Anda di halaman 1dari 42

PERSALINAN DENGAN PENYULIT KALA III DAN IV

Disusun Oleh :
Kelompok

RISKA CHOIRUNISA 1615371015


ADELYA YOPI H 1615371016
RIA AYU MARVINA 1615371037

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN METRO
TAHUN 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Karena atas
limpahan rahmat, nikmat dan hidayah-Nyalah maka makalah ini dapat
diselesaikan sebagaimana mestinya. Solawat dan salam kami haturkan kepada
Nabi Muhammad Saw, insan kamil sosok sempurna di muka bumi yang
membimbing kita kearah yang lebih baik dari sebelumnya.
Makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas Mata Kuliah Patologi Di
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang prodi Kebidanan Metro. Membahas
(Persalinan dengan Penyulit Kala III dan IV). Semoga makalah ini mampu
memberikan beberapa manfaat sesuai tujuan penyusunannya. Salah satunya yaitu
mampu memperdalam pengetahuan dan menambah wawasan penyaji dan
pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
memperbaiki tugas-tugas selanjutnya.

Metro, 01 April 2018

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Melahirkan adalah suatu perjuangan dan proses persalinannya dapat
berdampak jangka panjang bagi perempuan. Begitu juga dengan intervensi yang
mungkinditerima saat persalinan dpat membawa efek jangka panjang, seperti
persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi vakum, cunam), juga dapat
meningkatkan kejadian depresi pasca natal, mengurasi rasa kepercayaan diri
perempuan terhadap kemampuannya menjalani peran barunya sebagai seorang ibu
atau mengganggu proses kelekatan ibu dan bayi. Banyak penelitaian mengatakan
bahwa peristiwa sekitar persalinan dapat membuat perempuan merasa tidak dapat
mengendalikan tubuhnya. Pengalaman ini bisa saja membuat perempuan tersebut
mengalami stress sehingga dapat menyebabkan masalah psikologis seperti
gangguan stres pasca trauma. Untuk itu, seorang bidan harus mampu untuk
mendeteksi dini masalah dan penyulit pada kala satu, dua, tiga, dan empat
sehingga apabila terjadi kegawatdaruratan, ibu dan bayi akan mendapatkan
penanganan yang tepat. penanganan yang tidak tepat dar kegawatdaruratan seperti
perdarahan dapat menyebabkan kematian.

B. Rumusan Masalah
a. Apasaja penyulit dan komplikasi dalam persalinan pada kala III?
b. Apasaja penyulit dan komplikasi dalam persalinan pada kala IV?

C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui penyulit dan komplikasi dalam persalinan pada kala III
b. Untuk mengetahui penyulit dan komplikasi dalam persalinan pada kala IV

3
BAB II
URAIAN MATERI

A. Penyulit Kala III Persalinan


Persalinan merupakan salah satu kejadian besar bagi seorang ibu.
Diperlukan segenap kemampuan baik tenaga maupun pikiran guna melalui
tahapan prosesnya. Banyak ibu hamil dapat melalui proses persalinan dengan
lancar dan selamat. Namun banyak pula, persalinan menyebabkan terjadinya
komplikasi yang disebabkan oleh berbagai hal.
Yang dinamakan perdarahan pasca persalinan secara tradisional ialah
perdarahan yang melebihi 500 cc pada kala III. Perdarahan pasca
persapersalinan sekarang dapat di bagi menjadi:
1. Perdarahan pascapersalinan dini adalah perdarahan 7,500 cc pada 24
jam pertama setelah persalinan
2. Perdarahan pascapersalinan lambat ialah perdarahan 7,500 cc setelah
24 jam persalinan
Perdarahan pascapersalinan merupakan penyebab penting kematian
ibu:1/4 dari kematian ibu disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan tidak
menyebabkan kematian, kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditasnifas
karena anemia akan menurunkan daya tekan tubuh sehingga sangat penting
untuk mencegah perdarahan yang banyak.

B. Atonia Uteri

Pengertian
Atonia Uteri Adalah pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan
uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah kelahiran (Cuningham,
2013:415).
Menurut JNPK-KR (2008), Definisi atonia uteri adalah suatu kondisi
dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan keluarnya darah dari
tempat implantasi plasenta dan menjadi tidak terkendali.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi

4
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan.

Etiologi
Overdistensi Uterus merupakan faktor resiko yang paling sering
mengakibatkan terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan
oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion, abnormalitas janin,
kelainan struktur uterus, atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik
sebelum mapun sesudah plasenta lahir.
Pimpinan kala III yang salah, dengan memijat-mijat dan mendorong
uterus. Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan
karena persalinan lama atau persalinan yang memerlukan tenaga yang
banyak, umur yang terlalu muda dan terlalu tua, terutama apabila diberikan
stimulasi pada ibu. Selain itu pengaruh obat-obatan yang dapat
mengakibatkan inhibisi kontraksi seperti: anastesi yang terhalogenisasi, nitrat,
obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, magnesium sufat dan nipedipin.
Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemis, atau menderita penyakit
yang menahun.Penyebab lain yaitu: plasenta letak rendah, partus lama
(terlantar) toksin bakteri (korioamnionitis, endometritis, septikemia), hipoksia
akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta.

Diagnosis Atonia Uteri


Pembedaan sementara antara pendarahan akibat atonia uteri dan akibat
laserasi ditegakkan berdasarkan kondisi uterus. Apabila pendarahan berlanjut
walaupun uterus berkontraksi kuat, penyebab pendarahan kemungkinan besar
adalah laserasi. Darah merah segar juga menginsyaratkan adanya laserasi.
Untuk memastikan peran laserasi sebagai penyebab pendarahan, harus
dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina, serviks, uterus.
Terkadang pendarahan disebabkan baik oleh atonia maupun trauma,
terutama setelah pelahiran operatif besar. Secara umum, harus dilakukan
inspeksiserviks dan vagina setelah setiap pelahiran untuk mengidentifikasi
pendarahan akibat laserasi. Anestesia harus adekuat untuk mencegah rasa

5
tidak nyaman saat pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap rongga uterus, serviks,
dan keseluruhan vagina harus dilakukan setelah ekstraksi bokong, versi
podalik internal, dan pelahiran pervaginam pada wanita yang pernah
menjalani seksio sesarea.
Hal yang sama berlaku pada pendarahan berlebihan selama kala dua
persalinan (Cunningham, 2013).

Pencegahan Atonia Uteri


Untuk mencegah atonia uteri dapat melakukan secara rutin manajemen
aktif kala III pada semua wanita yang bersalin. Manajemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah pedarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi
darah. Pemberian oksitosin pada manajemen aktif kala III dapat mengurangi
resiko terjadinya pendarahan post partum lebih dari 40% dan juga dapat
mengurangi kebutuhan obat yang lain sebagai terapi. Selain mencegah
pendarahan, kerja oksitosin didalam tubuh sangat cepat, dan tidak menyebabkan
kenaikan tekanan darah.

Penatalaksanaan Atonia Uteri


a. Pakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan
lembut masukkan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari)
melalui introitus dan ke dalam vagina ibu.
b. Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan
darah pada kavum uteri mungkin hal ini menyebabkan uterus tak
dapat berkontraksi secara penuh.

6
c. Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan
dinding anterior uterus, ke arah tangan luar yang menahan dan
mendorong dinding posterior uterus kea rah depan sehingga uterus
ditekan dari arah depan ke belakang.
d. Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka
(bekas implantasi plasenta) di dinding uterus dan juga
merangsang miometrium untuk berkontraksi.

C. Retensio Plasenta

Defenisi
Istilah retensio plasenta dipergunakan jika plasenta belum lahir ½
jam sesudah anak lahir. (Sastrawinata, 2008:174)
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi
waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak,
artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan
tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio plasenta tidak
diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi
plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta.
(Manuaba (2006:176).
Plasenta inkarserata artinya plasenta telah lepas tetapi tertinggal
dalam uterus karena terjadi kontraksi di bagian bawah uterus atau uteri
sehingga plasenta tertahan di dalam uterus. (Manuaba (2006:176).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retensio
plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin
lahir, keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya
sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta
manual dengan segera.

Etiologi Retensio Plasenta


Penyebab Retentio Plasenta menurut Sastrawinata (2006:174) adalah:
Fungsional:
a. His kurang kuat (penyebab terpenting)

7
b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis), dan ukurannya (plasenta yang
sangat kecil).

Patologi – anatomi:
a. Plasenta akreta
b. Plasenta inkreta
c. Plasenta perkreta

Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa disebabkan karena:


a. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
b. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.

Menurut Manuaba (2006:301) kejadian retensio plasenta berkaitan


dengan:
a. Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta
adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta
b. Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan

Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta
dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir
terlebih lagi apabila disertai perdarahan. Tindakan penanganan retensio
plasenta :
a. Memberikan informasi kepada ibu tentang tindakan yang akan dilakukan
b. Mencuci tangan secara efektif
c. Melaksanakan pemeriksaan umum
d. Mengukur vital sign,suhu,nadi,tensi,pernafasan
e. Melaksanakan pemeriksaan kebidanan (inspeksi, palpasi, periksa dalam)
a. Memakai sarung tangan steril
b. Melakukan vulva hygiene
c. Mengamati adanya gejala dan tanda retensio plasenta
d. Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir,atau terjadi
perdarahan sementara placenta belum lahir,maka berikan oxytocin 10
IU IM.
e. Pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu terjadi
kontraksi,kemudian coba melahirkan plasenta dengan menggunakan
peregangan tali pusat terkendali

8
f. Bila dengan tindakan tersebut placenta belum lahir dan terjadi
perdarahan banyak,maka placenta harus dilahirkan secara manual
g. Berikan cairan infus NACL atau RL secara guyur untuk mengganti
cairan
cara lain:
a. Coba 1-2 kali dengan perasat Crede.
b. Mengeluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta).
c. Memberikan transfusi darah bila perdarahan banyak.
d. Memberikan obat-obatan misalnya uterotonika dan antibiotik.
Manual plasenta :
a. Memasang infus cairan dekstrose 5%.
b. Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam
keadaan suci hama.
c. Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan
dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai
penuntun. Tepi plasenta dilepas – disisihkan dengan tepi jari-jari
tangan – bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah
ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual
plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus)
dan membawa infeksi.

Faktor-Faktor Predisposisi Terjadinya Retensio Plasenta


1. Paritas Ibu
Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada endometrium
yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada
persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi dan janin, plasenta akan mengadakan perluasan
implantasi dan vili khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi
sehingga akan terjadi plasenta adhesiva sampai perkreta. Ashar Kimen
mendapatkan angka kejadian tertinggi retensio plasenta pada multipara,
sedangkan Puji Ichtiarti mendapatkan kejadian retensio plasenta tertinggi pada
paritas 4-5 (Cahyono, 2002).
Salah satu faktor predisposisi terjadinya retensio adalah grandemultipara
(Mochtar, 2002). Teori lain mengatakan bahwa kejadian retensio lebih sering
dijumpai pada ibu grandemultipara, karena semakin tinggi paritas ibu maka
semakin kurang baik fungsi reproduksinya (Manuaba, 2008). Hal ini

9
dikarenakan otot rahim yang sudah melemah karena ibu sudah melahirkan > 4
kali sehingga tidak baik untuk inplantasi plasenta.
2. Usia
Usia adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
berulang tahun. Semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. (Soerjono 2006).
Makin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari
endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan
pertumbuhan plasenta yang lebih luas.Kesehatan reproduksi wanita sangat
penting pengaruhnya dalam kehamilan. Usia ibu merupakan faktor resiko
terhadap terjadinya retensio. Menurut (Varney 2007) bahwa usia ibu lebih dari
35 mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi persalinan dikarenakan otot-
otot rahim yang sudah lemah sehingga persalinan akan berlangsung lama yang
salah satunya akan menyebabkan terjadinya retensio.
3. Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah keseluruhan pengalaman setiap orang
sepanjang hidupnya.Dalam hal ini tidak dikenal batas usia, tidak dibatasi oleh
tempat, lingkungan dan juga kegiatan.
Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh dalam member respon
terhadap sesuatu yang datang dari luar seperti sikap dan penerimaan anjuran
atau nasehat yang diberikan oleh orang lain( naker). Klien yang berpendidikan
tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka
yang berpendidikan lebih rendah sebab pendidikan seorang menunjukkan
tingkat kualitas dan kuantitas dalam dirinya (Hartono 2009).
4. Pekerjaan
Salah satu program pemerintah dalam pembangunan adalah memberikan
pekerjaan untuk mengurangi penganguran, karena pengangguran dapat
menimbulkan dampak yang merugikan ketahanan keluarga.Kemampuan untuk
melaksanakan program pemerintah merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat serta sumber daya
manusia.
Pekerjaan adalah mata pencaharian yang meningkatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.Hasilsymposium nasional mengatakan

10
kecenderungan bertambahnya waktu yang dipakai para wanita yang
berpartisipasi dalam program pemerintah adalah berbagai waktu dalam
kegiatan rumah tangga (Azwar 2001).

D. Emboli Air Ketuban


Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan
ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan
pernafasan yang akut dan shock. Dua puluh lima persen wanita yang
menderita keadaan ini meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli cairan ketuban
jarang dijumpai. Kemungkinan banyak kasus tidak terdiagnosis yang dibuat
adalah shock obastetrik, perdarahan post partum atau edema pulmoner akut.
Cara masuknya cairan ketuban, dua tempat utama masuknya cairan
ketuban kedalam sirkulasi darah maternal adalalah vena endocervical ( yang
dapat terobek sekalipun pada persalinan normal )dan daerah utero
plasenta.Ruputra uteri meningkat kemungkinan masuknya cairan ketuban .
Abruption plasenta merupakan peristiwa yang sering di jumpai, kejadian ini
mendahului atau bersamaan dengan episode emboli.

Faktor predisposisi
1. Multiparitas
2. Usia lebih dari 30 tahun
3. Janin besar intrauteri
4. Kematian janin intrauteri
5. Menconium dalam cairan ketuban
6. Kontraksi uterus yang kuat
7. Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi

Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan emboli cairan ketuban:


1. Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada saat
pengukuran (Hipotensi)

11
2. Dyspnea
3. Batuk
4. Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia.
5. Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut jantung janin
dapat turun hingga kurang dari 110 denyut per menit (dpm). Jika penurunan
ini berlangsung selama 10 menit atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah
tingkat 60 bpm atau kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan
Bradycardia terminal.
6. Pulmonary edema.
7. Cardiac arrest.
8. Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan yang
berlebihan setelah melahirkan.Kegagalan rahim untuk menjadi perusahaan
dengan pijat bimanual diagnostik.
9. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC
terjadi di 83% pasien.)

Penatalaksanaan
1. Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi
defek yang khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
2. Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi
hipovolemia & perdarahan .
3. Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan
atonia uteri.
4. Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas .
5. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan
menghambat proses perbekuan.
6. Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada
bronkospasme ..

12
7. Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos bronkus,
dan peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat ini di berikan
perlahan – lahan melalui Iv untuk menyokong tekanan darah sistolik kira –
kira 100 mmHg.
8. Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
9. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler dengan
menghambat proses pembekuan.
10. Oksigen diberikan dengan tekanan untuk meningkatkan.
11. Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan
sedian trombosit.
12. Defek koagulasi harus dikoreksi dengan menggunakan heparin / fibrinogen.
13. Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah; perlu
diperhatikan agar tidak menimbulkan pembebanan berlebihan dalam
sirkulasi darah.
14. Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.

E. Robekan Jalan Lahir


a. Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama
dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum
umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin
lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala
janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika.
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk
perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya
kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang
perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri
dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta
selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk
otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior,
dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.

13
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar
vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya,
pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan
garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma
urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah
segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital
terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus
konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham,
1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan
vagina diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu
bulbokavernosus, muskulus perinialis transversalis superfisial dan sfingter
ani eksterna. Jaringan ini yang membentuk korpus perinialis dan
merupakan pendukung utama perinium, sering robek selama persalinan,
kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat yang tepat. Infeksi
setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa puerperium yang
paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.

b. LukaPerinium

14
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada
bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :
Derajat I : robekan mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum (tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan aposisi
luka baik)
Derajat II : robekan mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum ( jahit )
Derajat III : robekan mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani (penolong APN tidak
dibekali keterampilan untuk reparasi laserasi perineum derajat tiga
atau empat. Segera rujuk ke fasilitas rujukan)
Derajat IV : robekan mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani, dinding depan rektum
(penolong APN tidak dibekali keterampilan untuk reparasi laserasi
perineum derajat tiga atau empat. Segera rujuk ke fasilitas rujukan)

15
Faktor yang mempengaruhi :
1. Faktor Maternal
a. Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong
b. Pasien tidak mampu berhenti mengejan
c. Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang
berlebihan.
d. Edema dan kerapuhan pada perineum
e. Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
f. Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula
sehingga
g. menekan kepala bayi ke arah posterior.
h. Peluasan episiotomy

2. Faktor-faktor janin :
a. Bayi yang besar
b. Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan
occipitoposterior
c. Kelahiran bokong
d. Ekstrasksi forceps yang sukar
e. Dystocia bahu
f. Anomali congenital, seperti hydrocephalus.

Klasifikasi Robekan Jalan Lahir & Perinium :


1. Vagina
Perlukaan vagina sering terjadi sewaktu :
a. Melahirkan janin dengan cnam.
b. Ekstraksi bokong
c. Ekstraksi vakum
d. Reposisi presintasi kepala janin, umpanya pada letak oksipto posterior.
e. Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiolisis) bentuk
robekan vagina bisa memanjang atau melintang.

16
Komplikasi robekan vagina antara lain :
a. Perdarahan pada umumnya pada luka robek yang kecil dan superfisial
terjadi perdarahan yang banyak, akan tetapi jika robekan lebar dan dalam,
lebih-lebih jika mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan
yang hebat.
b. Infeksi jika robekan tidak ditangani dengan semestinya dapat terjadi
infeksi bahkan dapat timbul septikami.

Perlukaan pada dinding depan vagina sering kali terjadi terjadi di sekitar
orifisium urethrae eksternum dan klitoris. Perlukaan pada klitoris dapat
menimbulkan perdarahan banyak. Kadang-kadang perdarahan tersebut tidak dapat
diatasi hanya dengan jahitan, tetapi diperlukan penjepitan dengan cunam selama
beberapa hari.
Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri, atau merupakan
lanjutan robekan perineum. Robekan vagina sepertiga bagian atas umumnya
merupakan lanjutan robekan serviks uteri. Pada umumnya robekan vagina terjadi
karena regangan jalan lahir yang berlebih-lebihan dan tiba-tiba ketika janin
dilahirkan. Baik kepala maupun bahu janin dapat menimbulkan robekan pada
dinding vagina. Kadang-kadang robekan terjadi akibat ekstraksi dengan forceps.
Bila terjadi perlukaan pada dinding vagina , akan timbul perdarahan segera setelah
jalan lahir. Diagnosa ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan langsung.
Untuk dapat menilai keadaan bagian dalam vagina, perlu diadakan pemeriksaan
dengan speculum. Perdarahan pada keadaan ini umumnya adalah perdarahan
arterial sehingga perlu dijahait. Penjahitan secara simpul dengan benang catgut
kromik no.0 atau 00, dimulai dari ujung luka sampai luka terjahit rapi.
Pada luka robek yang kecil dan superfisal, tidak diperlukan penanganan
khusus pada luka robek yang lebar dan dalam, perlu dilakukan penjahitan secara
terputus-putus atau jelujur.
Bisanya robekan pada vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva maupun
perinium. Jika robekan mengenai puncak vagina, robekan ini dapat melebar ke
arah rongga panggul, sehingga kauum dougias menjadi terbuka. Keadaan ini

17
disebut kolporelasis. Kolporeksis adalah suatu keadaan dimana menjadi robekan
pada vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus
terlepas dari vagina. Robekan ini dapat memanjang dan melintang.

2. Perlukaan Vulva
Perlukaan vulva terdiri atas 2 jenis yaitu :
a. Robekan Vulva
Perlukaan vulva sering dijumpai pada waktu persalinan. Jika diperiksa
dengan cermat, akan sering terlihat robekan. Robekan kecil pada labium
minus, vestibulum atau bagianbelakang vulva. Jika robekan atau lecet
hanya kecil dan tidak menimbulkan perdarahan banyak, tidak perlu
dilakkan tindakan apa-apa. Tetapi jika luka robekan terjadi pada
pembuluh darah, lebih-lebih jika robekan terjadi pada pembuluh darah di
daerah klitoris, perlu dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan
luka robekan. Luka-luka robekan diahit dengan catgut secara terputus-
putus ataupun secara jelujur. Jika luka robekan terdapat di sekitar
orifisium uretra atau diduga mengenai vesika urinaria, sebaiknya
sebelum dilakukan penjahitan, dipasang dulu kateter tetap.
b. Hematoma Vulva
Terjadinya robekan vulva disebabkan oleh karena robeknya, pembuluh
darah terutama vena yang terikat di bawah kulit alat kelamin luar dan
selaput lendir vagina. Hal ini dapat terjadi pada kala pengeluaran, atau
setelah penjahitan luka robekan yang senbrono atau pecahnya vasises
yang terdapat di dinding vagina dan vuluz. Sering terjadi bahwa
penjahitan luka episiotomi yang tidak sempurna atau robekan pada
dinding vagina yang tidak dikenali merupakan sebab terjadinya
hematome. Tersebut apakah ada sumber perdarahan. Jika ada, dilakukan
penghentian perdarahan. Perdarahan tersebut dengan mengikat
pembuluh darah vena atau arteri yang terputus. Kemudian rongga
tersebut diisi dengan kasa streil sampai padat dengan meninggalkan
ujung kasa tersebut di luar. Kemudian luka sayatan dijahit dengan jahitan

18
terputus-putus atau jahitan jelujur. Dalam beberapa hal setelah summer
perdarahan ditutup, dapat pula dipakai drain.

3. Serviks Uteri
Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan
saat persalinan karena perlukaan itu portio vaginalis uteri pada seorang
multipara terbagi menjadi bibir depan dan belakang. Robekan serviks dapat
menimbulkan perdarahan banyak khususnya bila jauh ke lateral sebab di
tempat terdapat ramus desenden dari arateria uterina. Perlukaan ini dapat
terjadi pada persalinan normal tapi lebih sering terjadi pada persalinan
dengan tindakan – tindakan pada pembukaan persalinan belum lengkap.
Selain itu penyebab lain robekan serviks adalah persalinan presipitatus. Pada
partus ini kontraksi rahim kuat dan sering didorong keluar dan pembukaan
belum lengkap. Diagnose perlukaan serviks dilakukan dengan speculum
bibir serviks dapat di jepit dengan cunam atromatik. Kemudian diperiksa
secara cermat sifat- sifat robekan tersebut. Bila ditemukan robekan serviks
yang memanjang, maka luka dijahit dari ujung yang paling atas, terus ke
bawah. Pada perlukaan serviks yang berbentuk melingkar, diperiksa dahulu
apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas atau tidak. Jika belum lepas,
bagian yang belum lepas itu dipotong dari serviks, jika yang lepas hanya
sebagian kecil saja itu dijahit lagi pada serviks. Perlukaan dirawat untuk
menghentikan perdarahan.

3. Korpus uteri
Perlukaan yang paling berat pada waktu persalianan ialah robekan uterus.
Robekan ini dapat terjadi pada waktu kehamilan atau pada waktu
persalianan, namun yang paling sering terjadi ialah robekan ketika
persalinan. Mekanisme terjadinya robekan uterus bermacam-macam. Ada
yang terjadi secara spontan, dan ada pula yang terjadi akibat ruda paksa.
Lokasi robekan dapat korpus uteri atau segmen bawah uterus. Robekan bisa
terjadi pada tempat yang lemah pada dinding uterus misalnya pada parut
bekas operasi seksio sesarea atau bekas miomektomi. Robekan bisa pula
terjadi tanpa ada parut bekas operasi, apabila segmen bawah uterus sangat

19
tipis dan regang karena janin megalami kesulitan untuk melalui jalan lahir.
Robekan uterus akibat ruda paksa umumnya terjadi pada persalinana
buatan , misalnya pada estrasi dengan cunam atau pada versi dan ekstrasi.
Dorongan Kristeller bila tidak dikerjakan sebagaimana mestinya dapat
menimbulkan robekan uterus.
Secara anatomi robekan uterus dapat dibagi dalam dua jenis yaitu:
i. Robekan inkomplet, yakni robekan yang mengenai endometrium dan
miometrium tetapi perimetrium masih utuh.
ii. Robekan komplet, yakni robekan yang mengenai endometrium,
miometrium dan perimetrium sehingga terdapat hubungan langsung
antara kavum uteri dan rongga perut. Robekan uterus komplet yang
terjadi ketika persalianan berlangsung menyebabakan gejala yang khas
yaitu nyeri perut mendadak, anemia, syok dan hilangnya kontraksi. Pada
keadaan ini detak jantung janin tidak terdengar lagi, serta bagian-bagian
janin dengan mudah dapat teraba dibawah dinding perut ibu.

4. Uterus
Ruptura uteri disebabkan oleh his yang kuat dan terus menerus, rasa nyeri
yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti
ketakutan, nadi dan pernafasan cepar, cincin van bandi meninggi. Setelah
terjadi ruptura uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan (bisa keluar
melalui vagina atau pun ke dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus,
pernafasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering
bagian-bagian janin dapat diraba langsung di bawah dinding perut, ada nyeri
tekan, dan di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi.
Umumnya janin sudah meninggal. Jika kejadian ruptura uteri lebih lama
terjadi, akan timbul gejala-gejala metwarisme dan defenci musculare
sehingga sulit untuk dapat meraba bagian janin.
Ruptur uteri dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Ruptura uteri spontan. Ruptura uteri spontan dapat terjadi pada keadaan
di mana terdapat rintangan pada waktu persalinan, yaitu pada kelainan
letak dan presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, vanggul sempit,
kelainan panggul, tumor jalan lahir.

20
b. Ruptura uteri traumatik dalam hal ini reptura uteri terjadi oleh karena
adanya lucus minoris pada dinding uteus sebagai akibat bekas operasi
sebelumnya pada uterus, seperti parut bekas seksio sesarea, enukkasi
mioma/meomektomi, histerotomi, histerorafi, dan lain-lain. Reptura uteri
pada jaringan parut ini dapat dijumpai dalam bentuk tersembunyi
(occult) yang dimaksud dengan bentuk nyata/jelas adalah apabila
jaringan perut terbuka seluruhnya dan disertai pula dengan robeknya
ketuban, sedang pada bentuk tersembunyi, hanya jaringan perut yang
terbuka, sedang selaput ketuban tetap utuh.

F. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk kedalam kavum
uteri, dapat secara mendadak atau perlahan. Kejadian ini biasanya disebabkan
pada saat melakukan persalinan plasenta secara Crede, dengan otot rahim belum
berkontraksi dengan baik. Inversio uteri memberikan rasa sakit yang dapat
menimbulkan keadaan syok adapun menyebutkan bahwa inversio uteri adalah
keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya kedalam kavum
uteri.
Penyebab inversio uteri dapat secara spontan atau karena tindakan. Faktor
yang memudahkan terjadinya adalah uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya,
adanya atonia uteri dan adanya kekuatan yang menarik fundus kebawah.
sedangkan yang spontan dapat terjadi pada grandemultipara, atonia uteri,
kelemahan alat kandungan (tonus otot rahim yang lemah, kanalis servikalis yang
longgar), dan tekanan intra abdominal yang tinggi (misalnya mengejan dan
batuk).
Inversio uteri karena tindakan dapat disebabkan karena perasat Crede yang
berlebihan, tarikan tali pusat, dan pada manual plasenta yang dipaksakan, apalagi
bila ada perlekatan plasenta pada dinding rahim atau Karna tindakan atraksi pada
tali pusat yang berlebihan yang belum lepas dari dinding rahim. inversio uteri juga
dapat terjadi waktu batuk, bersin atau mengejan.
Berbagai faktor etiologi telah dikaitkan dengan inversi uterus, walaupun
mungkin tidak ada penyebab yang jelas. Diidentifikasi faktor etiologi meliputi:

21
a. Tali pusat yang pendek
b. Traksi yang berlebihan pada tali pusat.
c. Tekanan pada fundus yang berlebihan.
d. Sisa plasenta dan abnormal perlekatan plasenta (inkreta, perkreta, akreta).
e. Menarik terlalu keras pada tali pusar untuk mempercepat pelepasan
plasenta, terutama jika plasenta melekat pada fundus.
f. Endometritis kronis.
g. Kelahiran setelah sebelumnya operasi secarea.
h. Cepat atau tenaga His yang panjang.
i. Sebelumnya rahim inverse.
j. Obat tertentu seperti magnesium sulfat (sebagai relaksan otot selama
persalinan).
k. Unicornuate rahim.
l. Kelainan bawaan atau kelemahan rahim.
m. Inversio uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan kala III
aktif khususnya bila dilakukan tarikan talipusat terkendali pada saat
masih belum ada kontraksi uterus dan keadaan ini termasuk klasifikasi
tindakan iatrogenic.

Hal ini biasanya tidak dianggap sebagai akibat dari penata laksanaan kala III
persalinan yang salah meskipun faktor-faktor yang tercantum di ataspun
memegang peranan penting dalam menimbulkannya, Namun sering kali dianggap
berasal dari manajemen yang buruk pada kala III persalinan, jika manajemen aktif
kala III persalinan dilakukan dengan baik maka dapat mengurangi resiko kejadian.

Menurut perkembangannya inversio uteri dapat dibagi dalam beberapa


tingkat :
a. Inversio uteri ringan
Fundus uteri terbalik menonjol dalam kavum uteri, namun belum keluar dari
ruang rongga rahim.

22
b. Inversio uteri sedang
Fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina.
c. Inversio uteri berat
Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian besar sudah terletak diluar
vagina.

Ada pula beberapa pendapat membagi inversio uteri menjadi :


a. Inversio inkomplit
Yaitu jika hanya fundus uteri menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri
atau serviks uteri.
b. Inversio komplit
Seluruh uterus terbalik keluar, menonjol keluar serviks uteri.
c. Inversio prolaps
Keadaan dimana uterus yang berputar balik itu keluar dari vulva.

Gejala inversion uteri dijumpai pada kala III atau postpartum. gejalanya
pada permulaan tidak selalu jelas, akan tetapi apabila kelainan itu sejak awalnya
tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa
menyebabkan syok. Rasa nyeri keras disebabkan karena fundus uteri menarik
adneksa serta ligamentum infundibulo pelvikum dan ligamentum rotundum kanan
dan kiri ke dalam terowongan inversio sehingga terjadi tarikan yang kuat pada
peritoneum parietal.
Perdarahan yang banyak juga dapat terjadi, akibat dari plasenta yang
masih melekat pada uterus, hal ini dapat juga berakibat syok.
Pemeriksaan luar pada palpasi abdomen, fundus uteri sama sekali tidak
teraba atau teraba lekukan pada fundus seperti kawah. Kadang-kadang tampak
seperti sebuah tumor yang merah di luar vulva, hal ini ialah fundus uteri yang
terbalik.
Pada pemeriksaan dalam, bila masih inkomplit, maka pada daerah simfisis
uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam; bila sudah komplit, di atas simfisis
teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak atau kavum uteri sudah tidak
ada (terbalik).

23
Penegakan diagnosis sangat penting dan mungkin menyelamatkan nyawa
ibu. Diagnosis tidak sukar dibuat jika mengetahui kemungkinan terjadinya
inversio uteri. Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak
ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai,
pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak di atas serviks uteri atau
dalam vagina, sehingga diagnosis inversio uteri dapat dibuat.
Diagnose juga bisa ditegakkan apabila pemeriksa menemukan beberapa
tanda inversi uterus yang mencakup:
a. Uterus menonjol dari vagina.
b. Fundus tidak tampaknya berada dalam posisi yang tepat ketika dokter palpasi
(meraba) perut ibu.
c. Adanya perdarahan yang tidak normal dan perdarahannya banyak bergumpal.
d. Tekanan darah ibu menurun (hipotensi).
e. Ibu menunjukkan tanda-tanda syok (kehilangan darah) dan kesakitan.
f. Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat.
g. Bila baru terjadi maka, maka perognosis cukup baik akan tetapi bila kejadian
cukup lama maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus
mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
h. Pemeriksaan penunjang (seperti USG atau MRI) dapat digunakan dalam
beberapa kasus untuk memperkuat diagnosis.

Penangangan :
a. Bila terjadi syok atau perdarahan, gejala ini diatasi dulu dengan infus
intravena cairan elektrolit dan tranfusi darah.
b. Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya renjatan vasovagal dan
perdarahan maka harus segera dilakukan tindakan reposisi secepat mungkin.
c. Segera lakukan tindakan resusitasi.
d. Bila plasenta masih melekat , jangan dilepas oleh karena tindakan ini akan
memicu perdarahan hebat .
e. Lakukan tindakan resusitasi dengan cara: Tangan seluruhnya dimasukkan ke
vagina sedang jari tengah dimasukkan ke dalam cavum uteri melalui serviks

24
uteri yang mungkin sudah mulai menciut, telapak tangan menekan korpus
perlahan-lahan tapi terus menerus kearah atas agak kedepan sampai korpus
uteri melewati serviks dan inversion.
f. Salah satu tehnik reposisi lain yaitu dengan menempatkan jari tangan pada
fornix posterior, dorong uterus kembali kedalam vagina, dorong fundus kearah
umbilikus dan memungkinkan ligamentum uterus menarik uterus kembali ke
posisi semula.
g. Sebagai tehnik alternatif : dengan menggunakan 3 – 4 jari yang diletakkan
pada bagian tengah fundus dilakukan dorongan kearah umbilikus sampai
uterus kembali keposisi normal.
h. Setelah reposisi berhasil, tangan dalam harus tetap didalam dan menekan
fundus uteri. Berikan oksitosin atau Suntikkan intravena 0,2 mg ergomitrin
kemudian dan jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade uterovaginal
dan setelah terjadi kontraksi , tangan dalam boleh dikeluarkan perlahan agar
inversio uteri tidak berulang.
i. Bila reposisi per vaginam gagal, maka dilakukan reposisi melalui laparotomi.

Perawatan pasca tindakan :


a. Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitoksin 20 unit dalam 500 ml
IV (Nacl 0,9 % atau Ringer Lactat) 10 tetes/menit :
i. Jika dicurigai terjadi perdarahan, berikan infus sampai dengan 60 tetes
permenit.
ii. Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau
prostaglandin.
b. Berikan Antibiotika proflaksis dosis tunggal :
i. Ampisilin 2 gr IV dan metronidazol 500mg IV
ii. Sefazolin 1 gr IV dan metranidazol 500 mg IV
c. Lakukan perawatan pasca bedah jika dilakukan koreksi kombinasi abdominal
vaginal.
d. Jika ada tanda infeksi berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas
demam 48 jam :
i. Ampisilin 2 gr IV tiap 6 jam

25
ii. Gestamin 5 mg/kg berat badan IV setiap 24 jam
iii. Metranidazol 500mg IV setiap 8 jam

G. Perdarahan Kala IV
Perdarahan post-partum adalah kehilangan darah sebanyak 500 ml atau
lebih dalam waktu 24 jam setelah persalinan dan kehilangan darah 1000 ml atau
lebih didefinisikan sebagai perdarahan postpartum berat. Kasus perdarahan
postpartum kebanyakan terjadi pada ibu tanpa resiko yang teridentifikasi.
Sebagian besar (70%) dari perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri.
Apabila perdarahan dapat dideteksi lebih dini, maka diharapkan penangan dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu, penilaian kehilangan darah
secara akurat sangat penting untuk mencegah perdarahan lebih lanjut. Namun
faktanya, hampir seluruh petugas kesehatan tidak melakukan penilaian kehilangan
darah secara akurat dan tepat. Kerlambatan dalam mengenali kehilangan darah
yang berlebihan dan memperkirakan jumlah kehilangan darah, akan berdampak
pada terlambatnya penanganan perdarahan terutama untuk mengganti kehilangan
cairan dan mengantisipasi terjadinya syok. Apabila ibu yang mengalami
perdarahan tidak mendapatkan penanganan yang tepat, hal ini dapat berdampak
pada kematian ibu.
Pengukuran darah sebaiknya mulai dilakukan segera setelah bayi lahir.
Sangat sulit untuk memperkirakan kehilangan darah secara tepat karena darah
seringkali bercampur dengan cairan ketuban atau urin dan mungkin terserap
handuk, kain atau sarung. Tidak mungkin menilai kehilangan darah secara akurat
melalui perhitungan jumlah sarung karena ukuran sarung bermacam-macam dan
mungkin telah diganti jika terkena sedikit darah atau basah oleh darah.
Meletakkan wadah atau pispot dibawah bokong ibu untuk mengumpulkan darah,
bukanlah cara efektif untuk mengukur kehilangan darah dan cerminan asuhan
sayang ibu untuk memegang dan menyusukan bayinya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa estimasi visual kehilangan darah
dilaporkan kurang akurat. Meskipun demikian, hal ini masih lebih baik dilakukan
daripada tidak dilakukan penilaian sama sekali. Penilaian perkiraan kehilangan
darah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu penilaian secara langsung dan tidak

26
langsung. Perkiraan kehilangan darah secara langsung dengan menggunakan
Brass V-Drape, drain, suction, atau estimasi visual, sedangkan estimasi
kehilangan darah secara tidak langsung dapat dilakukan dengan menimbang berat
spons, pemantauan hemodinamik, simulasi kehilangan darah dan simulasi
kehilangan darah pada subyek sehat.
1. Satu cara untuk menilai kehilangan darah adalah dengan melihat volume
darah yang terkumpul dan memperkirakan berapa banyak botol 500 ml
dapat menampung semua darah tersebut. Jika darah dapat mengisi dua
½
botol, ibu telah kehilangan satu liter darah. Jika darah dapat mengisi
botol, ibu kehilangan 250 ml darah. Memperkirakan kehilangan darah
hanyalah salah satu cara untuk menilai kondisi ibu.
2. Cara tidak langsung untuk mengukur jumlah kehilangan darah adalah
melalui penampakkan gelaja dan tekanan darah. Apabila perdarahan
menyebabkan ibu lemas, pusing, dan kesadaran menurun serta tekanan
darah sistolik turun lebih dari 10 mmHg dari kondisi sebelumnya maka
telah terjadi perdarahan lebih dari 500 ml. Bila ibu mengalami syok
hipovolemik maka ibu telah kehilangan 50% dari total jumlah darah ibu
(2000-2500 ml). Penting untuk selalu memantau keadaan umum dan
menilai jumlah kehilangan darah ibu selama kala empat melalui tanda
vital, jumlah darah yang keluar dan kontraksi uterus.
3. BRASSS-V drape adalah sebuah alat sederhana yang terbuat dari plastik
yang berbentuk corong digunakan untuk mengukur kehilangan darah
setelah persalinan. Persegi panjang di bagian atas ditempatkan di bawah
bokong ibu bersalin, sedangkan bagian salurannya yang berbentuk corong
segitiga dibiarkan menggantung ke bawah di antara kedua kakinya. Bagian
pinggiran saluran atas dilapisi dengan kawat kaku untuk membuat corong
agar dapat terbuka sehingga dapat mengumpulkan semua darah.

27
Gambar. BRASS-V Drape
[gambar tersedia di:
http://www.researchgate.net/profile/Shubha_Ambardekar/publication/2647
96142/figure/fig1/AS:202818561548291@1425367121404/Photo-of-the-
Excellent-BRASS-V-Drape-a-blood-collection-drape-with-a-
calibrated.png]

Corong dikalibrasi dengan dua garis, garis peringatan kuning ditantai 350
ml, yang berarti persiapan untuk rujukan harus dimulai, dan garis tindakan merah
tanda 500 ml, yang berarti bahwa ibu harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang mampu menangani perdarahan postpartum. Kehilangan darah diukur selama
setidaknya satu jam atau, jika perdarahan berlanjut setelah satu jam, sampai
perdarahan aktif berhenti. Ketika perdarahan aktif berhenti, bidan memeriksa tirai
dan memcatat ukuran yang ditunjukkan.
Cara menggunakan BRASS-V Drape, setelah cairan ketuban keluar dan
bayi dilahirkan, kedua tangan penolong yang masih menggunakan sarung tangan
menyelinapkan plastik biru di bawah bokong ibu. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa hanya darah dan tidak ada cairan tubuh lainnya yang
tertampung di dalam kantong plastik. Tali gantungan diikatkan di pinggang dan
pinggul ibu. Pastikan bahwa petugas telah mengikat tali dengan benar agar dapat
memastikan bahwa darah yang terkumpul dalam corong benar-benar akurat. Jika
ibu diposisikan di ujung tempat bersalin, maka kantong dapat ditempatkan
menggantung di tepi tempat bersalin. Jika ibu berbaring ditempat tidur atau lantai,
kantong dapat diletakkan terbaring ditempat tidur atau lantai. Setelah gantungan

28
terikat, tempatkan handuk tebal yang digulung atau kain dikedua bahu (skapula)
dan kepala ibu untuk mengangkat tubuhnya. Kecenderungan ini akan membantu
darah mengalir ke bawah ke saluran dan menghindari pengumpulan darah di
bawah bagian tubuh belakang. Apabila darah mengalir ke tempat lain, maka
penolong persalinan (masih menggunakan sarung tangan) menggeser atau
mengarahkan plastik secara manual agar darah tetap mengalir ke dalam corong.

Gambar. Penggunaan BRASS-V Drape


[gambar tersedia di: slideplayer.com/slide/4526736/15/images/7/BRASS-
V+DRAVE:+Direct+measurement+of+blood+loss+(PPH).jpg]

Untuk menilai volume darah dalam corong, sementara gangtungan masih


menempel pada ibu, posisikan corong secara vertikal. Dengan gravitasi bumi,
corong dengan posisi vertikal akan membuat darah terkumpul, penolong dapat
menilai volume darah yang tertampung.

29
Gambar. Menilai volume darah pada BRASS-V Drape
[gambar tersedia di: slideplayer.com/slide/4526736/15/images/7/BRASS-
V+DRAVE:+Direct+measurement+of+blood+loss+(PPH).jpg]
4. Estimasi visual kehilangan darah
a. Pembalut bersalin dengan bercak darah dan pembalut bersalin
penuh darah
Sebuah pembalut bersalin dengan penyerapan berstandar
(Robinson Healthcare Ltd, Worksop, UK) pembalut dengan noda
darah (30 ml) dan pembalut yang penuh dengan darah (100 ml).
Bantalan ditempatkan di tempat datar dan tidak menyerap.

Gambar. Simulasi perkiraan volume darah di pembalut


b. Tumpahan darah di lantai 50-cm, 75 cm dan diameter 100 cm
Luas daerah lantai yang ditutupi plastik terpal pelindung dan 500
ml, 1000 ml dan 1500 ml darah dituangkan ke tempat yang terpisah
(tumpahan lantai ini menghasilkan noda berukuran masing-maisng
50 cm, 75 cm, dan 100 cm). Darah dituangkan terpusat dari gelas
ukur dan dibiarkan tersebar merata dalam pola melingkar di lantai.

30
Sebuah meteran pengukur panjang dengan standar pita kertas yang
ditempelkan ke lantai untuk memberikan skala.

Gambar. Simulasi perkiraan volume darah di lantai


c. Nierbekken atau bengkok
Nierbekken atau bengkok steril telah dipindahkan dari standar
partus set dan ditempatkan pada permukaan yang datar. Lima ratus
mililiter darah dituangkan ke bengkok dan dibiarkan menggumpal.

Gambar. Simulasi perkiraan volume darah pada bengkok


d. Pad penyerap dan penampung noda
Sebuah pad penyerap-penampung (75 x 57 cm, Warden dressing
Co, Hexam, UK), digunakan secara rutin di lingkungan persalinan
untuk menjaga tempat tidur, sprei, dan ibu agar tetap kering,
ditempatkan di lantai dan diberi noda dengan 250 ml darah.

Gambar. Simulasi perkiraan volume darah pada pad

31
e. Pispot
Pispot plastik terstandar berisi 100 ml darah menggumpal.
f. Swab/lap/penyeka bedah
Swab/lap/penyeka bedah kecil (10x10 cm 32 ply) dan besar (45x45
cm 12 ply) yang digunakan secara rutin di operasi caesar (Detex
oleh Vernon-Carus Ltd, Preston, Lancs, UK) direndam ke wadah
penuh darah selama beberapa menit, dipindahkan untuk
mengalirkan kelebihan darah dan kemudian ditempatkan pada
permukaan yang datar berdekatan dengan swa yang sama, kering
dan dilipat untuk perbandingan.

Gambar. Simulasi perkiraan volume darah pada swab kecil dan


besar
g. Manekin simulasi HPP per vaginam di tempat tidur persalinan
terstandar
Manekin menggunakan satu set pakaian ibu bersalin dan
kaus/stoking pencegah tromboembolik atau “thrombo embolic
detterent (T.E.D) stockings” yang ditempatkan di tempat tidur
persalinan dengan seprai katun terstandar untuk mensimulasikan
persalinan normal pervaginam. Darah dituangkan di atas daerah
panggul dan sprei (1000 ml), kemudian volume yang lebih besar
(2000 ml) darah ditambahkan, volume darah melebihi kapasitas
seprai dan darah berceceran ke lantai.

32
Gambar. Simulasi perkiraan volume darah pada haemorrage
postpartum (HPP) dengan darah di tempat tidur saja dan yang
berceceran di lantai.

H. SYOK OBSTETRIC
Syok obstetrik adalah syok yang dijumpai dalam kebidanan yang
disebabkan baik oleh perdarahan, trauma, atau sebab-sebab lainnya, dimana
terjadi gangguan sirkulasi darah ke dalam jaringan sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan dan tidak mampu
mengeluarkan hasil metabolisme.
Gejala klinik syok pada umumnya sama yaitu:
1. Tekanan darah menurun.
2. Nadi cepat dan lemah.
3. Pucat.
4. Keringat dingin.
5. Sianosis jari-jari, sesak nafas, pengelihatan kabur, gelisah, dan akhirnya
oliguria/anuria.
Peristiwa-peristiwa kebidanan yang menimbulkan syok antara lain :
1. Perdarahan
Perdarahan merupakan penyebab utama syok dalam kebidanan. Perdarahan
sampai syok antara lain : abortus, kehamilan ektopik, Mola hidatitosa,
gangguan pelepasan plasenta, Atonia uteri, plasenta previa, rupture uteri.
2. Infeksi berat
Infeksi berat sebagai penyebab syok masih sering ditemukan diantaranya
adalah syok septik atau syok endotoksik dengan kuman terseringnya yaitu

33
gram negatif. Peristiwa infeksi yang dapat menimbulkan syok adalah : abortus
infeksiosus, febris puerperalis yang berat, piolenefritis.
3. Solusio plasenta
Solusio plasenta yang berat selain karena perdarahan syok juga terjadi karena
inversio uteri, syok terjadi disamping karena perdarahan juga bersifat
neurogen karena tarikan kuat pada peritoneum, kedua ligamentum infudibulo
pelvikum, serta ligamentum rotundum.
4. Emboli air ketuban
Syok karena emboli air ketuban berlangsung sangat mendadak dan berakhir
dengan kematian. Penderita mendadak gelisah, sesak nafas, kejang dan
meninggal. Emboli air ketuban terjadi pada his yang kuat dan ketuban telah
pecah. Karena his yang kuat, air ketuban bersama mekonium, rambut lanugo
dan vernik kaseosa masuk kedalam sinus-sinus dalam dinding uterus dan
dibawa ke paru-paru.
5. Supine hipotensive syndrome
Supine hipotensive syndrome terjadi karena adanya tekanan vena kava oleh
rahim, sering terjadi pada kehamilan kembar, hidramnion dan kehamilan
trimester akhir.

Tanda dan Gejala Syok Obstetrik


1. Nadi cepat dan halus (> 100/menit)
2. Tekanan darah turun (diastolik < 60 mmHg)
3. Respirasi cepat (> 32/ menit)
4. Temperatur suhu turun < 36,5 C
5. Pucat terutama pada konjungtiva, telapak tangan, bibir.
6. Berkeringat, gelisah, apatis/bingung, pingsan/tidak sadar
7. Tekanan darah ↓↓ (sistolik < 90 mmHg)

Tanda dan gejala lain:


1. Pucat (kelopak mata dalam, telapak tangan, sekitar mulut)
2. Keringat/kulit terasa dingin dan lembab

34
3. Urin sedikit (< 30 ml/jam)

Klasifikasi
1. Syok Hemoragik
Adalah suatu syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat
perdarahan pada:
a. kehamilan muda, misalnya: Abortus,Kehamilan ektopik dan
penyakit trofoblas (mola hidatidosa).
b. Perdarahan antepartum seperti plasenta previa, solusio plasenta,
rupture uteri.
c. Perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan laserasi jalan
lahir.

Klasifikasi perdarahan :
Kelas Jumlah Perdarahan Gejala Klinik
I 15% (Ringan) Tekana darah dan nadi normal
Tes Tilt (+)
II 20-25% (sedang) Takikardi-Takipnea
Tekanan nadi < 30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendah
Pengisian darah kapiler lambat
III 30-35% (Berat) Kulit dingin, berkerut, pucat
Tekanan darah sangat rendah
Gelisah
Oliguria (<30 ml/jam)
Asidosis metabolic (pH < 7.5)
IV 40-45% (sangat berat) Hipertensi berat
Hanya nadi karotis yang teraba
Syok ireversibel

Penanganan Syok Hemoragik Dalam Kebidanan

35
Bila terjadi syok hemoragik dalam kebidanan, segera lakukan resusitasi,
berikan oksigen, infuse cairan, dan transfuse darah dengan crossmatched.
Diagnosis plasenta previa/solusio plasenta dapat dilakukan dengan
bantuan USG. Selanjutnya atasi koagulopati dan lakukan pengawasan janin
dengan memonitor denyut jantung janin. Bila terjadi tanda-tanda hipoksia, segera
lahirkan anak. Jika terjadi atonia uteri pasca persalinan segera lakukan masase
uterus, berikan suntikan metil ergometrin (0,2 mg) IV dan oksitosin IV atau per
infuse (20-40 U/I), dan bila gagal menghentikan perdarahan lanjutkan dengan
ligasi a hipogastrika atau histerektomi bila anak sudah cukup. Kalau ada
pengalaman dan tersedia peralatan dapat dilakukan embolisasi a.iliaka interna
dengan bantuan transkateter. Semua laserasi yang ada sebelumnya harus dijahit.

2. Syok Neurogenik
Yaitu syok yang akan terjadi karena rasa sakit yang berat disebabkan oleh
kehamilan ektopik yang terganggu, solusio plasenta, persalinan dengan forceps
atau persalinan letak sungsang di mana pembukaan serviks belum lengkap, versi
dalam yang kasar, firasat/tindakan crede, ruptura uteri, inversio uteri yang akut,
pengosongan uterus yang terlalu cepat (pecah ketuban pada polihidramnion), dan
penurunan tekanan tiba-tiba daerah splanknik seperti pengangkatan tiba-tiba
tumor ovarium yang sangat besar.

3. Syok Kardiogenik
Yaitu syok yang terjadi karena kontraksi otot jantungyang tidak efektif yang
disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan jantung. Sering dijumpai pada
penyakit-penyakit katup jantung.
Tanda klinis
1. Dilatasi vena-vena di leher
2. Dispnea
3. Desah sistol dan diastole
4. Edema menyeluruh
Penyebab

36
Setiap syok obstetrik akan berakhir dengan syok kardiogenik, penyebab yang
paling sering adalah:
1. Perdarahan berat
2. Hipoksia karena eklampsia atau anesthesia
3. Sindrom mendelson: aspirasi lambung dengan pneumonitis
4. Emboli dengan segala penyebabnya

Penanganan/Pengelolaan
Uluran tangan sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien. Letakkan pasien
dalam posisi dorsal (terlentang) di atas lantai yang keras. Dengan satu ibu jari satu
tangan yang tertutup di atas sternum cukup untuk memperbaiki keadaan,
kemudian dilanjutkan dengan: tindakan/langkah ABCDEF
a. A-Airway
b. B-Breathing
c. C-Cardiac Massage
d. D-Drip ang drugs
e. E-Elektokardiogram

4. Syok Endotoksik/septic
Merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh
lepasnya toksin. Penyebab utama adalah infeksi bakteri gram nagatif. Sering
dijumpai pada abortus septik, korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan.
Gejala-Gejala Syok Septik
1. Menggigil
2. Hipotensi
3. Gangguan mental
4. Takikardi
5. Takipnea
6. Kulit merah
7. Kulit dingin dan basah, bradikardi, dan sianosis (bila syok bertambah berat)
Penanganan
1. Penanganan Awal

37
Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien
a) Nilai kegawatan dengan melakukan pemeriksaan tanda vital
b) Cegah hipotermi dan miringkan kepala/tubuh pasien untuk mencegah aspirasi
muntahan. Jangan berikan sesuatu melalui mulut untuk mencegah aspirasi
c) Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen melalui selang atau masker dengan
kecepatan 6 sampai 8 liter per menit.
d) Tinggikan tungkai untuk mebantu beban kerja jantung. Bila setelah posisi
tersebut ternyata pasien menjadi sesak atau mengalami oedem paru maka
kembalikan tungkai pada posisi semula dan tinggikan tubuh atas untuk
mengurangi tekanan hidrostatik paru.

Bila hingga langkah akhir tersebut diatas, ternyata tak tampak secara jelas
perbaikan kondisi pasien atau minimnya ketersediaan pasokan cairan dan
medikamentosa atau adanya gangguan fungsi peralatan yang dibutuhkan bagi
upaya pertolongan lanjutan, sebaiknya pasien dipindahkan ke ruang perawatan
intensif atau disiapkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
Bila ternyata harus dirujuk, pastikan :
a) Pasien dan keluarganya mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi
b) Telah dibuatkan surat rujukan
c) Ada petugas yang menemani dan keluarga sebagai pendonor darah

Bila setelah restorasi cairan masih belum terjadi perbaikan tanda vital, tambahkan
obat vasoaktif (dopamine) dengan dosis awal 2,5μgram per kg/BB (dalam larutan
gram isotonic). Naikkan perlahan-laha dosis tersebut hingga mendapatkan efek
optimal (dosis maksimal 15 sampai 20 μgram/menit). Pertahankan pada dosis
yang menunjukkan adanya perbaikan tanda vital. Hentikan dopamine apabila
tanda vital mencapai nilai normal dan produksi utrine dalam batas normal.

Penanganan Syok
Prinip Dasar Penanganan Syok
1. Tujuan utama pengobatan syok adalah melakukan penanganan awal dan
khusus untuk:

38
a. Menstabilkan kondisi pasien
b. Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah
c. Mengefisiensikan system sirkulasi darah
2. Setelah pasien stabil tentukkan penyebab syok
Penanganan Awal
1. Mintalah bantuan. Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat
2. Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu dan harus dipastikan
bahwa jalan napas bebas.
3. Pantau tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu tubuh)
4. Baringkan ibu tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan risiko
terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk memeastikan jalan napasnya
terbuka.
5. Jagalah ibu tersebut tetap hangat tetapi jangan terlalu panas karena hal ini
akan menambah sirkulasi perifernya dan mengurangi aliran darah ke organ
vitalnya.
6. Naikan kaki untuk menambah jumlah darah yang kembali ke jantung (jika
memungkinkan tinggikan tempat tidur pada bagian kaki).

Penanganan Khusus
1. Mulailah infus intra vena (2 jika memungkinkan dengan menggunakan
kanula atau jarum terbesar (no. 6 ukuran terbesar yang tersedia). Darah diambil
sebelum pemberian cairan infus untuk pemeriksaan golongan darah dan uji
kecocockan (cross match), pemeriksaan hemoglobin, dan hematokrit. Jika
memungkinkan pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit, ureum, kreatinin,
pH darah dan elektrolit, faal hemostasis, dan uji pembekuan.
a. Segera berikan cairan infus (garam fisiologk atau Ringer laktat) awalnya
dengan kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit
b. Berikan paling sedikit 2 Liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini
melebihi cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan yang
sedang berjalan

39
c. Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infuse
dipertahankan dalam kecepatan 1 liter per 6-8 jam
d. Catatan: Infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan
dalam penatalaksanaan syok akibat perdarahan. Usahakan untuk
mengganti 2-3 kali lipat jumlah cairan yang diperkirakan hilang.

1) Jika vena perifer tidak dapat dikanulasi, lekukakan venous cut-down


2) Pantau terus tanda-tanda vital (setiap 15 menit) dan darah yang hilang.
Apabila kondisi pasien membaik, hati-hati agar tidak berlebihan memberikan
cairan. Napas pendek dan pipi yang bengkak merupakan kemungkinan tanda
kelebihan pemberian cairan.
3) Lakukan kateterisasi kandung kemih dan pantau cairan yang masuk dan
jumlah urin yang keluar. Produksi urin harus diukur dan dicatat.
4) Berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter per menit dengan sungkup atau
kanula hidung.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Perdarahan pasca persalinan secara tradisional ialah perdarahan yang melebihi
500 cc pada kala III. Perdarahan pasca persapersalinan sekarang dapat di bagi
menjadi:
1. Perdarahan pascapersalinan dini adalah perdarahan 7,500 cc pada 24 jam

40
pertama setelah persalinan
2. Perdarahan pascapersalinan lambat ialah perdarahan 7,500 cc setelah 24 jam
persalinan
Perdarahan pascapersalinan merupakan penyebab penting kematian ibu:1/4 dari
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan tidak menyebabkan
kematian, kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditasnifas karena anemia akan
menurunkan daya tekan tubuh sehingga sangat penting untuk mencegah
perdarahan yang banyak.

B. Saran
Penulis berharap hendaknya bias lebih memahami tentang persalinan dengan
penyulit kala III dan IV. Dalam pembuatan makalah ini, masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, sangat diperlukan kritik dan saran yang membangun
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Selain itu, makalah ini
disarankan pula untuk dijadikan tolak ukur dalam pembuatan makalah-makalah
selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

Oxorn, Harry. Patologi & Fisiologi Persalinan. Alih bahasa: Hakimi. Jakarta:
Yayasan Essentia Mediak. 1996
Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad
martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.

41
Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga
berencana. Jakarta: EGC, 1998.
Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
Oxorn Harry, Forte, R William. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi
Persalinan. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica.
Indrayani, Djami, U.E. Moudy. 2016. Update Asuhan Persalinan dan Bayi Baru
Lahir. Jakarta: CV. Trans Info Media
Prawihardjo, Sarwono. 2014. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Prawirohardjo Sarwono, 2010, Ilmu Kebidanan, Jakarta: PT Bina Pustaka

42

Anda mungkin juga menyukai