Anda di halaman 1dari 3

Sosiologi Sastra

Kelompok 6 : Teori Sosial Sastra Pasca-Marxis


Berikut tokoh-tokoh teori sosial pasca-Marxis dan konsep pemikirannya.
1. Etiene Balibar dan Pierre Macherey
Etiene Balibar dan Pierre Macherey menganggap suatu karya sastra sejatinya merupakan
refleksi materialis (Anwar, 2015: 224 – 227). Menurut Balibar dan Macherey, teori sosial
sastra pasca-Marxisme tidak menghubungkan sastra dengan realisme, tetapi sastra dengan
materialisme. Sastra sesungguhnya bukanlah karya fiksi, melainkan memproduksi fiksi-
fiksi atau efek-efek fiksi. Bagi Balibar dan Macherey, hubungan sastra dengan materialis
membawa pandangan baru bahwa karya sastra adalah sebuah refleksi material yang
bersifat ideologis (Anwar, 2015: 227). Ideologi kelas sosial dominan akan terefleksi
dalam efek-efek fiksi karya sastra. Efek-efek fiksi yang terproduksi dalam karya sastra
akan menunjukkan ideologi dari kelas sosial yang dominan.

2. Raymond Williams (1921 – 1988)


Konsep sosial sastra yang dikemukakan oleh Raymond Williams adalah konsep formasi
sosial sastra (Anwar, 2015: 227 – 229). Dalam pandangan dan analisisnya, Williams
mengambil contoh analisis tentang kelompok sosial Bloomsbury yang terletak di sebelah
selatan Kota London. Situasi sosial dalam komunitas Bloomsbury terbentuk dari level
kelas-kelas sosial yang berbeda, tetapi formasi sosial tersebut tidak menimbulkan
munculnya kelas sosial dominan. Kasus Bloomsbury menunjukkan kontribusi yang
kompleks antara karakter kultural, intelektual, dan artistik dalam sebuah kesatuan formasi
sosiologis. Tidak ada ideolog dominan atau kelas dominan yang menekan kelas lain.
Berdasarkan analisis tersebut, Williams (Anwar, 2015: 229) menyatakan bahwa
kesusastraan Inggris pada tahun 1848 lahir dari pihak yang menerima konflik dan
meyakini peluang adanya rekonsiliasi. Oleh karena itu, sastra Inggris tahun 1948
mengandung konsep, ide cerita dan ideologi yang menyatukan semua kelas sosial pada
masa itu. Konsep Williams ini berbeda dengan pandangan Marxis yang menyatakan
bahwa kesusastraan bangkit dari kelas sosial bawah (pekerja) yang ingin bangkit dari
dominasi kelas atas.

3. Frederic Jameson
Konsep sosial sastra yang diususng oleh Frederic Jameson adalah teori tentang realisme
naratif (Anwar, 2015: 231 – 234). Menurut Jameson, untuk memahami keaslian nilai
historis dan sosial suatu karya sastra, maka karya sastra tersebut harus dipahami secara
objektif dan berdasarkan situasi konteksnya. Karya sastra dapat dipahami secara objektif
dan berdasarkan nilai konteksnya jika dilakukan studi individual atas pengarang, bukan
studi pada materi karya sastra. Kemudian dilakukan isolasi gaya bahasa yang dimiliki
oleh pengarang tersebut. Lebih jauh lagi, Jameson (Anwar, 2015: 232) mengatakan
bahwa gaya bahasa atau gaya penceritaan pengarang ditentukan oleh ideologi dan basis
ideologi tersebut adalah realisme. Realisme sastra adalah instrumen epistemologi
kompleks yang merekam berbagai kebenaran dari realitas sosial. Oleh karena itu, cerita di
dalam karya sastra, tertama karya sastra historis, dibangun melalui narasi realistis atau
realisme naratif. Novel-novel dengan narasi realistis kadang justru merekonstruksi
peristiwa historis yang sudah berlangsung di masa lampau menjadi kenyataan yang lebih
realis. Realisme naratif dapat membuat sebuah novel historis menjadi lebih hidup secara
emosional dan lebih realistis daripada sejarah itu sendiri.

4. Walter Benjamin
Menurut Walter Benjamin (Anwar, 2015: 235), karya sastra adalah sebuah model
reproduksi. Memproduksi karya sastra berkaitan dengan menghadirkan karya sastra
tersebut dalam ruang dan waktu sosial, sehingga eksistensi karya sastra sendiri dapat
melampaui ruang dan waktu sosial. Terkait dengan model reproduksi, Benjamin (Anwar,
2015: 235) mengatakan bahwa sastra dapat bersifat “fotografik” atau “copyc.” Sastra
“fotografik” adalah bentuk proses reproduksi realitas yang dibawa masuk ke dalam
aspek-aspek sastra secara original. Model sastra ini memasukkan realitas ke dalam sastra
dengan mempertahankan sudut pandang natural dan otensitas realitas. Pada sastra
“fotografik” pengarang dapat mereproduksi realitas tentang peristiwa tokoh-tokoh aktual
ke dalam sastra secara original. Contoh karya sastra yang dapat dikatakan sastra
“fotografik” adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sementara itu, sastra yang
bersifat “copyc” adalah reproduksi sastra yang menempatkan salinan realitas ke dalam
situasi yang sesuai dengan keadaannya atau kontekstual. Contoh karya sastra “copyc”
adalah novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Menurut Benjamin
(Anwar, 2015: 237), kualitas karya sastra sangat ditentukan oleh realitas di dalamnya.
Kualitas realitas dapat mengalami reduksi nilai (penurunan nilai) atau sebaliknya dapat
mengalami sublimasi nilai (peningkatan nilai) ketika dihadirkan di dalam karya sastra.

5. Tony Bennett
Menurut Tony Bennet (Anwar, 2015: 239), menegaskan bahwa kritik sosial Marxis lebih
cenderung pada intervensi penulisan dan pembacaan sastra sebagai sebuah proses sosial.
Intervensi dalam penulisan dan pembacaan tidak lagi cukup untuk memeahami
perkembangan sastra. Oleh karena itu, kritikus sosial sastra harus menilai sastra tidak dari
satu sisi saja, mereka harus berhadapan dengan teks sastra yang berkembang dalam
masyarakat dan memecahkan kebenaran yang ada di dalamnya. Bennett mengemukakan
tiga aspek dalam menentukan nilai karya sastra, yaitu: (1) model kritik sastra yang
digunakan; (2) bentuk atau gaya penulisan karya sastra yang spesifik; dan (3) kelas sosial
pembaca. Dari ketiga spek tersebut, pembaca atau kritikus juga dapat menemukan atau
melihat tujuan pengarang atau untuk siapa karya tersebut ditujukan.

Anda mungkin juga menyukai