Anda di halaman 1dari 20

5 Strategi Pencegahan Stunting:

Menyelamatkan Bonus Demografi 2030


By wijatnikaika At 11:30:00 PM 12

Anak-anak generasi masa depan (sumber: viva.co.id)

STUNTING. Kata aneh yang sedang tren nih sampai


Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
langsung turun tangan. Bahkan memandatkan kepada
13 Kementerian/Lembaga
untuk 'mengeroyok' stunting di 160 Kabupaten/Kota
Prioritas.

Demi apa coba?

SEJAK DARI RAHIM IBU


Sepertinya, sejak dalam kandungan Ibu setiap anak Indonesia diberi tahu bahwa
negerinya begitu subur makmur hingga dikenal dunia sebagai Jamrud
Khatulistiwa. Bahkan karena kesuburan tanahnya yang tiada tandingannya di
muka bumi, tersebutlah analogi terkenal di mana tongkat kayu dan batu saja bisa
jadi tanaman. Karenanya, setiap anak yang lahir di tanah yang gemah ripah loh
jinawi ini adalah anak yang diberkati Tuhan, sebab begitu lahir langsung menikmati
keindahan dan kemakmuran secuil surga di bumi, yang membuat bangsa-bangsa
lain di dunia cemburu. Nah, hidup di tanah semacam ini secara otomatis
menyediakan kemakmuran tidak terhingga. Semua tersedia dengan mudahnya mulai
dari kebutuhan sandang, pangan dan papan. Indah sekali ya ditakdirkan sebagai
manusia Indonesia.

Eits! Jangan senang dulu. Karena ternyata anugerah Tuhan berupa negeri yang
subur makmur dengan kekayaan di darat dan laut yang melimpah ini tidak serta
merta membuat seluruh rakyat Indonesia sejahtera serta terbebas dari masalah. Ada
satu masalah yang dibawa oleh sebagian besar orag Indonesia sejak dari rahim ibu.
Masalah ini sangat kompleks dan ruwet seperti benang kusut, karena merupakan
warisan sejak puluhan tahun silam: ANAK INDONESIA MENGALAMI
STUNTING!

Berikut adalah definisi stunting, mengacu pada Kementerian Kesehatan, yaitu:


Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi
kronis sehingga ia lebih pendek dari anak seusianya. Stunting diawali oleh
kekurangan gizi kronis sejak dalam rahim ibu dan baru dapat dideteksi saat anak
berusia 2 tahun. Stunting disebabkan oleh empat faktor utama, yaitu 1)praktek
pengasuhan yang tidak baik; 2) kurangnya akses ibu hamil dan balita ke makanan
bergizi; 3) terbatasnya akses kepada/dan layanan kesehatan; dan 4) kurangnya
akses ke air bersih dan sanitasi.
Nasib buruk para balita penderita stunting diawali oleh kurangnya pemahaman ibu
dan ayah dalam mempersiapkan dan menjalani masa kehamilan, alias asal hamil dan
asal punya anak! Karena pada dasarnya, sejak konsepsi di rahim ibu si calon bayi
membutuhkan nutrisi tinggi dari tubuh ibu, sebab perkembangan pada masa ini
sangat pesat mulai dari pembelahan sel hingga pembentukan organ tubuh, terutama
perkemangan otak. Kondisi ini disebut sebagai critical window atau masa kritis
perkembangan janin di rahim ibu, dan merupakan kunci berkualitas atau tidaknya
calon bayi.
Critical Window atau Masa Kritis perkembangan janin (sumber: exposingtruth.com)

Nah, kegagalan memenuhi kebutuhan nutrisi ibu hamil dan janin selama masa
kehamilan ini menjadi cikal bakal balita stunting, karena perkembangannya
terhambat sejak dalam kandungan. Terlebih lagi jika setelah melahirkan kehidupan
bayi tidak didukung dengan asupan nutrisi tinggi, pola asuh yang tidak baik hingga
sulitnya akses pada layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi. Kegagalan orangtua
dan komunitas dalam membantu perkembangan bayi di 1.000 hari pertama
kehidupannya merupakan kegagalan pertama investasi sumber daya manusia baik
secara individu maupun kebangsaan. Sedih deh!

Dalam jangka panjang penderita stunting akan mengalami masalah terkait tingkat
kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas, hingga
menghambat pertumbuhan ekonomi nasional, dan meningkatkan kemiskinan serta
kesenjangan. Wah, bahaya sekali! Bagaimana kita dapat mencapai tujuan Indonesia
sehat kalau keadaannya gawat begini?
Prevalensi balita stunting secara nasional periode 2016

Stunting merupakan masalah dunia, terutama di negara miskin dan


berkembang. Karena bagaimanapun juga faktor pendidikan, ekonomi dan kebijakan
negara memberi pengaruh pada akses ibu dan balita pada sumber pangan bergizi,
layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh katadata.co.id ternyata stunting di


Indonesia dalam level kronis, bahkan kondisinya jauh di
bawah Vietnam, Malaysia dan Thailand! Kondisi ini diukur dari prevalensi yang
ditetapkan Badan Kesehatan Dunia yaitu WHO, di mana jika prevalensi stunting di
suatu daerah melebihi angka 20% maka kondisinya kritis. Nah, ekonografik diatas
menunjukkan bahwa kondisi stunting di seluruh wilayah Indonesia terbilang parah.
Nyaris seluruhnya berada diatas 20%, dan di beberapa wilayah seperti Kalimantan
Selatan, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur hingga Papua Barat
menduduki posisi sangat parah karena angkanya diatas 30% dan mendekati 40%.
Pengaruh Stunting pada Ekonomi Bangsa

Data berikut menunjukkan bahwa masih ada


29,6% anak
Indonesia mengalami stunting, yang sebarannya sebanyak
48,8% adalah keluarga miskin dan 29% adalah dari keluarga kelas menengah dan
kaya. Secara nasional masih ada 13 provinsi dengan prevalensi stunting kronis
dibawah standar WHO yaitu 20% (baca disini). Kondisi ini menempatkan Indonesia
sebagai 5 besar negara dengan balita stunting dari 10 negara dengan kasus stunting
terparah, dan kecerdasan anak-anak Indonesia ada di urutan ke 64 dari 65 negara!

Bagi individu si anak, stunting akan berdampak buruk dalam jangka panjang.
Karena ia telah kehilangan asupan nutrisi yang tepat di 1000 hari awal kehidupan
dan usia emas, maka ia terancam menderita penyakit kronis, performa yang buruk di
sekolah dan kehidupan sosial, hingga ancaman pendapatan rendah karena kinerja
yang buruk saat telah bekerja. Dampak yang lebih buruk lagi mengancam nih, yaitu
Income Penalty alias kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) yang berasal dari
rendahnya kinerja generasi produktif secara fisik dan pola pikir dalam membangun
perekonomian bangsa.

Prevalensi stunting yang sangat tinggi alias kronis di seluruh penjuru tanah air,
ternyata mengancam bonus demografi pada 2030 nanti. Mengapa demikian? Karena
stunting menurunkan kapasitas intelektual anak dan menurunkan daya saing SDM
Indonesia. Hingga tahun 2017, prevalensi balita stunting di Indonesia masih di
kisaran 29.6%. Riset yang dilakukan katadata.co.id menunjukkan bahwa stunting
berdampak buruk dengan menurunkan PDB sebesar 3% dengan kerugian ekonomi
mencapai Rp. 300 triliun per tahun.

Kondisi ini agak menakutkan, karena stunting yang tidak diatasi akan membuat
Indonesia kehilangan satu generasi produktif alias hanya membesarkan generasi sia-
sia yang justru dapat membawa kemunduran dan kehancuran bangsa karena
menurunnya produktifitas warganya. Beuh, ngeri sekali ya!
Bonus demografi merupakan kondisi saat struktur penduduk
didominasi oleh kalangan usia produktif, dan hanya terjadi sekali saja dalam
sejarah sebuah bangsa. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk
usia produktif yang bekerja dan menurunnya jumlah tanggungan usia non
produktif, serta meningkatnya kualitas hidup. Indonesia akan mengalami bonus
demografi antara tahun 2020-2035, yang diawali dengan ledakan penduduk pada
2025 menjadi 248,8 juta jiwa, dengan jumlah kenaikan sebanyak 29 juta jiwa dari
tahun 2015 alias 10 tahun saja. Pada tahun 2025 jumlah penduduk usia produktif
(15-64 tahun) akan mencapai angka 193,5 juta jiwa (baca disini). Bonus demografi
inilah yang diharapkan menjadi generasi terbaik menuju Indonesia Emas 2045
Lalu, apa yang harus kita lakukan?

SINERGI NASIONAL PENCEGAHAN STUNTING


Stunting Summit yang diselenggarakan di Jakarta pada Maret 2018 ,membagikan
tugas bersama untuk menangani masalah stunting secara nasional yang melibatkan
13 Kementerian/Lembaga (K/L), yang secara serempak mengatasi stunting per 10
desa di lebih 160 Kabupaten/Kota prioritas. Sehingga diharapkan program
keroyokan ini mampu mengatasi masalah stunting di lebih dari 1.000 desa (baca
disini).

Kerja sinergi penanganan stunting juga dilakukan melalui intervensi gizi, yaitu:

1. Intervensi Gizi Spesifik dengan kontribusi 30% ditujukan


pada 1.000 hari pertama kehidupan yang dilakukan oleh sektor kesehatan
seperti Posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit. Sasarannya adalah ibu hamil, ibu
menyusui dengan anak usia 0-6 bulan, dan ibu menyusui dengan anak usia 7-23
bulan.

2. Intervensi Gizi Sensitif dengan kontribusi 70% ditujukan


untuk pembangunan di luar sektor kesehatan, yang menjadi support
system bagi kehidupan ibu dan bayi. Sasarannya adalah sarana dan prasarana
untuk mendukung kehidupan ibu dan bayi seperti fasilitas sanitasi dan air bersih,
akses pada KB, pemberian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemberian bantuan
sosial bagi keluarga miskin, manajemen gizi dalam bencana hingga pemberdayaan
perempuan.

160 Kabupaten/Kota Prioritas penurunan stunting di seluruh Indonesia

Secara nasional dan dengan bersinergi antara Kementerian dan Lembaga negara
telah ditetapkan sebanyak 160 Kabupaten/Kota sebagai lokasi prioritas penurunan
angka stunting agar kondisinya tidak lagi kronis. Sebaran yang merata di seluruh
wilayah Indonesia menunjukkan bahwa kita sedang berpacu dengan waktu, untuk
menjawab tantangan masa depan yaitu bonus demografi 2030 dengan menyiapkan
SDM yang sehat, berkualitas dan berdaya saing tinggi.
10 Pesan Kesehatan Jokowi

Nah, semua usaha itu tentu saja tak lepas dari 10 Pesan Kesehatan
Jokowi karena isu kesehatan merupakan tanggung jawab banyak sektor,
termasuk pihak swasta dan masyarakat umum. Semua harus bekerja sama
mewujudkan Indonesia Sehat.

5 STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING:


Balita stunting bukan hanya menjadi masalah bagi keluarga, melainkan masalah
bangsa dalam jangka panjang, karena seyogyanya setiap warga negara harus menjadi
sumber daya manusia sehat dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, diperlukan
upaya strategis pencegahan stunting melalui kolaborasi banyak pihak mulai dari
keluarga, sektor swasta hingga pemerintah. Berikut adalah strategi untuk
pencegahan stunting:
1. Pendidikan Gizi Bagi Calon Orangtua
Pihak pertama yang paling bertanggung jawab atas kesehatan anak adalah ibu dan
ayah, di mana proses pengasuhan anak harus dilakukan sejak janin dalam
kandungan.
Pada masa kehamilan dan pertumbuhan janin, seorang Ibu harus memperhatikan
asupan gizi tinggi bagi dirinya yang secara otomatis akan menjadi makanan bagi
janin. Hal ini penting mengingat rentang dari masa konsepsi, kehamilan hingga
kelahiran, ibu dan janin memerlukan gizi mikro dan protein, serta energi untuk
mendukung pertumbuhan otak, yang juga menentukan pertumbuhan tinggi dan
berat badan potensial saat bayi lahir.
Proses ini disebut sebagai 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) alias masa emas,
waktu investasi terbaik pada diri calon seorang manusia.

1000 hari Pertama Kehidupan

Pada 0-6 bulan pertama setelah kelahiran hingga usia 2 tahun, bayi harus mendapat
asupan nutrisi langsung dari Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif sebagai investasi awal dan
tepat waktu. Baru kemudian hingga usia 2 tahun anak diberi tambahan nutrisi sesuai
jika investasi ini
kebutuhan tumbuh kembangnya. Nah,
terlambat maka kita akan menghasilkan
generasi dengan mutu SDM yang rendah.
Sehingga, sangat penting bagi seorang ibu untuk memperhatikan isi piringnya
terutama ketika mengandung. Isi piring yang menjadi makanan dan minuman ibu
harus bergizi tinggi yang standarnya telah ditetapkan Kementerian Kesehatan yang
komposisinya terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan.
Dilengkapi dengan minum 8 gelas air sehari dan olahraga minimal 30 menit per
hari.

Isi piring ibu membantu ibu memiliki kualitas ASI yang baik lho

Dalam rangka memenuhi kebutuhan isi piring ibu, mau tak mau keluarga harus
mampu menyediakan sumber pangan bergizi.
Yang paling mudah adalah dengan menyiapkan tabungan khusus sebelum
menikah, untuk digunakan saat mempersiapkan kehamilan sehingga tidak
terlampau memberatkan secara ekonomi. Dengan konsep ini orang akan berpikir
dua kali untuk asal menikah dan asal memiliki anak, apalagi menikah dini tanpa
bekal pengetahuan dan finansial mumpuni untuk mempersiapkan kelahiriran
manusia baru melalui pernikahan.

Gerakan Isi Piringku

Cara lainnya adalah dengan mengonsumsi pangan lokal dengan sumber gizi tinggi
yang dapat diakses dengan biaya murah agar sumber makanan dekat dari rumah dan
tidak harus mengeluarkan biaya untuk membelinya. Konsep ini sangat murah
meriah dan tidak memberatkan bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke
bawah. Bahkan Presiden
Jokowi mengatakan salah
satu cara terbaik untuk mencegah stunting dan
meningkatkan asupan pangan bergizi adalah
dengan mengonsumsi pangan lokal yang tersedia di
lingkungan sekitar rumah, yang harganya terjangkau dan tentu saja segar karena
tidak terpapar polusi.

2. Alokasi Dana Desa untuk Pencegahan Stunting


Pada 2017, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
menerbitkan "Buku Saku Desa Dalam Pencegahan Stunting" sebagai sebuah upaya
pencegahan dan penurunan stunting.
Cegah stunting dengan pemanfaatan Dana Desa

Terdapat tiga landasan penting mengapa pencegahan stunting dimulai dari desa,
yaitu: .

Pertama, Penanganan stunting merupakan prioritas pembangunan nasional


melalui Rencana Aksi Nasional Gizi dan Ketahanan Pangan.

Kedua, Sesuai dengan UU tentang Desa, maka terhadap upaya penanganan


stunting yang sudah menjadi prioritas nasional sangat memungkinkan bagi Desa
untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang relevan dan yang bersifat skala desa melalui
APBDes.

Ketiga, Rujukan Belanja Desa untuk penanganan stunting diperkuat dengan


telah dikeluarkannya Permendesa No.19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan
Dana Desa. Penanganan stunting melalui berbagai intervensi memuat 10 menu
prioritas dalam penggunaan Dana Desa tahun 2018.

Dua hal paling pokok adalah ketersediaan air bersih skala desa dan sanitasi
lingkungan; dilanjutkan dengan peningkatan kapasitas dan keterampilan kader
kesehatan; perawatan dan/atau pendampingan ibu hamil, melahirkan dan
menyusui; pemantauan pertumbuhan dan penyediaan makanan tambahan/sehat
untuk peningkatan gizi bayi, balita dan anak sekolah; pengadaan, pembangunan,
pengembangan hingga pemeliharaan sarana dan prasarana di bidang kesehatan;
penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam promosi kesehatan Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS); dan promosi hidup sehat.

Bahkan, jika mengikuti saran Wakil Presiden Jusuf Kalla, boleh


juga
Kepala Desa yang berhasil mencegah dan
menurunkan prevalensi stunting di desanya
diberi penghargaan oleg Gubernur atau
langsung dari Kementerian Desa, Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (baca disini). Dengan demikian
setiap Kepala Desa di lokasi prioritas penurunan stunting dapat meningkatkan
kinerjanya dan cermat dalam penggunaan alokasi dana desa yang diprioritaskan
untuk pencegahan stunting.

3. Posyandu: Garda Terdepan Pencegahan Stunting


Masyarakat Indonesia dipastikan mengenal Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang
secara berkala melakukan kegiatan pemeriksaan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui
dan balita. Termasuk memberikan penyuluhan kesehatan, pemberian vaksin dan
vitamin, penimbangan berat badan hingga jadi wadah curhat para ibu tentang
kondisi kehamilan atau anak mereka. Aku cukup familiar dengan aktivitas para
petugas kesehatan dan kader kesehatan melalui Posyandu. Maklum salah satu
Bibiku adalah kader posyandu dan tetangga depan rumah bidan yang sangat disukai
para ibu karena kegigihannya mempromosikan kesehatan.
Posyandu, garda terdepan pencegahan stunting

Pemerintah juga menyadari bahwa peran posyandu sangat penting sebagai garda
terdepan pembangunan kesehatan yang pernah sangat populer di era pemerintahan
Presiden Soeharto, di mana program ini dijalankan oleh kader-kader yang punya
komitmen tinggi untuk mewujudkan Indonesia sehat. Jika
Posyandu
digalakkan lagi, maka akan sangat penolong
pemerintah dalam mendekatkan program-
program pencegahan stunting dengan
masyarakat yang menjadi sasaran yaitu ibu
hamil, ibu menyusui, balita dan anak sekolah.
Termasuk memantau perkembangan bayi di periode emas 1.000 hari pertama
kehidupan. Jika Posyandu melakukan perannya dengan baik, maka mimpi Indonesia
sehat bisa kita raih dengan gemilang.

4. Social Responsibility: Kemitraan untuk Pencegahan Stunting


Masyarakat umum juga harus ikut andil dalam pencegahan stunting, karena anak
stunting berdampak menghasilkan generasi dengan SDM rendah yang sangat
merugikan sektor swasta dan dunia ketenagakerjaan. Terdapat tiga pilihan
mekanisme yang bisa dilakukan dunia usaha dalam membantu pemerintah
mencegah dan menurunkan stunting, yaitu: 1) Kerjasama melalui kegiatan atau
program yang bersifat filantropi, sponsorship ataupun charity; 2) Dunia Usaha
menjalankan program secara swadaya bersama mitra pelaksana; dan 3) Partisipasi
dalam kemitraan kerja bersama Pemerintah dunia usaha dan masyarakat.
Skema Kemitraan Pencegahan Stunting

Pemerintah telah menetapkan 6 jenis program kemitraan dengan dunia usaha untuk
pencegahan dan penurunan stunting, dalam konteks Intervensi Gizi Spesifik dan
Intervensi Gizi Sensitif. Keenam program tersebut dapat diselenggarakan dengan
sejumlah skema kemitraan baik dalam bentuk bantuan tunai dari mitra kepada
penerima manfaat, maupun disampaikan melalui pengelola dana melalui
pembiayaan program-program yang ditetapkan pemerintah untuk pencegahan dan
penanganan stunting.

5. Program "Sahabat Sehat" untuk Pencegahan Stunting


Strategi terakhir ini murni ide yang muncul di kepalaku, yaitu tentang mendekatkan
hubungan sosial dan persahabatan antar ibu hamil atau anak. Caranya sangat
sederhana sekali, yaitu dengan mengadopsi konsep Sahabat Pena yang populer di era
1990an. Bedanya, program "Sahabat Sehat" ini berlokasi di lingkungan ketetanggaan
atau RT/RW agar keterjangkauan lokasi tidak menyulitkan peserta program.

Contoh 1: Sahabat Sehat Antara Dua Orang Ibu


Ibu Ani (35) bertetangga dengan Ibu Rina (30) yang sedang hamil 2 bulan. Ibu Ani
termasuk orang berkecukupan sehingga bisa membantu Ibu Rina mengakses
makanan bergizi agar janin dalam kandungan Ibu Rina berkembang dengan
sehat. Sebulan sekali, Ibu Ani membelikan paket makanan bergizi untuk Ibu Rina
seperti susu, vitamin, kacang-kacangan, dan makanan bergizi lainnya. Ibu Rina
dapat menerima paket dari Ibu Ani setiap bulannya sembari mengabarkan
perkembangan kesehatan dan janin dalam kandungannya. Akhirnya dua ibu yang
bertetangga ini pun sering terlibat diskusi tentang kesehatan ibu dan anak. Mereka
sama-sama bersemangat menantikan kelahiran bayi Ibu Rina sebagai investasi masa
depan bangsa Indonesia.

Contoh 2: Sahabat Sehat di Kalangan Anak-Anak


Kirana (10) adalah anak dari keluarga berkecukupan yang selalu membeli mainan,
meski mainan di rumahnya sudah banyak. Atas saran Ibu Bidan, Kirana menjadi
Sahabat Sehat bagi Johan (3) yang orangtuanya hanya seorang buruh bangunan.
Setiap sebulan sekali, Kirana membelanjakan uang tabungannya untuk membelikan
Johan paket makanan bergizi mulai dari susu, telur, vitamin, buah-buahan, kacang-
kacangan, dan sebagainya. Kini Kirana tahu fungsi uang selain untuk membeli
mainan, yaitu untuk membantu Johan tumbuh sebagai bocah kecil yang sehat, ceria
dan cerdas. Johan pun senang karena masih kecil sudah ada tetangga baik yang
memperhatikannya.
Program ini selayaknya dibuat dan dipantau oleh kader kesehatan hingga aparat
desa, untuk mengukur sejauh mana peran anggota masyarakat dalam mencegah
dan menurunkan stunting. Selain untuk menguatkan modal sosial masyarakat
sejak di level ketetanggaan, juga untuk menguatkan sikap tolong menolong dalam
mewujudkan Indonesia Sehat dan bebas balita stunting. Dengan cara sederhana
ini, kukira kita dapat dengan cepat menurunkan prevalensi balita stunting secara
nasional. Untuk memulai gerakan ini, bisa dibicarakan di momen Jumatan, Misa,
Pengajian, pertemuan keluarga hingga arisan.
Nah, jika modal sosial kita sudah terbangun dengan baik, bukan mustahil bahwa
tingkat kepedulian antara anggota masyarakat akan meningkat, sehingga masalah-
masalah sosial yang dihadapi akan berkurang secara signifikan.
Contoh 3: Sahabat sehat dari kalangan Crazy Rich
Stunting sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi dan pendidikan keluarga,
terlebih ayah dan ibu. Keluarga miskin dan berpendidikan rendah, berkemungkinan
besar 'asal punya anak' dan mengandalkan takdir untuk tumbuh kembang si anak.
Oleh karena itu, subdisi silang dalam masyarakat sangat diperlukan jika kita
memang peduli dengan nasib bangsa secara keseluruhan.

Terlebih lagi kalau ada anggota masyarakat yang merupakan golongan kelas atas
alias Crazy Rich Citizen, maka mereka sangat berkewajiban membantu
anggota masyarakat yang kesulitan keuangan dalam membeli pangan bergizi bagi
ibu hamil dan balita. Caranya adalah dengan memberikan mereka opsi
untuk menjadi orangtua asuh atau adopsi, sehingga pembiayaan bisa
langsung diberikan dari si pengadopsi kepada ibu dari janin atau balita
yang diadopsi.

Crazy Rich Citizen harus membantu masyarakat miskin dalam rangka menurunkan
prevalensi stunting dengan menjadi orangtua asuh bagi janin dan balita (sumber:
www.nylon.com.sg)

Bagaimanapun juga, kalangan Crazy Rich Citizen ini memiliki kelimpahan keuangan
yang sangat mampu jika diperbantukan dalam urusan mencegah atau mengurangi
prevalensi stunting. Selain untuk kembali memasyarakatkan nilai-nilai kebaikan dan
gotong royong, juga untuk membantu memperkecil kesenjangan/gap antara warga
negara yang sangat kaya dengan yang sangat miskin.

PENUTUP
Stunting adalah masalah yang kompleks. Setiap calon ayah dan calon ibu wajib
memahami persoalan ini, sebagai bahan pembelajaran untuk tidak mengulang
kesalahan yang sama generasi sebelumnya yang kurang melek literasi kesehatan.
Sebagai bahan pembelajaran bagi pembaca, silakan mengunduh bahan bacaan
dibawah ini:
10 Pesan Kesehatan Jokowi
Periode Emas 1000 Hari Pertama Kehidupan
Situasi Balita Pendek Kementerian Kesehatan RI
Prevalensi, Penyebab dan Pencegahan Stunting
TNP2K: Buku Ringkasan Stunting
Penurunan Masalah Balita Stunting
Buku Saku Desa Dalam Penanganan Stunting
Paparan Stunting Kementerian Keuangan
Mencegah Kekurangan Gizi Pada Anak
Dana Desa untuk Penurunan Stunting

Anda mungkin juga menyukai