Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PROSES TERJADINYA MASALAH


2.2.1 Definisi
Halusinasi adalah persepsi salah yang diterima panca indera dan berasal dari
stimulus eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan ke dalam pengalaman.
Beberapa halusinasi dapat dipicu, misalnya, seorang remaja lelaki yang mendengar
seoang polisi berbiara dengan dirinya saat ia mendengarkan musik. Halusinasi
dapat terjadi pada indera apa pun. Pada dasarnya, halusinasi tidak selalu berarti
penyakit kejiwaan. Sebagai contoh, halusinasi singkat cukup umum terjadi setelah
peristiwa kematian (orang yang mengalami halusinasi seolah melihat atau
mendengar orang yang meninggal. Halusinasi dapat sangat invasif, sering muncul,
dan menyerang hampir semua fungsi normal (Brooker, 2008).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Menurut Yosep (2009), halusinasi
didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak
terdapat stimulus. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang
salah (Stuart, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi
adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui
panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana
klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada
halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi, stimulusi internal
dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.
2.2.2 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) faktor predisposisi yang menyebabkan
klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu.

4
5

Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini
sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki
kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang
salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya
menjadi 35%.
2. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya dopamin,
serotonin, dan glutamat.
3. Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin.
4. Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi faktor
predisposisi skizofrenia.
5. Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia
antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi,
dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan
anaknya.
2 Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi adalah stimulasi yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping
yaitu meningkatkan stress dan kecemasan. Secara umum klien dengan gangguan
halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,
isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu
terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut Stuart dan Laraia (2001) faktor presipitasi
yang menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai
6

berikut :
a. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
c. Kondisi kesehatan, meliputi: nutrisi kurang, kurang tidur, ketidakseimbangan
irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat system syaraf pusat, kurangnya
latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
d. Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas
sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain, isolasi social,
kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan dalam bekerja,
stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan mendapat
pekerjaan.
e. Sikap atau perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus
asa,tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa
punyakekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain
darisegi usia maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku
agresif, ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
2.2.3 Tanda dan gejala
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk
terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara
sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan
gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri
tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan).
Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat,
1999).
1) Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan. Gejala klinis:
a) Menyeringai/tertawa tidak sesuai
b) Menggerakkan bibir tanpa bicara
c) Gerakan mata cepat
d) Bicara lambat
e) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
7

2) Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan. Gejala klinis:


a) Cemas
b) Konsentrasi menurun
c) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
3) Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan. Gejala klinis:
a) Cenderung mengikuti halusinasi
b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
d) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti
petunjuk)
4) Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan Gejala klinis:
a) Klien mengikuti halusinasi
b) Tidak mampu mengendalikan diri
c) Tidak mamapu mengikuti perintah nyata
d) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

2.2.4 Jenis-jenis halusinasi


Jenis-jenis halusinasi menurut Yosep, 2009 :
1. Halusinasi Pendengaran (Auditory), paling sering dijumpai dengan gejala
mendengar suara-suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya,
mendengar suara atau bunyi, mendengar suara yang mengajak bercakap-
cakap, mendengar suara yang mengancam diri klien atau orang lain atau
suara lain yang membahayakan.
2. Halusinasi Penglihatan (Visual), ditandai dengan melihat seseorang yang
sudah meninggal atau makhluk halus tertentu, melihat bayangan hantu, atau
sesuatu yang menakutkan.
3. Halusinasi Penciuman (Olfaktory), Halusinasi ini biasanya berupa
penciuman bau tertentu yang dirasakan tidak enak seperti bau mayat, darah,
atau bau masakan serta bau parfum yang menyenangkan.
4. Halusinasi Perabaan (Taktil), yaitu merasakan ada sesuatu yang
menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil, makhluk halus,
merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat panas atau dingin,
8

dan merasakan tersengat aliran listrik.


5. Halusinasi Pengecapan (gustatorik), yaitu seperti merasakan makanan
tertentu atau mengunyah sesuatu.
6. Halusinasi Hipnagogik, yaitu persepsi sensori yang salah terjadi pada saat
tertidur, biasanya dianggap sebagai fenomena yang non patologis
7. Halusinasi Hipnopompik, yaitu persepsi palsu yang salah saat terbangun
dari tidur biasanya tidak patologis
8. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood congruent hallucination), yaitu
dimana halusinasi konsisten dengan mood yang tertekan atau panik.
9. Halusinasi tidak sejalan dengan mood (mood incongruentn hallucination),
yaitu dimana isi halusinasi tidak konsisten dengan mood yang tertekan atau
panik.
10. Halusinasi kinestetik, yaitu mengatakan bahwa fungsi tubuhnya tidak dapat
terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan diotak, atau perasaan tubuhnya
melayang-layang diatas bumi.
11. Halusinasi Viseral, yaitu badannya dianggap berubah bentuk dan tidak
normal seperti biasanya.
12. Halusionis, yang paling sering adalah halusinasi dengar yang berhubungan
dengan penyalahgunaan alcohol dan terjadi dalam sensorium yang jernih,
berbeda dengan delitirum tremens (Dts), yaitu halusinasi terjadi dalam
konteks sensorium yang berkabut.
13. Trailing phenomenon, Kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-
obatan halusonogen dimana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan
citra yang terpisah dan tidak kontinyu.
14. Halusinasi Auditorik, dapat terjadi pada orang normal tetapi tidak dianggap
sebagai suatu hal yang patologis. Ada beberapa halusinasi auditorik yang
patologis yaitu; halusinasi auditorik non verbal, halusinasi auditorik verbal,
halusinasi auditorik orang ketiga, halusinasi auditorik orang kedua.
2.2.5 Fase halusinasi
Ada beberapa tahapan-tahapan pada klien dengan halusinasi antara lain
(Yosep, 2009) yaitu :
9

1. Stage I : Sleep Disorder (fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi)


Klien merasa banyak masalah, ingin menghindari dari lingkungan, takut
diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit
karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba,
dihianati kekasih, masalah dikampus, diPHK ditempat kerja, penyakit, utang, nilai
dikampus, drop out, dan sebagainya. Masalah terasa menekan karena terakumulasi
sedangkan support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
2. Stage II : Comforting Moderate level of anxiety (halusinasi secara umum
diterima sebagai sesuatu yang alami)
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas,
kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan pemikiran pada
timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya
dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan
klien merasa nyaman dengan halusinasinya.
3. Stage III : Condemning Severe level of anxiety (secara umum halusinasi
sering mendatangi klien)
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien
mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai berupayah menjaga
jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari
orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
4. Stage IV : Controlling Severe level of anxiety (fungsi sensori menjadi tidak
relevan dengan kenyataan)
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien
dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase
gangguan psikotik.
5. Stage V : Conquering Panic level of anxiety (klien mengalami gangguan
dalam menilai lingkungannya)
10

Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam dengan


datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau
perintah yang di dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama
minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik,
akan terjadi gangguan psikotik berat.
2.2.6 Rentang respon
Rentang respon halusinasi berbeda-beda untuk setiap orang. Halusinasi
merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon
neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001). Ini merupakan respon persepsi paling
maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi
dan menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui
panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan),
klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun
sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu
hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang
diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang
dilakukannya terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang
diterima.
Adapun rentang respon neurobiologis adalah sebagai berikut:
Tabel Rentang Respon Neuorobiologis (Sumber: Stuart, 2006)
Rentang Respon Neurobiologis

Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran Logis 1. Kadang proses pikir 1. Gangguan proses


2. Persepsi akurat terganggu pikir (waham)
3. Emosi konsisten 2. Ilusi 2. Halusinasi
dengan 3. Emosi 3. Kerusakan proses
pengalaman berlebihan/kurang 4. Perilaku tidak
4. Perilaku sesuai 4. Perilaku tidak biasa terorgaanisir
5. Hubungan sosial 5. Menarik diri 5. Isolasi sosial
harmonis

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma social
11

dan budaya secara umum yang berlaku didalam masyarakat, dimana individu
menyelesaikan masalah dalam batas normal yang meliputi:
1. Pikiran logis adalah segala sesuatu yang diucapkan dan dilaksanakan oleh
individu sesuai dengan kenyataan.
2. Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasaan,
dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang lain dan mengenai
kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan.
3. Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan individual
sesuai dengan stimulus yang datang.
4. Prilaku sesuai dengan cara berskap individu yang sesuai dengan perannya.
5. Hubungan sosial harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan
berkomunkasi dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan tidak
senang.
Sedangkan maladaptif adalah suatu respon yang tidak dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan budaya secara umum yang berlaku dimasyarakat, dimana
individu dalam menyelesaikan masalah tidak berdasarkan norma yang sesuai
diantaranya :
1) Gangguan proses pikir / waham adalah ketidakmampuan otak untuk
memproses data secara akurat yang dapat menyebabkan gangguan proses
pikir, seperti ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran terkontrol, pikiran
yang terisi dan lain-lain.
2) Halusinasi adalah gangguan identifikasi stimulus berdasarkan informasi
yang diterima otak dari lima indra seperti suara, raba, bau, dan pengelihatan
3) Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu tidak sesuai
dengan stimulus yang datang.
4) Perilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang tidak
sesuai dengan peran
5) Isolasi sosial adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari
lingkungan atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungan.
2.2.7 Mekanisme koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi (Stuart
& Laraia 2005) meliputi:
12

1. Regresi
Menjadi malas beraktivitas sehari-hari.
2. Proyeksi
Mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3. Menarik diri
Sulit mempercayai orang lain dan asik dengan stimulus internal. Keluarga
mengingkari masalah yang dialami klien.

2.3 POHON MASALAH

(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang


lain, dan lingkungan

(CP) : Gangguan persepsi sensori : Halusinasi

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

2.4 MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Data yang Perlu Dikaji


Keperawatan
Isolasi Sosial Subyetif:
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data
subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti
kata- kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul

2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien


nampak memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat
makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak
bercakap- cakap dengan klien lain/perawat
13

4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk

Gangguan persepsi Subyektif:


sensori : Halusinasi 1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan

2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap

3. Mendengar sesuatu yang menyuruh melakukan sesuatu yang


berbahaya
Obyektif:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menutup telinga
Resiko mencederai Subyektif:
diri sendiri, orang lain Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh,
dan lingkungan. ingin membakar, atau mengacak-acak lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-barang,
melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya

2.5 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
2. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3. Isolasi sosial; menarik diri
2.6 RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien dapat berhenti berhalusinasi

Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
4. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi
14

2.6 INTERVENSI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam merawat

3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien klien

4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala


dan jenis halusinasi yang dialami
5. Mengidentifikasi situasi yang
klien beserta proses terjadinya
menimbulkan halusinasi
3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi
halusinasi
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara
menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan
harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara merawat klien dengan halusinasi
cara bercakap-cakap dengan oang lain 2. Melatih keluarga melakukan cara

3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal merawat langsung kepada klien


kegiatan harian halusinasi
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal

2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan aktivitas dirumah termasuk minum


melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Menjelaskan follow up klien setelah

kegiatan harian pulang


15

SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

2. Memberikan pendidikan kesehatan


tentang penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.

Anda mungkin juga menyukai