Anda di halaman 1dari 20

Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,

Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

DILEMMA SOSIOLINGUISTIK JAWA:


DAMPAK URBANISASI TERHADAP KOMPETENSI
KOMUNIKASI

Herudjati Purwoko
Dosen Universitas Diponegoro;
lulusan UGM (S-1), University of Pennsylvania (S -2), dan Monash University (S -3)

Abstract
This paper deals with the ongoing use of local vernacular spoken in the city of Sem a-
rang. It tries to prove that there is a serious socio -cultural change in the city accele r-
ated by novel high-rise buildings, high-tech applications in public places and new co n-
structions of spatial landscapes. The socio -cultural change seriously influences the cu r-
rent use of the Javanese vernacular, which is the native tongue of the city dwellers.
Since the vernacular is highly embedded in the socio -cultural tradition of its speakers,
its popularity will be in jeopardy if the speakers' socio -cultural tradition changes tr e-
mendously due to the rapid growth of urbanization and advanced technology. The logi c
of the Javanese vernacular, which is traditional, does not match with the practice of
urban life style, which is hectic, efficient and modern. In public domains, when inte r-
acting with unknown interculators, most Javanese prefer to speak Bahasa Indonesia
rather than their own native tongue. This paper will argue which variety of the vernac u-
lar will linger on when the current waves of urbanization come into the private e n-
trenchment of Javanese lives.
Keyword: Javanese vernacular, social interaction, urbaniz ation and cultural
socialization

Banyak kota di Jawa telah berubah pembangunan kota dan pencakar -


dengan cepat. Tatakota secara ajaib langit juga mengakibatkan keka -
dikemas. Aneka macam ruang pub - cauan komunikasi. Paling tidak,
lik baru perlu diciptakan untuk me - gaya hidup para penduduk di
nampung jutaan penduduk. Banyak daerah urban metropolitan terpaksa
bangunan pencakar-langit berdiri berubah drastis. Dan bila proses
menjulang tinggi di pusat kota. komunikasi dikaitkan dengan gaya
Menurut mitos menara Babel, pem - hidup para penutur bahasa terten -
bangunan pencakar-langit menga- tu, “kekacauan” atau, lebih tepat
caukan penggunaan bahasa sehing - “perubahan” perilaku komunikasi
ga baik para pekerja maupun insi - akan terlihat cukup jelas. Mitos
nyur teknik tidak lagi bisa berko - menara Babel akan hidup lagi,
munikasi satu sama lain. 1 ibarat pepatah l’histoire se repete
Apabila esensi pelajaran yang alias “sejarah akan berulang kem -
bisa dipetik dari mitos menara Ba - bali”. Maka muncul analogi berikut
bel ini direnungkan dalam -dalam, ini: Seperti halnya mitos pembang -
unan menara Babel, urbanisasi
1Kisah
pasti memberi dampak perubahan
menara Babel bisa dibaca
dalam Kitab Kejadian bab 11, ayat 1 -9, besar pada gaya hidup penduduk
dalam buku Perjanjian Lama. kota.

1
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

Kemudian, fenomena sosio - dan Bahasa Jawa (BJ). BI adalah


kultural apa yang bisa dilihat deng - bahasa nasional, berasal dari baha -
an paling jelas? Seorang pionir fil- sa Melayu Riau. Sedangkan BJ
safat di Indonesia menulis bahwa adalah bahasa ibu penduduk
“phenomenon” adalah sebuah kata setempat. Baik BI maupun BJ
Yunani yang berarti “tampak” dan mempunyai varitas linguistik ter -
fenomena (sosio-kultural) yang pa- sendiri. BI paling tidak mempunyai
ling tampak jelas adalah “bahasa” dua varitas: formal dan kolokuial.
yang sedang digunakan oleh para Menurut tradisi, BJ mempunyai tiga
penuturnya (Drijarkara 1980:69). varitas: krama, madya dan ngoko.
Dia bukan satu-satunya ilmuwan Baik krama dan madya dianggap
yang meyakini fenomena semacam sebagai basa atau varitas halus.
ini, Chomsky (1975:4) juga menu - Ngoko sebagai varitas tak -halus
liskan bahwa bahasa adalah “ a mir- yang sering dipandang sebagai me -
ror of mind”, walaupun akhli ini se r- dium solidaritas. Gambar 1 di
ing dianggap Cartesian dan ter lalu bawah ini menunjukkan deskripsi
rasional. Yang lain, seorang akhli varitas linguistik penutur asli BJ di
linguistik antropologi, lebih dahulu Semarang.
menulis: “language as the symbolic
guide to culture” (Hymes 1970:164).
Varitas Krama
Sehubungan dengan fe nomena formal Basa
pola-pikir komunikasi da lam mitos Madya
Babel, tulisan ini akan membicar a- BI BJ
kan dampak urbanisasi terhadap 
penggunaan vernakular, bahasa Ngoko
Jawa, yang masih dipakai oleh p e- Varitas
nutur aslinya di kota Sema rang. Kolokuial
Proposisi dari tulisan ini cu kup se- Gambar 1. Varitas Linguistik Penutur Asli Bahasa
derhana, yakni mengamati apakah Jawa di Semarang

ada dampak serius dari proses u r-


banisasi terhadap perilaku dan
penggunaan medium komuni kasi BJ merupakan bahasa ibu dari
oleh para penutur asli Jawa di kota mayoritas penduduk di Semarang
itu. walaupun jarang sekali dipakai se -
bagai medium komunikasi tertulis.
Peranan bahasa tulis dan varitas
Varitas Linguistik formal dalam komunikasi di ruang
Penutur Asli Bahasa Jawa publik didominasi oleh BI. Sedang -
kan BJ dipakai di ranah keluarga
Secara garis besar, kebanyakan dan hampir tidak dipelajari secara
penduduk kota Semarang adalah formal, seperti halnya BI, di ranah
dari suku Jawa yang bisa berbicara sekolah. Lagi pula, berkat cepatnya
dua bahasa: Bahasa Indonesia (BI) perkembangan urbanisasi, peranan

2
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

BI menjadi semakin kuat sehingga diambilalih oleh (varitas kolokuial)


membuat banyak para orangtua di BI di ranah keluarga Jawa masih
keluarga Jawa modern lebih suka merupakan mission impossible. Se-
berkomunikasi dalam BI sekali pun bagai medium dan varitas kolokuial
berada di dalam rumah. Akibatnya, dalam komunikasi sehari-hari,
anak-anak Jawa kurang pandai ngoko masih terlalu erat melekat s e-
menggunakan bahasa ibu mereka cara sosio-kultural di hati kebany a-
sendiri dengan baik walaupun kan orang Jawa sehingga B I belum
mereka masih bisa memahaminya cukup kuat untuk menggeser kedu -
dengan baik. Menurut literatur so - dukannya. Kedudukan ngoko seba-
siolinguistik, fenomena ini digam - gai varitas kolokuial dan alat e k-
barkan sebagai keadaan di mana spresi jati-diri etnik masih amat
penutur asli mempunyai ”kompe - kuat dan, oleh para pengamat b a-
tensi produktif” yang kurang tetapi hasa, varitas ini dianggap pula s e-
masih memiliki “kompetensi resep - bagai basic (dasar) dari BJ. Errin g-
tif” amat baik. Ibarat pelajar, secara ton (1988:49) melu kiskan bahwa
teoritis mereka tahu seluk beluk “ngoko is the ‘basic’ language one
bahasa, namun secara praktis thinks in, speaks to in timates and
kurang pandai menggunakannya. inferiors in, loses one’s temper in; it
Semakin banyak jumlah ke - is the most natural and spontan e-
luarga Jawa yang menggunakan BI ous form of verbal expres sion ”. Hal
sebagai komunikasi di ranah ke - ini tidak berbeda jauh dengan per n-
luarga akan membahayakan pera - yataan dalam buku Karti Basa
watan dan popularitas BJ di masa (1946:64). Bahkan ngoko disebut
mendatang. Walaupun demikian, sebagai “moedertaal der Javanen ”
pendapat bahwa para pe nutur asli (bahasa ibu orang Jawa) oleh M.
BJ sudah melupakan ba hasa ibu Prijohoetomo (1937:25). Pendek
mereka sendiri adalah ti dak real- kata, sebagai “bahasa da sar”, ngoko
istis. Di antara tiga varitas linguistik dipakai orang Jawa ketika berpikir,
BJ, paling tidak, ngoko masih sering berbicara dengan kerabat akrab,
dipakai dan diperta hankan. 2 Dan atau ketika marah; ngoko meru-
kemungkinan bahwa peranan ngoko pakan varitas kolokuial untuk me n-
dalam komunikasi sehari -hari akan gungkapkan ekspresi verbal secara
alamiah dan spontan.
2Fakta
sosiolinguistik ini (bila Anda Dalam masyarakat Jawa tra -
pendukung budaya Jawa tradisional disional, basa digunakan sebagai
bolehlah menyebutnya opini atau, bahkan,
asumsi pribadi penulis makalah ini) lambat
medium komunikasi dengan orang
laun akan tampak semakin jelas. Untuk lebih tua (terhormat) atau dengan
bukti, misalnya, silakan membandingkan- orang Jawa tak-dikenal. Bila norma
nya dengan fakta penggunaan BJ sosial ini dilanggar, pembicaranya
khususnya oleh kawula muda di kota
Surabaya. Anda terpaksa harus mengakui akan dianggap tidak sopan. Namun
bahwa varitas basa semakin tidak populer sekarang, banyak pemuda Jawa le -
di Surabaya.

3
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

bih suka berbicara dalam BI dar i- lain kecuali melaksanakan


pada dalam varitas basa ketika ber- sosialisasi baru yang non -
komunikasi dengan orang Jawa konvensional. Perbedaan dari dua
yang tidak (kurang) mereka kenal. macam sosialiasi itu akan d iuraikan
Bahkan, menurut pengamatan s e- di bagian berikut ini. Tujuannya
lintas di Semarang, banyak muda - adalah untuk menggambarkan
mudi menggunakan varitas ngoko latar-belakang dari dampak u r-
ketika berbicara dengan lawan -bi- banisasi terhadap gaya hidup sosio -
cara yang sebaya, sekalipun mung - kultural para penduduk kota.
kin hubungan mereka belum akrab.
Akibatnya, praktik penggunaan
basa menjadi berkurang dan peng - Sosialisasi Konvensional
uasaan basa oleh para kawula
muda menjadi semakin kurang Menurut Hildred Geertz, pembel a-
pula. Di samping frekuensi penggu - jaran etiket sosial, termasuk b a-
naannya semakin rendah, basa hasa, di Jawa, selalu berjalan sei r-
kurang efisien untuk pergaulan ing dengan tahap sosialisasi dan
gaya hidup kota yang sibuk dan perkembangan emosi anak -anak.
serba cepat. Sebaliknya, para Hildred menyatakan bahwa dengan
kawula muda menyadari bahwa memanfaatkan tiga macam
ketrampilan dalam menggunakan BI perasaan ---wedi (takut), isin (malu),
akan lebih dihargai dan secara so - dan sungkan (enggan?)--- dalam
sial-ekonomi lebih menguntungkan. hati anak-anak, para orangtua Jawa
Karena BJ tidak lagi sering mencoba mengajar mereka untuk
digunakan sebagai medium komu - bertingkah-laku hormat dan berb a-
nikasi di ruang publik, maka pe r- hasa santun. Dari ketiga perasaan
awatannya hanya semata -mata di- itu, makna sungkan adalah khas
lakukan dalam ranah keluarga, Jawa. Padanan kata BI, “enggan”
kelompok bermain, atau rukun atau “segan”, menurut kriteria cita-
tetangga. Menurut sos ialisasi kon- rasa Jawa, masih kurang pas. P o-
vensional, pembelajaran bahasa s e- erwadarminta (1961:824) mendefi -
lalu meningkat sejalan dengan nisikan “segan” sebagai sinonim
pembelajaran tentang etiket sosial dari “enggan” yang berarti (1) “tidak
dan perkembangan emosi manusia. sudi, tidak mau, tidak suka, malas”
Namun demikian, urbanisasi mem - dan (2) “merasa malu” (takut, ho r-
buat masyarakat Jawa tidak lagi mat, gerun). Definisi pertama berko -
tradisional sehingga sedikit ke - notasi negatip, apalagi ada nuansa
luarga Jawa yang m asih melak- “malas”, sehingga maknanya me n-
sanakan praktik sosialisasi konve n- jadi kurang pas. Definisi kedua m e-
sional. Secara umum, banyak k e- rupakan gabungan dua ( wedi dan
luarga Jawa, apalagi mereka yang isin) dari tiga perasaan seperti yang
tinggal di kota, tidak punya pilihan dikemukakan oleh Hildred Geertz

4
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

dikurangi kata “sungkan” itu 113-4), seorang akhli semantik,


sendiri, ditambah “hormat”, tapi mencoba menjabarkan makna dari
sungkan tidak persis sama dengan kata sungkan yang khas Jawa itu,
“hormat” walaupun nuansa hormat dengan menyusun sebuah formulasi
tercakup di dalamnya. Selain itu, berdasarkan ciri-ciri semantik yang
perlu diingat, Poerwadarminta tercakup di dalamnya, seperti tert u-
adalah orang Jawa sehingga definisi lis dalam box di halaman berikut.
dalam entri kamusnya bercita -rasa Tiga macam perasaan, wedi,
Jawa pula. 3 Sungkan juga sulit di- isin, sungkan, menurut Hildred
terjemahkan ke bahasa Inggris. Hi l- Geertz, berkembang bertahap s e-
dred Geertz (1961:113-4) mencoba jalan dengan perkembangan anak.
menjelaskan seperti berikut ini: Maka dari itu, kelihatan jelas,
seperti yang ditunjukkan Bernstein
Isin and wedi, although complex, (1972:473), bahwa sosialisasi me m-
are also close enough to American bentuk realitas psikologis manusia
ideas to be translated “shame” and yang akan sangat berpengaruh pada
“fear”, but sungkan is peculiarly
tingkah-laku berkomunikasi. Seper -
Javanese. Roughly, sungkan refers
to a feeling of respec tful politeness
ti di masyarakat lainnya, sosialisasi
before a superior or an unfamiliar di keluarga Jawa berpengaruh besar
equal. “Sungkan is like isin only terhadap kompetensi komunikasi..
‘lighter’.” “Sungkan is like isin, only Secara garis besar, sosialisasi
without the feeling of doing som e- budaya Jawa terbagi dalam tiga
thing wrong”. tahap usia: kanak-kanak, remaja,
dewasa. Urutan tiga tahap u sia ber-
Berdasarkan pada penjelasan korelasi dengan perkembangan tiga
Geertz di atas, Wierzbicka (1992: perasaan yang berbeda tersebut di
atas.
3Bahwa makna kata “sungkan” sulit

dimengerti oleh ora ng non-Jawa bisa Sungkan:


masuk akal karena kata ini merupakan X thinks something like this:
manifestasi verbal dari suatu norma - I cannot do what I want
tingkah-laku sosio-kultural dalam budaya - another person is here
etnik itu. Ia merupakan tanda simbolik dari - this person is not someone like me
suatu fenomenon sosio-kultural yang khas - this person could feel something bad
yang hanya bisa dipahami lewat pola -pikir if I did what I want
dan struktur tingkah -laku sosio-kultural - this person could think something
Jawa. Ada bukti lain, bahwa orang non - bad of me
Jawa sulit memahami pola -pikir khas Jawa - I don’t want this
yang tercermin dalam manifestasi verbal. - I want this person to think som e-
Mudahkah Anda, para pembaca non -Jawa, thing good of me
memahami makna dari frase populer ini: Because of this, X feels something
ngono ya ngono ning aja ngono, andaikata Because of this, X doesn’t do some
Anda belum pernah bersentuhan dengan things
nilai tradisional Jawa? Apalagi Anda, para Because of this, X does some things
kawula muda Jawa yang berwawasan
budaya rasional pun terasa sulit untuk
mencerna maknanya.

5
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

Tahap kanak-kanak menun- atau kerabat yang lebih tua diaja r-


jukkan periode sosialisasi anak - kan kepada anak-anak semenjak
anak di bawah usia delapan tahun. 4 usia dini. Dengan memanfaatkan
Batas delapan tahun ini sesuai perasaan takut (wedi), para orang-
dengan perhitungan kalender Jawa tua Jawa biasanya menekankan
yang dibagi menjadi tahapan usia agar anak-anak menyadari bahwa
per windu (delapan tahunan). Geertz saudara atau orang lebih tua itu
(1960:329) menuliskan komentar bersifat malati. Koentjaraningrat
respondennya tentang perhitungan (1957:30) mendefinisikan malati se-
usia yang dikaitkan dengan siklus bagai berikut “a state of being an
hidup manusia (Jawa), berikut: elder sibling, which will cause s u-
pernatural punishment if an inju s-
“This (a chart the informan t had tice is done to him”. Demikianlah
drawn for me) represents the ages ajarannya, hukuman supernatural
of man windu by windu (a windu is atau kualat akan dijatuhkan kepada
eight years). When you are eight
setiap orang yang kurang menghor -
you are still a child and don’t think
about anything. When you are si x- mati apalagi bersikap kasar terh a-
teen you are all wound up about dap saudara atau orang lebih tua.
girls. When you are twenty-four Konsep malati seringkali dihu-
you are getting married. At thirty - bungkan dengan konsep awu atau
two you are involved in the things hirarki senioritas kekerabatan. 5
of everyday life. But the time you Konsep ini biasa dipakai mengajar
are forty you begin to reflect about
life and only then can you really anak-anak Jawa agar menghormati
begin to understand it, to learn saudara tua dan sekaligus untuk
this ‘science’; and as yo u become mencegah persa-ingan antar sau-
older you get wiser...”. dara. Berikut ini adalah sebuah
lagu rakyat Jawa yang memanfaa t-
Ketiga macam tahapan usia kan nama-nama jari tangan manu -
(kanak-kanak, remaja, dan dewasa) sia; nama jari-jari tersebut mencer-
hanya digunakan untuk menjela s- minkan lima bersaudara dalam satu
kan transformasi perasaan, dari keluarga. Urutan us ianya berawal
wedi, isin ke sungkan. Sikap hormat dari Ibujari, sebagai anak tertua,
terhadap orang dewasa, saudara sampai Kelingking yang termuda.
Tujuan lagu didaktik ini untuk
4Jumlah
tahun dalam perhitungan memberi peringatan kepada anak -
tradisional Jawa dihitung per windu,
meskipun di budaya lain batas usia kanak -
kanak mungkin lima tahun dan batas awu ini jarang dijelaskan
5Konsep

remaja adalah empatbelas tahun. Misalnya, oleh para akhli Javanologi, kecuali
di Shetland Islands, dekat Inggris, Koentjaraningrat (cf. 1957:68), demikian
empatbelas tahun merupakan batas usia menurut pengamatan Errington (1988:70)
anak-anak yang belum bisa dianggap yang menginterpretasikan awu sebagai
bertanggungjawab secara sosial (Goffman senioritas sehubungan tidak hanya dengan
1953:185). usia melainkan juga keningratan.

6
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

anak Jawa agar ingat akan sifat yang tepat, mereka boleh men g-
malati dan menghindari persaingan gunakan kosa-kata baby talk.7
antar saudara, maka mereka d i- Smith-Hefner menuliskan bahwa
minta untuk tetap menghormati untuk mengajarkan bahasa santun,
saudara tua yang dianggap me m- para orang-tua di Jawa Timur me n-
punyai kekuatan supernatural. ganggap bahwa baby talk adalah
varitas yang “more polite than the
Enthik (Kelingking) 6 ngoko variants so long as they are
T: Enthik, enthik, patenana si Penunggul . not used in a slot where an honorific
(Kelingking, bunuhlah si Jari -tengah.) term is required” (1988:182). Kosa -
K: Penunggul dosane apa? (Apa dosa si
Jaritengah?)
kata ini merupakan eufemisme bagi
T: Dosane ngungkul-ungkuli. (Dia meng- kosa-kata ngoko yang lugas,
ungguli kita semua.) khususnya bagi kata -kata yang
J: Aja dhi, aja dhi, sedulur tuwa ala -ala menunjukkan tingkah -laku sehari-
amalati. (Jangan dik, jangan, saudara hari, seperti: pipis (kencing), ék-ék
tua biar jelek malati)
I: Ya bener, ya bener, tai laler enak seger.
(berak), ma-em (makan), mimik (mi-
(Ya benar, ya benar, kotoran lalat enak num), bobok (tidur), etc. Anak-anak
segar) boleh menggunakan kosa -kata ini
untuk menunjukkan tingkah -laku
yang dikerjakan oleh orang dewasa
Berkaitan dengan pen g- sehingga mereka bisa menghindari
gunaan bahasa, anak -anak Jawa penggunaan kosa-kata ngoko yang
dianjurkan untuk menggunakan secara sosial kurang sopan. Misa l-
vari-tas basa dan kata sapaan yang nya, seperti urutan contoh di atas,
tepat manakala berkomunikasi nguyuh, ngising, mang-an, ngombé,
deng-an orang dewasa. Sementara turu etc.
masih dalam taraf belajar, apabila Sementara anak-anak Jawa
anak-anak lupa kosa-kata basa tumbuh semakin besar, mereka s e-
cara bertahap mengatasi perasaan
6Lirik lagu Jawa ini versi daerah takut terhadap lawan -bicara de-
Surakarta-Yogyakarta (Principalities). Baris wasa. Ketika remaja, para muda-
1 diucapkan oleh Telunjuk, baris 2 oleh mudi itu menyimpan rasa malu te r-
Kelingking, baris 3 oleh Telunjuk, baris 4 hadap lawan-bicara yang berbeda
oleh Jarimanis, baris 5 oleh Ibujari. Pada
umumnya, jaritengah manusia lebih kelamin, di samping itu mereka juga
panjang dari pada jari lainnya. Hanya berniat memamerkan sikap ingin
karena lebih tinggi secara alamiah bebas dengan mengabaikan aturan
Jaritengah sudah dituduh berdosa,
orangtua. Namun demikian, para
walaupun ia tidak berbuat kesalahan
apapun juga. Kisah ini menunjukkan
7Dalam literatur linguistik, istilah
bahwa kecemburuan terhadap senioritas
dan status merupakan isyu amat sensitif di baby talk dipakai untuk menunjukkan
Jawa. Oleh sebab itu, bahasanya juga tidak ragam bahasa yang sering dipakai anak -
bisa terlepas dari isyu soal senioritas dan anak. Istilah ini dipopulerkan oleh
status itu. Ferguson (1964:103-14).

7
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

orangtua Jawa memanipulasi orang yang belum dikenal atau


perasaan malu anak-anak remaja orang yang lebih tua. Dalam setiap
untuk mengajarkan etiket komun i- interaksi sosial, perasaan sungkan
kasi santun. Para remaja yang tidak ini secara efektif memotivasi para
mampu menggunakan varitas basa penutur asli BJ untuk selalu me m-
yang santun biasanya ditertawakan perhitungkan derajat tepat ( proper
oleh para orangtua dan kerabat d e- rank) atau status sosial lawan -
wasa, atau bahkan dianggap tidak bicara dan status diri mereka
beradab dan kasar. 8 Konsekuensi- sendiri di depan lawan-bicara mau-
nya, para remaja itu terpaksa harus pun pendengar yang terlibat dalam
belajar berbicara santun dan ber - interaksi.
tingkah-laku sopan.
Menjelang usia dewasa, k e-
banyakan orang Jawa diharapkan Sosialisasi Non-konvensional
sudah mampu menggunakan var i-
tas basa dan menguasai etiket Semua yang telah dibicarakan di
sosial yang sopan. Perasaan wedi atas mungkin masih dilaksanakan
dan isin yang diindoktrinasikan s e- oleh para penutur asli BJ yang tin g-
menjak kecil berubah menjadi gal di (atau dekat) kota Surakarta
sungkan. Suatu perasaan etnose n- dan Yogyakarta, yang dikenal seba-
trik yang membuat orang Jawa s e- gai pusat budaya Jawa di mana k e-
lalu berlaku hati-hati manakala banyakan keturunan priyayi ber-
mereka berkomunikasi dengan domisili. Etiket priyayi masih sangat
dihormati masyarakat kebanyakan
8Para
yang tinggal di sekitar dua kota itu,
remaja Jawa yang kurang
pandai berbahasa santun sering walaupun gaya hidup Jawa telah
digambarkan sebagai orang yang durung mengalami banyak perubahan.
Jawa atau bahkan ora Jawa. Artinya, para Gaya hidup itu tidak lagi hirarkikal
remaja itu belum tahu adat -istiadat dan seperti sebelum 1945, ketika Ind o-
tingkah-laku sopan seperti yang
diharapkan oleh para orangtua tradisional. nesia merdeka. Pada waktu itu, k e-
Selain untuk menyebutkan orang yang banyakan penutur asli BJ masih
tidak tahu berbahasa sopan, frase ini juga menganggap pusat pemerintahan
ditujukan kepada orang dari budaya
terletak di dua kota keraton itu
pelosok, orang asing, hewan, orang yang
terganggu jiwanya, dan anak -anak. Paling yang sering disebut juga sebagai
tidak, ada tiga pengamat asing yang telah negara (dalam ngoko) atau negari
menuliskan fenomena i ni. Lihat, Hildred (dalam basa). Errington (1988:25)
Geertz (1961:105), Ronald Hatley (1984:4)
dan Nancy Smith -Hefner (1988:169).
menuliskan bahwa kata negara/
Fenomena semacam ini juga terdapat di negari itu bisa diartikan sebagai
budaya lain, misalnya, di Mali, anak yang “royal city” (kota kerajaan) atau
baru lahir disebut kuntu (benda), baru “country” (negara).
setelah mampu berbahasa dengan baik, dia
Beberapa dekade yang lalu
akan disebut muntu (manusia), lihat
Fromkin & Rodman (1978:1). penutur asli BJ dari pedesaan di

8
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

sekitar dua kota itu masih sering Nampaknya memang benar bahwa
mengatakan kalimat ini: Aku arep baik Surakarta maupun Yogyakarta
menyang negara, dalam ngoko, lebih sering dipakai dalam wacana
atau, Kula badhé dhateng negari tulis. Akibatnya, penutur asli BJ di
dalam basa9 Arti kalimat itu, “Saya kawasan itu jarang mengucapkan
akan pergi ke Surakarta atau Yog - Aku arep menyang Surakarta
yakarta”. Dewasa ini, kalimat s e- (Yogyakarta) dalam situ-asi normal.
rupa itu akan menjadi bahan te r- Ujaran itu terdengar aneh, kala u-
tawaan, atau paling tidak orang pun ada pasti diucapkan orang a s-
yang mengatakannya sengaja m e- ing, orang non-Jawa, atau orang
lucu karena setiap orang Jawa Jawa yang bertempat-tingal jauh
sekarang sudah menyadari bahwa dari dua kota itu.
pusat pemerintahan republik yang Pendek kata, persepsi budaya
baru ada di Jakarta, dan lebih orang Jawa terhadap pusat peme -
penting lagi mereka tahu bahwa rintahan telah berubah. Di jaman
pemerintah kerajaan tidak lagi republik ini dua kota kerajaan itu
punya peranan secara administrasi. tidak lagi dianggap sebagai pusat,
Maka dari itu, mereka akan kedudukannya digantikan Jakarta,
cenderung mengatakan Aku arep sebagai ibukota negara. Tambahan
menyang Sala atau Aku arep men- pula, banyak orang menyadari
yang Yoja. Kata yang dipakai dalam bahwa kota metropolitan Jakarta
varitas kolokuial untuk Surakarta bukan milik para priyayi Jawa, se-
adalah Sala atau Solo, untuk hingga tak-sepantasnya kata ne-
Yogyakarta adalah Yoja, Jokja, atau gara/negari dipakai sebagai julukan
Yogya.10 Untuk varitas formal, b i- bagi kota besar ini. Akibat dari p e-
asanya dalam basa, kata Ngayogya- rubahan sosial dan persepsi orang
karta sering juga diucapkan orang. Jawa terhadap pusat pemerintahan
ini, terdapat pula perubahan sikap
9Dulu para penduduk di pesisiran terhadap gaya hidup priyayi. Karena
juga sering mengatakan kalimat seperti itu. itu, Errington (1985:55) menuliskan
Ada kecenderungan bahwa para priyayi di pula bahwa gaya hidup priyayi tra-
dua kota tersebut memandang rendah disional sekarang sedang me n-
varitas linguistik yang dipakai oleh para
penduduk di pesisiran (Hardjowirogo galami transisi.
1989:105). Dulu, priyayi mencerminkan
citra sekelompok elite yang men-
10Secara
intuitif, setiap penutur asli gabdikan diri kepada raja. 11 Seka-
BJ yang tinggal di sekitar dua kota itu akan
mengatakan demikian. Namun, untuk lebih
obyektifnya, penjelasan tentang pemakaian 11MenurutSartono Kartodirdjo et al.
kata kolokuial untuk Yogyakarta, bisa (1987:3.), kata priyayi berasal dari para
diperiksa dalam buku teks yang ditulis oleh yayi. Kata para adalah penanda plural dan
Ward Keeler, Javanese: A Cultural yayi, dalam BJ modern bersinonim dengan
Approach, (1984:16) dan Elinor Horne, adhik, berarti “saudara muda”. Maka,
Intermediate Javanese, (1963:58). priyayi sebagai kelompok bisa diasosiasikan
sebagai “kerabat raja”. Leslie Palmier (1960)

9
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

rang, priyayi merupakan kelompok tradisional yang semakin lemah


sosial yang memegang peran pen - karena faktor jarak yang semakin
ting dalam pemerintahan Indonesia. jauh dari pusat keraton bi sa digam-
Dulu, menurut Geertz (1960), pri- barkan dengan diagram berikut: 13
yayi secara tradisional merupakan
perwira tangguh 12 dan, menurut
Koentjaraningrat, akhli dalam be r-
tugas sebagai pejabat pemerintah, Tanah sabrang
oleh sebab itu sekarang banyak dari
Pesisiran
mereka bekerja sebagai pegawai
negeri.
Priyayi baru yang bekerja s e- Mancanegara
bagai pegawai negeri merupakan Negara agung
pemimpin sosial baru dengan model
gaya hidup modern yang dianggap Negara
pantas ditiru oleh rakyat kebany a-
kan. Dengan demikian, prinsip
etiket yang mendasari gaya hidup Lingkaran No. 1 adalah kawasan
priyayi masih tetap berlangsung negara yang berarti “kota kerajaan”
walaupun barangkali tidak begitu di mana terletak keraton, tempat
kuat dan berpengaruh seperti ketika tinggal raja. Lingkaran No. 2 adalah
budaya tradisional masih subur, t e- negara agung, artinya “negeri besar”
patnya sebelum Indonesia merdeka. di mana “para pejabat kerajaan dan
Di kota Semarang, pengaruh kerabat dekat raja yang diberi tanah
etiket budaya priyayi terhadap gaya perdikan” 14 berdomisili. Lingkaran
hidup rakyat kebanyakan semakin No. 3 adalah mancanegara artinya
kurang berpengaruh karena jarak “di luar batas negeri besar”. Lin g-
sosio-spatial yang cukup jauh dari karan No. 4 adalah kawasan
dua kota kerajaan yang dianggap pasisiran yang secara harafiah be r-
sebagai pusat budaya Jawa yang arti “daerah pantai” dan lingkaran
tradisional itu. Pengaruh otoritas No. 5, adalah tanah sabrang atau
“tanah seberang”, yang secara idi o-
membedakan priyayi berdasarkan “darah” matis berarti “kawasan yang amat
dan priyayi berdasarkan “profesi” atau jauh” atau “kawasan di pulau lain”.
“pegawai pemerintah”. Untuk informasi
mendalam tentang priyayi, periksa pula
13Diagram ini hasil interpretasi dari
artikel Heather Sutherland, “T he Priyayi”
(1975:57-79). tulisan Errington (1988:25f.) dan
Kartodirdjo et al. (1987).
12Lihat pula Harsya Bachti ar
14Pernyataan ini terjemahan dari
(1981:548) yang membandingkan priyayi
dengan konsep keperwiraan para ksatria “the king’s closest officials and family were
pada Abad Pertengahan di negara -negara awarded appanages” yang ditulis Errington
Barat (1988:25).

10
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

Kota Semarang terletak di Jawa, gaya hidup penduduk


lingkaran No. 4 di kawasan ya ng se- pasisiran dianggap kurang halus. 17
cara sosio-spasial cukup jauh dari Walaupun demikian akibat
negara. Tepatnya, kawasan kota perubahan politik, sekarang Sem a-
Semarang berada di pantai utara rang secara administrasi mempu n-
Jawa berjarak sekitar 100 kilometer yai kedudukan yang lebih penting
lebih dari dua kota keraton pusat dari pada Surakarta. Sebagai ib u-
budaya Jawa itu. 15 Maka, menurut kota propinsi Jawa Tengah, Sem a-
sejarah sosio-kultural Jawa, Sema- rang membawahi Surakarta. S e-
rang secara relatif kurang terpeng a- dangkan Yogyakarta, sebagai ib u-
ruh oleh gaya hidup dan etiket pri- kota daerah istimewa, yang me m-
yayi bila dibandingkan dengan k a- punyai kedudukan set ara dengan
wasan lain yang dekat dengan ne- Semarang, namun kota ini meng a-
gara atau pusat kerajaan. Tamb a- tur daerah yang luasnya relatif lebih
han pula, ada anggapan kuat kecil dibandingkan dengan luas
bahwa orang yang berada semakin propinsi Jawa Tengah. Hal ini
jauh terpisah dari posisi priyayi, membuat persepsi orang Jawa te n-
baik secara fisik maupun gen e- tang pusat pemerintahan berubah
alogik, cenderung menganut gaya cukup drastis. Kebanyakan tidak
hidup yang kurang halus, termasuk lagi memandang Suraka rta dan
perilaku berkomunikasinya. Keada - Yogyakarta sebagi pusat pemeri n-
an seperti ini digambarkan Errin g- tahan. Sebaliknya, kini mereka
ton sebagai “status fade-out”, mirip menganggap Semarang sebagai
dengan konsep “declining descent” pusat pemerintahan propinsi dan
dari Haas (1951) di Thailand, dan Jakarta sebagai pusat pemeri n-
“sinking status” yang dilihat Geertz tahan nasional. Pendek kata,
(1960) di Bali. 16 Secara sosio- karena persepsi sosio -politis
kultural, pada umumnya, sifat pe n- masyarakat sudah berubah, etiket
duduk Semarang kurang hirarkikal sosial berubah pula. Maka dari itu,
dibandingkan dengan sifat pe n- sosialisasi konvensional di
duduk di kawasan dekat dua kota masyarakat Jawa tradisional yang
kerajaan yang komunitasnya relatif telah dibicarakan di bagian sebelum
masih konvensional dan normatif.
Konsekuensinya, menurut tradisi 17Bahwabudaya pasisiran dianggap
kurang halus juga dicatat oleh Ronald
Hatley (1984:4.) dalam kutipan berikut ini:
15Menurut pola-pikir tradisional
Jawa, bila dilihat dari dua kota keraton itu, While all islands have their interior
Semarang berada di pasisiran kulon (pantai cultures---Masyarakat terasing,
barat), lihat Laksono (1985:39). backward hillbillies, foreigners even,
to people of the coast ---from the
16Tiga macam istilah yang artinya dominant kejawen interior of Java,
kurang-lebih sama ini dikutip dari things pesisiran are coarse, durung
Errington (1985:34). jawa, uncivilized.

11
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

ini kemungkinan besar tidak bisa dari itu, silakan mulai dengan m e-
diterapkan lagi di Semarang. Pe n- musatkan perhatian pada kalimat
duduk kota ini tidak lagi “sehalus” (04a, b, c) yang bervaritas basic
seperti penduduk di dekat d ua kota (ngoko). Struktur dan etiketnya
keraton tersebut di atas karena mempengaruhi penggunaan varitas
mereka mengalami sosialisasi yang BI yang biasa diucapkan oleh pen u-
permisif akibat dari lingkungan u r- tur BJ, lihat kalimat (05a - 08b)
ban yang hiruk-pikuk dan men- yang akan dibicarakan dengan c u-
galami lebih banyak kontak dengan kup panjang.
kelompok masyarakat yang secara
kultural heterogen.
(01a) Ingkang dipun lenggahi wonten
pundi?
Analisis Data yang (+H) di- (+h) duduki (+hH)
di (+H) mana (+H)
Sehubungan dengan bahasa, Sema-
rang merupakan tempat pertemuan (01b) Lenggahipun wonten pundi?
aneka macam dialek. Maka, pe n- duduknya (+hH/+h) di (+H)
duduk kota itu membutuhkan s e- mana (+H)
buah medium pengantar, yang bisa
berupa BI atau BJ. Seperti disebut (02a) Panjenengan dalem-ipun pundi?
dalam Gambar 1, baik BI maupun kamu (+hH) rumahnya (+hH/
BJ mempunyai aneka varitas li n- +h) mana (+H)
guistik. Berikut ini ada lah beberapa
contoh untuk menggambarkan var i- (02b) Dalem panjenengan pundi?
tas formal dan kolokuial BJ dan di i-
kuti dengan varitas BI. Semua k a-
limat sederhana itu mempunyai arti
memanfaatkan leksikon dan afiks ini. Dia
yang sama, yakni: “Di mana mengelompokkannya ke dalam dua
rumahmu?” kategori, yakni: kata lumrah ( -H) dan afiks
Menurut konvensi sosio - lumrah (-h), dan kata honorifik (+H) d an
kultural Jawa, pilihan leksikal dan afiks honorifik (+h). Ancangan yang
ditempuh Hori barangkali berguna untuk
penanda honorifik menunjukkan menggambarkan varitas lingusitik Jawa.
tingkat formalitas varitas atau kode Dikotomi penanda lumrah dan honorifik
linguistik, namun karena keterbat a- sesuai dengan pengertian ngoko dan basa.
san ruang, hal itu tidak akan d i- Yang pertama, lumrah, yang kedua, santun
atau halus, walaupun agar realistis, tidak
uraikan dalam tulisan ini. 18 Maka semua kata ngoko (-H) mempunyai
padanan honorifik. Untuk menandai kata -
18Perbedaan antara basa dan ngoko kata semacam ini, akan dibuatkan tanda
pada umumnya terletak pada bentuk “no-honorific” (nH) dan bagi afiks (nh). Di
leksikal dan affiks. Kemugkinan sama samping itu, masih ada tanda (lH/h) untuk
dengan kasus bahasa Jepang. Dalam “low honorific” (honorifik rendah) d an
usahanya menjelaskan varitas linguistik (hH/h) untuk “high honorific” (honorifik
Jepang, Hori (1986:373 -386) juga tinggi).

12
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

rumah (+hH) kamu (+hH) mana penting untuk membedakan varitas


(+H) linguistik. Kalimat-05a dan K-05b
(03a) Sampéyan griyané pundi? bisa dianggap sebagai varitas formal
kamu (+lH) rumahnya (+lH/ -h) yang ditujukan kepada lawan -bicara
mana (+H) dewasa yang punya kedudukan
sosial lebih tinggi atau orang tak -
(03b) Griya sampéyan pundi? dikenal yang berkedudukan sosial
rumah (+lH) kamu (+lH) mana setara. Kata bapak/ibu, yang art i-
(+H) nya “ayah/ibu”, dalam konteks ini
berarti “tuan/puan”. Dalam BI, t i-
(04a) Kowé omahé (ng-)endi? dak ada bentuk honorifik baku u n-
kamu (-H) rumahnya (-H/-h) tuk pronomina kedua; konse-
(di-)mana (-h/-H) kuensinya, bapak/ibu dalam K -05a
bisa diinterpretasikan sebagai v o-
(04b) (O-)mah-mu (ng-)endi, ndhuk/ katif atau pronomina posesif. Bila
lé? dianggap sebagai vokatif, kasusnya
rumah-mu (-H/-h) (di-)mana sama dengan padanan basa dalam
(-h/-H) nak (-H) K-02a; sebagai pronomina posesif
sama dengan K-02b yang bisa di-
(04c) Kono dalem-é (ng-)endi? pakai untuk menyapa lawan-bicara
Situ (+H) rumahnya (+H/ -h) dewasa yang kedudukan sosialnya
(di-)mana (-h/-H) setara maupun lebih tinggi. Dalam
S-06b, “saudara” artinya jelas, s e-
(05a) Di mana rumah bapak/ibu? dangkan “anda” (kata yang pertama
kali diperkenalkan oleh Sabirin
(05b) Di mana rumah saudara/ 1957:44) merupakan bentukan baru
anda? untuk penanda solidaritas bagi pr o-
nomina kedua, dalam konteks ini
(06) Di mana rumah kamu? kedua kata itu bisa berarti “bung”.
Maka dari itu, berdasarkan pemb i-
(07a) Rumah-nya mana, dhik/mas/ caraan di atas, bisa disimpulkan
mbak? bahwa menurut cita -rasa penutur
BJ, secara konvensional, K -05b
(07b) Situ rumah-nya mana? kurang formal dari pada K -05a.
Pronomina kedua “kamu”
(08a) Rumah kau mana, bang? dalam K-06 adalah informal, sama
dengan kowé dalam ngoko. Maka,
(08b) Rumah-é situ da mana? kata itu biasanya digunakan untuk
menyapa lawan-bicara non-Jawa
yang setara. Kebanyakan pelajar a s-
Penggunaan pronomina ( pronoun) ing cenderung memakai kata ini
atau sapaan (address terms) sangat karena, di samping benar secara t a-

13
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

tabahasa, konotasinya mirip dengan sebagai tanda honorifik. Alasan


pronomina you dalam bahasa Ing- spekulatifnya adalah bahwa kedua
gris. Namun, bagi telinga Jawa, mertua itu menganggap penulis s e-
apabila kata tersebut dipakai untuk bagai orang dewasa yang lebih
menyapa lawan-bicara yang kurang muda usia dan berstatus sosio -
begitu dikenal atau berkedudukan kultural, sebagai menantu, lebih
sosial lebih tinggi akan terasa aneh rendah dari pada status mertua . Di
atau sedikit bossy. samping itu, pilihan beberapa kata
Beberapa kalimat ini, K -07a, berhonorifik basa menunjukkan
K-07b, K-08a dan K-08b adalah ko- jarak hormat dan mereka tidak bisa
lokuial. K-07a dan K-07b meru- memperlakukan penulis sebegitu
pakan varitas akrab dan digunakan akrab persis seperti terhadap anak
untuk menyapa lawan -bicara Jawa. sendiri. Walaupun tidak ada k e-
Vokatif, dhik dari adhik, mas dari sepakatan, kasus dari perilaku k o-
kakang mas (kakak lelaki) dan mbak munikasi ini sama deng an perilaku
dari mbak ayu (kakak perempuan) yang diambil oleh kedua orangtua
merupakan kata-kata BJ. Beberapa penulis terhadap menantu
vokatif, mas/mbak/bapak/ibu, wanitanya (isteri penulis). Dia juga
menunjukkan jenis kelamin orang di-panggil dengan sebutan mbak
yang disapa, namun tidak bisa me - sebe-lum namanya. Sebutan seperti
nunjukkan usianya dengan jelas. itu dipertahankan manakala mereka
Maka, bila ada orang disapa dengan berinteraksi sekali pun dalam BI.
mas/mbak belum tentu pembic a- Kata pronomina demonstratif,
ranya lebih muda dari orang itu. situ, dalam K-07b adalah interferen -
Sebagai ilustrasi, menurut si dari kata BJ, kono, yang berarti
pengalaman pribadi penulis maka- “di tempat yang dekat dengan
lah ini, apabila kedua orangtuanya kamu”. Situ berasal dari kata BI, di
memanggil cukup dengan nama situ. Kadangkala, alih -alih situ,
saja, tanpa diberi sapaan tambahan sampéyan, pronomina kedua dalam
apa pun, dan mereka berbicara basa madya (=kamu +lH), dipakai
dalam ngoko. Mungkin, alasannya orang pula sehingga interferensi
adalah penulis dianggap sebagai dari kata BJ semakin jelas terlihat,
orang dewasa yang lebih muda dan seperti dalam kalimat berikut ini:
akrab, maka tidak perlu bagi
mereka untuk memberi tanda ho r- (07c) Sampéyan rumah-nya mana?
mat dengan pilihan beberapa kata
basa. Namun, berbeda dengan (07d) Rumah sampéyan mana?
kedua orangtua, apabila bapak atau
ibu mertua memanggil, didahului Pengaruh BJ di K-07a, K-07b, dan
dengan sebutan mas di depan nama K-07c, tidak hanya pada pen g-
penulis dan berbicara dalam ngoko gunaan pronomina dan vokatif
dengan diselipi beberapa kata basa tetapi juga pada pemakaian sufiks

14
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

/-nya/ setelah kata omah (rumah - hoa lebih suka berbicara dalam BI,
H) akibat proses topikalisasi. Hal itu yang bisa berupa varitas seperti ini
mirip dengan penggunaan sufiks atau varitas standar dari pada be r-
/-é/ se-telah kata omah (rumah -H) bicara dalam BJ, karena pada
di K-03a, K-04a, K-04c, atau umumnya mereka tidak menguasai
sufiks /-ipun/ setelah dalem basa dan enggan berbicara ngoko
(rumah +hH) di K-02a. Sedangkan dalam situasi seperti ini ( cf. Oetomo
K-07d sama dengan K-03b. 1987:111). K-08b secara eksplisit
K-08a dan K-08b merupakan ditandai oleh sufiks ngoko /-é/,
BI kolokuial. Kalimat itu sering di u- setelah kata “rumah” sehingga de n-
capkan oleh orang Indonesia non - gan mudah bisa disimpulkan bahwa
Jawa atau orang Jawa yang sedang kalimat itu sangat dipengaruhi oleh
berbicara dengan orang non -Jawa. struktur kalimat ngoko. Untuk
K-08a berisi dua kata Melayu, kau memberi gambaran tentang adanya
dan bang. Yang pertama adalah pengaruh struktur ngoko terhadap
pronomina kedua yang lebih pop u- penggunaan BI oleh para keturunan
ler dipakai orang dari Sumatra, dan Tionghoa, Rafferty (1984:248, pen e-
jarang diucapkan oleh orang Jawa, gasan yang di-cetak-miring dibuat
sedangkan kata yang kedua, bang, oleh HDP) menulis pernyataan s e-
adalah vokatif atau nomi na yang bagai berikut:
berasal dari abang (kakak), sebuah
kata yang biasa dipakai oleh orang The Peranakan Chinese living in
yang berdomisili di Jawa Barat, J a- Javanese-speaking areas likewise
use standard Indonesian f or their
karta atau Sumatra. 19
primary written language and for
K-08b adalah varitas BI yang most formal speaking situations,
sering diucapkan oleh etnik mino r- and they use Ngoko but not High
itas keturunan Tionghoa. Untuk Javanese when speaking with
menciptakan rapport, banyak penu- Javanese acquaintances. More si g-
tur BJ menirukan varitas BI ini nificantly however, the Peranakan
manakala mereka berkomunikasi Chinese speak a hybrid language
dengan orang beretnik Tionghoa. that combines Indonesian and
Ngoko as the language of their
Untuk menghormati orang Jawa,
home.
sebaliknya para keturunan Tion g-
Ada sebuah varitas dialektal
19Di
antara penutur BJ, ada sebuah BI yang dipakai sebagai bahasa pe r-
lelucon populer berdasarkan pada gaulan banyak orang di Jakarta.
permainan homonim. Kata orang mas Dialek Jakarta ini amat populer dan
(dalam BJ, kata itu jug a berarti emas) akan
berubah warna dari “kuning” ke “merah”
bahkan dipakai oleh banyak orang,
(dalam BJ, kata abang artinya “merah”) terutama para remaja kelas mene n-
apabila dibawa ke Jakarta. Maksudnya, gah, di Semarang. Para remaja ini
vokatif mas dalam BJ sama artinya dengan dengan sengaja memakai dialek ini
vokatif abang dalam dialek Jakarta. karena mereka anggap mengandung

15
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

norma lebih prestisius. Fenomena kedua dalam BI. Penggunaan s a-


supradialektal biasanya diyakini s e- paan atau pronomina kedua mer u-
bagai varitas yang mampu mence r- pakan fenomena penting yang perlu
minkan prestise linguistik bagi p e- diperhitungkan dalam studi etiket
makainya (cp. Ferguson 1983:31). linguistik, walaupun fenomena itu
Maka, alih-alih menggunakan pr o- bukan merupakan satu -satunya
nomina kedua dialek lokal, sam- penanda santun. Di samping itu,
péyan, atau standar BI, “kamu”, tidak semua sapaan dalam BI
seorang remaja lebih suka meng - mempunyai padanannya dalam BJ.
ucapkan kalimat berikut ini, untuk
mencerminkan pergaulannya yang
elit: Catatan Akhir

(08c) Rumah lu mana? Seperti telah dituliskan di bagian


depan, walaupun dominasi pen g-
Pronomina kedua, lu, berasal dari gunaan BI begitu kuat, BJ masih
dialek Jakarta. 20 Di samping pro- merupakan medium komunikasi
nomina itu, para remaja biasanya yang amat populer di Semarang.
juga memakai beberapa partikel Hanya saja, terdapat asumsi kuat
seperti, dong, déh, nih, yé. Kata- pula bahwa, dari pada basa, ngoko
kata itu diserap oleh para remaja jauh lebih sering dan efektif
dari dialek Jakarta, Melayu Betawi digunakan oleh banyak penutur BJ,
atau Omong Jakarté; dialek ini se- terutama masyarakat klas mene -
benarnya cukup berbeda dari BI ngah ke bawah. Alasannya adalah
standar. Untuk melihat deskripsi bahwa stratifikasi sosial penduduk
dialek Jakarta ini, lihat Grijns kota ini tidak lagi tradisional dan
(1991) atau Ikranagara (1988). kurang hirarkikal dibandingkan
Penggunaan sapaan dan pr o- dengan penduduk di (dan sekitar)
nomina kedua dalam BI baik oleh dua kota Principalities, Yogyakarta
orang Jawa maupun orang non - dan Surakarta. Tambahan pula,
Jawa ternyata cukup rumit. Pu r- banyak penduduk yang bukan asli
nama (1986:10-11) menemukan ada Semarang berasal dari daerah di
32 alternatif bagi orang Indonesia mana etiket priyayi tidak lagi dijun-
untuk menyebutkan pronomina jung tinggi seperti pada zaman s e-
belum kemerdekaan.
Sebagai ibukota propinsi
20Pronomina pertama, gua, dan
Jawa Tengah, sekarang Semarang
pronomina kedua, lu, berasal dari bahasa
etnik Tionghoa, goa dan lu. Kedua menampung banyak pejabat peme r-
pronomina ini sekarang sangat populer intah dan pegawai negeri yang me n-
dipakai oleh penduduk kota Jakarta. Untuk cerminkan kelompok priyayi baru.
informasi lebih jauh tentang kata asli
Walaupun kebanyakan dari mereka
bahasa etnik Tionghoa y ang diserap dalam
BI, lihat Wibowo (1986:150 -152). sudah tidak lagi fasih berbicara

16
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

basa, melainkan BI, dalam interaksi Namun demikian, jumlah pri-


formal, etiket perilaku komunikasi yayi baru ini tidak begitu banyak
dan gaya-hidup mereka masih dibanding jumlah keseluruhan pe n-
dianggap sebagai model status duduk kota. Kelompok masyarakat
sosial yang baik dan benar. S e- kelas menengah non-priyayi dan ke-
benarnya, sebagai model status las bawah kurang mengenal se m-
sosial, kelompok priyayi baru ini boyan dan prinsip kerja seperti itu.
masih menganut konsep kepemi m- Medium komunikasi yang mereka
pinan Jawa tradisional. Mereka m a- pergunakan adalah BJ ngoko dalam
sih memuliakan semboyan kerja interaksi informal dan kolokuial,
seperti terungkap dalam kalimat : serta varitas BI kolokuial yang p e-
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya nuh interferensi struktur dan ko sa-
mbangun karsa, tut wuri handa - kata ngoko seperti dalam contoh K -
yani.21 Kurang lebih maknanya 07a, K-07b, K-08b. Konse-
adalah “Sebagai pemimpin yang kuensinya, prinsip etiket Jawa tr a-
berdiri di depan, seorang priyayi disional kemungkinan besar tidak
(pamong praja) harus bisa memberi akan dipahami dengan baik oleh
teladan perilaku yang baik, bila kelompok masyarakat ini. Berbeda
berdiri di tengah ia harus bisa me n- dengan kelompok priyayi baru yang
jadi motivator, dan bila berada di sengaja mempertahankannya kare -
belakang, ia harus bisa mengo -reksi na sesuai dengan semboyan dan
kehidupan masyarakat”. Semboyan etos kerja mereka. Hirarki dalam
ini menyiratkan bahwa kelompok gaya-hidup yang birokratis me m-
priyayi baru yang terdiri dari buat mereka perlu memanifestas i-
pamong praja dan pegawai negeri ini kannya pula dalam perilaku kom u-
masih melaksanakan prinsip etiket nikasi, maka kelompok priyayi baru
tradisional yang dipegangteguh s e- ini cenderung memakai varitas BI
bagai pedoman peri-laku baik dalam kolokuial yang penuh interferensi
masyarakat Jawa yang konte m- kosakata honorifik basa, sehingga
porer. Perilaku kom unikasi para sering dituduh sebagai usaha meng -
priyayi baru ini bisa dimanifestas i- kramanisasi-kan BI. Kalimat berikut
kan dalam varitas BI, tetapi prinsip ini, “Bu Dekan, kami mau sowan ke
etiket tradisional masih dipe r- rumah”, merupakan contoh yang
tahankan. amat potensial diucapkan oleh se o-
rang dosen Jawa, priyayi baru, ter-
21Semboyan ini sudah lama dianut
hadap atasannya.
oleh para pegawai negeri dan termuat
dalam makalah yang ditulis oleh Sawarno
Karena asumsi logis bahwa
Djaksonagoro (1959) di sampaikan dalam mayoritas penduduk Semarang
penataran pamong praja. Dalam versi adalah kelompok kelas bawah dan
Inggris, makalah itu berjudul “The Spirit a kelas menengah non-priyayi, maka
Leader Must Have” (Semangat yang harus
dipunyai oleh seorang pemimpin),
taruhlah anggapan bahwa medium
diterjemahkan dan diedit oleh Feith & komunikasi BJ ngoko akan lebih
Castles (1970:196-198).

17
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

populer dipakai orang daripada BJ guistik dalam komunikasi. Tamb a-


basa. Di samping itu, kelompok han pula, teknologi selalu me n-
masyarakat ini sekarang sedang gunggulkan logika efisiensi, efektiv i-
menghadapi dilemma sosiolinguistik tas dan impersonalitas. Sedangkan
yang cukup pelik. Mereka harus BJ, yang tidak lagi dipakai dalam
mempertahankan bahasa ibu, medium komunikasi resmi dan
khususnya varitas ngoko, atau wacana tertulis, tidak cocok dengan
menggunakan BI sebagai medium logika kerja seperti itu. Kons e-
komunikasi di luar maupun di kuensinya, BJ hanya punya peran
dalam rumah. Dampak kuat dari penting dan dipakai oleh penutur
urbanisasi terhadap gaya hidup dan aslinya dalam komunikasi privat,
penggunaan bahasa nasional yang personal dan emotif. Wasana kata,
efisien memaksa mereka tidak mel i- apabila pendapat Anderson benar,
hat alternatif lain kecuali membel a- BJ, khususnya ngoko, masih akan
jarkan BI sedini mungkin kepada bertahan selama hati dan perasaan
anak-anak mereka. Namun demi - orang Jawa masih ada, sedangkan
kian, bahwa mereka akan mel u- basa akan terlupakan secara pelan
pakan varitas ngoko sama sekali ke- tapi pasti karena terdesak oleh
lihatannya amat mustahil karena gerak urbanisasi dan aplikasi
mereka tidak mungkin me n- teknologi tingkat tinggi yang s e-
gorbankan medium komunikasi ba- makin marak di ruang publik. Dan
sic yang amat mereka butuhkan u n- popularitas basa akan semakin
tuk mengekspresikan perasaan menurun apabila dominasi BI dan
mereka yang paling emotif. Bagi dampak urbanisasi sudah mulai
orang Jawa di Semarang, men g- merambah ke ranah rumah milik
gunakan BI atau varitas basa untuk keluarga Jawa.
menangis, mengumpat, memprotes,
atau marah adalah absurd, karena,
seperti yang disinyalir Anderson Daftar Pustaka
(1966:97), kedua media itu
Anderson, Benedict, “The Language
cenderung dipakai untuk menge k-
of Indonesian Politics”, dalam
spresikan aneka gagasan yang ke-
Indonesia No. 1, 1966, pp. 89-
luar dari benak, sedangkan ngoko
116.
dipakai sebagai medium untuk
mengeluarkan perasaan yang keluar Bachtiar, Harsya, “The Religion of
dari lubuk hati. Java: Sebuah Komentar”,
Pada umumnya, kebijakan dalam Abangan, Santri, Priyayi
terhadap proses urbanisasi yang dalam Masyarakat Jawa (Ja-
begitu cepat lebih memperhitun g- karta: Pustaka Jaya, 1981).
kan aplikasi teknologi yang efisien Bernstein, Basil, “A Sociolinguistic
daripada pertimbangan sosio - Approach to Socialization with
kultural, apalagi implikasi sosioli n- Some Reference to Educ a-

18
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

bility”, dalam Directions in So- perz & Dell Hymes (Washin g-


ciolinguistics, diedit oleh John ton DC: American Anthrop o-
Gumperz & Dell Hymes (New logical Association, 1964, pp.
York: Holt Rinehart and 103-14).
Winston, 1972, pp. 40 -51).
Fromkin, Victoria & Robert Rodman,
Chomsky, Noam, Reflections on Lan- An Introduction to Language
guage (New York: Pantheon, (New York: Holt, Rinehart and
1975). Winston, 1978).
Drijarkara, N., Drijarkara tentang Geertz, Clifford, The Religion of Java
Pendidikan (Yogya: Kanisius, (Glencoe: Free Press, 1960).
1980).
Geertz, Hildred, The Javanese Fam-
Errington, Joseph, Language and ily: A Study of Kinship and So-
Social Change in Java: Lingui s- cialization (Glencoe:Free Press,
tic Reflexes of Modernization in 1961).
a Traditional Royal Polity (Ath-
Goffman, Erving, Communication
ens: Center for International
Conduct in an Island Comm u-
Studies, Ohio University,
nity (disertasi PhD, Chicago:
1985).
University of Chicago, 1953).
Errington, Joseph, Structure and
Grijns, C.D., Kajian Melayu Betawi
Style in Javanese (Philadel-
(Jakarta: Grafiti, 1991).
phia: University of Pennsy l-
vania Press, 1988). Hardjowirogo, Marbang un, Manusia
Jawa (Jakarta: Haji Mas
Feith, Herbert & Lance Castles
Agung, 1989).
(eds.), Indonesian Political
Thinking 1945-1965 (Ithaca: Hatley, Ronald, Other Javas Away
Cornell University Press, From Kraton, AIA-CSEAS Win-
1970). ter Lecture Series (Clayton:
Monash University, 1984).
Ferguson, Charles, “Language Pla n-
ning and Language Change” Hori, Motoko, “A Sociolinguistic
dalam Progress in Language Analysis of Japanese Honori f-
Planning: International Pe r- ics” dalam Journal of Pragmat-
spectives. Diedit oleh Juan ics, 1986, Vol. 10, pp. 373 -86.
Cobarrubias & Joshua
Horne, Elinor, Intermediate Java-
Fishman (New York: Mouton,
nese (New Haven: Yale Un i-
1983, pp. 27-40).
versity Press, 1963).
Ferguson, Charles, “Baby Talk in
Hymes, Dell, “Linguistic Method in
Six Languages” dalam The
Ethnography: Its Development
Ethnography of Communic a-
in the United States”, dalam
tion, diedit oleh John Gu m-
Method and Theory in Lingui s-

19
Herudjati Purwoko, "Dilema Sosiolinguistik Jawa: Dampak Urbanisasi terhadap Kompetensi Komunikasi," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1, Januari 2001, 1 -20.

tics, diedit oleh Paul L. Garvin Prijohoetomo, M, Javaansche Spra-


(The Hague: Mouton, 1970). akkunst (Leiden: E.J. Brill,
1937).
Ikranagara, Kay, Tata Bahasa Me-
layu Betawi (Jakarta: Balai Purnama, Karyono, “The Sociocu l-
Pustaka, 1988). tural Variants of the Second
Person Singular Pronoun in
Kartodirdjo, Sartono, et al. Perkem-
Bahasa Indonesia” (Ann A r-
bangan Peradaban Priyayi .
bor: University of Michigan,
(Yogyakarta: Gadjah Mada
makalah tidak diterbitkan,
University Press, 1987).
1986).
Keeler, Ward, Javanese: A Cultural
Rafferty, Ellen, “Languages of the
Approach (Athens: Center for
Chinese of Java - An Histori-
International Studies, Ohio
cal Review” dalam Journal of
University, 1984).
Asian Studies, Vol. 43, No. 2,
Kementrian Pengadjaran, Pendid i- 1984, pp. 247-272.
kan dan Keboedajaan, Karti
Sabirin, “Anda - Kata Baru dalam
Basa (Djakarta, 1946).
Bahasa Indonesia” dalam Ba-
Koentjaraningrat, R.M., A Prelimi- hasa dan Budaya, Vol. 5 No.
nary Description of the Jav a- 5, p. 44.
nese Kinship System (New Ha-
Smith-Hefner, Nancy, “The Lingui s-
ven: Yale University Press,
tic Socialization of Javanese
1957).
Children in Two Commun i-
Laksono, P.M., Tradisi dalam Struk- ties”, dalam Anthropological
tur Masyarakat Jawa: Ker a- Linguistics, 1988, Vol. 30, No.
jaan dan Pedesaan (Yogya- 2, pp. 166-198.
karta: Gadjah Mada Unive r-
Sutherland, Heather, “The Priyayi”
sity Press, 1985).
dalam Indonesia, 1975, Vol.
Oetomo, Dede, The Chinese of Pasu- 19, pp. 57-79.
ruan: Their Language and
Wibowo, I., “Sumbangan Masyar a-
Identity (Canberra: Pacific
kat Cina Bagi Pertumbuhan
Linguistics, 1987).
Kosa Kata Bahasa Indonesia”
Palmier, Leslie, Social Status and dalam Basis, Vol. 35, No. 4,
Power in Java (London: The 1986, pp. 137-156.
Athlone Press, 1960).
Wierzbicka, Anna, Semantics, Cul-
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus ture, and Cognition: Universal
Umum Bahasa Indonesia (Dja- Human Concepts in Culture -
karta: Balai Pustaka, cetakan Specific Configurations (New
ketiga, 1961). York: Oxford University Press,
1992).

20

Anda mungkin juga menyukai