Anda di halaman 1dari 6

Sang Pemimpi

Pandangan Tentang Manusia sebagai Makhluk Spiritual

Ad

Manusia adalah satu kata yang sangat bermakna dalam dimana makhluk yang sangat
sempurna dari makhluk makhluk lainya ,makhluk yang sangat spesial dan berbeda dari
makhluk yang ada sebelumnya ,makhluk yang bersifat nyata dan mempunyai akal
fikiran dan nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir,mecari kebenaran,mencari Ilmu
Pengetahuan , membedakan mana yang baik atau buruk, dan hal lainya.karena begitu
banyak kesempurnaan yang di miliki manusia tidak terlepas dari tugas mereka sebagai
khalifah di Bumi ini Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik,
benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian
semulia itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar
dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya.
Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk
bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan
pada tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas
sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia
untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas.

Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan, karena itulah
pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan
mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan
dan mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai
sarana untuk mencapai “spirituality progress”.
Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk
tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak
penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi
manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi. Kebutuhan
maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke
yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu
dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada di bawahnya .

Lima (5) kebutuhan dasar Maslow – disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting
hingga yang tidak terlalu krusial :

1. Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan,


papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas,
dan lain sebagainya.

2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contoh seperti : Bebas dari penjajahan,


bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.

3. Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan


cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.

4. Kebutuhan Penghargaan. Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi
lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri. Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka
hati sesuai dengan bakat dan minatnya

Menjelang akhir hayatnya, Abraham Maslow menyadari dan menemukan adanya


kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu, yaitu yang disebut
sebagai : kebutuhan transcendental. Berbeda dengan kebutuhan lainnya yang bersifa
horizontal (berkaitan hubungan antara manusia dengan manusia), maka kebutuhan
transcendental lebih bersifat vertikal (berakaitan dengan hubungan manusia dengan
Sang Pencipta). Muthahhari, Seorang filsuf muslim dunia yang menghasilkan banyak
karya filosofis berharga– pernah menyatakan bahwa manusia itu sejati dan senyatanya
adalah sosok makhluk spiritual.

Untuk Apa Beragama ? Sebagaimana kita fahami, agama merupakan sebuah jalan bagi
manusia untuk mencari kebahagiaan. Agama menjadi pedoman dan ajaran yang dikuti
oleh banyak manusia, sebagai upaya untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang beragama
pada dasarnya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan.

Menurut Karl Marx (1818-1883), seorang ahli


filsafat kelahiran Jerman. Menurut Marx, agama sebagai candu masyarakat Dalam
pandangan Marx, agama memang pantas disebut sebagai candu masyarakat karena
seperti candu, ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk
sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh
candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang
dihadapinya. Ketika orang sedang masuk dalam penderitaan yang dibutuhkan tidak lain
adalah candu yang dapat membantu melupakan segala penderitaan hidup, kendati hanya
sesaat saja.
Bagi Marx, agama merupakan medium dari ilusi sosial.Dalam agama tidak ada
pendasaran yang real-obyektif bagi manusia untuk mengabdi pada kekuasaan
supranatural. Hal ini bisa dijelaskan dari bagaimana agama berkembang. Agama
berkembang karena diwartakan oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh
masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang didukung oleh
orang-
orang yang memiliki kekuasaan itu. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari
manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena ada keasadaran dari manusia akan
pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang
memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap
meracuni
masyarakat. (Eusta Supono, Agama Solusi atau Ilusi?, 2003)

Pernyataan Marx bahwa agama sebagai candu masyarakat, muncul tatkala dia
mengamati realitas empiris di sekitarnya pada saat itu, dimana orang beragama dan
melakukan ritualitas karena menghindari realitas hidup yang dihadapinya dan agama
mampu meninabobokan para penganut agama tersebut.
Juga masalah penyebaran agama yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama untuk
melanggengkan kekuasaan bisa dimaklumi, karena memang demikian kenyataan saat
itu.
Dan ini terjadi pada agama Kristiani, yang menjadi fokus kritik Marx pada fungsi politik
agama, khususnya yang menjadikan agama sebagai ideologi Negara. Agama telah
dijadikan alat pukul oleh Negara untuk membungkam para pemeluknya yang memprotes
sikap otoriter para pemimpin politik dan ekonomi Prussia.
Pandangan Marx tersebut tak bisa digunakan untuk menggeneralisir semua agama.
Juga keterbatasan kemampuan Marx dalam memahami tentang agama secara hakekat,
maksud dan tujuan-lah yang mengantarkannya pada pengetahuan tersebut.

Menurut mukhsin Qiraty, Karl Maax terlalu prematur untuk memandang agama sebagai
Candu, Karna dalam hal ini Mark berada dalam kondisi atau berada pada zaman yang
tidak tepat,dimana agama (Nasrani) pada waktu itu merupakan phobia bagi masyarakat
Eropa. Hal ini disebabkan karena keterlibatan agama yang melampaui batas terhadap
sistem pemerintahan yang ada pada waktu itu. Bahkan ruang-ruang untuk berbeda
hampir tidak ada tempatnya waktu itu.

Hubungan Manusia dengan Agama


Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam
semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah
kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan
tersebut diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga
Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai
Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka. Beribadah diartikan secara
luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya kepada Allah. Kita
meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia dan
akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam
merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka
memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran
agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-
tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya
gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai
reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau
Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk
menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa
Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di
luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa
ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih
adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak
dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar
Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti
perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang
merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya
tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh
pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842)
mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga
tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut
melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan
humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab
perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini
(tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali
kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama
dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan
malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada
agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama
sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak
manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang
lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan
manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut
diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai
pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah
Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk
mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang
di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an,
menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan
bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan
agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.

Asal Mula Manusia

Adam adalah manusia pertama yang Allah ciptakan secara langsung tanpa didahului
oleh seorang ayah maupun ibu. Proses penciptaan Adam ini tidak sebagaimana proses
penciptaan manusia di dalam rahim ibunya, yang nanti kita akan kaji juga. Dari tanah
yang mengandung unsur-unsur zat kehidupan sebagaimana tersebut diatas, Adam
diciptakan. Kemudian Allah menyempurnakan kejadiannya dan selanjutnya Allah
perintahkan para malaikat untuk bersujud pada Adam, sebagaimana diinformasikan
dalam Al-Quran.
”Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka
bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama,” (QS. Al-Hijr, 15:29-30)

Perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam adalah sebagai
bentuk penghormatan, suatu kemuliaan yang Allah berikan bagi Adam dan anak
cucunya
yang diamanahi tugas untuk menjadi khalifah di muka bumi. Tugas khalifah ini
diberikan
kepada manusia, yaitu Adam dan anak cucunya, bukan diberikan kepada para malaikat.
Kehendak dan qudratullah ini juga dibarengi dengan membekali manusia dengan potensi
khusus, yakni akal, hawa nafsu, di samping adanya hati, dimana potensi ini tidak
diberikan kepada para malaikat. Jika manusia mampu mengemban tugas kekhalifahan
ini,
maka dia bahkan akan memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding malaikat.

manusia mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:


1. Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan
yang paling sempurna.
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(QS 95:4)
2. Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan)
beriman kepada Allah.
“… ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi.’ ” (QS 7:172)
3. Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku.” (QS 51:56)
4. Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ … ” (QS 2:30)
5. Manusia dilengkapi akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.
“Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ …”
(QS 18:29}
6. Manusia secara individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
“… Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap apa yang
dilakukannya.” (QS 52:21)
7. Manusia itu berakhlak.
Manusia menurut agama Islam, terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi berupa tubuh
yang berasal dari tanah dan unsur immateri berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-
Qur’an mengungkapkan proses penciptaan manusia:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal dari)
tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi Kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur [9].” (QS 23:12-14, 32:7-9)
Sedangkan menurut hadits, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama
empat puluh hari sebagai nuthfah (air mani), empat puluh hari sebagai ‘alaqah
(segumpal darah), selama itu pula sebagai mudhghah (segumpal daging). Kemudian
Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, yang berada
dalam rahim itu” (HR Bukhari dan Muslim)
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan
pendapatnya mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua
dimensi: dimensi ketuhanan (kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada
Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan (lumpur mencerminkan keburukan-
kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang tinggi namun dapat pula
terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan untuk memilihnya.
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna
agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara
hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan
dengan dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang
merupakan perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian
agama lainnya. Bagi orang Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal)
anatar manusia dengan Tuhan saja. Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum
dalam Al-Qur’an mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal)
dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan
alam lingkungan hidupnya (horisontal).
“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama(din) bagimu …” (QS 5:3)
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …” (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua
agama adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang
berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat
dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi
yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut:
agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan
hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk
sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
Advertisements

Advertisements

Anda mungkin juga menyukai