Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Makanan, obat-obatan, gigitan serangga, maupun kondisi ekstrem dapat
menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Hipersensitifitas merupakan respon imun
yang berlebihan sehingga dapat merusak jaringan tubuh. Reaksi ini berdasarkan
Gell dan Coombs dibagi menjadi reaksi tipe 1 atau tipe cepat yaitu reaksi yang
muncul segera setelah terpajan alergen, reaksi tipe 2 atau reaski sitotoksik yang
terjadi karena pembentukan IgG dan IgM sehingga dapat mengaktifkan
komplemen dan mengakibatkan lisis, reaksi tipe 3 atau reaksi kompleks imun
yang terjadi akibat pembentukan kompleks antigen antibodi, dan reaksi tipe 4 atau
reaksi hipersensitivitas lambat yang timbul > 24 jam setelah terpajan antigen.1
Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles Richet
dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat
yang melibatkan lebih dari satu sistem organ. Anafilaksis adalah reaksi alergi
yang dapat menyebabkan kematian. Di amerika serikat, setiap tahunnya
diperkirakan terdapat 150 kematian akibat reaksi alergi terhadap makanan.
Sedangkan 400-800 kematian setiap tahunnya karena alergi terhadap antbiotik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah
pada tahun 2007-2010, baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang
sama untuk mengalami reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan oleh
obat sebesar 63,9%.
Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak dipertimbangkan sebagai
penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering tidak terdiagnosis karena
tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi mata, pemeriksaan laboratorium
yang sedikit, dan pemeriksaan post mortem yang tidak spesifik. Reaksi anafilaktik
dapat terjadi dimana saja, di tempat praktek, di meja operasi, bahkan di rumah
pasien sendiri sehingga edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan salah satu
upaya preventif dalam kasus ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
melalui kunjungan ke rumah pasien.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang syok
anafilaktik terkait definisi, faktor resiko, patofisiologis, gejala klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan komplikasinya.
1.3. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman
penulis maupun pembaca mengenai syok anafilaktik beserta patofisiologi dan
penanganannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Syok Anafilaktik
Reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau lebih (sistem kulit/mukosa
dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal).
Reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius, mengancam nyawa dan merupakan reaksi
alergi dengan onset cepat. Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas sistemik, akut
yang dimediasi oleh IgE akibat pelepasan mediator sel mast, basofil.
2.2. Etiologi
Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah
sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi
pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Sebagian
besar pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat universal, seperti di Amerika
Utara, dan beberapa negara di Eropa dan Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang
merupakan penyebab tersering. Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah
faktor pemicu tersering. Obat-obatan, seperti antivirus, antimikroba, anti jamur adalah
penyebab paling sering reaksi anafilaksis di dunia. Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu
oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin, doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain
yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah radiocontrast media, latex yang biasa
ditemukan di sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter, kateter, torniket, udara yang
terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan, cara, dan waktu
paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang
menimbulkan reaksi.
2.3. Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat dimana reaksi
segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Fase sensitisasi dimulai dari masuknya
antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan
dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi
sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki
reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan
alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan
memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi. Pada fase
aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan basofil dengan antigen
spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast dan
basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh
berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang
mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Adanya degranulasi sel mast
menimbulkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase, sitokin.
Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut
sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase
efektor.
2.4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari anafilaksis dapat berupa:
1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus) Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor
erection Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair Gatal
pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di bibir, lidah, dan uvula.
Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.
2. Respirasi (70%) Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek Gatal pada
tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry staccato cough Peningkatan
laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing, sianosis, gagal nafas.
3. Gastrointestinal (45%) Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.
4. Sistem kardiovaskuler (45%) Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang), palpitasi,
hipotensi, merasa ingin jatuh, henti jantung. Manifestasi primer pada jantung tampak dari
perubahan EKG yaitu Tmendatar, aritmia supraventrikular, AV block.
5. Sistem saraf pusat (15%) Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala,
perubahan status mental, kebingungan.
6. Lain-lain Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.
2.5. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat pajanan sebelum
reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang muncul dalam menit atau jam
setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala yang progresif dalam beberapa jam.
Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis anafilaksis dapat dilihat pada tabel
berikut
2.6. Klasifikasi
Dalam tabel dibawah ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan keparahan dari
gajala klinis
Disamping tabel diatas, terdapat juga klasifikasi derajat klinis reaksi
hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004) yaitu.
1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema
generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
2. Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal) seperti : sesak
nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak enak di
tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti: sianosis (SpO2
≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan kesadaran dan
inkontinensia. Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas
akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis.
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya reaksi
alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi. Eosinofilia sering
dijumpai tetapi tidak spesifik.
Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien.
IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara
in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked
Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat
dilakukan.
Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis
yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease
yang berasal dari sel mast.
Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit pasien
yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes
kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test, friction test, tes tempel
(patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen dan kontrol
pada tempat yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal
melalui ekstrak yang telah diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan
mengukur diameter urtika dan eritema yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara
menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan
setelah 48 jam dan 96 jam.1
Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada pasien
sehingga timbul gejala.
2.8. DD
Diagnosis banding reaksi anafilaksis adalah asma episode berat, sinkop, panic attacks,
hipoglikemia. Asma episode berat saat serangan dapat menunjukkan gejala batuk, sulit
bernafas, terdengar wheezing sehingga menyerupai reaksianafilaksis pada sistem respirasi.
Namun, gatal, urtikaria, angioedema, nyeri abdomen jarang ditemukan pada asma. Panic
attacks menimbulkan gejala seperti kesulitan bernafas, kemerahan, takikardia, dan
gangguan gastrointestinal. Namun, adanya urtikaria, angioedema, hipotensi jarang pada
panic attacks. Hipotensi dapat terjadi pada sinkop dan anafilaksis, tetapi pucat dan
berkeringat tampak pada sinkop.
2.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan reaksi anafilaksis sebagai berikut.4,5,7
1. Evaluasi ABC
2. Posisikan pasien dengan posisi elevasi ekstremitas atas
3. Beri 02 100% 6-8 L/menit (distress nafas)
4. Adrenalin 1:1000 larutan (1mg/ml) disuntikkan 0,3-0,5 ml IM atau 0,01 mg/kgBB
Akses infus (14atau 16 gauge) intravena dengan normal salin
5. Bila tidak ada perbaikan, pemnerian adrenalin dapat diulang 10-15 menit kemudian
dengan dosis maksimum 0,5 mg untuk dewasa dan 0,3 mg untuk anak-anak
6. Medikasi lini kedua yang dapat digunakan adalah H1 antihistamin seperti intravena
chlorpheniramine (10 mg) atau dipenhidramin (25-50 mg), cetirizine intra oral; β2
adrenergic agonists, seperti salbutamol inhaler (2,5 mg/3 mL); glukokortikoid seperti
hydrocortison 100-500 mg IM atau IV, metylprednisolon 125-250 mg IV, oral
prednisone.
7. Observasi 2-3 kali dalam 24 jam dan hindari agen penyebab
Adrenalin
Adrenalin atau epinephrine merupakan hormon kerja cepat yang disekresi oleh kelenjar
suprarenal. Adrenalin bersifat simpatomimetik (agonist α adrenergik dan β adrenergik).
Efek samping adrenalin dapat berupa tremor, pucat, palpitasi, pusing, dan sakit kepala.
Tetapi terdapat juga beberapa efek yang menunjukkan overdosis adrenalin, yaitu
ventrikular aritmia, krisis hipertensi, edema pulmonal.
Terapi jangka panjang setelah pemberian terapi terhadap anafilaksis di pelayanan
kesahatan.
1. Edukasi terhadap reaksi anafilaksis Anafilaksis merupakan kondisi gawat darurat
sehingga harus dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
2. Mengonfirmasi faktor pemicu reaksi anafilaksis Waktu yang optimal untuk melakukan
tes terhadap pemicu alergi adalah 34 minggu setelah episode akut anafilaksis. Pasien
dengan hasil negatif perlu dites lagi beberapa minggu/bulan kemudian. Faktor yang
diketahui melalui anamnesis dapat menyebabkan reaksi anafilaksis perlu dikonfirmasi
lagi dengan alergen skin test dan/atau mengukur level allergen-spesific IgE pada serum.
3. Pencegahan berulangnya reaksi anafilaksis - Terapi terhadap penyakit yang mendasari
seperti asma, penyakit kardiovaskuler, mastocytosis dan penyakit lainnya yang dapat
memeperberat reaksi anafilaksis. - Menghindari pemicu dan imunomodulasi Pasien
yang alergi terhadap makanan tertentu harus menghindari makanan yang dapat memicu
reaksi. WAO belum merekomendasikan penggunaan oral immunotherapy food allergen
atau imunomodulator lainnya. Sedangkan, pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis
terhadap gigitan serangga dapat menggunakan imunoterapi subkutan untuk 3-5 tahun.
Perlindungan yang diberikan yaitu sebesar 80-90%. Pasien dengan riwayat pemakaian
obat-obatan tertentu kemudian menjadi alergi tidak boleh diberikan obat tersebut
sehingga dapat mencegah timbulnya reaksi anafilaksis. Pasien dengan anafilaksis
idiopatik yang sering muncul yaitu > 6 kali dalam 1 tahun atau >2 kali dalam 2 bulan
dipertimbangkan untuk diberikan terapi profilaksis yaitu glukokortikoid sistemik dan
H1 antihistamin atau injeksi omalizumab untuk 2-3 bulan
BAB 3
KESIMPULAN
Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau
lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler,
sistem gastrointestinal). Faktor pemicu timbulnya anafilaksis pada anak-anak, remaja, dan
dewasa muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-
obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua.
Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase
efektor. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang
digunakan untuk memperkuat adanya alergi. Reaksi anafilaksis/hipersensitifitas dibagi
menjadi ringan, sedang, dan berat. Penanganan utama anafilaksis adalah dengan mengamankan
jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi serta terapi adrenalin.
Pemberian informasi mengenai alergi di masyarakat sangat jarang sehingga kami
menyarankan agar pemberian informasi mengenai reaksi alergi, penyebab, gejala, dan bahaya
reaksi alergi diberikan secara lebih luas sehingga masyarakat dapat mengenali dan melakukan
tindakan yang tepat serta dapat mencegah timbulnya reaksi anafilaksis melalui penghindaran
terhadap alergen.
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi kelima.
Jakarta: Interna Publishing:2009:367.
Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley, Chichester
(Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24.
Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat dengan Onset
dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada Penderita yang
Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.
Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis.
2011;4:13-37.
Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.
Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of The
Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204.
Longmore Murray et.all. Anaphylactic Shock. Oxford Handbook of Clinical
Medicine.2010:8th:806-807.
F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–10

Anda mungkin juga menyukai