Case Sirosis Hati
Case Sirosis Hati
PENDAHULUAN
Sirosis hepatis adalah penyakit hepar yang histopatologisnya ditandai oleh fibrosis dimana
arsitektur hepar terlihat distorsi dengan formasi nodulus regenerasi. Sirosis hari merupakan tahap
akhir proses difus fibrosis hati. Keadaan ini membuat masa hepatoselular mengecil sehingga fungsi
dan aliran darah terganggu. Gambaran morfologi dari sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul
regeneratif, perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45 – 60 tahun, setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Diseluruh dunia, sirosis
hati menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita sirosis hati lebih banyak laki-
laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1.6 : 1. Pada umumnya, rata-rata
golongan usia penderita 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar usia 40 – 49 tahun.
Penyebab sirosis hepatis sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik
steatohepatitis serta virus hepatitis. Di daerah Asia Tenggara, penyebab utama sirosis
hepatis adalah hepatitis B (HBV) dan C (HCV). Angka kejadian sirosis hepatis di
Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21.2 – 46.9% dan hepatitis C berkisar 38.7 –
73.9%
BAB II
BORANG PORTOFOLIO
1
A. Borang portofolio
Nama peserta : dr. Basri Hadi
Nama wahana : RS Marinir Cilandak
Topik : Sirosis Hepatis
Tanggal kunjungan : 9 Agustus 2018
Nama pasien : Tn. N, Lk, 57 th No RM :
Tanggal presentasi : Nama pendamping : dr. Nursito
Tempat presentasi : RS Marinir Cilandak
Objektif presentasi
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Deskripsi : Tn. N usia 57 tahun datang dengan keluhan sesak, perut membesar, dan bengkak
pada kedua tungkai bawah sejak 15 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan buang air kecil berwarna
coklat seperti teh dan defekasi berwarna hitam sejak 7 hari SMRS. Pasien merasakan adanya mata
kuning, rasa begah, nyeri perut dan mual.
Pasien mempunyai riwayat konsumsi alkohol sekitar 35 tahun yang lalu. Menurut pasien, riwayat
mengonsumsi alkoholnya selama 4 tahun, 2 – 3 kali per minggu, dan sebanyak kurang lebih 1
botol.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran kompos mentis. Tanda-tanda vital pasien stabil dengan TD 120/80 mmHg, nadi
120 kali per menit, regular, nafas 28 kali per menit, dan suhu 36.8 oC.
Pada pemeriksaan status generalis, ditermukan konjungtiva anemis dengan sklera ikterik,
dan kulit sedikit kering. Pada pemeriksaan thorax ditemukan adanya spider naevi. Pada
pemeriksaan abdomen pasien terlihat perut pasien cembung dengan distensi saat palpasi
dan redup pada seluruh regio abdomen saat auskultasi. Pada pemeriksaan khusus abdomen,
ekstremitas ditemukan adanya palmar eritema dan pitting edema pada kedua tungkai.
positif. Pemeriksaan USG abdomen yang pernah dilakukan oleh pasien pada tanggal 14
Mei 2018 menunjukan adanya sirosis, splenomegali, dan asites masif.
2
Bahan bahasan
Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas
Presentasi & diskusi Diskusi Email Pos
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/ Gambaran klinis
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 15 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan bahwa
perutnya membesar sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) yang disertai dengan
bengkak pada kedua tungkai bawah. Pasien mengeluhkan buang air kecil (BAK) nya berwarna
coklat seperti teh dan buang air besar (BAB) nya berwarna hitam sejak 7 hari SMRS.
Sesak yang dirasakan pasien tidak muncul saat beraktivitas, tapi datang tiba-tiba. Pasien juga
menyangkal adanya bangun tengah malam karena sesak dan sesak saat berbaring. Pasien
mengatakan tidur dengan satu bantal. Selain itu, tidak ada posisi yang membuat sesak pasien
membaik. Sesak tidak disertai dengan nyeri dada.
Selain itu, pasien juga mengaku matanya terlihat kuning sejak 5 hari SMRS. Pasien merasakan
dirinya merasa lemas, perut rasa begah, nyeri perut dan mual, tetapi tidak ada muntah. Pasien
menyangkal adanya demam, pusing, nyeri ulu hati dan nyeri kepala. Tidak ada rasa nyeri pada
perubahan posisi, tidak ada rasa nyeri atau keluhan lain saat buang air kecil dan buang air besar.
Pasien mengatakan bahwa ini kali pertama pasien merasakan keluhan seperti sekarang ini.
2. Riwayat pengobatan
Belum ada minum obat sebelumnya
3. Riwayat kesehatan
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Tidak menderita diabetes
mellitus dan hipertensi. Pasien menyangkal adanya riwayat sakit kuning, riwayat kanker, dan
riwayat operasi.
4. Riwayat keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita keluhan serupa, tidak ada yang menderita diabetes
mellitus, hipertensi, dan sakit kuning.
5. Riwayat sosial
Pasien mempunyai riwayat konsumsi alkohol sekitar 35 tahun yang lalu. Menurut pasien, riwayat
mengonsumsi alkoholnya selama 4 tahun, 2 – 3 kali per minggu, dan sebanyak kurang lebih 1
botol.
Selain itu, riwayat merokok pasien adalah 1 bungkus per hari dan merokok sejak 35 tahun yang
lalu, berbarengan dengan mulainya konsumsi alkohol.
6. Pemeriksaan fisik
3
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : Bentuk dan ukuran normal, deviasi (-), pendarahan (-), pus (-), deformitas (-),
otore (-), rinore (-), pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : Bentuk dan ukuran normal, simetris, pus (-), perdarahan (-), perbesaran kelenjar
getah bening auricular (-)
Leher : Rash (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB leher dan supraklavikular (-),
JVP tidak meningkat (5 + 1cm)
7. Pemeriksaan Penunjang :
Hematokrit : 30 %
Curcuma 3 x 1
Furosemide 1 x 1
OMZ 1 x 40 mg
Penjelasan mengenai penyakit dan rencana terapi yang akan di jalani pasien
4
E. Rencana Konsultasi
Konsultasi dilakukan oleh spesialis penyakit dalam.
Hasil pembelajaran
1. Mengetahui berbagai penyebab sirosis hepatis
2. Memberikan penatalaksanaan pada kasus sirosis hepatis
3. Mengenali manifestasi klinis yang timbul pada sirosis hepatis
4. Mendiagnosis kasus sirosis hepatis
5. Memberikan penatalaksanaan kasus sirosis hepatis
6. Mengetahui komplikasi yang dapat timbul pada kasus sirosis hepatis
Objektif
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : Bentuk dan ukuran normal, deviasi (-), pendarahan (-), pus (-), deformitas (-),
5
otore (-), rinore (-), pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : Bentuk dan ukuran normal, simetris, pus (-), perdarahan (-), perbesaran kelenjar
getah bening auricular (-)
Leher : Rash (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB leher dan supraklavikular (-),
JVP tidak meningkat (5 + 1cm)
7. Pemeriksaan Penunjang :
- Curcuma 3 x 1
- Furosemide 1 x 1
- OMZ 1 x 40 mg
2. Rencana Terapi
Konsul DPJP (Sp.pD)
3. Rencana Edukasi
Penjelasan mengenai penyakit dan rencana terapi yang akan di jalani pasien
4. Rencana Konsultasi
Konsultasi dilakukan oleh spesialis penyakit dalam.
BAB III
6
PEMBAHASAN DAN TATALAKSANA
A. DIAGNOSIS
A.1. ANAMNESIS
Pasien Tn. N di diagnosa Sirosis Hepatis dengan Asites Masif, Hepatitis B Kronis,
Hipoalbuminemia, Trombositopenia, dan Anemia didasarkan pada penemuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pasien di diagnosa dengan sirosis hepatis karena mempunyai manifestasi klinis berupa
perut distensi, edema tungkai bawah, lemas, perut terasa begah, nyeri perut, mual, melena, air
kencing berwarna coklat seperti teh. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis, sklera
ikterik, dan spider nevi pada thorax. Pada abdomen terlihat bentuk perut distensi, telangiectasia,
undulasi positif, redup pada seluruh region abdomen, shifting dullness dan fluid wave test positif.
Selain itu, pada ekstremitas terdapat palmar eritema dan pitting edema pada kedua tungkai bawah.
Lalu, pemeriksaan penunjang yang didapatkan pada pasien untuk membantu diagnosis sirosis
dan hiperglobulinemia. Pada pemeriksaan USG juga ditemukan adanya ukuran hepar yang
mengecil dengan permukaan kasar dan peningkatan echo parenkim, splenomegali, dan asites masif
yang menyokong adanya sirosis hepatis.
Pasien diduga sudah pada tahap sirosis hepatis derajat dekompensata karena pasien sudah
menunjukkan manifestasi klinis yang terlihat pada komplikasi sirosis hati. Tandatanda sirosis
hepatis dekompensata adalah gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Kegagalan fungsi
hati terlihat oleh pasien dengan adanya jaundis yang terlihat pada mata pasien; sklera ikterik.
Sedangkan untuk tandatanda hipertensi porta, pasien mempunyai asites dan splenomegali. Asites
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik yaitu shifting dullness dan fluid wave test positif, serta
pada USG terlihat adanya asites masif. Varises esofagus tidak dapat ditentukan karena tidak
dilakukan endoskopi pada pasien. Selain itu, peritonitis bakteri spontan juga tidak bisa ditentukan
karena cairan asites tidak diperiksa kadar netrofilnya.
natrium dan membuat akumulasi cairan dan ekspansi volume cairan ekstraseluler, maka terjadilah
asites dan edema perifer pada pasien. Selain itu, pada pasien juga ditemukkan adanya
7
hipoalbuminemia yang disebabkan oleh asites. Trombositopenia dan anemia pada pasien
disebabkan oleh adanya splenomegali.
Selain itu, sirosis hepatis yang diderita pasien dicurigai disebabkan oleh hepatitis B kronis,
karena pemeriksaan laboratorium HBsAg pasien menunjukkan hasil positif. Untuk tatalaksana,
telangiectasia dan spider angioma atau spider nevi pada abdomen, wajah, atau ekstremitas atas.
Selain itu, dapat juga terlihat adanya ginekomasti, caput medusae pada abdomen, palmar eritema,
kontraktur Dupuytren, perubahan kuku—Muehrcke’s lines (terdapat pita putih horizontal yang
dipisahkan oleh warna normal kuku), Terry’s nails (bantalan kuku proksimal berwarna putih), dan
clubbing fingers—, ateriksis (flapping tremor), dan adanya asites. Selain itu, dapat ditemukan
adanya edema pada kedua tungkai bawah, dan pada genitalia dapat terlihat adanya atrofi testis dan
hilangnya rambut pubis dan ketiak pada wanita2,5.
Pada palpasi dapat ditentukan ukuran hati, dimana pada sirosis ukuran hati bisa membesar,
normal, atau mengecil. Dan ada perubahan konsistensi pada hati, dimana pada umumnya hati
berbatas tegas, nodular, dan mengecil. Selain ukuran hati, dapat ditemukan adanya perbesaran
ukuran limpa, splenomegaly. Tetapi, terkadang hati dan limpa sulit dievaluasi karena besaranya
asites2. Pasien juga pada umumnya mengeluhkan nyeri tekan pada daerah epigastrium.
Selain itu, pada daerah abdomen perut yang membesar pada selurh region abdomen dengan
tandatanda asites dapat ditegakkan pada pemeriksaan palpasi dan perkusi. Yaitu dengan cara
positif6.
8
Pada pemeriksaan jantung dan paru, masih dalam batas normal, tidak ditemukan tanda
tanda efusi pleura seperti penurunan vokal fremitus, perkusi yang redup, dan suara nafas vesikuler
yang menurun pada kedua lapang paru.
aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin globulin, dan
waktu protombin. Selain itu, perlu diperiksa juga nilai elektrolit yaitu natrium darah. Pemeriksaan
darah seperti trombosit, leukosit, netrofil, dan pemeriksaan anemia juga perlu dilakukan.
(SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT)
dapat terlihat normal atau sedikit meningkat. AST pada umumnya lebih meningkat dibandingkan
dengan ALT, tetapi bila nilai transaminase normal, kecurigaan sirosis tetap belum tersingkirkan.
Alkali fosfatase mengalami peningkatan kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Gamma
glutamil transpeptidase (GGT) juga mengalami peningkatan, biasanya berkorelasi dengan ALP.
Kadar GGT yang sangat meningkat dapat ditemukan pada sirosis akibat alkohol. Kadar bilirubin
dapat normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis hati yang lanjut.
Pemeriksaan bilirubin penting untuk prediksi mortalitas pada sirosis hepatis lanjut, yang biasanya
meningkat. Kadar albumin, yang sintesisnya hanya terjadi di jaringan parenkim hati, akan
mengalami penurunan sesuai dengan derajat perburukan sirosis. Tahap sirosis semakin lanjut, maka
kadar albumin semakin menurun. Sedangkan, konsentrasi globulin akan meningkat, terutama IgG,
karena adanya hipoalbuminemia yang menyebabkan konsentrasi total protein normal atau menurun
menginduksi produksi imunoglobulin2,6.
pembekuan (faktor V/VII) dari hati. Konsentrasi natrium darah akan menurun akibat peningkatan
ADH dan aldosterone. Selain dari pemeriksaan fungsi hati, pada pemeriksaan hematologi pada
umumnya ditemukan kelainan seperti anemia, baik anemia makrositik, normositik, dan makrositik.
Selain anemia biasanya akan ditemukan pula trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat
splenomegali yang berkaitan dengan adanya hipersplenism.
9
Walaupun pemeriksaan radiologi seperti ultrasonografi (USG) kurang sensitive untuk
abdomen juga merupakan pemeriksaan rutin yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi
pasien sirosis hepatis, karena pemeriksaannya yang noninvasif dan mudah dikerjakan. Melalui
pemeriksaan USG abdomen, dapat terlihat ekodensitas hati meningkat dengan ekostruktur kasar
homogen atau heterogen pada sisi superficial, sedang pada sisi profunda ekodensitas menurun.
Pada penderita sirosis lanjut, hati akan mengecil dan nodular, dengan permukaan yang tidak rata
Asites tampak sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan dingin
abdomen.
Pemeriksaan MRI dan CT konvensional bisa digunakan untuk menentukan derajat beratnya
sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral vaskular. Ketiga alat ini juga
dapat mendeteksi adanya karsinoma hepatoselular. Selain itu, gastrokopi dilakukan untuk
memeriksa adanya varises di esofagus dan gaster pada penderita sirosis hati. Selain untuk
diagnostik, endoskopi dapat digunakan untuk pencegahan dan terapi perdarahan varises.
Pemeriksaan laboratorium lainnya juga dapat dilakukan untuk mencari penyebab terjadinya
sirosis hati. Antara lain dilakukan pemeriksaan serologi virus hepatitis, untuk virus hepatitis B
dapat di cek HBsAg, HBeAg, Anti HBc, dan HBVDNA. Untuk virus hepatitis C dapat di cek Anti
HCV dan HCVRNA. Untuk hemokromatosis dapat di periksa saturasi transferrin dan feritinin.
Untuk penyakit Wilson dapat di periksa Ceruplasmin dan Copper. Selain itu, untuk menentukan
primer dapat di periksa antimitokondrial antibodi (AMA) 2,6.
B. TATALAKSANA
Pemberian tatalaksana untuk sirosis hepatis dilakukan berdasarkan etiologi dari sirosis hepatis
untuk mengurangi progresifitas penyakit supaya tidak berlanjut semakin parah dan menurunkan
risiko terjadinya karsinoma hepatoselular. Secara klinis, tatalaksana dibagi atas sirosis hati
kompensata dan dekompensata, yang disertai dengan tandatanda kegagalan hepatoselular dan
hipertensi portal.
10
Untuk sirosis hepatis yang disebabkan oleh HBV dan HCV, dapat diberikan interferon. Untuk
HBV kronis bisa diberikan interferon secara injeksi atau oral dengan analog nukleosida jangka
panjang. Untuk tatalaksana komplikasi diberikan sesuai komplikasi yang terjadi pada pasien sirosis
hepatis.
C. KOMPLIKASI
Sirosis hepatis akan berkembang menjadi hipertensi porta dan beberapa gejalanya yaitu varises
esofagus, asites, splenomegali, ensefalopati hepatik, peritonitis bakteri spontan (PBS), sindroma
hepatorenal, dan karsinoma hepatoselular.
Hipertensi porta
Hipertensi porta adalah peningkatan gradien pada tekanan vena hepatik (hepatic venous pressure
gradient; HVPG) sebanyak >5 mmHg, tetapi terlihat signifikan pada klinis jika >10 mmHg 4.
Hipertensi porta terjadi karena gabungan dari dua proses hemodinamika yang terjadi secara
bersamaan, yaitu (1) meningkatnya resistensi intrahepatik pada aliran darah yang melewati hepar
karena sirosis dan nodulus regeneratif, dan (2) meningkatnya aliran darah splanknik sekunder
karena vasodilatasi pada vaskular splanknik. Hipertensi portal bertanggung jawab atas terjadinya
dua komplikasi mayor sirosis, yaitu varises esofagus dan asites. Hipertensi portal dibagi menjadi 3
hipertensi portal dan terlihat pada kebanyakan kasus sirosis.
penampakan perbesaran limpa, atau adanya asites, ensefalopati, dan/atau varises esofagus dengan
atau tanpa perdarahan. Varises dapat diidentifikasi dengan endoskopi. Gambaran abdomen, CT
atau MRI, berguna untuk melihat nodulus hepar1.
Varises esofagus
Varises esofagus terjadi pada hampir setengah pasien pada sirosis. Kejadian varises berkorelasi
dengan keparahan penyakit hati. Perdarahan varises adalah komplikasi paling mematikan dari
sirosis, karena ecahnya varises esofagus dapat mengakibatkan perdarahan varises yang berakibat
fatal. Tegangan dinding varises ditentukan dari diameter pembuluh darah adalah faktor paling
penting untuk menentukan ruptur varises. Studi mengatakan rupture varises jarang terjadi saat
11
HVPG <12 mmHg. Diagnosis varises esofagus (VE) ditegakkan dengan
esofagogastroduodenoskopi.
Splenomegali dan hipersplenisme
Kongesti splenomegali sering terjadi pada hipertensi porta. Gambaran klinisnya yaitu adanya
perbesaran limpa pada pemeriksaan fisik dan perkembangan trombositopenia dan leukopenia pada
penderita sirosis. Beberapa pasien dapat mempunyai keluhan nyeri abdomen sisi kiri dan kuadran
kiri atas. Hipersplenism dengan perkembangan trombositopenia sering terlihat pada pasien dengan
sirosis dan pada umumnya adalah indikasi pertamau untuk hipertensi portal 1.
Asites
Asites adalah akumulasi cairan pada ruang peritoneal, disebabkan paling sering oleh portal
hipertensi karena sirosis. Pada penderita sirosis, peningkatan resistensi intrahepatik menyebabkan
adanya peningkatan tekanan portal, tetapi juga menyebabkan vasodilatasi pada sistem arterial
splanknik, dimana menghasilkan meningkatnya arus masuk vena portal. Perubahan hemodinamika
dengan hiperaldosteronisme.
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
terjadi secara spontan tanpa sumber dari intraabdomen. Translokasi bakteria diduga sebagai
mekanisme berkembangnya SBP, dengan flora usus melintasi usus ke kelenjar getah bening
mesenteruka, mengarah ke bakteremia dan berkembang di cairan asites. Organisme paling sering
adalah Escherichia coli dan bakteri usus lainnya, tetapi, bakteri gram positif seperti Streptococcus
viridans, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus sp., bisa juga ditemukan. Jika ditemukan lebih
dari dua organisme, peritonitis bakteri sekunder karena viskus berlubang bisa dipikirkan.
Sindrom hepatorenal
Hepatorenal syndrome (HRS) adalah bentuk kegagalan fungsi ginjal tanpa adanya patologis ginjal,
yang terjadi pada 10% pasien dengan sirosis lanjut atau gagal hati akut. Ada gangguan pada
sirkulasi arteri renal pada pasien dengan HRS, termasuk adanya peningkatan resistensi vaskular
12
diiringi dengan pengurangan resistensi vaskular sistemik. Tipe 1 HRS mempunyai karakteristik
kerusakan fungsi renal progresif dan menurunnya bersihan kreatinin yang signifikan dalam 1 – 2
minggu gejala masuk. Tipe 2 HRS mempunyai karakteristik menurunnya laju filtrasi glomerulus
dengan peningkatan level serum kreatinin, tetapi dengan keadaan lebih stabil dan memberikan hasil
lebih baik dibandingkan tipe 1 HRS1.
Ensefalopati hepatik
Ensefalopati hepatik (EH) adalah salah satu komplikasi yang sering dan serius, ditemukan pada
pasien sirosis hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga
memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian penting
dalam perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas independen pada pasien
dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus yang berat dapat menjadi koma atau meninggal.
Mortalitas sangat tinggi pada EH dengan edema serebral. Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan
diidentifikasi sebagai prediktor independen pada kematian di ICU dan mortalitas 1 tahun.
D. PROGNOSIS
Untuk menentukan derajat keparahan dan prognosis penyakit pada sirosis hepatis, dapat
ditentukan dengan sistem skoring ChildTurcottePugh (CTP) dan disesuaikan dengan pemeriksaan
laboratorium yang telah dilakukan.
Parameter Skor
1 2 3
13
Sistem skoring CTP dibagi menjadi kelas A, B dan C. Kelas A mempunyai skor 5 – 6,
TurcottePugh dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut
dimana angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan kelas A adalah 84%,
kelas B 62% dan kelas C 42%7.
Hepatitis B Kronik
Hepatitis B adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan selsel hati. Sekitar satu per tiga dari populasi dunia
pernah terpapar pada virus hepatitis B (HBV). Hamper 350 juta individu di seluruh dunia terinfeksi
secara kronis (durasi yang lama). Maka dari itu, komplikasikomplikasi dari infeksi HBV
menyebabkan dua juta kematiankematian setiap tahunnya. Selain itu, Indonesia menempati
peringkat ketiga dunia setelah Cina dan India untuk jumlah penderita hepatitis.
Cara penularan infeksi HBV ada dua, yaitu penularan horizontal dan vertikal. Penularan
horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi HBV kepada individu di sekelilingnya, dapat
terjadi melalui kulit atau selaput lendir. Penularan melalui kulit ada 2 macam, yaitu karena tusukan
yang jelas (penularan parenteral), missal melalui suntikan, transfuse darah dan tato. Yang kedua
adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuknya virus melalui goresan atau
abrasi dan radang kulit. Untuk penularan melalui selaput lendir, termasuk lendir mulut, mata,
hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir genitalia. Sedangkan, penularan vertikal
terjadi dari seorang penderita yang hamil kepada bayi yang dilahirkan, dapat terjadi pada masa
prenatal, selama persalinan, atau perinatal dan postnatal.
Cara utama penularan HBV melalui parenteral dan menembus membrane mukosa terutama
melalui hubungan seksual. Masa inkubasi ratarata sekitar 60 – 90 hari. Orang yang berisiko tinggi
menderita hepatitis B yaitu imigran dari daerah endemis HBV, pengguna obat intravena yang
sering bertukar jarum dan alat suntik, pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan
penderita, pria homoseksual yang secara seksual aktif, pasien rumah sakit jiwa, narapidana pria,
pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu dari plasma, kontak
serumah dengan karier HBV, tenaga kesehatan yang mempunyai banyak kontak dengan darah, dan
bayi yang baru lahir terinfeksi dari ibu.
14
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibagi 2 yaitu
hepatitis B akut dan kronis. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi HBV terhadap individu yang
system imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya HBV dari tubuh hospes. Hepatitis
kronik terjadi pada 5 – 10% penderita hepatitis B akut. Terjadi jika penderita tidak menunjukkan
perbaikan yang baik setelah 6 bulan.
Hepatitis B akut terdiri atas 3, yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas, terdiri atas 3 fase
1. Fase praikterik (prodromal) gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak
jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan
kelainan hati (kadar serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase
meningkat).
2. Fase ikterik gejala demam dan gastrointestinal semakin hebat disertai
puncak pada minggu kedua. Setelah timbul icterus, gejala menurun dan
pemeriksaan laboratorim tes fungsi hati abnormal.
3. Fase penyembuhan fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim
Pemeriksaan laboratorium kembali normal.
b. Hepatitis Fulminan
Gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7 – 10
hari, 50% akan berakhir dengan kematian.
c. Hepatitis Subklinik
Manifestasi klinis hepatitis B kronik secara garis besar dibagi 2, yaitu :
I. Hepatitis B kronik yang masih aktif
a. HbsAg (+) > 6 bulan, DNA HBV lebih dari 10 5 copies/ml. didapatkan kenaikan
ALT/AST yang menetap atau intermitten.
b. Tandatanda peradangan penyakit hati kronik
c. Histopatologi hati yang terjadi peradangan aktif
d. Biopsy hati menunjukkan hepatitis kronis
II. Carrier HBV inaktif
a. HbsAg (+) > 6 bulan, titer DNA HBV kurang dari 10 5 copies/ml. konsentrasi
ALT/AST normal.
15
b. Tidak ada keluhan
c. Kelainan kerusakan jaringan hati minimal
d. Biopsi hati tidak menunjukkan adanya hepatitis yang signifikan
Sampai saat ini, dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik, yaitu:
1. Kelompok imunomodulasi
a. Interferon
b. Timosin alfa 1
c. Vaksinasi terapi
2. Kelompok terapi antivirus
a. Lamivudine
b. Adefovir dipivoksil
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progresi jejas
hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Dalam
pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya pertanda replikasi
virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan HBV DNA). Pada umumnya, serokonversi dari
HBeAg menjadi antiHBe disertai dengan hilangnya HBV DNA dalam serum dan meredanya
penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negative, serokonversi HBeAg
tidak dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respon terapi hanya dapat dinilai dengan
pemeriksaan HBV DNA.
Penggunaan interferon aman dan efektif pada pasien hepatitis B dengan sirosis kompensata
yang terkait infeksi HBV. Pada pasien yang mempunyai kontraindikasi atau tidak berespon pada
pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian analog nukleosida dapat dipertimbangkan
sebagai terapi jangka panjang. Entecavir dan tenofovir direkomendasikan pada pasien sirosis
kompensata yang tidak menggunakan terapi berbasis interferon atau tidak memberikan respon
terhadap terapi berbasis interferon.
Penggunaan interferon pada pasien dengan sirosis dekompensata terkait HBV dapat
menyebabkan dekompensasi dan meningkatkan risiko infeksi bakteri, bahkan pada dosis kecil.
Sehingga, oenggunaan interferon di kontraindikasikan pada pasien dengan sirosis dekompensata.
Saat ini analog nukleosida seperti lamivudine, entecavir, telbivudin, dan tenofovir telah disetujui
sebagai terapi pada sirosis dekompensata terkait HBV.
16
BAB IV
KESIMPULAN
Sirosis hepatis adalah penyakit hepar yang histopatologisnya ditandai oleh fibrosis dimana
arsitektur hepar terlihat distorsi dengan formasi nodulus regenerasi. Sirosis hari merupakan tahap
akhir proses difus fibrosis hati. Keadaan ini membuat masa hepatoselular mengecil sehingga fungsi
dan aliran darah terganggu. Gambaran morfologi dari sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul
regeneratif, perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).
Kebiasaan minum alkohol kronis dapat menyebabkan fibrosis hati, dan saat derajat fibrosis
sudah parah, akan terjadi gangguan pada arsitektur normal hati dan penggantian sel hati dengan
nonalkoholik. Steatohepatitis adalah akumulasi lemak hati. Steatohepatitis nonalkoholik banyak
terjadi pada orangorang obesitas, dimana nantinya steatohepatitis akan meningkatkan fibrosis dan
berkembang menjadi sirosis3. Beberapa penyakit hati kronis lainnya yang dapat menyebabkan
sirosis adalah penyakit metabolik bawaan, seperti hemokromatosis, penyakit Wilson (Wilson’s
diease), kekurangan α1antitripsin, dan sistik fibrosis.
Pemberian tatalaksana untuk sirosis hepatis dilakukan berdasarkan etiologi dari sirosis
hepatis untuk mengurangi progresifitas penyakit supaya tidak berlanjut semakin parah dan
menurunkan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular. Secara klinis, tatalaksana dibagi atas sirosis
hati kompensata dan dekompensata, yang disertai dengan tandatanda kegagalan hepatoselular dan
hipertensi portal.
17
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Cirrhosis and Its
Complications. In: Anthony S. Fauci, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
19th ed. New York: McGraw-Hill Education: 2012. p. 2058 – 67.
2. Nurdjanah, S. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 6th ed. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. 2014. p. 1978 – 83.
3. Setiawan PB. Sirosis hati. In: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, et al. Buku Ajar Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. p. 129 – 36.
4. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Cirrhosis. In: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors.
Evaluation. Am Fam Physician. 2006;74(5): 756 – 62.
7. Hennessy L, Bhika S, Iqbal A. ChildPugh score. 2017. [Accessed 25th May 2018].
Available from: https://www.sps.nhs.uk/wp
content/uploads/2014/05/UKMI_QA_What_is_the_Child
Pugh_score_update_May_2017.docx.
8. Nusi IA. Hepatitis Kronis. In: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, et al. Buku Ajar Penyakit
18
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. p. 129 – 36.
19