panjang yang mengalami fraktur (Prasetyo,
2011)
2. Etiologi
Fraktur radius distal yang terjadi pada usia muda, disebabkan oleh trauma.
Baik karena kecelakaan lalu lintas ataupun terjatuh dari ketinggian. Faktor resiko
fraktur radius distal pada orang tua termasuk penurunan tulang mineral, jenis
kelamin perempuan, ras kulit putih, riwayat keluarga, dan menopause dini.
Fraktur disebabkan oleh beberapa hal, menurut Helmi (2012) adalah:
a. Fraktur Traumatik
Disebabkan oleh adanya trauma langsung maupun tidak secara tibatiba
baik ringan maupun berat yang mengenai tulang.
b. Fraktur stres
Fraktur yang terjadi akibat tulang mengalami tekanan yang terlalu sering.
c. Fraktur patologis
Fraktur yang disebabkan oleh kondisi sebelumnya, seperti kondisi proses
patologik penyakit yang mengakibatkan rentang fraktur

3. Manifestasi klinis
a. Nyeri hebat pada daerah fraktur
b. Perubahan posisi bila dibandingkan keadaan normal
c. Kehilangan sensasi pada daerah distal karena terjadi jepitan syaraf oleh
fragmen tulang
d. Perdarahan
e. Syok
f. Keterbatasan mobilitas

4. Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam klasifikasi fraktur radius distal , di antaranya
klasifikasi menurut Gartland-Werley, Frykmann, Fernandez, Malone dan
klasifikasi menurut AO. Frykmann membuat klasifikasi berdasarkan
keterlibatan radioulnar joint, radiocarpal joint, serta ada atau tidaknya fraktur
styloid ulna. Dalam sistem klasifikasi menurut Frykmann, Fraktur Colles
termasuk dalam Tipe I dan II. Dimana terjadi fraktur distal radius
ekstraartikular dengan arah pergeseran fragmen distal ke dorsal.
5. Patofisiologi
Pada kebanyakan aktifitas, sisi dorsal dari radius distal cenderung
mengalami tension, sisi volar dari radius distal cenderung mengalamikompresi,
hal ini disebabkan oleh bentuk integritas dari korteks pada sisi distal dari radius,
dimana sisi dorsal lebih tipis dan lemah sedangkan pada sisi volar lebih tebal dan
kuat.Beban yang berlebihan dan mekanisme trauma yang terjadi pada pergelangan
tangan akan menentukan bentuk garis fraktur yang akan terjadi.
Mekanisme cedera yang paling umum terjadi adalah jatuh ke tangan terulur
dengan pergelangan tangan dalam dorsofleksi. Fraktur radius distal terjadi ketika
dorsofleksi pergelangan tangan bervariasi antara 40 dan 90 derajat, dengan derajat
yang lebih rendah dari gaya yang dibutuhkan pada sudut yang lebih kecil. Impaksi
pada tulang metaphysis distal radius terhadap tulang karpal juga sering terjadi.
Selain itu, kekuatandari mekanisme trauma juga sering mengakibatkan
keterlibatan permukaan artikular. Mekanisme dengan energi tinggi (misalnya,
trauma kendaraan/kecelakaan lalu lintas) dapat mengakibatkan pergeseran atau
fraktur yang sangat kominutif (fraktur lebih dari tiga fragmen) dan mengakibatkan
sendi wrist tidak stabil.

6. Komplikasi
g. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung)
sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk menyambung.
h. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
i. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan perubahan
bentuk (deformitas).

7. Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen
b. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, golongan darah, kimia darah, masa
pembekuan darah
c. EKG bila diperlukan
8. Penatalaksanaan
Terapi fraktur radius distal bertujuan untuk mengembalikan fungsi
sendi pergelangan tangan tanpa disertai rasa nyeri dalam melakukan aktivitas
fisik sehari-hari serta mencegah terjadinya osteoarthritis sekunder pasca
trauma (Chen NC et al., 2007). Untuk mencapai tujuan terapi fraktur distal
radius terdapat beberapa parameter radiologis yang dapat digunakan sebagai
dasar evaluasi di antaranya radial inclination, radial length dan volar tilt.
Radial inklinasi merupakan sudut yang dibentuk antara garis imajiner dari
ujung prosesus styloid radius ke arah sudut ulnar dari permukaan artikuler
distal radius dengan garis perpanjangan axis longitudinal radius. Dinilai dari
gambaran radiologis frontal (AP) dengan posisi netral. Rata-rata nilai normalnya
yaitu 23°, dengan rentang 13-30°. Tatalaksana fraktur radius distal :
a. Non-operatif (Konservatif)
Indikasi tatalaksana non operatif : fraktur yang stabil serta pasien usia tua
dengan risiko tinggi untuk tindakan operatif. Tindakan non operatif
dilakukan dengan metode closed reduction dilanjutkan dengan pemasangan
cast.
b. Operatif
Indikasi tatalaksana operatif adalah cedera energi tinggi, hilangnya
reduksi sekunder, kominutif artikuler, step off, atau gap, kominutif
metafiseal atau bone loss, hilangnya volar buttress dengan displacement,
serta inkongruitas DRUJ.Para peneliti telah mengetahui bahwa khususunya
pada orang dewasa dengan tulang yang mengalami osteoporosis, terapi
konservatif tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan secara
konsisten. Oleh karena itu timbul berbagai usaha untuk mengembangkan
strategi lainnya yang meliputi reduksi fraktur yang lebih akurat dan
stabilisasi yang lebih dapat diandalkan sebagai terapi fraktur radius distal
(Rosati et al. 2006)
9. Pathway
C. Asuhan keperawatan peri anestesi
1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan
tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi. Pengkajian pre anestesi
meliputi :
1) Identitas pasien
2) Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
3) Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien, pemeriksaan
sistem pernapasan (breathing), sistem kardiovaskuler (bleeding),sistem
persyarafan (brain), sistem perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem
tulang, otot dan integument (bone).
4) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT-scan, USG, dll.
5) Kelengkapan berkas informed consent.
b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai
klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan
diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi pre
anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi
1) Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan
Tujuan : Cemas berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan.
 Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan.
 Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat.
 Pasien taampak tenang dan kooperatif.
 Tanda-tanda vital normal.
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat kecemasan.
 Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.
 Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan.
 Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
 Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
 Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
 Kolaborasi untuk memberikan obat penenang.
Evaluasi :
 Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau anestesi.
 Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan operasi.
 Pasien lebih tenang.
 Ekspresi wajah cerah.
 Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas normal.
2) Dx : Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d
vasodilatasi pembuluh darah dampak obat anestesi.
Tujuan : keseimbangan cairan dalam ruang intrasel dan ekstrasel tubuh
tercukupi.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan tidak haus/tidak lemas.
 Akral kulit hangat.
 Haemodinamik normal.
 Masukan dan keluaran cairan seimbang.
 Urine output 1-2 cc/kgBB/jam.
 Hasil laborat elektrolit darah normal.
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat kekurangan volume cairan.
 Kolaborasi dalam pemberian cairan dan elektrolit.
 Monitor masukan dan keluaran cairan dan elektrolit.
 Monitor hemodinamik pasien.
 Monitor perdarahan.
Evaluasi :
 Kebutuhan volume cairan seimbang.
 Lokasi tusukan infus tidak bengkak dan tetesan infus lancar.
 Cairan masuk dan keluar pasien terpantau.
 Hemodinamik normal.
 Laboratorium.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi
meliputi :
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit
sampai 10 menit.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
1) Dx : Pola nafas tidak efektif b/d penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Pola napas pasien menadi efektif/normal.
Kriteria hasil :
 Frekuensi napas normal.
 Irama napas sesuai yang diharapkan.
 Ekspansi dada simetris.
 Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan adanya sumbatan.
 Tidak menggunakan obat tambahan.
 Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%.
Rencana tindakan:
 Bersihkan secret pada jalan napas.
 Jaga patensi jalan napas.
 Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat.
 Monitor perfusi jaringan perifer.
 Monitor ritme, irama dan usaha respirasi.
 Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi.
Evaluasi :
 Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Napas spontan, irama dan ritme teratur.
2) Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Tidak akan terjadi aspirasi
Kriteria hasil :
 Pasien mampu menelan.
 Bunyi paru bersih.
 Tonus otot yang adekuat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda aspirasi.
 Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek muntah, kemampuan
menelan.
 Pantau bersihan jalan napas dan status paru.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Tidak ada muntah.
 Mampu menelan.
 Napas normal tidak ada suara paru tambahan.
3) Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.
Tujuan : Pasien aman selama dan setelah pembedahan.
Kriteria hasil :
 Selama operasi pasien tidak bangun/tenang.
 Pasien sadar setelah anestesi selesai.
 Kemampuan untuk melakukan gerakan yang bertujuan.
 Kemampuan untuk bergerak atau berkomunikasi.
 Pasien aman tidak jatuh
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila perlu gunakan tali pengikat.
 Jaga posisi pasien immobile.
 Atur tmeja operasi atau tubuh pasien untuk meningkatkan fungsi fisiologis
dan psikologis.
 Cegah resiko injuri jatuh.
 Pasang pengaman tempat tidur ketika melakukan transportasi pasien.
 Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang timbul.
Evaluasi :
 Pasien aman selama dan setelah pembiusan.
 Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-tanda vital stabil.
 Pasien aman tidak jatuh.
 Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa dipindahkan ke ruang rawat.
3. Post Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan
pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post
anestesi meliputi :
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
3) Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala
Bromage (untuk anestesi regional)
4) Instruksi post operasi.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
1) Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi
tertahan efek dari general anestesi.
Tujuan : bersihan jalan napas pasien efektif.
Kriteria hasil :
 Pola napas normal : frekuensi dan kedalaman, irama.
 Suara napas bersih.
 Tidak sianosis.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda ketidak efektifan dan pola napas.
 Ajarkan dan anjurkan batuk efektif.
 Pantau respirasi dan status oksigenasi.
 Buka jalan napas dan bersihkan sekresi.
 Beri oksigenasi dan ajarkan napas dalam.
 Auskultasi suara napas dan pantau status oksigenasi dan hemodinamik.
Evaluasi :
 Jalan napas efektif.
 Napas pasien spontan dan teratur.
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Status hemodinamik pasien stabil.
2) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
Tujuan : Mual muntah berkurang.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan mual berkurang.
 Pasien tidak muntah.
 Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing.
 Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan.
 Pantau tanda vital dan gejala mual muntah.
 Pantau turgor kulit.
 Pantau masukan dan keluaran cairan.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa mual.
 Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis.
 Nadi teratur dan kuat
 Status hemodinamik stabil.
3) Dx : Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi)
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
 Pasien mampu istirahat.
 Ekspresi wajah tenang dan nyaman.
Rencana tindakan:
 Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri.
 Gunakan tehnik komunikasi terapeutik.
 Ajarkan tehnik relaksasi.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Rasa nyeri berkurang atau hilang.
 Hemodinamik normal.
 Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang.
4) Dx : Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.
Tujuan : Pasien menunjukan termoregulasi.
Kriteria hasil :
 Kulit hangat dan suhu tubuh dalam batas normal.
 Perubahan warna kulit tidak ada.
 Pasien tidak menggigil kedinginan.
Rencana tindakan:
 Mempertahankan suhu tubuh selama pembiusan atau operasi sesuai yang
diharapkan.
 Pantau tanda-tanda vital.
 Beri penghangat.
Evaluasi :
 Suhu tubuh normal.
 Tanda-tanda vital stabil.
 Pasien tidak menggigil.
 Warna kulit tidak ada perubahan.

Anda mungkin juga menyukai