Anda di halaman 1dari 16

1

PENERAPAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENCEGAHAN

PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

oleh

SUZI TESSA DEYOSKY

17/411144/SV/13071

1. Pendahuluan

Kemajuan teknologi di era globalisasi saat ini berkembang dengan sangat cepat.

Hal tersebut tentunya memberi dampak positif dalam kehidupan menyangkut

kebutuhan informasi di segala bidang. Suatu organisasi sangat membutuhkan informasi

yang akurat, jelas, dan mudah dimengerti agar informasi tersebut dapat dijadikan bahan

pertimbangan dalam pengambilan keputusan di masa mendatang demi tercapainya

tujuan bersama organisasi tersebut.

Rumah sakit sebagai organisasi sektor publik yang bergerak dibidang pelayanan

jasa kesehatan tak luput dari pentingnya informasi dalam menunjang seluruh kegiatan

yang ada didalamnya, informasi yang dihasilkan harus bersifat relevan agar keputusan

yang diambil berdasarkan informasi tersebut tepat sasaran, bentuk penyajian yang

sesuai merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas suatu informasi yang

disampaikan. Sejauh ini penyajian data dan informasi di pelayanan kesehatan


2

umumnya menggunakan diagram ataupun grafik tergantung pada data apa yang ingin

disajikan. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis yang selanjutnya disebut SIG

dalam hal ini penyajian data dalam bentuk peta belum digunakan sebagai alat bantu

penyajian yang data dan informasi yang efektif di pelayanan kesehatan termasuk rumah

sakit, sementara kebutuhan akan penyajian data yang lebih kompleks untuk

menghasilkan informasi yang lebih baik masih sangat diharapkan. Dalam beberapa

kasus, Sistem Informasi Geografis menyangkut penyajian data dan informasi dalam

bentuk peta dapat dijadikan sebagai alat bantu penyajian yang menarik dan variatif

sesuai dengan kebutuhan.

Beberapa aplikasi-aplikasi yang dapat ditangani oleh SIG di berbagai bidang

termasuk dalam bidang kesehatan yaitu “penyediaan data atribut dan spasial yang

menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita suatu penyakit, pola

atau model penyebaran penyakit” (Prahasta.2005:5).

Saat ini SIG merupakan komponen penting dalam banyak kegiatan di bidang

kesehatan masyarakat dan epidemiologi, sehingga sangat relevan dalam pengambilan

data penyakit infeksi dan penyakit yang ditularkan oleh vektor, termasuk DBD.

Beberapa tahun terakhir, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) sering terjadi di

musim pancaroba, khususnya bulan Januari. Oleh karena itu, masyarakat perlu

mengetahui penyebab penyakit DBD, mengenali tanda dan gejalanya, sehingga mampu

mencegah dan menanggulanginya dengan baik.

Fenomena penyebaran virus DBD, antara lain dapat dilihat dari perspektif

informasi keruangan (geospasial), misalnya berdasarkan informasi suhu, curah hujan,


3

kelembaban, dan penutupan lahan tertentu yang merupakan faktor yang mempengaruhi

terjadinya DBD. Dari beberapa laporan, diketahui DBD sering muncul pada saat

musim penghujan di daerah dengan temperatur tropis dengan kelembaban tinggi,

tutupan vegetasi yang relatif rapat, kawasan pemukiman yang padat, dan ketinggian

kurang dari 1000 m dpl (Suryana N, 2006).

Dalam penanggulangan penyebaran DBD juga dibutuhkan ketersediaan informasi

yang cepat dan akurat. Namun saat ini pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk

pemetaan penyakit oleh puskesmas masih kurang optimal. Dari paparan tentang

pentingnya pemanfaatan SIG dalam dunia kesehatan khususnya dalam pencegahan

penyakit DBD. Hal ini mendorong penulis untuk membuat judul makalah tentang

Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD). Adapun rumusan makalah ini, yaitu ‘’Bagaiman penerapan SIG dalam

pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)?’’. Adapun tujuan pembuatan

makalah ini ialah untuk mengetahui apa saja peranan SIG dalam dunia kesehatan

khususnya dalam pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Makalah ini

diharapkan mampu memberikan gambaran umum mengenai Sistem Informasi

Geografis (SIG) serta penerapannya dalam pencegahan penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD).

2. Peranan SIG Dalam Pencegahan Penyakit DBD


4

Menurut Soedarto, DBD adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue

yang menimbulkan demam akut pada si penderita. Dari pengertian tersebut dapat

disimpulkan bahwa DBD merupakan penyakit endemis yang berada di daerah tropis

maupun sub tropis, dimana penyakit tersebut disebabkan oleh virus dengue.

Kasus DBD pertama kali dilaporkan di Surabaya pada tahun 1968. Pada tahun

tersebut penderita DBD tercatat sebanyak 58 orang dan 24 orang lain diantaranya

meninggal dunia. Sejak saat itu DBD menyebar keseluruh pelosok di Indonesia,

tercatat pada tahun 1988 sebanyak 13,45 per 100.000 penduduk menderita penyakit

DBD. Virus dengue yang menyebabkan penyakit DBD dapat berkembang dengan baik

di Indonesia, karena Indonesia memiliki iklim tropis dengan suhu yang relatif hangat.

Perubahan suhu yang terjadi di Indonesia tidak terlalu ekstrem antara siang dan malam,

tidak seperti halnya di gurun yang pada siang hari bisa mencapai 60 dan pada malam

hari bisa mencapai 0 . Dengan perubahan suhu yang relatif stabil baik virus, vektor

maupun agen penyakit dapat berkembang dengan baik di Indonesia. Sedangkan

perubahan suhu yang ekstrem membuat virus, vektor maupun agen penyakit sulit

untuk berkembang.

Penularan DBD di perantarai oleh nyamuk yang terinfeksi virus dengue, nyamuk

yang menularkan penyakit tersebut khususnya adalah nyamuk jenis Aedes, nyamuk

Aedes sendiri terdapat dua jenis yaitu Ades albopictus dan Aedes aegypti, namun

nyamuk yang lebih sering menulakan virus ini khususnya adalah nyamuk jenis Aedes

aegypti. Biasanya nyamuk yang mengigit dan menyebarkan virus dengue adalah

nyamuk betina. Karena nyamuk Aedes betina mengisap darah manusia yang berguna
5

untuk mendapatkan protein agar telurnya menjadi matang dan siap dibuahi oleh

seperma nyamuk jantan. Sehingga tidak semua nyamuk dapat menjadi vektor yang

menyebarkan virus dengue, hanya jenis nyamuk tertentu saja yang dapat menyebarkan

virus dengue. Khususnya adalah nyamuk Aides aegypty yang berjenis kelamin betina

(Widoyono, 2008:61).

Virus dengue didalam tubuh nyamuk yang terinfeksi akan berkembang selama 8-

10 hari terutama dalam kelenjar air liurnya. Selanjutnya nyamuk yang telah terinfeksi

virus tersebut menularkan manusia melalui gigitan nyamuk untuk mengisap darah

manusia. Dari gigitan nyamuk itulah virus dengue akan berpindah bersamaan dengan

air liur nyamuk. Setelah virus dengue masuk didalam tubuh manusia, virus ini akan

berkembang selama 4-6 hari, selama masa tersebut manusia yang telah digigit oleh

nyamuk yang terinfeksi akan mengalami sakit DBD. Virus dengue ini akan terus

berkembang selama satu minggu didalam darah manusia yang telah terinfeksi virus

dengue (Widoyono, 2008:61).

DBD memiliki gejala demam yang muncul secara tiba-tiba, terdapat bintik

kemerahan pada kulit, penderita mengalami muntah terus menerus, ketika disentuh

kulit akan terasa dingin, nyeri pada perut dan sakit pada bagian kepala, dan juga

penderita akan terus merasa haus akibat kekurangan caian.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan persebaran penyakit DBD.

Didalam lingkungan sosial masyarakat memiliki pengaruh yang besar dalam

penebaran penyakit DBD. Menurut Soemirat yang dikutip oleh Siti Aulia jumlah dan

kepadatan penduduk dapat menentukan : a. Cepat atau lambatnya penularan penyakit.


6

Antara lain konsentrasi limbah yang terbentuk baik adat, cair, maupun gas, pelayanan

kesehatan yang diperlukan seperti penyediaan air minum, penyaluran limbah cair,

sanitasi persampahan dan pemukiman dan banyak tidaknya korban yang jatuh apabila

terjadi pencemaran lingkungan.

Semakin banayaknya penduduk di suatu tempat semakin cepat persebaran

penyakit DBD di suatu wilayah. Penularan penyakit di wilayah yang padat penduduk

seperti penyakit DBD akan sangat rentan. Dikarenakan semakin banyaknya penduduk

maka akan semakin padat perumahan sehingga jarak antara satu rumah dengan rumah

lainnya saling berdekatan. Selain itu semakin banyaknya penduduk maka akan

semakin banyak sampah yang ditimbulkan, dari sampahsampah yang dapat

menampung air itulah nyamuk dapat berkembang biak dan membawa virus dengue.

Meningkatnya jumlah kasus akibat penularan serta bertambahnywilayah yang

terjangkit, ditentukan oleh beberapa faktor antara lain (Zulkoni, 2011):Faktor Host,

faktor Host yang dimaksud adalah kerentanan (susceptibility) dan respon imun

seseorang terhadap demam berdarah dan faktor lingkungan (Environment) yaitu

kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban,

musim), kondisi geografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi

penduduk).

Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan

terjadinya proses interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab dalam proses

terjadinya penyakit. Secara garis besarnya maka unsur lingkungan dapat dibagi dalam

tiga bagian utama yaitu, faktor lingkungan fisik, biologis, dan social.
7

Persebaran penyakit Demam Berdarah Dengue sebenarnya dapat ditekan, ada

berapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan penyebaran penyakit demam

berdarah. Salah satu hal paling mudah yang dapat kita lakukan di rumah adalah

pemeriksaan jentik nyamuk dan membuang wadah yang sudah tidak berguna yang

dapat menampung air. Karena nyamuk Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang

berkembang biak di genangan air bersih dan tenang seperti genangan bekas

penampungan bocoran air hujan di dalam rumah.

Untuk menekan mewabahnya penyakit DBD hal yang perlu dilakukan adalah

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Karena dengan melakukan PSN mata rantai

untuk berkembangnya jentik menjadi nyamuk akan terputus. Dengan begitu nyamuk

yang menjadi vektor virus dengue akan berkurang dan kemungkinan mewabahnya

DBD semakin sedikit.

Berdasarkan pemaparan teori di atas, dapat diketahui bahwa penyakit DBD

merupakan penyakit yang muncul karena berbagai faktor lingungan seperti dari

lingkungan fisik, biotik maupun sosial. Penyakit DBD menjadi salah satu penyakit

yang masih terus mewabah sepanjang tahun dan akan meningkat selama memamasuki

musim penghujan. Karena pada musim ini akan muncul banyak genangan-genangan

air yang tertampung di barang-barang bekas maupun tempat penampungan air bocoran

hujan yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti. Dimana

nyamuk jenis ini menyukai air yang bersih dan tempat yang lembab untuk bertelur.

Penyakit DBD merupakan penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis

Aedes khususnya Aedes aegypti sebagai vektor. Karena nyamuk jenis ini dapat terbang
8

kurang lebih sejauh 100 meter dari satu tempat ke tempat lainnya sehingga dapat

menyebarkan penyakit DBD dengan wilayah persebaran yang luas. Maka dari itu

persebaran penyakit DBD dapat dianalisis secara spasial untuk mengetahui

persebarannya. Berdasarkan persebaran penyakit DBD maka didapatkan data

penderita DBD yang selanjutnya akan dilakukan analisis spasial. Analisis spasial

berfungsi untuk mengetahui pola spasial sebaran penyakit DBD di Indonesia. Analisis

spasial yang dilakukan menggunakan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG).

SIG adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras computer, perangkat

lunak, data geografi, dan personal yang didesain untuk memperoleh, menyimpan,

memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi

yang bereferensi (Sodikin, 2016:200).

Pengertian SIG menurut Guo Bo dalam buku Agus Suryantoro, SIG adalah

teknologi informasi yang dapat menganalisa, menyimpan, dan menampilkan baik data

spasial maupun non spasial. SIG mengkombinasikan kekuatan perangkat lunak basis

data relasional dan perangkat lunak CAD.

Dari beberapa paparan di atas dapat disimpulkan SIG adalah suatu sistem

informasi yang terdiri dari perangkat lunak dan perangkat keras yang dapat digunakan

untuk menganalisa, mengelola, dan menyimpan data spasial yang dapat digunakan

dalam mengambil suatu keputusan.

Menurut Estes dalam buku (Suryantoro, 2009:136), berpendapat bahwa ada 4

(empat) kemampuan aplikasi SIG antara lain adalah: pengukuran, pemetaan,

pemantauan, dan pembuatan model. Pengukuran (measurement), fasilitas ini dapat


9

mengukur jarak antar titik, jarak rute, atau luas suatu wilayah secara interaktif.

Pemetaan (mapping) menyajikan data realita di permukaan bumi akan dipetakan ke

dalam beberapa layer dengan setiap layernya merupakan representasi kumpulan benda

(feature) yang mempunyai kesamaan, contohnya layer jalan, layer bangunan, dan layer

costumer. Kemudian layer-layer tersebut disatukan dan disesuaikan urutannya. Dari

fungsi pemetaan ini mempermudah seseorang untuk mencari dimana letak suatu

daerah, benda, atau lainnya di permukaan bumi. Fungsi ini dapat digunakan seperti

untuk mencari suatu lokasi rumah, rute jalan, dan mencari tempattempat penting

lainnya di dalam peta. Pemantauan (monitoring) digunakan juga untuk memonitor apa

yang terjadi dan keputusan apa yang akan diambil dengan memetakan apa yang ada

pada suatu daerah dan apa yang ada di luar area. Pembuatan Model (modeling)

digunakan Sewaktu seseorang melihat konsentrasi dari penyebaran lokasi dari feture-

feature, di wilayah yang mengandung banyak feature mungkin akan dapat kesulitan

untuk melihat wilayah mana yang memiliki konsentrasi lebih tinggi dari wilayah

lainnya. Untuk itu siperlukan pemodelan, kelas-kelas yang di dapatkan ini kemudian

di-overlay berdasarkan sekema pembobotan yang dibuat.

Aplikasi SIG dapat digunakan dalam bidang kesehatan. Menurut WHO yang

dikutip dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, Sistem Informasi Geografis (SIG)

dalam kesehatan masyarakat dapat digunakan antara lain : menentukan distribusi

geografis penyakit, analisis trend spasial dan temporal, pemetaan populasi berisiko,

stratifikasi faktor risiko, penilaian distribusi sumberdaya, dan perencanaan dan

penentuan intervensi. Dalam ilmu kesehatan sendiri Sistem Informasi Geografis (SIG)
10

memiliki beberapa keuntungan dalam metode konvensional yang digunakan dalam

perencanaan, manajemen dan penelitian kesehatan:

1) Manajemen Data

SIG memberikan kemampuan bagi pengguna untuk menyimpan, mengintegrasikan,

menampilkan dan menganalisis data dari level molekuler terhadap resolusi satelit

kepada komponen spasial yang diperoleh dari sumber data yang berbeda. Manajemen

data dengan penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat mendukung kegiatan

survailans penyakit yang sangat membutuhkan keberlangsungan, sistematika

pengumpulan data serta analisis data.

2) Visualisasi

SIG merupakan alat yang akurat untuk menghadirkan informasi spasial terhadap level

secara individual dan melakukan model prediksi.

3) Analisis overlay/Timpang susun

SIG dapat melakukan analisis secara bersusun dari bagian informasi yang berbeda. Ini

sangat membantu dalam pengambilan keputusan, dan penelitian medis terhadap

pemodelan multi-kriteria yang membantu dalam memahami hubungan antara

prevalensi penyakit dan gambaran yang spesifik.

4) Analisis buffer

SIG dapat menciptakan zona/wilayah buffer disekitar daerah yang dipilih. Radius 10

km untuk menggambarkan area Rumah sakit yang dijangkau, atau 1 km disekitar


11

sungai untuk menandai penularan risiko pencemaran melalui air. Pengguna dapat

mengkhususkan ukuran buffer dan mengkombinasikan dengan informasi data

inseidensi penyakit untuk meperkirakan jumlah kasus yang terjadi dalam zona buffer.

5) Analisis statistik

SIG dapat menyelesaikan kalkulasi spesifik, seperti proporsi populasi dalam suatu

radius tertentu dari suatu pusat kesehatan dan juga mengkalkulasi jarak dan area

sebagai contoh jarak suatu masyarakat ke pusat kesehatan serta area yang dicakup oleh

program kesehatan tertentu (cakupan).

6) Query

SIG memberikan interaksi pertanyaan untuk mendapatkan intisari informasi yang

dimasukan dalam peta, table, grafik, dan juga dapat menjawab pertanyaan dari lokasi,

kondisi, trend dan pemodelan dan pola spasial.

Analisis spasial merupakan analisis yang dilakukan dengan melihat faktor

keruangan (spasial), sedangkan SIG merupakan sistem informasi khusus untuk

mengelola data yang memiliki informasi spasial bereferensi keruangan (Yusnia, 2010).

SIG mampu mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan, menampilkan,

memanipulasi, memadukan, dan menganalisa data yang bersifat spasial dan mampu

mengintgrasikan dengan data tekstual yang diambil di lapangan. Sebagai suatu sistem

informasi, SIG sangat berguna terutama dalam pengambilan keputusan perencanaan

dan pengelolaan berbagai macam hal, termasuk dalam dunia kesehatan. Dalam dunia

kesehatan SIG merupakan alat yang sangat penting untuk membantu menganalisis
12

kondisi suatu daerah terhadap suatu penyakit karena mampu memetakan penyebaran

penyakit serta melakukan kegiatan pengumpulan data kesehatan masyarakat yang lain.

Dalam kasus DBD, analisis data spasial mampu menunjukkan adanya faktor-

faktor keruangan yang berpengaruh terhadap angka kejadian penyakit sehingga

memberi petunjuk dimana intervensi kesehatan masyarakat yang efektif harus

diterapkan. Kejadian penyakit dapat dijelaskan sebagai suatu fenomena spasial secara

kewilayahan yang memiliki karakteristik yang sama. Pola penyakit dan masalah

kesehatan pada sebuah komunitas berubah dari waktu ke waktu, dari musim ke musim

serta berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Perubahan ini sejalan dengan perubahan

berbagai faktor resiko spasial kesehatan seperti kependudukan, sosial ekonomi dan

geografi atau ekosistem. Dengan demikian, perlu memasukkan masalah temporal

dalam melakukan upaya pemberantasan penyakit menular, melalui pendekatan

manajemen berdasarkan kondisi spesifik lokal temporal suatu daerah (Achmadi,

2010).

Fenomena penyebaran virus DBD, antara lain dapat dilihat dari perspektif

informasi keruangan (geospasial). Berdasarkan informasi suhu, curah hujan,

kelembaban, dan penutupan lahan tertentu yang merupakan faktor yang

mempengaruhi terjadinya DBD. Dari beberapa laporan, diketahui DBD sering muncul

pada saat musim penghujan di daerah dengan temperatur tropis, kelembaban tinggi,

tutupan vegetasi relatif rapat, kawasan pemukiman yang padat, dan ketinggian kurang

dari 1.000 m dpl (Saryana N,2006). Perkembangan nyamuk juga dipengaruhi

karakteristik dan distribusi curah hujan di suatu wilayah. Semakin banyak hari hujan
13

dengan intensitas normal, mengakibatkan perkembangan nyamuk cenderung

meningkat. Sebaliknya pada intensitas curah hujan normal akan tetapi hari hujannya

relatif sedikit, perkembangan nyamuk cenderung berkurang. Selain itu, apabila terjadi

kemarau basah biasanya pertumbuhan nyamuk cenderung lebih banyak. (Saryana N,

2006) .

Faktor lain yang berpengaruh bagi penyebaran DBD adalah banyaknya

perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah lainnya. Penduduk yang terinverksi

virus dengue, dimungkinkan dapat menjadi penyebab DBD bagi penduduk lain.

Informasi keruangan tentang penyebaran kasus DBD, misalnya pada lingkungan fisik

dan sosial dalam batas tertentu, didapatkan melalui teknologi penginderaan jauh.

Wilayah dipermukaan bumi dikaji berdasarkan keragaman pola yang tampak pada

citra satelit, selanjutnya dirubah menjadi satuan satuan daerah. Analisis dalam bentuk

satuan bentang lahan yang berkorelasi dengan tipe-tipe habitat vektor DBD (Aronoff

S, 1989).

Untuk mewaspadai siklus KLB DBD, diperlukan pemodelan faktor resiko spasial

epidemiologi DBD berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil dari pemodelan

spasial berupa peta kerawanan wilayah terhadap DBD, diharapkan dapat digunakan

sebagai masukan berharga dalam perencanaan program penanggulangan dan

pemberantasan kasus DBD serta dihasilkannya pengambilan keputusan yang efektif

dan efisien (Hasyim, 2009).


14

3. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

Sistem Informasi Geografis memiliki kemampuan yang sangat cocok dalam

pengendalian dan surveilans penyakit-penyakit, termasuk penyakit DBD. Penerapan

SIG dalam bidang kesehatan khususnya dalam pencegahan penyakit DBD yaitu,

memonitor status kesehatan untun mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di

masyarakat serta menganalisisnya persebarannya secara spasial. Hasil dari pemodelan

spasial berupa peta kerawanan wilayah terhadap DBD dapat digunakan sebagai

masukan berharga dalam perencanaan program penanggulangan dan pemberantasan

kasus DBD serta dihasilkannya pengambilan keputusan yang efektif dan efisien.
15

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi. 2010. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI Press.

Aronoff, S. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective.


Canadan, Ottawa: WDL Publication.

Hamzah, Hasyim. 2009. Analisis Spasial Demam Berdarah Dengue di Provinsi


Sumatera Selatan.

Prahasta, E. 2014. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar (Perspektif


Geodesi dan Geomatematika). Bandung: Informatika.

Sodikin. 2016. Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan Jauh (Teori dan Praktek
dengan Er Mapper dan ArcGis 10. Yogyakarta: Simedia.

Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Agung Seto.

Suryana, N. 2006. Interpretasi Citra dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Penyebaran Demam Berdarah (DBD) Studi Kasus Kota Bandung, Fakultas
Teknik Sipil dan Lingkungan Institute Teknologi Bandung.

Suryantoro, Agus. 2008. Integrasi Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Jakarta:


Erlangga.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidimologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberatasannya. Jakarta: Erlangga.
16

Yusnia, Siti. 2010.Analisis Spasiotemporal Kasus DBD di Kecamatan Tembalang


Bulan Januari-Juni 2009. Semarang: Fakultas Kedokteran.

Zulkoni, Akhsin. 2011. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai