Anda di halaman 1dari 20

TUGAS IMMUNO-SEROLOGIs

REAKSI HYPERSENSITIVITAS

DOSEN MATA KULIAH

Misbahul Huda, M. Kes

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

1. Kanja Rufaidah (1713453054)


2. Rizki Septia (1713453064)
3. Desi Kurniati (1713453072)
4. Rizka Widyana (1713353075)
5. Fadhil Nadrian H (1713453088)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN ANALIS KESEHATAN

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AJARAN 2019 / 2020


ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya makalah ini, sehingga berhasil menyelesaikan makalah ini,
Alhamdulillah selesai tepat pada waktunya dan diberi judul “Reaksi
Hipersensitivitas”
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari dosen dan teman-teman yang bersifat membangun,
selalu diharapkan untuk perbaikannya makalah ini.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan
makalah ini terutama untuk Dosen Mata Kuliah Imuno Serologi Ibu Misbahul
Huda, M.Kes
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita, Amin.

Bandar Lampung, 12 Agustus 2019

Penulis
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3 Tujuan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 4
2.1 Definisi Penyakit Hipersensitovitas ........................................ 4
2.2 Etiologi Penyakit Hipersensitivitas ......................................... 4
2.3 Patofiosiologi Penyakit Hipersensitivitas ............................... 5
2.4 Klasifikasi Penyakit Hipersensitivitas .................................... 6
2.5 Tanda dan Gejala Penyakit Hipersensitivitas ....................... 10
2.6 Pemeriksaan Fisik Hipersensitivitas ..................................... 12
2.7 Pemeriksaan Penunjang Hipersensitivitas ............................ 12
2.8 Diagnostik Hipersensitivitas ................................................. 13
2.9 Penanganan atau Terapi Penyakit Hipersensitivitas ............. 13
2.10Prognosis Penyakit Hipersensitivitas .................................... 15

BAB III KESIMPULAN ......................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 17


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat
non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas
humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi
5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas
seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu d engan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang
mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas,
yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap
sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi
alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi
alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya
plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul
berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat
penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan
jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease,
sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin,
yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung,
menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
2

Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein,
belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu,
terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas
enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga
dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik a ntibodi yang aktif pada waktu
tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu. Secara
umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi.
Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase
yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi
histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil
akan sangat meningkat melebihi normal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?
9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?
10. Bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui defenisi penyakit hipersensitivitas.
2. Mengetahui etiologi penyakit hipersensitivitas.
3. Mengetahui patofisiologi penyakit hipersensitivitas.
4. Mengetahui berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas.
5. Mengetahui tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas.
6. Mengetahui bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas.
3

7. Mengetahui bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas.


8. Mengetahui bagaimana diagnostik hipersensitivitas.
9. Mengetahui bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas.
10. Mengetahui bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana


tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut allergen.

2.2 Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :


asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.

b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai


janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat.

c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan


penyerapan allergen bertambah.

2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis


(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
5

b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut


prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

2.3 Patofisiologi

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh


seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi
(Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua
kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan


efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang
misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan
yang menyebabkan panas.

2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang


merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui
pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan
terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah
yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian
6

2.4 Klasifikasi

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung


atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil
hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan
awal hingga 10 – 12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksiini adalah
mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostic yang dapat digunakan untuk mendeteksi


hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA
untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan
allergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan
kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-
atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat
ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti
– histamine untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G
(IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa
alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibody berupa


immunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen
pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas
atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
7

antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi


dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi


silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan
kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel


epidermal),

b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang


dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibody kemudian berikatan dengan permukaan
sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan

c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan


glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks


imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-
antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai
dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal,
kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-
kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi,
bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-
menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan
kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi
aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa
8

organ, seperti kulit, ginjal, paru- paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu


kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena
kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit
serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga
sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya
kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan
A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan
gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang


diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi
karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu
cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi
sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan
leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum
dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga


kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan
klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
9

Tipe Waktu Penampa


reaksi kan
Histologi Antigen dan situs
klinis

Kontak 48-72 jam Eksim Limfosit, diikuti Epidermal (senyawa


(ekzema) makrofag; edema organik, jelatang atau
epidermidis poison ivy, logam
berat , dll.)

Tuberkulin 48-72 jam Pengerasan Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,


(indurasi) makrofag lepromin, dll.)
lokal

Granuloma 21-28 hari Pengerasan Makrofag, epithelo Antigen persisten atau


id dan sel raksaksa, senyawa asing dalam
fibrosis tubuh (tuberkulosis,
kusta, etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara


Imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe


1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis, beberapa
Anafilaksis antibody IgE bentuk asma bronchial Anafilaksis
pelepasan amino
vasoaktif dan

mediator lain
dari basophil
dan sel mast
rektumen sel
radang lain
10

2 Antibodi IgG atau IgM berikatan Anemia hemolitik


dengan
terhadap autoimun,
antigen antigen pada permukaan eritroblastosis
jaringan fetalis, penyakit
sel fagositosis sel
tertentu
target atau lisis sel target Goodpasture,
oleh komplemen atau pemfigus
sitotosisitas yang vulgaris

diperantarai oleh
sel yang
bergantung
antibodi

3 Penyakit Kompleks antigen- Reahsi Arthua, serum

Kompleks antibodi mengaktifkan sickness, lupus


komplemen menarik eritematosus sistemik,
Imun
perhatian nenutrofil bentuk tertentu
menjadikan pelepasan glumerulonefritis
enzim lisosom, radikal akut
bebas oksigen, dll
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,

Selular pelepasan sitokin dan dermatitis kontak,


sitotoksisitas yang penolakan
(Lambat)
diperantarai oleh sel T transplant

2.5 Tanda dan Gejala

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara
sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit
setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal,
urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan
bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
11

dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan


dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu,
otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria),
traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi). Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan
darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:

1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan


lain-lain. gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
a. kejang perut, mual
b. neuritis optic
c. glomerulonephritis
d. sindrom lupus eritematosus sistemik
e. gejala vasculitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering
menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,
ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma


12

2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal

4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

2.6 Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol –bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria, angioderma, pruritus dan pembengkakan pada bibir.

2. Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan

3. Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan

4. Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus(karena


pada orang yang menderita alergi bunyi usunya cenderung lebih meningkat)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup


seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau
alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).

2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi
makanan.

3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai
umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan
bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan
depresi imun seluler.

4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.

5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.


13

6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan


food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan
limfosit intraepitelial dan IgM. IgE (dengan mikroskop imunofluoresen).

7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.

8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

2.8 Diagnostik

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya :
stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan
dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.

2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan


pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate,
nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera),
bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus),
parasite (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal
alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin
(tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.

3. Reaksi psikologi

2.9 Terapi

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,


isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol
dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
14

bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat


maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.

b. Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin


pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan
sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah
daripada melawan kerja histamine.

c. Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan.


Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator
karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin
paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan


alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit
prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi
pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan
kadar Ig E mukosa.

3. Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika,


asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga.Imunoterapi
dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan
antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan
15

sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati


bereaksi seolah – olah mereka telah terdesensitisasi secara sempurna dan
tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed
pada kadar berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti


traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

2.10Prognosis

Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah


usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah
usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut
berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan
perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau
7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala
alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa
gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode usia
tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai
dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.
BAB III

KESIMPULAN

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana


tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap
asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut
disebut allergen.

Klasifikasi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe yaitu Hipersensitifitas


tipe I ; Hipersensitifitas tipe II ; Hipersensitifitas tipe III ; Hipersensitifitas tipe IV.
17

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C, dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Harahap, Marwali, dkk. 2000. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit. Bandung:
Alumni
Fritz H. Kayser (2004). Medical Microbiology. Thieme. ISBN 978-1-58890-245-0.
Tak W. Mak, Mary E. Saunders, Maya R. Chaddah (2008). Primer to the immune
response. Academic Press. ISBN 978-0-12-374163

Anda mungkin juga menyukai