Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian KEP

Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau disebabkan oleh
gangguan penyakit tertentu, sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Depkes RI,
1999). KEP sendiri lebih sering dijumpai pada anak prasekolah (Sukirman, 1974 dalam
Sutanto,1994).

Sedangkan menurut Jellife (1966) dalam Supariasa, I.D.Nyoman (2002) dikatakan


bahwa KEP merupakan istilah umum yang meliputi malnutrition, yaitu gizi kurang dan gizi
buruk termasuk marasmus dan kwashiorkor

2.2 Etiologi KEP

Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun protein dengan berbagai
gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat banyak, sehingga penyakit ini
sering disebut juga dengan kausa multifaktorial. Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan
dengan waktu pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan tambahan setelah disapih
(Khumaedi, 1989).

Selain itu KEP merupakan penyakit lingkungan, karena adanya beberapa faktor yang
bersama-sama berinteraksi menjadi penyebab timbulnya penyakit ini, antara lain yaitu faktor
diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan dan lain-lain. Peran diet menurut
konsep klasik terdiri dari dua konsep. Pertama yaitu diet yang mengandung cukup energi, tetapi
kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan konsep
yang kedua adalah diet kurang energi walaupun zat gizi (esensial) seimbang akan
menyebabkan marasmus. Peran faktor sosial, seperti pantangan untuk menggunakan bahan
makanan tertentu yang sudah turun temurun dapat mempengaruhi terjadinya KEP. Ada
pantangan yang berdasarkan agama, tetapi ada juga pantangan yang berdasarkan tradisi yang
sudah turun temurun, tetapi kalau pantangan tersebut berdasarkan pada agama, maka akan sulit
untuk diatasi. Jika pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi, maka dengan pendidikan
gizi yang baik dan dilakukan dengan terus-menerus hal ini akan dapat diatasi (Pudjiadi, 2000).
Jellife (1998), menyatakan bahwa keadaan gizi seseorang merupakan hasil interaksi
dari semua aspek lingkungan termasuk lingkungan fisik, biologik, dan faktor kebudayaan.
Secara garis besar, faktor-faktor yang menentukan keadaan gizi masyarakat, khususnya anak-
anak adalah tingkat pendidikan orang tua, keadaan ekonomi, tersedianya cukup makanan serta
aspek-aspek kesehatan. Tiap-tiap faktor tersebut dapat berpengaruh pada keadaan gizi
masyarkat, baik secara langsung maupun tidak langsung. KEP pada dasarnya sangat ditentukan
oleh 2 faktor. Faktor-faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi terjadinya KEP pada
balita adalah makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi. Kedua faktor ini dipengaruhi
oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh seseorang anak, antara lain ditentukan
oleh beberapa faktor penyebab tidak langsung, yaitu: a) Zat-zat gizi yang terkandung di dalam
makanan, b) Daya beli keluarga, meliputi penghasilan, harga bahan makanan dan pengeluaran
keluarga unutk kebutuhan lain selain makanan; c) Kepercayaan ibu tentang makanan serta
kesehatan; d) Ada atau tidaknya pemeliharaan kesehatan termasuk kebersihan; dan e)
Fenomena sosial dan keadaan lingkungan (Levinson, 1979 dalam Lismartina, 2000).

Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) dalam tata buku pedoman Tata Laksana
KEP pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe
yaitu KEP ringan, sedang dan berat (gizi buruk). Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis
yang ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis
besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. Salah satu
sebab yang mengakibatkan terjadinya marasmus adalah kehamilan berturut-turut dengan jarak
kehamilan yang masih terlalu dini. Selain itu marasmus juga disebabkan karena pemberian
makanan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang terlalu encer
dan jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein dan
kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan lingkungan yang kurang
sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang bersih. Demikian juga
dengan penyakit infeksi terutama saluran Pencernaan. Pada keadaan lingkungan yang kurang
sehat, dapat terjadi infeksi yang berulang sehingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh
dan zat-zat gizi sehingga anak menjadi kurus serta turun berat badannya (Depkes, 1999).

Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI dalam
jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makan seperti anggota keluarga
yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan makan yang
kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu seperti anak-anak dilarang makan ikan dan
memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota keluarga laki-laki yang lebih
tua dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor. Selain itu tingkat pendidikan orang tua yang
rendah dapat juga mengakibatkan terjadinya kwashiorkor karena berhubungan dengan tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah (Depkes, 1999).

Gejala klinis KEP berat/gizi buruk yang dapat ditemukan:

a. Kwashiorkor
- Adanya edema diseluruh tubuh terutama kaki, tangan atau
anggota badan lain
- Wajah membulat dan sembab
- Pandangan mata sayu
- Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung
- Perubahan status mental: cengeng, rewel
- Pembesaran hati
- Otot mengecil
- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas
- Diare
- Anemia
b. Marasmus
- Tampak sangat kurus
- Wajah seperti orang tua
- Cengeng
- - Kulit keriput
- - Pertu cekung
- - Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang

c. Marasmus-kwashiorkor

Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus, disertai dengan edema yang tidak mencolok (Depkes, 2001)

2.3 Dampak KEP

Banyak dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP, antara lain yaitu merosotnya
mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan mental anak, serta
merupakan salah satu penyebab dari angka kematian yang tinggi (Sihadi, 2000). Anak yang
menderita KEP apabila tidak segera ditangani sangat berisiko tinggi, dan dapat berakhir dengan
kematian anak. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya kematian bayi yang merupakan salah
satu indikator derajat kesehatan (Latinulu, 2000).

Menurut Jalal (1998) dikatakan bahwa dampak serius dari kekurangan gizi adalah
timbulnya kecacatan, tingginya angka kecacatan dan terjadinya percepatan kematian.
Dilaporkan bahwa lebih dari separuh kematian anak di negara berkembang disebabkan oleh
KEP. Anak-anak balita yang menderita KEP ringan mempunyai resiko kematian dua kali lebih
tinggi dibandingkan anak normal. Hal ini didukung oleh Sihadi (1999) yang menyatakan bahwa
kekurangan gizi diantaranya dapat menyebabkan merosotnya mutu kehidupan, terganggunya
pertumbuhan, gangguan perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu sebab dari
angka kematian yang tinggi pada anak-anak.

Anak-anak dengan malnutrisi dini mempunyai peluang lebih tinggi untuk mengalami
retardasi pertumbuhan fisik jangka panjang, perkembangan mental yang suboptimal, dan
kematian dini bila dibandingkan dnegan anak-anak yang normal. Malnutrisi juga dapat
mengakibatkan retardasi pertumbuhan fisik yang pada gilirannya berhubungan dengan resiko
kematian yang tinggi (Karyadi, 1971).

Hal tersebut didukung oleh Astini (2001) yang menyatakan bahwa pada masa
pascanatal sampai dua tahun merupakan masa yang amat kritis karena terjadi pertumbuhan
yang amat pesat dan terjadi diferensiasi fungsi pada semua organ tubuh. Gangguan yang terjadi
pada masa ini akan menyebabkan perubahan yang menetap pada struktur anatomi, biokimia,
dan fungsi organ. Jadi setiap gangguan swperti buruknya status gizi dapat menghambat
beberapa aspek pertumbuhan organ. Kekurangan gizi juga dapat mempengaruhi bayi secara
psikologis, menyebabkan apatis, depresi, keterlambtan perkembangan, dan menarik diri dari
lingkungan. Kurang gizi juga akan menyebabkan timbulnya infeksi dan sebaliknya penyakit
infeksi akan memperburuk kekurangan gizi. Infeksi dalam derajat apapun dapat memperburuk
keadaan gizi, sedangkan malnutrisi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal ini akan bertambah buruk bila keduanya terjadi dalam
waktu yang bersamaan (Pudjiadi, 2000).

Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui mekanisme
pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi kekurangan masukan energi dan protein
ke dalam tubuh sehingga kemapuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini
kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga tubuh
menderita rawan serangan infeksi (Jeliffe, 1989).
KEP menimbulkan efek pada perkembangan mental dan fungsi intelegensia (Jalal dan
Atmaja, 1998). Hal ini didukung oleh penelitian Husaini (1997) yang menyatakan bahwa
keadaan kurang gizi pada waktu dalam kandungan dan masa bayi akan menyebabkan
perkembangan intelektual rendah. Fakta menunjukkan bahwa bayi KEP berat mempunyai
ukuran besar otak 15-20% lebiih kecil dibandingkan dengan bayi normal. Apabila terjadi
kurang gizi sejak dalam kandungan, maka defisit volume otak bisa mencapai 50%. Hasil
penelitian Azwar (2001) menemukan bahwa pada anak sekolah yang mempunyai riwayat gizi
buruk pada masa balita, IQ-nya lebih rendah sekitar 13-15 poin dibandingkan dengan yang
normal.

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi KEP

Ada tiga penyebab terjadinya KEP pada balita, yaitu penyebab langsung, tidak langsung
dan penyebab mendasar. Yang termasuk ke dalam penyebab langsung antara lain
ketidakcukupan konsumsi makanan, penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung antara lain
adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah,
ketersediaan pangan ditingkat keluarga tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola
konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas
pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau. Sedangkan penyebab mendasar yang paling penting
menjadi penyebab KEP adalah rendahnya pengetahuan ibu dan rendahnya pendidikan ibu.
(Depkes RI, 1997)

Sedangkan menurut Susanto dalam Gizi Indonesia (1993), masalah KEP dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor-faktor penentu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kemiskinan, yang menyebabkan terbatasnya
kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sehingga mengakibatkan
kemampuan untuk memperoleh pangan menjadi sangat rendah; penyakit infeksi yang berkaitan
erat dengan kondisi sanitasi lingkungan temapt tinggal; kurangnya perhatian ibu terhadap balita
karena bekerja; akses yang sulit terhadap sumber pelayanan kesehatan; dan kurangnya
pengetahuan ibu tentang manfaat makanan bagi kesehatan anak, hal ini dikarenakan pendidikan
ibu yang rendah.

Menurut Unicef (1998), kurang gizi disebabkan oleh beberapa faktor penyebab yaitu
penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah di masyarakat dan penyebab dasar. Faktor
penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah penyakit infeksi dan asupan makanan yang
tidak seimbang. Faktor penyebab tidak langsung adalah tidak cukupnya persediaan pangan
dalam rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, sanitasi/air bersih dan pelayanan
kesehatan dasar kesehatan yang tidak memadai juga rendahnya tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan orang tua. Pokok masalah timbulnya kurang gizi di masyrakat
adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi
akarnya masalah adalah krisis ekonomi, politik dan sosial.

2.5 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein

Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP.


Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan sedang dan KEP III disebut KEP
berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud
utama penggolongan ini adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk
menentukan klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas.
Batasan ini di setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi
di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis.

Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999
dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III
(berat). Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan

menurut umur.
2.6 Fungsi dan Peran Energi dan Protein bagi Tubuh

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesehatan penduduk adalah tingkat
kecukupan gizi, yang lazim disajikan dalam energu dan protein (BPS, 2002). Energi dan
protein mempunyai fungsi yang sangat luas dan penting dalam tubuh. Asupan energi yang
seimbang sangat diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia, khususnya balita
(Pudjiadi, 2000). Jika terjadi kekurangan konsumsi energi dalam waktu yang cukup lama maka
akan berakibat pada terjadinya KEP (Sudiarti & Utari, 2007 dalam Suyadi, 2009). Kegunaan
utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh.

Selain itu protein juga digunakan sebagai sumber energi bagi tubuh bila energi yang
berasal dari karbohidrat atau lemak tidak mencukupi (Muchtadi, 1989). Pada anak-anak yang
sedang dalam masa pertumbuhan, pembentukan jaringan terjadi secara besar-besaran sehingga
kebutuhan tubuh akan protein akan lebih besar daripada dengan orang dewasa (Pudjiadi, 2000)

Anda mungkin juga menyukai