Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

ANALISIS KEBIJAKAN ASI EKSKLUSIF

Untuk memenuhi tugas mata kuliah .......(isi mata kuliahnya, misalnya: Dasar-
Dasar Promosi Kesehatan

Oleh:
Ani Rhoma (Tulis nama mahasiswa/i)
NIM. 123456789 (Tulis NIM mahasiswa/i)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
BANJARBARU
2019
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
A. LANDASAN TEORI .............................................................................. 1
B. PERMASALAHAN ................................................................................ 6
C. ANALISIS MASALAH .......................................................................... 7
D. PEMECAHAN MASALAH ................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. ASI Ekslusif
Pengertian ASI Ekslusif
ASI eksklusif atau lebih tepat disebut pemberian ASI secara eksklusif
adalah kondisi bayi yang hanya diberi ASI tanpa tambahan cairan lain seperti susu
formula, jeruk, madu dan air teh, air putih tanpa tambahan makanan padat seperti
pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi dan tim.2
ASI eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan dan minuman lain.
ASI Eksklusif dianjurkan sampai 6 bulan pertama kehidupan bayi.32 Memberikan
ASI setelah persalinan juga menunjukan perlindungan pada bayi baru lahir
te4rhadap infeksi dan pengaturan suhu tubuh. Pemberian ASI secara dini dan
eksklusif sekurang-kurangnya 4-6 bulan akan membantu mencegah berbagai
penyakit anak, termasuk gangguan lambung dan saluran nafas, terutama asma
pada anak-anak. Hal ini disebabkan adanya antibody penting yang ada dalam
kolostrum ASI (dalam jumlah yang lebih sedikit) akan melindungi bayi baru lahir
dan mencegah timbulnya alergi. Untuk alasan tersebut, semuabayi baru lahir harus
mend apatkan kolostrum.3

2. Manfaat Pemberian ASI


Pemberian ASI segera dan eksklusif memberikan manfaat pada ibu, bayi
dan lingkungannya. ASI bagi bayi merupakan sumber nutrisi. Komposisi ASI
berbeda dan disesuaikan dengan kondisi bayi. ASI kolostrum mengandung
antibodi yang sangat dibutuhkan bayi untuk menggantikan antibodi yang
diperoleh dari ibu. Antibodi dari ibu akan segera turun cepat sekali segera setelah
bayi lahir. Sementara itu, badan bayi mampu membuat zat kekebalan cukup
banyak pada saat berusia 9-12 bulan. Bayi yang mendapat ASI akan lebih cerdas.
Mengingat kecerdasan anak berkaitan erat dengan otak maka jelas perkembangan
kecerdasan dipengaruhi oleh perkembangan otak. Faktor yang penting pada
perkembangan otak adalah nutrisi yang diberikan. Kesempatan mendapatkan ASI
segera dan eksklusif jelas sekali berhubungan dengan perkembangan otak
sekaligus perkembangan kecerdasan. Manfaat lain bagi bayi adalah meningkatkan

1
jalinan kasih sayang ibu dan bayi serta menunjang kepribadian yang cerdas,
emosional dan kematangan spritual.2
Ibu yang memberikan ASI nya akan turun risiko terjadinya pendarahan,
anemia, terkena kanker. Jarak kehamilan menjadi jarang, rahim cepat mengecil,
cepat langsing karena proses menyusui yang dilaksankan segera dan eksklusif
sampai dua tahun atau lebih. Pemberian ASI juga berdampak ekonomis, tidak
merepotkan, hemat waktu, portabel, praktis dan memberi kepuasan pada ibu.2
Bayi yang diberi ASI oleh ibunya akan lebih sehat dibandingkan yang
tidak diberi ASI. Hal ini berdampak pada ibu yang bekerja. Ibu bekerja akan
jarang bolos karena alasan anak sakit. Jadi, pemberian ASI menyebabkan ibu lebih
bisa berkonsentrasi bekerja dan berpeluang untuk meningkatkan prestasi kerjanya.
Bagi negara, pemberian ASI menghemat devisa negara. Pengehematan devisa
untuk membeli susu formula, penghematan biaya sakit pada bayi dan ibu.
Menciptakan generasi yang tangguh dan menghindari lost generation. Pemberian
ASI sangat ramah lingkungan. Dengan memberikan ASI tak perlu ada kaleng,
karton, botol, dot bekas.2
Manfaat ASI Eksklusif3
a. Bagi Bayi
1. Bayi mendapatkan kolostrum yang mengandung zat kekebalan terutama
immuniglobullin A (lgA) yang melindungi bayi dari berbagai infeksi
terutama diare, membatu pengeluaran meconium.
2. Makanan terlengkap untuk bayi, terdiri dari proporsi yang seimbang dan
cukup kuantitas semua zat gizi yang diperlukan untuk kehidupan 6 bulan
pertama.35.36.37.38
3. Melindungi terhadap alergi karena tidak mengandung zat yang dapat
menimbulkan alergi.39.40
4. Pemberian ASI Eksklusif akan melindungi bayi baru lahir dari berbagai
penyakit, terutama alergi dan gangguan pencernaan.
5. Pemberian ASI eksklusif dapat mencegah hypotermia pada bayi baru lahir
6. Pemberian ASI eksklusif berarti mempertahankan pemberian ASI
sekurangnya 4-6 bulan.
b. Bagi Ibu

2
1. Pemberian ASI memberikan 98% metode kontrasepsi yang efisien selama 6
bulan pertama sesudah kelahiran bila diberikan hanya ASI saja dan belum
terjadi menstruasi kembali.43
2. Memberikan ASI segera (dalam waktu 60 menit) membatu meningkatkan
produksi ASI dan proses lactase
3. Pemberian ASI membantu mengurangi beban kerja ibu karena ASI tersedia
kapan dan dimana saja. ASI selalu bersih, sehat dan tersedia dalam suhu
yang cocok.
c. Bagi Keluarga
- Bayi sehat berarti keluarga mengeluarkan biaya lebih sedikit dalam
perawatan kesehatan dan berkurangnya kekhawatiran bayi akan sakit.42
- Pemberian ASI pada bayi (meneteki) berarti hemat tenaga bagi keluarga
sebab ASI selalu siap tersedia.

3. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pemberian ASI Eksklusif


Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan menyusui adalah, sosial
budaya, psikologis dan biologis ibu sendiri. Selain itu faktor-faktor yang
mempengaruhi ibu untuk menyusui adalah :2
- Faktor Psikologi
Status psikologi mendasari ibu dan pendukungnya untuk keberhasilan
menyusui, termasuk percaya diri dan komitmen menyusui.
- Faktor dukungan Tenaga Kesehatan
Dukungan tenaga kesehatan yang diberikan dapat membangkitkan rasa percaya
diri ibu untuk membuat keputusan menyusui bayinya. Informasi tentang
perawatan payudara selama masa kehamilan, lama menyusui, inisiasi menyusui
merupakan dukungan tenaga kesehatan untuk menyukseskan kelangsungan
pemberian ASI eksklusif.
- Faktor Demograpi
Faktor demografi terbagi menjadi dua, yaitu faktor sosio demografi dan faktor
biomedik. Faktor sosio demografi terdiri dari umur, pendidikan, status
perkawinan, suku, tingkat sosial dan penghasilan. Faktor biomedik terdiri dari
jumlah kelahiran, dan setelah melahirkan.

4. Program Kebijakan.

3
Beberapa pengertian kebijakan dikemukakan oleh sejumlah penulis
kebijakan diantaranya pendapat Carl Friedrich, Kebijakan publik adalah suatu
arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesempatan terhadap kebijakan dan diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi
suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Menurut
James A Anderson, kebijakan publik adalah “a purposive course of action
followed by an actor or set of actors in deadling with a problem or mother
concern“ (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah.3
Berdasarkan pada beberapa pemahaman dan telaah definisi diatas maka
secara garis besar kebijakan publik dapast diartikan sebagai serangkaian tindakan
yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau orientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat.3
Konsep implementasi kebijakan menurut George C.Edwards III :
“Penerapan kebijakan merupakan tahap antara diputuskannya suatu kebijakan
publik dengan munculnya konsekuensi-konsekuensi diantara orang-orang yang
terkena kebijakan tersebut, “
Menurut Va Hom dan Van Meter mendefinisikan Implementasi adalah :
“Implementasi kebijakan meliputi tindakan- tindakan yang dilakukan oleh publik
dan individu-individu pribadi atau kelompok yang ditujukan untuk pencapaian
sasaran yang sebelumnya telah terlebih dahulu ditetapkan.” George C. Edward III
berusaha menjawab dua pertanyaan dengan mengkaji empat faktor atau variabel
dari kebijakkan yaitu struktur birokrasi, sumber daya, komunikasi dan disposisi.3
1. Birokrasi
Merupakan salah satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan
menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur
pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi
pendidikan dan sebagainya.
2. Sumber Daya

4
Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikkan terhadap sumber daya.
Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem
yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis.
3. Disposisi
Menurut Edward III mengemukakan kecenderungan-kecenderungan atau
disposisi merupakan salah satu faktor yang mempunyai konsekkuensi penting
bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana mempunyai
kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi
kebijakan akan terlaksana sesuai keputusan awal.
4. Komunikasi.
Komunikasi merupakan salah satu variabel penting yang mempengaruhi
implementasi kebijakan publik, komuniaksi sangat menentukkan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang
efektif akan terlaksana, jika para pembuat kepurusan mengetahui mengenai apa
yang mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para pengambil keputusan
hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik.
Terdapat 3 indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan
variabel komunikasi, yaitu :
a. Transmisi,
b. Kejelasan,
c. Konsistensi
Kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling
berkaitan, variabel-variabel tersebut yaitu :3
1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber daya
3. Karakteristik oraganisasi pelaksana
4. Sikap para pelaksana
5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik.

B. PERMASALAHAN
Tingginya angka kematian bayi dan ibu di Indonesia (MDG 4 dan MDG5)
menjadikan negara ini masih tertinggal dalam pencapaian tujuan dan target

5
”Millenium Development Goals”. Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 34 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2008, sedangkan target 19 per 1000 pada tahun
2015. Sementara Angka Kematian Ibu (AKI) masih 307 per 1000 kelahiran hidup
pada tahun 2008, sangat jauh dari target 110 per 1000 pada tahun 2015.1
Di Negara berkembang, saat melahirkan dan minggu pertama setelah
melahirkan merupakan periode kritis bagi ibu dan bayinya. Sekitar dua per tiga
kematian terjadi pada masa neonatal, dua per tiga kematian neonatal tersebut
terjadi pada minggu pertama, dan dua per tiga kematian bayi pada minggu
pertama tersebut terjadi pada hari pertama.1
Sejatinya, ada tindakan yang relatif murah dan mudah diterapkan untuk
meningkatkan kesehatan dan kelangsungan hidup bayi baru lahir. Salah satunya
adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) segera setelah lahir (IMD) serta pemberian
ASI eksklusif. Pernyataan ini didukung oleh United Nations Childrens Fund
(UNICEF), bahwa sebanyak 30.000 kematian bayi di Indonesia dan 10 juta
kematian anak balita di dunia pada tiap tahunnya, bisa dicegah melalui pemberian
ASI secara eksklusif selama enam bulan sejak tanggal kelahirannya, tanpa harus
memberikan makanan serta minuman tambahan kepada bayi. Edmond (2006)
selaras dengan pernyataan UNICEF tersebut, bahwa bayi yang diberi susu
formula, memiliki kemungkinan atau peluang untuk meninggal dunia pada bulan
pertama kelahirannya 25 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang disusui
oleh ibunya secara eksklusif.1
Ironisnya, berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2007, hanya 32% bayi dibawah usia 6 bulan mendapatkan ASI eksklusif.
Jika dibandingkan dengan SDKI tahun 2003, proporsi bayi dibawah 6 bulan yang
mendapatkan ASI eksklusif menurun
sebanyak 6 poin. Bandingkan dengan target nasional untuk cakupan ASI
Eksklusif pada tahun 2010 adalah 80%. Rata-rata, bayi Indonesia hanya disusui
selama 2 bulan pertama, ini terlihat dari penurunan prosentase menyusui dari
SDKI 2003 yaitu sebanyak 64% menjadi 48% pada SDKI 2007. Sebaliknya
sebanyak 65% bayi baru lahir mendapatkan makanan selain ASI selama tiga hari
pertama.1

6
C. ANALISIS MASALAH
1 Analisis Kebijakan.
Kebijakan ASI eksklusif Indonesia mengalami proses yang cukup panjang,
tercatat sampai saat ini terdapat beberapa peraturan terkait dengan pemberian ASI
eksklusif di Indonesia yaitu Permenkes RI No 240/MENKES/PER/V/1985 tentang
Pengganti ASI, Kepmenkes RI No. 237/Menkes/SK/IV/1997 tentang Pemasaran
Pengganti ASI, Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan, dan Kepmenkes RI No.450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI
secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.
Dan yang terbaru adalah Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang
Pemberian ASI Eksklusif.1
Dalam studi ini, kajian analisis akan dilakukan terhadap PP 33/2012 yang
diundangkan sekaligus mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2012. Kebijakan ini
bersifat regulatif, protektif dan promotif. Terdiri dari 10 bab, 43 pasal dengan total
55 ayat, dan mengatur 7 hal pokok, yaitu 1) tanggung jawab pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; 2) Air Susu Ibu; 3)
penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya; 4) tempat kerja dan tempat
sarana umum; 5) dukungan masyarakat; 6) pendanaan; dan 7) pembinaan dan
pengawasan.1

2 Analisis proses.
Proses penyusunan kebijakan di Indonesia melibatkan setidaknya dua
pihak, yaitu pihak eksekutif dan pihak legislatif. Pihak eksekutif diwakili oleh
kementrian teknis yang bersangkutan sedangkan pihak legislatif adalah DPR-RI.
Proses penyusunan legislasi tidak selalu dibuka untuk publik sehingga prinsip
transparansi tidaklah selalu dapat dipatuhi. Demikian juga dengan
pendokumentasian yang tidak dibuka untuk publik. Kalaupun ada, prosesnya tidak
tersosialisasi dengan baik. Dalam hal ini, peran media, pers, dan jurnalistik

7
menjadi sangat penting untuk dapat menyampaikan informasi mengenai proses
penyusunan suatu kebijakan.4
Di sisi lain, meskipun bersifat partisipatoris, tidak berarti kemudian
penyusunan kebijakan harus berjalan lamban. Proses penyusunan kebijakan di
bidang ASI yang terakhir, yaitu RPP Pemberian ASI (semula RPP Pemasaran
Susu Formula) berjalan sangat lambat dan tersendat, Pembahasan dimulai sejak
pertengahan November 2006 dan sampai Januari 2010 belum juga selesai.4

3 Analisis Aktor.
Aspek partisipatoris dari proses penyusunan kebijakan terkait juga dengan
aspek aktor atau pemeran yang menentukan dalam implementasi kebijakan
tersebut. Idealnya setiap aktor yang terlibat harus jelas posisi dan perannya,
kewenangan dan tanggung jawabnya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih peran
atau malah kevakuman peran. Pemetaan aktor yang terlibat mulai dari penyusunan
sampai implementasi dan evaluasi harus jelas tercakup dalam suatu kebijakan atau
peraturan-peraturan yang menindaklanjutinya serta sesuai secara horisontal (lintas
sektoral) maupun vertikal (lintas level).4
Pemetaan aktor lebih luas lagi juga mencakup pertimbangan dan tinjauan
terhadap kemungkinan keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan
tersebut. Misalnya, dalam hal PP Pemberian ASI, perlu dianalisis reaksi yang
akan dimunculkan oleh pihak industri susu formula serta kemungkinan kondisi
dilematis yang dihadapi oleh tenaga kesehatan penolong persalinan seperti bidan
yaitu terkait tuntutan tugas ideal dan keterpaksaan dan desakan ekonomi dan
finansial.4
Penerapan kebijakan ini akan dapat berjalan dengan baik, bila
memperhatikan ; pertama, kesadaran dari para Ibu untuk merasa ‘harus’
memberikan ASI ekslusif saat bayinya lahir serta dukungan dari pihak keluarga
untuk mendorong para Ibu memberikan ASI eksklusif. Kedua, kesadaran moral
para tenaga kesehatan dengan sepenuh hati memberikan edukasi dan informasi
yang jelas kepada para Ibu. Ketiga, kesadaran dan ketaatan para penyelenggara
fasyankes untuk menerapkan RS pro ASI dengan menerapkan 10 langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui. Keempat, kesadaran dan ketaatan para penyelenggara

8
tempat sarana umum dan pengurus tempat kerja mendukung pelaksanaan ASI
eksklusif. Kelima, kesadaran dan etika berbisnis para produsen susu formula dan
para pekerjanya untuk menjalankan bisnis yang beretika dengan mematuhi aturan
PP No 33 tahun 2012. Tidak kalah pentingnya juga, keenam,sistem mekanisme
pembinaan dan pengawasan yang jelas dari Pemerintah (Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan kabupaten/kota), BPOM dan organisasi
profesi, yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dan konsisten. Ketujuh,
dukungan aturan pelaksanaan yang jelas terkait tentang pemberian sanksi
administrative bagi tenaga kesehatan dan penyelenggara fasyankes. Dan terakhir,
dukungan peran serta masyarakat (LSM) dalam turut melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan PP No 33 tahun 2012.1

4 Analisis Konten.
Kepmenkes No. 237/1997 mengenai Pemasaran Pengganti ASI adalah
keputusan yang sangat ringkas karena hanya terdiri atas dua bab dan tiga pasal
bab pertama berisi mengenai ketentuan umum dan bab kedua mengenai
peredaran. Dalam Ketentuan Umum Kepmenkes tersebut mencakup istilah
pengganti air susu ibu, makanan pendamping ASI, susu formula bayi, susu
formula lanjutan, bayi, botol, dot, pemasaran, dan promosi. Bab II menegaskan
bahwa pengganti ASI hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan persetujuan
dari Ditjen POM Depkes RI.2
Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan
adalah legislasi yang paling kuat dibanding yang lain dan juga paling lengkap
karena sudah ada pembagian kewenangan/tugas meskipun masih perlu
dielaborasi dan ditindaklanjuti dengan keputusan-keputusan di bawahnya yang
mengatur aspek teknis. Dari segi konten PP ini terdiri dari 8 bab dan 64 pasal. Bab
pertama membahas mengenai ketentuan umum, bab kedua mengenai label
pangan, bab ketiga mengenai iklan pangan, bab empat mengenai pengawas- an,
bab lima mengenai tindakan administratif, bab enam mengenai ketentuan
peralihan, bab tujuh mengenai ketentuan khusus, dan bab delapan adalah
ketentuan penutup.5

9
Secara umum, PP tersebut mengatur mengenai pelabelan dan iklan
makanan dan minuman secara keseluruhan. Aspek terkait ASI terutama secara
eksplisit disebutkan pada Bab III Pasal 47 Ayat 4 yaitu mengatur mengenai
pelarangan iklan pangan bagi bayi kurang dari satu tahun di media massa
kecuali media cetak khusus kesehatan setelah mendapat persetujuan Menkes.
Iklan tersebut juga mewajibkan pencantuman peringatan bahwa makanan tersebut
bukanlah pengganti ASI.4
Kepmenkes No. 450/2004 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif
pada Bayi di Indonesia terdiri atas lima ketetapan termasuk penetapan mengenai
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai dengan usia anak
2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang seusai. Juga ditetapkan bahwa
tenaga kesehatan agar menginformasikan kepada ibu mengenai anjuran ASI
eksklusif. Pemberian informasi dianjurkan untuk mengacu pada 10 Langkah
Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM).6
Jika ditinjau dari peraturan yang memuat mengenai definisi peristilahan
tampak bahwa definisi yang dipakai merujuk pada definisi yang digunakan atau
berlaku pada saat keputusan tersebut dibuat. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan
bahwa telah terjadi perubahan- perubahan yang cukup cepat dalam hal pengertian
dan peristilahan. Misalnya saja, definisi ASI eksklusif pada Kepmenkes No.
237/1997 masih merujuk pada durasi pemberian ASI saja selama 4 bulan. Padahal
sejak tahun 2002 WHO telah merekomendasikan durasi optimal ASI eksklusif
selama 6 bulan. Terlepas dari apakah ada bukti yang cukup kuat untuk
mengadopsi rekomendasi WHO tersebut, tetapi updating terhadap situasi
keilmuan dan bukti di lapangan tetap harus dilakukan.7
Dari segi kelengkapan, di antara ketiga peraturan tersebut, yang paling
komprehensif adalah PP No.69/1999 mengenai Label dan Iklan Pangan.
Hal ini dapat disebabkan karena tingkat legislasinya yang lebih tinggi
dibandingkan dua peraturan lainnya yang hanya setingkat keputusan menteri.
Namun masalahnya PP tersebut bukan PP yang khusus mengenai ASI eksklusif
dan IMD, tetapi PP yang mengatur mengenai makanan secara keseluruhan dan
pengaturan pelabelan dan iklannya. Perlu dicatat bahwa Kepmenkes No. 237/1997

10
dan Kepmenkes No. 450/2004 keduanya sangat ringkas dan kurang lengkap
sehingga masih perlu ditindak- lanjuti dengan aturan-aturan teknis yang dalam
kenyataannya tidak terdokumentasi dengan baik. Berbeda dengan PP, kedua
Kepmenkes tersebut, tidak memuat pendelegasian penugasan dan wewenang
kepada instansi implementer serta tidak dilengkapi dengan sanksi baik
administratif, perdata, maupun pidana bagi pelanggar keputusan tersebut.4
Sampai sejauh ini, aspek evaluasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan
peraturan-peraturan tersebut belum tersedia informasinya. Hal ini dapat
disebabkan oleh buruknya sistem pendokumentasian dan diseminasinya bagi
publik atau karena memang subsistem evaluasi dan pemantauan tidak ada dalam
sistem yang dimaksud dalam peraturan. Hal ini merupakan kondisi yang
mengkhawatirkan karena dalam setiap implementasi kebijakan, harus selalu ada
tahap evaluasi implementasi kebijakan tersebut.4
Tujuan Konten Kebijakan8
a. Menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak
dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangannya;
b. Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif
kepada bayinya;
c. Meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah,
dan Pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif.
10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui sebagai berikut:8
a. Membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan dikomunikasikan kepada
semua staf pelayanan kesehatan;
b. Melatih semua staf pelayanan dalam keterampilan menerapkan kebijakan
menyusui tersebut;
c. Menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen
menyusui;
d. Membantu ibu menyusui dini dalam waktu 60 (enam puluh) menit pertama
persalinan;
e. Membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan menyusui meskipun ibu
dipisah dari bayinya;
f. Memberikan asi saja kepada bayi baru lahir kecuali ada indikasi medis;

11
g. Menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu 24 (dua
puluh empat) jam;
h. Menganjurkan menyusui sesuai permintaan bayi;
i. Tidak memberi dot kepada bayi; dan
j. Mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu
kepada kelompok tersebut setelah keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan.

5 Analisis konteks.
Ditinjau dari segi konteks, tampaknya peraturan-peraturan yang dibahas
dalam analisis ini masih terlepas dari konteksnya baik konteks individu, keluarga,
masyarakat, maupun institusi. Dalam pelaksanaan di lapangan, faktor konteks
atau lingkungan memainkan peran yang sangat penting dan menentukan
keberhasilan pelaksanaan ASI eksklusif. Studi-studi menunjukkan bahwa di
samping faktor internal ibu, situasi dan kondisi lingkungan eksternal juga penting
sebagai penentu keberhasilan pelaksanaan IMD dan ASI eksklusif.9
Dalam hal ini perlu diperhatikan pergeseran-pergeseran yang terjadi pada
ranah demografi dan sosial-ekonomi. Pemberian ASI eksklusif bagi ibu pekerja,
misalnya, belum diakomodasi oleh peraturan yang ada. Padahal tingkat partisipasi
angkatan kerja perempuan meningkat terus persentasenya dari 48,63% di tahun

2006 menjadi 49,52% di tahun 2007 dan 51,25% di tahun 2008.4 Dari segi
peraturan ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003
Pasal 81),8 lama cuti hamil dan melahirkan hanya 3 bulan. ini tentu tidak cukup
bagi pelaksanaan ASI eksklusif 6 bulan kecuali jika difasilitasi dengan instrumen
penyimpan ASI baik di rumah maupun di tempat kerja.
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan antara lain adalah
penurunan angka kematian Bayi dan peningkatan status gizi masyarakat. Status
gizi masyarakat akan baik apabila perilaku gizi yang baik dilakukan pada setiap
tahap kehidupan termasuk pada Bayi.9
Situasi sosial-ekonomi masyarakat juga penting mendapatkan perhatian.
Terutama yang harus dicermati fenomena pergeseran norma sosial dan kultural
terkait pemberian ASI eksklusif, fenomena massifikasi dan kesetaraan pendidikan
tinggi, dan variasi serta jurang sosial-ekonomi pada berbagai kelompok

12
masyarakat baik di wilayah urban maupun pedesaan. Gencarnya pemasaran susu
formula melalui kampanye terselubung, yaitu sebagai hadiah kepulangan ibu dan
bayi dari fasilitas persalinan dilaporkan masih marak terjadi.9 Lebih lanjut,
studi kualitatif tentang praktik keberhasilan dan kegagalan ASI eksklusif di
Jakarta tahun 2009 menunjukkan bahwa yang sering menjadi korban dari
kampanye demikian adalah ibu-ibu berpendidikan rendah.4
Kesiapan sarana pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kehamilan dan
persalinan, termasuk kesiapan SDM-nya perlu diperhatikan juga apakah
peraturan- peraturan tersebut sudah menyentuh peran dan mempertimbangkan
situasinya. Jumlah rumah sakit sayang bayi diperkirakan hanya sekitar 50-70%

pada rumah sakit pemerintah dan 10-20% pada rumah sakit swasta.4 Pelaksanaan
IMD dan ASI eksklusif sangat bergantung pada tindakan yang diambil oleh tenaga
kesehatan dan fasilitas layanan kesehatan pada jam-jam pertama. Berbagai studi
menunjukkan peran vital tenaga kesehatan penolong persalinan dalam

keberhasilan pelaksanaan IMD dan ASI eksklusif.7 Dalam kenyataannya, tidak


semua tenaga kesehatan penolong persalinan baik bidan maupun dokter bebas dari
peran sebagai ”agen” susu formula.
Mengenai hambatan dan kendala pelaksanaan ASI eksklusif 6 bulan
sebenarnya sudah mulai banyak muncul pada dekade terakhir ini. Tetapi apakah
yang ada juga dijadikan bahan pertimbangan dalam mengadopsi kebijakan yang
bermula dari studi WHO tersebut? Pertanyaan-pertanyaan mengenai kesesuaian
konteks eksternal seperti telah diulas sebelumnya perlu dijawab dan dicarikan
penyesuaian-penyesuaian. Demikian juga perlu kiranya diluncurkan studi yang
mengkaji kesesuaian rekomendasi WHO dengan realita situasi antropometri dan
fisiologis ibu hamil di Indonesia dengan prevalensi Kurang Energi Kronis pada
ibu hamil yang tinggi yaitu masih sekitar 20%.Terdapat kemungkinan munculnya
akibat gizi yang merugikan baik bagi ibu maupun bayi jika dalam kondisi
kekurangan gizi dipaksakan melaksanakan ASI eksklusif selama 6 bulan.4
Diperlukan studi yang komprehensif untuk mengkaji situasi ini dan
menguji pertanyaan-pertanyaan realita kontekstual seputar ASI eksklusif.

13
Kebijakan, selanjutnya, disusun berdasarkan bukti-bukti empirik dan saintifik
yang kuat sehingga tidak menyebabkan kebijakan menjadi tidak realistis saat
diterjemahkan menjadi program atau malah menimbulkan dampak negatif yang
merugikan masyarakat.4
Beberapa kendala dalam hal pemberian ASI Eksklusif adalah ibu tidak
percaya diri
bahwa dirinya mampu menyusui dengan baik sehingga mencukupi seluruh
kebutuhan gizi
Bayi. Hal ini antara lain disebabkan karena:9
1. Kurangnya pengetahuan ibu
2. Kurangnya dukungan Keluarga
3. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang manfaat pemberian ASI Eksklusif
4. Kurangnya dukungan Tenaga Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan
produsen makanan bayi untuk keberhasilan ibu dalam menyusui bayin

D. PEMBAHASAN
Analisis kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan mengenai ASI eksklusif belum
lengkap dan belum komprehensif. Juga ditemukan bahwa IMD belum secara
ekskplisit dimasukkan dalam kebijakan. Analisis kerangka kerja koalisi advokasi
mengonfirmasi lemahnya aspek sistem eksternal dan subsistem kebijakan dalam
penyusunan kebijakan ASI eksklusif. Peraturan-peraturan yang dibahas dalam
analisis ini masih terlepas dari konteksnya baik konteks individu, keluarga,
masyarakat, maupun institusi. Dari segi proses, penyusunan kebijakan terlihat
kurang transparan, lambat dan kurang partisipatoris. Belum ada pemetaan
pemeran (aktor) yang jelas terutama pengaturan kewenangan dan tanggung jawab
yang bersifat lintas sektoral dan lintas level. Analisis kerangka kerja koalisi
advokasi mengonfirmasi temuan-temuan hasil analisis dengan metode sebelumnya
dengan tekanan pada lemahnya aspek sistem eksternal dan subsistem kebijakan
dalam penyusunan kebijakan tentang ASI eksklusif. Kebijakan yang ada agar
segera diperbarui supaya relevan dari segi konten, konteks, proses dan aktor dan
kebijakan mengenai ASI eksklusif harus memasukan unsur IMD. Perlu ada

14
desakan yang kuat dari berbagai komponen di masyarakat untuk menyusun
kebijakan ASI eksklusif baru yang mutakhir berbasis evidensi, transparan dan
partisipatoris. Kebijakan yang disusun harus memasukkan unsur sanksi dan
reward serta monitoring dan evaluasi sebagai upaya penguatan implementasi
kebijakan di masyarakat. Perkembangan dan dinamika kebijakan ASI eksklusif
perlu terus menerus dicermati agar dapat dilakukan pengawalan terhadap
kebijakan tersebut sehingga dapat diimplementasikan secara efektif.
Perlu peningkatan status hukum kebijakan ASI yang sudah ada.
Penegakkan hukum dibutuhkan dalam rangka meningkatkan komitmen
peningkatan penggunaan ASI. Rancangan Peraturan Pemerintah sebaiknya diganti
dengan Undang-undang dimana mewajibkan semua bayi mendapatkan ASI
eksklusif kecuali kondisi tertentu, ibu meninggal, bayi bibir sumbing atau yang
lainnya. Selain itu perlu dibuat aturan yang melarang pemasaran dan penjualan
susu formula umur 0-6 bulan secara bebas.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Policy brief PP no 33 tahun 2012. Kunci Sukses Kebijakan Pemberian ASI


2. Helda. Kebijakan Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol. 3, No. 5, April 2009
3. Daud Rumangun, Sri Achadi Nugraheni, Martha Irene Kartasurya. Analisis Implementasi
Program Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Remu Kota Soron. Jurnal
Manajemen Kesehatan Indonesia volume 01 tahun 2013.
4. Sandra Fikawati, Ahmad Syafiq. Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu
Eksklusif Dan Inisiasi Menyusu Dini di Indonesia. Makara, Kesehatan, vol. 14, no. 1,
juni 2010: 17-24
5. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
6. Kepmenkes RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara Eksklusif
pada Bayi di Indonesia.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 237/Menkes/SK/IV/1997 tentang Pemasaran
Pengganti ASI.
8. Siska Fiany. Analisis Kebijakan Kesehatan PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian
ASI Eksklusif.
9. Fikawati S, Syafiq A. Praktik pemberian ASI eksklusif, penyebab-penyebab keberhasilan
dan kegagalannya. Jurnal Kesmas Nasional 2009; 4(3):120-131.
10. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Ketenagakerjaan No 13/2003 Pasal 8
11. Edition, Second. n.d. Maternal and Infant Assessment for Breastfeeding and Human
Lactation.

12. Utami, Roesli. 2015. “Mengenal ASI Eksklusif.” In . Jakarta: Trubus Agriwidya.

13. Soetjiningsih. 2010. ASI : Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. p: 4-14, 16-27, 88-90.

14. Hill, Pamela D., and Jean Aldag. 1991. “Potential Indicators of Insufficient Milk Supply
Syndrome.” Research in Nursing & Health 14 (1): 11–19.
https://doi.org/10.1002/nur.4770140104.
15. Soeparmanto, Paiman, and Setia Pranata. 2005. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif Pada Bayi.” Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan 8 (17): 1–7.

16

Anda mungkin juga menyukai