Anda di halaman 1dari 3

Markus 9:30-37 (Khotbah Epistel)

Pemimpin Yang Rendah Hati

Pendahuluan
Konsep kepemimpinan umum biasanya dikaitkan dengan konsep power (kuasa), sehingga muncul
opini publik yang mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki kuasa.
Praktik kepemimpinan dengan mengandalkan kuasa seringkali identik dengan gila hormat, minta
dilayani, tirani, sombong, sewenang-wenang, dll.

Pemahaman dan praktik kepemimpinan umum sangat berbeda dengan konsep kepemimpinan yang
pernah diajarkan dan didemonstrasikan oleh Yesus Kristus. Penting digarisbawahi di sini bahwa
Tuhan Yesus tidak meniadakan kuasa. Namun Ia memutarbalikkan konsep dan praktik kuasa.
Tekanan Tuhan Yesus sama sekali bukan pada kuasa seorang pemimpin, namun kerendahan hati
seorang pelayan.

Penjelasan
Dalam nas ini secara tersirat dinyatakan bahwa Yesus sedang bergerak menuju Yerusalem dan itu
berarti berjalan menuju salib yang telah menungguNya di sana. Pada kesempatan ini Yesus
kembali memberitahukan perihal derita dan kematian yang akan Dia alami.

Dalam ayat 30 dikatakan bahwa ketika melewati Galilea bersama para muridNya, Tuhan Yesus
tidak mau diketahui orang. Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sangat mementingkan tujuan
utamaNya datang ke dalam dunia ini, serta rencana mempersiapkan para saksi mata, jauh-jauh hari
sebelum Ia meninggalkan dunia ini. Tuhan Yesus tidak mengutamakan popularitas. Pada dasarnya
Tuhan Yesus tidak suka menonjolkan diri; Ia dapat “menyembunyikan diri” selama tigapuluh
tahun, sebelum memulai tugas besarNya.

Namun ketika Tuhan Yesus sedang berbicara tentang penderitaanNya, murid-murid justru sedang
asyik ‘bertengkar’ tentang siapa yang terbesar di antara mereka (ay.34). Mereka tidak mengerti
apa yang sedang dibicarakan Yesus. Mereka asyik dengan pikiran mereka masing-masing. Mereka
tidak sungguh mengerti arti ke Mesias-an Tuhan Yesus. Mereka begitu terpaku dengan kuasa
dunia. Karena itu mereka berpikir siapa yang terbesar, siapa yang akan menjadi pemimpin setelah
kematian-Nya. Dapat kita bayangkan bagaimana perasaan Tuhan Yesus mengetahui pola pikir para
murid yang telah Dia didik secara khusus itu. Ketika Dia sedang berjalan menuju salib, mereka
justru berebut kuasa.

Mereka lupa bahwa panggilan mereka menjadi murid adalah panggilan untuk menderita bersama
Kristus. Mereka lupa bahwa mereka dipanggil untuk melayani seperti yang diteladankan oleh
Yesus sendiri. Karena itu Tuhan Yesus menegur mereka dengan berkata: “Jika seseorang ingin
menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari
semuanya” (ay.35).

Pandangan Tuhan Yesus berbeda dari pandangan dunia yang menganggap bahwa kebesaran
ditentukan oleh seberapa banyak orang yang melayani kita. Dunia memang mencari kebesaran
dalam bentuk kuasa, popularitas, dan kekayaan. Ambisi dunia adalah menerima perhatian dan
penghargaan. Lalu salahkah berambisi menjadi orang besar? Bukan demikian. Yesus ingin
meluruskan pandangan bahwa kebesaran adalah menjadi orang pertama, sementara orang lain
menjadi nomor dua, tiga, dan seterusnya. Kebesaran sejati bukan menempatkan diri di atas orang
lain supaya kita dimuliakan.

Kebesaran sejati adalah menempatkan diri kita untuk melayani dan menjadi berkat bagi sesama.
Misalnya seorang dokter. Ia dianggap besar bukan karena ia seorang spesialis yang bekerja di
rumah sakit mahal. Atau karena ia sering menjadi pembicara di seminar-seminar kesehatan. Ia
dianggap besar bila ia juga menyediakan waktunya untuk menangani dan melayani orang-orang
miskin.

Tuhan Yesus mengajarkan kepemimpinan yang sejati. Bagi yang ingin di depan haruslah menjadi
yang paling belakang.Yang ingin menjadi pemimpin, harus menjadi hamba. Untuk menjelaskan
ini, Ia lalu merangkul seorang anak kecil sebagai model (ay.36).

Seorang anak kecil tidak memiliki pengaruh sama sekali, tidak memiliki kuasa bahkan dianggap
lemah. Namun Yesus berkata, siapa yang menyambut sesamanya yang “tidak berarti”, ia
menyambut Tuhan. Kebesaran seorang pemimpin kristen tidak terletak pada berapa orang yang
menjadi pengikutnya tetapi berapa banyak orang yang dilayani. Kebesaran seorang pemimpin
kristen terletak justru pada komitmennya kepada mereka yang tersisih, kecil, marjinal, dan sering
terlupakan.

Tuhan Yesus membalikkan 180° konsep kepemimpinan yang dimiliki kebanyakan orang termasuk
para murid-muridNya. Alkitab menulis bahwa tidak seorang pun yang kuasanya melebihi Dia
(Yoh. 13:3). Keempat Injil mencatat segala perbuatan ajaib yang pernah dilakukanNya. Namun
Yesus tidak pernah sekalipun menggunakan kuasaNya untuk kepentingan diri pribadi. Ia
menganggap kuasaNya sebagai sesuatu untuk Ia pakai untuk melayani orang lain.

Refleksi
"Bagaimana pendapat Anda tentang para calon tadi?" Itulah pertanyaan yang dilontarkan seorang
wartawan majalah berita kepada seorang wanita muda di Universitas Dartmouth seusai
diadakannya acara debat di antara para calon presiden. Wanita muda itu tidak mengucapkan
sepatah kata pun mengenai posisi calon-calon itu maupun kemampuan mereka sewaktu berdebat.
Ia hanya mengucapkan, "Tak seorang pun di antara mereka yang memiliki kerendahan hati."

Hasrat untuk menjadi yang terbesar dapat mengancam keefektifan kita sebagai murid Tuhan.
Hasrat untuk dimuliakan seharusnya tidak dimiliki seorang pengikut Yesus, sebab hasrat itu akan
menggiring orang pada pemanfaatan segala cara demi ambisi yang salah. Apa solusinya? Milikilah
hati seorang hamba. Bersiaplah mengutamakan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Ingatlah
bahwa Tuhan Yesus telah rela dianggap tak berarti dan memikul salib bagi kita.

Tuhan Yesus menekankan kehadiranNya didalam diri orang-orang sederhana. Seorang anak kecil
pun dapat menjadi kehadiranNya. Jika seseorang menerima orang-orang lemah, ia menerima
Yesus. Seringkali kita lalai dalam memberikan perhatian yang layak kepada orang-orang yg kita
anggap remeh, entah karena dia bodoh, miskin, jelek, dsb.

Memiliki keinginan, harapan dan ambisi dalam hidup itu tidak salah! Tetapi apakah keinginan,
harapan, dan ambisi itu didorong oleh kesombongan diri semata untuk menjadi orang terbesar?
Apakah setiap tanggung jawab yang kita emban, misalnya sebagai pimpinan, orang tua, guru, dan
apa pun profesi hidup kita, kita hayati sebagai panggilan untuk melayani Tuhan dan sesama?

Kepemimpinan ala Tuhan Yesus Kristus sangat sulit dan sangat tidak alami. Namun konsep
tersebut terus-menerus menantang kita agar dipraktikkan. Seiring dengan itu kita juga terus-
menerus diperdaya oleh godaan ‘kuasa’, yang pernah dialami para murid; yang selalu ingin
menjadi yang terutama, yang terkemuka, yang terdepan, yang terhebat.

Kiranya Allah menolong kita untuk melepaskan diri dari jerat ‘kuasa’, dan mengalami
kemerdekaan untuk menjadi pemimpin sejati yang melayani Tuhan dan sesama dengan penuh
kerendahan hati. Amin.

Anda mungkin juga menyukai