Sosiologi Sastra
Sosiologi Sastra
3. Frederic Jameson
Konsep sosial sastra yang diususng oleh Frederic Jameson adalah teori tentang realisme
naratif (Anwar, 2015: 231 – 234). Menurut Jameson, untuk memahami keaslian nilai
historis dan sosial suatu karya sastra, maka karya sastra tersebut harus dipahami secara
objektif dan berdasarkan situasi konteksnya. Karya sastra dapat dipahami secara objektif
dan berdasarkan nilai konteksnya jika dilakukan studi individual atas pengarang, bukan
studi pada materi karya sastra. Kemudian dilakukan isolasi gaya bahasa yang dimiliki
oleh pengarang tersebut. Lebih jauh lagi, Jameson (Anwar, 2015: 232) mengatakan
bahwa gaya bahasa atau gaya penceritaan pengarang ditentukan oleh ideologi dan basis
ideologi tersebut adalah realisme. Realisme sastra adalah instrumen epistemologi
kompleks yang merekam berbagai kebenaran dari realitas sosial. Oleh karena itu, cerita di
dalam karya sastra, tertama karya sastra historis, dibangun melalui narasi realistis atau
realisme naratif. Novel-novel dengan narasi realistis kadang justru merekonstruksi
peristiwa historis yang sudah berlangsung di masa lampau menjadi kenyataan yang lebih
realis. Realisme naratif dapat membuat sebuah novel historis menjadi lebih hidup secara
emosional dan lebih realistis daripada sejarah itu sendiri.
4. Walter Benjamin
Menurut Walter Benjamin (Anwar, 2015: 235), karya sastra adalah sebuah model
reproduksi. Memproduksi karya sastra berkaitan dengan menghadirkan karya sastra
tersebut dalam ruang dan waktu sosial, sehingga eksistensi karya sastra sendiri dapat
melampaui ruang dan waktu sosial. Terkait dengan model reproduksi, Benjamin (Anwar,
2015: 235) mengatakan bahwa sastra dapat bersifat “fotografik” atau “copyc.” Sastra
“fotografik” adalah bentuk proses reproduksi realitas yang dibawa masuk ke dalam
aspek-aspek sastra secara original. Model sastra ini memasukkan realitas ke dalam sastra
dengan mempertahankan sudut pandang natural dan otensitas realitas. Pada sastra
“fotografik” pengarang dapat mereproduksi realitas tentang peristiwa tokoh-tokoh aktual
ke dalam sastra secara original. Contoh karya sastra yang dapat dikatakan sastra
“fotografik” adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sementara itu, sastra yang
bersifat “copyc” adalah reproduksi sastra yang menempatkan salinan realitas ke dalam
situasi yang sesuai dengan keadaannya atau kontekstual. Contoh karya sastra “copyc”
adalah novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Menurut Benjamin
(Anwar, 2015: 237), kualitas karya sastra sangat ditentukan oleh realitas di dalamnya.
Kualitas realitas dapat mengalami reduksi nilai (penurunan nilai) atau sebaliknya dapat
mengalami sublimasi nilai (peningkatan nilai) ketika dihadirkan di dalam karya sastra.
5. Tony Bennett
Menurut Tony Bennet (Anwar, 2015: 239), menegaskan bahwa kritik sosial Marxis lebih
cenderung pada intervensi penulisan dan pembacaan sastra sebagai sebuah proses sosial.
Intervensi dalam penulisan dan pembacaan tidak lagi cukup untuk memeahami
perkembangan sastra. Oleh karena itu, kritikus sosial sastra harus menilai sastra tidak dari
satu sisi saja, mereka harus berhadapan dengan teks sastra yang berkembang dalam
masyarakat dan memecahkan kebenaran yang ada di dalamnya. Bennett mengemukakan
tiga aspek dalam menentukan nilai karya sastra, yaitu: (1) model kritik sastra yang
digunakan; (2) bentuk atau gaya penulisan karya sastra yang spesifik; dan (3) kelas sosial
pembaca. Dari ketiga spek tersebut, pembaca atau kritikus juga dapat menemukan atau
melihat tujuan pengarang atau untuk siapa karya tersebut ditujukan.