Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi atau tekanan darah tinggi diderita oleh hampir semua golongan

masyarakat di seluruh dunia. Jumlah penderita hipertensi terus bertambah,

terdapat sekitar 50 juta (21,7%) orang dewasa Amerika yang menderita hipertensi,

Thailand 17%, Vietnam 34,6%, Singapura 24,9%, Malaysia 29,9%. Di Indonesia,

prevalensi hipertensi berkisar 6-15%.1

Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosa adanya

hipertensi (underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan tidak adanya gejala

atau dengan gejala ringan bagi mereka yang menderita hipertensi. Sedangkan,

hipertensi ini sudah dipastikan dapat merusak organ tubuh, seperti jantung (70%

penderita hipertensi akan merusak jantung), ginjal, otak, mata serta organ tubuh

lainnya. Sehingga, hipertensi disebut sebagai silent killer.1

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20%

HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis

hipertensi dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 –

130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan

yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita.2 Angka kejadian krisis

HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 –

7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang

tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10

tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika

hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi2.

1
Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan

secara garis besar, The Eight Report of the Joint National Comitte on Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCVIII) membagi krisis HT

ini menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi

urgensi (mendesak). Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari

tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Gambaran kilnis krisis HT

berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD diastolik > 120 mmHg) dan menetap

pada nilai-nilai yang tingg idan terjadi dalam waktu yang singkat dan

menimbulkan keadaan klinis yang gawat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta

intensif lebih diutamakan daripada prosesur diagnostik karena sebagian besar

komplikasi krisis HT bersifat reversible.3

1.2 Batasan Masalah

Tinjauan kasus ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, dan

penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis krisis hipertensi.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahun penulis tentang krisis

hipertensi.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan tinjauan kasus ini menggunakan pustaka yang merujuk kepada

beberapa buku, guideline, maupun jurnal.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi 4,5

Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium

klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan

hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih

agresif.

Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC 7

Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan

tekanan darah akut. Definisi yang paling sering dipakai adalah:

1. Hipertensi emergensi (darurat)

Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik >

120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target seperti

hipertensi ensefalopati, perdarahan intraserebral, infark miokard akut,

gagal jantung kiri akut dengan edem pulmonar, unstable angina (ACS),

aneurisma diseksi aorta dan eklampsia. Hipertensi maligna, peningkatan

tekanan darah tiba-tiba yang berhubungan dengan vaskulitis nekrosis,

trombus arteriolar, dan proliferasi miointimal dengan nekrosis fibrinoid

pada arteriol ginjal (perburukan fungsi ginjal, proteinuria dan hematuria),

otak, retina (perdarahan, eksudat, papiledema) dan organ lainnya,

termasuk anemia hemolitik mikroangiopati, saat ini termasuk kedala

hipertensi emergensi. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera

3
mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi

intravena.

2. Hipertensi urgensi (mendesak)

Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi

namun tanpa disertai kerusakan organ target namun pasien dapat mengeluh

sakit kepala berat, dispnea, epistaksis, dan ansietas berat. Kebanyakan

pasien ini merupakan pasien hipertensi yang tidak diterapi secara adekuat,

atau tidak terkontrol dengan terapi yang diberikan. Pada keadaan ini

tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan

obat-obatan anti hipertensi oral.

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >

200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif

(triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai

dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut

ke fase maligna.

3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD

Diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai

papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari

vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak

mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita

dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang

terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.

4
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan

keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan

ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

2.2 Epidemiologi

Krisis hipertensi mempengaruhi sekitar 500.000 penduduk amerika atau

sekitar 1% dari penduduk dewasa. Setidaknya 3,2% pasien di ruang emergensi

memiliki krisis hipertensi. Walaupun begitu prevalensi survival 5 tahun pasien

yang memiliki krisis hipertensi adalah 74%. Penelitian yang dilakukan

Zampaglione et al mengevaluasi prevalensi krisis hipertensi pada emergensi

departemen selama 12 bulan, dan frekuensi end organ damage selama 24 jam

pertama. Ditemukan bahwa 76% krisis hipertensi adalah hipertensi urgensi dan

24% adalah hipertensi emergensi. Krisis hipertensi lebih banyak prevalensinya

pada pasien yang memiliki gangguan ginjal, termasuk stenosis arteri renalis dan

CKD.6

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada

penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%.

Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9%

(dari 31,7% menjadi 25,8%). Prevalensi hipertensi berdasarkan jenis kelamin

tahun 2007 maupun tahun 2013 prevalensi hipertensi perempuan lebih tinggi

dibanding laki-laki. Adapun komplikasi dari penyakit hipertensi adalah Penyakit

Jantung Koroner (PJK) Gagal Ginjal dan Stroke.7

5
2.3 Etiologi

Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa

disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab

hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga

karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan

resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan

menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat

kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.4

Penyebab hipertensi emergensi:

- Hipertensi esensial

- Penyakit ginjal

- Penyakit parenkim ginjal: pielonefritis kronik, glomerulonefritis,

nefritis tubulointersisial

- Penyakit vaskular pada ginjal: stenosis arteri ginjal, makroskopik

poliarteritis nodusa

- Obat-obatan: clonidine, methyldopa, phencyclidine

- Kehamilan: eklampsia dan preeklampsia berat

- Endokrin: Pheochromocytoma, Glucocorticoid access

- Kelainan sistem saraf pusat: stroke

2.4 Patofisiologi

Peningkatan tekanan darah yang hebat dapat berkembang secara de novo

ataupun dapat merupakan komplikasi yang mendasari hipertensi esensial atau

hipertensi sekunder. Faktor inisiasi hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi

masih belum banyak diketahui. Pemicu dalam terjadinya krisis hipertensi

6
diperkirakan akibat peningkatan yang cepat dari tekanan darah berhubungan

dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik.8

Kecepatan perubahan tekanan darah secara langsung berhubungan dengan

berkembangnya kecenderungan sindrom hipertensi akut, dengan cepatnya

peningkatan tekanan darah dalam durasi yang singkat meningkatkan kejadian

sindrom tersebut. 8

Endotel memainkan peran utama dalam homeostasis tekanan darah,

teruatama dengan memodulasi tonus vaskular via sekresi dari substansi –

substansi seperti nitrat oksida dan prostacyclin. Peregangan dinding pembuluh

darah selama peningkatan tekanan darah yang signifikan menyebabkan aktifnya

sistem renin-angiotensin, yang juga merupakan faktor penting dalam peningkatan

tekanan darah yang berat. Ketika terdapat peningkatan tekanan darah yang

berkelanjutan atau berat, mekanisme kompensasi vasodilator endotelial menjadi

tidak aktif, sehingga menyebabkan terjadinya dekompensasi, yang berakibat pada

peningkatan lebih lanjut dari tekanan darah dan kerusakan endotel. Proses ini

menyebabkan terjadinya sebuah lingkaran berkelanjutan yang mengakibatkan

peningkatan progresif dari resistensi dan disfungsi endotel. Gambar 1

menunjukkan bagan patofisiologi yang mendasari terjadinya hipertensi

emergensi.8

7
Gambar 2.1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap

kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi

terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi

pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika

tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran

darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg.

Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan

8
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang

menurun.4

Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan

manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop. Pada penderita

hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang

autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga

pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi. 4

Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita

hipertensi dengan yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan

pengobatan mempunyai nilai diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa

pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung menggeser

autoregulasi ke arah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang

normotensi maupun hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari

autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu

dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam

beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.

Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru

akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat

lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati,

penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri

akut ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih

lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari

170-180/100 mmHg. 4

9
2.5 Diagnosis9,10,11

Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan

tekanan darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya.

Tingginya tekanan darah bervariasi yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan

darah agar tidak mempengaruhi dan merusak organ lain pada tubuh.

Tabel 2.2. Kerusakan Target Organ Pada Hipertensi

Prinsip-prinsip penegakan diagnosis krisis hipertensi tidak berbeda dengan

penyakit lainnya

1. Anamnesis

 Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

 Riwayat pemakaian obat simpatomimetik dan steroid

 Kelainan hormonal

 Tekanan darah rata-rata

 Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

10
 Usia: sering pada usia 40 – 60 tahun.

 Gejala system organ penyerta seperti saraf (sakit kepala, pusing,

perubahan mental, ansietas), ginjal (hematuri, jumlah urine berkurang),

system kardiovaskular (adanya gagal jantung, kongestif dan oedem

paru, nyeri dada).

 Riwayat kehamilan: tanda eklampsi, PEB.

 Riwayat penyakit keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi

perifer (raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya selisih

dengan nadi femoral, radial-femoral pulse leg)

b. Mata: Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat.

c. Jantung: Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi

jantung S3 dan S4 serta adanya bunyi bising lainnya.

d. Paru: apakah terdapat ronki basah yang mengindikasikan CHF.

e. Status neurologik: penilaian status mental dan perhatikan adanya defisit

neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks fisiologis dan

patologis.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya,

penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan antara lain;

pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin, urinalisis, hitung jenis

11
komponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya antara lain foto rontgen toraks,

EKG dan CT-Scan. Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

1) Pemeriksaan yang segera seperti :

a. darah : rutin, ureum, kreatinin, elektrolit.

b. urine : Urinalisa dan kultur urine.

c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.

d. Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah

pengobatan terlaksana).

2) Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil

pemeriksaan yang pertama):

a. Curiga kelainan renal: IVP, Renal angiography (kasus tertentu), biopsi

renal (kasus tertentu).

b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi: lumbar

pungsi, Brain CT Scan.

c. Bila terdapat kemungkinan Feokhromositoma: urine 24 jam untuk

Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA )

4. Diagnosis Banding

1. Feokhromositoma

2. Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.

3. Ansietas dengan hipertensi labil.

4. Oedema paru dengangagaljantung.

12
Tabel 2.3. Kategori Diagnostik dan Evidence Kerusakan Organ Target

2.6 Tatalaksana4

2.7.1. Hipertensi urgensi

1. Tatalaksana umum

Tatalaksana pada hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan

parenteral. Pemberian obat- obatan aksi cepat memberikan manfaat untuk

menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal mean atrial pressure dapat

diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal gold standard dapat diturunkan

sampai 160/110 mmHg.

Penggunaan obat-obat an antihipertensi parenteral maupun oral. Pada

pemberian loading dose oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi

dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang.

13
2. Obat-obatan spesifik untuk anti hipertensi urgensi

a. Captopril

Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)

inhibitor dengan onset 15-30 menit. Captopril dapat diberikan dosis

awal 25mg kemudian ditingkatkan dosisnya menjadi 50-100 mg

setelah 90-120 menit kemudian. Efeknya sering terjadi batuk,

hipotensi, hiperkalemi, angioedem, dan gagal ginjal ( khusus pada

pasien dengan stenois arteri renal bilateral).

b. Nicardipin

Obat golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada

hipertensi urgensi. Pada penelitian pada 53 pasien yang diberikan

nicardipin dan placebo. Nicardipin memiliki efek 65% dibandingkan

placebo yang mencapai 22%. Penggunaan dosis oral biasanya 30mg

dapat diulang 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan.

Efek samping palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.

c. Labetalol

Obat gabungan antara α dan β blocking yang memiliki waktu kerja 1-2

jam. Menurut penelitiannya labetalol memiliki dose range yang sangat

lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Pada 36 pasien

dibagi 3 kelompok diberikan 100 mg, 200 mg ,300 mg secara oral

menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang

signifikan. Secara umum dapat diberikan dosis 200mg dan dapat

diulangi 3-4 jam kemudian , efek samping berupa mual dan sakit

kepala.

14
d. Clonidin

Obat –obatan simpatolitik sentral (α2-adrenergik reseptor agonist)yang

memiliki mula kerja 15-30 menit dan puncaknya 2-4 jam. Dosis awal

0,1-0,2 mg kemudian 0,05 – 0,1 per jam sampai tercapainya tekanan

darah yang di inginkan. Dosis maksimum 0,7 mg. efek samping adalah

sedasi,mulut kering, dan hipoteni orthostatik.

2.7.2. Hipertensi emergensi

1. Tatalaksana umum

Terapi harus disesuaikan tiap individu sesuai dengan organ target .

pasien harus berada dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah dapat

dikontrol dengan pemantauan yang tepat , obat diberikan secara parenteral.

Penurunan mean arterial pressure 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam

berikutnya. Penurunan secara cepat dapat mengakibatkan hipoperfusi jantung dan

pembuluh darah otak.

2. Tatalaksana Khusus

a. Neurologik emergensi

Gawat darurat neurologi pada hipertensi emergensi seperti hipertensif

ensepalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke iskemik akut.

American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan

darah pada tekanan darah > 180/105 mmHg pada hipertensi dengan

perdarahan intracranial MAP harus dipertahankan di bawah 130

mmHg. Pada pasien stroke iskemik tekanan darah harus dipantau

secara hati hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah

15
akan menurun secara spontan. MAP secara terus menerus

dipertahankan > 130 mmHg.

b. Emergensi kardiak

Gawat darurat pada jantung seperti iskemik akut pada otot jantung

,edem paru dan diseksi aorta . pada pasien hipertensi emergensi yang

melibatkan iskemik otot jantung dapat diberikan terapi nitroglycerin.

Pada penelitian yang telah dilakukan nitroglycerin dapat meningkatkan

aliran darah arteri koroner. Pada pasien keadaan diseksi aorta akut

pemberian obat-obatan beta blocker IV dapat diberikan pada terapi

awal,selanjutnya dilanjutkan obat vasodilator seperti nitropusside.

Obat –obatan tersebut dapar menurunkan tekanan darah ke tekanan

yang di inginkan ( TD sistolik > 120 mmHg) dalam 20 menit.

c. Gagal ginjal

Acute kidney injury merupakan konsekuensi hpertensi emergensi.

Kidney injury ditandai proteinuria,hematuria,oliguria, atau anuria.

Pemberian yang kontroversi , namun nitropusside IV telah digunakan

secara luas namun obat ini sendiri dapat menyebabkan keracunan

sianida atau tiosianat. Pemberian nefoldopam parenteral dapat

menghidari potensi keracunan sianida akibat pemberian nitropusside.

d. Hyperadrenergik states

Hipertensi emergensi dapat dipengaruhi obat-obatan seperti

katekolamin,klonidin dan penghambat mono amin oksidase. Pada

keadaan ini tekanan darah dapat dikontrol dengan sodium nitropusside

16
dan tambahan golongan beta blocker dapat diberikan sampai tekanan

darah tercapai.

2.7 Prognosis 4,

WHO membuat tabel stratifikasi dan membuat tiga kategori risiko yang

berhubungan dengan timbulnya kejadian penyakit kardiovaskular selama 10 tahun

kedepan: (1) risiko rendah, kurang dari 15% (2) risiko menengah, sekitar 15-20%

(3) risiko tinggi, lebih dari 20%.

Tabel 2.4 Faktor resiko yang mempengaruhi prognosis dari penyakit hipertensi

Faktor Resiko
Laki-laki
Usia (laki-laki ≥55 tahun, perempuan usia ≥65 tahun)
Perokok
Dislipidemia
Kolesterol total >4,9 mmol/L (190mg/dL), dan/atau
LDL kolesterol >3.0 mmol/L(115mg/dL) dan/atau
HDL kolesterol: laki-laki <1.o mmol/L (40 mg/dL), perempuan ,1.2
mmol/L (46mg/dL), dan/atau
Trigliserida >1,7mmol/L (150 mg/dL)
Gula darah puasa 5.6-6.9 mmol/L (102-125 mg/dL)
Tes toleransi glukosa terganggu
Obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2)
Obesitas sentral (lingkar perut: laki-laki ≥102 cm; perempuan ≥ 88 cm)
Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular (laki-laki usia < 55 tahun;
perempuan <65 tahun
Kerusakan organ asimptomatik
Tekanan nadi ≥ 60 mmHg
EKG terdapat LVH

17
Echocardigraphy LVH
Penebalan dinding karotid (IMT> 0.9 mm) atau plak
PWV carotid – femoral >10 m/s
Ankle-brachial index <0.9
CKD dengan eGFR 30-60 ml/mln/1.73 m2
Mikroalbuminemia (30-300 mg/24 jam), atau rasio albumin kreatinin (30-300
mg/g; 3.4-34 mg/mmol)
Diabetes melitus
Gula darah puasa ≥7.0 mmol/L (126mg/dL)
HbAtc >7% (53 mmol/mol), dan/atau
Gula darah sesudah load >11.00mmol/L (198mg/dL)
Kelainan kardiovaskuler atau penyakit ginjal
Penyeakit serebrovaskuler: stroke iskemik; perdarahan serebral, transient
ischaemic attack
CHD: infeksi miokard; angina; revaskularisasi miokard dengan PCI atau CABG
Gagal jantung, termasuk gagal hati dengan preserved EF
Penyakit arteri periferpada ekstreminitas bawah psimtomatis
CKD dengan eGFR ,30 mL/min/1.73 m2, proteinuria (>300 mg/24 jam)

Tabel 2.5 Prognosis

TEKANAN DARAH (mmHg)


Faktor risiko dan Grade 1 (TDS Grade 2 (TDS Grade 3 (TDS ≥
riwayat penyakit 140-159 atau 160-179 atau 180 atau TDD
lainnya TDD 90-99) TDD 100-109) ≥110)
I. Tidak ada Risiko Rendah Risiko sedang Risiko tinggi
faktor
risiko
II. 1-2 faktor Risiko sedang Risiko sedang Risiko tinggi
risiko
III. 3 atau Risiko tinggi Risiko tinggi Risiko tinggi
lebih
faktor
risiko,
atau
TOD,
atau ACC

18
TDS: Tekanan darah diastolik, TDD: tekanan darah diastolik, TOD: Target organ
damage, ACC: associated clinical conditions.

Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan
gagal jantun (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat
dan segera.

19
BAB 3

KESIMPULAN

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang


mendadak sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg,
pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera. Semakin
meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat menyebabkan semakin
seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat mengancam jiwa.
Diperkirakan sekitar 1% dari pasien hipertensi akan mengalami krisis hipertensi.
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada masih belum begitu jelas, namun demikian ada dua peran penting
yang menjelaskan patofisiologi tersebut, yaitu: peran langsung dari peningkatan
tekanan darah dan peran mediator endokrin dan parakrin.

Faktor resiko terbanyak yang sering menyebabkan krisis hipertensi ialah


penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti hipertensi
tidak teratur. Penegakan diagnosis krisis hipertensi berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Tujuan utama pada penanganan krisis hipertensi
adalah menurunkan tekanan darah. Upaya penurunan tekanan darah pada kasus
hipertensi emergensi harus dilakukan segera (<1 Jam) sedangkan kasus hipertensi
urgensi dapat dilakukan dalam kurun waktu beberapa jam hingga hari. Penangan
pertama yang dilakukan pada hipertensi emergensi adalah ialah memberikan obat
antihipertensi kerja cepat secara intravena, sedangkan pada hipertensi urgensi
cukup dengan pemberian obat antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan
hipertensi emergensi sebaiknya dirawat di ICU demi pemantauan secara ketat atas
pemberian obat anti hipertensi intravena. Krisis hipertensi pada keaadan khusus
memiliki prinsip-prinsip penatalaksanaan tersendiri dalam menangani
kegawatdaruratan.

20
Daftar Pustaka

1. Susilo, W. 2011. Cara Jitu Mengatasi Hipertensi. Jakarta: Penerbit Andi


2. Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New
Engl J Med, 323 : 1177-83.
3. Gifford R.W, 1991 : Management of Hypertensi Crisis, JAMA SEA,266; 39-
45.
4. Devicaesaria, A. Hipertensi Krisis. Medicinus. 2014. Vol. 27, No. 3. P: 9-17.
5. Ker JA. Hypertensive crisis. S Afr Fam Pract 2011;53(3):251-253
6. Rodriguez, MA. Kumar, SK. De Caro, M. Hypertensive Crisis. Cardiology in
Review. 2010; 18. P; 102-7
7. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Hipertensi.
2014.
8. Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital Physician
March 2007
9. Leonanrd L. 2011. Pathophysiology of Heart Disease Edition 5. Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business. Philadelphia
10. McPhee, S. dan Papadakis, M. 2009. Current medical diagnosis & treament
48th Edition. USA: Mc Graw Hill
11. Sudoyo, A. et al (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Jakarta:
Internal Publishing

21

Anda mungkin juga menyukai