Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hepatis adalah penyakit hepar yang histopatologisnya ditandai oleh fibrosis dimana
arsitektur hepar terlihat distorsi dengan formasi nodulus regenerasi. Sirosis hari merupakan tahap
akhir proses difus fibrosis hati. Keadaan ini membuat masa hepatoselular mengecil sehingga fungsi
dan aliran darah terganggu. Gambaran morfologi dari sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul
regeneratif, perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).

Penyebab terjadinya sirosis hepatis beraneka ragam, namun mayoritas penderita


sirosis awalnya mengalami penyakit hati kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau
penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol dan obesitas.
Penyebab sirosis hepatis dapat dibagi menjadi beberapa kategori besar, yaitu sirosis
alkoholik, sirosis karena virus hepatitis kronis, sirosis bilier, dan yang lainnya dibedakan
atas etiologi yang lebih jarang, yaitu sirosis jantung, sirosis kriptogenik, dan lain-lain.

Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45 – 60 tahun, setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Diseluruh dunia, sirosis
hati menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita sirosis hati lebih banyak laki-
laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1.6 : 1. Pada umumnya, rata-rata
golongan usia penderita 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar usia 40 – 49 tahun.
Penyebab sirosis hepatis sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik
steatohepatitis serta virus hepatitis. Di daerah Asia Tenggara, penyebab utama sirosis
hepatis adalah hepatitis B (HBV) dan C (HCV). Angka kejadian sirosis hepatis di
Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21.2 – 46.9% dan hepatitis C berkisar 38.7 –
73.9%

BAB II
BORANG PORTOFOLIO

1
A. Borang portofolio
Nama peserta : dr. Basri Hadi
Nama wahana : RS Marinir Cilandak
Topik : Sirosis Hepatis
Tanggal kunjungan : 9 Agustus 2018
Nama pasien : Tn. N, Lk, 57 th No RM :
Tanggal presentasi : Nama pendamping : dr. Nursito
Tempat presentasi : RS Marinir Cilandak
Objektif presentasi
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah Istimewa
Neonatus  Bayi  Anak  Remaja Dewasa  Lansia
 Deskripsi : Tn. N usia 57 tahun datang dengan keluhan sesak, perut membesar, dan bengkak
pada kedua tungkai bawah sejak 15 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan buang air kecil berwarna
coklat seperti teh dan defekasi berwarna hitam sejak 7 hari SMRS. Pasien merasakan adanya mata
kuning, rasa begah, nyeri perut dan mual.

Pasien mempunyai riwayat konsumsi alkohol sekitar 35 tahun yang lalu. Menurut pasien, riwayat
mengonsumsi alkoholnya selama 4 tahun, 2 – 3 kali per minggu, dan sebanyak kurang lebih 1
botol.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran kompos mentis. Tanda-tanda vital pasien stabil dengan TD 120/80 mmHg, nadi
120 kali per menit, regular, nafas 28 kali per menit, dan suhu 36.8 oC.
Pada pemeriksaan status generalis, ditermukan konjungtiva anemis dengan sklera ikterik,

dan kulit sedikit kering.  Pada pemeriksaan thorax ditemukan adanya spider naevi. Pada

pemeriksaan abdomen pasien terlihat perut pasien cembung dengan distensi saat palpasi

dan redup pada seluruh regio abdomen saat auskultasi. Pada pemeriksaan khusus abdomen,

ditemukan undulasi,  shifting dullness  dan  fluid wave test. Selain itum pada pemeriksaan

ekstremitas ditemukan adanya palmar eritema dan pitting edema pada kedua tungkai.

Pemeriksaan   penunjang   yang   dilakukan   menunjukan   adanya   anemia,   leukositosis,

trombositopeni,   peningkatan   SGOT,   hipoalbuminemia,   hiperglobulinemia,   dan   HbsAg

positif. Pemeriksaan USG abdomen yang pernah dilakukan oleh pasien pada tanggal 14

Mei 2018 menunjukan adanya sirosis, splenomegali, dan asites masif.

 Tujuan : melakukan diagnosis, tatalaksana kasus sirosis hepatis, menentukan


prognosis dan edukasi pasien serta keluarganya.

2
Bahan bahasan
 Tinjauan pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara membahas
 Presentasi & diskusi  Diskusi  Email  Pos
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/ Gambaran klinis
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 15 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan bahwa
perutnya membesar sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) yang disertai dengan
bengkak pada kedua tungkai bawah. Pasien mengeluhkan buang air kecil (BAK) nya berwarna
coklat seperti teh dan buang air besar (BAB) nya berwarna hitam sejak 7 hari SMRS.
Sesak yang dirasakan pasien tidak muncul saat beraktivitas, tapi datang tiba-tiba. Pasien juga
menyangkal adanya bangun tengah malam karena sesak dan sesak saat berbaring. Pasien
mengatakan tidur dengan satu bantal. Selain itu, tidak ada posisi yang membuat sesak pasien
membaik. Sesak tidak disertai dengan nyeri dada.
Selain itu, pasien juga mengaku matanya terlihat kuning sejak 5 hari SMRS. Pasien merasakan
dirinya merasa lemas, perut rasa begah, nyeri perut dan mual, tetapi tidak ada muntah. Pasien
menyangkal adanya demam, pusing, nyeri ulu hati dan nyeri kepala. Tidak ada rasa nyeri pada
perubahan posisi, tidak ada rasa nyeri atau keluhan lain saat buang air kecil dan buang air besar.
Pasien mengatakan bahwa ini kali pertama pasien merasakan keluhan seperti sekarang ini.

2. Riwayat pengobatan
Belum ada minum obat sebelumnya
3. Riwayat kesehatan
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Tidak menderita diabetes
mellitus dan hipertensi. Pasien menyangkal adanya riwayat sakit kuning, riwayat kanker, dan
riwayat operasi.

4. Riwayat keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita keluhan serupa, tidak ada yang menderita diabetes
mellitus, hipertensi, dan sakit kuning.

5. Riwayat sosial
Pasien mempunyai riwayat konsumsi alkohol sekitar 35 tahun yang lalu. Menurut pasien, riwayat
mengonsumsi alkoholnya selama 4 tahun, 2 – 3 kali per minggu, dan sebanyak kurang lebih 1
botol.
Selain itu, riwayat merokok pasien adalah 1 bungkus per hari dan merokok sejak 35 tahun yang
lalu, berbarengan dengan mulainya konsumsi alkohol.

6. Pemeriksaan fisik

3
Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS 15; E4M6V5)

Nadi : 120x/menit, regular


Laju pernafasan : 28x/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36.8oC

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : Bentuk dan ukuran normal, deviasi (-), pendarahan (-), pus (-), deformitas (-),
otore (-), rinore (-), pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : Bentuk dan ukuran normal, simetris, pus (-), perdarahan (-), perbesaran kelenjar
getah bening auricular (-)
Leher : Rash (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB leher dan supraklavikular (-),
JVP tidak meningkat (5 + 1cm)

7. Pemeriksaan Penunjang :

 Hemoglobin : 10.1 g/dL

 Hematokrit : 30 %

 Leukosit : 16.3 rb/uL

 Kreatinin : 0.66 mg/dL


Assessment : Sirosis Hepatis
Planning
A. Tatalaksana awal
Spironolakton 1 x 25 mg

Curcuma 3 x 1

Furosemide 1 x 1

OMZ 1 x 40 mg

B. Rencana diagnosis awal


Laboratorium : SGOT, HbsAg, USG Abdomen
C. Rencana Terapi
Konsul DPJP (Sp.pD)
D. Rencana Edukasi

Penjelasan mengenai penyakit dan rencana terapi yang akan di jalani pasien

4
E. Rencana Konsultasi
Konsultasi dilakukan oleh spesialis penyakit dalam.
Hasil pembelajaran
1. Mengetahui berbagai penyebab sirosis hepatis
2. Memberikan penatalaksanaan pada kasus sirosis hepatis
3. Mengenali manifestasi klinis yang timbul pada sirosis hepatis
4. Mendiagnosis kasus sirosis hepatis
5. Memberikan penatalaksanaan kasus sirosis hepatis
6. Mengetahui komplikasi yang dapat timbul pada kasus sirosis hepatis

B. RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN Portofolio


Subjektif
Keluhan Utama : Sesak sejak 15 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 15 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan bahwa
perutnya membesar sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) yang disertai dengan
bengkak pada kedua tungkai bawah. Pasien mengeluhkan buang air kecil (BAK) nya berwarna
coklat seperti teh dan buang air besar (BAB) nya berwarna hitam sejak 7 hari SMRS.
Sesak yang dirasakan pasien tidak muncul saat beraktivitas, tapi datang tiba-tiba. Pasien juga
menyangkal adanya bangun tengah malam karena sesak dan sesak saat berbaring. Pasien
mengatakan tidur dengan satu bantal. Selain itu, tidak ada posisi yang membuat sesak pasien
membaik. Sesak tidak disertai dengan nyeri dada.

Objektif
Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS 15; E4M6V5)

Nadi : 120x/menit, regular


Laju pernafasan : 28x/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36.8oC

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : Bentuk dan ukuran normal, deviasi (-), pendarahan (-), pus (-), deformitas (-),

5
otore (-), rinore (-), pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : Bentuk dan ukuran normal, simetris, pus (-), perdarahan (-), perbesaran kelenjar
getah bening auricular (-)
Leher : Rash (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB leher dan supraklavikular (-),
JVP tidak meningkat (5 + 1cm)

7. Pemeriksaan Penunjang :

Hemoglobin : 10.1 g/dL, Hematokrit : 30 % , Leukosit : 16.3 rb/uL, Kreatinin :


0.66 mg/dL

Assessment : Sirosis Hati


Planning
1. Tatalaksana awal
- Spironolakton 1 x 25 mg

- Curcuma 3 x 1

- Furosemide 1 x 1

- OMZ 1 x 40 mg

2. Rencana Terapi
Konsul DPJP (Sp.pD)
3. Rencana Edukasi
Penjelasan mengenai penyakit dan rencana terapi yang akan di jalani pasien
4. Rencana Konsultasi
Konsultasi dilakukan oleh spesialis penyakit dalam.

BAB III

6
PEMBAHASAN DAN TATALAKSANA

A. DIAGNOSIS
A.1. ANAMNESIS
Pasien Tn. N di diagnosa Sirosis Hepatis dengan Asites Masif, Hepatitis B Kronis,
Hipoalbuminemia, Trombositopenia, dan Anemia didasarkan pada penemuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pasien di diagnosa dengan sirosis hepatis karena mempunyai manifestasi klinis berupa
perut distensi, edema tungkai bawah, lemas, perut terasa begah, nyeri perut, mual, melena, air

kencing berwarna coklat seperti teh. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis, sklera

ikterik, dan spider nevi pada thorax. Pada abdomen terlihat bentuk perut distensi, telangiectasia,

undulasi positif, redup pada seluruh region abdomen, shifting dullness dan fluid wave test positif.

Selain itu, pada ekstremitas terdapat palmar eritema dan pitting edema pada kedua tungkai bawah.

Lalu,   pemeriksaan   penunjang   yang   didapatkan   pada   pasien   untuk   membantu   diagnosis   sirosis

hepatis  adalah terdapat  adanya anemia,  trombositopenia,  peningkatan  SGOT,  hipoalbuminemia,

dan   hiperglobulinemia.   Pada   pemeriksaan   USG   juga   ditemukan   adanya   ukuran   hepar   yang

mengecil dengan permukaan kasar dan peningkatan echo parenkim, splenomegali, dan asites masif

yang menyokong adanya sirosis hepatis. 

Pasien diduga sudah pada tahap sirosis hepatis derajat dekompensata karena pasien sudah

menunjukkan   manifestasi   klinis   yang   terlihat   pada   komplikasi   sirosis   hati.   Tanda­tanda   sirosis

hepatis dekompensata adalah gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Kegagalan fungsi

hati   terlihat   oleh  pasien  dengan  adanya   jaundis   yang  terlihat   pada   mata   pasien;   sklera   ikterik.

Sedangkan untuk tanda­tanda hipertensi porta, pasien mempunyai asites dan splenomegali. Asites

dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik yaitu shifting dullness dan fluid wave test positif, serta

pada   USG   terlihat   adanya   asites   masif.   Varises   esofagus   tidak   dapat   ditentukan   karena   tidak

dilakukan endoskopi pada pasien. Selain itu, peritonitis bakteri spontan juga tidak bisa ditentukan

karena cairan asites tidak diperiksa kadar netrofilnya.  

Asites  pada pasien  yang disebabkan  oleh hipertensi   porta  menyebabkan  adanya   retensi

natrium dan membuat akumulasi cairan dan ekspansi volume cairan ekstraseluler, maka terjadilah

asites   dan   edema   perifer   pada   pasien.   Selain   itu,     pada   pasien   juga   ditemukkan   adanya

7
hipoalbuminemia   yang   disebabkan   oleh   asites.   Trombositopenia   dan   anemia   pada   pasien

disebabkan oleh adanya splenomegali.   

Selain itu, sirosis hepatis yang diderita pasien dicurigai disebabkan oleh hepatitis B kronis,

karena  pemeriksaan  laboratorium   HBsAg   pasien   menunjukkan  hasil   positif.   Untuk   tatalaksana,

pasien diberikan  Spironolakton 1 x 25 mg dan Furosemide 1 x 40 mg untuk tatalaksana asites.


Propranolol diberikan untuk mencegah terjadinya varises esophagus. Albumin diberikan sebagai
tatalaksana hipoalbuminemia dan sebagai substitusi albumin setelah dilakukan parasentesis.
Curcuma diberikan untuk meningkatkan nafsu makan dan omeprazole diberikan untuk keluhan
nyeri perut pasien.

A.II. PEMERIKSAAN FISIK


Pada pemeriksaan fisik, dimulai dari inspeksi dapat dilihat pasien tampak lemah, adanya

atrofi  otot,  pasien juga terlihat ikterik,  baik pada  kulit  atau sklera, dan  vascular  spider  seperti

telangiectasia dan spider angioma atau spider nevi pada abdomen, wajah, atau ekstremitas atas.

Selain itu, dapat juga terlihat adanya ginekomasti, caput medusae pada abdomen, palmar eritema,

kontraktur   Dupuytren,   perubahan   kuku—Muehrcke’s   lines  (terdapat   pita   putih   horizontal   yang

dipisahkan oleh warna normal kuku), Terry’s nails (bantalan kuku proksimal berwarna putih), dan

clubbing   fingers—,   ateriksis   (flapping   tremor),   dan   adanya   asites.   Selain   itu,   dapat   ditemukan

adanya edema pada kedua tungkai bawah, dan pada genitalia dapat terlihat adanya atrofi testis dan

hilangnya rambut pubis dan ketiak pada wanita2,5. 

Pada palpasi dapat ditentukan ukuran hati, dimana pada sirosis ukuran hati bisa membesar,

normal,   atau   mengecil.   Dan   ada   perubahan   konsistensi   pada   hati,   dimana   pada   umumnya   hati

berbatas   tegas,   nodular,   dan  mengecil.   Selain   ukuran   hati,   dapat   ditemukan   adanya   perbesaran

ukuran limpa, splenomegaly. Tetapi, terkadang hati dan limpa sulit dievaluasi karena besaranya

asites2. Pasien juga pada umumnya mengeluhkan nyeri tekan pada daerah epigastrium.

Selain itu, pada daerah abdomen perut yang membesar pada selurh region abdomen dengan

tanda­tanda   asites   dapat   ditegakkan   pada   pemeriksaan   palpasi   dan   perkusi.   Yaitu   dengan   cara

pemeriksaan palpasi gelombang undulasi dan perkusi  shifting dullness  dan  fluid wave test  yang

positif6. 

8
Pada pemeriksaan jantung dan paru, masih dalam batas normal, tidak ditemukan tanda­

tanda efusi pleura seperti penurunan vokal fremitus, perkusi yang redup, dan suara nafas vesikuler

yang menurun pada kedua lapang paru.

A.III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada   pemeriksaan   laboratorium   dapat   diperiksa   tes   fungsi   hati   yang   meliputi

aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin globulin, dan

waktu protombin. Selain itu, perlu diperiksa juga nilai elektrolit yaitu natrium darah. Pemeriksaan

darah seperti trombosit, leukosit, netrofil, dan pemeriksaan anemia juga perlu dilakukan. 

Nilai   aspartat   aminotransferase   (AST)   atau   serum   glutamil   oksaloasetat   transaminase

(SGOT)   dan   alanin   aminotransferase   (ALT)   atau   serum   glutamil   piruvat   transaminase   (SGPT)

dapat terlihat normal atau sedikit meningkat. AST pada umumnya lebih meningkat dibandingkan

dengan ALT, tetapi bila nilai transaminase normal, kecurigaan sirosis tetap belum tersingkirkan.

Alkali fosfatase mengalami peningkatan kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Gamma­

glutamil transpeptidase (GGT) juga mengalami peningkatan, biasanya berkorelasi dengan ALP.

Kadar GGT yang sangat meningkat dapat ditemukan pada sirosis akibat alkohol. Kadar bilirubin

dapat normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis hati yang lanjut.

Pemeriksaan bilirubin penting untuk prediksi mortalitas pada sirosis hepatis lanjut, yang biasanya

meningkat.   Kadar   albumin,   yang   sintesisnya   hanya   terjadi   di   jaringan   parenkim   hati,   akan

mengalami penurunan sesuai dengan derajat perburukan sirosis. Tahap sirosis semakin lanjut, maka

kadar albumin semakin menurun. Sedangkan, konsentrasi globulin akan meningkat, terutama IgG,

karena adanya hipoalbuminemia yang menyebabkan konsentrasi total protein normal atau menurun

dan akibat sekunder dari  shunting  bakteri dari hepar ke jaringan limfoid yang selanjutnya akan

menginduksi produksi imunoglobulin2,6.

  Pemeriksaan   waktu   protrombin   akan   memanjang   karena   penurunan   produksi   faktor

pembekuan (faktor V/VII) dari hati. Konsentrasi natrium darah akan menurun akibat peningkatan

ADH dan aldosterone. Selain dari pemeriksaan fungsi hati, pada pemeriksaan hematologi pada

umumnya ditemukan kelainan seperti anemia, baik anemia makrositik, normositik,  dan makrositik.

Selain anemia biasanya akan ditemukan pula trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat

splenomegali yang berkaitan dengan adanya hipersplenism. 

9
Walaupun   pemeriksaan   radiologi   seperti   ultrasonografi   (USG)   kurang   sensitive   untuk

mendeteksi sirosis  hati,  USG tetap dilakukan dan cukup spesifik bila  penyebabnya  jelas. USG

abdomen  juga  merupakan  pemeriksaan  rutin  yang  paling  sering  dilakukan  untuk  mengevaluasi

pasien sirosis hepatis, karena pemeriksaannya yang non­invasif dan mudah dikerjakan. Melalui

pemeriksaan USG abdomen, dapat terlihat ekodensitas hati meningkat dengan ekostruktur kasar

homogen atau heterogen pada sisi superficial, sedang pada sisi profunda ekodensitas menurun.

Pada penderita sirosis lanjut, hati akan mengecil dan nodular, dengan permukaan yang tidak rata

dan ada peningkatan ekodensitas  parenkim  hati.  Selain  itu,   dapat   juga  dijumpai  splenomegaly.

Asites tampak sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan dingin

abdomen. 

Pemeriksaan MRI dan CT konvensional bisa digunakan untuk menentukan derajat beratnya

sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral vaskular. Ketiga alat ini juga

dapat   mendeteksi   adanya   karsinoma   hepatoselular.   Selain   itu,   gastrokopi   dilakukan   untuk

memeriksa   adanya   varises   di   esofagus   dan   gaster   pada   penderita   sirosis   hati.   Selain   untuk

diagnostik, endoskopi dapat digunakan untuk pencegahan dan terapi perdarahan varises. 

Pemeriksaan laboratorium lainnya juga dapat dilakukan untuk mencari penyebab terjadinya

sirosis hati. Antara lain dilakukan pemeriksaan serologi virus hepatitis, untuk virus hepatitis B

dapat di cek HBsAg, HBeAg, Anti HBc, dan HBV­DNA. Untuk virus hepatitis C dapat di cek Anti

HCV dan HCV­RNA. Untuk hemokromatosis dapat di periksa saturasi transferrin dan feritinin.

Untuk penyakit Wilson dapat di periksa Ceruplasmin dan Copper. Selain itu, untuk menentukan

penyebab dari kekurangan  α1­antitripsin dapat di periksa kadar  α1­antitripsin. Untuk sirosis bilier

primer dapat di periksa antimitokondrial antibodi (AMA) 2,6.

B. TATALAKSANA
Pemberian   tatalaksana   untuk   sirosis   hepatis   dilakukan   berdasarkan   etiologi   dari   sirosis   hepatis

untuk mengurangi progresifitas penyakit supaya tidak berlanjut semakin parah dan menurunkan

risiko   terjadinya   karsinoma   hepatoselular.   Secara   klinis,   tatalaksana   dibagi   atas   sirosis   hati

kompensata   dan   dekompensata,   yang   disertai   dengan   tanda­tanda   kegagalan   hepatoselular   dan

hipertensi portal. 

10
Untuk sirosis  hepatis  yang disebabkan oleh HBV dan HCV,  dapat diberikan interferon. Untuk

HBV kronis bisa diberikan interferon secara injeksi atau oral dengan analog nukleosida jangka

panjang. Untuk tatalaksana komplikasi diberikan sesuai komplikasi yang terjadi pada pasien sirosis

hepatis.

C. KOMPLIKASI
Sirosis hepatis akan berkembang menjadi hipertensi porta dan beberapa gejalanya yaitu varises

esofagus, asites, splenomegali, ensefalopati hepatik, peritonitis bakteri spontan (PBS), sindroma

hepatorenal, dan karsinoma hepatoselular. 

Hipertensi porta

Hipertensi porta adalah peningkatan gradien pada tekanan vena hepatik (hepatic venous pressure

gradient;  HVPG)   sebanyak   >5   mmHg,   tetapi   terlihat   signifikan   pada   klinis   jika   >10   mmHg 4.

Hipertensi   porta   terjadi   karena   gabungan   dari   dua   proses   hemodinamika   yang   terjadi   secara

bersamaan, yaitu (1) meningkatnya resistensi intrahepatik pada aliran darah yang melewati hepar

karena   sirosis   dan   nodulus   regeneratif,   dan   (2)   meningkatnya   aliran   darah   splanknik   sekunder

karena vasodilatasi pada vaskular splanknik. Hipertensi portal bertanggung jawab atas terjadinya

dua komplikasi mayor sirosis, yaitu varises esofagus dan asites. Hipertensi portal dibagi menjadi 3

kategori,   prehepatik,   intrahepatik,   dan   pasca­hepatik.   Sebab   intrahepatik   menyebabkan   95%

hipertensi portal dan terlihat pada kebanyakan kasus sirosis. 

Perkembangan   hipertensi   portal   pada   umumnya   terungkap   dengan   adanya   trombositopenis,

penampakan perbesaran limpa, atau adanya asites, ensefalopati, dan/atau varises esofagus dengan

atau tanpa perdarahan. Varises dapat diidentifikasi dengan endoskopi. Gambaran abdomen, CT

atau MRI, berguna untuk melihat nodulus hepar1. 

Varises esofagus

Varises esofagus terjadi pada hampir setengah pasien pada sirosis. Kejadian varises berkorelasi

dengan   keparahan   penyakit   hati.   Perdarahan   varises   adalah   komplikasi   paling   mematikan   dari

sirosis, karena ecahnya varises esofagus dapat mengakibatkan perdarahan varises yang berakibat

fatal.   Tegangan  dinding  varises   ditentukan  dari   diameter   pembuluh  darah  adalah  faktor   paling

penting  untuk  menentukan   ruptur   varises.   Studi   mengatakan  rupture   varises   jarang   terjadi   saat

11
HVPG   <12   mmHg.   Diagnosis   varises   esofagus     (VE)   ditegakkan   dengan

esofagogastroduodenoskopi.

Splenomegali dan hipersplenisme

Kongesti   splenomegali   sering   terjadi   pada   hipertensi   porta.   Gambaran   klinisnya   yaitu   adanya

perbesaran limpa pada pemeriksaan fisik dan perkembangan trombositopenia dan leukopenia pada

penderita sirosis. Beberapa pasien dapat mempunyai keluhan nyeri abdomen sisi kiri dan kuadran

kiri atas. Hipersplenism dengan perkembangan trombositopenia sering terlihat pada pasien dengan

sirosis dan pada umumnya adalah indikasi pertamau untuk hipertensi portal 1. 

Asites

Asites   adalah   akumulasi   cairan   pada   ruang   peritoneal,   disebabkan   paling   sering   oleh   portal

hipertensi karena sirosis. Pada penderita sirosis, peningkatan resistensi intrahepatik menyebabkan

adanya   peningkatan   tekanan   portal,   tetapi   juga   menyebabkan   vasodilatasi   pada   sistem   arterial

splanknik, dimana menghasilkan meningkatnya arus masuk vena portal. Perubahan hemodinamika

ini  menghasilkan  retensi   natrium  dengan  cara  mengaktivasi  sistem   renin­angiotensin­aldosteron

dengan hiperaldosteronisme. 

 Spontaneous bacterial peritonitis  (SBP)

SBP adalah komplikasi  sering dan parah dari asites  yang ditandai dengan infeksi cairan asites

terjadi   secara   spontan   tanpa   sumber   dari   intraabdomen.   Translokasi   bakteria   diduga   sebagai

mekanisme   berkembangnya   SBP,   dengan   flora   usus   melintasi   usus   ke   kelenjar   getah   bening

mesenteruka, mengarah ke bakteremia dan berkembang di cairan asites. Organisme paling sering

adalah Escherichia coli dan bakteri usus lainnya, tetapi, bakteri gram positif seperti Streptococcus

viridans, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus sp., bisa juga ditemukan. Jika ditemukan lebih

dari dua organisme, peritonitis bakteri sekunder karena viskus berlubang bisa dipikirkan. 

Sindrom hepatorenal

Hepatorenal syndrome (HRS) adalah bentuk kegagalan fungsi ginjal tanpa adanya patologis ginjal,

yang   terjadi   pada   10%   pasien   dengan   sirosis   lanjut   atau   gagal   hati   akut.   Ada   gangguan   pada

sirkulasi arteri renal pada pasien dengan HRS, termasuk adanya peningkatan resistensi vaskular

12
diiringi dengan pengurangan resistensi vaskular sistemik. Tipe 1 HRS mempunyai karakteristik

kerusakan fungsi renal progresif dan menurunnya bersihan kreatinin yang signifikan dalam 1 – 2

minggu gejala masuk. Tipe 2 HRS mempunyai karakteristik menurunnya laju filtrasi glomerulus

dengan peningkatan level serum kreatinin, tetapi dengan keadaan lebih stabil dan memberikan hasil

lebih baik dibandingkan tipe 1 HRS1.

Ensefalopati hepatik

Ensefalopati hepatik (EH) adalah salah satu komplikasi yang sering dan serius, ditemukan pada

pasien   sirosis   hepar.   EH   tidak   hanya   menyebabkan   penurunan   kualitas   hidup,   namun   juga

memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian penting

dalam   perjalanan   penyakit   sirosis   dan   merupakan   prediktor   mortalitas   independen   pada   pasien

dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus yang berat dapat menjadi koma atau meninggal.

Mortalitas sangat tinggi pada EH dengan edema serebral. Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan

EH berat  di  ICU adalah 54%,  dengan pemberian  dukungan inotropik,  dan  acute  kidney  injury

diidentifikasi sebagai prediktor independen pada kematian di ICU dan mortalitas 1 tahun. 

D. PROGNOSIS
Untuk menentukan derajat keparahan dan prognosis penyakit pada sirosis hepatis, dapat

ditentukan dengan sistem skoring Child­Turcotte­Pugh (CTP) dan disesuaikan dengan pemeriksaan

laboratorium yang telah dilakukan. 

Tabel . Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh untuk derajat keparahan sirosis hepatis

Parameter  Skor 

1 2 3

Ensefalopati  Tidak ada Minimal  Sedang – berat 

Asites  Tidak ada Minimal – sedang  Sedang – berat 

Bilirubin (mg/dL) < 2 2 – 3  > 3.0

Albumin (mg/dL) > 3.5 2.8 – 3.5  < 2.8

INR (detik) < 1.7 1.7 – 2.3 > 2.3

13
Sistem skoring CTP dibagi menjadi kelas A, B dan C. Kelas A mempunyai skor 5 – 6,

kelas B mempunyai skor 7 – 9, dan kelas C mempunyai skor 10 – 15.   Sistem klasifikasi  Child­

Turcotte­Pugh  dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut

dimana angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan kelas A adalah 84%,

kelas B 62% dan kelas C 42%7.

Hepatitis B Kronik

Hepatitis   B   adalah   penyakit   infeksi   disebabkan   oleh   virus   hepatitis   B   yang     dapat

menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel­sel hati. Sekitar satu per tiga dari populasi dunia

pernah terpapar pada virus hepatitis B (HBV). Hamper 350 juta individu di seluruh dunia terinfeksi

secara   kronis   (durasi   yang   lama).   Maka   dari   itu,   komplikasi­komplikasi   dari   infeksi   HBV

menyebabkan   dua   juta   kematian­kematian   setiap   tahunnya.   Selain   itu,   Indonesia   menempati

peringkat ketiga dunia setelah Cina dan India untuk jumlah penderita hepatitis. 

Cara penularan infeksi HBV ada dua, yaitu penularan horizontal dan vertikal. Penularan

horizontal   terjadi   dari   seorang   pengidap   infeksi   HBV   kepada   individu   di   sekelilingnya,   dapat

terjadi melalui kulit atau selaput lendir. Penularan melalui kulit ada 2 macam, yaitu karena tusukan

yang jelas (penularan parenteral), missal melalui suntikan, transfuse darah dan tato. Yang kedua

adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuknya virus melalui goresan atau

abrasi   dan   radang   kulit.   Untuk   penularan   melalui   selaput   lendir,   termasuk   lendir   mulut,   mata,

hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir genitalia. Sedangkan, penularan vertikal

terjadi dari seorang penderita yang hamil kepada bayi yang dilahirkan, dapat terjadi pada masa

prenatal, selama persalinan, atau perinatal dan post­natal. 

Cara utama penularan HBV melalui parenteral dan menembus membrane mukosa terutama

melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata­rata sekitar 60 – 90 hari. Orang yang berisiko tinggi

menderita  hepatitis   B   yaitu  imigran   dari   daerah   endemis   HBV,   pengguna   obat   intravena   yang

sering bertukar jarum dan alat suntik, pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan

penderita, pria homoseksual yang secara seksual aktif, pasien rumah sakit jiwa, narapidana pria,

pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu dari plasma, kontak

serumah dengan karier HBV, tenaga kesehatan yang mempunyai banyak kontak dengan darah, dan

bayi yang baru lahir terinfeksi dari ibu. 

14
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibagi 2 yaitu

hepatitis B akut dan kronis. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi HBV terhadap individu yang

system imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya HBV dari tubuh hospes. Hepatitis

kronik terjadi pada 5 – 10% penderita hepatitis B akut. Terjadi jika penderita tidak menunjukkan

perbaikan yang baik setelah 6 bulan. 

Hepatitis B akut terdiri atas 3, yaitu :

a. Hepatitis B akut yang khas, terdiri atas 3 fase
1. Fase praikterik (prodromal)    gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak

jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan

warna   air   kemih   menjadi   gelap.   Pemeriksaan   laboratorium   mulai   tampak

kelainan   hati   (kadar   serum   bilirubin,   SGOT   dan   SGPT,   alkali   fosfatase

meningkat).
2. Fase   ikterik    gejala   demam   dan   gastrointestinal   semakin   hebat   disertai

hepatomegaly   dan   splenomegaly.   Timbulnya   icterus   makin   hebat   dengan

puncak   pada   minggu   kedua.   Setelah   timbul   icterus,   gejala   menurun   dan

pemeriksaan laboratorim tes fungsi hati abnormal.
3. Fase   penyembuhan    fase   ini   ditandai   dengan   menurunnya   kadar   enzim

aminotransferase,   perbesaran   hati   masih   ada   tetapi   tidak   terasa   nyeri.

Pemeriksaan laboratorium kembali normal. 
b. Hepatitis Fulminan 
Gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7 – 10

hari, 50% akan berakhir dengan kematian. 
c. Hepatitis Subklinik

Manifestasi klinis hepatitis B kronik secara garis besar dibagi 2, yaitu :

I. Hepatitis B kronik yang masih aktif
a. HbsAg (+) > 6 bulan, DNA HBV lebih dari 10 5  copies/ml. didapatkan kenaikan

ALT/AST yang menetap atau intermitten.
b. Tanda­tanda peradangan penyakit hati kronik
c. Histopatologi hati yang terjadi peradangan aktif
d. Biopsy hati menunjukkan hepatitis kronis 
II. Carrier HBV inaktif
a. HbsAg   (+)   >  6  bulan,   titer   DNA   HBV   kurang  dari   10 5  copies/ml.   konsentrasi

ALT/AST normal.

15
b. Tidak ada keluhan
c. Kelainan kerusakan jaringan hati minimal
d. Biopsi hati tidak menunjukkan adanya hepatitis yang signifikan

Sampai saat ini, dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik, yaitu:

1. Kelompok imunomodulasi
a. Interferon
b. Timosin alfa 1
c. Vaksinasi terapi
2. Kelompok terapi antivirus
a. Lamivudine
b. Adefovir dipivoksil

Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progresi jejas

hati   (liver   injury)   dengan   cara   menekan   replikasi   virus   atau   menghilangkan   injeksi.   Dalam

pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya pertanda replikasi

virus   yang   aktif   secara   menetap   (HBeAg   dan   HBV   DNA).   Pada   umumnya,   serokonversi   dari

HBeAg   menjadi   anti­HBe   disertai   dengan   hilangnya   HBV   DNA   dalam   serum   dan   meredanya

penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negative, serokonversi HBeAg

tidak   dapat   dipakai   sebagai   titik   akhir   terapi   dan   respon   terapi   hanya   dapat   dinilai   dengan

pemeriksaan HBV DNA. 

Penggunaan interferon aman dan efektif pada pasien hepatitis B dengan sirosis kompensata

yang terkait infeksi HBV. Pada pasien yang mempunyai kontraindikasi atau tidak berespon pada

pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian analog nukleosida dapat dipertimbangkan

sebagai   terapi   jangka   panjang.   Entecavir   dan   tenofovir   direkomendasikan   pada   pasien   sirosis

kompensata   yang   tidak   menggunakan   terapi   berbasis   interferon   atau   tidak   memberikan   respon

terhadap terapi berbasis interferon. 

Penggunaan   interferon   pada   pasien   dengan   sirosis   dekompensata   terkait   HBV   dapat

menyebabkan  dekompensasi   dan  meningkatkan  risiko  infeksi   bakteri,   bahkan  pada   dosis   kecil.

Sehingga, oenggunaan interferon di kontraindikasikan pada pasien dengan sirosis dekompensata.

Saat ini analog nukleosida seperti lamivudine, entecavir, telbivudin, dan tenofovir telah disetujui

sebagai terapi pada sirosis dekompensata terkait HBV. 

16
BAB IV
KESIMPULAN
Sirosis hepatis adalah penyakit hepar yang histopatologisnya ditandai oleh fibrosis dimana
arsitektur hepar terlihat distorsi dengan formasi nodulus regenerasi. Sirosis hari merupakan tahap
akhir proses difus fibrosis hati. Keadaan ini membuat masa hepatoselular mengecil sehingga fungsi
dan aliran darah terganggu. Gambaran morfologi dari sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul
regeneratif, perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).

Kebiasaan minum alkohol kronis dapat menyebabkan fibrosis hati, dan saat derajat fibrosis
sudah parah, akan terjadi gangguan pada arsitektur normal hati dan penggantian sel hati dengan

nodulus regeneratif. Etiologi yang juga sering berkembang menjadi sirosis adalah steatohepatitis

non­alkoholik. Steatohepatitis adalah akumulasi lemak hati. Steatohepatitis non­alkoholik banyak

terjadi pada orang­orang obesitas, dimana nantinya steatohepatitis akan meningkatkan fibrosis dan

berkembang   menjadi   sirosis3.   Beberapa   penyakit   hati   kronis   lainnya   yang   dapat   menyebabkan

sirosis   adalah   penyakit   metabolik   bawaan,   seperti   hemokromatosis,   penyakit   Wilson   (Wilson’s

diease), kekurangan α1­antitripsin, dan sistik fibrosis.

Pemberian   tatalaksana   untuk   sirosis   hepatis   dilakukan   berdasarkan   etiologi   dari   sirosis

hepatis   untuk   mengurangi   progresifitas   penyakit   supaya   tidak   berlanjut   semakin   parah   dan

menurunkan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular. Secara klinis, tatalaksana dibagi atas sirosis

hati kompensata dan dekompensata, yang disertai dengan tanda­tanda kegagalan hepatoselular dan

hipertensi portal. 

17
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Cirrhosis and Its
Complications. In: Anthony S. Fauci, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
19th ed. New York: McGraw-Hill Education: 2012. p. 2058 – 67.
2. Nurdjanah, S. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK,

Setiati   S,   editors.   Buku   Ajar   Ilmu   Penyakit   Dalam,   6th  ed.   Jakarta:   Departemen   Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. 2014. p. 1978 – 83.
3. Setiawan PB. Sirosis hati. In: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, et al. Buku Ajar Penyakit

Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. p. 129 – 36. 
4. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Cirrhosis. In: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors.

Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Inc.: 2013. p. 607 –


11.
5. Nusrat S, Khan MS, Fazili J, Madhoun MF. Cirrhosis and its complications: Evidence
based treatment. World J Gastroenterol. 2014; 20(18): 5442 – 60.
6. Heidelbaugh JJ, Bruderly M.  Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part I. Diagnosis and

Evaluation. Am Fam Physician. 2006;74(5): 756 – 62. 
7. Hennessy L, Bhika S, Iqbal A. Child­Pugh score. 2017. [Accessed 25th May 2018]. 

Available from: https://www.sps.nhs.uk/wp­

content/uploads/2014/05/UKMI_QA_What_is_the_Child­

Pugh_score_update_May_2017.docx.
8. Nusi IA. Hepatitis Kronis. In: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, et al. Buku Ajar Penyakit 

18
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. p. 129 – 36.

19

Anda mungkin juga menyukai