Anda di halaman 1dari 9

RIAK DI SIMPANG EMPAT

“Aku tidak rela bapak pergi! Jika bapak pergi, tidak ada tempat bagi kami untuk
menyampaikan keluhan kami”, ujar Linda sambil berjalan mendekat ketempat Vivi.
Vivi duduk dikursi sambil mengutakatik handphone. Air mukanya berubah, ada raut
kesedihan yang tidak bisa disembunyikannya. “Bagi kami Bapak tempat mengadu.. Jika kami
mengadu pada Bapak, ada solusi yang kami terima. Itu tidak kami dapatkan pada dr. Agung dan
yang lain”, keluhnya pelan.
“Kenapa bapak tidak menolak?” tanya Rini menatap tajam padaku. Matanya bekaca-kaca,
ada nada kecewa dalam ucapannya. “Bapak kan bisa memberi alasan agar tidak dimutasi ke
Padang.
Aku masih diam. aku berusaha menjaga emosi dan menguatkan perasaannku. Jika aku ikut
larut dengan ucapan mereka, air mata bakal keluar. Hal ini tidak boleh trejadi. Aku harus tetap
tampil tegar, kuat dan kokoh. Jika aku ikut mengeluarkan air mata, tidak beda aku dengan mereka.
Gejolak ini sudah mulai terjadi sejak tadi siang. Setelah dr. Meri direktur rumah sakit
mengumumkan saat menutup rapat koordinasi bahwa aku akan dimutasikan oleh Yayasan Rumah
Sakit Islam Sumatera Barat Ke RSI Ibnu Sina Padang. Saat rapat akan berakhir aku sudah tidak dalam
ruangan karena aku harus memberikan pelayanan di klinik Penyakit dalam.
Aku dapat informasinya kemaren dari Ali petugas ADM. Pagi sebelum viste ke ruangan, Ali
memberitahukan padaku bahwa ada surat dari yayasan untukku.
“Bapak dimutasikan Yayasan ke Padang”, ujar Ali singkat.
“Oh ya”, aku segera mengambil surat yang disodorkannya. Aku lihat alamat surat bukan
untuk aku, tapi alamatnya ke Direktur RSI Ibnu Sina Padang. Isinya memberitahu bahwa aku akan
dimutasikan ke RSI Ibnu Sina Padang mulai tanggal satu oktober 2018. Di sudut kiri bawah baru aku
lihat ada tulisan tembusan kepadaku dan direktur RSI Ibnu Sina Simpang Empat.
“LI. Ali Jangan sebarkan informasi ini kepada siapapun. Cukup sampaikan ke direktur”, aku
larang Ali membuka suara tentang surat ini. Aku tidak ingin terjadi kegalauan ditengah karyawan
hanya gara sebuah surat pemberitahuan tentang kepidahanku. Sedangkan Sknya belum terbit.
Sebulan yang lalu ketika ada isu bahwa aku akan pindah, sudah banyak yang bertanya dan
meminta agar aku jangan pindah. Karena suratnya tidak ada, aku tidak terlalu sulit untuk
menjawabnya. Sekarang, walau SKnya belum ada, tapi ada surat pemberitahuan bahwa SK
kepindahanku akan diterbitkan. Aku tidak bisa bayangkan apa reaksi karyawan jika mereka tahu ada
surat ini.
“Ya pak”, Ali menyanggupi permintaanku.
Siang itu, selesai pelayanan jam 15.00 aku pergi ke ruangan kasi penunjang yang sering ku
jadikan sebagai tempat mangkal. Tempat ini ku pilih karena mobilku sering ku parkir di halaman
belakang. Saat aku sedang mengobrol dengan Asmiral, handponku berdering. Ada panggilan dari
Rini kepala ruangan Mina.
“Pak. Benar Bapak mau pindah?” terdengar suara dari seberang. Ada suara lain yang ramai
terdengar. Mungkin dia sedang berada ditengah banyak karyawan lain.
Aku tersenyum sambil menoleh ke Asmiral. “Dari surat yayasan, sepertinya iya”, tapikan SK
muatasinya belum ada”, aku coba untuk berkilah.
“Aku tidak rela pak. Bapak harus tetap di sini, sekarang bapak sudah di rumah? Setelah
ashar kami nanti ke rumah Bapak”, suaranya tegas.
“Ya silakan”, jawabku.
“Terimakasih pak”, ujarnya dan handphonpun dimatikan.
Ternyata benar. Sore ini mereka datang dan meminta aku agar jangan pergi. Mereka tidak
mau aku pindah.
“Kenapa Bapak yang harus dimutasikan ke Padang? Kenapa tidak dr Andri yang masih
muda?” tanya Nunung.
Aku mencoba untuk tersenyum. Ku perbaiaki posisi tubuhku yang bersandar kekursi. Lalu
dengan suara sedikit berat aku jelaskan kenapa aku tidak menolak keputusan Yayasan.
“Aku ini prajurit”, aku mulai angkat bicara. Semuanya menoleh kepadaku. “Sebagai prajurit,
aku harus taat pada komandan. Jika komandan menyuruh tiarap, aku akan tiarap. Jika perintahunya
maju, aku akan maju dan jika dia menyuruh mundur, aku akan mundur”.
“Tapi untuk ini tidak bisa pak”, Rini memotong penjelasanku. “Bapak harus menolak”.
“Kenapa dia tidak senang dengan Bapak?” suara Memel mulai keluar. “Baru dia dua bulan
di sini, Bapak sudah akan dimutasinya”.
“Maria pernah bicara bahwa dr Meri pernah melapor ke dr. Agung. Saat itu Maria masih
duduk di kursinya saat dr. Meri masuk menemui dr. Agung”, ujar Lisa
Semua perhatian beralih ke Lisa. Akupun belum jadi melanjutkan penjelasanku karena juga
ingin tahu informasinya. Aku kenal Maria, orangnya polos, jujur dan bicara apa adanya. Jadi
informasi yang diberikannya 90 % ada kebenarannya.
“Maria, ustadz dan dr. Agung kantor mereka saat itu masih satu ruangan. Jadi mereka tidak
sadar bahwa ada Maria di sana”, Lisa melanjutkan informasnya.
“dr. Meri menyampaikan apa sama dr. Agung”, ingin tahukelanjutannya.
“dr. Meri saat itu selesai rapat koordinasi. Lalu dia sampaikan ke dr. Agung bahwa dr. Con
itu susah dan sulit untuk mengendalikannya. ‘Pindahkan saja dia agar jangan jadi penghambat’
jawab dr. Agung”, jelas Lisa.
“Itu pak. Sakit hati kami mendengarnya”, kembali terdengar suara Linda. “Kenapa dia benci
sama Bapak?”
Aku geser posisiku sedikit untuk dapat duduk di tangan kursi. Kembali ku kumpulkan tenaga
untuk mengendalikan emosi. Ku pandang mereka satu persatu. “Proses ini sudah berjalan lama. Tiga
bulan yang lalu, aku telah dipanggil oleh pengurus Yayasan ke Padang. Saat itu ku bawa Miral
sebagai sopir”.
Semuanya kembali memandang padaku. Sepertinya ucapan ini yang mereka tunggu.
Akupun juga tidak ingin mereka mempunyai praduga yang bermacam-macam dengan rencana
mutasiku ke RSI Ibnu Sina Padang.
“Saat itu bertemu dengan pak Zainul dan pak Masrul. Pak Masrul menyampaikan kepadaku
bahwa pengurus berencana akan meutasikanku ke RSI Ibnu Sina Padang. Alasannya adalah karena
RSI Ibnu Sina Padang tidak punya dokter spesialis penyakit dalam tetap yang bisa memberikan
pelayanan dari pagi. Saat ini di sana hanya ada dokter tamu yang baru bisa memberikan layanan
sore dan malam setelah mereka menunaikan kewajibannya di rumah sakit utamanya RS M Jamil”,
terangku perlahan.
“Jika hanya untuk itu, kenapa bapak yang dipindahkan? Kenapa tidak dr. Andri yang masih
baru. Bukankah dr. Andri juga dokter spesialis penyakit dalam”, sergah Vivi.
“dr. Masrul menyampaikan bahwa aku dibutuhkan untuk menatanya. Dominasi dr Adek
saat ini membuat tidak bisa masuk dokter muda ke sana. Dr. Adek itu seniorku dan dia staf penyakit
dalam FK Unand. Jadi semua dokter penyakit dalam yang baru adalah muridnya. Makanya tidak ada
dokter muda, mereka sulit masuk karena dokter Adek tidak bersedia ada banyak dokter yang
menjadi kompetitornya”, jelasku lebih lanjut.
“Bagi kami bapak tempat mengadu di sini”, Rini kembali angkat bicara. “Kalau bapak pergi,
tidak ada lagi tempat mengadu kami. Bapak telah berbuat banyak untuk kami dan itu tidak kami
dapatkan dengan dr. Agung”.
Aku menghela nafas agar bisa berfikir jernih. Suasana saat ini jika diikuti, kita akan larut
dengan perasaan. Aku tidak ingin terjebak. Sementara Wera Istriku hanya duduk diam mendegar
semua pembicaraan kami.
“Ketika bapak dulu jadi direktur, kami yang hanor sampai lima tahun bapak usulkan jadi
karyawan tetap. Secara bertahap akhirnya kami yang honor lebih tiga puluh orang jadi karyawan
tetap” ujar Nunung. “Kami mengikuti pendidikanpun tidak pernah bapak larang asalkan tugas tidak
terganggu”.
Aku tersenyum mendengar alasan mereka. Mereka mengingat semua yang pernah
kulakukan selama menjadi direktur. Sekarang mereka baru merasakan hasil dari kebijakan yang
kuambil. Padahal dulu saat aku mengeksekusi kebijakan yang jadi kewenanganku, aku sering
diprotes dan bahkan juga ada yang mengadukanku ke Yayasan karena tidak setuju. Alhamdulillah
setelah aku berhenti, mereka punya pembanding dan akhirnya bisa merasakan bahwa kebijakan
yang dulu ku keluarkan adalah kebijakan yang berpihak untuk kebaikan mereka dan lembaga yang
aku pimpin.
“Tolaklah pak, agar bapak jangan pindah” pinta Lisa.
Aku berdiri dan lalu dengan ekpresi untuk lebih meyakinkan aku berucap, “Bagiku tidak ada
kata kamus meminta tempat dan jabatan. Aku hanya punya kosakata tidak meminta dan tidak
menolak”.
“Ya tapi inikan lain pak”, sergah Vivi.
“Itu prinsip hidupku. Aku tidak pernah minta jabatan ataupun lokasi dimana aku ingin
bekerja. Aku juga tidak pernah meminta jabatan. Bagiku terserah mau ditempatkan dimana dan
sebagai apa. Kan aku sudah sampaikan bahwa aku sebagai prajurit akan mengikuti apa perintah
komandan”, jelasku untuk meyakinkan mereka.
“Jika itu prinsip bapak, berarti kami bisa minta pada pengurus yayasan untuk tidak
memutasikan bapak”, Rini bangkit dari duduknya.
“Ya. Kita pergi ke Padang minta yayasan untuk tidak memindahkan Bapak”, Vivipun bangkit
dari duduknya. Suara mulai gaduh, mereka seakan mendapat solusi dari apa yang mereka risaukan.
Wajah-wajah tadinya galau, kini mendapat angin segar. Mereka saling tos sebagai tanda ada
kesepakatan dan seiya dalam rencana.
“Kalau yayasan tidak mau, kami demo ke sana”, ujar Linda mengekspresikan
kegembiraannya.
Aku tersenyum melihat ulah mereka. Ada rasa kebahagiaan terselip di sanubariku.
Walaupun selama ini aku terkenal sebagai orang yang pemarah, namun ternyata kemarahannku
kepada mereka tidak membuat kami jadi renggang.
“Kami senang bapak marahi”, ujar Rini suatu kali saat aku duduk mengisi rekam medik
pasien di bangsal Mina.
“Kok senang dimarahi?” tanyaku tak habis fikir.
“Kami mengerti bahwa Bapak marah karena ada yang salah pada kami. Dengan bapak
marah, kami jadi tahu kesalahan kami. Bapak tidak pendendam, sehabis marah bapak kembali
menyapa kami seakan tidak ada persoalan kami dengan Bapak”.
“Aku marah pada kalian bukan karena benci”, jelasku. “Aku marah jika ada kesalahan yang
kalian lakukan karena aku tidak ingin kesalahan kaliana berulang. Pekerjaan kita berhadapan
langsung dengan nyawa manusia, kesalahan sedikit bisa berakibat fatal. Sebelum itu terjadi, lebih
baik aku memarahi kalian dengan harapan kesalahan yang sama tidak terulang”.
“Ya. Itu yang kami sukai dari bapak”, jawab Rini.
Aku selalu berusaha untuk tampil apa adanya. Jika ku lihat ada yang salah, aku tegur dan
tidak jarang aku marah sambil menyampaikan bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak benar dan
merugikan pasien atau lembaga. Setiap kemarahanku habis langsung begitu mereka berubah untuk
membenahi kesalahan yang terlanjur mereka lakukan. Aku tidak ingin memupuk kebencian dalam
hatiku. Jika ada yang berusaha mengelak dariku setelah habis dimarahi, aku akan panggil dia dan
menyapanya kembali seakan tidak ada kejadian sebelumnya.
Saat aku berjalan di koridor rumah sakit menuju klinik penyakit dalam aku bertemu dengan
Wel dari bagian logistik. Dia memandangku lengket, matanya berkaca-kaca. Seperti ada sesuatu
yangingin dia sampaikan.
“Pak”, sapanya.
“Ya. Bagaimana Wel?” jawabku sambil terus berjalan perlahan. Wel mengikutiku dari
belakang. Namun tidak lagi terdengar suaranya. Lalu aku menoleh dan kembali menyapanya,
“Bagaimana Wel? Kondisinya baik?” aku tersenyum melihat ke arahnya yang saat itu dia sudah
berjalan beriringan dengan ku.
“Nantilah pak”, jawabnya. Seperti ada sesuatu yang menghalangi pembicaraannya.
Wajahnya yang murung tidak bisa dia sembunyikan. Aku tersenyum dan membiarkannya untuk
menenangkan perasaannya.
“Pak. Benar bapak mau pindah?” suara Wel kembali terdengar saat aku mendekati klinik.
Akupun menghentikan langkahku dan melihat ke arahnya. “Ya. Yayasan memintaku untuk
pindah ke padang”, aku tersenyum.
“Jangan pindah pak. Bapak orang tua kami di sini”, pinta Wel.
Aku berusaha untuk menenangkan hatiku. Aku tidak ingin terjebak dengan perasaan yang
akan membuat logikaku akan buyar. “Kita sebagai karyawan, harus siap untuk ditempatkan dimana
saja. Kalau yayasan meminta, aku tidak bisa menolak”, ku berusaha untuk menjelaskan.
“Tapi bapak kan bisa menolak”, sergahnya
“Itulah yang tidak mungkin ku lakukan”, jawabku. “Kemanapun aku ditempatkan Yayasan,
aku belum pernah menolaknya. Dan juga aku tidak pernah minta dimana aku ditempatkan”.
Kejadian yang sama, kembali ku alami saat kembali ke klinik setelah shalat zuhur di Masjid.
Di koridor aku bertemu Eti yang oleh teman-temannya sering dipanggil Jur. Eti sudah lama di RSI
Ibnu Sina Simpang Empat. Dia sudah mulai karirnya sejak dari Balai Kesehatan Kapar yang menjadi
cikal bakal RSI Ibnu Sina Simpang Empat.
“Pak. Aku mendengarbkabar, bapak akan pindah ke Padang”, Eti menghadangku di
persimpangan jalan.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Aku minta, bapak janganlah pindah. Kasihan pak dengan rumah sakit yang sudah bapak
rintis ini. Aku khawatir jika bapak pindah ke Padang, rumah sakit ini akan hancur”, Eti
mengemukakan kekhawatirannya.
“Ti” aku mulai serius. “Rumah sakit ini baik kok. Tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan di
sini. Adanya piutang yang tinggi, itu hanya sebuah proses untuk pematangan kita agar lebih baik
mengelola keuangan. Lagi pula itukan hutangnya BPJS yang in sya Allah akan dapat ditagih”.
“Bukan itu yang aku khawatirkan pak”, Eti memotong pembicaraannku.
“Lalu apa?’, aku jadi bingung juga membaca fikiran Eti.
“Dengan karyawan pak. Aku kasihan dengan mereka yang masih muda. Jenjang karir
mereka masih panjang. Kalau aku hanya tinggal 1,5 tahun lagi, lalu aku pensiun”, jelas Eti.
Aku mengangguk sambil berfikir, apa sebenarnya yang dimaksud Eti ini.
“Bapak tentu tahu bagaimana karyawan sekarang”, Eti menatapku lengket. “Beban mereka
berat, sementara kompensasinya tidak seimbang. Kinerja dituntut namun lembur mereka ditekan.
Lalu bagaimana hasilnya akan baik pak. Mereka mengeluh, namun tidak ada solusi dari masalah
yang mereka hadapi. Manajemen berjalan tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka”.
“Aku kira pengurus yayasan juga sudah fikirkan itu. In sya Allah akan ada solusinya”, aku
coba yakinkan Eti.
ooo0ooo

“Kami rencana akan demo ke Yayasan pak” ujar drg. Oprianti padaku.
“Untuk apa?” Aku melihat padanya sambil mengernyitkan dahi. “Ada apa kenapa mau
demo?”
“Kami ingin sampaikan aspirasi pada yayasan. Kami tidak ingin bapak pergi. Banyak masalah
kita di sini yang harus bapak selesaikan. Kami takut , jika bapak pergi masalah ini akan merebak dan
hancur kita bersama lembaga ini”, Opri menerangkan alasannya.
“Saya kira jangan kalian demo”, aku coba mencegahnya. “Jika kalian ingin sampaikan
aspirasi, itu sah sah saja. Tapi jik kalian demo, maka itu akan berdampak buruk sehingga masalah
bukannya selesai tapi malah akan timbul masalah baru yang lebih besar”.
Karyawan RSI Ibnu Sina Simpang Emat kembali ke rumahku sore itu. Mereka datang ingin
menyampaikan kepadaku rencana yang akan mereka lakukan. Mereka berharap yayasan dapat
membatalkan keputusan untuk memutasikanku ke Padang.
“Kami akan kumpulkan tandatangan teman-teman yang tidak setuju untuk kepindahan
bapak”, Rini buka suara. “Iya pak. Kami akan hantarkan surat penolakan itu ke Yayasan”
Aku coba untuk memahami fikiran mereka. Aku kira itu juga bukan hal yang salah jika
mereka menyampaikan harapan mereka ke Pengurus. Dengan adanya penyampaian aspirasi ini
tentu pengurus juga akan berfikir dan dapat mengambil keputusan dengan dasar yang lebih
komprehensif.
“Silakan”, aku tersenyum.
“Tapi kami tidak tahu alasan apa yang akan kami sampaikan pak”, Rini seperti kebingungan.
“Rasanya kami mau pergi demonstrasi saja ke Yayasan untuk mempertahankan bapak”.
“Jangan”, aku segera mengeluarkan larangan, saat mendengar kata demonstrasi.
“Demonstrasi ke Yayasan hanya akan membuat masalah jadi rumit. Pengurus akan marah pada alian
dan jangankan untuk mengabulkan, malah mereka akan semakin bertahan”.
“Lalu kami harus bagaimana pak?” tanya Vivi
“Iya pak”, Nunung membenarkan pendapat temannya. “Apa cukup kami hanya
mengumpulkan tanda tangan untuk mempertahankan Bapak?”
“Aku juga tidak tahu bagaimana hasilnya”, ku memperbaiki duduk. “Tapi dengan adanya
tanda tangan dan penyampaian aspirasi secara tertulis tanpa demonstrasi, itu sebuah sikap yang
elegan dan beradab. Mudah-mudahan pengurus simpati dengan sikap kalian dan mereka
pertimbangkan apa yang kalian sampaikan”.
Jum’at malam, drg Opri datang ke rumah setelah selesai praktek sore. Dia datang hanya
berdua dengan suaminya. Aku dan Wera kaget melihat mereka datang saat kami mau istirahat
karena malam sudah larut.
“Bagaimana kabarnya?” aku mulai dengan pertanyaan klasik
“Kami mau mengantarkan surat yang sudah ditandatangani karyawan hari senin pak”, jelas
opri.
“Kenapa Senin?” aku tidak mengerti dengan hari yangmereka pilih. “Kenapa tidak besok?
“Kami tengah mengumpulkan tandatangan karyawan”, jelasnya Opri. Masih ada yang belum
tandatangan. Besok kami akan kumpulkan yang belum, makanya kami rencanakan hari Senin baru
dihantarkan ke Padang”.
‘Aku kira jika ingin ke Yayasan, baiknya kalian bertemu langsung dengan Ketua agar dapat
berdialog dan beliau bisa menerima langsung aspirasi kalian”, saranku.
“Iya pak. Makanya kami lengkapi tanda tangan semua karayawan besok” jelas Opri.
Aku tersenyum mendengar penjelasan Opri. “Jika hari Sabtu, sebagain besar pengurus akan
berkumpul karena hari sabtu adalah jadwal rutin rapat mingguan Yayasan”.
“Senin bagaimana pak?” tanya Opri.
“Pengurus Yarsi Sumbar sebagian besar adalah pegawai negeri yang yang dihari kerja Senin –
Jum’at mereka aktif dilembaga induknya. Jadi mereka tidak akan masuk di kantor Yarsi. Jika
bertemu pengurus juga kalau tidak sabtu besok, ya sabtu minggu depan”, ujarku lebih lanjut.
Sabtunya aku ada urusan ke Pariaman sehingga aku tidak tahu bagaimana perkembangan
yang terjadi. Hari Minggu sore Opri datang menemuiku di SMA IT saat aku mengunjungi anakku
yang masih duduk di kelas X. Opri mencerikan kronologis bagaimana dia dan teman-temannya
datang ke Yayasan dan bertemu pengurus Yarsi Sumbar.
“Kami pergi bertiga pak. Linda, aku dan Anas ketua SP Farkes. Dalam perjalanan menuju
Padang, Linda mendapat telepon dari Baba. Dipantaunya perjalanan kami sehingga pengurus tahu
langkah kami”, ujar Opri
“Kenapa diterima teleponnya? Lagian pula apa urusannya?” tanyaku.
“Tidak tahu pak. Mungkin ada yang memintanya untuk memantau perjalanan kami”, lanjut
Opri.
“Ha..ha..”, aku tertawa karena merasa lucu apa yang diceritakan Opri. “Berarti ada yang
takut lho dengan ulah kalian”.
“Iya barangkali pak”, opri geram.
“Kaliankan tidak demonstrasi. Dan lagi pula hanya menyampaikan aspirasi untuk
mempertahankan aku karena ingin pelayanan tidak terganggu akibat mutasi nanti. Kenapa ada yang
takut ya?”, aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Bagaimana tanggapan pengurus?”
“Pak Zainul mengatakan bahwa bapak dibutuhkan untuk RSI Ibnu Sina Padang. Saat ini
kondisi RSI Ibnu Sina Padang dalam kondisi yang kurang bagus”, jelas Opri.
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasannya. Aku juga tidak tahu harus
berbuat apa. Mereka berharap aku tetap di Simpang Empat, sementara pengurus memintaku untuk
ke Padang.

Anda mungkin juga menyukai