Anda di halaman 1dari 84

TUTORIAL RESUME

SKENARIO 4 : HIDUNG BERDARAH


KELOMPOK TUTORIAL A
ANGGOTA :
M. ERDIAN DWI R 1320101010101
ZAIN IRFAN RAFLI 152010101046
LAYLATUL FITRIAH M. 172010101003
SYAHDA NABILLA ARISTAWIDYA 172010101017
DWI AYU NOVINDA SARI 172010101021
LAILATUL MAGHFIROH 172010101029
VIOLITA INDRA SUSETIYO 172010101034
NADILLA APRILYA PRATIWI 172010101064
EZZALANA IKVINA DINA K 172010101073
WYNNE BELLYNDA P 172010101079
FARAH FITRIYAH BASAR 172010101086
AHMAD RIFQI MUAVI 172010101089
ZHAFIRAH RANA LABIBAH 172010101091
CALISTA PADMA PARAMITHA S 172010101099
NOVAL HIDAYAT 1720101010121

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
SKENARIO 4
HIDUNG BERDARAH
Amin usia 18 tahun dibawa ke UGD karena darah keluar dari hidung kanan. Dari
anamnesis diketahui pasien mengalami kecelakaan saat mengendarai motor. Pada pemeriksaan
didapatkan pasien tampak pucat dan gelisah, napas tersengal-sengal,dan merintih kesakitan.
Tekanan darah 90/60 mmHg, denyut nadi 112 x/menit, frekuensi napas 40 x/menit dan
temperatur 37°C. Pada status lokalis hidung ditemukan serpihan kecil kaca, dada kanan memar
kebiruan, gerak nafas tertinggal, krepitasi, serta suara nafas yang menghilang pada hemithorax
kanan. Dokter segera melakukan tindakan life saving, juga meminta untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan rontgen.

KLASIFIKASI ISTILAH
 Hemithorax : salah satu bagian dada
 Krepitasi : berasal dari Bahasa Yunani “crepitus”, artinya gemeretak. Terjadi
pengeluaran gas pada sendi. Ini terjai pada tulang (karena gesekan tulang), emfisema
subkutis (bunyi krik krik), dan paru (karena ada edema, bunyi seperti pada gesekan
rambut)
 Life saving : tindakan untuk mengembalikan oksigenasi,ventilasi, sirkulasi dengan
tindakan ABCDE
 Memar : perdarahan pada subkutis karena benda tumpul sehingga darah
terkumpul
 Rontgen :tindakan radiasi menggunakan gelombang elektromagnetik yang
biasanya untuk diagnosis

RM

1. BAGAIMANA MEKANISME HIDUNG BERDARAH?

Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis
eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri
fasialis dan arteri maksilaris.Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari
arteri fasialis.Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai
ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan
memberikan enam percabangan : a.alveolaris posterior superior, a.palatina desenden ,
a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal dan a. pharyngeal. Arteri palatina desenden
turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali
ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum
anterior.
Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam
tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan.Arteri
etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior.Arteri
etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada
lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan
memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk
ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum.1-8
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous anterior
dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior.

Lalu ada epistaksis posterior. Kemungkinan pasien mengalami epistaksis posterior karena
pasien sampai masuk ke UGD yang menandakan adanya pendarahan massif. Epistaksis
posterior terjadi karena adanya trauma pada plexus woodruff sehingga pembuluh darah pecah
dan darah keluar dari pembuluh darah.

2. BAGAIMANA MEKANISME PUCAT DAN NAPAS PASIEN TERSENGAL


SENGAL?

Di scenario dikatakan bahwa Amin masuk ke UGD dan darah keluar dari hidung.
Kemungkinan pendarahan ini merupakan pendarahan massif sehingga hemoglobin dalam
tubuh berkurang. Berkurangnya jumlah hemoglobin ini menyebabkan pasien menjadi pucat
dan juga berkurangnya oksigen yang beredar dalam pembuluh darah.
3. BAGAIMANA BISA DADA KANAN AMIN KEBIRUAN?

Pada scenario dikatakan Amin mengalami kecelakaan. Ini kemungkinan pada saat
kecelakaan, Amin terkena benda tumpul pada dadanya sehingga bias mengalami kebiruan.
Adanya trauma ini menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena atau arteriol kecil. Kemudian
darah keluar dari pembuluh darah masuk kejaringan yg menyebabkan darah menggumpal.
Kebiruan ini didapatkan dari adanya endapan sel darah pada jaringan kemudian fagositosis dan
di daur ulang oleh makrofag. Warna biru merupakan hasil konversi dari hemoglobin menjadi
bilirubin lalu bilirubin akan dikonversi menjadi hemosiderin yang warna cokelat.

4. BAGAIMANA INTERRETASI TTV PASIEN?

Tekanan darah 90/60 mmHg : hipotensi


Denyut nadi 112 x/menit : takikardi

Frekuensi napas 40 x/menit : takipneu

Temperatur 37°C : normal

5. APA FUNGSI PEMERIKSAAN DARAH LENGKAP PADA AMIN?


 Kecelakaan

Orang yang mengalami kecelakaan harus diperiksa hematokritnya untuk mengetahui apakah
korban mengalami anemia atau tidak. Apabila banyak, bias dipertimbangkan untuk dilakukan
transfuse darah.

 Epistaksis (keluarnya daraVVh dari hidung)

Untuk mengetahui adanya atau tidaknya kelainan darah yang dapat menyebabkan
epistaksis seperti trombositopenia, hemophilia, dan leukemia.

6. APA TINDAKAN LIFE SAVING YANG DILAKUKAN DOKTER?

Lingkup pelayanan ke gawat daruratan tersebut di ukur dengan melakukan primary survey
tanpa dukungan alat bantu diagnostik kemudian dilanjutkan dengan secondary survey
menggunakan tahapan ABCD yaitu:

A : Airway management;

B : Breathing management;

C: Circulation management;

D : Drug Defibrilator Disability

Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei
primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah
selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan Survei primer meliputi :

A: Airway yaitu mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol
servikal;

B: Breathing yaitu mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi
adekuat;
C: Circulation yaitu mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan;

D: Disability yaitu mengecek status neurologis;

E: Exposure yaitu enviromental control, buka baju penderitatapi cegah hipotermia

Survei primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien.
Survei primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas.

Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat
(kurang dari 10 detik) di fokuskan pada Airway Breathing,Circulation (ABC). Pengkajian
primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini,
2011). Namun untuk Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability dan
Exposure) dilakukan survei primer ini harus dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2-5
menit. Primary survey harus dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2-5 menit. Penanganan
yang simultan terhadap trauma dapat terjadi bila terdapat lebih dari satu keadaan yang
mengancam jiwa.

Survei sekunder dilakukan setelah pengkajian dan intervensi masalah airway, breathing dan
circulation yang ditemukan di atasi dilanjutkan dengan pengkajian sekunder. Survei sekunder
adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut sampai ujung kaki,dari depan
sampai belakang. Survei sekunder hanya dilakukan apabila penderita telah stabil. Keadaan
stabil yang dimaksud adalah keadaan penderita sudah tidak menurun, mungkin masih dalam
keadaan syok tetapi tidak bertambah berat. Survei sekunder harus melalui pemeriksaan yang
teliti. Survei sekunder bertujuan untuk mengetahui penyulit lain yang mungkin terjadi. Bila
pada pengkajian primer dapat tertangani, maka berlanjut ke pengkajian sekunder.
a) Pengkajian riwayat penyakit : anamnesa penyakit dahulu dan sekarang, riwayat alergi,
riwayat penggunaan obat-obatan, keluhan utama.

b) Pemeriksaan penunjang : laboratorium, rontgen, EKG.

7. APA YANG DIDAPATKAN DARI FOTO RONTGEN?

Dari scenario didapatkan dada kanan memar kebiruan, gerak nafas tertinggal, krepitasi, serta
suara nafas yang menghilang pada hemithorax kanan. Ini merupakan gejala klinis dari
pneumothorax, hematothorax, kontusio paru, dan hemopneumothorax.
8. BAGAIMANA POSISI PEMERIKASAAN PADA PASIEN?
 Posisi setengah duduk
 Posisi berbaring dengan arah berlawanan dari epistaksis
LEARNING OBJECTIVE

1. Pneumothorax

2. Flail chest

3. Epistaksis

4. Hematothorax

5. Hemopneumothorax

6. Fraktur costae

7. Kontusio paru

8. Corpus alineum

9. Emboli paru

10. Septum deviasi

11 Ards

12. Nrds

13. OSA
1. PNEUMOTHORAX

Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam kavum/rongga pleura.


Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru
dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8
cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.

Kerusakan pada pleura parietal dan/atau pleura viseral dapat menyebabkan udara luar
masuk ke dalam rongga pleura, Sehingga paru akan kolaps. Paling sering terjadi spontan tanpa
ada riwayat trauma; dapat pula sebagai akibat trauma toraks dan karena berbagai prosedur
diagnostik maupun terapeutik.

Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru sebelum


ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan dikenal sebagai pneumotoraks
artifisial . Kemajuan teknik maupun peralatan kedokteran ternyata juga mempunyai peranan
dalam meningkatkan kasus-kasus pneumotoraks antara lain prosedur diagnostik seperti biopsi
pleura, TTB, TBLB; dan juga beberapa tindakan terapeutik seperti misalnya fungsi pleura,
ventilasi mekanik, IPPB, CVP dapat pula menjadi sebab teradinya pneumotoraks
(pneumotoraks iatrogenik). Ada tiga jalan masuknya udara ke dalam rongga pleura, yaitu :

1) Perforasi pleura viseralis dan masuknya udara dan dalam paru.

2) Penetrasi dinding dada (dalam kasus yang lebih jarang perforasi esofagus atau
abdomen) dan pleura parietal, sehingga udara dan luar tubuh masuk dalam rongga
pleura.

3) Pembentukan gas dalam rongga pleura oleh mikroorganisme pembentuk gas misalnya
pada empiema.

Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasuskasus


yang tidak di diagnosis sebagai pneumotoraks karena berbagai sebab. Johnston & Dovnarsky
memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per tahun.
Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita
(4: 1); paling sering pada usia 20-30tahun.

Pneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40 tahun sering disebabkan
oleh adanya bronkitis kronik dan empisema. Lebih sering pada orang-orang dengan bentuk
tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang mempunyai kebiasaan merokok.
Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dan pada kiri.

Gambar 1.1 Pneumothorax

Gambar 1.2 Perbedaan Pleura dengan Pneumothorax & Normal.


1. Etiologi

Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya :

 Pneumotoraks Spontan (primer dan sekunder)

Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa disertai penyakit paru yang mendasarinya,
sedangkan pneumotoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru yang
mendahuluinya.

 Tension Pneumotoraks

Disebabkan trauma tajam, infeksi paru, resusitasi kardiopulmoner.

2. Patofisiologi

a. Patofisologi narasi :

Pneumotoraks dapat disebabkan oleh trauma dada yang dapat mengakibatkan


kebocoran / tusukan / laserasi pleura viseral. Sehingga paru-paru kolaps sebagian / komplit
berhubungan dengan udara / cairan masuk ke dalam ruang pleura. Volume di ruang pleura
menjadi meningkat dan mengakibatkan peningkatan tekanan intra toraks. Jika peningkatan
tekanan intra toraks terjadi, maka distress pernapasan dan gangguan pertukaran gas dan
menimbulkan tekanan pada mediastinum yang dapat mencetuskan gangguan jantung dan
sirkulasi sistemik.

b. Patofisiologi skema :
Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi
pneumothoraks berdasarkan penyebabnya dibagi sebagai berikut:

1. Pneumothoraks spontan
Pneumothoraks spontan adalah setiap pneumothoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab yang jelas.
a. Pneumothoraks spontan primer (PSP)
Adalah suatu pneumothoraks yang terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang
mendasari sebelumnya, umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak
berhubungan dengan aktivitas fisis yang berat tetapi justru terjadu pada saat istirahat
dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.Pneumotoraks ini diduga
disebabkan oleh pecahnya kantung kecil berisi udara di dalam paru-paru yang
disebut bleb atau bulla. Penyakit ini paling sering menyerang pria berpostur tinggi-
kurus, usia 20-40 tahun. Faktor predisposisinya adalah merokok sigaret dan riwayat
keluarga dengan penyakit yang sama.
Faktor yang saat ini berperan dalam patomekanisme PSP adalah terdapat
sebagian parenkim paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan porositas
menyebabkan kebocoran udara visceral dengan atau tanpa perubahan emfisematous
paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko terjadinya PSP
adalah karena gradient tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru.
Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap
menignkatnya tekanan yang dapat mendahului proses pembentukan kista subpleura.
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak
adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pada sebagian besar kasus PSP, gejala
akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi
spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per
hari, dan suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan
absorpsi sampai dengan empat kali lipat. Beberapa macam terapi yang dapat
dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan
atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS) dan
American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk besar-
kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP
simtomatik yang stabil di antara keduanya. Berikut adalah ringkasan gabungan
panduan terapi menurut BTS dan ACCP.
o Clinically stable small pneumothorax
Keduan panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan
pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3cm ACCP) dan gejala minimal adalah
dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP menyarankan
dilakukannya observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru, di-KRS-kan dengan
instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk control dalam 2 hari berikutnya.
o Large pneumothorax and symptomatic small pneumothorax
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS
merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada PSP
luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR dilakukan
setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila
tidak ada perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal
kurang dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama
sudah lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka pemasangan
drain interkostal harus dilakukan.
o Clinically unstable patients with a large pneumothorax
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan
pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat
mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap
24 jam.
o Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran
udara persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5 hari.
Indikasi dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang
kedua, pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan
seperti penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya menjalani
tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan
seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan
open thoracostomy.

Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak


mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi
antara ukuran drain dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien
dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila
terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya kebocoran udara
(menyebabkan re-ekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat
dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko
terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada
dokter ahli paru-paru. BTS merekomendasikan sistem suction dengan volume
besar dan tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya tidak diklem
kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Pengekleman drain
dapat berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka
keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah
apabila terdapat kebocoran udara terus menerus karena berpotensi
menyebabkan tension pneumotoraks.

b. Pneumothoraks spontan sekunder (PSS)


Pneumotoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru-paru
(misalnya penyakit paru obstruktif menahun, asma, fibrosis kistik, tuberkulosis,
batuk rejan).Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan
pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini
pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum
pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai
pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut
mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan
tekanan intralveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak
spontan, paru-paru kolpas, udara inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura
sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi
hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat.
Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi
ini dikenal dengan mediastinal flutter.
2. Pneumothoraks traumatik
Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang terjadi akibat suatu penetrasi
kedalam rongga pleura karena luka tusuk atau luka tembak atau tusukan jarum.
Pneumothoraks traumatik juga ada 2 jenis yaitu:
a. Pneumothoraks traumatik bukan iatragenik
Adalah pneumothoraks yang terjadi karena jelas kecelakaan misalnya jajar dinding
dada terbuka / tertutup.
b. Pneumothoraks traumatik iatragenik
Adalah pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis. Penumothoraks jenis
ini masih dibedakan menjadi 2. pneumothoraks traumatik iatragenik aksidental dan
pneumothoraks traumatik iatrogenik arti fisial (deliberate)

3. Pneumotoraks karena tekanan (tension pneumothorax)


Patofisiologi

 Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan yang
lebih tinggi dari pada udara dalam paru sebelahnya
 Udara memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti katup
satu arah.Udara dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak bisa
keluar lagi karena tempat ruptur tersebut akan menutup pada saat ekspirasi.
 Pada saat inspirasi akan terdapat lebih banyak udara lagi yang masuk dan tekanan
udara mulaimelampaui tekanan barometrik.
 Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru yang dalam keadaan recoiling
sehingga terjadi atelektasis kompresi.
 Udara juga menekan mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergeseran jantung
dan pembuluh darahbesar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan yang semakin
meningkat akibat penumpukan udara ini menyebabkan kolaps paru.
 Ketika udara terus menumpuk dan tekanan intrapleura terus meningkat, mediastinum
akan tergeser dari sisi yang terkena dan aliran balik vena menurun.
 Keadaan ini mendorong jantung, trakea, esofagus dan pembuluh darah besar berpindah
ke sisi yang sehat sehingga terjadi penekanan pada jantung serta paru ke sisi
kontralateral yang sehat. (Kowalak & Jennifer, 2011)
Tension pneumotoraks adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks
yang semakin lama semakin bertambah atau progresif. Pada tension pneumotoraks ditemukan
mekanisme ventil atau udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar. Adapun
manifestasi klinis yang dijumpai :
a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total paru,
mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke kontralateral, deviasi trachea,
hipotensi &respiratory distress berat.
b. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang asimetris.
Tension pneumotoraks merupakan keadaan life-threatening, maka tidak perlu dilakukan
pemeriksaan foto toraks. Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa dekompresi segera
dengan needle insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada daerah yang terkena.
Sehingga tercapai perubahan keadaan menjadi suatu simple pneumotoraks dan dilanjutkan
dengan pemasangan Torakostomi + WSD. (ACS, 2008)

Penatalaksanaan

Needle Thoracostomy

Tension pnumothorax membutuhkan dekompresi yang segera. Dekompresi ini dapa


dilakukan dengan memasukkan jarum ke ruang intercostal ke dua pada garin midclavicular
pada sisi dada yang terkena. Terapi definitifnya biasanya membutuhkan insersi chest tube ke
dalam ruang pleural melalui ruang intercostal ke lima (setinggi puting susu) dibagian depan di
garis midclavicular.

Prinsip terapi dari tension pneumothrax ini adalah menjaga jalan nafas agar tetap
terbuka, menjaga kualitas ventilasi, oksigenasi, menghilangkan penyebab traumanya dan
menghilangkan udara di ruang pleura, dan mengontrol ventilasi.

Keberhasilan dari terapi yang kita lakukan bisa dinilai dari hilangnya udara bebas pada
ruang interpleural dan pencegahan pada kekambuhan atau recurensi.

Pada kasus tension pneumothorax, tidak ada pengobatan non-invasif yang dapat
dilakukan untuk menangani kondisi yang mengancam nyawa ini. Pneumothorax adalah kondisi
yang mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan segera. Jika diagnosis tension
pneumothorax sudah dicurigai, jangan menunda penanganan meskipun diagnosis belum
ditegakkan.

Pada kasus tension pneumothorax, langsung hubungkan pernafasan pasien dengan


100% oksigen. Lakukan dekompresi jarum tanpa ragu. Hal-hal tersebut seharusnya sudah
dilakukan sebelum pasien mencapai rumah sakit untuk pengobatan lebih lanjut. Setelah
melakukan dekompresi jarum, mulailah persiapan untuk melakukan torakostomi tube.
Kemudian lakukan penilaian ulang pada pasien, perhatikan ABCs (Airway, breathing,
cirvulation) pasien. Lakukan penilaian ulang foto toraks untuk menilai ekspansi paru, posisi
dari torakostomi dan untuk memperbaiki adanya deviasi mediastinum. Selanjutnya,
pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan.

Dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax yang


luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura
dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara:

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian
tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena
mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil:
 Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus
set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi
air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol.
 Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah
jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga
pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi
air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infuse set yang berada di dalam botol.
 Pipa water sealed drainage (WSD)
Water Seal Drainage (WSD) adalah suatu sistem drainage yang menggunakan water
seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (rongga pleura).
Tujuan: Mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut dalam keadaan normal rongga pleura
memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.

 Tindakan bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang
menyebabkan pneumothorax kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak bisa
mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel
dari paru yang rusak
Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura
dilekatkan satu sama lain.

3. Manifestasi Klinis

a. Sesak napas berat


b. Takipnea, dangkal, menggunakan otot napas tambahan

c. Nyeri dada unilateral, terutama diperberat saat napas dalam dan batuk

d. Pengembangan dada tidak simetris

e. Sianosis

4.Pemeriksaan Fisik

 Ada / tidaknya dispnea (jika luas)

 Ada / tidaknya nyeri pleuritik hebat

 Ada / tidaknya trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks

 Ada / tidaknya takikardi

 Ada / tidaknya sianosis

 Pergeseran dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena

 Perkusi hipersonar diatas paru-paru yang kolaps Suara napas yang berkurang pada sisi
yang terkena Fremitus vokal dan raba berkurang.

5.Pemeriksaan Diagnostik

Analisa gas darah arteri memberikan hasil hipoksemia dan alkalosis respirasi akut pada
sebagian besar pasien, namun hal ini bukanlah masalah yang penting. Pada pemeriksaan EKG,
pneumotoraks primer sebelah kiri dapat menyebabkan aksis QRS dan gelombang T berubah
sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan interprestasi sebagai infark miokard akut.
Diagnosa didukung oleh garis pleura visceral yang tampak pada pemeriksaan radiologi
konvensional dengan pasien diposisikan terlentang akan memberikan gambaran siklus
kostofrenik radiolusen yang abnormal.
Gambar 1.3 Hasil Rontgen Pneumothorax

6. Komplikasi

Tension pneumotoraks dapat disebabkan oleh pernapasan mekanis dan hal ini mungkin
mengancam jiwa. Pneumo - mediastinum dan emfisema subkutan dapat terjadi sebagai
komplikasi dari pneumotoraks spontan. Jika pneumo - mediastinum terdeteksi maka harus
dianggap terdapat ruptur esophagus / bronkus.

7. Penatalaksanaan Medis

1.Farmakologi

 Terapi oksigen dapat meningkatkan reabsorpsi udara dari ruang pleura.

 Drainase sederhana untuk aspirasi udara pleura menggunakan kateter berdiameter kecil
(seperti 16 gauge angio-chateter / kateter drainase yang lebih besar)

 Penempatan pipa kecil yang dipasang satu jalur pada katup helmic untuk memberikan
perlindungan terhadap serangan tension pneumotoraks

 Obat simptomatis untuk keluhan batuk dan nyeri dada

 Pemeriksaan radiologi

Peranan pemeriksaan radiologi antara lain:

1) Kunci diagnosis.

2) Penilaian luasnya pneumotoraks.


3) Evaluasi penyakit-penyakit yang menjadi dasar.

Pada pneumotoraks yang sedang sampai berat foto konvensional (dalam keadaan inspirasi)
dapat menunjukkan adanya daerah yang hiperlusen dengan pleural line di sisi medialnya;
tetapi pada pneumotonaks yang minimal, foto konvensional kadangkadang tidak dapat
menunjukkan adanya udara dalam rongga pleura; untuk itu diperlukan foto ekspirasi
maksimal, kadang-kadang foto lateral dekubitus. Hinshaw merekomendasikan membuat foto
pada 2 fase inspirasi dan ekspirasi, karena akan memberikan informasi yang lebih lengkap
tentang:

 Derajat/luasnya pneumotoraks.

 Ada/tidaknya pergeseran mediastinum.

 Menunjukkan adanya kista dan perlekatan pleura lebih jelas dari pada foto
konvensional.

2.Bullow Drainage / WSD

Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :

a.Diagnostik :

Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,sehingga dapat ditentukan
perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.

b.Terapi :

Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga


pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat
kembali seperti yang seharusnya.

c.Preventive :

Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of
breathing" tetap baik.

3. Diit

Tinggi kalori tinggi protein 2300 kkal + ekstra putih telur 3 x 2 butir / hari
2. FLAIL CHEST

Flail chest adalah area toraks yang melayang, disebabkan adanya fraktur iga multipel
berturutan lebih atau sama dengan 3 iga, dan memiliki garis fraktur lebih atau sama dengan 2
pada tiap iganya. Akibatnya adalah terbentuk area melayang atau flail yang akan bergerak
paradoksal dari gerakan mekanik pernapasan dinding toraks. Area tersebut akan bergerak
masuk pada saat inspirasi dan bergerak keluar pada saat ekspirasi.

A. Karakteristik
1. Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat inspirasi/ekspirasi; tidak
terlihat pada pasien dalam ventilator
2. Menunjukkan trauma hebat
3. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)

Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang
seringkali diperberat oleh edema atau kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest
tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti
melakukan splint atau bandage yang melingkari toraks, oleh karena akan mengurangi gerakan
mekanik pernapasan secara keseluruhan

B. Penatalaksanaan

1. Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan pernapasan
atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD
(Analisa gas darah) berkala dan takipneu
2. Pain control
3. Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
4. Bronchial toilet
5. Fisioterapi agresif
6. Tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet

C. Indikasi Operasi atau stabilisasi pada flail chest:

1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain, seperti hematotoraks masif.


2. Gagal atau sulit weaning ventilator.
3. Menghindari cacat permanen.
4. Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong hospital stay.
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area yang
melayang atau flail.

3. EPISTAKSIS

Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung..Perdarahan bisa ringan sampai serius
dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari
bagian depan atau bagian belakang hidung.

Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach
(area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik
1) Lokal
 Trauma : epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan
sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan
sebagainya.Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan
dapat juga menyebabkan epistaksis.
 Infeksi :infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik,
seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
 Neoplasma :epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma,
karsinoma, serta angio-fibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
 Kelainan kongenital :kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's
disease).Pasien ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus
gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru.
 Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi
atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian
anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara
pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang
keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran
krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian
perdarahan.
 Pengaruh lingkungan :misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara
rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.

2) Sistemik
 Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
 Penyakit kardiovaskuler: hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat
menyebabkan epistaksis.Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh
dan prognosisnya tidak baik.
 Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
 Gangguan endokrin

Klasifikasi
Berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi
A. Epistaksis Anterior, banyak berasal dari Pleksus Kiesselbach (anastomosis dari cabang-
cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopalatina, a.labialis superior, a.palatina mayor) di
septum anteriortepat di ujungpostero superior vestibulum nasi. Merupakan jenis epistaksis
yang palingsering dijumpai terutama pada anak-anakdan biasanya dapat berhenti
sendiri.Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa
padadaerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah
initerbuka terhadap efek pengeringan udarainspirasi dan trauma. Akibatnya terjadiulkus,
ruptur atau kondisi patologiklainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
B. Epistaksis Posterior, berasal dari nasofaring posterior, a.etmoidalis posterior,
a.sfenopalatina, atau dari pleksus Wooddruff. Epistaksis posterior dapat berasal dari
arterisfenopalatina dan arteri etmoid posterior.Pendarahan biasanya hebat dan
jarangberhenti dengan sendirinya. Seringditemukan pada pasien dengan
hipertensi,arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton
(2005)melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
Patofisiologi
Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis
eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri
fasialis dan arteri maksilaris.Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari
arteri fasialis.Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai
ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan
memberikan enam percabangan : a.alveolaris posterior superior, a.palatina desenden ,
a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal dan a. pharyngeal. Arteri palatina desenden
turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali
ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum
anterior.
Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam
tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan.Arteri
etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior.Arteri etmoidalis
posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm
anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa
kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan
lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum.1-8 Pleksus kiesselbach
yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi
yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum
beranastomosis di area ini.8,9 Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian
septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal
ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh
darah tersebut.Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok
hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada
pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran
mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan
atas, alergi atau sinusitis.

Diagnosis
1. Anamnesis

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Kebanyakan kasus epistaksis timbul
sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang
telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat
trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.
Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan.

Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan


atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa
aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk.
Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan
secara bermakna.

2. Pemeriksaan Fisis

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan
alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kasa.

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian
yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung.

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam
hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau
sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda
dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa.

-Rinoskopi anterior :
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa
dengan cermat.
-Rinoskopi posterior:
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
-Pengukuran tekanan darah:
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
3. Pemeriksaan Penunjang
-Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi. Endoskopi
hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.
-Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
platelet dan waktu perdarahan

Penatalaksanaan
1) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila
penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
2) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan
cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah
septumselama beberapa menit.
3) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi
dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk
membersihkanbekuan darah.
4) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan
kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elek-
trokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
5) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan
tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin
atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga
menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar
sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
6) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,
dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2
buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana
(nares posterior)
7) Tiga prinsip utama dalam menanggulangiepistaksis yaitu menghentikan
perdarahan,mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang
datang dengan epistaksisdiperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalausudah terlalu
lemah dibaringkan denganmeletakkan bantal di belakang punggung,kecuali bila
sudahdalam keadaan syok. Sumberperdarahan dicari dengan bantuan alat penghisapuntuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudiandiberikan tampon kapas yang telah
dibasahidengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain ataupantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan
ke dalamrongga hidung untuk menghentikan perdarahandan mengurangi rasa sakit pada
saat tindakanselanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5menit. Dengan cara ini dapat
ditentukanapakah sumber perdarahan letaknya di bagiananterior atau posterior. Pada
penanganan epistaksis, yang terutamadiperhatikan adalah perkiraan jumlah dankecepatan
perdarahan. Pemeriksaan hematokrit,hemoglobin dan tekanan darah harus cepatdilakukan.
Pada pasien dalam keadaan syok,kondisi ini harus segera diatasi. Jika adakecurigaan
defisiensi faktor koagulasi harusdilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masaprotrombin
dan masa tromboplastin (APTT),sedangkan prosedur diagnosis selanjutnyadilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan. Bilaterjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,harus
difikirkan pemberian transfusi sel-seldarah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.

Komplikasi
Komplikasi dari epistaksis salah satunya adalah syok, sehingga perlu dilakukan upaya
pencegahan dengan cara pemberian ringer laktat atau infuse. Pembuluh darah yang terbuka
dapat mengakibatkan terjadinya infeksi, untuk itu perlu diberikan antibiotic.

4. HEMATOTHORAX

Hemothoraks adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura (antara pleura viseralis
dan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada,
yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput
pembungkus paru. Robekan ini akan mengaikibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura,
yang akan menyebabkan penekanan pada paru.

Etiologi
Hematotoraks disebabkan luka tembus toraks oleh benda tajam, traumatik atau spontan.

Gejala

Tergantung dari berat ringannya trauma tapi biasanya pasien mengeluhkan sesak nafas,
nyeri dada, syok, sampai anemi. Bila darah di pleura mencapai 1500 ml atau lebih maka
otomatis rongga pleura akan menekan ke dua arah seta menekan paru yang menyebabkan ruang
kembang paru menyempit dan akan terjadi hipoventilasi yang akhirnya membuat penderita
hipoksia sampai meninggal.

Manifestasi

Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah didinding dada.
Lukadi pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan
syok hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul.

Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi, sianosis, tahipn`ea
berat, tahikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi sesuai dengan
penurunan curah jantung.
Pemeriksaan penunjang

1. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura, dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).Hanya boleh dilakukan jika
keadaan pasien stabil.
2. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang
meningkat. PaO2 mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
3. Torakosentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
4. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.
Gambar . Tampak gambaran hemothoraks pada sisi kiri foto thoraks

Penatalaksanaan

1. Hemothorak kecil : cukup diobservasi, gerakan aktif (fisioterapi) dan tidak memerlukan
tindakan khusus.
2. Hemothorak sedang : di pungsi dan penderita diberi transfusi. Difungsi sedapat mungkin
dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata kambuh dipasang penyalir sekat air.
3. Hemothorak besar : diberikan penyalir sekat air di rongga antar iga dan transfusi.
4. Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk
menghentikan perdarahan

Komplikasi

 Kehilangan darah.
 Kegagalan pernapasan.
 Atelektasis.
 hematoma intrathoracic.
 infeksi luka.
 pneumonia.
 Septicemia.
 Kematian

Hematothoraks massif
Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam
rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya
hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension
pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu
mendorong mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang
dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif
adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi
rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan
kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya

Pemeriksaan
Pada inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin gerakan napas tertinggal atau
pusat karena perdarahan. Fremitus sisi yang terkena lebih keras daripada sisi yang lain. Pada
perkusi didapatkan pekak dengan batas seperti garis miring atau mungkin tidak jelas,
tergantung pada jumlah darah yang ada di rongga thoraks.

5. HEMOPNEUMOTHORAX

Definisi

Merupakan Pneumothorax yang disertai dengan efusi hemorrhagic

Etiologi

Hemopneumothorax dapat terjadi karena berbagai hal, seperti:


 Keganasan pada thorax
 Koagulopati
 Pneumothorax
 Berbagai penyakit infeksi

Sekitar 80-100% pasien dengan hemopneumothorax memiliki gejala awa lberupa


pneumothorax, 10-12% memiliki pneumothorax yang muncul kembali (recurrent), dansekitar
10% sisanya memiliki riwayat pneumothorax kontralateral. Pada hasilfoto roentgen dada,
sebanyak 70% ditemukan adanya hydropneumothorax, sedangkan sisanya ditemukan daerah
yang gelap (opacity) atau buram (obscurity).

Diagnosis

Gejala yang muncul pada pasien umumnya mirip dengan pneumothorax dan
hemothorax, namun pada pemeriksaan dengan perkusi, ditemukan suara hiper-resonan pada
bagian pleura yang terisiudara, dan redup pada bagian pleura yang terisi darah.

Tata Laksana

Umumnya, dilakukan metodeVideo-Assisted Thoracic Surgery (VATS) yang memiliki


beberapa kelebihan, diantaranya: Waktu akses yang lebih cepat, berkurangnya kemungkinan
immunosupresi pasca-operasi, waktu pemulihan yang lebih cepat, dan waktu rawat inap yang
lebih sebentar. Namun, metode ini hanya dapat digunakan pada pasien dengan status
hemodinamik yang stabil.

6. FRAKTUR COSTAE

DEFINISI

Fraktur costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang
disebabkan oleh ruda paksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Costa merupakan
tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena tulang ini sangat dekat dengan
kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka setiap ada trauma dada akan
memberikan trauma juga kepada costa. Dari kedua belas pasang costa yang ada, tiga costa
pertama paling jarang mengalami fraktur. Hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat
terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka
dan memiliki pelindung sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12
juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat mobile .Pada olahragawan biasanya lebih
banyak dijumpai fraktur costa yang “undisplaced”, karena pada olahragawan otot
intercostalnya sangat kuat sehingga dapat mempertahankan fragmen costa yang ada pada
tempatnya (Dewi, 2010; Azz, 2008).

KLASIFIKASI
Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan:
1. Fraktur simple
2. Fraktur multiple
Menurut jumlah fraktur pada tiap costa:
1. Fraktur segmental
2. Fraktur simple
3. Fraktur comminutif
Menurut letak fraktur dibedakan :
1. Superior (costa 1-3 )
2. Median (costa 4-9)
3. Inferior (costa 10-12 )
Menurut posisi:
1. Anterior
2. Lateral
3. Posterior
ETIOLOGI

Secaragarisbesarpenyebab fraktur costa dapatdibagidalam 2 kelompok (Dewi, 2010):

1. Disebabkan trauma
a. Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain
kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada
dasar yang keras atau akibat perkelahian.
b. Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa adalah luka tusuk dan
luka tembak
2. Disebabkan bukan trauma
Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang menimbulkan
putaran rongga dada secara berlebihan, atau akibat adanya gerakan berlebihan dan
stress fraktur, seperti pada gerakan olahraga lempar martil, softball, tennis, golf.

TANDA dan GEJALA

1. Nyeri tekan, crepitus dan deformitas dinding dada


2. Adanya gerakan paradoksal
3. Tanda–tanda insuffisiensi pernafasan : Cyanosis, tachypnea.
4. Kadang akan tampak ketakutan dan cemas, karena saat bernafas bertambah nyeri
5. Korban bernafas dengan cepat , dangkal dan tersendat . Hal ini sebagaiusaha untuk
membatasi gerakan dan mengurangi rasa nyeri.
6. Nyeri tajam pada daerah fraktur yang bertambah ketika bernafas dan batuk
7. Mungkin terjadi luka terbuka diatas fraktur, dan dari luka ini dapat terdengar suara udara
yang “dihisap” masuk ke dalam rongga dada.
8. Gejala-gejala perdarahan dalam dan syok.

PATOFISIOLOGI
Costae merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Pada anak costae masih
sangat lentur sehingga sangat jarang dijumpai fraktur iga pada anak. Fraktur costa dapat terjadi
akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping ataupun dari arah belakang. Trauma
yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma costa, tetapi dengan adanya otot
yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur
costa. Pada trauma langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costa pada
tempat traumanya. Pada trauma tidak langsung, fraktur costa dapat terjadi apabila energi
yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costa tersebut. Seperti pada kasus
kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan belakang, maka akan terjadi fraktur pada
sebelah depan dari anguluscosta, dimana pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling
lemah. Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan
organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai a.intercostalis, pleura
visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya hematotoraks,
pneumotoraks ataupun laserasi jantung (Anonim, 2011). Costa 1-3 paling jarang fraktur,
karena dilindungi oleh struktur tulang bahu, tulang skapula, humerus, klavikula, dan seluruh
otot-otot. Jika terjadi fraktur costa 1-3, kemungkinan menimbulkan cedera pembuluh darah
besar. Costa 4-9 paling sering fraktur, dan kemungkinan terjadi cedera jantung dan paru.
Costa 10-12 agak jarang fraktur karena costae ini mobile, namun jika fraktur kemungkinan
menimbulkan cedera organ intraabdomen (Dewi, 2010).

DIAGNOSIS
Seseorang yang mengalami fraktur costa akan mengeluhkan nyerim tekan dada
dan bertambah sewaktu batuk, bernafas dalam/bergerak, sesak nafas, krepitasi, deformitas,
tanda-tanda insufisiensi pernapasan seperti sianosis dan takipnea (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Sebanyak 25% dari kasus fraktur costa tidak terdiagnosis, dan baru terdiagnosis setelah
timbul komplikasi, seperti hematotoraks dan pneumotoraks (Anonim, 2004). Hal ini dapat
terjadi pada olahragawan yang memiliki otot dada yang kuat dan dapat
mempertahankan posisi fragmen tulangnya. Dalam penegakan diagnosis diperlukan
(Azz, 2008).

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

1. Anamnesis
 Nyeri dada biasanya menetap pada satu titik, bertambah berat saat bernafas.
Bernafas (inspirasi) rongga dada mengembang menggerakkan fragmen costa yang
patah menimbulkan gesekan antara ujung fragmen dengan jaringan lunak sekitar
rangsangan nyeri.
 Sesak nafas atau bahkan saat batuk keluar darah, mengindikasikan adanya
komplikasi cedera pada paru.
2. Pemeriksaan fisik
 Airway
o look: benda asing di jalan nafas, fraktur tulang wajah, fraktur laring, fraktur,
trakea
o listen: dapat bicara, ngorok, berkumur-kumur, stridor
o feel
 Breathing
o Look : pergerakan dinding dada (asimetris/simetris), warna kulit, memar,
deformitas, gerakan paradoksal.
o Listen: vesikular paru, suara jantung, suara tambahan
o Feel: krepitasi, nyeri tekan
 Ciculation
o Tingkat kesadaran
o Warna kulit
o Tanda-tanda laserasi
o Perlukaan eksternal
 Disability
o Tingkat kesadaran
o Respon pupil
o Tanda-tanda lateralisasi
o Tingkat cedera spinal
 Exposure
o Buka pakaian penderita
o Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan temapatkan pada ruangan yang
cukup hangat.

Penatalaksanaan

Fraktur 1-2 costae tanpa adanya penyulit/kelainan lain ditangani secara konservatif
(analgetika). Fraktur lebih dari 2 costae harus diwaspadai kelainan lain (edema paru,
hematotoraks, pneumotoraks). Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit
lain (seperti: pneumotoraks, hematotoraks dsb.) ditujukan untuk mengatasi kelainan yang
mengancam jiwa secara langsung, di ikuti oleh penanganan pasca operasi/ tindakan yang
adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan rontgen berkala, sehingga dapat
menghindari morbiditas komplikasi (Anonim, 2011). Penatalaksanaan pada fraktur iga
multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain,
adalah (Dewi, 2010; Sjamsuhidajat, dkk., 2004):

a. Analgetik yang adekuat (oral/ iv /intercostalblock)


b. Bronchial toilet
c. Cek lab berkala : Hb, Ht, leukosit, trombosit,dan analisa gas darah
d. Cek foto rontgen berkala
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana fraktur costa yaitu (Azz, 2008):
a. Primary Survey
1) Airway dengan kontrol servikal
Penilaian dengan memperhatikan patensiairway (inspeksi, auskultasi, palpasi), serta
penilaian akan adanya obstruksi. Management dengan melakukan chin lift dan atau jawthrust
dengan kontrol servikal in-lineimmobilisasi. Kemudian bersihkan airway dari benda asing.
2) Breathing dan ventilasi
Penilaian dengan membuka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-lineimmobilisasi. Lalu menentukan laju dan dalamnya pernapasan. Inspeksi
dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea,
ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda- tanda cedera
lainnya. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor, diikuti auskultasi thoraks
bilateral. Management meliputi pemberian oksigen, analgesia untuk mengurangi nyeri dan
membantu pengembangan dada, misalnya morphinesulfate. Hidrokodon atau kodein yang
dikombinasi dengan aspirin atau asetaminofen setiap 4 jam. Blok nervusinterkostalis dapat
digunakan untuk mengatasi nyeri berat akibat fraktur costae, contoh bupivakain
(Marcaine) 0,5% 2 sampai 5 ml, diinfiltrasikan di sekitar n. interkostalis pada costa yang
fraktur serta costa-costa di atas dan di bawah yang cedera (tempat penyuntikan di bawah
tepi bawah costa, antara tempat fraktur dan prosesusspinosus, jangan sampai mengenai
pembuluh darah interkostalis dan parenkim paru). Pengikatan dada yang kuat tidak
dianjurkan karena dapat membatasi pernapasan.
3) Circulation
Penting untuk kontrol perdarahan. Penilaian untuk mengetahui sumber perdarahan
eksternal yang fatal dan sumber perdarahan internal. Periksa nadi: kecepatan, kualitas,
keteraturan, pulsusparadoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar
merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. Periksa warna kulit, kenali tanda-
tanda sianosis, tekanan darah. Management berupa penekanan langsung pada sumber
perdarahan eksternal; pemasangan kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil
sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, golongan darah dan cross-match serta
Analisis Gas Darah (BGA); pemberian cairan kristaloid 1-2 liter yang sudah
dihangatkan dengan tetesan cepat. Transfusi darah jika perdarahan masif dan tidak
ada respon terhadap pemberian cairan awal. Pemasangan kateter urin untuk monitoring
indeks perfusi jaringan.
4) Disability
Menilai tingkat kesadaran memakai GCS, menilai pupil besarnya, isokor atau
tidak, refleks cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi. hipotermia dengan selimut hangat
dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
b. SecondarySurvey
1) Anamnesis: AMPLE dan mekanisme trauma
2) Pemeriksaan fisik : kepala dan maksilofasial, vertebra servikal dan leher, thorax,
abdomen, perineum, musculoskeletal, neurologis, re evaluasi penderita.

Komplikasi
a. Atelektasis
b. Pneumonia
c. Hematotoraks
d. Pneumotoraks
e. Cedera a.intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung
f. Laserasi jantung
(Dewi, 2010; Sjamsuhidajat, dkk., 2004)

Prognosis
Fraktur costa pada anak dengan tanpa komplikasi memiliki prognosis yang baik.
Sedangkan pada penderita dewasa umumnya memiliki prognosis yang kurang baik oleh karena
selain penyambungan tulang relatif lebih lama juga umumnya disertai dengan komplikasi.
Keadaan ini disebabkan costa pada orang dewasa lebih rigid sehingga akan mudah
menusuk pada jaringan ataupun organ di sekitarnya. Kecurigaan adanya trauma traktus
neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v subklavia, dsb.), bila
terdapat fraktur pada costa I-III atau fraktur klavikula (Dewi, 2010).

7. KONTUSIO PARU

A. PENGERTIAN

Kontusio paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema, perdarahan alveolar
dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum yang berpotensi mematikan. Kegagalan
pernafasan mungkin lambat dan berkembang dari waktu daripada yang terjadi seketika.

Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul
dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
C. ETIOLOGI

 Kecelakaan lalu lintas


 Trauma tumpul dengan fraktur Iga yg multipel
 Cedera ledakan atau gelombang kejut yang terkait dengan trauma penetrasi.
 organ yang paling rentan terhadap cedera ledakan adalah mereka yang mengandung
gas, seperti paru-paru.
 Flail chest
 Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme perdarahan dan edema parenkim
 Luka tembak

memar akibat penetrasi oleh sebuah proyektil bergerak cepat biasanya mengelilingi jalan
sepanjang perjalanan jaringan yang di lalui oleh proyektil.

D. TANDA DAN GEJALA

 Takikardi
 Dyspnoe
 Bronchoorhea/ Sekresi bercampur darah
 Takipnea
 Hipoksia
 Perubahan Kesadaran
 Membutuhkan waktu untuk berkembang, dan sebanyak setengah dari kasus tidak
menunjukkan gejala pada presentasi awal
 Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma.
 Pada kasus berat, gejala dapat terjadi secepat tiga atau empat jam setelah trauma
 Hipoksemia
 Sianosis

E. PATOFISIOLOGI
Gambar 2: Biasanya, oksigen dan karbon dioksida berdifusi melintasi membran kapiler dan
alveolus dan ruang interstisial (kiri). Cairan mengganggu difusi ini, sehingga kurang darah
beroksigen (kanan).

Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam jaringan


paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan elastisitas normal. Kandungan air dari
paru-paru meningkat selama 72 jam pertama setelah cedera, berpotensi menyebabkan edema
paru pada kasus yang lebih serius .Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya, memar
paru berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan hipoksia.
Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan cairan kapiler bocor ke dalam
jaringan di sekitarnya. Membran antara alveoli dan kapiler robek;. Kerusakan membran
kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil menyebabkan darah dan cairan bocor ke dalam
alveoli dan ruang interstisial ( ruang sekitar sel) dari paru-paru Dengan trauma yang lebih
parah, ada sejumlah besar edema, perdarahan, dan robeknya alveoli. memar paru ditandai oleh
microhemorrhages (pendarahan kecil) yang terjadi ketika alveoli yang traumatis dipisahkan
dari struktur saluran napas dan pembuluh darah. Darah awalnya terkumpul dalam ruang
interstisial, dan kemudian edema terjadi oleh satu atau dua jam setelah cedera.Sebuah area
perdarahan di paru-paru yang mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh daerah edema.
Dalam pertukaran gas yang normal, karbon dioksida berdifusi melintasi endotelium dari
kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel alveolar, oksigen berdifusi ke arah lain.
Akumulasi cairan mengganggu pertukaran gas, dan dapat menyebabkan alveoli terisi dengan
protein dan robek karena edema dan perdarahan. Semakin besar daerah cedera, kompromi
pernafasan lebih parah, menyebabkan konsolidasi.

Memar paru dapat menyebabkan bagian paru-paru untuk mengkonsolidasikan, alveoli


kolaps, dan atelektasis (kolaps paru parsial atau total) terjadi.Konsolidasi terjadi ketika bagian
dari paru-paru yang biasanya diisi dengan udara digantkan dengan bahan dari kondisi
patologis, seperti darah. Selama periode jam pertama setelah cedera, alveoli di menebal daerah
luka dan dapat menjadi konsolidasi. Sebuah penurunan jumlah surfaktan yang dihasilkan juga
berkontribusi pada rusaknya dan konsolidasi alveoli, inaktivasi surfaktan meningkatkan
tegangan permukaan paru. Mengurangi produksi surfaktan juga dapat terjadi di sekitar jaringan
yang awalnya tidak terluka. Radang paru-paru, yang dapat terjadi ketika komponen darah
memasuki jaringan karena memar, juga bisa menyebabkan bagian dari paru-paru rusak.

Makrofag, neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah bisa memasuki
jaringan paru-paru dan melepaskan faktor-faktor yang menyebabkan peradangan,
meningkatkan kemungkinan kegagalan pernapasan. Sebagai tanggapan terhadap peradangan,
kelebihan lendir diproduksi, berpotensi memasukkan bagian dari paru-paru dan menyebabkan
rusaknya paru-paru. Bahkan ketika hanya satu sisi dada yang terluka, radang juga dapat
mempengaruhi paru-paru lainnya. akibat terluka jaringan paru-paru dapat menyebabkan
edema, penebalan septa dari alveoli, dan perubahan lainnya. Jika peradangan ini cukup parah,
dapat menyebabkan disfungsi paru-paru seperti yang terlihat pada sindrom distres pernapasan
akut.

Ventilasi/perfusi mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi perfusi adalah sekitar


satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli (ventilasi) adalah sama dengan darah
dalam kapiler di sekitar perfusi. Rasio ini menurun pada kontusio paru, alveoli terisi cairan,
tidak dapat terisi dengan udara, oksigen tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan darah
meninggalkan paru-paru tanpa sepenuhnya mengandung oksigen Kurangnya inflasi paru-paru,
hasil dari ventilasi mekanis tidak memadai atau yang terkait, cedera seperti flail chest, juga
dapat berkontribusi untuk ketidakcocokan ventilasi / perfusi. Sebagai ketidakcocokan antara
ventilasi dan perfusi , saturasi oksigen darah berkurang. Vasokonstriksi pada hipoksik paru, di
mana pembuluh darah di dekat alveoli yang hipoksia mengerut (diameter menyempit) sebagai
respons terhadap kadar oksigen rendah, dapat terjadi pada kontusio paru. Para resistensi
vaskular meningkat di bagian paru-paru yang memar, yang mengarah pada penurunan jumlah
darah yang mengalir ke dalamnya, mengarahkan darah ke daerah yang lebih baik-berventilasi
Meskipun, mengurangi aliran darah ke alveoli tak mendapat udara adalah cara untuk
mengimbangi kenyataan bahwa darah yang lewat tak mendapat udara, alveoli tidak
teroksigenasi, yang oksigenasi darah tetap lebih rendah dari normal. Jika sudah parah cukup,
hipoksemia yang dihasilkan dari cairan dalam alveoli tidak dapat dikoreksi hanya dengan
memberikan oksigen tambahan, masalah ini adalah penyebab sebagian besar kematian yang
diakibatkan trauma.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Laboratorium → Analisa Gas Darah(AGD): → cukup oksigen dan karbon dioksida yang
berlebihan. Namun kadar gas mungkin tidak menunjukkan kelainan pada awal perjalanan luka
memar paru.

2. RO thorak

Menunjukkan memar paru yang berhubungan dengan patah tulang rusuk dan emfisema
subkutan. Ro thoraks menunjukkan gambaran Infiltrat, tanda infiltrat kadang tidak muncul
dalam 12-24 jam.

1. CT Scan

Akan menunjukkkan gambaran kontusio lebih awal.


2. USG

Menunjukkan memar paru awal, pada saat ini tidak terlihat pada radiografi. Sindrom interstisial
dinyatakan dengan garis putih vertikal, “B-Line”.

G. PENATALAKSANAAN

Tidak ada perawatan yang dikenal untuk mempercepat penyembuhan luka memar paru;.
Perawatan utama adalah mendukung upaya yang dilakukan untuk menemukan luka memar
yang menyertai, untuk mencegah cedera tambahan, dan untuk memberikan perawatan suportif
sambil menunggu luka memar pada tahap prosespenyembuhan. Pemantauan, termasuk
melacak keseimbangan cairan, fungsi pernapasan, dan saturasi oksigen dengan menggunakan
pulse oximetry juga diperlukan untuk monitor kondisi pasien. Monitoring untuk komplikasi
seperti sindrom gangguan pneumonia dan pernapasan akut yang sangat penting.

Pengobatan bertujuan untuk mencegah kegagalan pernapasan dan untuk memastikan


oksigenasi darah yang memadai. oksigen tambahan dapat diberikan dan mungkin
dihangatkan dan dilembabkan. Ketika tidak merespon maka tindakan lainnya dalam
perawatan harus dilakukan, seperti oksigenasi membran extracorporeal dapat digunakan,
memompa darah dari tubuh ke mesin yang oxygenates dan menghilangkan karbon dioksida
sebelum memompa kembali masuk.

 Penatalaksanaan Utama: Patency Air way, Oksigenasi adekuat, kontrol nyeri


 Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah cedera
tambahan, dan memberikan perawatan suportif sambil menunggu luka memar paru
sembuh.
 Penatalaksanaan pada kontusio ringan

- Nebulisasi
- Postural drainase

- Fisio terapi dada

- Suctioning

- NyeriàAnastesi Spinal, Opioid

- Oksigenasi 24-36 Jam pertama

- Antibiotik

 Penatalaksanaan pada kontusio sedang

- Intubasi

- Ventilator PEP

- Deuretik

- NGT

- Cek Kultur

 Penatalaksanaan pada kontusio berat

- Penaganan Agresif Intubasi Endotracheal

- Ventilator

- Deuretik

- Anti mikrobal

- Pembatasan cairan

8. CORPUS ALIENUM
DEFINISI
Corpus alienum atau benda asing di dalam suatu organ adalah benda yang berasal dari
luar tubuh atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada. Dalam hal ini, nasal
corpus alienum adalah benda asing / massa yang normal tidak ada / tidak dijumpai di hidung.Ini
merupakan salah satu masalah kedaruratan dibidang THT. Dapat terjadi pada semua umur,
namun lebih sering terjadi pada anak–anak, baik disengaja memasukkan ke hidung atau karena
kecelakaan.Pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor kesengajaan. Anak-anak cenderung
memasukkan benda kecil yang umumnya adalah benda mati. Benda asing yang lazim
ditemukan pada anak-anak adalah makanan seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan benda
berupa baterei, manik-manik, dan spons,. Namun dapat pula ditemukan benda hidup misalnya
larva lalat, dan berkembang menjadi lalat, linta dan lain sebagainya.
PATOGENESIS

Daerah hidung merupakan daerah yang mudah diakses karena lokasinya yang berada
diwajah. Memasukkan badan asing kedalam cavum nasi sering kali terjadi pada pasien anak
yang kurang dari 5 tahun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rasa penasaran untuk
mengekspolarsi orifisium atau lubang. Hal ini disebabkan pula oleh mudahnya akses terhadap
benda asing tersebut,kurang perhatian saat pengasuhan anak. Hal–hal lain yang menjadi
penyebab antara lain kebosanan, untuk membuat lelucon, retardasi mental, gangguan jiwa,
dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH).

Benda asing hidung dapat ditemukan disetiap bagian rongga hidung,sebagian besar
ditemukan di dasar hidung, tepat dibawah konka inferior atau dibagian atas fossa nasal anterior
hingga kebagian depan konka media.Benda-benda kecil yang masuk kebagian anterior rongga
hidung dapat dengan mudah dikeluarkan dari hidung.
Gambar. Lokasi tersering benda asing di hidung

Beberapa benda asing menetap di dalam rongga hidung tanpa menimbulkan


perubahan mukosa.Namun,kebanyakan objek yang berupa benda mati menyebabkan kongesti
dan edema pada mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi, epistaksis, jaringan granulasi, erosi,dan
dapat berlanjut menjadi sinusitis. Sekret yang tertinggal,dekomposisi benda asing,dan ulserasi
yang menyertai dapat menghasilkan fetor yang berbaubusuk.

Benda asing yang berupa benda hidup,menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat
bervariasi,dari infeksi lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan tulang hidung dengan
membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau.Cacing askaris dihidung dapat
menimbulkan iritasi dengan derajat yang bervariasi karena gerakannya. Perubahan-
perubahan ini apabila lebih lanjut,maka akan memengaruhi benda asing karena dikelilingi
oleh udema,granulasi,dan kotoran.

Benda asing organik, seperti kacang-kacangan, mempunyai sifat higroskopik, mudah


menjadi lunak dan mengembang oleh air,serta menyebabkan iritasi pada mukosa. Kadang-
kadang, reaksi inflamasi dapat menghasilkan toksik. Benda asing anorganik,menimbulkan
rekasi jaringan yang lebih ringan dan lebih mudah didiagnosa dengan pemeriksaaan
radiologis karena umumnya benda asing anorganik bersifat radiopak.
Sebuah benda asing dapat menjadi inti peradangan apabila tertanam dalam jaringan
granulasi yang terpapar oleh kalsium,magnesium fosfat,karbonat, dan kemudian akan menjadi
rhinolith.Kadang-kadang,proses ini dapat terjadi di sekitar area mukopus dan bekuan darah.
Rhinolit biasanya terletak dekat bagian basal hidung dan bersifat radiopak.Baterai cakram
dapat menyebabkan destruksi pada septum nasi karena tersusun atas beberapa logam
berat,seperti merkuri, zink,perak,nikel, cadmium,dan lithium.

Beberapa faktor dikatakan berperan dalam timbulnya komplikasi akibat baterai


cakramini antara lain interval waktu saat baterai masuk hingga dikeluarkan dan kontak antara
permukaan mukosa hidung dan kutub negatif baterai(anode).Karenaitu,perforasi
septum(90jam setelah baterai masuk kehidung) umumnya terjadi ketika adanya kontak antara
mukosa hidung dan kutub negatif baterai.

Etiologi kerusakan jaringan diyakini terdiri atas 3bagian,yaitu

(1)perembesan substansi baterai dengan sifat korosif langsung yang menyebabkan


kerusakan,

(2) efek langsung ke mukosa,

(3) nekrosis oleh tekanan.Dari hasil dari reaksi ini, dapat menyebabkan perforas
iseptum (umumnya 7 jam setelah baterai masuk ke hidung), sinekia, konstriksi, dan
stenosis kavum nasi.

Corpus Alienum secara harfiah adalah benda asing. Benda asing yang dimaksud ialah
benda asing yang menginvasi saluran pernafasan pada tubuh manusia. Benda asing yang masuk
tersebut dapat menginfeksi melalui hidung, mulut (dan kemudian masukke saluran
pencernaan), atau mulut ke saluran pernafasan (aspirasi). Jadi, apabila benda asing masuk
melalui nasal dapat tersangkut ke nasal itu sendiri, nasopharynx, larynx, trakea, dan brokus.
Sedangkan apabila melalui cavum oris, benda dapat tersangkut di orofaring, valekula, esofagus,
atau langsung aspirasi ke saluran pernafasan.

Benda asing yang menginfeksi berasal dari eksogen dan endogen. Benda asing eksogen
berupa organik seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan lain-lainnya; dan bisa berupa
anorganik seperti manik-manik, mur, dan lain-lainnya. Benda asing endogen berasal dari dalam
tubuh manusia seperti sekret yang kental, bekuan darah, mekonium, dan lain-lainnya. Benda
asing organik lebih berbahaya ketimbang benda asing anorganik. Hal ini dikarenakan benda
asing organik bersifat higroskopis, mudah melunak, serta mudah membaur dengan mukosa.

Faktor predisposisi masuknya benda asing ke saluran nafas diantaranya ialah usia,
faktor fisik, faktor kejiwaan, kegagalan mekanisme proteksi, serta faktor dental, medikal,
surgikal. Anak kecil seringkali memasukkan benda apapun kemulut dan hidung. Orang-orang
dengan gangguan kejiwaan juga seringkali memasukkan benda asing karena tidak sadar. Faktor
fisik seperti kondisi tubuh manusia itu sendiri, misalnya adanya kerusakan saraf V, IX, dan X
bisa menyebabkan paralisis menelan.

Patofisiologi benda asing yang masuk melalui hidung dimulaidari nostril kemudian
direspon oleh epitel pada hidung dengan inflamasi, edema, produksi mukus berlebihan. BA
pada hidung bisa menyebabkan epistaksis. BA yang masuk melalui aspirasi disebabkan adanya
ketidakseimbanga saraf-saraf dan otot-otot menelan (dikarenakan paralisis maupun kondisi
sehat pada anak, namun anak sedang menangis dan makan diwaktu yang bersamaan) sehingga
epiglotis tidak dapat menutup dengan sempurna dan terjadi aspirasi ke saluran pernafasan.
Terjadi refleks batuk dan gejala-gejala lain.

Gejala klinis dan tatalaksana tergantung pada lokasi sumbatan, derajat sumbatannya,
sifat bentuk, dan ukuran benda asing. BA yang tersangkut pada hidung menyebabkan adanya
keluhan seperti hidung tersumbat, rinorhea disertai nyeri, atau bahkan epistaksis.
Tatalaksananya, BA diambil dengan alat seperti cunam nortman atau menggunakan wire loop.

BA yang tersangkut pada laring membentuk gejala spasme laring bila sumbatannya
total. BA yang tersangkut bisa menyebabkan tersumbatnya saluran nafas sehingga bisa sampai
sianosis. bIla sumbatannya parsial bisa menunjukkan gejala suara yang serak, batuk dengan
sesak, hemoptisis dan ada perasaan seperti suatu benda yang menyangkut di leher. Diagnosa
pasti setelah anamnesis ialah menggunakan laringoskopi. Prinsip tatalaksana BA pada tubuh
manusia ialah segera mengeluarkan BA tersebut. Tatalaksana apabila BA menyangkut di laring
pada anak-anak ialah melakukan gerakan back blows dan manuver hemlich pada orang dewasa.
BA yang tersangkut pada trakea membentuk manifestasi khas seperti adanya
palpatory thud (getaran didaerah tiroid yang teraba) dan audible slap. Keluhan lain seperti
choking, batuk-batuk, sesak. BA dikeluarkan dengan bronkoskopi beserta cunam. BA pada
bronkus berbahaya karena akan masuk fase asimptomatis. Tatalaksana dengan bronkoskopi
kaku dan diberi kortikosteroid serta antibiotik sesuai kebutuhan

MANIFESTASI KLINIK

Gejala sering tidak ada sehingga luput dari perhatian orang tua dan bertahan untuk waktu
yang lama. Dapat timbul rhinolith disekitar benda asing. Gejala yang paling sering adalah:
1. Hidung tersumbat
2. Rinore unilateral dengan cairan yang kental dan berbau
3. Nyeri
4. Demam
5. Epistaksis
6. Bersin
Benda asing seperti karet busa sangat cepat menimbulkan sekret yang berbau busuk.
Hal ini dikarena kan proses dari peradangan-peradangan yang terjadi di sekeliling benda
asing sehingga berakumulasinya jaringan epitel yang mati, sel-sel leukosit dan mediator-
mediator inflamasi. Tak jarang pula akibat benda asing yang tidak segera dikeluarkan, akan
menimbulkan infeksi sekunder.

TATA LAKSANA

1) Instrumentasi langsung
Teknik ini sangat ideal untuk benda asing yang mudah terlihat, tidak bulat, benda asing
tidak rapuh. Instrumen dijelaskan sebelumnya termasuk forsep alligator. Benda asing rapuh
dan bulat sangat sulit untuk dikeluarkan dengan teknik ini; benda rapuh bisa robek, dan benda-
benda bulat mungkin sulit dan mudah pindah ke posterior.
Gambar. Removal of foreign object using alligator forceps

Gambar. Removal of a foreign object with a hooked probe

Probe hooked dapat digunakan untuk benda-benda yang mudah dilihat tetapi sulit untuk
dipahami. Hook ditempatkan di belakang benda asing tersebut kemudian ditarik ke depan.
Shresta and Amatya melaporkan menggunakan endoskopi fleksibel untuk melihat benda asing
di hidung kemudian menggunakannya sebagai pengait untuk menarik benda asing. Teknik ini,
disebut sebagai "hook-scope", teknik ini berguna jika pasien kooperatif.

Beberapa penulis telah menyarankan menggunakan kombinasi instrumentasi langsung


dan menyarankan kateter balon ditempatkan di belakang benda asing untuk mencegah
perpindahan posterior selama upaya pengeluaran.

2) Kateter balon
Pendekatan ini sangat ideal untuk benda asing yang kecil, benda bulat yang tidak mudah
diambil dengan instrumentasi langsung. Kateter yang dapat digunakan yaitu kateter Foley
(misalnya, 5-8), kateter Forgaty (misalnya, No. 6), atau Katz Extractor Oto-Rhino Foreign
Body Remover (California) juga merupakan pilihan.

Terlepas dari berbagai macam jenis kateter, teknik yang digunakan adalah sama.
Pertama, balon diperiksa, dan kateter dilapisi dengan 2% lidokain jelly. Kemudian pasien
berbaring telentang dan kateter dimasukkan melewati benda asing di dalam rongga hidung, lalu
diberikan udara atau air ke dalam kateter (2ml pada anak-anak kecil dan 3 ml pada anak-anak
yang lebih besar). Setelah dibalonkan, kateter ditarik keluar sehingga benda asing juga ikut
tertarik.7 Teknik dengan kateter juga dapat digunakan sebagai pencegahan agar benda asing di
bagian anterior tidak kearah posterior saat dilakukan teknik lainnya.

Gambar. Pengunaan Forgarty Catheter

3) Tekanan positif
Gambar. Positive Pressure Tehnique for Nasal Foreign Body removal

Gambar. Parent Kiss for Positive Pressure Tehnique

Benda asing yang besar bisa dilakukan teknik tekanan positif. Teknik ini dapat
dilakukan oleh penderita sendiri dengan menutup hidung yang normal dan menghembuskan
nafas dari hidung secara keras, selain itu pada anak yang mengalami benda asing di hidung,
dapat ditiup mulut anak tersebut oleh orangtuanya kissing technique atau masker bag-valve.2,3,4
Ketika topeng bag-valve digunakan, manuver Sellick dapat dianggap untuk mencegah
esophageal insuflasi udara.Teknik ini banyak dilakukan pada anak dan dapat menyebabkan
komplikasi seperti barotrauma di telinga dan emfisema periorbital.Tekanan positif juga
memiliki risiko yang menyebabkan barotrauma ke saluran napas, paru-paru, atau membran
timpani, dan dokter harus menghindari penggunaan volume besar udara paksa. Untuk yang
terbaik dari pengetahuan kita, komplikasi yang terakhir belum dilaporkan.

4) Tekanan Negatif (Suction)

Gambar. Ilustration of suction nasal

Gambar. Remove foreign body nasal using Vacutract suction device


Teknik ini sangat ideal untuk benda aisng yang terlihat, halus atau bulat dimana benda sulit
diambil dengan pinset atau forcep alligator. Suction yang diberikan pada pasien biasanya yang
bertekanan 100-140 mmHg.

5) Lem atau Perekat


Metode ini sangat efektif terhadap benda asing yang licin, bulat, dan sulit diambil
dengan pinset atau forcep alligator. Benda asing yang akan diambil haruslah yang kering dan
terlihat sehingga risiko kontak dengan mukosa sekitar benda asing dihidung minimal.
Lem atau perekat dalam hal ini cyanoacrylate yang digunakan di oleskan tipis
ditempatkan di ujung aplikator kayu atau plastik, yang kemudian menempel benda asing
selama 60 detik. Tanpa kerja sama penuh dari pasien, mukosa hidung dapat dengan mudah
terluka oleh lem tempatnya.

Gambar. Cyanoacrilate glue


Gambar. Cyanoacrilate glue for removing body foreign

6) Instrumen yang dibuat sendiri


Instrumen yang dibuat sendiri dapat berasal dari paper clip. Teknik ini dapat dilakukan
apabila tidak dapat dilakukannya teknik lainnya karena komplikasi pada teknik ini dapat
menyebabkan trauma yang berat dan infeksi.
7) Teknik dengan menggunakan instrumen pembedahan
Teknik mengeluarkan benda asing dengan instrument pembedahan biasanya apabila
riwayat masuknya benda asing diikuti dengan adanya epistaksis. Pemilihan alat atau instrument
tergantung dari jenis benda asing tersebut. Forcep alligator dapat digunakan terhadap benda
asing dihidung yang ireguler dan memiliki sudut yang dapat ditarik keluar, sedangkan hook,
curretes, dan loop dapat digunakan terhadap benda yang licin atau sulit di tarik keluar. Secara
umum, benda asing di hidung bisa dikeluarkan secara aman oleh dokter umum. Namun, jika
sulit dan gagal harus segera konsultasi ke spesialis THT. Rujukan ke dokter spesialis harus
dilakukan ketika ada kekhawatiran diagnosis ke arah tumor atau massa.

Gambar. Mengeluarkan benda asing dengan forsep aligator

Tidaklah bijaksana bila mendorong benda asing dari hidung kearah nasofaring dengan
maksud supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara itu benda asing dapat terus masuk ke
laring dan saluran napas bagian bawah, yang menyebabkan sesak napas, sehingga
menimbulkan keadan yang gawat.1
Pemberian antibiotika sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing
hidung yang telah menimbulkan infeksi hidung maupun sinus.

Tabel. Keuntungan dan kerugian dari teknik mengeluarkan benda asing

Teknik Keuntungan Kerugian


Tekanan positif Tidak menyebabkan trauma Risiko untuk terjadi barotraumas
Tekanan negatif Baik utuk benda asing yang bulat dan berukuran keci Harus benda yang padat, tidak bisa
di daerah anterior cavum nasi. Mudah dilakukan. digunakan pada benda asing
dibagian posterior
Menggunakan Tidak menyebabkan trauma Benda asing harus terlihat
perekat Mudah dilakukan
Teknik Baik digunakan pada benda asing di bagian posterior Ada kemungkinan trauma,
menggunakan diperlukan teknik anestesi
kateter
Instrumen - Benda asing dapat pindah ke
pembedahan daerah posterior dan trauma.
Instrumen yang Instrumen dapat dibuat disesuaikan dengan bentuk Trauma, benda asing dapat pindah
di buat benda asing ke daerah posterior

9. EMBOLI PARU

Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi arteri
pulmonalis atau cabang-cabang akibat tersangkutnya emboli trombus atau emboli yang lain.
Bila obstruksi tadi akibat tersangkutnya emboli trombus disebut tromboemboli paru
(pulmonsty thrombo-embolism). Akibat lanjut dari emboli paru dapat terjadi infark paru, yaitu
keadaan terjadinya nekrosis sebagian jaringan parenkim paru akibat tersumbatnya aliran darah
yang menuju jaringan paru tersebut oleh tromboemboli. Oleh karena jaringan parenkim paru
memperoleh aliran darah dari dua jenis peredaran darah (cabang-cabang arteri pulmonalis dan
cabang arteri bronkialis), maka emboli paru jarang berlanjut menjadi infark paru.

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Penyebab emboli paru semula belum jelas, tetapi hasil-hasil penelitian dari autopsi paru
pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan dengan jelas bahwa penyebab
penyakit tersebut adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal dari
lepasnya trombus di pembuluh vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli
paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena (emboli tumor), amnion,
udara, lemak, sumsum tulang, fokus septik (pada endokarditis) dan lain-lain. Kemudian
material emboli beredar dalam peredaran darah sampai di sirkulasi pulmonal dan tersangkut
pada cabang-cabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis. Emboli paru
karena trombus di arteri pulmonalis (in situ) sangat jarang.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut Virchow 1856 atau sering
disebut physiological risk factors, meliputi 1). Adanya aliran darah lambat (stasis), 2).
Kerusakan dinding pembuluh darah vena, dan 3). Keadaan darah mudah membeku
(hiperkoagulasi).
Aliran darah lambat (stasis) dapat ditemukan pada beberapa keadaan, misalnya pasien
yang mengalami tirah baring cukup lama, kegemukan, varises, dan gagal jantung kongestif.
Darah yang mengalir lambat memberi kesempatan lebih banyak untuk membeku (trombus).
Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi misalnya akibat operasi, trauma pembuluh
darah (suntikan, kateterisasi jantung) dan luka bakar. Adanya kerusakan endotel pembuluh
vena menyebabkan dikeluarkan bahan yang dapat mengaktifkan faktor pembekuan darah
(faktor Hageman) dan kemudian dimulailah proses pembekuan darah. Keadaan darah mudah
membeku (hiperkoagulabel) juga merupakan faktor predisposisi terjadinya trombus misalnya
keganasan, polisitemia vera, anemia hemolitik, anemia sel sabit, trauma dada, kelainan jantung
bawaan, splenektomi dengan trombositosis, homosistinuria, penggunaan obat kontrasepsi oral
(estrogen), dan trombositopati. Selain hal-hal di atas, trombosis vena juga lebih mudah terjadi
pada keadaan dengan peningkatan faktor V, VII, fibrinogen abnormal, defisiensi antitrombin
III, menurunnya kadar aktivator plasminogen pada endotel vena atau menurunnya pengeluaran
aktivator plasminogen akibat berbagai rangsangan, defisiensi protein C, defisiensi protein S
dan sebagainya.

Patofisiologi
Trombus pada tempat asal terjadinya(misalnya trombus vena dalam di vena femoralis
atau dari jantung kanan) lepas dan ikut aliran darah vena sebagai tromboemboli di arteri
pulmonalis, tersangkut di situ, menimbulkan obstruksi total atau parsial, selanjutnya
menimbulkan akibat atau konsekuensi 2 hal:
 Gangguan Hemodinamik: timbul vasokonstriksi. Emboli paru menimbulkan
obstruksi mekanis total atau parsial pada cabang-cabang arteri pulmonalis
(pulmonary vascular bed) akan menimbulkan refleks neurohumoral dan
menyebabkan vasokonstriksi pada cabang-cabang arteri pulmonalis yang
terkena obstruksi tadi. Terjadilah dua keadaan, ialah: a).peningkatan resistensi
vaskular paru (pulmonary vascular resistance), dan b). pada kasus yang berat
akan terjadi hipertensi pulmonal sampai mengakibatkan terjadinya gagal
jantung kanan.
 Gangguan Respirasi: timbul bronkokonstri. Adanya obstruksi total atau parsial
oleh tromboemboli paru akan menimbulkan:
refleks bronkokonstriksi yang terjadi setempat pada daerah paru yang
terdapat emboli (pneumokonstriksi)
wasted ventilation (suatu peninggian physiological dead space),
ventilasi paru daerah terkena tidak efektif
hilang atau menurunnya surfaktan paru pada alveoli daerah paru yang
terkena dan
hipoksemia arterial
Reaksi bronkokonstriksi setempat yang terjadi bukan saja akibat berkurangnya aliran
darah (obstruksi total atau partial) tetapi juga karena berkurangnya bagian aktif permukaan
jaringan paru, dan terjadi pula akibat pengeluaran histamin dan 5-hidroksi isoptamin yang
dapat membuat vasokonstriksi dan bronkokonstriksi bertambah berat. Wasted ventilation
terjadi karena adanya obstruksi oleh emboli paru yang menimbulkan suatu zona paru dengan
ventilasi paru yang cukup tetapi tidak terdapat perfusi, sehingga menimbulkan dead space di
dalam paru. Bagian paru ini tidak ikut mengalami proses pertukaran gas. Hilang atau
menurunnya produksi surfaktan paru menyebabkan stabilitas alveoli menurun, yang berakibat
atelektasis pada daerah paru yang terkena. Hipoksemia arterial disebabkan oleh karena adanya
gangguan ventilasi/ perfusi daerah paru yang terkena. (Setiati, Alwi, Sudoyo, K, Setiyonadi,
& Syam, 2014)
Gambaran klinis

Gambaran klinis emboli paru bervariasi, tergantung pada beratnya obstruksi pembuluh darah,
jumlah emboli paru (tunggal atau multiple), ukurannya, lokasi emboli, umur pasien, dan
penyakit kardiopulmonal yang ada.

Gambaran klinis emboli paru masif

Emboli paru masif memberikan gejala karena tersumbtanya arteri pulmonalis atau
cabang pertama. Pasien akan mengalami pingsan mendadak (sinkop), renjatan, pucat dan
berkeringat, nyeri dada sentral atau sesak napas. Napas akan sangat cepat. Kesadaran mungkin
hilang untuk sementara. Denyut nadi kecil dan cepat. Tekanan darah turun. Bagian perifer
menjadi pucat dan dingin. Ditemukan tanda sianosis tipe sentral, yang mungkin tidak responsif
terhadap pemberian oksigen. Apabila pasien menjadi sadar, dia akan merasakaan nyeri dada
yang hebat.

Gambaran klinis emboli paru ukuran sedang

Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri pulmonalis segmental dan
subssegmental. Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri pleura, sesak napas, demam diatas 37,5
derajat celsius, hemoptisis. Tidak ditemukan sinkop atau hipotensi, kecuali apabila telah ada
kelainan jantung dan paru yang diderita sebelumnya. Pada pemeriksaan paru ditemukan : 1)
tanda-tanda pleuritis (nyeri pleura, suara gesek pleura daerah terkena), 2) area konsolidasi paru
(gerak napas daerah paru yang terkena berkurang, fremitus raba mengeras, perkusi redup pada
daerah paru yang terkena, suara bronchial dan egofoni mengeras), 3) tanda-tanda fsi adanya
efusi pleura (dada daerah yang terkena mencembung, gerak napas mengurang, fremitus
menurun, suara perkusi pekak, dan suara napas mengurang atau menghilang). Bila terdapat
nyeri tekan di atas daerah efusi pleura mungkin terdapat empiema. Apabila terdapat infark paru,
dapat ditemukan adanya demam, leukositosis dan ikterus ringan. Wheezing jarang ditemukan,
tetapi ada 15% kasus dapat ditemukan wheezing. Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi
berulang dalam beberapa bulan atau tahun berikutnya, terutama pada pasien usia lanjut yang
harus tirah baring lama. Gejala tromboemboli ini hanya berupa takipnea atau asimptomatik.

Gambaran klinis emboli paru ukuran kecil

Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian, karena sumbatan
mengenai cabang-cabang kecil arteri pulmonalis. Baru sesudah sebagian besar sistem sirkulasi
pulmonal (vascular bed) tersumbat, muncullah gejalanya. Gejalanya ialah sesak napas waktu
bekerja mirip dengan keluhan pasien gagal jantung kiri. Apabila emboli paru terjadi berulang
kali dan berlangung sampai berbulan-bulan akan mengakibatkan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal ini akan mengakibatkan ventikel kanan membesar.

Kelainan radiologis
Pada pasien emboli paru tanda radiologic yang sering didapatkan adalah pembesaran
arteri pulmonalis descendens, peninggian diafragma bilateral, pembesaran jantung
kanan, densitas paru daerah terkena dan tanda Westermark. Pembesaran arteri
pulmonalis descendens disebabkan karena peningkatan tekanan arteri tesebut dan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah diatas obstruksi. Pembesaran jantung kanan bervariasi
besarnya sering-sering sulit dideteksi. Tanda westermark, yaitu suatu hiperlusen paru dan ini
dianggap yang paling khas pada emboli paru, meskipun hanya ditemukan pada 15% kasus
emboli paru.

Pengobatan utama terhadap emboli paru

Pengobatan utama terhadap emboli paru sampai sekarang yang dilakukan ialah : a)
pengobatan anti koagulan dengan heparin dan warfarin, dan b) pengobatan trombolitik. Tjuan
pengobatan utma ini ialah : a) segera menghambat pertumbuhan tromboemboli, b) melarutkan
tomboemboli, c) mencegah timbulnya emboli ulang.

a. Pengobatan antikoagulan
- Heparin
Merupakan pengobatan standar awal pada pasien dengan tromboemboli vena,
karena dapat membuat pelarutan trombus oleh sifat fibrinolitik tetapi tidak
dihambat oleh pertumbuhan trombus, membantu mencegah emboli ulang,
menhambat agregasi trombosit sehingga menghambat perlepasan tromboksan dan
serotonin pada tempat emboli. Pemberian heparin subkutan lebih menguntungkan
karena pemberinnya lebih mudah, mobilisasi lebih cepat, dan bisa untuk pasien
rawat jalan. Heparin tidak boleh diberikan intramuscular karena dapat
menyebabkan hematom pada tempat suntikan. Keberhasilan pengobatan heparin ini
dapat mencapai 92% dan heparin dapat diberikan pada perempuan hamil karena
heparin tidak dapat melewati plasenta.
- Warfarin
Obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas vit. K, yaitu dengan mempengaruhi
sinstesis prokoagulan primer (faktor II, VII dan X), karena awal kerjanya lambat
maka pemberian warfarin dilakukan sesudah pemberian heprin. Warfarin diberikan
pada pasien dengan thrombosis vena atau emboli paru berulang dan pada pasien
dengan faktor resiko menetap. Pemberian warfarin adalah secara oral.
b. Pengobatan trombolitik
Cara ini merupakan pengobatan definitive, karena bertujuan untuk menghilangkan
sumbatan mekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini adalah tombolisis. Obat
yang tersedia ada dua sediaan yaitu streptokinase dan uronkinase. Terapi trombolitik
sering diindikasikan untuk pasien emboli paru masif akut, trombosis vena dalam,
emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan terdapat penyakit jantung atau paru
tetapi belum mengalami perbaikan dengan terapi heparin.

Emboli lemak. Mekanisme terjadinya emboli lemak sampai saat ini masih belum jelas.
Lemak netral yang mengemboli paru jelas berasal dari lemak dalam sumsum tulang yang
dilepaskan oleh tenaga mekanik. Mungkin triolein dari lemak netral sebagian dihidrolisis
menjadi asam lemak bebas oleh lipoprotein lipase dalam paru, dan kerusakan utama pada paru
disebabkan oleh asam lemak bebas. Namun demikian, sebagian kerusakan paru mungkin
terjadi melalui hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh embolisasi, trombositopenia yang
diinduksi oleh lemak yang bersirkulasi, atau koagulasi dan lisis fibrin dalam paru. Apa pun
penyebabnya, gambaran histologisnya sama dengan edema paru karena peningkatan
permeabilitas, dengan gambaran tambahan berupa globul lemak dalam pembuluh darah kecil
dan lemak bebas dalam ruang alveolar. Emboli lemak banyak ditemukan pada kasus patah
tulang panjang, terutama femur atau tibia. (Huldani, 2014)
10. SEPTUM DEVIASI

Definisi

Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung, namun bisa terdapat kelainan
berupa septum yang tidak terletak di tengah yang disebut septum deviasi. Septum deviasi dapat
menyebabkan gangguan jalan napas dan gejala sumbatan hidung. Defleksi anterior yang
memiliki dampak terbesar pada aliran udara.

Etiologi

Penyebab tersering dari deviasi septum ialah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada
waktu partus atau bahkan pada masa janin intauterin. Penyebab lain terjadinya deviasi septum
ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh meskipun btas
superior dan inferior telah menetap. Dengan demikian dapat menyebabkan terjadinya deviasi
septum.
- Trauma langsung
- Kerusakan pada bagian hidung yang lain
- Posisi intrauterine abnormal
- Tekanan torsi pada hidung saat kelahiran

Klasifikasi
Tipe septum menurut Mladina adalah :
-Tipe I, terdapat rista unilateral di puncak septum yang tidak mengganggu fungsi katup
hidung
-Tipe II, krista unilateral di ujung konka media
-Tipe III, terdapat krista unilateral di ujung konka media
-Tipe IV, terdapat dua krista, satu krista terletak berdekatan dengan ujung konka media,
sedangkan krista lain terletak di sisi berseberangan pada area katub
-Tipe V, krista unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain septum lurus.
-Tipe VI, menunjukan sulkus pada sisi yang berseberangan dengan krista
-Tipe VII adalah campuran dari jenis I ke VI.
Gejala Klinik
Keluhan yang paling sering pada hidung ialang sumbatan hidung yang menetap. Dumbatan
bisa bersifat unilateral dapat pula bilateral. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di
sekitar mata. Selain itu, penciuman bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga deviasi septum merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis.

Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang
hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah
deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.
Penting untukpertama-tama melihat vestibulum nasi tanpaspekulum, karena ujung
spekulum dapat menutupideviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama jugadilakukan terhadap
dinding lateral hidung untukmenentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi
juga diperiksa karena struktur-struktur inisering terjadi gangguan yang berhubungan
dengandeformitas septum.
Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya.Pada
pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak septum nasi yang
bengkok.Pemeriksaan nasoendoskopidilakukan bila memungkinkan untuk menilai
deviasiseptum bagian posterior atau untuk melihat robekanmukosa. Bila dicurigai terdapat
komplikasi sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan X-ray sinus paranasal.
Penatalaksanaan
♣ Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi
septum.
♣ Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
♣ Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
♣ Pembedahan :
o Septoplasty (Reposisi Septum)
Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat dikombinasi
dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi dislokasi pada bagian caudal dari
kartilago septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian
tengah atau posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan
saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin
timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle
nose.Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan wajah pada anak-
anak.
o SMR (Sub-Mucous Resection)
Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi dilepaskan dari
tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian
diangkat, sehingga muko-perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan
langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya hidung pelana
(saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum
terlalu banyak diangkat.Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak
karena dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.

Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang
hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi,
diantaranya :
 Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau
berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
 Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan
darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan.
 Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan
perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
 Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari
dalam hidung.
 Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki
deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan

11. ARDS
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)adalah salah satu penyakit paru akut yang
memerlukan perawatan di Intensive Care Unit(ICU) dan mempunyai angka kematian yang
tinggi yaitu mencapai 60%.Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk
(1967) sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto
toraks dan penurunan compliance atau daya regang paru.

ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu:
1. Fase eksudatif: fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif: terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi
fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan
perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/ membran hialin.
Merupakan fase menentukan, cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, ada resiko
terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery: Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami
remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur-angsur membaik dalam waktu 6 –12 bulan,
dan sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya.
KLASIFIKASI
Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok berdasarkan nilai
PaO2/FiO2. Berikut merupakan definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin:
a. Ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang dari dan sama dengan
300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure (PEEP) atau continuous positive
airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O.
b. Sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari dan sama dengan 200
mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
c. Berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.

DIAGNOSIS KLINIS
Onsetakut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang menjadi faktor
risiko ARDS. Tandanya adalah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi kasar yang jelas,
dan adanya gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak respons dengan pemberian oksigen.
Bisa juga dijumpai hipotensi dan febris. Sebagian besar kasus disertai dengan mutiple organ
dysfunction syndrome (MODS)yang umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem
kardiovaskuler dan saluran cerna seperti perdarahan saluran cerna.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
 AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada
emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis respiratorik pada proses awal dan
kemudian berkembang menjadi asidosis respiratorik.
 Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis), anemia,
trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel, peningkatan kadar
amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab ARDSnya)
 Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular disseminata yang
merupakan bagian dari MODS.
Radiologi: Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang relatif jernih,
namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-opak yang difus atau patchy
bilateraldan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran confluenttanpa gambaran
kongesti atau pembesaran jantung.Dari CT scan tampak pola heterogen, predominan limfosit
pada area dorsal
paru (foto supine).

TATA LAKSANA
Aspek esensial dalam tata laksana pasien dengan ARDS adalah mengobati penyebab
presipitasi, menyediakan perawatan suportif yang baik, dan mencegah komplikasi lanjut.
Ventilasi volume tidal rendah (6 mL/kg BB ideal) sebaiknya diberikan pada semua pasien
dengan ARDS. Hal ini dapat menurunkan ventilasi per menit lalu meningkatkan PaCO₂.
Positive end expiratory pressure (PEEP) biasanya diperlukan untuk menjaga oksigenasi dalam
level yang adekuat. Posisi pronasi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi namun
tidak berkaitan dengan penurunan mortalitas.
Tidak ada terapi spesifik yang efektif untuk pasien dengan ARDS. Penerapan strategi
pemberian cairan, menjaga tekanan vena sentral serendah mungkin akan mempersingkat masa
pemakaian ventilasi mekanik. Berdasarkan beberapa penelitian,penggunaan kortikosteroid dan
nitric oxide tidak direkomendasikan pada ARDS.Terapi non-konvensional seperti
memposisikan pasien dalam posisi tengkurap (prone position), memberikan efek dalam
meningkatkan oksigenasi dan berhubungan dengan menurunkan mortalitas.

12. NRDS

Definisi

NRDS juga dikenal sebagai penyakit membran hialin, adalah gangguan pernapasan tersering
pada bayi prematur. Diagnosis klinis dibuat pada bayi prematur dengan kesulitan pernapasan
yang meliputi tachypnea, retraksi, pernapasan mendengus, nasal flaring dan kebutuhan untuk
↑ FIO2. Dalam tiga dekade terakhir, pengenalan steroid antenatal dan surfaktan eksogen
sangat meningkatkan hasil pada RDS; Namun, ini tetap menjadi masalah klinis utama.
Faktor Resiko

Patofisiologi

Penyebab utama RDS adalah surfaktan paru yang tidak memadai. Lemahnya jaringan dan
paru yang kekurangan surfaktan memiliki ↓ compliance dan kecenderungan untuk atelectasis;
faktor lain pada bayi prematur yang ↑ risiko atelektasis adalah penurunan radius alveolar dan
dinding dada yang lemah. Dengan atelektasis, perfusi yang baik tetapi daerah paru-paru yang
kurang ventilasi menyebabkan ketidaksesuaian V / Q (dengan pirau intra pulmonal) dan
hipoventilasi alveolar dengan hipoksemia dan hiperkarbia yang dihasilkan. Hipoksemia berat
dan hipoperfusi sistemik menyebabkan penurunan pengiriman O2, metabolisme anaerobik
dan asidosis laktat berikutnya. Hipoksemia dan asidosis lebih lanjut dapat merusak oksigenasi
dengan menyebabkan vasokonstriksi paru, menghasilkan shunting kanan-ke-kiri pada tingkat
foramen ovale dan duktus arteriosus.
Faktor-faktor lain, seperti baro / volutrauma dan FIO2 tinggi, dapat memulai pelepasan
sitokin inflamasi dan kemokin yang menyebabkan lebih banyak cedera sel endotel dan epitel.
Cedera menghasilkan sintesis dan fungsi surfaktan yang berkurang serta peningkatan
permeabilitas endotel yang menyebabkan edema pulmonal. Kebocoran protein ke ruang
alveolar semakin memperparah defisiensi surfaktan dengan menyebabkan inaktivasi
surfaktan. Secara makroskopik, paru-paru tampak sesak, atelektrik dan padat. Mikroskopis,
difus alveolar Atektasis eksotat protein dan edema pulmonal terlihat. Membran eosinofilik
yang tersusun dari matriks material yang mengandung fibrin dari darah dan puing-puing
seluler (selaput hyaline) melapisi ruang udara yang terlihat yang biasanya merupakan
terminal bronchioles dilatasi dan duktus alveolar.

Gejala klinis

Tanda-tanda RDS muncul segera setelah lahir atau dalam 4 jam. RDS ditandai dengan
tachypnea (> 60 napas / menit), retraksi interkostal dan subkostal, hidung membara,
mendengus, dan sianosis di udara kamar. Tachypnea adalah karena upaya untuk
meningkatkan ventilasi menit untuk mengimbangi penurunan volume tidal dan meningkatkan
ruang mati. Retraksi terjadi ketika bayi dipaksa untuk menghasilkan tekanan intrathoracic
yang tinggi untuk memperluas paru-paru yang tidak patuh. Grunting hasil dari penutupan
parsial glotis selama ekspirasi paksa dalam upaya mempertahankan FRC. Setelah perbaikan
awal dengan resusitasi dan stabilisasi, kursus yang tidak rumit sering ditandai dengan
perburukan progresif selama 48 hingga 72 jam. Pemulihan biasanya bertepatan dengan
diuresis setelah periode awal oliguria. Gambaran klinis lainnya mungkin termasuk hipotensi,
asidosis dan hiperkalemia. Radiografi dada khas menunjukkan volume paru-paru rendah dan
pola, granuler retikuler bilateral (penampilan kaca tanah) dengan bronkogram udara
superimposed. Dalam kasus yang lebih parah, ada "white out" keluar dari bidang paru-paru.
Penerapan tekanan saluran udara positif dapat meminimalkan atau bahkan menghilangkan
temuan radiografi ini. Komplikasi akut termasuk kebocoran udara dan perdarahan
intrakranial. Jangka panjang, RDS telah dikaitkan dengan peningkatan insiden penyakit paru-
paru kronis, ROP, dan gangguan neurologis.

Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan bayi dengan RDS adalah untuk: • Menghindari hipoksemia dan
asidosis

• Optimalkan manajemen cairan: hindari kelebihan cairan dan tubuh yang dihasilkan dan
edema paru sambil menghindari hipovolemia dan hipotensi

• Mengurangi kebutuhan metabolik dan memaksimalkan nutrisi

• Meminimalkan cedera paru-paru sekunder akibat volutrauma dan toksisitas oksigen

Tiga kemajuan terpenting dalam pencegahan dan pengobatan RDS adalah: (a) glukokortikoid
antenatal, (b) tekanan saluran napas positif kontinyu (CPAP) dan tekanan ekspirasi akhir
positif (PEEP), dan (c) terapi penggantian surfaktan. Ini secara dramatis telah menurunkan
morbiditas dan mortalitas dari RDS.

1. Glukokortikoid antenatal mempercepat kematangan paru janin dengan meningkatkan


pembentukan dan pelepasan surfaktan dan memudarkan paru secara morfologis. Tingkat
stres fisiologis kortikosteroid diberikan kepada ibu memulai induksi reseptor-dimediasi
protein spesifik perkembangan diatur pada janin. Pemberian glukokortikoid setidaknya
24 hingga 48 jam (dan tidak lebih dari 7 hari) sebelum kelahiran prematur menurunkan
insidensi dan keparahan RDS. Mereka paling efektif sebelum 34 minggu. Namun, steroid
antenatal masih harus dipertimbangkan ketika terapi kurang dari 24 jam sebelum
pengiriman yang diantisipasi karena penurunan mortalitas neonatal dan RDS masih dapat
terjadi dalam rentang waktu ini. Program kortikosteroid yang berulang (> 3) telah
dikaitkan dengan penurunan pertumbuhan janin dan hasil neurologis yang lebih buruk.
Steroid antenatal juga mengurangi insidensi perdarahan intraventrikular, efek yang tidak
bergantung pada morbiditas pulmonal yang berkurang dan yang mungkin sekunder untuk
stabilisasi aliran darah serebral atau pematangan pembuluh darah otak. Efek steroid
antenatal dan surfaktan telah terbukti aditif dalam meningkatkan fungsi paru-paru.
2. Surfaktan eksogen: Telah ditunjukkan dalam beberapa percobaan terkontrol secara acak
bahwa penggunaan surfaktan eksogen pada bayi prematur meningkatkan oksigenasi,
mengurangi kebocoran udara, mengurangi mortalitas akibat RDS, dan menurunkan
mortalitas secara keseluruhan.
a. Waktu pemberian surfaktan: Dua pendekatan telah digunakan untuk
pengiriman surfaktan: pengobatan profilaksis dan penyelamatan. Pemberian
profilaksis melibatkan pemberian surfaktan segera setelah lahir, segera setelah
bayi telah stabil. Manfaat teoritis dari pendekatan ini adalah bahwa
penggantian surfaktan sebelum RDS berkembang akan menghindari atau
memperbaiki cedera paru-paru. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
epitel paru pada subjek yang sangat prematur dapat rusak dalam beberapa
menit setelah terjadinya ventilasi. Kerusakan dapat menyebabkan kebocoran
protein yang kemudian mengganggu fungsi surfaktan. Administrasi
penyelamatan melibatkan pemberian surfaktan untuk bayi yang telah
membentuk RDS dan memerlukan ventilasi mekanis dan O2 tambahan.
Keuntungan dari pendekatan ini adalah pasien tidak diperlakukan secara tidak
perlu. Karena surfaktan saat ini hanya dapat diberikan melalui tabung
endotrakeal, ini akan mencegah intubasi dan ventilasi mekanis bayi yang akan
melakukan dengan baik tanpa surfaktan dan menghindari baro / volutrauma
yang tidak perlu, efek fisiologis yang merugikan dari laringoskopi, dan
kemungkinan hiperventilasi yang tidak disengaja. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan penurunan yang lebih besar dalam kematian neonatal dengan
pemberian profilaksis dibandingkan penyelamatan, terutama pada bayi yang
paling berisiko RDS (yaitu, <27 minggu GA). Namun, dengan penggunaan
CPAP hidung pada bayi VLBW dan tingkat pemberian steroid antenatal yang
lebih tinggi, terdapat kontroversi pada waktu optimal pemberian surfaktan,
menyeimbangkan manfaat pemberian surfaktan awal dengan keuntungan
menghindari ventilasi mekanis dan volutrauma. Pendekatan saat ini untuk
waktu terapi surfaktan di UCSF dirangkum dalam Tabel 3

b. Administrasi dan dosis surfaktan: Untuk pemberian profilaksis, posisi


endotrakeal (ET) tabung harus diverifikasi oleh dua orang sebelum surfaktan
diberikan. Pasang syringe surfaktan ke port samping tabung ET, tutup ujung
tabung ET, dan berikan surfaktan sebagai alikuot tunggal selama ≈ 5 detik.
Untuk terapi penyelamatan, dapatkan rontgen dada untuk memastikan posisi
tabung. Berikan surfaktan melalui selang pengisi yang dimasukkan ke (tetapi
tidak melewati) ujung tabung ET. Berikan cara yang sama dengan pengobatan
profilaksis. Administrasi yang lebih lambat dapat mengganggu
keampuhannya. Setelah pemberian, bayi harus diventilasi dengan tangan dan
mungkin secara sementara memerlukan dukungan ventilasi yang lebih tinggi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dua dosis, 12 jam terpisah, mungkin
lebih efektif daripada terapi dosis tunggal. Lebih dari 2 dosis jarang diperlukan
dan jarang efektif. Dosis surfaktan adalah:
InfasurfTM 3mL / kg
SurvantaTM 4 mL / kg
c. Kriteria untuk pengobatan penyelamatan: Perawatan penyelamatan dengan
surfaktan harus diberikan kepada bayi prematur yang memiliki:
• Distres pernapasan, memerlukan intubasi dan ventilasi bantuan, • Tidak ada
bukti radiologis dari proses penyakit lain, dan memerlukan
• FIO2> 0,3 atau tekanan udara rata-rata ≥7 cmH2O
d. Komplikasi: Meskipun pemberian surfaktan relatif aman, komplikasi termasuk
obstruksi tuba endotrakeal, peningkatan sementara pada kebutuhan O2 dan
pengaturan ventilasi, dan perdarahan pulmonal, efek samping jarang yang
dilaporkan pada 2-6% bayi yang diberikan surfaktan.
3. Oksigen harus diberikan kepada bayi prematur dalam konsentrasi yang cukup untuk
mempertahankan PaO2 antara 50-70 mmHg atau saturasi (dengan pulse oximetry)
antara 85-92%. Konsentrasi O2 yang lebih tinggi dapat memperparah cedera paru dan
akan meningkatkan risiko retinopati prematuritas.
4. Manajemen Pernafasan: Silakan lihat bagian tentang Dukungan Pernafasan (P. 10)
untuk pembahasan strategi ventilasi yang lebih lengkap. Keputusan awal dalam
penanganan pernapasan pada bayi dengan RDS adalah apakah bayi dapat ditangani
secara adekuat dengan CPAP hidung (yaitu, tidak ada pengobatan dengan surfaktan)
atau harus menerima intubasi endotrakeal, terapi surfaktan dan ventilasi mekanis.
Intubasi endotraheal harus dilakukan pada bayi yang memerlukan pemberian
surfaktan profilaktik atau yang memenuhi kriteria yang tercantum dalam Tabel 4.

Sasaran dari manajemen ventilasi pada bayi yang diintubasi adalah untuk menjaga
oksigenasi dan ventilasi yang adekuat sambil meminimalkan cedera paru yang
diinduksi ventilator. Untuk mencapai tujuan ini, gunakan strategi hypercarbia
permisif, pertahankan PaCO2 antara 45 - 55 mmHg, secara teoritis mengurangi
volutrauma dan mencegah efek merusak hipocarbia. Untuk mengurangi lebih jauh
risiko volutrauma, sesuaikan tekanan ventilasi untuk mempertahankan volume tidal
antara 4-5 mL / kg. Administrasi surfaktan meningkatkan mekanika paru (↑ kepatuhan
paru) dan meningkatkan oksigenasi dengan mengurangi atelectasis dan meningkatkan
FRC. Sangat penting untuk mengenali kerangka waktu dari perubahan ini. Setelah
pemberian surfaktan, mungkin ada perbaikan yang sangat cepat pada fungsi paru yang
memerlukan penyapihan cepat pengaturan ventilator. Perhatian yang cermat harus
diberikan pada volume tidal, tekanan gas darah, CO2 transkutan dan nilai oksimeter
denyut untuk menghindari hiperventilasi yang tidak disengaja, hiperoksia dan
gangguan paru-paru yang berlebihan, yang semuanya dapat menyebabkan cedera
paru-paru. Meskipun mungkin perlu untuk menyapih FIO2, tekanan inspirasi dan
tingkat ventilator, seseorang harus mengurangi PEEP dengan sangat hati-hati. Bayi
pada fase awal RDS jarang akan mempertahankan inflasi paru yang adekuat jika
PEEP <5 cmH2O, bahkan setelah pemberian surfaktan.
Baru-baru ini, banyak upaya telah diarahkan ke modalitas lain yang kurang invasif
dari dukungan pernapasan untuk mencegah cedera paru-paru, khususnya CPAP
hidung. CPAP, sebagai pengobatan untuk RDS, pertama kali dijelaskan pada tahun
1971 oleh George Gregory di UCSF. Modifikasi dalam sistem pengiriman CPAP
hidung telah membangkitkan minat baru pada CPAP hidung untuk manajemen
ventilasi RDS. Percobaan terkontrol acak telah menunjukkan kebutuhan yang
menurun untuk ventilasi mekanik pada bayi VLBW yang diobati dengan CPAP
hidung, meskipun dampak pada kematian dan penyakit paru kronis belum ditentukan.
Selain itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa sekitar 70% bayi dengan berat lahir
<1.000 g tidak akan ditangani secara memadai dengan CPAP hidung dan akan
memerlukan intubasi dan ventilasi mekanis. Namun demikian, untuk meminimalkan
cedera paru yang diinduksi ventilator, ekstubasi dini untuk CPAP hidung adalah
strategi yang masuk akal. Kriteria untuk ekstubasi ke CPAP hidung pada minggu
pertama kehidupan adalah:
• Penggerak pernapasan yang adekuat, dan
• Tekanan udara rata-rata ≤7 cmH2O, dan
• FIO2 ≤0.35
Nasal CPAP dikirim melalui masker hidung khusus atau garpu, menggunakan sistem
aliran permintaan pasien. CPAP dikelola antara 4 dan 6 cmH2O. Tekanan yang lebih
rendah tidak mempertahankan inflasi paru dan tekanan yang lebih tinggi sering
menyebabkan distensi lambung. Keterbatasan untuk penggunaan CPAP hidung
termasuk hiperkarbia, episode sering apnea, distensi lambung dan kerusakan kulit
hidung dan mukosa dari masker / garpu.
Metode dan waktu penyapihan lebih lanjut, dari CPAP hidung untuk suplementasi O2
melalui kanula hidung, bervariasi dengan usia kehamilan, usia pasca melahirkan,
berat badan dan stabilitas pasien individu. Beberapa bayi memerlukan transisi
bertahap ke kanula nasal melalui "sprinting," sebuah proses di mana bayi diujikan
pada kanula nasal untuk sebagian hari dan kemudian kembali ke CPAP hidung. Saat
bayi menunjukkan peningkatan toleransi pada uji coba ini, durasi uji coba ini secara
perlahan diperpanjang. Waktu uji coba ini sering kali bersamaan dengan pemberian
makan, untuk meminimalkan penanganan bayi VLBW (misalnya, jika pemberian
makan adalah q3 jam, uji coba hidung kanula biasanya meningkat dalam interval 3
jam).
5. Terapi antibiotik: Gambaran klinis dan radiografi pneumonia mungkin tidak dapat
dibedakan dari RDS saat lahir. Akibatnya, semua bayi dengan RDS harus memiliki
kultur darah dan CBC diambil, dan harus menerima terapi antibiotik empiris
(Ampisilin dan Gentamisin). Umumnya, antibiotik dapat dihentikan jika kultur darah
tidak mengalami pertumbuhan setelah 48 jam, kecuali riwayat pranatal atau skenario
klinis memerlukan perawatan tambahan.
6. Termoregulasi: Kontrol suhu yang hati-hati sangat penting pada semua bayi VLBW
dan sangat penting pada bayi dengan RDS untuk meminimalkan kebutuhan metabolik
dan konsumsi oksigen. RDS dapat membatasi penyerapan oksigen yang mengarah ke
hipoksia yang membatasi kemampuan bayi untuk meningkatkan tingkat metabolisme
mereka ketika stres dingin, yang mengakibatkan penurunan suhu tubuh. Inkubator
atau penghangat radiasi harus digunakan untuk menjaga lingkungan termal yang
netral bagi bayi.

13. SLEEP APNEU

Central Sleep Apnea (CSA)


Keadaan ini ditandai dengan berkurangnya ventilasi selama tidur yang disebabkan
menurunnya upaya respirasi selama 10 detik atau lebih pada orang dewasa. Umumnya terjadi
pada penderita dengan gangguan neurologis yang mempengaruhi pusat pernapasan. Prevalensi
CSA tidak diketahui, meskipun pada penderita gangguan neuromuskular dan orang tua
mempunyai predisposisi lebih besar. Aliran udara tidak terjadi, disebabkan berhentinya upaya
bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot
dada untuk mempertahankan siklus pernapasan. Pergerakan irama pernapasan hilang secara
periodik, jalan napas tetap terbuka tetapi udara tidak masuk melalui hidung atau mulut karena
aktivitas diafragma dan otot dada berhenti. Penderita dengan CSA tidak ada dengkuran dan
cenderung sering terbangun dari tidur.

Patogenesis
Ketidakstabilan pola pernapasan CSA disebabkan oleh berbagai keadaan klinis mulai
dari kerusakan batang otak hingga vertebra servikal dan dapat diklasifikasikan sebagai
hiperkapnia atau hipokapnia. Bentuk hiperkapnia tampak pada penderita penyakit sistem saraf
pusat yang menyebabkan hilangnya kontrol pernapasan, seperti ensefalitis, penyakit
neuromuskular atau abnormaliti anatomi toraks (kifoskoliosis) sedangkan hipokapnia terjadi
pada penderita dengan gagal jantung kongestif.
Ketidakstabilan yang disebabkan oleh pernapasan periodik (pernapasan cheyne-stokes)
timbul hanya pada saat mengantuk dan tidur dangkal. Karena tidak ada defek pada kontrol
pernapasan, kadar PCO2 arteri saat bangun atau tidur gelombang lambat adalah normal atau
rendah. Siklus hipopnea (apnea) bergantian dengan hiperpnea (pernapasan Cheyne-stokes)
secara berulang sampai terjadi tidur.

Gambaran Klinis
Central sleep apnea pada penderita gangguan kontrol respirasi atau fungsi
neuromuskular memberikan gambaran klinis episode gagal napas berulang dan gambaran
sindroma hipoventilasi alveolar kronik, retensi CO2 , hipoksemia, hipertensi pulmoner, gagal
jantung kanan dan polisitemia. Keluhan yang timbul yaitu restless sleep (badan terasa tidak
bugar setelah tidur), sakit kepala pagi hari, kelelahan dan rasa mengantuk siang hari.
Beberapa penderita mempunyai riwayat obstruksi hidung dan mendengkur sehingga
pada awalnya dianggap menderita OSA. Penderita tipe CSA ini dapat terjadi tanpa gangguan
klinis (idiopathic central sleep apnea) tetapi dapat merupakan gambaran sekunder gagal jantung
kongestif. Penderita dengan gagal jantung dan CSA terdapat insomnia, paroxysmal nocturnal
dyspnea serta denyut takikardia ventrikuler lebih tinggi dibandingkan tanpa CSA dan
berhubungan dengan saturasi O2 . Mekanismenya belum diketahui tetapi diduga karena
hipoksia akibat apnea, aktivitas saraf simpatis, tekanan darah sistemik atau volume ventrikel
kanan yang lebih besar pada penderita CSA. Faktor ini berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas pada penderita gagal jantung kongestif dengan apnea tidur dibandingkan tanpa apnea
tidur.

Obstructive Sleep Apnea (OSA)


Insidensi OSA diperkirakan 1–4% populasi umum. Penderita OSA dengan kebiasaan
mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan saturasi oksihemoglobin
sewaktu tidur dibandingkan tanpa mendengkur. Enampuluh persen pasien OSA adalah
kelebihan berat badan (berat badan lebih dari 20 persen diatas ideal). Ukuran leher, area distal
faring dan indeks masa tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea.
Apnea dapat didefinisikan sebagai hilangnya aliran udara sedikitnya 10 detik.
Penurunan volume tidal melebihi 50% tetapi di bawah 75% dari nilai dasar dengan terhentinya
aliran udara sedikitya 10 detik disebut hipopnea. Gabungan apnea/hipopnea merupakan
patofisiologi obstructive apnea. Pada dewasa muda normal, sampai dengan apnea/hipopnea
perjam saat tidur adalah fisiologis, frekuensi ini meningkat sesuai umur.
Laki–laki mempunyai tahanan faring lebih tinggi ketika bangun dan celah faring lebih
kecil sehingga respon ventilasi yang menyebabkan terjadinya hiperkarbia dan hipoxia lebih
besar pada laki–laki dan faktor hormonal berperan pada patogenesis OSA.
Obstructive sleep apnea umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40–
50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak–anak dan remaja. Mayoritas pasien OSA
adalah kelebihan berat badan, tidak semua obesitas meskipun demikian peningkatan berat
badan mempengaruhi peningkatan frekuensi apnea/hypopnea dan penurunan berat badan
mempengaruhi penurunan apnea/hypopnea index (AHI).
Evaluasi anatomi jalan nafas atas merupakan bagian dari pemeriksaan fisis penderita
OSA. Inspeksi terdapatnya abnormaliti struktur atau sempitnya saluran napas atas sering terjadi
pada pasien OSA. Obstructive sleep apnea sydrome berhubungan dengan beberapa penyakit
paru seperti PPOK, penyakit paru restriktif, penyakit neuromuskular.

Patogenesis
Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga aposisi dengan
dinding faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Sewaktu tidur
oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran udara meskipun pernapasan masih
berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia sampai proses terbangun yang singkat dari tidur
dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan kembali.
Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang
kembali.
Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi melebihi kekuatan
stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa penderita dengan
penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertropi adenotosilar,
magroglossia atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring menyebabkan complaince saluran
napas atas meningkat sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif .
Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang berlebihan
pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya ventilasi saat tidur dan jaringan
lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter saluran napas yang merupakan predisposisi
terjadinya penutupan prematur saat jaringan otot relaksasi waktu tidur.
Saat bangun, aktiviti otot saluran napas atas lebih besar dari normal, kemungkinan
kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi. Aktiviti otot yang
menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran napas atas sewaktu inspirasi. Reduksi
fisiologis aktivitas saluran napas atas terjadi selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif
menyebabkan depresi aktiviti otot saluran napas atas sehingga terjadi kolaps.
Beberapa penderita juga tampak obstruksi hidung, tahanan tinggi merupakan
predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif meningkat di faring saat inspirasi
menyebabkan kontraksi diafragma meningkat untuk mengatasi tahanan aliran udara di hidung.
Akhir obstructive apnea tergantung proses terbangun dari tidur ke tingkat tidur yang lebih
dangkal dan diikuti oleh aktiviti otot dilator dan abduktor saluran napas atas dan perbaikan
posisi saluran napas.
Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak, uvula dan besar lidah, saluran
napas atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring ukuran dan konturnya normal

Gambaran Klinis
Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan
neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi klinis tersering
adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa mengantuk berat di siang hari.
Gejala malam yang tersering adalah suara dengkuran keras yang disebabkan jalan napas yang
sempit. Akhir tiap episode apnea biasanya ditandai dengan hembusan napas dengkuran keras
yang diikuti gerakan tubuh, penderita tidak
menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya. Kadang penderita terbangun dan
tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak nyenyak, disorientasi dan sakit kepala di pagi hari.
Akibat gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering merasa
mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari. Termasuk didalamnya depresi,
iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat bekerja atau saat menyetir kendaraan.
Diperkirakan sampai 50% penderita apnea tidur mempunyai tekanan darah tinggi meskipun
tidak diketahui dengan jelas apakah merupakan penyebab atau efek apnea tidur. Risiko
serangan jantung dan stroke meningkat pada penderita apnea tidur.

Diagnosis dan Skrining Obstruktive Sleep Apnea


Ciri khas penderita OSA adalah usia pertengahan, laki–laki atau perempuan dengan
kelebihan berat badan ringan sampai sedang dan hipertensi dengan riwayat mendengkur. Tidur
tidak nyenyak, tersedak di malam hari atau sesak napas dan mengantuk berat di siang hari.
Keadaan ini kurang terjadi pada wanita premenstruasi, anak-anak, laki–laki muda dan tidak
obesiti.
Penelitian menunjukan bahwa perempuan pasca menopause mempunyai
kecenderungan 2,6 kali mempunyai 5 atau lebih apnea atau hipopnea perjam dan 3,5 kali
mempunyai 15 atau lebih apnea atau hipopnea perjam dibandingkan perempuan premenopause
dan tidak meningkat pada perempuan perimenopause. Sedangkan pemberian hormon
pengganti pada perempuan pasca menopause dapat mencegah atau mengurangi gangguan
napas saat tidur.
Banyak penderita OSA dengan obesiti, ukuran leher lebih dari 17 inchi merupakan
faktor risiko, pengukuran body mass index (BMI) dan pengukuran tekanan darah karena
prevalensi hipertensi tinggi pada populasi ini. Pemeriksaan fisis pada lokasi obstruksi di kepala
dan leher, pemeriksaan tonsil dan posisi rahang dan hyoid. Screening OSA dapat dilakukan
dengan kuesioner Berlin yang bertujuan untuk menjaring pasien PPOK yang mempunyai risiko
tinggi terjadi OSA. Telah dilakukan penelitian di Amerika dan Eropa yang mendapatkan
sensitiviti 0,86, spesifisiti 0,77, positive predictive value 0,89 dan likelihood ratio 3,79.
Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang apakah mereka
mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain.
Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan
pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat
badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan
berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai
validiti yang tinggi (Croback correlation dari 0,86 – 0,92).
Diagnosis pasti penderita OSA dan CSA dengan pemeriksaan polisomnografi. Pada
OSA untuk melihat episode berhentinya aliran udara yang berulang diikuti dengan upaya
respirasi kontinue sedangkan pada CSA untuk melihat episode apnea berulang diikuti dengan
hilangnya upaya ventilasi, gerakan napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga dan
abdomen juga aktiviti elektromiografi diafragma.

Polisomnografi
Polisomnografi merupakan alat uji diagnostik menevaluasi gangguan tidur, dilakukan
pada saat malam hari di laboratorium tidur. Laboratorium tidur biasanya terdapat di klinik atau
rumah sakit tetapi ruangan ini di desain sedemikian rupa sehingga tidak memberikan kesan
sarana kesehatan. Pemeriksaan terdiri dari elektroensefalogram (EEG), elektromyogram
(EMG), elektrookulogram (EOG), parameter respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi
oksigen dan mikrofon untuk merekam dengkuran. Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit.
Mendengkur dan obesiti merupakan faktor risiko OSA, tanpa gejala klinis tidak
merupakan indikasi pemeriksaan polisomnografi. Pemeriksaan ini cukup untuk mengevaluasi
gangguan tidur selama rekaman satu malam.
DAFTAR PUSTAKA
ACS. (2008). Trauma Thoraks. Dalam ATLS Student Course Manual 8th edition. USA.

Kowalak, & Jennifer, P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi : "Sistem Pernapasan


Pneumothoraks". Jakarta: EGC.

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., K, M. S., Setiyonadi, B., & Syam, A. F. (2014). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Huldani. 2017. Edem Paru Akut. Referat. Banjarmasin: Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai