Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengembangan sumber daya manusia di dalam pembangunan ekonomi sangat

penting untuk diperhatikan karena titik permulaan pertumbuhan ekonomi terletak pada

meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Dalam rangka meningkatkan produktivitas

maka perhatian terhadap tenaga kerja sangat penting karena tenaga kerja mempunyai hak

untuk mendapat perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan selama bekerja.

Perhatian pemerintah terhadap tenaga kerja diaplikasikan dengan adanya Undang -

undang dan peraturan pemerintahan. Penjelasan umum pasal ini menyatakan agar aman

melakukan pekerjaannya sehari-hari dalam meningkatkan produktivitas nasional, tenaga

kerja harus dilindungi dari berbagai soal di sekitarnya serta pada dirinya yang dapat

menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Perhatian yang

kurang terhadap kesehatan dan keselamatan tenaga kerja dapat mengakibatkan hal-hal

yang tidak diinginkan. Hal-hal tersebut terjadinya penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja,

penurunan produktivitas dan gangguan kesehatan baik fisik maupun psikologis.

Gangguan fisik mudah dideteksi karena dapat dilihat oleh indera secara langsung,

sedangkan gangguan psikologis sulit untuk dideteksi karena biasanya tidak disadari

adanya dan tidak dapat dilihat oleh indera secara langsung tetapi dapat mengakibatkan

dampak negatif bagi perusahaan dan bagi tenaga kerja itu sendiri. Salah satu gangguan

psikologis

1
2

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja

di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami

sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun.

Setiap tempat kerja kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang

mendapatkan mendapatkan mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat

menimbulkan penyakit akibat akibat kerja.Gangguan ini dapat berupa gangguan

fisik atau psikis terhadap tenaga kerja.gangguan psikis merupakan terhadap tenaga

kerja.Gangguan psikis merupakan potensi bahaya yang sering terabaikan,padahal

potensi bahaya psikis juga merupakan factor yang perlu diperhatikan dalam

kaitannya dengan kesehatan mental pekerja. Terjadinya konflik dalam diri tenaga

kerja sebagai akibat yang timbul dari gangguan psikologis apabila tidak segera

diatasi akan berdampak pada timbulnya stress kerja (Tarwaka,2010).

Kesehatan kerja merupakan aplikasi dalam penerapan konsep kesehatan dalam

masyarakat yang diterapkan dalam suatu tempat kerja, seperti di perusahaan, pabrik,

kantor dan rumah sakit. WHO menyatakan stres merupakan epidemi yang menyebar

keseluruh dunia. Laporan PBB menjuluki stres kerja sebagai “penyakit abad 20”. The

American Institute Of Stress menyatakan bahwa penyakit yang berkaitan dengan stres

telah menyebabkan kerugian ekonomi negara Amerika Serikat lebih dari $100 miliar

per tahun.Penelitian yang dilakukan The National Institute Occupational Safety and

Health (NIOSH) menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan

rumah sakit atau kesehatan memiliki kecenderungan tinggi untuk terkena stres kerja

atau depresi sedangkan American National Association for Occupational Health

(ANAOH) menempatkan kejadian stres kerja pada perawat berada diurutan paling atas

pada empat puluh pertama kasus stres kerja pada pekerja. Hal ini bisa disebabkan oleh
3

tugas-tugas perawat yang sering monoton dan kondisi ruangan yang sempit, biasa

dirasakan oleh perawat yang bertugas di bagian bangsal. Tuntutan untuk bertindak cepat

dan tepat dalam menangani pasien biasanya dihadapi oleh perawat diruang gawat

darurat atau bagian kecelakaan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh NIOSH tahun

2017, menyatakan pekerja yang mengalami stress kerja di Amerika Serikat sebesar 75%

dengan pembagian kategori sedang sampai tinggi antara 26-52% .

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang bergerak di bidang

pelayanan kesehatan yang setiap hari berhubungan dengan pasien. Rumah sakit

sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan

mencakup pelayanan medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan

tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap

(Muninjaya, 2004).

Stres kerja banyak terjadi pada para pekerja di sektor kesehatan. Tanggung jawab

terhadap manusia pada sektor kesehatan menyebabkan pekerja lebih rentan terhadap stres

(Taylor, 2006). Sebuah studi cross sectional terhadap 775 tenaga profesional di Taiwan

tahun 2010 menghasilkan informasi bahwa 64,4% pekerja mengalami kegelisahan, 33,7%

pekerja mengalami mimpi buruk, 44,1 mengalami gangguan iritabilitas, 40,8% pekerja

mengalami sakit kepala, 35% pekerja insomnia, dan 41,4% pekerja mengalami gangguan

gastrointestinal (Tsai & Lu, 2012).

Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien salah satu komponen yang

penting adalah sumber daya manusia.Karena hanya sumber daya manusia yang mampu

mewujudkan misi,visi dan tujuan dari rumah sakit.Pegawai adalah sumber daya manusia

yang harus dikelola secara optimal oleh rumah sakit.Menurut Cascio (2010) manusia

adalah sumber daya yang sangat penting dalam bidang industry dan organisasi,oleh

karena itu rumah sakit perlu memandang pegawai sebagai asset perusahaan yang juga

memberikan kemajuan dan peningkatan terhadap perusahaan (Novliadi F,2012).


4

Charnley (1999) menyatakan bahwa meskipun seluruh tenaga profesional di

rumah sakit memiliki risiko stres, namun para perawat memiliki tingkat stres yang lebih

tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat peran perawat di Indonesia yang ditegaskan pada

Pasal 63 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

menyebutkan bahwa sesungguhnya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan

dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan. Perawat bekerja pada

lingkungan di mana ia bertanggung jawab menentukan kualitas dan keamanan perawatan

pasien. Apabila perawat mengalami stres kerja dan stres tersebut tidak dikelola dengan

baik, maka akan membahayakan pasien (Jennings, 2008). Jika sebagian besar perawat

mengalami stres kerja, maka dapat mengganggu kinerja rumah sakit karena perawat tidak

bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi rumah sakit dan pada akhirnya akan

mempengaruhi daya saing mereka di pasar dan lebih dari itu bahkan dapat

membahayakan kelangsungan organisasi rumah sakit (WHO,2003 dikutip dari Dewi

Yana,2014).

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.659/Menkes/per/VIII/2009 tentang Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia, rumah sakit

adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan

gawat darurat. Rumah sakit diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat dengan baik. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan

tenaga medis yang mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Seiring dengan semakin pedulinya masyarakat terhadap kesehatannya, semakin

tinggi pula tuntutan masyarakat atas mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

pihak Rumah Sakit khususnya dari segi asuhan keperawatannya. Mutu rumah sakit

sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang dominan adalah sumber daya

manusia. Sumber daya manusia yang terlibat secara langsung dalampemberian


5

pelayanan keperawatan pada pasien adalah tenaga perawat yang berjumlah 60% dari

tenaga kesehatan lain (Depkes, 2005).

Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya

penanganan asuhan keperawatan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang tergantung

pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu,

karakteristik tugas dan material seperti (peralatan, kecepatan, kesiagaan), karakteristik

organisasi yaitu jam kerja/shift kerja dan karakteristik lingkungan kerja seperti man,

tugas, suhu, kebisingan,penerangan, sosio budaya, dan bahan pencemar (Nursalam,

2002). Selain itu peran perawat sangat penting karena merupakan ujung tombak

pelayanan kesehatan di rumah sakit dan merupakan tenaga yang paling lama kontak

dengan pasien yaitu selama 24 jam Keliat (1999 dikutip dari Pitaloka, 2010).

Menurut Setiyana (2013) mengatakan bahwa banyak ditemukan fenomena

di rumah sakit adanya perawat yang tidak sabar, suka marah, berbicara ketus dengan

pasien dan keluarga pasien, bahkan terjadi kelalaian dalam bekerja seperti kesalahan

dalam pemberian obat, dan keterlambatan dalam melakukan injeksi. Hal ini tentu sangat

berlawanan dengan tugas dan kewajiban sebagai seorang perawat yang harus

memberikan pelayanan prima pada pasien. Tugas dan tanggung jawab perawat bukan

hal yang ringan untuk dilakukan. Menurut Danang (2009) perawat bertanggung jawab

terhadap tugas fisik, administratif, menghadapi kecemasan, dan keluhan yang muncul

dari pasien, serta dituntut untuk selalu tampil sebagai profil perawat yang baik oleh

pasiennya. Selain itu, perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan

kegiatan yang bukan kegiatan perawat.

Hasil penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia

(dikutip dari Prihatini, 2007) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas

kebersihan, 63,6% melakukan tugas administrasi, dan lebih dari 90% melakukan tugas

non keperawatan dan hanya 50% yang melakukan tindakan asuhan keperawatan sesuai

dengan fungsinya.
6

Menurut Swedarma (2011 dikutip dari Setiyana, 2013) kurangnya kapasitas

perawat dibandingkan jumlah pasien menyebabkan perawat akan mengalami

kelelahan dalam bekerja karena kebutuhan pasien terhadap asuhan keperawatan lebih

besar dari standar kemampuan perawat. Kelelahan dalam bekerja ini apabila berlangsung

secara terus menerus akan menjadi faktor pemicu munculnya stres kerja. Stres kerja

merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional yang

menghambat performance individu (Robbins, 2004). Jika hal ini terus terjadi, kondisi

psikologis perawat akan menurun dan menjadi tertekan dan keadaan ini dapat

mengakibatkan stres kerja. Stres kerja dapat membuat perawat menjadi mudah

marah, tidak ramah, serta mudah lelah. Berbagai situasi dan tuntutan kerja yang dialami

dapat menjadi sumber potensial terjadinya stres.

Menurut Siagian (2006) menyatakan bahwa jika stres tidak dapat diantisipasi

dengan baik dan benar maka akan berakibat pada ketidakmampuan seseorang

berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan

maupun lingkungan di luar pekerjaannya. Menurut Handoko (1995, dikutip dari

Chairani, 2009) bahwa lingkungan yang paling potensial menghadirkan stres adalah

lingkungan kerja di mana beban tugas dari pekerjaan yang bersangkutan benar-benar

dapat mengganggu karyawan atau pekerja.

Menurut Rahardjo (2005), stres yang berasal dari lingkungan kerja lazim disebut

stres kerja. Menurut Riggio (2003) stres kerja adalah interaksi antara seseorang dan

situasi lingkungan atau stresor yang mengancam atau menantang sehingga menimbulkan

reaksi pada fisiologis maupun psikologis pekerja.


7

Stres
merupa
kan
tangga
pan/rea
ksi
tubuh
terhad
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengembangan sumber daya manusia di dalam pembangunan ekonomi sangat

penting untuk diperhatikan karena titik permulaan pertumbuhan ekonomi terletak pada

meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Dalam rangka meningkatkan produktivitas

maka perhatian terhadap tenaga kerja sangat penting karena tenaga kerja mempunyai hak

untuk mendapat perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan selama bekerja.

Perhatian pemerintah terhadap tenaga kerja diaplikasikan dengan adanya Undang -

undang dan peraturan pemerintahan. Penjelasan umum pasal ini menyatakan agar aman

melakukan pekerjaannya sehari-hari dalam meningkatkan produktivitas nasional, tenaga

kerja harus dilindungi dari berbagai soal di sekitarnya serta pada dirinya yang dapat

menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Perhatian yang

kurang terhadap kesehatan dan keselamatan tenaga kerja dapat mengakibatkan hal-hal

yang tidak diinginkan. Hal-hal tersebut terjadinya penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja,

penurunan produktivitas dan gangguan kesehatan baik fisik maupun psikologis.

Gangguan fisik mudah dideteksi karena dapat dilihat oleh indera secara langsung,

sedangkan gangguan psikologis sulit untuk dideteksi karena biasanya tidak disadari

adanya dan tidak dapat dilihat oleh indera secara langsung tetapi dapat mengakibatkan

dampak negatif bagi perusahaan dan bagi tenaga kerja itu sendiri. Salah satu gangguan

psikologis

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja

di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami
8

sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun.

Setiap tempat kerja kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang

mendapatkan mendapatkan mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat

menimbulkan penyakit akibat akibat kerja.Gangguan ini dapat berupa gangguan

fisik atau psikis terhadap tenaga kerja.gangguan psikis merupakan terhadap tenaga

kerja.Gangguan psikis merupakan potensi bahaya yang sering terabaikan,padahal

potensi bahaya psikis juga merupakan factor yang perlu diperhatikan dalam

kaitannya dengan kesehatan mental pekerja. Terjadinya konflik dalam diri tenaga

kerja sebagai akibat yang timbul dari gangguan psikologis apabila tidak segera

diatasi akan berdampak pada timbulnya stress kerja (Tarwaka,2010).

Kesehatan kerja merupakan aplikasi dalam penerapan konsep kesehatan dalam

masyarakat yang diterapkan dalam suatu tempat kerja, seperti di perusahaan, pabrik,

kantor dan rumah sakit. WHO menyatakan stres merupakan epidemi yang menyebar

keseluruh dunia. Laporan PBB menjuluki stres kerja sebagai “penyakit abad 20”. The

American Institute Of Stress menyatakan bahwa penyakit yang berkaitan dengan stres

telah menyebabkan kerugian ekonomi negara Amerika Serikat lebih dari $100 miliar

per tahun.Penelitian yang dilakukan The National Institute Occupational Safety and

Health (NIOSH) menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan

rumah sakit atau kesehatan memiliki kecenderungan tinggi untuk terkena stres kerja

atau depresi sedangkan American National Association for Occupational Health

(ANAOH) menempatkan kejadian stres kerja pada perawat berada diurutan paling atas

pada empat puluh pertama kasus stres kerja pada pekerja. Hal ini bisa disebabkan oleh

tugas-tugas perawat yang sering monoton dan kondisi ruangan yang sempit, biasa

dirasakan oleh perawat yang bertugas di bagian bangsal. Tuntutan untuk bertindak cepat
9

dan tepat dalam menangani pasien biasanya dihadapi oleh perawat diruang gawat

darurat atau bagian kecelakaan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh NIOSH tahun

2017, menyatakan pekerja yang mengalami stress kerja di Amerika Serikat sebesar 75%

dengan pembagian kategori sedang sampai tinggi antara 26-52% .

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang bergerak di bidang

pelayanan kesehatan yang setiap hari berhubungan dengan pasien. Rumah sakit

sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan

mencakup pelayanan medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan

tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap

(Muninjaya, 2004).

Stres kerja banyak terjadi pada para pekerja di sektor kesehatan. Tanggung jawab

terhadap manusia pada sektor kesehatan menyebabkan pekerja lebih rentan terhadap stres

(Taylor, 2006). Sebuah studi cross sectional terhadap 775 tenaga profesional di Taiwan

tahun 2010 menghasilkan informasi bahwa 64,4% pekerja mengalami kegelisahan, 33,7%

pekerja mengalami mimpi buruk, 44,1 mengalami gangguan iritabilitas, 40,8% pekerja

mengalami sakit kepala, 35% pekerja insomnia, dan 41,4% pekerja mengalami gangguan

gastrointestinal (Tsai & Lu, 2012).

Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien salah satu komponen yang

penting adalah sumber daya manusia.Karena hanya sumber daya manusia yang mampu

mewujudkan misi,visi dan tujuan dari rumah sakit.Pegawai adalah sumber daya manusia

yang harus dikelola secara optimal oleh rumah sakit.Menurut Cascio (2010) manusia

adalah sumber daya yang sangat penting dalam bidang industry dan organisasi,oleh

karena itu rumah sakit perlu memandang pegawai sebagai asset perusahaan yang juga

memberikan kemajuan dan peningkatan terhadap perusahaan (Novliadi F,2012).


10

Charnley (1999) menyatakan bahwa meskipun seluruh tenaga profesional di

rumah sakit memiliki risiko stres, namun para perawat memiliki tingkat stres yang lebih

tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat peran perawat di Indonesia yang ditegaskan pada

Pasal 63 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

menyebutkan bahwa sesungguhnya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan

dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan. Perawat bekerja pada

lingkungan di mana ia bertanggung jawab menentukan kualitas dan keamanan perawatan

pasien. Apabila perawat mengalami stres kerja dan stres tersebut tidak dikelola dengan

baik, maka akan membahayakan pasien (Jennings, 2008). Jika sebagian besar perawat

mengalami stres kerja, maka dapat mengganggu kinerja rumah sakit karena perawat tidak

bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi rumah sakit dan pada akhirnya akan

mempengaruhi daya saing mereka di pasar dan lebih dari itu bahkan dapat

membahayakan kelangsungan organisasi rumah sakit (WHO,2003 dikutip dari Dewi

Yana,2014).

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.659/Menkes/per/VIII/2009 tentang Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia, rumah sakit

adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan

gawat darurat. Rumah sakit diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat dengan baik. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan

tenaga medis yang mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Seiring dengan semakin pedulinya masyarakat terhadap kesehatannya, semakin

tinggi pula tuntutan masyarakat atas mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

pihak Rumah Sakit khususnya dari segi asuhan keperawatannya. Mutu rumah sakit

sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang dominan adalah sumber daya

manusia. Sumber daya manusia yang terlibat secara langsung dalampemberian


11

pelayanan keperawatan pada pasien adalah tenaga perawat yang berjumlah 60% dari

tenaga kesehatan lain (Depkes, 2005).

Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya

penanganan asuhan keperawatan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang tergantung

pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu,

karakteristik tugas dan material seperti (peralatan, kecepatan, kesiagaan), karakteristik

organisasi yaitu jam kerja/shift kerja dan karakteristik lingkungan kerja seperti man,

tugas, suhu, kebisingan,penerangan, sosio budaya, dan bahan pencemar (Nursalam,

2002). Selain itu peran perawat sangat penting karena merupakan ujung tombak

pelayanan kesehatan di rumah sakit dan merupakan tenaga yang paling lama kontak

dengan pasien yaitu selama 24 jam Keliat (1999 dikutip dari Pitaloka, 2010).

Menurut Setiyana (2013) mengatakan bahwa banyak ditemukan fenomena

di rumah sakit adanya perawat yang tidak sabar, suka marah, berbicara ketus dengan

pasien dan keluarga pasien, bahkan terjadi kelalaian dalam bekerja seperti kesalahan

dalam pemberian obat, dan keterlambatan dalam melakukan injeksi. Hal ini tentu sangat

berlawanan dengan tugas dan kewajiban sebagai seorang perawat yang harus

memberikan pelayanan prima pada pasien. Tugas dan tanggung jawab perawat bukan

hal yang ringan untuk dilakukan. Menurut Danang (2009) perawat bertanggung jawab

terhadap tugas fisik, administratif, menghadapi kecemasan, dan keluhan yang muncul

dari pasien, serta dituntut untuk selalu tampil sebagai profil perawat yang baik oleh

pasiennya. Selain itu, perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan

kegiatan yang bukan kegiatan perawat.

Hasil penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia

(dikutip dari Prihatini, 2007) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas

kebersihan, 63,6% melakukan tugas administrasi, dan lebih dari 90% melakukan tugas
12

non keperawatan dan hanya 50% yang melakukan tindakan asuhan keperawatan sesuai

dengan fungsinya.

Menurut Swedarma (2011 dikutip dari Setiyana, 2013) kurangnya kapasitas

perawat dibandingkan jumlah pasien menyebabkan perawat akan mengalami

kelelahan dalam bekerja karena kebutuhan pasien terhadap asuhan keperawatan lebih

besar dari standar kemampuan perawat. Kelelahan dalam bekerja ini apabila berlangsung

secara terus menerus akan menjadi faktor pemicu munculnya stres kerja. Stres kerja

merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional yang

menghambat performance individu (Robbins, 2004). Jika hal ini terus terjadi, kondisi

psikologis perawat akan menurun dan menjadi tertekan dan keadaan ini dapat

mengakibatkan stres kerja. Stres kerja dapat membuat perawat menjadi mudah

marah, tidak ramah, serta mudah lelah. Berbagai situasi dan tuntutan kerja yang dialami

dapat menjadi sumber potensial terjadinya stres.

Menurut Siagian (2006) menyatakan bahwa jika stres tidak dapat diantisipasi

dengan baik dan benar maka akan berakibat pada ketidakmampuan seseorang

berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan

maupun lingkungan di luar pekerjaannya. Menurut Handoko (1995, dikutip dari

Chairani, 2009) bahwa lingkungan yang paling potensial menghadirkan stres adalah

lingkungan kerja di mana beban tugas dari pekerjaan yang bersangkutan benar-benar

dapat mengganggu karyawan atau pekerja.

Menurut Rahardjo (2005), stres yang berasal dari lingkungan kerja lazim disebut

stres kerja. Menurut Riggio (2003) stres kerja adalah interaksi antara seseorang dan

situasi lingkungan atau stresor yang mengancam atau menantang sehingga menimbulkan

reaksi pada fisiologis maupun psikologis pekerja.


13

Stres merupakan tanggapan/reaksi tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban

atasnya yang bersifat nonspesifik. Namun, disamping itu juga stres dapat juga merupakan

faktor pencetus penyebab sekaligus akibat atau suatu gangguan atau penyakit (Yosep,

2009). Data International Labor Organitation (ILO) tahun (2010) dalam Depnakertrans

(2010) menunjukkan setiap tahunnya lebih dari dua juta orang meninggal akibat

kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sekitar 160 juta orang menderita penyakit akibat

kerja dan terjadi sekitar 270 juta kasus kecelakaan kerja pertahun di seluruh dunia. Angka

kecelakaan kerja pada tahun 2009 mencapai 96,513 kasus, sedangkan pada tahun 2010

angka kecelakaan kerja mencapai 53,267 kasus (Revalicha, 2013).

Menurut American National Association for Occupational (dikutip dari Ratnasari,

2009) menempatkan kejadian stres kerja pada perawat berada diurutan paling atas pada

empat puluh pertama kasus stres kerja. Tingginya angka kejadian stres kerja pada

perawat juga terlihat di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan oleh PPNI (2006

dikutip dari Rosmawar 2009) sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat provinsi di

Indonesia mengalami stres kerja yaitu sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat

karena beban kerja tinggi dan menyita waktu. Penelitian yang dilakukan oleh

Simanjorang (2008) di RSUD Pringadi Medan didapatkan 59,6% perawat mengalami

stres kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Tobing (2007) di Ruang TB Paru

RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Sumatera Utara didapatkan 41,7% perawat

mengalami stres kerja. Setiap individu mengalami stres kerja dengan gejala yang

bermacam-macam tergantung kondisi dan lingkungannya.

Ada beberapa macam gejala yang ditunjukkan ketika seseorang mengalami stres

kerja. Mumpuni & Ari Wulandari (2010) mengelompokkan gejala- gejala stres kerja

dalam empat bagian, yaitu gejala fisik (sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan sulit

tidur), gejala emosi (marah-marah, cemas, mudah tersinggung), gejala kognitif (sulit

konsentrasi, dan sulit berpikir), serta gejala tingkah laku ( tidur berlebihan, jadi
14

pendiam). Semua gejala yang muncul harus diatasi segera agar tidak menimbulkan

dampak yang lebih buruk bagi individu tersebut.

Stres yang berkepanjangan dapat berdampak pada aspek dan sistem tubuh

seseorang. Menurut Potter dan Perry (2005) dampak secara emosional meliputi

cemas, depresi, tekanan fisik dan psikologis, dampak kognitif berakibat pada penurunan

konsentrasi dan dampak terhadap psikologis berakibat pada sistem pencernaan, serta

dampak pada perilaku berakibat terjadi peningkatan ketidakhadiran kerja dan kualitas

pekerjaan.

Menurut Mangkunegara (2002) perawat yang bekerja dengan stress yang tinggi,

bila dibiarkan, akan menyebabkan terjadinya kelelahan kerja. Northwestern National

Life Insurance dalam Losyk (2007) telah melakukan beberapa penelitian penting

tentang dampak stres di tempat kerja. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sekitar

satu juta kasus absensi di tempat kerja berkait dengan masalah stres, 27% mengatakan

bahwa aspek pekerjaan menimbulkan stres paling tinggi dalam hidup mereka, 46%

menganggap tingkat stres kerja sebagai tingkat stres yang sangat tinggi, satu

pertiga pekerja berniat untuk langsung mengundurkan diri karena stres dalam pekerjaan

mereka, dan 70% berkata stres kerja telah merusak kesehatan fisik dan mental mereka.

Dampak dari stres kerja tersebut dapat merugikan individu yang mengalaminya dan

perusahaan dimana ia bekerja.

Kemampuan seorang perawat dalam mengatasi stres kerja berbeda satu

dengan lainnya, demikian juga dengan mekanisme koping yang ditampilkan sertarespon

terhadap stres itu sendiri, mulai dari tahap stres ringan sampai dengan tahapstres

berat. Menurut Robbins (2004) stres kerja yang terjadi akan berpengaruh padakondisi

fisiologis, kondisi psikologis, dan kondisi perilaku pada perawat. Perawatyang

mengalami stres kerja dengan intensitas yang tinggi akan mempengaruhibagaimana

perawat tersebut dalam menjalin hubungan emosional denganpasiennya (Ellis, 2000).


15

Banyak faktor yang dapat menimbulkan stres kerja. Menurut Greenberg (2003)

yang menyebabkan stres kerja adalah sumber intrinsik pada pekerjaan (kondisi kerja,

beban kerja yang berlebihan), peran di dalam organisasi (peran yang ambigu, konflik

peran), perkembangan karir, dan hubungan relasi di tempat kerja yang kurang baik.

Menurut Abraham dan Shanley (1992, dikutip dari Lazarus, 2007) menambahkan bahwa

stres kerja dapat disebabkan oleh beban kerja dan kondisi kerja.

Beban kerja perawat yang bekerja di rumah sakit berkaitan dengan asuhan

keperawatan yang harus diberikan kepada pasien. Menurut Arwani dan Supriyanto (2006

dikutip dari Minarsih, 2011) hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam beban kerja

perawat adalah jumlah pasien yang dirawat, kondisi atau tingkat ketergantungan pasien,

rata-rata hari perawatan pasien, aktivitas keperawatan langsung, tidak langsung dan

pendidikan kesehatan serta rata-rata waktunya, dan frekuensi tindakan yang dibutuhkan

pasien. Bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun

keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stres (Ilyas,2001).

Menurut Munandar (2008) akibatdari meningkatnya beban kerja adalah timbulnya

emosi perawat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan pasien. Unsur yang

menimbulkan beban berlebih ialah kondisi kerja. Kondisi kerja meliputi variabel

lingkungan kerja fisik seperti suhu udara, pencahayaan, kebisingan, dan penghawaan

ruangan. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam

menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan

hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Selain itu

kebisingan juga menyebabkan munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat

sensitif pada kebisingan.

Menurut hasil penelitian yangdilakukan oleh Supardi (2007) didapatkan bahwa

kondisi kerja sebanyak 95% memperlihatkankontribusi paling besar terhadap terjadinya

stres kerja kemudian tipe kepribadian 89,5% dan beban kerja 87,5%.Jadi banyak hal

yang berkaitan dengan beban kerja perawat di rumah sakit yang dapat memicu
16

munculnya stres kerja.Bertambahnya beban kerja seorang serta keadaan fisik

yang kurang mendukung, perawat saat bekerja dapat merasakan kelelahan.

Banyak penelitian menunjukan bahwa faktor individu dalam hal ini antara

lain umur, masa kerja, status perkawinan dan gizi mempunyai pengaruh

menimbulkan kelelahan (Eraliesa, 2009). Kelelahan kerja merupa kan salah satu faktor

penurunan kinerja yang dapat menambah tingkat kesalahan dalam bekerja (Nurmianto,

1996). Kelelahan kerja yang tidak diatasi dapat menimbulkan stress kerja dan

berbagai permasalahan kerja yang fatal dan mengakibatkan kecelakaan dalam bekerja.

Selanjutnya, penelitian Bashir dan Ramay (2010), Cholilawati (2010), Jehangir et

al.(2011), Leung et al. (2011), Abdillah (2013), Suandi et al. (2014), Rangriz dan

Pashootanizadeh (2014) serta Goswami (2015) menunjukkan bahwa tinggi rendahnya

kinerja karyawan disebabkan oleh tinggi atau rendahnya stres kerja yang dialami oleh

karyawan. Karyawan yang menderita stres kerja yang tinggi akan mencoba untuk

menarik dirinya dari penyebab stres (stressor) dengan cara menciptakan masalah bagi

perusahaan seperti ketidakefisienan dalam kinerja, pemborosan sumber daya operasional,

menjadi penyebab kendala kerja bagi karyawan lainnya dan lain sebagainya (Goswami,

2015). Hal ini menjelaskan bahwa stres kerja yang tinggi akan memberikan dampak yang

buruk pada kinerja karyawan (Mohsan et al., 2011).

Salah satu penyebab munculnya stres kerja yang tinggi adalah iklim organisasi yang tidak

sehat (Robbins, 2007; Wagner dan Hollenbeck, 2010; Luthans, 2011; Gibson et al.,2012).

Bekerja dalam iklim organisasi tertutup dan tidak sehat membawa emosi negative dan

perasaan oleh karyawan, hal ini termasuk ketidakpuasan, tekanan psikologis, melalaikan,

ketidakpedulian, dan akhirnya akan menyebabkan karyawan menghindari pekerjaan yang

mengarah ke stres kerja (Ahghar, 2008). Hasil penelitian terakhir menemukan bahwa

iklim organisasi memiliki pengaruh terhadap stres kerja (Ahghar, 2008; Putra et. al.,

2014; Sert et al., 2014). Aghar (2008) dan Sert et al. (2014) lebih lanjut menemukan

bahwa iklim organisasi berpengaruh negatif terhadap stres kerja karyawan. Hal ini
17

mengindikasikan bahwa semakin sehat iklim suatu organisasi maka semakin rendah

tingkat stres kerja karyawan. Sebaliknya, semakin tidak sehat iklim suatu organisasi,

maka semakin tinggi tingkat stres kerja karyawan.

Ada berbagai sumber stres yang dapat menyebabkan stres kerja di perusahaan

salah satunya pendapat dari Hurrell, dkk (dalam Munandar,2001) yang mengatakan

bahwa faktor-faktor di pekerjaan yang dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan

kedalam lima kategori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam

organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim

organisasi. Moos & Insel (dalam Wijono, 2006) mengungkapkan bahwa faktor

lingkungan yaitu iklim organisasi dapat memicu timbulnya stres bagi individu. Iklim

organisasi berpengaruh besar pada proses menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,

sehingga dapat menciptakan kerja sama yang harmonis pada setiap anggotanya di dalam

suatu organisasi, sebaliknya jika iklim organisasi yang dirasakan oleh para pekerja itu

negatif, maka akan membuat para pekerja akan mengalami stres kerja sehingga akan

berdampak buruk pada lingkungan kerja dan individu itu sendiri.

Efikasi diri merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap

kemampuan yang dimiliki dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses

dalam menghadapi tugas yang dihadapi (Stajkovic & Luthans, 1998). Hasil penelitian

Rahardjo (2005) menjelaskan bahwa efikasi diri mempunyai kontribusi yang signifikan

terhadap stres kerja perawat, 30.1 % stres kerja perawat dapat dijelaskan oleh variabel

efikasi diri. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Prestiana dan Purbandini (2012)

menjelaskan bahwa terdapat hubungan efikasi diri dengan stres kerja. Seorang perawat

harus memiliki efikasi diri dalam mengambil keputusan yang tepat untuk pasiennya.

Namun, dari hasil wawancara dengan dua orang perawat diketahui bahwa mereka kadang

masih kurang memiliki efikasi diri dalam memberikan tindakan kepada pasien yang kritis

karena takut salah. Kurang yakin terhadap kemampuan diri dalam melakukan tindakan

yang cukup sulit seperti pemasangan kateter. Mereka mengaku cukup kesulitan dalam
18

memasangkan alat ini sehingga meminta bantuan kepada rekan yang lain (komunikasi

personal, 7 April 2016). Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa perawat kurang memiliki

efikasi diri dalam bekerja.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan hasil wawancara studi eksplorasi yang telah dilakukan penulis

terhadap perawat yang bekerja di ruang IGD di rumah sakit Kartika Pulomas ,Jakarta

Timur, diketahui bahwa seringnya perawat yang bekerja dengan double shift dan

terbatasnya tenaga perawat terhadap jumlah pasien yang besar mengakibatkan stress

kerja pada perawat.Berdasarkan uraian tersebut,maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah belum diketahuinya pengaruh peran kepemimpinan,konflik peran ganda ,iklim

organisasi, kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap stress kerja pada perawat di

rumah sakit Kartika,Pulomas,Jakarta Timur tahun 2007.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah pengaruh langsung dan tidak langsung peran kepemimpinan,konflik

peran ganda,iklim organisasi,kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap stress kerja

pada perawat di rumah sakit Kartika Pulomas wilayah Jakarta Timur tahun 2007.

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan,

konflik peran ganda,iklim organisasi,kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap

stress kerja pada perawat di rumah sakit Kartika Pulomas Di wilayah Jakarta Timur

tahun 2007.

1.4.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :


19

1.Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017.

2.Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap iklim organisasi di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017

3. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap kelelahan kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017

4. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007.

5. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap iklim organisasi di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007.

6. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap konflik kerja di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007

7. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap peran kepemimpinan di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007

8. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran konflik kerja terhadap

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

9. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran kelelahan kerja

terhadap stress kerja di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

10. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran kelelahan kerja

terhadap iklim organisasi di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

11.Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran iklim organisasi

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

12. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran iklim organisasi

terhadap konflik kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007

1.5 Manfaat Penelitian


20

1.5.1 Manfaat secara Teoritis

Pada manfaat teoritis penelitian tidak dihasilkan teori yang baru.Akan tetapi bias

memberikan manfaat dan dapat dikembangkan teori yang lama. Sehingga bermanfaat

untuk selanjutnya`

1.5.2 Manfaat secara Metodologi

Pada penelitian ini tidak menghasilkan metodologi baru,tetapi dapat diterapkan dalam

penelitian tesis ini.Sehingga metodologi ini dapat dikembangkan untuk penelitian

selamjutnya.

1.5.3 Manfaat secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan ilmu

pengetahuan,khususnya ilmu pengembangan sumber daya manusia dalam kaitannya

dengan pengelolaan manajemen stress kerja perawat di rumah sakit dan dapat menjadi

dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah pe garuh langssung dan tidak lanhsung

serta besarannya antara peran kepemimpinan,komunikasi social,kelelahan kerja,konflik

kerja serta iklim organisasi terhadap stress kerja di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta

tahun 2007. Objek penelitian adalah seluruh perawat yang ada di rumah sakit kartika

Pulomas Jakarta Timur.Penelitian dilakukan pada bulan Januari tahun 2018.

Alasan peneliti melakukan penelitian di rumah sakit Kartika pulomas Jakarta karena

seringnya perawat bekerja dengan dua shift dan libur karena ijin dari dokter. Data yang

diambil merupakan data primer melalui penyebaran kuisioner. Penelitian termasuk dalam

penelitian cross sectional ini menggunakan metode analisis Structural Equation Modeling

(SEM).

BAB I

PENDAHULUAN
21

B. Latar Belakang

Pengembangan sumber daya manusia di dalam pembangunan ekonomi sangat

penting untuk diperhatikan karena titik permulaan pertumbuhan ekonomi terletak pada

meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Dalam rangka meningkatkan produktivitas

maka perhatian terhadap tenaga kerja sangat penting karena tenaga kerja mempunyai hak

untuk mendapat perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan selama bekerja.

Perhatian pemerintah terhadap tenaga kerja diaplikasikan dengan adanya Undang -

undang dan peraturan pemerintahan. Penjelasan umum pasal ini menyatakan agar aman

melakukan pekerjaannya sehari-hari dalam meningkatkan produktivitas nasional, tenaga

kerja harus dilindungi dari berbagai soal di sekitarnya serta pada dirinya yang dapat

menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Perhatian yang

kurang terhadap kesehatan dan keselamatan tenaga kerja dapat mengakibatkan hal-hal

yang tidak diinginkan. Hal-hal tersebut terjadinya penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja,

penurunan produktivitas dan gangguan kesehatan baik fisik maupun psikologis.

Gangguan fisik mudah dideteksi karena dapat dilihat oleh indera secara langsung,

sedangkan gangguan psikologis sulit untuk dideteksi karena biasanya tidak disadari

adanya dan tidak dapat dilihat oleh indera secara langsung tetapi dapat mengakibatkan

dampak negatif bagi perusahaan dan bagi tenaga kerja itu sendiri. Salah satu gangguan

psikologis

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja

di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami

sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun.

Setiap tempat kerja kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang

mendapatkan mendapatkan mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat


22

menimbulkan penyakit akibat akibat kerja.Gangguan ini dapat berupa gangguan

fisik atau psikis terhadap tenaga kerja.gangguan psikis merupakan terhadap tenaga

kerja.Gangguan psikis merupakan potensi bahaya yang sering terabaikan,padahal

potensi bahaya psikis juga merupakan factor yang perlu diperhatikan dalam

kaitannya dengan kesehatan mental pekerja. Terjadinya konflik dalam diri tenaga

kerja sebagai akibat yang timbul dari gangguan psikologis apabila tidak segera

diatasi akan berdampak pada timbulnya stress kerja (Tarwaka,2010).

Kesehatan kerja merupakan aplikasi dalam penerapan konsep kesehatan dalam

masyarakat yang diterapkan dalam suatu tempat kerja, seperti di perusahaan, pabrik,

kantor dan rumah sakit. WHO menyatakan stres merupakan epidemi yang menyebar

keseluruh dunia. Laporan PBB menjuluki stres kerja sebagai “penyakit abad 20”. The

American Institute Of Stress menyatakan bahwa penyakit yang berkaitan dengan stres

telah menyebabkan kerugian ekonomi negara Amerika Serikat lebih dari $100 miliar

per tahun.Penelitian yang dilakukan The National Institute Occupational Safety and

Health (NIOSH) menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan

rumah sakit atau kesehatan memiliki kecenderungan tinggi untuk terkena stres kerja

atau depresi sedangkan American National Association for Occupational Health

(ANAOH) menempatkan kejadian stres kerja pada perawat berada diurutan paling atas

pada empat puluh pertama kasus stres kerja pada pekerja. Hal ini bisa disebabkan oleh

tugas-tugas perawat yang sering monoton dan kondisi ruangan yang sempit, biasa

dirasakan oleh perawat yang bertugas di bagian bangsal. Tuntutan untuk bertindak cepat

dan tepat dalam menangani pasien biasanya dihadapi oleh perawat diruang gawat

darurat atau bagian kecelakaan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh NIOSH tahun

2017, menyatakan pekerja yang mengalami stress kerja di Amerika Serikat sebesar 75%

dengan pembagian kategori sedang sampai tinggi antara 26-52% .


23

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang bergerak di bidang

pelayanan kesehatan yang setiap hari berhubungan dengan pasien. Rumah sakit

sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan

mencakup pelayanan medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan

tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap

(Muninjaya, 2004).

Stres kerja banyak terjadi pada para pekerja di sektor kesehatan. Tanggung jawab

terhadap manusia pada sektor kesehatan menyebabkan pekerja lebih rentan terhadap stres

(Taylor, 2006). Sebuah studi cross sectional terhadap 775 tenaga profesional di Taiwan

tahun 2010 menghasilkan informasi bahwa 64,4% pekerja mengalami kegelisahan, 33,7%

pekerja mengalami mimpi buruk, 44,1 mengalami gangguan iritabilitas, 40,8% pekerja

mengalami sakit kepala, 35% pekerja insomnia, dan 41,4% pekerja mengalami gangguan

gastrointestinal (Tsai & Lu, 2012).

Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien salah satu komponen yang

penting adalah sumber daya manusia.Karena hanya sumber daya manusia yang mampu

mewujudkan misi,visi dan tujuan dari rumah sakit.Pegawai adalah sumber daya manusia

yang harus dikelola secara optimal oleh rumah sakit.Menurut Cascio (2010) manusia

adalah sumber daya yang sangat penting dalam bidang industry dan organisasi,oleh

karena itu rumah sakit perlu memandang pegawai sebagai asset perusahaan yang juga

memberikan kemajuan dan peningkatan terhadap perusahaan (Novliadi F,2012).

Charnley (1999) menyatakan bahwa meskipun seluruh tenaga profesional di

rumah sakit memiliki risiko stres, namun para perawat memiliki tingkat stres yang lebih

tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat peran perawat di Indonesia yang ditegaskan pada

Pasal 63 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

menyebutkan bahwa sesungguhnya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan

dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan. Perawat bekerja pada


24

lingkungan di mana ia bertanggung jawab menentukan kualitas dan keamanan perawatan

pasien. Apabila perawat mengalami stres kerja dan stres tersebut tidak dikelola dengan

baik, maka akan membahayakan pasien (Jennings, 2008). Jika sebagian besar perawat

mengalami stres kerja, maka dapat mengganggu kinerja rumah sakit karena perawat tidak

bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi rumah sakit dan pada akhirnya akan

mempengaruhi daya saing mereka di pasar dan lebih dari itu bahkan dapat

membahayakan kelangsungan organisasi rumah sakit (WHO,2003 dikutip dari Dewi

Yana,2014).

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.659/Menkes/per/VIII/2009 tentang Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia, rumah sakit

adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan

gawat darurat. Rumah sakit diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat dengan baik. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan

tenaga medis yang mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Seiring dengan semakin pedulinya masyarakat terhadap kesehatannya, semakin

tinggi pula tuntutan masyarakat atas mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

pihak Rumah Sakit khususnya dari segi asuhan keperawatannya. Mutu rumah sakit

sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang dominan adalah sumber daya

manusia. Sumber daya manusia yang terlibat secara langsung dalampemberian

pelayanan keperawatan pada pasien adalah tenaga perawat yang berjumlah 60% dari

tenaga kesehatan lain (Depkes, 2005).

Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya

penanganan asuhan keperawatan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang tergantung

pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu,

karakteristik tugas dan material seperti (peralatan, kecepatan, kesiagaan), karakteristik


25

organisasi yaitu jam kerja/shift kerja dan karakteristik lingkungan kerja seperti man,

tugas, suhu, kebisingan,penerangan, sosio budaya, dan bahan pencemar (Nursalam,

2002). Selain itu peran perawat sangat penting karena merupakan ujung tombak

pelayanan kesehatan di rumah sakit dan merupakan tenaga yang paling lama kontak

dengan pasien yaitu selama 24 jam Keliat (1999 dikutip dari Pitaloka, 2010).

Menurut Setiyana (2013) mengatakan bahwa banyak ditemukan fenomena

di rumah sakit adanya perawat yang tidak sabar, suka marah, berbicara ketus dengan

pasien dan keluarga pasien, bahkan terjadi kelalaian dalam bekerja seperti kesalahan

dalam pemberian obat, dan keterlambatan dalam melakukan injeksi. Hal ini tentu sangat

berlawanan dengan tugas dan kewajiban sebagai seorang perawat yang harus

memberikan pelayanan prima pada pasien. Tugas dan tanggung jawab perawat bukan

hal yang ringan untuk dilakukan. Menurut Danang (2009) perawat bertanggung jawab

terhadap tugas fisik, administratif, menghadapi kecemasan, dan keluhan yang muncul

dari pasien, serta dituntut untuk selalu tampil sebagai profil perawat yang baik oleh

pasiennya. Selain itu, perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan

kegiatan yang bukan kegiatan perawat.

Hasil penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia

(dikutip dari Prihatini, 2007) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas

kebersihan, 63,6% melakukan tugas administrasi, dan lebih dari 90% melakukan tugas

non keperawatan dan hanya 50% yang melakukan tindakan asuhan keperawatan sesuai

dengan fungsinya.

Menurut Swedarma (2011 dikutip dari Setiyana, 2013) kurangnya kapasitas

perawat dibandingkan jumlah pasien menyebabkan perawat akan mengalami

kelelahan dalam bekerja karena kebutuhan pasien terhadap asuhan keperawatan lebih

besar dari standar kemampuan perawat. Kelelahan dalam bekerja ini apabila berlangsung

secara terus menerus akan menjadi faktor pemicu munculnya stres kerja. Stres kerja

merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional yang
26

menghambat performance individu (Robbins, 2004). Jika hal ini terus terjadi, kondisi

psikologis perawat akan menurun dan menjadi tertekan dan keadaan ini dapat

mengakibatkan stres kerja. Stres kerja dapat membuat perawat menjadi mudah

marah, tidak ramah, serta mudah lelah. Berbagai situasi dan tuntutan kerja yang dialami

dapat menjadi sumber potensial terjadinya stres.

Menurut Siagian (2006) menyatakan bahwa jika stres tidak dapat diantisipasi

dengan baik dan benar maka akan berakibat pada ketidakmampuan seseorang

berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan

maupun lingkungan di luar pekerjaannya. Menurut Handoko (1995, dikutip dari

Chairani, 2009) bahwa lingkungan yang paling potensial menghadirkan stres adalah

lingkungan kerja di mana beban tugas dari pekerjaan yang bersangkutan benar-benar

dapat mengganggu karyawan atau pekerja.

Menurut Rahardjo (2005), stres yang berasal dari lingkungan kerja lazim disebut

stres kerja. Menurut Riggio (2003) stres kerja adalah interaksi antara seseorang dan

situasi lingkungan atau stresor yang mengancam atau menantang sehingga menimbulkan

reaksi pada fisiologis maupun psikologis pekerja.


Stres merupakan tanggapan/reaksi tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban

atasnya yang bersifat nonspesifik. Namun, disamping itu juga stres dapat juga merupakan

faktor pencetus penyebab sekaligus akibat atau suatu gangguan atau penyakit (Yosep,

2009). Data International Labor Organitation (ILO) tahun (2010) dalam Depnakertrans

(2010) menunjukkan setiap tahunnya lebih dari dua juta orang meninggal akibat

kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sekitar 160 juta orang menderita penyakit akibat

kerja dan terjadi sekitar 270 juta kasus kecelakaan kerja pertahun di seluruh dunia. Angka

kecelakaan kerja pada tahun 2009 mencapai 96,513 kasus, sedangkan pada tahun 2010

angka kecelakaan kerja mencapai 53,267 kasus (Revalicha, 2013).

Menurut American National Association for Occupational (dikutip dari Ratnasari,

2009) menempatkan kejadian stres kerja pada perawat berada diurutan paling atas pada

empat puluh pertama kasus stres kerja. Tingginya angka kejadian stres kerja pada

perawat juga terlihat di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan oleh PPNI (2006

dikutip dari Rosmawar 2009) sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat provinsi di

Indonesia mengalami stres kerja yaitu sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat

karena beban kerja tinggi dan menyita waktu. Penelitian yang dilakukan oleh

Simanjorang (2008) di RSUD Pringadi Medan didapatkan 59,6% perawat mengalami

stres kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Tobing (2007) di Ruang TB Paru

RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Sumatera Utara didapatkan 41,7% perawat

mengalami stres kerja. Setiap individu mengalami stres kerja dengan gejala yang

bermacam-macam tergantung kondisi dan lingkungannya.

Ada beberapa macam gejala yang ditunjukkan ketika seseorang mengalami stres

kerja. Mumpuni & Ari Wulandari (2010) mengelompokkan gejala- gejala stres kerja

dalam empat bagian, yaitu gejala fisik (sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan sulit

tidur), gejala emosi (marah-marah, cemas, mudah tersinggung), gejala kognitif (sulit

konsentrasi, dan sulit berpikir), serta gejala tingkah laku ( tidur berlebihan, jadi

1
28

pendiam). Semua gejala yang muncul harus diatasi segera agar tidak menimbulkan

dampak yang lebih buruk bagi individu tersebut.

Stres yang berkepanjangan dapat berdampak pada aspek dan sistem tubuh

seseorang. Menurut Potter dan Perry (2005) dampak secara emosional meliputi

cemas, depresi, tekanan fisik dan psikologis, dampak kognitif berakibat pada penurunan

konsentrasi dan dampak terhadap psikologis berakibat pada sistem pencernaan, serta

dampak pada perilaku berakibat terjadi peningkatan ketidakhadiran kerja dan kualitas

pekerjaan.

Menurut Mangkunegara (2002) perawat yang bekerja dengan stress yang tinggi,

bila dibiarkan, akan menyebabkan terjadinya kelelahan kerja. Northwestern National

Life Insurance dalam Losyk (2007) telah melakukan beberapa penelitian penting

tentang dampak stres di tempat kerja. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sekitar

satu juta kasus absensi di tempat kerja berkait dengan masalah stres, 27% mengatakan

bahwa aspek pekerjaan menimbulkan stres paling tinggi dalam hidup mereka, 46%

menganggap tingkat stres kerja sebagai tingkat stres yang sangat tinggi, satu

pertiga pekerja berniat untuk langsung mengundurkan diri karena stres dalam pekerjaan

mereka, dan 70% berkata stres kerja telah merusak kesehatan fisik dan mental mereka.

Dampak dari stres kerja tersebut dapat merugikan individu yang mengalaminya dan

perusahaan dimana ia bekerja.

Kemampuan seorang perawat dalam mengatasi stres kerja berbeda satu

dengan lainnya, demikian juga dengan mekanisme koping yang ditampilkan sertarespon

terhadap stres itu sendiri, mulai dari tahap stres ringan sampai dengan tahapstres

berat. Menurut Robbins (2004) stres kerja yang terjadi akan berpengaruh padakondisi

fisiologis, kondisi psikologis, dan kondisi perilaku pada perawat. Perawatyang

mengalami stres kerja dengan intensitas yang tinggi akan mempengaruhibagaimana

perawat tersebut dalam menjalin hubungan emosional denganpasiennya (Ellis, 2000).


29

Banyak faktor yang dapat menimbulkan stres kerja. Menurut Greenberg (2003)

yang menyebabkan stres kerja adalah sumber intrinsik pada pekerjaan (kondisi kerja,

beban kerja yang berlebihan), peran di dalam organisasi (peran yang ambigu, konflik

peran), perkembangan karir, dan hubungan relasi di tempat kerja yang kurang baik.

Menurut Abraham dan Shanley (1992, dikutip dari Lazarus, 2007) menambahkan bahwa

stres kerja dapat disebabkan oleh beban kerja dan kondisi kerja.

Beban kerja perawat yang bekerja di rumah sakit berkaitan dengan asuhan

keperawatan yang harus diberikan kepada pasien. Menurut Arwani dan Supriyanto (2006

dikutip dari Minarsih, 2011) hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam beban kerja

perawat adalah jumlah pasien yang dirawat, kondisi atau tingkat ketergantungan pasien,

rata-rata hari perawatan pasien, aktivitas keperawatan langsung, tidak langsung dan

pendidikan kesehatan serta rata-rata waktunya, dan frekuensi tindakan yang dibutuhkan

pasien. Bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun

keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stres (Ilyas,2001).

Menurut Munandar (2008) akibatdari meningkatnya beban kerja adalah timbulnya

emosi perawat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan pasien. Unsur yang

menimbulkan beban berlebih ialah kondisi kerja. Kondisi kerja meliputi variabel

lingkungan kerja fisik seperti suhu udara, pencahayaan, kebisingan, dan penghawaan

ruangan. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam

menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan

hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Selain itu

kebisingan juga menyebabkan munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat

sensitif pada kebisingan.

Menurut hasil penelitian yangdilakukan oleh Supardi (2007) didapatkan bahwa

kondisi kerja sebanyak 95% memperlihatkankontribusi paling besar terhadap terjadinya

stres kerja kemudian tipe kepribadian 89,5% dan beban kerja 87,5%.Jadi banyak hal

yang berkaitan dengan beban kerja perawat di rumah sakit yang dapat memicu
30

munculnya stres kerja.Bertambahnya beban kerja seorang serta keadaan fisik

yang kurang mendukung, perawat saat bekerja dapat merasakan kelelahan.

Banyak penelitian menunjukan bahwa faktor individu dalam hal ini antara

lain umur, masa kerja, status perkawinan dan gizi mempunyai pengaruh

menimbulkan kelelahan (Eraliesa, 2009). Kelelahan kerja merupa kan salah satu faktor

penurunan kinerja yang dapat menambah tingkat kesalahan dalam bekerja (Nurmianto,

1996). Kelelahan kerja yang tidak diatasi dapat menimbulkan stress kerja dan

berbagai permasalahan kerja yang fatal dan mengakibatkan kecelakaan dalam bekerja.

Selanjutnya, penelitian Bashir dan Ramay (2010), Cholilawati (2010), Jehangir et

al.(2011), Leung et al. (2011), Abdillah (2013), Suandi et al. (2014), Rangriz dan

Pashootanizadeh (2014) serta Goswami (2015) menunjukkan bahwa tinggi rendahnya

kinerja karyawan disebabkan oleh tinggi atau rendahnya stres kerja yang dialami oleh

karyawan. Karyawan yang menderita stres kerja yang tinggi akan mencoba untuk

menarik dirinya dari penyebab stres (stressor) dengan cara menciptakan masalah bagi

perusahaan seperti ketidakefisienan dalam kinerja, pemborosan sumber daya operasional,

menjadi penyebab kendala kerja bagi karyawan lainnya dan lain sebagainya (Goswami,

2015). Hal ini menjelaskan bahwa stres kerja yang tinggi akan memberikan dampak yang

buruk pada kinerja karyawan (Mohsan et al., 2011).

Salah satu penyebab munculnya stres kerja yang tinggi adalah iklim organisasi yang tidak

sehat (Robbins, 2007; Wagner dan Hollenbeck, 2010; Luthans, 2011; Gibson et al.,2012).

Bekerja dalam iklim organisasi tertutup dan tidak sehat membawa emosi negative dan

perasaan oleh karyawan, hal ini termasuk ketidakpuasan, tekanan psikologis, melalaikan,

ketidakpedulian, dan akhirnya akan menyebabkan karyawan menghindari pekerjaan yang

mengarah ke stres kerja (Ahghar, 2008). Hasil penelitian terakhir menemukan bahwa

iklim organisasi memiliki pengaruh terhadap stres kerja (Ahghar, 2008; Putra et. al.,

2014; Sert et al., 2014). Aghar (2008) dan Sert et al. (2014) lebih lanjut menemukan

bahwa iklim organisasi berpengaruh negatif terhadap stres kerja karyawan. Hal ini
31

mengindikasikan bahwa semakin sehat iklim suatu organisasi maka semakin rendah

tingkat stres kerja karyawan. Sebaliknya, semakin tidak sehat iklim suatu organisasi,

maka semakin tinggi tingkat stres kerja karyawan.

Ada berbagai sumber stres yang dapat menyebabkan stres kerja di perusahaan

salah satunya pendapat dari Hurrell, dkk (dalam Munandar,2001) yang mengatakan

bahwa faktor-faktor di pekerjaan yang dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan

kedalam lima kategori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam

organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim

organisasi. Moos & Insel (dalam Wijono, 2006) mengungkapkan bahwa faktor

lingkungan yaitu iklim organisasi dapat memicu timbulnya stres bagi individu. Iklim

organisasi berpengaruh besar pada proses menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,

sehingga dapat menciptakan kerja sama yang harmonis pada setiap anggotanya di dalam

suatu organisasi, sebaliknya jika iklim organisasi yang dirasakan oleh para pekerja itu

negatif, maka akan membuat para pekerja akan mengalami stres kerja sehingga akan

berdampak buruk pada lingkungan kerja dan individu itu sendiri.

Efikasi diri merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap

kemampuan yang dimiliki dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses

dalam menghadapi tugas yang dihadapi (Stajkovic & Luthans, 1998). Hasil penelitian

Rahardjo (2005) menjelaskan bahwa efikasi diri mempunyai kontribusi yang signifikan

terhadap stres kerja perawat, 30.1 % stres kerja perawat dapat dijelaskan oleh variabel

efikasi diri. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Prestiana dan Purbandini (2012)

menjelaskan bahwa terdapat hubungan efikasi diri dengan stres kerja. Seorang perawat

harus memiliki efikasi diri dalam mengambil keputusan yang tepat untuk pasiennya.

Namun, dari hasil wawancara dengan dua orang perawat diketahui bahwa mereka kadang

masih kurang memiliki efikasi diri dalam memberikan tindakan kepada pasien yang kritis

karena takut salah. Kurang yakin terhadap kemampuan diri dalam melakukan tindakan

yang cukup sulit seperti pemasangan kateter. Mereka mengaku cukup kesulitan dalam
32

memasangkan alat ini sehingga meminta bantuan kepada rekan yang lain (komunikasi

personal, 7 April 2016). Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa perawat kurang memiliki

efikasi diri dalam bekerja.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan hasil wawancara studi eksplorasi yang telah dilakukan penulis

terhadap perawat yang bekerja di ruang IGD di rumah sakit Kartika Pulomas ,Jakarta

Timur, diketahui bahwa seringnya perawat yang bekerja dengan double shift dan

terbatasnya tenaga perawat terhadap jumlah pasien yang besar mengakibatkan stress

kerja pada perawat.Berdasarkan uraian tersebut,maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah belum diketahuinya pengaruh peran kepemimpinan,konflik peran ganda ,iklim

organisasi, kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap stress kerja pada perawat di

rumah sakit Kartika,Pulomas,Jakarta Timur tahun 2007.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah pengaruh langsung dan tidak langsung peran kepemimpinan,konflik

peran ganda,iklim organisasi,kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap stress kerja

pada perawat di rumah sakit Kartika Pulomas wilayah Jakarta Timur tahun 2007.

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan,

konflik peran ganda,iklim organisasi,kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap

stress kerja pada perawat di rumah sakit Kartika Pulomas Di wilayah Jakarta Timur

tahun 2007.

1.4.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :


33

1.Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017.

2.Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap iklim organisasi di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017

3. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap kelelahan kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017

4. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007.

5. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap iklim organisasi di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007.

6. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap konflik kerja di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007

7. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap peran kepemimpinan di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007

8. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran konflik kerja terhadap

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

9. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran kelelahan kerja

terhadap stress kerja di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

10. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran kelelahan kerja

terhadap iklim organisasi di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

11.Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran iklim organisasi

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

12. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran iklim organisasi

terhadap konflik kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007

1.5 Manfaat Penelitian


34

1.5.1 Manfaat secara Teoritis

Pada manfaat teoritis penelitian tidak dihasilkan teori yang baru.Akan tetapi bias

memberikan manfaat dan dapat dikembangkan teori yang lama. Sehingga bermanfaat

untuk selanjutnya`

1.5.2 Manfaat secara Metodologi

Pada penelitian ini tidak menghasilkan metodologi baru,tetapi dapat diterapkan dalam

penelitian tesis ini.Sehingga metodologi ini dapat dikembangkan untuk penelitian

selamjutnya.

1.5.3 Manfaat secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan ilmu

pengetahuan,khususnya ilmu pengembangan sumber daya manusia dalam kaitannya

dengan pengelolaan manajemen stress kerja perawat di rumah sakit dan dapat menjadi

dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah pe garuh langssung dan tidak lanhsung

serta besarannya antara peran kepemimpinan,komunikasi social,kelelahan kerja,konflik

kerja serta iklim organisasi terhadap stress kerja di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta

tahun 2007. Objek penelitian adalah seluruh perawat yang ada di rumah sakit kartika

Pulomas Jakarta Timur.Penelitian dilakukan pada bulan Januari tahun 2018.

Alasan peneliti melakukan penelitian di rumah sakit Kartika pulomas Jakarta karena

seringnya perawat bekerja dengan dua shift dan libur karena ijin dari dokter. Data yang

diambil merupakan data primer melalui penyebaran kuisioner. Penelitian termasuk dalam

penelitian cross sectional ini menggunakan metode analisis Structural Equation Modeling

(SEM).

ap berbagai tuntutan atau beban atasnya yang bersifat nonspesifik. Namun, disamping itu

juga stres dapat juga merupakan faktor pencetus penyebab sekaligus akibat atau suatu
35

gangguan atau penyakit (Yosep, 2009). Data International Labor Organitation (ILO)

tahun (2010) dalam Depnakertrans (2010) menunjukkan setiap tahunnya lebih dari dua

juta orang meninggal akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sekitar 160 juta orang

menderita penyakit akibat kerja dan terjadi sekitar 270 juta kasus kecelakaan kerja

pertahun di seluruh dunia. Angka kecelakaan kerja pada tahun 2009 mencapai 96,513

kasus, sedangkan pada tahun 2010 angka kecelakaan kerja mencapai 53,267 kasus

(Revalicha, 2013).

Menurut American National Association for Occupational (dikutip dari Ratnasari,

2009) menempatkan kejadian stres kerja pada perawat berada diurutan paling atas pada

empat puluh pertama kasus stres kerja. Tingginya angka kejadian stres kerja pada

perawat juga terlihat di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan oleh PPNI (2006

dikutip dari Rosmawar 2009) sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat provinsi di

Indonesia mengalami stres kerja yaitu sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat

karena beban kerja tinggi dan menyita waktu. Penelitian yang dilakukan oleh

Simanjorang (2008) di RSUD Pringadi Medan didapatkan 59,6% perawat mengalami

stres kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Tobing (2007) di Ruang TB Paru

RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Sumatera Utara didapatkan 41,7% perawat

mengalami stres kerja. Setiap individu mengalami stres kerja dengan gejala yang

bermacam-macam tergantung kondisi dan lingkungannya.

Ada beberapa macam gejala yang ditunjukkan ketika seseorang mengalami stres

kerja. Mumpuni & Ari Wulandari (2010) mengelompokkan gejala- gejala stres kerja

dalam empat bagian, yaitu gejala fisik (sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan sulit

tidur), gejala emosi (marah-marah, cemas, mudah tersinggung), gejala kognitif (sulit

konsentrasi, dan sulit berpikir), serta gejala tingkah laku ( tidur berlebihan, jadi

pendiam). Semua gejala yang muncul harus diatasi segera agar tidak menimbulkan

dampak yang lebih buruk bagi individu tersebut.


36

Stres yang berkepanjangan dapat berdampak pada aspek dan sistem tubuh

seseorang. Menurut Potter dan Perry (2005) dampak secara emosional meliputi

cemas, depresi, tekanan fisik dan psikologis, dampak kognitif berakibat pada penurunan

konsentrasi dan dampak terhadap psikologis berakibat pada sistem pencernaan, serta

dampak pada perilaku berakibat terjadi peningkatan ketidakhadiran kerja dan kualitas

pekerjaan.

Menurut Mangkunegara (2002) perawat yang bekerja dengan stress yang tinggi,

bila dibiarkan, akan menyebabkan terjadinya kelelahan kerja. Northwestern National

Life Insurance dalam Losyk (2007) telah melakukan beberapa penelitian penting

tentang dampak stres di tempat kerja. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sekitar

satu juta kasus absensi di tempat kerja berkait dengan masalah stres, 27% mengatakan

bahwa aspek pekerjaan menimbulkan stres paling tinggi dalam hidup mereka, 46%

menganggap tingkat stres kerja sebagai tingkat stres yang sangat tinggi, satu

pertiga pekerja berniat untuk langsung mengundurkan diri karena stres dalam pekerjaan

mereka, dan 70% berkata stres kerja telah merusak kesehatan fisik dan mental mereka.

Dampak dari stres kerja tersebut dapat merugikan individu yang mengalaminya dan

perusahaan dimana ia bekerja.

Kemampuan seorang perawat dalam mengatasi stres kerja berbeda satu

dengan lainnya, demikian juga dengan mekanisme koping yang ditampilkan sertarespon

terhadap stres itu sendiri, mulai dari tahap stres ringan sampai dengan tahapstres

berat. Menurut Robbins (2004) stres kerja yang terjadi akan berpengaruh padakondisi

fisiologis, kondisi psikologis, dan kondisi perilaku pada perawat. Perawatyang

mengalami stres kerja dengan intensitas yang tinggi akan mempengaruhibagaimana

perawat tersebut dalam menjalin hubungan emosional denganpasiennya (Ellis, 2000).

Banyak faktor yang dapat menimbulkan stres kerja. Menurut Greenberg (2003)

yang menyebabkan stres kerja adalah sumber intrinsik pada pekerjaan (kondisi kerja,

beban kerja yang berlebihan), peran di dalam organisasi (peran yang ambigu, konflik
37

peran), perkembangan karir, dan hubungan relasi di tempat kerja yang kurang baik.

Menurut Abraham dan Shanley (1992, dikutip dari Lazarus, 2007) menambahkan bahwa

stres kerja dapat disebabkan oleh beban kerja dan kondisi kerja.

Beban kerja perawat yang bekerja di rumah sakit berkaitan dengan asuhan

keperawatan yang harus diberikan kepada pasien. Menurut Arwani dan Supriyanto (2006

dikutip dari Minarsih, 2011) hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam beban kerja

perawat adalah jumlah pasien yang dirawat, kondisi atau tingkat ketergantungan pasien,

rata-rata hari perawatan pasien, aktivitas keperawatan langsung, tidak langsung dan

pendidikan kesehatan serta rata-rata waktunya, dan frekuensi tindakan yang dibutuhkan

pasien. Bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun

keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stres (Ilyas,2001).

Menurut Munandar (2008) akibatdari meningkatnya beban kerja adalah timbulnya

emosi perawat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan pasien. Unsur yang

menimbulkan beban berlebih ialah kondisi kerja. Kondisi kerja meliputi variabel

lingkungan kerja fisik seperti suhu udara, pencahayaan, kebisingan, dan penghawaan

ruangan. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam

menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan

hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Selain itu

kebisingan juga menyebabkan munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat

sensitif pada kebisingan.

Menurut hasil penelitian yangdilakukan oleh Supardi (2007) didapatkan bahwa

kondisi kerja sebanyak 95% memperlihatkankontribusi paling besar terhadap terjadinya

stres kerja kemudian tipe kepribadian 89,5% dan beban kerja 87,5%.Jadi banyak hal

yang berkaitan dengan beban kerja perawat di rumah sakit yang dapat memicu
38

munculnya stres kerja.Bertambahnya beban kerja seorang serta keadaan fisik

yang kurang mendukung, perawat saat bekerja dapat merasakan kelelahan.

Banyak penelitian menunjukan bahwa faktor individu dalam hal ini antara

lain umur, masa kerja, status perkawinan dan gizi mempunyai pengaruh

menimbulkan kelelahan (Eraliesa, 2009). Kelelahan kerja merupa kan salah satu faktor

penurunan kinerja yang dapat menambah tingkat kesalahan dalam bekerja (Nurmianto,

1996). Kelelahan kerja yang tidak diatasi dapat menimbulkan stress kerja dan

berbagai permasalahan kerja yang fatal dan mengakibatkan kecelakaan dalam bekerja.

Selanjutnya, penelitian Bashir dan Ramay (2010), Cholilawati (2010), Jehangir et

al.(2011), Leung et al. (2011), Abdillah (2013), Suandi et al. (2014), Rangriz dan

Pashootanizadeh (2014) serta Goswami (2015) menunjukkan bahwa tinggi rendahnya

kinerja karyawan disebabkan oleh tinggi atau rendahnya stres kerja yang dialami oleh

karyawan. Karyawan yang menderita stres kerja yang tinggi akan mencoba untuk

menarik dirinya dari penyebab stres (stressor) dengan cara menciptakan masalah bagi

perusahaan seperti ketidakefisienan dalam kinerja, pemborosan sumber daya operasional,

menjadi penyebab kendala kerja bagi karyawan lainnya dan lain sebagainya (Goswami,

2015). Hal ini menjelaskan bahwa stres kerja yang tinggi akan memberikan dampak yang

buruk pada kinerja karyawan (Mohsan et al., 2011).

Salah satu penyebab munculnya stres kerja yang tinggi adalah iklim organisasi

yang tidak sehat (Robbins, 2007; Wagner dan Hollenbeck, 2010; Luthans, 2011; Gibson

et al.,2012). Bekerja dalam iklim organisasi tertutup dan tidak sehat membawa emosi

negative dan perasaan oleh karyawan, hal ini termasuk ketidakpuasan, tekanan psikologis,

melalaikan, ketidakpedulian, dan akhirnya akan menyebabkan karyawan menghindari


39

pekerjaan yang mengarah ke stres kerja (Ahghar, 2008). Hasil penelitian terakhir

menemukan bahwa iklim organisasi memiliki pengaruh terhadap stres kerja (Ahghar,

2008; Putra et. al., 2014; Sert et al., 2014). Aghar (2008) dan Sert et al. (2014) lebih

lanjut menemukan bahwa iklim organisasi berpengaruh negatif terhadap stres kerja

karyawan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin sehat iklim suatu organisasi maka

semakin rendah tingkat stres kerja karyawan. Sebaliknya, semakin tidak sehat iklim suatu

organisasi, maka semakin tinggi tingkat stres kerja karyawan.

Ada berbagai sumber stres yang dapat menyebabkan stres kerja di perusahaan

salah satunya pendapat dari Hurrell, dkk (dalam Munandar,2001) yang mengatakan

bahwa faktor-faktor di pekerjaan yang dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan

kedalam lima kategori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam

organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim

organisasi. Moos & Insel (dalam Wijono, 2006) mengungkapkan bahwa faktor

lingkungan yaitu iklim organisasi dapat memicu timbulnya stres bagi individu. Iklim

organisasi berpengaruh besar pada proses menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,

sehingga dapat menciptakan kerja sama yang harmonis pada setiap anggotanya di dalam

suatu organisasi, sebaliknya jika iklim organisasi yang dirasakan oleh para pekerja itu

negatif, maka akan membuat para pekerja akan mengalami stres kerja sehingga akan

berdampak buruk pada lingkungan kerja dan individu itu sendiri.

Efikasi diri merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap

kemampuan yang dimiliki dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses

dalam menghadapi tugas yang dihadapi (Stajkovic & Luthans, 1998). Hasil penelitian

Rahardjo (2005) menjelaskan bahwa efikasi diri mempunyai kontribusi yang signifikan

terhadap stres kerja perawat, 30.1 % stres kerja perawat dapat dijelaskan oleh variabel

efikasi diri. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Prestiana dan Purbandini (2012)

menjelaskan bahwa terdapat hubungan efikasi diri dengan stres kerja. Seorang perawat

harus memiliki efikasi diri dalam mengambil keputusan yang tepat untuk pasiennya.
40

Namun, dari hasil wawancara dengan dua orang perawat diketahui bahwa mereka kadang

masih kurang memiliki efikasi diri dalam memberikan tindakan kepada pasien yang kritis

karena takut salah. Kurang yakin terhadap kemampuan diri dalam melakukan tindakan

yang cukup sulit seperti pemasangan kateter. Mereka mengaku cukup kesulitan dalam

memasangkan alat ini sehingga meminta bantuan kepada rekan yang lain (komunikasi

personal, 7 April 2016). Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa perawat kurang memiliki

efikasi diri dalam bekerja.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan hasil wawancara studi eksplorasi yang telah dilakukan penulis

terhadap perawat yang bekerja di ruang IGD di rumah sakit Kartika Pulomas ,Jakarta

Timur, diketahui bahwa seringnya perawat yang bekerja dengan double shift dan

terbatasnya tenaga perawat terhadap jumlah pasien yang besar mengakibatkan stress

kerja pada perawat.Berdasarkan uraian tersebut,maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah belum diketahuinya pengaruh peran kepemimpinan,konflik peran ganda ,iklim

organisasi, kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap stress kerja pada perawat di

rumah sakit Kartika,Pulomas,Jakarta Timur tahun 2007.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah pengaruh langsung dan tidak langsung peran kepemimpinan,konflik

peran ganda,iklim organisasi,kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap stress kerja

pada perawat di rumah sakit Kartika Pulomas wilayah Jakarta Timur tahun 2007.
41

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan,

konflik peran ganda,iklim organisasi,kelelahan kerja dan komunikasi social terhadap

stress kerja pada perawat di rumah sakit Kartika Pulomas Di wilayah Jakarta Timur

tahun 2007.

1.4.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017.

2. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap iklim organisasi di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017

3. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran peran kepemimpinan

terhadap kelelahan kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2017

4. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007.

5. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap iklim organisasi di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007.

6. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap konflik kerja di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007

7. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran komunikasi social

terhadap peran kepemimpinan di rumah sakit Kartika Pulomas,Jakarta tahun 2007

8. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran konflik kerja

terhadap terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

9. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran kelelahan kerja

terhadap stress kerja di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.
42

10. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran kelelahan kerja

terhadap iklim organisasi di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

11.Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran iklim organisasi

terhadap stress kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007.

12. Mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung serta besaran iklim organisasi

terhadap konflik kerja di rumah sakit Kartika Pulomas Jakarta tahun 2007

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat secara Teoritis

Pada manfaat teoritis penelitian tidak dihasilkan teori yang baru.Akan tetapi bias

memberikan manfaat dan dapat dikembangkan teori yang lama. Sehingga bermanfaat

untuk selanjutnya`

1.5.2 Manfaat secara Metodologi

Pada penelitian ini tidak menghasilkan metodologi baru,tetapi dapat diterapkan dalam

penelitian tesis ini.Sehingga metodologi ini dapat dikembangkan untuk penelitian

selamjutnya.

1.5.3 Manfaat secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan ilmu

pengetahuan,khususnya ilmu pengembangan sumber daya manusia dalam kaitannya

dengan pengelolaan manajemen stress kerja perawat di rumah sakit dan dapat menjadi

dasar untuk penelitian selanjutnya.


43

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah pe garuh langssung dan tidak lanhsung

serta besarannya antara peran kepemimpinan,komunikasi social,kelelahan kerja,konflik

kerja serta iklim organisasi terhadap stress kerja di rumah sakit kartika Pulomas Jakarta

tahun 2007. Objek penelitian adalah seluruh perawat yang ada di rumah sakit kartika

Pulomas Jakarta Timur.Penelitian dilakukan pada bulan Januari tahun 2018.

Alasan peneliti melakukan penelitian di rumah sakit Kartika pulomas Jakarta karena

seringnya perawat bekerja dengan dua shift dan libur karena ijin dari dokter. Data yang

diambil merupakan data primer melalui penyebaran kuisioner. Penelitian termasuk dalam

penelitian cross sectional ini menggunakan metode analisis Structural Equation Modeling

(SEM).

Anda mungkin juga menyukai