Herudjati Purwoko
Dosen Universitas Diponegoro;
lulusan UGM (S-1), University of Pennsylvania (S -2), dan Monash University (S -3)
Abstract
This paper deals with the ongoing use of local vernacular spoken in the city of Sem a-
rang. It tries to prove that there is a serious socio -cultural change in the city accele r-
ated by novel high-rise buildings, high-tech applications in public places and new co n-
structions of spatial landscapes. The socio -cultural change seriously influences the cu r-
rent use of the Javanese vernacular, which is the native tongue of the city dwellers.
Since the vernacular is highly embedded in the socio -cultural tradition of its speakers,
its popularity will be in jeopardy if the speakers' socio -cultural tradition changes tr e-
mendously due to the rapid growth of urbanization and advanced technology. The logi c
of the Javanese vernacular, which is traditional, does not match with the practice of
urban life style, which is hectic, efficient and modern. In public domains, when inte r-
acting with unknown interculators, most Javanese prefer to speak Bahasa Indonesia
rather than their own native tongue. This paper will argue which variety of the vernac u-
lar will linger on when the current waves of urbanization come into the private e n-
trenchment of Javanese lives.
Keyword: Javanese vernacular, social interaction, urbaniz ation and cultural
socialization
1
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
2
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
3
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
4
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
5
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
remaja adalah empatbelas tahun. Misalnya, oleh para akhli Javanologi, kecuali
di Shetland Islands, dekat Inggris, Koentjaraningrat (cf. 1957:68), demikian
empatbelas tahun merupakan batas usia menurut pengamatan Errington (1988:70)
anak-anak yang belum bisa dianggap yang menginterpretasikan awu sebagai
bertanggungjawab secara sosial (Goffman senioritas sehubungan tidak hanya dengan
1953:185). usia melainkan juga keningratan.
6
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
anak Jawa agar ingat akan sifat yang tepat, mereka boleh men g-
malati dan menghindari persaingan gunakan kosa-kata baby talk.7
antar saudara, maka mereka d i- Smith-Hefner menuliskan bahwa
minta untuk tetap menghormati untuk mengajarkan bahasa santun,
saudara tua yang dianggap me m- para orang-tua di Jawa Timur me n-
punyai kekuatan supernatural. ganggap bahwa baby talk adalah
varitas yang “more polite than the
Enthik (Kelingking) 6 ngoko variants so long as they are
T: Enthik, enthik, patenana si Penunggul . not used in a slot where an honorific
(Kelingking, bunuhlah si Jari -tengah.) term is required” (1988:182). Kosa -
K: Penunggul dosane apa? (Apa dosa si
Jaritengah?)
kata ini merupakan eufemisme bagi
T: Dosane ngungkul-ungkuli. (Dia meng- kosa-kata ngoko yang lugas,
ungguli kita semua.) khususnya bagi kata -kata yang
J: Aja dhi, aja dhi, sedulur tuwa ala -ala menunjukkan tingkah -laku sehari-
amalati. (Jangan dik, jangan, saudara hari, seperti: pipis (kencing), ék-ék
tua biar jelek malati)
I: Ya bener, ya bener, tai laler enak seger.
(berak), ma-em (makan), mimik (mi-
(Ya benar, ya benar, kotoran lalat enak num), bobok (tidur), etc. Anak-anak
segar) boleh menggunakan kosa -kata ini
untuk menunjukkan tingkah -laku
yang dikerjakan oleh orang dewasa
Berkaitan dengan pen g- sehingga mereka bisa menghindari
gunaan bahasa, anak -anak Jawa penggunaan kosa-kata ngoko yang
dianjurkan untuk menggunakan secara sosial kurang sopan. Misa l-
vari-tas basa dan kata sapaan yang nya, seperti urutan contoh di atas,
tepat manakala berkomunikasi nguyuh, ngising, mang-an, ngombé,
deng-an orang dewasa. Sementara turu etc.
masih dalam taraf belajar, apabila Sementara anak-anak Jawa
anak-anak lupa kosa-kata basa tumbuh semakin besar, mereka s e-
cara bertahap mengatasi perasaan
6Lirik lagu Jawa ini versi daerah takut terhadap lawan -bicara de-
Surakarta-Yogyakarta (Principalities). Baris wasa. Ketika remaja, para muda-
1 diucapkan oleh Telunjuk, baris 2 oleh mudi itu menyimpan rasa malu te r-
Kelingking, baris 3 oleh Telunjuk, baris 4 hadap lawan-bicara yang berbeda
oleh Jarimanis, baris 5 oleh Ibujari. Pada
umumnya, jaritengah manusia lebih kelamin, di samping itu mereka juga
panjang dari pada jari lainnya. Hanya berniat memamerkan sikap ingin
karena lebih tinggi secara alamiah bebas dengan mengabaikan aturan
Jaritengah sudah dituduh berdosa,
orangtua. Namun demikian, para
walaupun ia tidak berbuat kesalahan
apapun juga. Kisah ini menunjukkan
7Dalam literatur linguistik, istilah
bahwa kecemburuan terhadap senioritas
dan status merupakan isyu amat sensitif di baby talk dipakai untuk menunjukkan
Jawa. Oleh sebab itu, bahasanya juga tidak ragam bahasa yang sering dipakai anak -
bisa terlepas dari isyu soal senioritas dan anak. Istilah ini dipopulerkan oleh
status itu. Ferguson (1964:103-14).
7
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
8
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
sekitar dua kota itu masih sering Nampaknya memang benar bahwa
mengatakan kalimat ini: Aku arep baik Surakarta maupun Yogyakarta
menyang negara, dalam ngoko, lebih sering dipakai dalam wacana
atau, Kula badhé dhateng negari tulis. Akibatnya, penutur asli BJ di
dalam basa9 Arti kalimat itu, “Saya kawasan itu jarang mengucapkan
akan pergi ke Surakarta atau Yog - Aku arep menyang Surakarta
yakarta”. Dewasa ini, kalimat s e- (Yogyakarta) dalam situ-asi normal.
rupa itu akan menjadi bahan te r- Ujaran itu terdengar aneh, kala u-
tawaan, atau paling tidak orang pun ada pasti diucapkan orang a s-
yang mengatakannya sengaja m e- ing, orang non-Jawa, atau orang
lucu karena setiap orang Jawa Jawa yang bertempat-tingal jauh
sekarang sudah menyadari bahwa dari dua kota itu.
pusat pemerintahan republik yang Pendek kata, persepsi budaya
baru ada di Jakarta, dan lebih orang Jawa terhadap pusat peme -
penting lagi mereka tahu bahwa rintahan telah berubah. Di jaman
pemerintah kerajaan tidak lagi republik ini dua kota kerajaan itu
punya peranan secara administrasi. tidak lagi dianggap sebagai pusat,
Maka dari itu, mereka akan kedudukannya digantikan Jakarta,
cenderung mengatakan Aku arep sebagai ibukota negara. Tambahan
menyang Sala atau Aku arep men- pula, banyak orang menyadari
yang Yoja. Kata yang dipakai dalam bahwa kota metropolitan Jakarta
varitas kolokuial untuk Surakarta bukan milik para priyayi Jawa, se-
adalah Sala atau Solo, untuk hingga tak-sepantasnya kata ne-
Yogyakarta adalah Yoja, Jokja, atau gara/negari dipakai sebagai julukan
Yogya.10 Untuk varitas formal, b i- bagi kota besar ini. Akibat dari p e-
asanya dalam basa, kata Ngayogya- rubahan sosial dan persepsi orang
karta sering juga diucapkan orang. Jawa terhadap pusat pemerintahan
ini, terdapat pula perubahan sikap
9Dulu para penduduk di pesisiran terhadap gaya hidup priyayi. Karena
juga sering mengatakan kalimat seperti itu. itu, Errington (1985:55) menuliskan
Ada kecenderungan bahwa para priyayi di pula bahwa gaya hidup priyayi tra-
dua kota tersebut memandang rendah disional sekarang sedang me n-
varitas linguistik yang dipakai oleh para
penduduk di pesisiran (Hardjowirogo galami transisi.
1989:105). Dulu, priyayi mencerminkan
citra sekelompok elite yang men-
10Secara
intuitif, setiap penutur asli gabdikan diri kepada raja. 11 Seka-
BJ yang tinggal di sekitar dua kota itu akan
mengatakan demikian. Namun, untuk lebih
obyektifnya, penjelasan tentang pemakaian 11MenurutSartono Kartodirdjo et al.
kata kolokuial untuk Yogyakarta, bisa (1987:3.), kata priyayi berasal dari para
diperiksa dalam buku teks yang ditulis oleh yayi. Kata para adalah penanda plural dan
Ward Keeler, Javanese: A Cultural yayi, dalam BJ modern bersinonim dengan
Approach, (1984:16) dan Elinor Horne, adhik, berarti “saudara muda”. Maka,
Intermediate Javanese, (1963:58). priyayi sebagai kelompok bisa diasosiasikan
sebagai “kerabat raja”. Leslie Palmier (1960)
9
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
10
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
11
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
ini kemungkinan besar tidak bisa dari itu, silakan mulai dengan m e-
diterapkan lagi di Semarang. Pe n- musatkan perhatian pada kalimat
duduk kota ini tidak lagi “sehalus” (04a, b, c) yang bervaritas basic
seperti penduduk di dekat d ua kota (ngoko). Struktur dan etiketnya
keraton tersebut di atas karena mempengaruhi penggunaan varitas
mereka mengalami sosialisasi yang BI yang biasa diucapkan oleh pen u-
permisif akibat dari lingkungan u r- tur BJ, lihat kalimat (05a - 08b)
ban yang hiruk-pikuk dan men- yang akan dibicarakan dengan c u-
galami lebih banyak kontak dengan kup panjang.
kelompok masyarakat yang secara
kultural heterogen.
(01a) Ingkang dipun lenggahi wonten
pundi?
Analisis Data yang (+H) di- (+h) duduki (+hH)
di (+H) mana (+H)
Sehubungan dengan bahasa, Sema-
rang merupakan tempat pertemuan (01b) Lenggahipun wonten pundi?
aneka macam dialek. Maka, pe n- duduknya (+hH/+h) di (+H)
duduk kota itu membutuhkan s e- mana (+H)
buah medium pengantar, yang bisa
berupa BI atau BJ. Seperti disebut (02a) Panjenengan dalem-ipun pundi?
dalam Gambar 1, baik BI maupun kamu (+hH) rumahnya (+hH/
BJ mempunyai aneka varitas li n- +h) mana (+H)
guistik. Berikut ini ada lah beberapa
contoh untuk menggambarkan var i- (02b) Dalem panjenengan pundi?
tas formal dan kolokuial BJ dan di i-
kuti dengan varitas BI. Semua k a-
limat sederhana itu mempunyai arti
memanfaatkan leksikon dan afiks ini. Dia
yang sama, yakni: “Di mana mengelompokkannya ke dalam dua
rumahmu?” kategori, yakni: kata lumrah ( -H) dan afiks
Menurut konvensi sosio - lumrah (-h), dan kata honorifik (+H) d an
kultural Jawa, pilihan leksikal dan afiks honorifik (+h). Ancangan yang
ditempuh Hori barangkali berguna untuk
penanda honorifik menunjukkan menggambarkan varitas lingusitik Jawa.
tingkat formalitas varitas atau kode Dikotomi penanda lumrah dan honorifik
linguistik, namun karena keterbat a- sesuai dengan pengertian ngoko dan basa.
san ruang, hal itu tidak akan d i- Yang pertama, lumrah, yang kedua, santun
atau halus, walaupun agar realistis, tidak
uraikan dalam tulisan ini. 18 Maka semua kata ngoko (-H) mempunyai
padanan honorifik. Untuk menandai kata -
18Perbedaan antara basa dan ngoko kata semacam ini, akan dibuatkan tanda
pada umumnya terletak pada bentuk “no-honorific” (nH) dan bagi afiks (nh). Di
leksikal dan affiks. Kemugkinan sama samping itu, masih ada tanda (lH/h) untuk
dengan kasus bahasa Jepang. Dalam “low honorific” (honorifik rendah) d an
usahanya menjelaskan varitas linguistik (hH/h) untuk “high honorific” (honorifik
Jepang, Hori (1986:373 -386) juga tinggi).
12
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
13
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
14
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
/-nya/ setelah kata omah (rumah - hoa lebih suka berbicara dalam BI,
H) akibat proses topikalisasi. Hal itu yang bisa berupa varitas seperti ini
mirip dengan penggunaan sufiks atau varitas standar dari pada be r-
/-é/ se-telah kata omah (rumah -H) bicara dalam BJ, karena pada
di K-03a, K-04a, K-04c, atau umumnya mereka tidak menguasai
sufiks /-ipun/ setelah dalem basa dan enggan berbicara ngoko
(rumah +hH) di K-02a. Sedangkan dalam situasi seperti ini ( cf. Oetomo
K-07d sama dengan K-03b. 1987:111). K-08b secara eksplisit
K-08a dan K-08b merupakan ditandai oleh sufiks ngoko /-é/,
BI kolokuial. Kalimat itu sering di u- setelah kata “rumah” sehingga de n-
capkan oleh orang Indonesia non - gan mudah bisa disimpulkan bahwa
Jawa atau orang Jawa yang sedang kalimat itu sangat dipengaruhi oleh
berbicara dengan orang non -Jawa. struktur kalimat ngoko. Untuk
K-08a berisi dua kata Melayu, kau memberi gambaran tentang adanya
dan bang. Yang pertama adalah pengaruh struktur ngoko terhadap
pronomina kedua yang lebih pop u- penggunaan BI oleh para keturunan
ler dipakai orang dari Sumatra, dan Tionghoa, Rafferty (1984:248, pen e-
jarang diucapkan oleh orang Jawa, gasan yang di-cetak-miring dibuat
sedangkan kata yang kedua, bang, oleh HDP) menulis pernyataan s e-
adalah vokatif atau nomi na yang bagai berikut:
berasal dari abang (kakak), sebuah
kata yang biasa dipakai oleh orang The Peranakan Chinese living in
yang berdomisili di Jawa Barat, J a- Javanese-speaking areas likewise
use standard Indonesian f or their
karta atau Sumatra. 19
primary written language and for
K-08b adalah varitas BI yang most formal speaking situations,
sering diucapkan oleh etnik mino r- and they use Ngoko but not High
itas keturunan Tionghoa. Untuk Javanese when speaking with
menciptakan rapport, banyak penu- Javanese acquaintances. More si g-
tur BJ menirukan varitas BI ini nificantly however, the Peranakan
manakala mereka berkomunikasi Chinese speak a hybrid language
dengan orang beretnik Tionghoa. that combines Indonesian and
Ngoko as the language of their
Untuk menghormati orang Jawa,
home.
sebaliknya para keturunan Tion g-
Ada sebuah varitas dialektal
19Di
antara penutur BJ, ada sebuah BI yang dipakai sebagai bahasa pe r-
lelucon populer berdasarkan pada gaulan banyak orang di Jakarta.
permainan homonim. Kata orang mas Dialek Jakarta ini amat populer dan
(dalam BJ, kata itu jug a berarti emas) akan
berubah warna dari “kuning” ke “merah”
bahkan dipakai oleh banyak orang,
(dalam BJ, kata abang artinya “merah”) terutama para remaja kelas mene n-
apabila dibawa ke Jakarta. Maksudnya, gah, di Semarang. Para remaja ini
vokatif mas dalam BJ sama artinya dengan dengan sengaja memakai dialek ini
vokatif abang dalam dialek Jakarta. karena mereka anggap mengandung
15
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
16
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
17
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
18
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
19
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.
20