Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KUNJUNGAN

PROTEKSI RADIASI DI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS TANJUNGPURA


PONTIANAK

Disusun:

Desi Surianti (H1021161021)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETHUAN ALAM

UNIVERSITAS TANJINGPURA

PONTIANAK

2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aplikasi teknologi nuklir telah banyak dimanfaatkan dalam kehidupan,


salah satunya dalam bidang kesehatan atau medik di bagian radiologi khususnya
profesi kedokteran yang telah lebih dari satu abad meggunakan radiografi sebagai
sarana untuk menegakkan diagnosa, menentukan rencana perawatan dan menilai
keberhasilan perawatan yang telah dilakukan. Unit pelayanan radiologi merupakan
salah satu instalasi penunjang medik yang menggunakan sumber radiasi pengion
dalam bentuk gambaran anatomi tubuh yang ditampilkan dalam film radiografi.
Selain memiliki banyak manfaat, radiasi pengion tersebut juga dapat berpotensi
mengganggu kesehatan sel dan jaringan. Oleh karena itu, prosedur penggunaannya
harus dikelola dengan baik dan hati-hati yang dilakukan dengan cara proteksi
radiasi terhadap pasien, operator, fisikawan medik, dan masyarakat di lingkungan
sekitar. Langkah proteksi yang di ambil biasanya disesuaikan dengan jumlah
paparan radiasi yang di terima dengan perbedaan tindakan yang di ambil baik itu
terhadap pasien maupun fisikawan medik yang ambil bagian dalam radiografi
tersebut.

Informasi yang harus diketahui dan merupakan langkah pertama dalam


proteksi radiasi di setiap rumah sakit yang menggunakan radiasi sebagai alternatif
pengobatan medik adalah responden mengetahui mengenai bahaya yang mungkin
timbul akibat foto ronsen, responden mengetahui mengenai resiko pasien terkena
dampak bahaya foto ronsen tersebut, responden mengetahui prinsip proteksi radiasi
dan responden mengetahui tentang pentingnya penggunaan proteksi radiasi. Hal
tersebut yang menjadi ketertarikan peneliti untuk lebih mengetahui langkah-
langkah proteksi radiasi yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura
Pontianak.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah yaitu


bagaimana tindakan proteksi radiasi yang diterapkan di rumah sakit Universitas
Tanjungpura Pontianak.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan


proteksi radiasi yang diterapkan di rumah sakit Universitas Tanjungpura Pontianak
baik itu terhadap pasien maupun Fisikawan mediknya.

1.4 Manfaat

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan


pembelajaran yang berguna baik itu secara teoritis aupun secara aplikatif kepada
setiap mahasiswa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Keselamatan radiasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang


mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan yang berkaitan
dengan pemberian perlindungan kepada seseorang atau sekelompok orang ataupun
kepada keturunannya terhadap kemungkinan yang merugikan kesehatan akibat
paparan radiasi. Keselamatan radiasi adalah bagian dari keselamatan secara
keseluruhan. Terminologi keselamatan radiasi dan proteksi radiasi sering
digunakan secara bersamaan. Proteksi radiasi berhubungan dengan pembatasan
dosis radiasi sedangkan keselamatan radiasi berhubungan dengan mengurangi
potensi kecelakaan radiasi. Menurut PP No.33 Tahun 2007, keselamatan radiasi
adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pekerja, anggota masyarakat dan
lingkungan hidup dari bahaya radiasi, sedangkan proteksi radiasi adalah tindakan
yang dilakukan untukmengurangi pengaruh radiasi yang merusak akibatpaparan
radiasi.

2.1 Keselamatan Kerja menurut ICRP


ICRP adalah organisasi ilmiah non pemerintah yang dibentuk tahun 1928
dan yang kompeten dalam memberikan rekomendasi dan pedoman mengenai
proteksi radiasi. ICRP pertama kali menerbitkan publikasinya pada tahun 1928
yang awalnya hanya memberikan perhatian pada penggunaan radiasi dalam bidang
medik dan selanjutnya berkembang mencakup kegiatan nuklir lainnya.
Rekomendasi ICRP membentuk dasar standar proteksi radiasi ke seluruh dunia,
meskipun ICRP bukan suatu badan pengawas maupun bukan standar nasional dan
internasional. Proteksi radiasi dimaksudkan agar seseorang menerima atau terkena
dosis radiasi sekecil mungkin. Falsafah baru tentang proteksi radiasi muncul dengan
diterbitkannya Publikasi ICRP No.26 Tahun 1977. Adapun tujuan utama dari
proteksi radiasi adalah:

1. Mencegah terjadinya efek non stokastik (deterministik) yang


membahayakan.
2. Meminimalkan terjadinya efek stokastik hingga ke tingkat yang cukup
rendah yang masih dapat diterima oleh individu dan lingkungan di
sekitarnya. Efek stokastik adalah efek yang kemungkinan terjadinya
merupakan akibat dari dosis radiasi yang diterima oleh seseorang tanpa
suatu nilai ambang, sedangkan efek deterministik adalah efek yang tingkat
keparahannya tergantung pada dosis radiasi yang diterima dan memerlukan
suatu nilai ambang. Efek negatif ini disebut efek somatik apabila diderita
oleh orang yang terkena radiasi dan disebut efek genetik apabila dialami
oleh keturunannya.

2.2 Asas Proteksi Radiasi

ICRP sudah sejak awal memberikan pemahaman mengenai asas proteksi


radiasi untuk mencapai tujuan proteksi radiasi, sesuai dengan rekomendasi ICRP
No.60 Tahun 1990, yaitu:

1. Asas Justifikasi
Setiap jenis pemanfaatan harus terlebih dahulu dijustifikasi antara
manfaat dan risiko, dalam hal ini manfaat yang diterima harus lebih besar
dari risiko yang ditimbulkannya.
2. Asas Limitasi
Asas limitasi diberlakukan untuk paparan kerja dan paparan
masyarakat melalui penerapan nilai batas dosis. Harus diingat bahwa nilai
batas dosis tidak berlaku untuk paparan medik dan paparan yang berasal
dari alam. Dosis yang diterima pekerja radiasi maupun masyarakat tidak
boleh melampaui nilai batas dosisyang telah ditetapkan. Semua kegiatan
yang mengandung resiko paparan radiasi cukup tinggi dapat ditangani
sedemikian rupa dengan menggunakan program proteksi radiasi yang
disusun secara baik sehingga nilai batas dosis yang ditetapkan tidak akan
terlampaui.
3. Asas Optimasi
Semua penyinaran harus diupayakan agar besarnya dosis yang
diterima serendah-rendahnya sesuai prinsip ALARA (as low as reasonably
achieveable) dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi.
Kegiatan pemanfaatan radiasi harus direncanakan dan sumber radiasi harus
dirancang serta dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi yang
terjadi dapat ditekan serendah-rendahnya. Dalam kaitannya dengan
penyusunan program proteksi radiasi, asas optimasi mengandung
pengertian bahwa setiap komponen dalam program telah dipertimbangkan
secara seksama, termasuk besarnya biaya yang dapat dijangkau. Suatu
program proteksi radiasi dikatakan memenuhi asas optimasi apabila semua
komponen dalam program tersebut disusun dan direncanakan sebaik
mungkin dengan memperhitungkan biaya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomi.

Acuan Dasar Proteksi Radiasi Untuk mencapai tujuan program proteksi


radiasi, baik untuk pekerja radiasi maupun masyarakat, diperlukan adanya acuan
dasar sehingga setiap kegiatan proteksi radiasi harus sesuai dengan acuan dasar tadi.
Sesuai dengan rekomendasi ICRP, dalam setiap kegiatan proteksi radiasi dikenal
adanya standar dalam nilai batas dan tingkat acuan. Nilai batas terdiri dari nilai
batas dasar, nilai batas turunan, dan nilai batas ditetapkan. Sedangkan tingkat acuan
terdiri dari tingkat pencatatan, tingkat penyelidikan, dan tingkat intervensi.

Nilai batas dasar untuk tujuan proteksi radiasi tidak dapat diukur secara
langsung. Sedangkan dalam pelaksanaan program proteksi radiasi, rencana
program pemantauan radiasi memerlukan metode interpretasi untuk secara
langsung dapat menunjukkan bahwa hasil pemantauan itu sesuai dengan batas
dosis.

2.3 Acuan Dasar Proteksi Radiasi

Untuk mencapai efisiensi dalam proteksi radiasi, dipandang perlu


memperkenalkan nilai batas turunan yang menunjukkan hubungan langsung antara
nilai batas dasar dan hasil pengukuran. Nilai batas turunan adalah besaran terukur
yang dapat dihubungkan dengan nilai batas dasar menggunakan suatu model.
Dengan demikian, hasil pengukuran yang sesuai dengan nilai batas turunan secara
otomatis akan sesuai dengan nilai batas dasar. Sedangkan nilai batas ditetapkan
adalah besaran terukur yang ditetapkan oleh pemerintah maupun peraturan lokal
pada suatu instansi. Nilai batas ditetapkan biasanya lebih rendah dari nilai batas
turunan, ada juga kemungkinan keduanya sama.
Tingkat acuan bukan merupakan nilai batas tetapi dapat digunakan untuk
menentukan suatu tindakan dalam hal suatu nilai besaran melampaui atau
diramalkan dapat melampai tingkat acuan. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan
program pemantauan radiasi perlu menggunakan tingkat acuan. Pelaksanaan
program proteksi radiasi memerlukan tingkat acuan dan tindakan nyata yang perlu
diambil jika suatu besaran mencapai nilai acuan. Tingkat acuan ini akan sangat
membantu penguasa instalasi atom dalam upaya mencapai tujuan proteksi radiasi.
Ada tiga tingkat acuan, yaitu:

1. Tingkat Pencatatan
Tingkat pencatatan yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka suatu hasil
pengukuran harus dicatat. Nilai dari tingkat pencatatan harus kurang dari
1/10 dari nilai batas dosis ekuivalen tahunan. Hasil pengukuran yang berada
di bawah nilai tingkat pencatatan tidak perlu proses lebih lanjut.
2. Tingkat Penyelidikan
Tingkat penyelidikan yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka
penyebab atau implikasi suatu hasil pengukuran harus diselidiki. Tingkat
penyelidikan harus kurang dari 3/10 dari nilai batas dosis ekuivalen tahunan.
3. Tingkat Intervensi
Tingkat intervensi yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka beberapa
tindakan penanggulangan harus diambil. Tingkat intervensi harus
ditentukan sehingga tindakan penanggulangan tidak mempengaruhi kondisi
operasional normal.

2.4 Nilai Batas Dosis (NBD)

Nilai Batas Dosis (NBD)Dosis radiasi yang diterima oleh seseorang dalam
menjalankan suatu kegiatan tidak boleh melebihi NBD yang telah ditentukan oleh
pihak yang berwenang. Semuakegiatan yang mengandung risiko paparan radiasi
cukup tinggi dapat ditangani sedemikian rupa dengan menggunakan program
proteksi radiasi yang disusun dan dikelola secara baik sehingga NBD yang telah
ditetapkan tidak akan terlampaui.ICRP mendefinisikan dosis maksimum yang
diizinkan diterima seseorang sebagai “dosisyang diterima dalam jangkawaktu
tertentu atau dosis yang berasal dari penyinaran intensif seketika, yang menurut
tingkatpengetahuan dewasa ini memberikan kemungkinan yang dapat diabaikan
tentang terjadinya cacat somatik gawat atau cacat genetik”.

Sejarah perkembangan NBD tidak lepas dari munculnya kesadaran akan


pentingnya proteksi radiasi yang dimulai pada awal tahun 1920-an. Dari waktu ke
waktu, ICRP selalu memperbaiki dan menyempurnakan rekomendasinya mengenai
perlindungan terhadap bahaya radiasi.

Konsep terbaru mengenai prisip-prinsip dasar proteksi radiasi telah


diperkenalkan dalam publikasi ICRP No. 60 tahun 1990 dan terjadi penurunan
NBD efektif tahunan. Penurunan ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
dari resiko yang lebih besar akibat paparan radiasi pengion dan semata-mata bukan
disebabkan oleh penurunan batas resiko yang dapat diterima, melainkan disebabkan
oleh perubahan cara menghitung atau mengestimasi peluang terjadinya resiko yang
dapat diterima. Dosis 1 mSv/tahun ini mengakibatkan timbulnya peluang kematian
karena kanker sebesar 4 x 10^-3. Angka ini sama dengan peluang kematian karena
kanker oleh sebab-sebab lain (karsinogenik kimia) pada semua orang dengan masa
usia kerja. Radiasi 1 mSv/tahun untuk masyarakat tidak termasuk radiasi alam yang
mau tidak mau harus diterima oleh setiap orang.

NBD berdasarkan ICRP No.60 Tahun 1990 ini belum digunakan di


Indonesia karena penentuan ini tidak diperhitungkan dengan dosis yang diperoleh
dari kegiatan medik.16,17 Adapun ketentuan NBD berdasarkan ICRP No.60 Tahun
1990 adalah sebagai berikut.

a. Pekerja Radiasi
NBD yang tidak boleh dilampaui setiap pekerja radiasi akibat
penyinaran kerja, adalah dosis efektif 20 mSv/tahun dirata-ratakan selama
5 tahun berturut-turut, dosis efektif maksimum 50 mSv selama setahun,
dosis ekuivalen 150 mSv/tahun untuk lensa mata, dosis ekuivalen 500
mSv/tahun untuk kulit, tangan dan kaki.
b. Siswa dan Magang (Usia 16 – 18 Tahun)
Siswa dan magang yang menggunakan penyinaran radiasi dan
menggunakan sumber radiasi dalam studinya harus diawasi sehingga NBD-
nya adalah dosis efektif 6 mSv/tahun, dosis ekuivalen 50 mSv/tahun untuk
lensa mata, dosis ekuivalen 150 mSv/tahun untuk kulit, tangan dan kaki.
c. Keadaan Khusus
Walaupun sudah berusaha sebaik-baiknya untuk melaksanakan
semua ketentuan keselamatan kerja, namun untuk sementara perubahan
nilai batas dosis masih diperlukan dan telah disetujui. Maka, Masa rata-rata
dapat diperpanjang menjadi 10 tahun berturut-turut, perubahan sementara
ditentukan oleh instansi berwenang tetapi tidak boleh lebihdari 50 mSv
selama setahun dan perubahan sementara ini tidak boleh lebih dari lima
tahun.
d. Masyarakat Umum
Dosis rata-rata yang diperkirakan akan diterima oleh masyarakat
umum tidak boleh lebih besar dari NBD dosis efektif 1 mSv/tahun, dalam
kondisi khusus dosis efektif 5 mSv selama setahun dan rata-rata selama lima
tahun berturut-turut tidak lebih dari 1 mSv/tahun, dosis ekuivalen 15
mSv/tahun untuk lensa mata, dosis ekuivalen 50 mSv/tahun untuk kulit,
tangan dan kaki.

NBD antara pekerja radiasi berbeda dengan masyarakat umum. Adapun


alasan yang membedakan hal ini adalah: Jumlah anggota masyarakat jauh lebih
besar dibandingkan jumlah pekerja radiasi sehingga efek kelainan per sievert dosis
radiasi yang diterima tubuh akan menimpa lebih banyak kepada masyarakat
dibanding pekerja radiasi. Hubungan kerja yang melibatkan resiko penyinaran
dalam pekerjaan bersifat sukarela dan bahaya radiasi yang dihadapi dapat diketahui
sebelumnya. Pekerja radiasi telah dipilih sedemikian rupa sehingga mereka yang
dianggap tidak mampu menghadapi setiap bahaya tertentu akan disalurkan untuk
kegiatan yang lain. Dalam suatu instalasi nuklir, bahaya radiasi dapat dievaluasi
dan diawasi melalui pemantauan radiasi. Anggota masyarakat adalah bukan pekerja
radiasi yang kemungkinan besar terdiri dari anak-anak dan janin yang lebih peka
terhadap kerusakan radiasi dan mungkin juga terdiri dari orang lanjut usia yang
mungkin lebih mudah terpengaruh oleh kerusakan radiasi. Jangka waktu
penyinaran pekerja radiasi lebih pendek dibandingkan jangka waktu penyinaran
oleh lingkungan luar. Setiap instalasi tidak dibenarkan untuk mengenakan ukuran
penuh dari bahaya pekerjaan yang khusus untuk sekitarnya.

2.5 Keselamatan kerja menurut BAPETEN

BAPETEN adalah instansi yang bertugas melaksanakan pengawasan


melalui peraturan, perizinan dan inspeksi terhadap segala kegiatan pemanfaatan
tenaga nuklir. BAPETEN merupakan Lembaga Pemerintah Non-Kementrian
(LPNK) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden,
yang dibentuk berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 dan
dilaksanakan melalui Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja, yang
beberapa kali telah diubah dan terakhir dengan Peraturan Presiden RI Nomor 64
Tahun 2005. Di dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tersebut
disebutkan bahwa tugas pokok BAPETEN ialah melaksanakan tugas pemerintah di
bidang pengawasan tenaga nuklir melalui peraturan, perizinan dan inspeksi.
Pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia didasarkan pada
Pasal 14 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa
pengawasan terhadap tenaga nuklir dilaksanakan oleh Badan Pengawas melalui
peraturan, perizinan dan inspeksi meliputi aspek keselamatan (safety), keamanan
(security) dan safeguards. Untuk itu diharapkan dalam melaksanakan tugasnya
BAPETEN memberikan rasa aman dan tenteram bagi pekerja dan masyarakat serta
perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Menurut BAPETEN, keselamatan radiasi adalah tindakan yang dilakukan


untuk melindungi pasien, pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup
daribahaya radiasi. Sedangkan proteksi radiasi adalah tindakan yang dilakukan
untukmengurangi pengaruh radiasi yang merusak akibat paparan radiasi. Paparan
radiasi merupakan penyinaran radiasi yang diterima oleh manusia atau materi, baik
disengaja atau tidak, yang berasal dari radiasi interna maupun eksterna.

Dari segi ilmiah dan teknik, ruang lingkup proteksi radiasi meliputi:
pengukuran fisika berbagai jenis radiasi dan zat radioaktif, Menentukan hubungan
antara tingkat kerusakan biologi dengan dosis radiasi yang diterima organ/jaringan,
penelaahan transportasi radionuklida di lingkungan, Melakukan desain terhadap
perlengkapan kerja, proses dan sebagainya untuk mengupayakan keselamatan
radiasi baik di tempat kerja maupun lingkungan.

Proteksi radiasi dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: Proteksi


radiasi kerja yang merupakan perlindungan pekerja, Proteksi radiasi medis yang
merupakan perlindungan pasien dan pekerja radiasi, Proteksi radiasi masyarakat
yang merupakan perlindungan individu, anggota masyarakat dan penduduk secara
keseluruhan.

Prosedur yang biasa dipakai untuk mencegah dan mengendalikan bahaya


radiasi adalah: Meniadakan bahaya radiasi dengan mentaati dan melaksanakan
peraturan proteksi radiasi, mengisolasi bahaya radiasi dari manusia dengan
merancang tempat kerja dan menggunakan peralatan proteksi radiasi yang baik
serta penahan radiasi yang memadai sehingga kondisi kerja dan lingkungannya
aman, Mengisolasi manusia dari bahaya radiasi yang memerlukan pemonitoran dan
pengawasan secara terus menerus baik pekerja radiasi maupun lingkungannya.

2.6 Prinsip Proteksi Radiasi

Sumber radiasi memancarkan radiasi pengion yang berbahaya. Untuk memproteksi


diri dari sumber radiasi, maka diterapkan tiga strategi dasar yang dikenal sebagai
prinsip proteksi radiasi, yaitu:

1. Waktu Kurangi
waktu berada di sekitar sumber radiasi. Sedapat mungkin
diupayakan untuk tidak terlalu lama berada di dekat sumber radiasi saat
proses radiografi untuk mengurangi dosis radiasi yang diterima secara
proporsional. Semakin minimal waktu bekerja maka akan semakin minimal
dosis yang diterima.
2. Jarak
Posisikan diri sejauh mungkin dari sumber radiasi. Besarnya
paparan radiasi akan menurun sebanding dengan kebalikan kuadrat jarak
terhadap sumber. Menjauhkan sumber radiasi dengan faktor dua maka akan
menurunkan intensitasnya menjadi seperempatnya dan menjauhkan jarak
sumber radiasi dengan faktor tiga maka akan menurunkan intensitas radiasi
menjadi sepersembilannya.
3. Perisai (Shielding)
Pilih dan gunakan perisai yang sesuai selama melakukan pekerjaan
dengan sumber radiasi. Perisai yang tepat dapat menurunkan secara
eksponensial paparan radiasi gamma dan menghalangi hampir semua sinar
radiasi beta. Pilih dan gunakan perisai yang sesuai selama melakukan
penelitian atau pekerjaan dengan sumber radiasi. Gunakan pelindung
berupa apron, sarung tangan dan kaca mata berlapis timbal (Pb) yang
merupakan sarana proteksi radiasi individu. Proteksi lingkungan terhadap
radiasi dapat dilakukan dengan melapisi ruang radiografi menggunakan
Pbuntuk menyerap radiasi yang terjadi saat proses radiografi.

Tujuan utama program proteksi dan keselamatan radiasi adalah


menunjukkan tanggung jawab Pemegang Izin melalui penerapan struktur
manajemen, kebijakan dan prosedur yang sesuai dengan sifat dan tingkat risiko.
Ketika inspeksi dilakukan di suatu fasilitas, dokumen program proteksi dan
keselamatan radiasi menjadi salah satu topik diskusi antara tim inspeksi dengan
Pemegang Izin, Petugas Proteksi Radiasi (PPR) dan praktisi medik.

2.7 Alat Proteksi Radiasi

Berikut ini adalah beberapa alat proteksi radiasi yang biasa digunakan
dalam radiologi medik terutama radiologi kedokteran gigi sesuai yang
direkomendasikan oleh BAPETEN.

a. Baju Pelindung
Pakaian pelindung untuk pekerja radiasi berbeda dengan yang
digunakan di bengkel mekanik atau elektrik. Pakaian kerja yang digunakan
di daerah instalasi nuklir tidak boleh dibawa pulang dan harus
dibersihkan/dicuci dan didekontaminasi oleh masing-masing instalasi.
Pakaian yang akan diperlakukan sebagai limbah radioaktif dikelola oleh
bidang keselamatan satuan kerja. Berbagai jenis pakaian pelindung
diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 2.1 Pakaian Pelindung Radiasi
Untuk melindungi tubuh atau bagian tubuh dari kemungkinan terkena
paparan radiasi berlebih, digunakan pakaian pelindung radiasi yang disebut
apron. Pakaian pelindung radiasi ini digunakan oleh pekerja radiasi yang
menangani sumber radiasi tinggi pada jarak jangkau tertentu. Pakaian ini
bahannya mengandung timah hitam atau timbal (Pb). Apron yang setara
dengan 0,2 mm Pb atau 0,25 mm Pb untuk penggunaan pesawat sinar-X
radiologi diagnostik dan 0,35 mm Pb atau 0,5 mm Pb untuk pesawat sinar-
X radiologi intervensional. Tebal kesetaran timah hitam harus diberi tanda
secara permanen dan jelas pada apron tersebut.
b. Pelindung Gonad
Pelindung gonad yang setara dengan 0,2 mm Pb atau 0,25 mm Pb
untuk penggunaan pesawat sinar X Radiologi Diagnostik dan 0,35 mm Pb
atau 0,5 mm Pb untuk pesawat sinar X Radiologi Intervensional. Tebal
kesetaran Pb harus diberi tanda secara permanen dan jelas pada apron
tersebut. Proteksi ini harus dengan ukuran dan bentuk yang sesuai untuk
mencegah gonad secara keseluruhan dari paparan berkas utama.
c. Pelindung Tiroid
Pelindung tiroid yang terbuat dari bahan yang setara dengan 1 mm
Pb.
d. Tabir
Tabir yang digunakan oleh pekerja harus dilapisi dengan bahan yang
setara dengan 1 mm Pb. Ukuran tabir adalah dengan tinggi 2 m dan lebar 1
m yang dilengkapi dengan kaca intip Pb yang setara dengan 1 mm Pb.
Alat Monitoring Dosis Perorangan Alat monitoring yang digunakan untuk
memantau dosis perorangan sesuai rekomendasi BATAN adalah:

a. Film Badge
b. Termoluminisensi Dosimeter (TLD)
c. Dosimeter perorangan pembacaan langsung secara analog atau digital.

Alat Monitoring Paparan Radiasi Peralatan pemantau paparan radiasi


seperti surveymeter tidak dipersyaratkan untuk penggunaan pesawat sinar-X
radiologi diagnostiktetapi, sedangkan untuk penggunaan pesawat sinar-X radiologi
intervensional sebaiknyatersedia surveymeter.
BAB III

PEMBAHASAN

Proteksi radiasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan


keselamatan kerja di bidang radiasi khususnya pada bidang kesehatan yang
memanfaatkan radiasi sebagai alternatif pengobatan pada pasien. Pada dasarnya
proteksi radiasi sangat memperhatikan asas proteksi radiasi yaitu Setiap jenis
pemanfaatan harus terlebih dahulu dijustifikasi antara manfaat dan risiko, dalam hal
ini manfaat yang diterima harus lebih besar dari risiko yang ditimbulkannya.
Kemudian paparan kerja dan paparan kepada masyarakat melalui penerapan nilai
batas dosis. Dosis yang diterima pekerja radiasi maupun masyarakat tidak boleh
melampaui nilai batas dosis yang telah ditetapkan. Semua kegiatan yang
mengandung resiko paparan radiasi cukup tinggi dapat ditangani sedemikian rupa
dengan menggunakan program proteksi radiasi yang disusun secara baik sehingga
nilai batas dosis yang ditetapkan tidak akan terlampaui. Semua penyinaran harus
diupayakan agar besarnya dosis yang diterima serendah-rendahnya sesuai prinsip
ALARA (as low as reasonably achieveable) dengan mempertimbangkan faktor
sosial dan ekonomi. Kegiatan pemanfaatan radiasi harus direncanakan dan sumber
radiasi harus dirancang serta dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi
yang terjadi dapat ditekan serendah-rendahnya. Dalam kaitannya dengan
penyusunan program proteksi radiasi, asas optimasi mengandung pengertian bahwa
setiap komponen dalam program telah dipertimbangkan secara seksama, termasuk
besarnya biaya yang d apat dijangkau. Suatu program proteksi radiasi dikatakan
memenuhi asas optimasi apabila semua komponen dalam program tersebut disusun
dan direncanakan sebaik mungkin dengan memperhitungkan biaya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 21 Mei 2019 di Rumah
Sakit Universitas Tanjungpura Pontianak, dimana pada penelitian ini diperoleh
informasi yang menyatakan bahwa prosedur radioterapi di rumah sakit ini sangat
memperhatikan asas proteksi radiasi, dan sangat memperhatikan setiap tindakan
yang harus diambil dalam penanganan pasien. Di rumah sakit Universitas
Tanjungpura Pontianak ini terdapat 1 fisikawan medik dan 5 petugas radioterapi
yang bertugas dalam proses radiasi pasien. Adapun proteksi radiasi yang diberikan
pada pasien di rumah sakit ini adalah berupa apron yang dilengkapi timbal (Pb)
yang berfungsi menyerap paparan radiasi sehingga melindungi jaringan sehat lain
dari paparan radiasi.

Gambar 3.1 Apron timbal (Pb) Anti Radiasi

Menurut jurnal zaenal abidin pada tahun 2015, tentang analisis bahan apron
sintetis dengan filler timbal, apron proteksi radiasi harus mempunyai sifat-sifat
pendukung lain seperti kuat dan nyaman saat digunakan sehingga apron tersebut
layak dipakai. Sesuai dengan ketentuan pada Perka BAPETEN No 8 tahun 2011,
disebutkan bahwa dalam penggunaan pesawat sinar-X radiologi diagnostik dan
intervensional, pemegang izin harus menyediakan apron yang setara dengan dengan
0,2 mm Pb, atau 0,25 mm Pb untuk penggunaan pesawat sinar-X radiologi
diagnostik, dan 0,35 mm Pb, atau 0,5 mm Pb untuk pesawat sinar-X radiologi
intervensional.

Sedangkan untuk setiap petugas dan fisikawan medik yang bertugas di saat
itu, tersedia ruang monitor yang berfungsi sebagai tempat petugas memonitor
proses radiasi pasien dan sekaligus sebagai sarana proteksi radiasi bagi petugas itu
sendiri. Ruangan khusus peralatan medis bersumber radiasi pada rumah sakit ini
juga dilapisi dengan timbal (Pb) setebal 15 cm yang berfungsi menyerap radiasi
dari aktivitas penyinaran agar tidak terpapar ke luar ruangan. Selain itu, terdapat
ruangan monitor yang dilengkapi dengan kaca timbal anti radiasi yang berfungsi
sebagai akses petugas untuk memberikan arahan kepada pasien dan melindungi
petugas dari paparan radiasi secara langsung, karena kaca tersebut terbuat dari
bahan timbal yang berfungsi menyerap radiasi.

Gambar 3.2 Ruang Monitor Petugas Radiologi

Selain itu, setiap petugas dibekali dengan penghitung dosis radiasi berupa TLD
yang berfungsi mencatat jumlah radiasi yang terpapar kepada petugas dalam kurun
waktu tertentu. Pemantauan dosis radiasi eksternal dilakukan dengan menggunakan
dosimeter perorangan yaitu dosimeter termoluminesens (TLD) sesuai dengan
medan radiasi yang ada. Setiap pekerja radiasi diberi 2 (dua) badge TLD misalnya
seri A dan seri B. TLD dipakai bergantian setiap periodenya untuk memantau dosis
radiasi eksternal. Dosis radiasi eksternal yang direkam dalam TLD adalah dosis
ekivalen kulit (surface dose) atau Hp(0,07) dan dosis ekivalen seluruh tubuh (deep
dose) atau Hp(10). Dalam 3 bulan sekali TLD ini akan di kirim ke pusat
pengawasan radiasi untuk melihat seberapa besar dosis radiasi eksternal yang
diterima petugas. Sebelum digunakan TLD harus dipanaskan terlebih dahulu pada
suhu tertentu untuk menghapus energi yang masih tersisa didalam TLD. Sistim
pambacaan TLD secara garis besar terdiri dari planchet, PMT dan elekrometer.
Planchet berfungsi untuk meletakkan dan memanaskan materi TLD, PMT berfungsi
menangkap cahaya luminisensi dan mengubah menjadi sinyal listrik, dan
memperkuat sinyal akhir, elektrometer berfungsi mencatat sinyal PMT dalam
satuan arus atau muatan. Sinyal hasil pembacaan TLD disebut kurva pancar atau
“glow curve”. Kurva pancar diperoleh dengan memberikan panas dengan laju
kenaikan panas secara konstan sampai suhu tertentu, dan kurva digambarkan
sebagai fungsi suhu.
Gambar 3.3 Dosimeter termoluminesens (TLD)

Pada penelitian hasnel tahun 2011 diperoleh hasil yang menyatakan bahwa TLD
yang digunakan dalam komparasi memiliki sensitivitas yang baik untuk radiasi dan
interval dosis yang lebar dapat diukur. Pada saat ini, lebih dari 90% pekerja radiasi
menggunakan TLD ini untuk mengukur paparan dosisperorangan. Pada tahun 2016
nabilah melakukan penelitian di rumah sakit Diponegoro dan menggunakan
parameter bahwa pemantauan dosis radiasi bagi radiografer dilakukan dengan
menggunakan alat pemantauan dosis perorangan dan telah sesuai dengan Perka
BAPETEN No. 8 Tahun 2011, yaitu TLD yang dipakai oleh pekerja selama tiga
bulan, kemudian dilaporkan kepada BPFK, nantinya akan menerima hasil laporan
pemantauan dosis, yang berlangsung setiap bulannya. Hasil laporan TLD tersebut
didokumentasikan dan di catat oleh petugas radiasi dan dari hasil laporan TLD
pekerja/personil radiologi dosis radiasi yang diterima pekerja masih dibawah nilai
batas dosis yaitu <0,1 mSv perbulan.

Kondisi pasien adalah hal utama yang sangat diperhatikan di setiap rumah
sakit. Terutama di bidang radioterapi yang memanfaatkan radiasi dalam setiap
aplikasinya. Hal yang biasanya sangat berpengaruh bagi kelayakan pasien untuk
menerima tindakan radioterapi adalah seberapa jumlah radiasi yang pernah diterima
pasien sebelumnya, layak atau tidaknya untuk pasien diberikan radiasi lagi, dan
seperti apa kondisi pasien pada saat itu. Terutama bagi pasien yang sedang dalam
kondisi hamil dengan usia kehamilan 1-3 bulan tidak diberikan radiasi karena masih
dalam usia kehamilan yang tergolong sensitif dan akan berdampak buruk bagi janin.
Sbelum melakukan tindakan radiasi, ibu hamil harus melalui beberapa tahap
pemeriksaan dan menggunakan baju khusus untuk melindungi bagian yang sensitif.
Tindakan radioterapi termasuk jarang dilakukan pada pasien yang sedang hamil.
Biasanya untuk menghindari dampak buruk dari radioterapi dengan paparan radiasi
yang cukup besar, diambil tindakan USG sebagai alternatif yang tergolong lebih
aman bagi pasien yang sedang hamil.

Gambar 3.4 Peralatan USG


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Proteksi radiasi merupakan hal yang sangat diperhatikan baik itu terhadap
pasien, petugas radioterapi, maupun lingkungan sekitar di rumah sakit Universitas
Tanjungpura Pontianak ini. Dimana dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat
peralatan-peralatan proteksi radiasi berupa jas tiroid yang di dalamnya terdapat
Timbal (Pb) sebagai pelindung pasien dari paparan radiasi. Semua ruangan
radioterapi dilapisi dinding dengan bahan dasar Timbal (Pb) dengan ketebalan
mencapai 15 cm.

4.2 Saran

Pada karya ilmiah ini masih terdapat berbagai informasi yang kemungkinan
besar akan terbaharui, untuk informasi yang lebih akurat dan terpercaya sebaiknya
dilakukan pengumpulan informasi yang lebih mendalam dan dalam waktu yang
optimal unruk mengumpulkan data-data serta fakta-fakta yang menjadi dasar
penguat dari setiap keterangan yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, S.M. Kajian Standar Nasional Indonesia 18-6480-2000, Untuk


Pengukuran Ekivalensi Timbal Bahan Proteksi Sinar-X. Proseding
Seminar Pengembangan Teknologi Dan Perekayasaan Instrumentasi
Nuklir, Serpong 20 Mei 2003. Diakses pada 5 Juni 2019

http://reponkm.batan.go.id/2592/1/SB_016_BATAN_2014_Proteksi_dan_Kesela
matan_ Radiasi _BATAN.pdf. Diakses pada 16 juni 2019

Dahlan, M,S., 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan edisi 3. Salemba Medika. Jakarta.

Fairusiyyah, Nabilah., dkk. 2016.”Analisis Implementasi Manajemen Keselamatan


Radiasi Sinar-x Di Unit Kerja Radiologi Rumah Sakit Nasional Diponegoro
SemarangHttps://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/13278.
Diakses pada 16 Juni 2019

Muhammad Zuhrif Hudaya. Pembuatan Kurva Isodosis Pada Ruangan Pesawat


Sinar-X di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Laporan Kerja Praktek,
Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2008. Di akses pada 5 Juni 2019.

Mondjo. “Dosis Radiasi”. Kuliah Proteksi Radiasi, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Handout matkul Proteksi
Radiasi, 12 Oktober 2011. Di akses pada 5 Juni 2019

Prayitno, G. Perhitungan Ketebalan Bahan Komposit Karet Alam Timbal Oksida


Untuk Proteksi Radiasi Sinar X – 100 keV. Jurnal Perangkat Nuklir Vol.03,
No.05, BATAN, Jakarta, Mei 2009. Di akses pada 6 Juni 2019

Rudi, Pratiwi, Susilo. “Pengukuran Paparan Radiasi Pesawat Sinar-X di Instalasi


Radiodiagnostik untuk Proteksi Radiasi”. Unnes Physics Journal, 1:19-24,
2012. Di akses pada 6 Juni 2019

Sofyan, hasnel.2011.”Monitoring Dosis Radiasi Perseorangan”. Jakarta: Pusat


Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi-BATAN.
https://media.neliti.com/media/publications/241724-monitoring-dosis-
radiasi-perorangan-meng-8046234d.pdf. Diakses pada 16 juni 2019

Wiryosimin, Suwarno. Mengenal Asas Proteksi Radiasi. Institut Teknologi


Bandung. Bandung, 1995.

Anda mungkin juga menyukai