Anda di halaman 1dari 4

Sinopsis

Novel Ayah menceritakan tentang tokoh Sabari, seorang lelaki yang berperawakan kurus, muka
berantakan, telinga macam cantelan wajan, yang mencintai seorang perempuan cantik bermata indah
dan berlesung pipi dalam bernama Marlena. Cinta Sabari pada Marlena ini mulai tumbuh sejak
pertamakali Marlena menyambar kertas ujiannya saat ujian nasional sekolah menengah pertama
dilakukan. Marlena yang diancam ayahnya bakal dijodohkan kalau tidak lulus SMP, macam orang
kesurupan menyontek lembar jawaban ujian Bahasa Indonesia milik Sabari di detik-detik terakhir ujian
berlangsung. Saat itu Marlena sama sekali tidak mengenal Sabari, begitu juga Sabari, tidak mengenal
Marlena. Namun, satu hal yang Marlena tidak sadari, Sabari adalah seorang Isaac Newton-nya
Bahasa Indonesia. Alhasil, Marlena diselamatkan oleh hasil nilai ujian Bahasa Indonesia-nya, tercetak
angka 95 di pengumuman kelulusan. Nilai yang hampir tidak mungkin terjadi untuk ujian Bahasa
Indonesia. Marlena pun lulus dan tidak jadi dijodohkan ayahnya.

Setelah memasuki babak kehidupan SMA, Sabari yang dulunya menganggap cinta adalah racun
manis penuh tipu muslihat, mendadak berubah menjadi majenun (gila) cinta pada Marlena. Sabari
dan Marlena bersekolah di SMA yang sama, hanya beda kelas. Bagi Sabari, sepasang mata Marlena
bak purnama kedua belas yang selalu membuatnya merinding saat menatapnya. Sabari yang pandai
berpuisi, mengawali dunia SMA-nya dengan membuat puisi untuk Marlena, cinta pertamanya. Namun,
sayang seribu kali sayang, Marlena adalah gadis cantik yang memiliki perilaku klasik gadis cantik
lainnya, Marlena berpacaran dengan berandalan sekolah, sedang Sabari, sesuai namanya, tetap
sabar menerima kenyataan dan tetap mencintai Marlena bagaimanapun kondisinya.

Air susu dibalas air tuba, begitu pepatah yang cocok bagi cinta Sabari pada Marlena. Kebencian
Marlena pada Sabari nampaknya jauh lebih besar dibanding rasa cinta Sabari pada Marlena—meski
Sabari tidak mau mengakuinya, baginya cintanya pada Marlena takdapat dikalahkan apapun—hal ini
pun membuat ketiga sahabat Sabari jatuh iba pada Sabari. Ketiga sahabat Sabari yang setia itu
bernama Ukun, Tamat, dan Toharun. Masing-masing adalah siswa peringkat terendah sekolah
Sabari. Sudah berkali-kali ketiga sahabat itu mengingatkan Sabari untuk berpikir rasional dan
mengancam Sabari bakal dimasukkan ke rumah sakit jiwa, tapi Sabari masih juga bebal. Beruntung
Sabari masih punya iman, tidak sampailah ia berniat atau berpikiran bakal bunuh diri karena merana
cintanya tidak berbalas.

Meski begitu, Sabari adalah tokoh yang tekun, positif, periang, dan amat menghormati orangtuanya.
Insyafi, ayah Sabari adalah seorang guru SD Bahasa Indonesia yang telah menurunkan bakat berpuisi
kepada Sabari. Saban sore menjelang petang, Sabari sering mengajak ayahnya dengan kursi roda
berjalan melintasi padang ilalang dan melihat mentari terbenam sambil berbalas puisi. Ayah Sabari
selalu mengajarkan padanya bahwa Tuhan selalu menghitung, dan suatu saat Tuhan akan berhenti
menghitung. Mungkin pada saat itu Tuhan sedang menghitung hari-hari penderitaan Sabari dengan
cinta tidak berbalasnya pada Marlena dan suatu saat Tuhan akan berhenti menghitung.

Pada saat yang sama, ada seorang lelaki bernama Izmi, mantan orang kaya yang hidupnya kini
melarat lantaran ayahnya ketahuan korupsi, yang terinspirasi oleh ketekunan Sabari meraih cintanya
Marlena. Terkadang, dalam hidup ini, entah bagaimana, dan entah mengapa, manusia dapat
menginspirasi hidup seseorang tanpa kita pernah tahu. Sabari adalah contoh nyata, bahwa ketika kita
bersungguh-sungguh melakukan sesuatu, semangat positif itu akan menular ke orang lain, memberi
orang lain sebuah semangat dan harapan melanjutkan hidup. Izmi pun makin giat belajar dan
mencoba membangun cita-citanya sebagai dokter hewan yang sempat pingsan karena tekanan
ekonomi keluarganya.

Usai lulus SMA, Sabari sendiri, sesungguhnya bercita-cita menjadi guru Bahasa Indonesia.
Sederhana saja, karena ia amat mencintai sastra dan berpuisi. Ada begitu banyak hal sederhana di
dunia ini, yang mungkin orang lain anggap hal itu sepele, tapi di mata Sabari dan dunia puisi, hal-hal
sepele itu adalah seni yang sangat berharga dan patut dinikmati dengan takzim. Ironisnya, Sabari
justru mencari pekerjaan berat seperti buruh kasar, pengangkut balok es, dan pekerjaan berat lainnya.
Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena ia ingin merasakan sakit di tubuhnya, ia ingin bekerja
dengan amat keras hingga ia hampir pingsan dan tidur dalam keadaan lemah lunglai agar ia dapat
mengobati sedikit perasan rindunya pada Marlena.

Marlena adalah anak Pak Markoni, pengusaha batako yang berhasil mengubah nasib hidupnya yang
nelangsa, menjadi pengusaha terpandang di pulau Belitong. Hal ini menginspirasi Sabari untuk pindah
pekerjaan ke perusahaan batako milik Pak Markoni itu. Tentu saja, supaya ia bisa mencuri lihat anak
Pak Markoni, si manis Marlena yang berjiwa pemberontak itu.

Selama bekerja di perusahaan batako Pak Markoni, Sabari menggaet gelar pekerja teladan karena
dedikasi tingginya terhadap perusahaan itu. Sabari yang periang dan gemar berpuisi juga langsung
disukai para karyawan perusahaan batako itu. Medali dikalungkan di lehernya, dan ia ingin sekali
Marlena kagum padanya. Sayangnya, Marlena sama sekali tidak peduli, ia malah makin muak dengan
Sabari. Meski begitu, Sabari tetaplah Sabari yang penyabar dan positif, ia terus berusaha, dan
mungkin ia tidak akan pernah lelah berusaha.

Dalam perjalanan mendapatkan hati Marlena, pernah Sabari mengikuti lomba maraton yang
disaksikan seluruh penjuru kabupaten dalam rangka peringatan hari kemerdekaan, ia pun
memenangkan perlombaan itu dan menjadi trending topic seluruh kabupaten. Namun, tetap saja,
Marlena takpeduli meski sudah bersusah payah Sabari berusaha membuat Marlena setidaknya
melirik kerja kerasnya.

“Hidup ini memang dipenuhi orang-orang yang kita inginkan, tetapi tak menginginkan kita, dan
sebaliknya” itu adalah ironi yang dipahami betul oleh Sabari. Meski begitu, Sabari tetap tersenyum.

Tibalah pada saatnya, Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan berhenti menghitung.
Akhirnya, benarlah, Tuhan berhenti menghitung. Sabari menikahi Lena lantaran Lena terjebak
peristiwa hamil di luar nikah dengan pacar—yang entah ke berapanya. Sabari dengan sukarela
“menumbalkan” dirinya untuk menikahi Lena karena seperti yang kita tahu, budaya timur Indonesia
sangatlah menjunjung tinggi moral dan kehormatan. Pernikahan itu berlangsung lantaran keluarga
Markoni terpaksa menjaga kehormatan dan nama baik keluarganya.

Lena? Tentu saja, ia masih membenci Sabari, seperti dahulu. Dan, Sabari, tentu saja masih mencintai
Lena, seperti dahulu. Namun, Sabari tidak peduli akan kenyataan itu, dengan riang ia menyambut
kelahiran bayi mungil yang dikandung Lena. Sabari pun membangun rumah baru untuk calon
putranya. Selama pernikahan itu berlangsung, Sabari dan Lena tidak tinggal serumah. Sungguh unik.

Saat bayi itu lahir, Sabari menyambutnya dengan sukacita, sudah disiapkannya rumah baru bagi
putranya yang ia beri nama Zorro itu. Dibesarkannya Zorro dengan cerita-cerita dan puisi, Zorro pun
amat lekat dengan Sabari yang bak ayah merangkap ibu, karena Lena sering kabur dari rumah dan
taktahu di mana rimbanya. Sabari sangat mencintai Zorro, dan ia merasa bahwa dalam hidup ini, kita
akan menemukan masa ketika akhirnya kita menyadari untuk apa kita dilahirkan di muka bumi ini.
Sabari menyadari satu hal bahwa ia dilahirkan di muka bumi ini untuk menjadi seorang “ayah”. Hati
Sabari riang tidak terperi.

Kenyataannya, Lena lah yang tidak bahagia dengan bahtera rumah tangga itu. Ia
terlalu rebellious dan tidak suka terikat dengan lelaki yang tidak dicintainya. Ia pun menceraikan
Sabari dan mengambil Zorro dengan suami barunya saat Sabari sedang meninggalkan Zorro sebentar
untuk membeli balon gas warna-warni di taman kota.
Setelah Marlena menggugat cerai dan mengambil Zorro dari hidupnya, Sabari bagai orang gila yang
merasa hampa selalu. Dihabiskannya waktu untuk melamun di beranda rumah bersama kucing
jantannya yang bernasib sama dengannya: ditinggal bini dan hidup nelangsa kesepian. Lebih dari itu,
kepergian Zorro telah merenggut jati dirinya sebagai seorang ayah yang selalu mencintai Zorro
sepenuh hatinya.

Zorro yang masih berusia tiga tahun saat dipisahkan dari Sabari terus merengek karena biasanya,
sebelum tidur, Sabari selalu berpuisi atau bercerita macam-macam untuk Zorro. Karena frustasi,
Marlena akhirnya memberi kemeja Sabari kepada si kecil Zorro, dan hanya dengan memeluk kemeja
ayahnya itulah ia dapat tertidur lelap.

Zorro yang masih kecil mengalami kehidupan yang tidak semestinya dirasakan anak seumurannya.
Kebiasaan Marlena yang cepat merasa bosan dan tidak suka dengan kemapanan, membuatnya
kawin-cerai dengan suami-suami barunya. Marlena pun hidup sebagai single parentdan berkelana
dengan Zorro. Beruntunglah, Zorro adalah anak yang cerdas dan memahami kondisi ibundanya. Ia
tidak pernah mengeluh, selalu menghibur hati ibunya, dan cemerlang nilai-nilainya di sekolah. Marlena
pun makin sayang pada Zorro.

Sementara di Belitong, sedih melihat sahabatnya yang makin gila, Tamat dan Ukun, sahabat SMA
Sabari akhirnya memutuskan untuk mencari di mana Marlena dan Zorro berada. Pulau Sumatera telah
dikelilingi mereka, segala upaya dikerahkan. Bahkan, Sabari dengan putus asanya menempelkan
pelat alumunium berisi pesan untuk mencari di mana Marlena dan Zorro berada dengan bahasa
Inggris-nya yang menyedihkan, lalu ditempelkannya pada tempurung penyu. Surat itupun berakhir di
Australia dan membuat geger seorang Niel, yang kemudian merasa terpanggil untuk juga mencari
keberadaan Zorro dan Lena di Australia. Usaha itu tentu saja gagal.

Pada akhirnya, Ukun dan Tamat berhasil menemukan Lena dan Zorro. Lena sudah menikah lagi
dengan lelaki bernama Amirza. Zorro pun dinamai ulang dengan nama Amiru. Total pernikahan Lena
usai bercerai dengan Sabari adalah empat kali, sedangkan Sabari hanya menikah sekali saja. Lena
adalah cinta pertama dan terakhirnya.

Saat bertemu di pelabuhan, Zorro alias Amiru segera mengenali aroma ayahnya dari kemeja yang
saban malam sebelum tidur selalu dipeluknya. Kedua belahan jiwa itu akhirnya berpelukan dan
kembali mengisi rumah mereka yang tidak ditinggali selama bertahun-tahun. Amiru yang cerdas dan
mencintai puisi seperti ayahnya, Sabari, sering menghabiskan waktu berdua dengan Sabari,
menunggu matahari tenggelam sembari berbalas puisi.

Saat Sabari meninggal, Lena masih berumah tangga dengan Amirza, dan di makam Sabari tertulis:
“Biarkan aku mati dalam keharuman cintamu”. Amiru lah yang mengukir puisi itu sesuai permintaan
Sabari sebelum wafat. Dan, setahun berikutnya, Marlena yang dalam keadaan sekarat berpesan pada
Amiru, anaknya, untuk menguburkan jasadnya di sebelah makan Sabari, dan ia juga berpesan untuk
menulis “Purnama kedua belas” di nisannya. Purnama kedua belas adalah panggilan kesayangan
Sabari pada Marlena sejak pertama kali mereka bertemu. Amiru menurutinya, diukirnya tulisan itu
pada nisan ibunya.

Sebelumnya, saat ayahnya masih hidup, Amiru bertanya pada ayahnya, apakah ayahnya masih
mencintai ibunya? Sabari menjawab, “Ingat, Boi, dalam hidup ini semuanya terjadi tiga kali. Pertama
aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu.”

Keunggulan Isi Buku:


Novel ini menggugah hati siapapun yang ingin merendahkan hatinya untuk melihat hidup yang getir
dan penuh ironi untuk tetap menemukan keindahan di dalamnya. Bahwa hidup adalah soal
perjuangan, bukan pemenangan, adalah makna yang terkandung dalam novel ini. Pada akhir cerita
dikisahkan Sabari mengikuti perlombaan maraton untuk kedua kalinya, dan pialanya akan
dipersembahkan untuk menyambut Zorro, putra yang terpisah darinya selama delapan tahun. Sabari
yang sudah mulai menua dan kurang gizi dikalahkan oleh pelari-pelari muda lainnya. Namun, Sabari
masih melanjutkan lomba lari itu meski panita dan para penonton sudah bubar jalan. Dengan telapak
kakinya yang berdarah-darah, Sabari menyelesaikan perlombaan itu seorang diri. Seluruh Belitong
pun terkagum-kagum akan usaha Sabari. Sungguh Sabari adalah seorang ayah yang memberikan
segalanya untuk putranya.

Dan perihal percintaan, memang Sabari tidak sempat merasakan romansa dengan Marlena, cinta
matinya. Namun cinta Sabari sangat tulus dan hanya berharap Lena bahagia dengan segala
keruwetan pola pikirnya. Mungkin orang lain akan memaki Sabari gila, majenun, tidak logis, dan
sebagainya. Namun, Sabari adalah Sabari yang tidak kenal lelah mencintai Lena, semampunya dan
sekuat tenaganya. Memang ada manusia di dunia ini yang pola pikirnya tidak mampu kita, manusia
biasa, pahami.

Andrea Hirata dalam novel ini berhasil menyihir pembacanya dengan kalimat puitis dan
sedikit nyelenehuntuk terus membaca dan menyelesaikan buku ini. Banyak kejadian dalam hidup
yang meski menyedihkan tetap dapat kita tertawakan dan ambil pelajaran berharganya. Ini adalah
seni mencintai hal-hal sepele, begitu dituliskan dalam novel ini.

Kelemahan Buku:

l Novel ini menggunakan gaya bahasa yang terlalu mendayu-dayu untuk percakapan sehari-hari.
Seperti membaca buku sastra lama, padahal latar waktu novel ini mengambil garis waktu masa kini,
yang sungguh aneh jika menggunakan kalimat baku dalam percakapan sehari-hari.

l Alur campuran yang digunakan penulis agak membingungkan, sehingga pembaca perlu membaca
ulang untuk benar-benar memahami garis waktu yang digunakan penulis dalam novel ini.

Kesimpulan dan Saran:

Novel ini mengajarkan nilai-nilai sosial seperti pantang menyerah, tekun, berpikir positif, menghormati
orang tua, dan setia kawan yang mulai pudar di masa modern ini. Novel ini sangat cocok untuk dibaca
semua usia, khususnya bagi para pemuda dan pemudi yang ingin mendalami filsafat cinta dan
kehidupan dengan contoh nyata karena kisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Para pembaca dapat
dibuat kagum dengan sisi melankolis penulis yang dapat meresapi kehidupan nyata para tokoh di
novel ini.

Anda mungkin juga menyukai