Oleh Sylviani
Ringkasan
I. PENDAHULUAN
Hukum adat atas tanah umumnya sangat dihormati oleh masyarakat adat karena hukum
adat bermula dari keturunan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Ada beberapa
bentuk hak adat atas tanah seperti, hak milik yang diperoleh dengan membuka lahan
sendiri atau diwariskan oleh keturunannya, hak atas tanah tempat budidaya , tempat
berburu, hak atas tanah hutan yang tidak boleh dibuka karena terdapat hal-hal megis dan
sakral serta hak atas tanah persekutuannya. Sebagaimana tertuang dalam undang-undang
No: 41 /1999 bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Penguasaan hutan adat oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat sepanjang masih diakui keberadaannya (UU No 41 Bab IX ps 67
thn 99 ). Kawasan adat berkembang karena pola perekonomian masyarakat yang hanya
tertumpu pada lahan.yang dikelola oleh masyarakat adat. Hal ini mengakibatkan lahirnya
hukum adat atas tanah, berupa peraturan tidak tertulis yang mengatur penggunaan tanah
berikut hutan dalam lingkungan masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan ( Dafrid
1998 ). Namun demikian hak atas tanah adat ini sering bertentangan antara batas-batas
tanah persekutuan dengan peraturan pemerintah seperti Undang Undang No. 5 tahun
1979 tentang pemerintahan desa yang mengharuskan wilayah desa memiliki batas-batas
tertentu. Dengan demikian, hukum adat tanah tidak mampu menghadapi permasalahan
yang timbul dalam lingkungan teritorial desa akibat adanya tumpang tindih peraturan,
sehingga tanah berikut aset yang dikandungnya beralih ke pihak luar yang lebih kuat (
Wantjik 1977). Dengan perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat
adat menimbulkan konflik yang berdampak terhadap menurunnya nilai-nilai budaya yang
sudah tertanam secara turun menurun. Sejauh ini perangkat hukum pertanahan belum siap
memberikan perlindungan terhadap tanah adat baik secara geneologis maupun teritorial.
Meskipun secara resmi pengakuan hak masyarakat adat telah ada, namun istilah hak
ulayat untuk memiliki semua hak oleh sekelompok masyarakat terdapat sejumlah
persyaratan yang membatasinya ( Salle, 1999 ).
Dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang ada pada masyarakat adat, maka
sistem penguasaan lahan (adat / negara ) oleh msyarakat setempat maupun pendatang
merupakan faktor penting penentu peran masyarakat di dalam pemeliharaan suatu
kawasan tertentu. Hutan tidak terlepas dari keanekaragaman hayati ( biodiversity ), dan
keanekaragaman hayati berkaitan erat dengan keanekaragaman budaya ( Hadi 2001 ).
Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kelangkaan sumber daya hutan di masa
mendatang perlu dilakukan beberapa perubahan dan inovasi mendasar dengan melibatkan
masyarakat setempat / lokal yang akan memberikan peluang kepada mereka untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan guna meningkatkan kesejahteraannya .
Saat ini masyarakat lokal masih ada yang belum diakui haknya dalam pengelolaan hutan.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus konflik yang terjadi antara pihak pengusaha
pengelola lahan dengan masyarakat lokal misalnya dengan pembakaran hutan, pencurian
kayu dan lain-lain. Namun penduduk lokal tetap mengklaim bahwa hutan yang mereka
usahakan adalah merupakan hak/miliknya, karena mempunyai ikatan yang kuat antara
masyarakat lokal dan tanahnya. Tidak saja ikatan ekonomis tetapi juga ikatan sosial,
psikologis dan religius. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal baik dalam bentuk
keluarga maupun komunitas tidak terlepas dari sistem budaya yang mereka miliki seperti
nilai, norma, kepercayaan dan etika lingkungan. Lestari atau rusaknya hutan sangat
tergantung dari sistem sosial, teknologi dan sistem budaya yang dimilikinya dalam
memanfaatkan hutan ( Raga, 2001 ). Dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat
lokal / adat yang perekonomiannya sangat tergantung pada lahan sekitarnya, maka
penguasaan lahan oleh masyarakat tersebut perlu diakui sepanjang kondisi lahan dapat
terjaga kelestariannya. Sehubungan dengan hal tersebut penelitian ini dilakukan guna
membangun data dasar dalam rangka mewujudkan pengelolaan lahan yang lestari oleh
masyarakat lokal/adat Tujuan Penelitian adalah:
Mengkaji penguasaan dan pemanfaatan lahan adat
Mengkaji persepsi masyarakat komunal tentang pemanfaatan hutan bagi
kehidupannya.
Mengkaji kelembagaan adat yang ada dan perannya dalam pengelolaan lahan.
C Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder . Data
sekunder diperoleh dari instansi terkait antara lain Dinas Kehutanan propinsi dan
kabupaten, Kantor Kecamatan dan Kelurahan setempat. (1) Dalam mengkaji penguasaan
dan pemanfaatan lahan data yang dikumpulkan meliputi luas lahan adat, jumlah dan mata
pencaharian penduduk, potensi sumber daya alam yang ada dan data umum lainnya. (2)
Untuk mengkaji tentang persepsi masyarakat dikumpulkan data primer yang diperoleh
melalui wawancara langsung dengan tokoh-tokoh adat, masyarakat / responden tentang
asal usul lahan, pemanfaatan lahan, persepsi masyarakat tentang hutan, aturan / ketentuan
/ larangan yang diberlakukan. (3) Kajian kelembagaan melalui data sekunder dari
beberapa referensi yang diperoleh dari perguruan tinggi setempat serta kantor
pemerintahan setempay. Sampel diambil secara sengaja dengan pertimbangan kondisi
dan pola hidup yang hampir sama ( homogen ).Salah satu responden yang dapat
memberikan informasi yang akurat adalah ketua adat setempat yang mempunyai
wawasan lebih luas. Pengamatan dilapangan dilakukan dengan peninjauan terhadap
kondisi kehidupan masyarakat setempat seperti lingkungan sekitarnya, pola kehidupan,
cara bercocok tanam, jenis tanaman dengan harapan dapat menemukan budaya kerja atau
budaya hidup yang terpola dikalangan masyarakat tersebut
D. Analisis Data
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisa secara kualitatif diskriptif dengan mengacu
kepada tujuan penelitian. Untuk mengkaji sistem penguasaan lahan adat dilakukan
melalui telaahan landasan-landasan pokok, peraturan dan ketentuan adat yang
diberlakukan dalam pengelolaan lahan. Bagaimana kondisi sosial budaya, mata
pencaharian, pola pengelolaan lahan. Kajian pemanfaatan hutan dianalisa dengan
mengidentifikasi pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Selanjutnya dilakukan
analisis tentang kelembagaan yang ada dimasyarakat dalam bentuk kelompok tani atau
organisasi lainnya meliputi struktur organisasi, SDM dan aturan-aturan yang berlaku.
Kalimantan Barat memiliki wilayah seluas 14.680.700 ha, dengan luas kawasan hutan
sebesar 9.204.425 ha, atau 62,70 % dari luas daratan. Penelitian dilakukan di wilayah
Kabupaten Sanggau yang meliputi Kecamatan Bonti dan Kecamatan Kembayan.
Penduduk Kabupaten Sanggau sebelum jaman penjajahan Belanda bermukin dihulu
sungai Tayan, kemudian melakukan migrasi ke daerah Benua di hulu Sungai Mengkiang
Kecamatan Jangkang dan hulu sungai Sekayam kecamatan Bonti. Migrasi dilakukan
karena saat itu penduduk terserang wabah penyakit dan mereka menamakan dirinya
sebagai Orang Dayak Jangkang Benuak yang dipimpim oleh seorang Pati yang disebut
Pati Matahari atau dikenal dengan Kek Gila ( Isbat 2002 ). Orang Dayak ini hidup
terpencar-pencar berdasarkan lokasi lahan yang subur dimana tempat mereka berladang
atau disebut laman. Penyebaran penduduk pada 2 kecamatan tidak merata seperti pada
tabel berikut :
Sistem pengelolaan hutan adat oleh masyarakat ammatoa sangat erat kaitannya
dengan persepsi masyarakat ammatoa tentang hutan dan prinsip hidup sederhana yang
dijalankan oleh setiap anggota dari komunitas ini. Setiap tata cara kehidupan masyarakat
ammatoa diatur oleh ajaran pasang ( Pasang ri Kajang ) dan telah diwariskan secara
turun temurun sejak generasi ammatoa I (Toa Mariolo). Pasang merupakan sistem
pengetahuan tradisional masyarakat ammatoa yang ajarannya dipercaya bersumber dari
Turie’ A’rana (Tuhan YME) dan wajib diamalkan oleh setiap warga masyarakat
ammatoa sebagai falsafah hidup untuk kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi
berikutnya ( Rasyid 2002 ). Didalam Pasang termuat tata nilai, ilmu pengetahuan
tradisional dan tata cara kehidupan yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan, hubungan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya,
sehingga hakekat hidup bagi warga sekitar hutan, terutama masyarakat Ammatoa adalah
bagaimana menjalani kehidupan sesuai dengan isi Pasang. Karena tiang utama isi Pasang
adalah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Berkehendak dengan segala ketaatan
memenuhi perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Lambang ketaatan terhadap isi
Pasang diwujudkan dalam kesederhanaan hidup yang dalam istilah setempat disebut
sebagai Kamase-masea yang berarti prihatin atau kesederhanaan. Hidup sederhana dan
pasrah pada kesederhanaan merupakan hakekat dan inti dari Pasang. Prinsip hidup
sederhana ini cukup berpengaruh bagi kelestarian nilai budaya dan lingkungan karena
kebutuhan hidup mereka tidak akan melebihi daya dukung alam ( Salle 1999 ). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sistim penguasaan lahan adat di wilayah ini adalah
berdasarkan kepada prinsip atau aturan yang tidak tertulis yang disebut dengan pasang ri
kajang , dimana dalam aturan tersebut terkandung larangan dan aturan yang harus
dipatuhi oleh warganya.
Pemilikan sumberdaya alam hutan masyarakat Dayak didasarkan pada ketentuan
hukum adat. Hal ini dilakukan dengan cara pendataan sejumlah hak pemilikan oleh pihak
kerajaan melalui para petingginya atau kepatihan dan atau kademangan untuk selanjutnya
dikeluarkan surat keterangan atau pengakuan secara lisan atas hak pemilikan lahan hutan
tersebut. Pada jaman kerajaan Belanda dan penjajahan Jepang kondisi sumberdaya alam
masih dalam bentuk rimba. Saat itu di kerajaan Sanggau telah ada peraturan tentang
pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam khususnya lahan dan hutan
yang dituangkan dalam hukum adat dan dikelompokkan dalam wilayah (1) Tanah laman
yaitu tanah pekarangan, (2) Tanah ladang atau tempat berladang, (3) Tanah bekas ladang
( bawas), (4) Tanah tembawang atau tanah untuk tanaman buah-buahan atau
tengkawang.(5) Tanah pekuburan yaitu tanah yang digunakan untuk kuburan dan (6)
Tanah rimbah yaitu tanah yang digunakan untuk kegiatan berburu dan meramu. ( Isbat,
2002 ).
Beberapa faktor yang dipertimbangkan oleh orang Dayak Jangkang dalam menentukan
lahan hutan yang akan dibuka antara lain: kondisi topografi, kesuburan , aksesibilitas dan
siapa yang berhak memiliki hutan tersebut. Selain itu lokasi hutan yang akan dikelola
apakah berada dihutan sekunder atau primer. Pada kawasan hutan sekunder ( tebangan )
diatur dalam hukum adat dan apabila melanggar akan dikenakan sanksi atau denda yang
bersifat moral atau dikucilkan dalam masyarakat adat.
2. Persepsi Masyarakat Tentang Pemanfaatan Hutan
Pengetahuan masyarakat Ammatoa tentang hutan tidak terlepas dari sistem
kepercayaan yang dianut oleh mereka. Mereka percaya bahwa leluhur mereka Toa
Mariolo, bahkan manusia pertama (Mulatau) turun dari langit ke bumi melalui hutan di
kawasan mereka dan naik kembali ke langit melayang melalui hutan. Dengan
kepercayaan tersebut, masyarakat Ammatoa mensakralkan kawasan hutan. Menurut
Rasyid (2002), sekurang-kurangnya terdapat 19 Pasang yang berkaitan dengan
pengelolaan hutan lestari dan lingkungan hidup pada umumnya dari total 120 Pasang
yang diketahui oleh masyarakat Ammatoa. Persepsi sakral terhadap ekosistem hutan yang
ada dalam kawasan itulah yang terintegrasi kedalam sistem sosial mereka dan kemudian
mengatur pola tindakan dan perlakuan mereka terhadap lingkungan hidupnya sebagai
norma yang harus ditaati. misalnya: tidak menebang kayu, memburu satwa, menangkap
ikan/udang di sungai-sungai didalam kawasan dan mencabut rumput/menggembalakan
ternak di dalam kawasan hutan. Kuatnya sistem nilai budaya yang mendukung komunitas
ammatoa tersebut memungkinkan warga ammatoa mampu melindungi stabilitas
ekosistem hutan di sekitarnya, dan dengan mudah dapat mengontrol segala bentuk
gangguan yang terjadi baik dari dalam maupun dari luar. Demikian halnya dengan
konsep dasar mengenai lingkungan dan ekosistem hutan yang merupakan nilai-nilai
kearifan tradisional dalam pelestarian hutan.
Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan di Flores Timur tahun 2000 dimana
menurut hukum adat masyarakat suku Lamaholot , hak atas lahan bersifat komunal,
dimana yang memiliki tanah dan segala sesuatu yang berada di atasnya dan di bawahnya
termasuk sumber air dan hutan adalah persekutuan hukum adat atau masyarakat hukum
adat, hak ini berupa Hak Ulayat. Dengan adanya hak ulayat maka masyarakat juga
mempunyai hak mengelola dan hak memanfaatkan baik untuk bercocok tanam, bertani,
memungut hasil hutan, beternak dan berburu di bawah pengaturan kepala sukunya..
Sebagai konsekuensi logisnya masyarakat mempunyai kewajiban untuk melestarikannya.
Kewajiban demikian terrungkap dalam berbagai upacara adat misalnya: upacara tula
bloko yaitu upacara adat yang dilakukan untuk mengatasi musibah banjir/ erosi dan
kebakaran hutan, upacara buka etang yaitu upacara membuka hutan / hamparan ladang,
upacara mula kajo tale yaitu upacara penanaman kembali akibat penggundulan atau erosi.
Penelitian lain dilakukan di Jayapura pada tahun 2001, dimana pola pelestarian hutan
oleh masyarakat dilakukan secara formal melalui peraturan adat dan perangkatnya dan
secara informal melalui kepercayaan / religi yang disebut tiyatiki atau larangan antara lain
mengganggu, merusak dan mengambil kayu atau lainnya di hutan. Hutan yang
merupakan salah satu sumber penghidupan masyarakat setempat termasuk dalam katagori
tiyatiki darat dimana ada ketentuan didalamnya yang mengatur tentang pemanfaatan,
pengelolaan dan pelestarian tanah dan hutan. Sedangkan pola kelestarian melalui
kepercayaan yaitu masyarakat mempunyai persepsi bahwa hutan sebagai tempat
bersemayamnya makluk halus. Sehingga apabila dilakukan pengeksploitasian, mereka
akan terkena sangsi bukan saja secara langsung dari hukum adat tetapi juga mereka
percaya secara tidak langsung dari penghuni hutan .
Fungsi hutan bagi masyarakat ammatoa adalah sebagai
1. Fungsi ritual, yaitu hutan sebagai suatu wilayah yang sakral. Berbagai upacara
dilakukan dalam hutan misalnya pelantikan pemimpin adat (Ammatoa), Attunu
Passau (upacara kutukan bagi pelanggar adat)
2. Fungsi ekologis, komunitas ammatoa memandang hutan sebagai pengatur tata air
Masyarakat ammatoa memandang sumberdaya alam, khususnya hutan bukan saja sebagai
sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan, tetapi juga merupakan satu-
satunya barang pusaka yang diwariskan oleh nenek moyang mereka Tutoa Mariolo
(Ammatoa I) kepada umatnya sampai generasi mendatang.
Komunitas ammatoa menerapkan sistem zonasi kawasan yang dikenal dengan pembagian
wilayah Rabbang seppang (batas sempit) dan Rabbang luara (batas luas). Rabbang
seppang dimaksudkan sebagai kawasan konservasi dimana kawasan hutan dan segala
isinya tidak dapat diganggu untuk menjaga kelestarian ekosistem hutan. Sementara itu
Rabbang luara mencakup wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,
baik untuk pemukiman /perkampungan, budidaya pertanian maupun padang
penggembalaan. Wilayah Rabbang luara ini diperuntukkan sebagai Buffer zone untuk
mengantisipasi perkembangan populasi komunitas ammatoa dan meredam tekanan
terhadap hutan sebagai akibat dari perkembangan populasi ini. Dengan kata lain bahwa
masyarakat ammatoa menggolongkan hutan menjadi 3 macam, yaitu :
Hutan keramat (Borong Karamaka).
Hutan tebangan (Borong tattakkang)
Hutan rakyat (Borong batassaya)
Semua manfaat hutan dilaksanakan bersama-sama dengan persepsi bahwa hutan
merupakan barang pusaka dari nenek moyang mereka yang harus dijaga dan dilestarikan.
Kondisi ini secara tidak langsung membatasi bahkan menutup kemungkinan pemanfaatan
hasil hutan oleh masyarakat, meskipun apabila melihat potensinya, pemanfaatan hasil
hutan untuk kebutuhan masyarakat masih memungkinkan atas izin ammatoa. Menurut
Rasyid (2002 ) prosedur pemanfaatan kayu di hutan adat sbb:
Analisis kebutuhan
Tujuan
Jumlah
Gambar 1 : Skema Prosedur Pemanfaatan Ukuran dan jenis kayu
Kayu di Hutan Adat
GALLA GALL
PUTO A
Pengecekan ketersedia an
SDH (kayu) di hutan
battasaya
Panranrang Bicara
Angrongta
Ammatoa
2. Ada’ Limaya ri Tana Lohea atau organisasi masyarakat adat diluar kawasan adat
(Ipantarang embaya). Lembaga ini dibentuk untuk melayani warga ammatoa
yang tinggal diluar kawasan adat . Tugas pokok lembaga ini adalah mewakili
ammatoa dalam melayani anggota masyarakat luas yang memerlukan kayu untuk
perumahan dan keperluan lainnya.
Ammatoa Pu’tu Toa Sang Kala
Ammatoa
Tumutung
B. Sementara itu organisasi sosial atau lembaga adat yang ada di Kabupaten Sanggau
menurut Isbat (2002) secara garis besar dikelompokkan dalam 3 bagian antara lain :
Organisasi tingkat Rumah tangga, organisasi tingkat kampung dan organisasi tingkat
desa, dimana ketiganya mempunyai aturan dan sistem yang berbeda-beda. Pertama
rumah tangga merupakan organisasi terkecil yang mengatur tentang kehidupan sosial dan
ekonomi rumah tangga. Kedua organisasi tingkat kampung berada pada tingkat RT atau
Dusun dan berupa organisasi formal dan nonformal. Organisasi formal yaitu organisasi
pemerintahan tingkat kampung yang dipimpin oleh seorang kepala Dusun atau RT dan
bertanggung jawab langsung kepada kepala desa. Organisasi non formal berupa
organisasi sosial adat berdasarkan latar belakang kebudayaan dan nenek moyang mereka
( misalnya : gotong royong dan gawai kampung ) serta organisasi kepemudaan ( olah raga
,kesenian dan sebagainya ). Organisasi ini dipimpin oleh ketua adat dan dibantu
pemangku adat kampung. Tugas utamanya adalah menyelesaikan masalah dan perkara
dilingkungan kampung baik masalah individu atau kelompok maupun dengan lingkungan
alamnya. Misalnya masalah pemanfaatan kayu tengkawang, tembawang, perebutan hak
kepemilikan lahan hutan milik umum atau kampung, akan diselesaikan oleh ketua adat
dalam lingkungan kampungnya, dan apabila tingkat kampung tidak mampu
menyelesaikannya maka diselesaikan ditingkat adat desa. Ketua adat dalam
menyelesaikan masalahnya mengacu pada aturan-aturan adat yang berlaku baik yang
merupakan warisan terdahulu maupun aturan baru yang diadatkan ( lisan maupun tertulis
). Oleh karenanya setiap kampung akan mempunyai aturan dan hukum adat yang berbeda
baik dalam penetapan maupun proses pelaksanaannya. Namun dalam hal menetapkan
sanksi atau denda setiap kampung hampir sama dengan nilai satu tael setara dengan 16
s/d 22 singkep/mangkok ( Rp 800.000 ). Penetapan sangsi ini berdasarkan berat
ringannya pelanggaran yang terjadi. Ketiga organisasi sosial desa yang merupakan suatu
unit organisasi yang bersifat formal dan nonformal. Organisasi formal berupa organisasi
pemerintahan desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa yang tugas dan tanggung
jawabnya sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No 5 tahun 1979 tentang
Organisasi Pemerintahan Desa. Sedangkan organisasi sosial desa non formal tugas dan
tanggung jawabnya sama dengan organisasi tingkat kampung dan dibantu oleh satu orang
wakil ketua, sekretaris dan bendahara serta anggota dari perwakilan masing-masing
kampung. Organisasi non formal lainnya antar lain organisasi keagamaan, gotong royong
dan organisasi Hutan Tanaman Industri ( HTI ) dan organisasi sosial sawit. Kedua
organisasi terakhir ini hubungan kerjanya seperti telah diuraikan sebelumnya yaitu
bekerja sama dengan pihak ketiga ( perusahaan ).
Kesimpulan
1.Hutan adat yang ada di kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi
Selatan seluas ± 331,17 ha berada di kawasan hutan produksi, dan dikelola secara teratur
dan lestari serta merupakan sumber penghidupan masyarakat lokal / komunal.
2. Sistem pengelolaan hutan dikedua lokasi penelitian pada prinsipnya sama yaitu
berdasarkan aturan-aturan dan ketentuan secara turun temurun yang diwariskan oleh
nenek moyang mereka. Masyarakat adat ammatoa aturannya dikenal dengan istilah
pasang ri kajang yaitu suatu tata cara yang mengatur tentang kehidupan masyarakat
ammatoa. Sedang masyarakat dayak berdasarkan hukum adat dimana ketua / pemuka
adat mengatur tentang hak kepemilikan dan pngelolaan lahan hutan.
3. Persepsi masyarakat adat ammatoa tentang fungsi hutan yaitu sebagai suatu wilayah
yang sakral karena berbagai upacara adat dilakukan di dalam hutan, dan berfungsi
sebagai ekologis yaitu sebagai pengatur tata air, penghasil kayu, pelindung tumbuh-
tumbuhan dan satwa. Sedangkan masyarakat dayak hutan sebagai sumber kehidupan baik
sebagai petani sawah, peladang, pencari ikan, berburu dan sebagainya.
4. Penggolongan hutan oleh masyarakat ammatoa terdiri atas ; hutan keramat ( hutan
lindung yang dijaga kelestariannya ), hutan tebangan ( hutan produksi adat yang bisa
dimanfaatkan kayunya ), hutan rakyat ( baru terbentuk dengan jenis tanaman kapas,
coklat kopi dan merica ). Sedangkan masyarakat dayak mengelompokkan lahan hutan
menjadi : lahan laman ( pekarangan), lahan Ladang, lahan bawas ( bekas ladang), lahan
tembawang, lahan pekuburan dan lahan rimbah ( untuk berburu ).
5. Kelembagaan adat masyarakat ammatoa ada 4 yaitu : organisasi masyarakat adat di
dalam kawasan hutan, organisasi masyarakat adat di luar kawasan hutan, organisasi
khusus penjaga hutan keramat dan organisasi formal kepemerintahan. Sedangkan pada
masyarakat dayak ada tiga yaitu: organisasi tingkat rumah tangga, organisasi sosial
tingkat kampung dan organisasi sosial tingkat desa.
Rekomendasi
Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam upaya mempertahankan sistem
penguasaan lahan oleh masyarakat adat antara lain : memperkuat aturan-aturan lokal
melalui hukum adat yang dapat dijabarkan dalam Perda atau hukum negara..
Mempertahankan sistem peran kepemimpinan lokal tradisionil dan memposisikannya
sejajar atau melebihi peran kepemimpinan formal dalam kepemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000 Nuansa dan Harapan Reformasi Kehutanan dan Perkebunan Departemen
Kehutanan Jakarta.
_______, 2000. Pedoman Survei Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia. Departemen
Kehutanan dan Perkebunan Jakarta.
Amna, D 2001 Tiyatiki : Pengetahuan Tradisional Masyarakat Desa Tablasupa
Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura. Dalam melestarikan Hutan
Cagar Alam Pegunungan Cycloops / Deponsero. Program Pascasarjana
Universitas Udayana Denpasar.
Dafrid, B 1998, Faktor Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Kehidupan Masyarakat Yang
Bermukim Dalam Kawasan Hutan. Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Ujung Pandang.
Eliason. 2000, Hukum tanah adat dan ekonomi masyarakat Tementekong Membongkar
mitos membangun peran. Inisiatif lokal dalam mengelola sumberdaya
alam di Kalimantan Timur PT ASMA Samarinda.
Hadi, S 2001 Kajian sistim penguasaan lahan adat di sektor kehutanan ( studi kasus
Bengkulu ). Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan Bogor.
Saleh, K. Wantjik 1977 .Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indonesia
Muhadjir Noeng, 1996 Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III
Muhidin 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Desa Rantau Layung .
Inisiatif lokal dalam mengelola sumberdaya alam di Kalimantan Timur PT
ASMA Samarinda.
Pamulardi, B. 1995. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan
Raga, G. 2001. Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat Bagi Masyarakat Desa Dalam
Perspektif Sodial Budaya. Studi kasus di Desa Sumberklampok,
Kecamatan Gerokgah, Buleleng Bali. Program Pascasarjana Universitas
Udayana Denpasar.
Rasyid, A. 2002. Studi Manajemen Pelestarian Hutan Adat Ammatoa Kajang Melalui
Pendidikan Kearifan Tradisional. Program Pascasarjana Universitas
Negeri Makasar.
Salle, K. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang, Sebuah Kajian Hukum
Lingkungan Adat Pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang
Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba. Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar.
Sarijanto, T. 2000 Penjelasan Dephutbun Terhadap beberapa pendapat tentang RUU
Kehutanan Menjadi Tuan di Tanah Sendiri Menuju Desentralisasi
Pengelolaan SDA Kalimantan Timur.
Tukan,.B. 2000. Hukum Adat Tentang Pelestarian Tanah, Sumber air dan Hutan Pada
Masyarakat Suku Lamabolot di Kecamatan Wulang Gitang Flores
Timur. Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.