Anda di halaman 1dari 24

Tugas Makalah

HERMENEUTIKA DAN TAFSIR AL-QUR’AN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah: Studi Al-Qur’an


Dosen Pengasuh : Dr. H. Taufik Warman Mahfudz, Lc., M. Th. I

Muhammad Muchtar Lubis


NIM: 19016118

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1441 H/2019 M

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt. atas segala limpahan rahmat,
taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini yang berjudul “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an” dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mata kuliah
Studi Al-Qur’an.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang.
Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Palangkaraya, 03 Oktober 2019


Penyusun,

Muhammad Muchtar Lubis


NIM. 19016118

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................. 2
D. Metode Penulisan ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hermeneutika ................................................................................. 3
B. Sejarah Hermeneutika ...................................................................................... 4
C. Pendekatan Hermeneutika ................................................................................ 7
D. Hermeneutika dalam Tafsir Al-Qur’an ............................................................ 11

BAB III ANALISIS


Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an ..................................................................... 17

BAB IV PENUTUP
Kesimpulan ........................................................................................................... 19
Saran-Saran ........................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah swt. kepada
Rasulullah Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang
gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Rasulullah saw. menyampaikan Al-Qur’an itu kepada sahabatnya sehingga
mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka
mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka
menanyakannya pada Rasulullah saw.
Akhir-akhir ini dikalangan kaum muslimin terutama kaum modernis telah
banyak memanfaatkan hermeneutika sebagai salah satu instrumen untuk
menggali isi dan kandungan Al-Qur’an. Penggunaan ilmu tersebut dalam
penafsiran Al-Qur’an ada yang menempatkannya sebagai komplemen dan ada
pula yang menempatkannya sebagai suplemen.
Munculnya berbagai pendekatan baru dalam Al-Qur’an jelas membuktikan
adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami universalitas
kitab sucinya. Hermeneutika misalnya merupakan salah satu pendekatan
eksegesis (penafsiran) dalam diskursus ‘ulum Al-Qur’an yang banyak
mendapat sorotan para pemerhati Al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas Al-
Qur’an, pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemikiran kitab suci,
itupun semakin progresif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam
pendekatan hermeneutika ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai
sesuatu yang sakral dan semua ayat bisa dipahami. Berangkat dari latar
belakang di atas, maka dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang
pendekatan hermeneutika dan tafsir Al-Qur’an.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian hermeneutika?
2. Bagaimana sejarah hermeneutika?
3. Bagaimana pendekatan hermeneutika?
4. Bagaimanakah hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian hermeneutika.
2. Untuk mendeskripsikan sejarah hermeneutika.
3. Untuk mendeskripsikan pendekatan hermeneutika.
4. Untuk mendeskripsikan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an.
D. Metode Penulisan
Penulisan makalah dilakukan dengan menggunakan metode pustaka
(library research), yaitu mencari dan mengumpulkan data-data ilmiah yang
relevan dengan tema “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an” dengan mencari
buku-buku, bahan, sumber-sumber dan literatur melalui rujukan yang
terpercaya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis, hermeneutika berasal dari kata Yunani “hermeneuein”
yang diterjemahkan dengan “menafsirkan”, kata bendanya “hermeneia” artinya
tafsiran atau interpretasi.1 Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah
seorang dewa Yunani (Hermes) yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi
manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan
kepada manusia.2 Dalam tradisi Yunani Kuno kata “hermeneuein” dipakai
dalam tiga makna, yaitu: mengatakan (to say), menjelaskan (to explain),
menerjemahkan (to translate). Tiga makna tersebut, kemudian dalam kata
Inggris diekspresikan dengan kata: to interpret. Dengan demikian, perbuatan
interpretasi menunjukkan pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral
recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation),
terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language) atau
mengekspresikan.3 Penjelasan dua kata ini dan tiga bentuk dasar makna dalam
pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam
teologi, sastra dan dalam konteks sekarang ia menjadi keywords untuk
memahami hermeneutika modern.4
Beberapa kajian menyebutkan bahwa hermeneutika adalah “proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti”.
Secara terminologi, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan ke dalam tiga
pengertian:
1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan
bertindak sebagai penafsir.

1
Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, Jakarta: Kencana, 2016, h. 1.
2
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011, h. 4.
3
Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, Jakarta: Kencana, 2016, h. 1.
4
Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, h. 14.

3
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak
diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk
ungkapan yang lebih jelas.5
Secara lebih luas, hermeneutika didefiniskan oleh Zygmunt Bauman
sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari
sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan
kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.6
Definisi yang agak berbeda, Habermas menyatakan hermeneutika sebagai
suatu seni memahami makna komunikasi linguistik dan menafsirkan simbol
yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti
dan maknanya, dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa
sekarang.7
Dengan demikian, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan
budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensi
dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori
pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap
sebuah teks. Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang
terkandung dalam teks dengan variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah
mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk
memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.8

B. Sejarah Hermeneutika
Benih-benih pembahasan hermeneutika ditemukan dalam Peri Hermeneias
karya Aristoteles. Buku tersebut memaparkan bahwa kata-kata yang kita

5
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011, h. 5.
6
Ibid, h. 5.
7
Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gur Dur,
Malang: UIN Maliki Press, 2010, h. 88.
8
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis Hermeneutis,
Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009, h. 23.

4
ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita dan kata-kata yang kita
tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Pemaparan ini menjadi
titik tolak bagi dimulainya pembahasan tentang hermeneutika di masa klasik.9
Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat
hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada awal
abad ke-17, kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk
membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami
bahasa kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu
oleh hermeneutika. Sebab itu, dalam posisi ini hermeneutika dianggap sebagai
metode untuk memahami teks kitab suci. Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah
awal dalam pertumbuhan hermeneutika, bahwa hermeneutika merupakan suatu
gerakan interpretasi (eksegesis) di awal perkembangannya.10
Istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh
seorang teolog Jerman bernama Johann Konrad Dannhauer pada sekitar abad
ke-17 dengan dua pengertian yaitu hermeneutika sebagai perangkat prinsip
metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari
sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Carl
Braathen merupakan filosof yang mengakomodasi kedua pengertian tersebut
menjadi satu dan menyatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang
merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi
yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang,
sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam
penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.11
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. F.D.E.
Schleiermacher dikenal sebagai “Bapak Hermeneutika Modern” yang pertama
kali berusaha membakukan hermeneutika sebagai satu metode umum
interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra, kemudian
Wilhelm Dilthey menerapkannya sebagai metode sejarah, lalu Hans Georg

9
Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, Jakarta: Kencana, 2016, h. 4-5.
10
Ibid, h. 5.
11
Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gur
Dur, Malang: UIN Maliki Press, 2010, h. 89.

5
Gadamer mengembangkannya menjadi filsafat, Paul Ricoeur menjadikannya
sebagai metode penafsiran fenomenologis-komprehensif. Lain dari itu
beberapa filosof post-strukturalis seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida
maupun Michel Foucault, mengembangkan sebentuk (kritik hermeneutik),
yaitu menganalisis proses pemahaman manusia yang sering terjebak
otoritarianisme, khususnya karena tercampurnya determinasi-determinasi
sosial, budaya, psikologis dalam kegiatan memahami. Lain dari itu perlu pula
disebut banyak tokoh lain yang memanfaatkan hermeneutika sebagai alat
bedah bagi disiplin keilmuan masing-masing, khususnya para pengkaji ilmu-
ilmu agama.12 Hingga akhir abad ke-20, hermeneutika dapat dipilah pada tiga
kategori, yaitu teori, filsafat dan kritik.13
Maulidin menggambarkan evolusi gagasan hermeneutika tampak dari
semakin dibutuhkannya meodologis, tidak hanya untuk menggarap tema-tema
keagamaan tetapi juga tema-tema kemanusiaan (humaniora). Pertanyaan
hermeneutika yang di angkatpun juga bergeser menjadi bagaimana menangkap
realitas yang terkandung dalam kitab suci seperti Bibel dan bagaimana
menerjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh manusia
modern.14
Menurut Howard, hermeneutika dalam kurun berikutnya, lingkupnya
berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh. Sebab,
tekstualitas yang menjadi arena beroperasinya kerja hermeneutika telah
diperluas maknanya. Teks bukan lagi semata merujuk kepada pengertian teks
ajaran agama (kitab suci), tetapi juga mencakup teks-teks lain. Bahkan definisi
teks dalam perkembangan hermeneutika lebih lanjut juga kian meluas, bukan
lagi teks tertulis tetapi juga lisan dan isyarat-isyarat dengan bahasa tubuh.
Karena itu, sikap diam seseorang misalnya juga bisa dianggap sebagai teks,
karena mengandung banyak interpretasi.15

12
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011, h. 6-7.
13
Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, Jakarta: Kencana, 2016, h. 6.
14
Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gur
Dur, Malang: UIN Maliki Press, 2010, h. 93.
15
Ibid, h. 93.

6
Hermeneutika mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan
persepsi dan model pemakaiannya yang muncul dari keragaman pendefinisian
dan pemahaman terhadap hermeneutika. Gambaran kronologis perkembangan
terhadap hermeneutika ini oleh Richard E. Palmer dibagi dalam enam kategori
yaitu: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu
pemahaman linguistik, (4) pondasi metodologis geisteswessenshaften, (5)
fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial dan (6) sistem
interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia
untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.16
Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk “menafsirkan”
berbagai kajian keilmuan, melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya,
harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang
ilmu sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci.17

C. Pendekatan Hermeneutika
Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang perbedaan jenis
hermeneutika ini, ada baiknya secara definitif ditegaskan lagi ketiga perbedaan
hermeneutika ini:
1. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami
Hermeneutika jenis pertama ini adalah hermeneutika teoritis.
Klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah
pemahaman yang akurat dan proposional. Hermeneutika ini
merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang
harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif.
Orang-orang yang dapat dipandang sebagai pelopor dalam hermeneutika
jenis ini adalah Schleiermacher, W. Dilthey dan juga Emilio Betti.
2. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman

16
Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, h. 38.
17
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011, h. 11-12.

7
Hermeneutika jenis kedua ini melangkah lebih jauh ke dalam dataran
filosofis, sehingga lebih dikenal sebagai hermeneutika filosofis.
Hermeneutika jenis kedua ini, fokus perhatiannya yang komprehensif, tetapi
jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam
aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya
termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian
terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai pra-syarat eksistensial
manusia. Heideger dan Gadamer bisa diletakkan sebagai representasi
kelompok kedua ini.
3. Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Hermeneutika jenis ketiga ini dapat dikatakan merupakan
pengembangan lebih jauh dari hermeneutika jenis kedua, bahkan dapat
dikatakan bahwa secara prinsipil obyek formal yang menjadi fokus
kajiannya adalah sama. Perbedaan hermeneutika jenis ketiga dengan
hermeneutika jenis kedua adalah penekanan hermeneutika jenis ketiga ini
terhadap determinasi-determinasi historis dalam proses pemahaman, serta
sejauh mana determinasi-determinasi dan hegemoni wacana, termasuk juga
penindasan-penindasan sosial, budaya, politk, akibat penguasaan otoritas
pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.18
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang
teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literaturnya. Lebih dari
itu, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan
horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut, horison yang
dimaksud adalah horizon teks, horison pengarang dan horizon pembaca.19
1. Horizon Teks, Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban mesir kuno adalah
metafisika, peradaban Yunani adalah Nalar Sejarah, peradaban Arab Islam
adalah sejarah peradaban teks (Khadarat Al-Nash) artinya merupakan
peradaban yang dasar-dasar keilmuan dan peradabannya muncul dan berdiri

18
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011, h. 7-10.
19
Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gur
Dur, Malang: UIN Maliki Press, 2010, h. 93.

8
atas prinsip yang tidak memungkinkan untuk melupakan sentralitas teks.
Oleh karena itu, dalam pendekatan hermeneutika bahasa sangat penting bagi
kehidupan manusia. Manusia dapat melakukan aktivitas seperti menulis,
membaca dan berfikir tidak lepas dari bahasa. Demikian juga dengan Al-
Qur’an, bahasa (teks) menjadi salah satu faktor penting dalam memahami
Al-Qur’an maupun hadis, sebab bahasa (teks) merupakan satu-satunya yang
digunakan untuk menyapa pembacanya. Al-Qur’an maupun sendiri
menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi yang dipakainya.
Menyadari pentingnya teks ini, maka langkah pertama dalam menafsirkan
Al-Qur’an adalah memahami teksnya yang berbahasa Arab. Dengan
memahami bahasa Arab, seorang penafsir akan memiliki bekal awal untuk
memahami makna, hikmah maupun hukum Al-Qur’an secara tepat. Oleh
karena itu, dari sudut teks ini terdapat tiga aspek yang harus dipahami, yakni
pertama dalam teks maksudnya, ide dan maksud teks tersebut lepas tersebut
lepas dari pengarang. Kedua, di belakang teks, teks merupakan hasil
kristalisasi linguitik dari realitas yang mengitarinya. Ketiga, di depan teks,
makna baru yang tercipta setelah pembaca dengan horizon yang dimilikinya
untuk memahami teks tersebut.20
2. Horizon Pengarang, ketika pengarang (Author) Al-Qur’an adalah Tuhan
yang transenden dan ahistoris maka ia diwakili oleh Muhammad saw. yang
diyakini umat Islam sebagai penafsir otoritatif atas Al-Qur’an. Relasi
Muhammad saw. dan Al-Qur’an dengan relasi historis ini dapat dilihat
beberapa hal berikut, Pertama tema-tema yang diusung Al-Qur’an seperti
doktrin monoteisme, keadilan sosial, ekonomi merupakan bagian
pengalaman religius Muhammad saw. yang orisinil. Kedua, reformasi yang
dilakukan nabi selalu dimulai dengan mempersiapkan dahulu landasan yang
kuat sebelum memperkenalkan suatu tindakan atau perubahan yang besar.
Ketika nabi masih tinggal di Makkah, nabi belum memiliki kekuasaan untuk
bertindak dalam sektor legilasi umum. Setelah tinggal di Madinah dan

20
Akmal Bashori, Pendekatan Hermeneutika: Sebuah Paradigma dan Kerangka Metodologi,
Makalah Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman, Semarang: Institut Agama Islam Negeri Wali Songo,
2013, h. 10.

9
memiliki wewenang administrasi dan politik, nabi baru membuat hukum-
hukum. Ketiga, Al-Qur’an selalu mempunyai konteks sosial (asbab al-
nuzul), karena Muhammad saw. hidup dan berinteraksi dengan masyarakat
Arab, maka menjadi keharusan bagi penafsir yang ingin memahami Al-
Qur’an untuk memahami pula dimensi historis-sosiologis yang menyertai
masyarakat Arab itu. Dengan demikian, untuk menangkap makna Al-Qur’an
secara komprehensif, maka seluruh aktivitas Muhammad saw. yang
merupakan penjabaran Al-Qur’an pada tingkat aktual harus dipahami secara
utuh. Berdasarkan narasi tersebut ada proses terciptanya sebuah teks:
a. Tahapan pengalaman atau gagasan yang belum termasukkan (prafigurasi)
b. Ketika author mulai menciptakan gagasannya (konfigurasi)
c. Tahap teks yang sudah diciptakan dan ditafsiri banyak orang
(transfigurasi).21
3. Horizon Pembaca, selain situasi sosial pada masa nabi, situasi sosial
masyarakat kontemporer yang mempengaruhi horizon pembaca, juga
merupakan hal yang penting untuk dipahami penafsir. Pemahaman ini akan
menjadi dasar untuk menerapkan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan
tujuan Al-Qur’an dalam kasus aktual secara tepat. Penafsir harus menguasai
dimensi yang membentuk situasi masyarakat kontemporer tersebut baik
ekonomi, politik, kebudayaan maupun yang lain, lalu menilainya dengan
mengubahnya sejauh yang diperlukan baru kemudian menentukan prioritas-
prioritas baru untuk biasa menerapkan Al-Qur’an secara baru pula.
Asumsinya, kehidupan masyarakat dewasa ini sudah sangat berbeda
dibandingkan dengan masyarakat Arab di zaman nabi, lebih-lebih setelah
arus modernism yang dihembuskan masyarakat barat setelah memasuki
dunia Islam. Saat ini umat manusia hidup dalam sebuah desa benua yang
terdiri dari berbagai bangsa yang berhubungan erat satu dengan yang
lainnya.22

21
Ibid, h. 10.
22
Ibid, h. 11.

10
Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan suatu upaya
pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstrusi dan reproduksi
makna teks, yang selain melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh
pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh
pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut
sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami.
Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika
memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran
yakni teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.23

D. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an


Khazanah Ulumul Qur’an sebagai sebentuk metodologi untuk menggarap
wilayah penafsiran dan pemaknaan terhadap Al-Qur’an harus diakui memiliki
tingkat sofistikasi yang luar biasa. Sifat luar biasa dari khazanah Ulumul
Qur’an ini terbukti dari berlimpahnya karya tafsir dengan berbagai pola, mulai
tahlili sampai maudhu’i dan mulai yang sekedar menafsirkan dengan mencari
sinonim kata dan ayat hingga yang melakukan ta’wil atau telah membuktikan
komprehensifnya Ulumul Qur’an tersebut dalam menjembatani jarak antara
mufassir dengan Al-Qur’an sehingga melahirkan berbagai khazanah tafsir.
Sampai disini mungkin kemudian orang akan menyimpulkan bahwa
sebenarnya Ulumul Qur’an saja telah cukup dan tidak perlu lagi tambahn-
tambahan metodologi baru semisal hermeneutika ini.
Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci,
keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci Al-
Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur Ilmu Tafsir kontemporer yang
menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman Al-Qur’an
menunjukkan betapa daya tarik hermeneutika memang luar biasa. Hassan
Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan
bahwa hermeneutika itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman,
tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat

23
Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gur
Dur, Malang: UIN Maliki Press, 2010, h. 90.

11
perkataan sampai ke tingkat dunia ilmu tentang proses wahyu dari huruf
sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari
pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.24
Sebenarnya, term khusus yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan
interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah “tafsir”. Kata yang asalnya
dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam
pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.
Sementara itu istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam,
khususnya tafsir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini
kalau melihat sejarah perkembangan hermeneutika modern mulai populer
beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi
informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual
muslim kontemporer. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya
Al-Qur’an: Pluralism and Liberation, praktek hermeneutik sebenarnya telah
dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-
Qur’an. Bukti dari hal itu adalah:
1. Problematika hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak
ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai
asbabun-nuzul dan nasakh-mansukh.
2. Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap Al-Qur’an
(tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai
munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
3. Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya
tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat dan lain
sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-
kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu,
maupun horison-horison sosial tertentu dari tafsir.25
Ketiga hal ini jelas menunjukkan adanya kesadaran akan historisitas
pemahaman yang berimplikasi kepada pluralitas penafsiran. Oleh karena itu,

24
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011, h. 12.
25
Ibid, h. 12-13.

12
meskipun tidak disebut secara definitif, dapat dikatakan corak hermeneutik
yang berasumsi dasar pluralitas pemahaman ini sebenarnya telah memiliki
bibit-bibitnya dalam Ulumul Qur’an klasik.26
Operasional hermeneutika modern dalam penafsiran Al-Qur’an bisa
dikatakan dirintis oleh para pembaharu muslim, seperti di India dikenal Ahmad
Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan
demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat
mitologis, seperti mengenai mukjizat dan hal-hal ghaib. Di Mesir muncul
Muhammad Abduh yang secara operasional melakukan operasi hermeneutik
dengan bertumpu pada analisis sosial-kemasyarakatan. Meskipun demikian,
rumusan metodologis mereka ini tidak sistematis dan tidak terlalu jelas.27
Mulai dekade 1960-1970-an, muncul tokoh-tokoh yang mulai serius
memikirkan persoalan metodologi tafsir ini. Hasan Hanafi mempublikasikan
tiga karyanya yang bercorak hermeneutik, yang pertama berkaitan dengan
upaya rekonstruksi ilmu ushul fiqih, yang kedua berkaitan dengan
hermeneutika fenomenologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan
keberagamaan, dan yang ketiga berhubungan dengan kajian kritis terhadap
hermeneutika eksistensial dalam kerangka penafsiran Perjanjian Baru.
Mohammed Arkoun dari Aljazair menelorkan idenya mengenai “cara baca”
semiotik terhadap Al-Qur’an dan Fazlur Rahman merumuskan metode
hermeneutika yang sistematik terhadap Al-Qur’an dan dikenal sebagai “double
movement”.28
Dewasa ini telah banyak pemerhati Al-Qur’an yang melakukan kritik
historis dan linguistik yang menjadi ciri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan
yang mengangkut bidang ini banyak bermunculan, baik dari kalangan outsider
maupun dari kalangan umat Islam sendiri. Diantara tulisan-tulisan tersebut
misalnya Qur’anic Hermeneutic: The Views of Al-Tabari and Ibn Katsir karya
Jane Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit pada
horison sosialnya, lalu tulisan Azim Nandji yang membahas tentang teori

26
Ibid, h. 14.
27
Ibid, h. 14.
28
Ibid, h. 14-15.

13
ta’wil dalam tradisi keilmuan Isma’ili yang banyak membantu dalam kritik
sastra, juga Nasr Hamid Abu Zayd yang dengan intensif menggeluti kajian
hermeneutik dalam tafsir klasik.29
Apa yang dilakukan oleh Fazlurrahman, Arkoun, Abu Zayd yang lainnya
adalah contoh-contoh bagaimana “mengolah” Al-Qur’an dengan hermeneutika.
Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan satu
metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa dan kemudian
melangkah kepada analisa konteks, untuk selanjutnya “menarik” makna yang
didapat ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut
dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks Al-Qur’an,
maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-
Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan
dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.30
Sehubungan dengan pendekatan hermeneutika modern terhadap Al-
Qur’an, maka perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam
penafsirannya, yaitu:
1. Para penafsir itu adalah manusia
Siapapun orangnya yang menafsirkan teks kitab suci itu, ia tetaplah
manusia biasa yang lengkap dengan segala kekurangan, kelebihannya dan
kesementaraannya karena terikat oleh ruang dan waktu tertentu. Dengan
asumsi ini diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia itu tidak akan
bisa melepaskan diri dari ikatan historis kehidupan dan pengalamannya,
dimana ikatan tersebut sedikit banyak akan membawa pengaruh dan
mewarnai corak penafsirannya. Asumsi ini dimaksudkan untuk tidak
memberikan vonis “mutlak” benar atau salah kepada suatu penafsiran,
namun lebih mengarah untuk melakukan pemahaman dan analisa yang kritis
terhadap satu penafsiran.
Para penafsir adalah manusia yang membawa “muatan-muatan”
kemanusiaan masing-masing. Setiap generasi muslim sejak Nabi

29
Ibid, h. 15.
30
Ibid, h. 15.

14
Muhammad saw., sambil membawa “muatan”-nya itu, telah memproduksi
komentar-komentar mereka sendiri terhadap Al-Qur’an. Tidaklah
mengherankan jika akhirnya ada beragam interpretasi dari setiap generasi.
2. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi
Segala aktifitas penafsiran pada dasarnya merupakan satu partisipasi
dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang berlaku, dimana partisipasi
ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan umat Islam dengan
Al-Qur’an juga berada dalam “kurungan” ini. Seseorang tidak mungkin bisa
melepaskan diri dari bahasa, budaya dan tradisi dimana mereka hidup. Para
pemikir reformis sering menyatakan bahwasanya krisis yang terjadi di dunia
Islam serta ketidakmampuan umat Islam untuk memberikan satu kontribusi
yang berguna bagi dunia kontemporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan
keluar yang dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah dengan
meninggalkan ikatan tradisi dan “kembali kepada Al-Qur’an”. Pernyataan
tersebut sebenarnya tidak selaras sepenuhnya mandiri berdasarkan teks,
tetapi pasti terkait dengan muatan historisnya, baik muatan historis saat teks
itu muncul dan saat teks itu ditafsirkan.
3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri
Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan Al-Qur’an itu
nampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai Al-Qur’an. Hal
ini nampak pula misalnya dalam pembedaan antara ayat-ayat makkiyah dan
ayat-ayat madaniyah. Hubungannya dengan proses pewahyuan, bahasa dan
isi di satu sisi, serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi
yang lain, Al-Qur’an tidaklah “unik”. Wahyu selalu saja merupakan
komentar terhadap (setidaknya harus dipahami dalam kerangka) kondisi
masyarakat tertentu dimana wahyu itu turun.31
Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dan dapat dikatakan
membawa sebuah perspektif baru dalam (Ilmu Tafsir Al-Qur’an) adalah
berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman yang berasal dari para tokoh
hermeneutika filosofis dan kritis. Kesadaran akan adanya berbagai determinasi

31
Ibid, h. 15-17.

15
yang turut menentukan sebuah proses pemahaman, baik determinasi tersebut
berasal dari wilayah sosial, budaya, politik maupun psikologis. Determinasi-
determinasi ini pada akhirnya akan mengeliminasi setiap pemahaman dan
penafsiran yang merasa (obyektif, tanpa kepentingan, pasti benar). Seperti
apapun jenis pemahaman dan penafsiran manusia, di balik pemahaman tersebut
pasti ada kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan untuk merebut
wacana, kepentingan untuk mempertahankan status-quo, agar pemaknaan dan
pemahaman berjalan seperti sedia kala atau apa yang dilakukannya adalah
sesuatu yang benar. Kenyataan seperti ini tidak perlu dirisaukan selama
perebutan pemaknaan dan kompetensi pemahaman tersebut berjalan dalam satu
ruang publik yang sehat dan tidak ada pihak-pihak yang dengan kekuasaannya,
baik kekuasaan politik, sosial, budaya, melakukan hegemoni pemaknaan dan
meminggirkan segala pemaknaan lain yang tidak mendukungnya.32

32
Ibid, h. 21-22.

16
BAB III

ANALISIS
(HERMENEUTIKA DAN TAFSIR AL-QUR’AN)

Setelah mengetahui definisi hermeneutika, sejarah, pendekatan, hermeneutika


dan tafsir Al-Qur’an, di makalah ini penulis menganalisa bahwa hermeneutika
memang menawarkan sesuatu yang sangat menarik dalam wacana penafsiran
kitab suci. Pola penafsiran yang ditawarkannya di satu sisi mengungkap asumsi-
asumsi metodologis yang “manusiawi” karena tidak hanya memperhatikan isi
teks, tetapi juga mempertimbangkan keberadaan konteks yang melingkupi teks
tersebut, baik konteks psikologis maupun konteks sosial. Di sisi lain,
hermeneutika membuka jalan bagi upaya kontekstualisasi kitab suci sehingga
dapat berdialog dan operasional-fungsional dalam berbagai ruang dan waktu yang
berbeda, sebagaimana yang diidamkan dan dipegangi secara apologis oleh banyak
kalangan umat beragama terhadap kitab sucinya masing-masing.
Meskipun wacana hermeneutika sendiri harus dikatakan sangat plural dan
beragam, baik dari aspek tokoh-tokohnya maupun dari segi pola-pola aplikasinya,
tetapi secara umum hermeneutika tidak pernah melepaskan diri dari ketiga
komponen pokoknya, yaitu teks, konteks dan kontekstualisasi yang diidealkan
beroperasi secara sinergis dalam memahami, menafsirkan sekaligus melakukan
produksi makna baru sesuai dengan realitas ruang dan waktu kontekstual,
khususnya ketika diaplikasikan sebagai media untuk memahami kitab suci.
Pro kontra hermeneutika tidak dapat dipungkuri bahwa kemunculan
hermeneutika dalam kajian Al-Qur’an menjadi kontroversial di kalangan umat
muslim. Disini penulis akan memaparkan sedikit mengapa sebagian dari kalangan
muslim menolak hermeneutika dalam mengkaji Al-Qur’an:
1. Hermeneutika berasal dari penafsiran terhadap mitos Yunani, yang dianggap
sebuah desakan rasionalisasi terhadap sebuah mitos yang kemudian hal ini
menemukan relevansinya dalam kitab Bibel, sehingga penggunaan
hermeneutika dari tradisi Yunani dianggap untuk mempertahankan status Bibel

17
sebagai kitab suci. Sementara itu Bibel dianggap bermasalah dengan persoalan
otentisitas, karena dicampuri oleh tangan manusia.
2. Hermeneutika juga tidak berurusan dengan sifat hubungan antara Tuhan dan
Rasul-Nya dan bagaimana Nabi menerima wahyu tersebut, melainkan dengan
kata-kata yang diturunkan dalam sejarah dan disampaikan dari satu manusia
kepada manusia lain. Dengan demikian hermeneutika melihat kata-kata
tersebut bukan dalam dimensi vertikalnya, tetapi dalam dimensi horizontalnya.
3. Hermeneutika lebih mengutamakan rasio/akal dan mencurigai segala sesuatu
sehingga membutuhkan riset untuk membuktikan kebenaran. Jika kita
menerima hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an maka akan muncul sikap
syak (ragu) pada setiap kebenaran Al-Qur’an.
Tafsir Al-Qur’an dianggap lebih mempunyai tradisi yang kuat, karena sumber
primer tafsir dalam Islam adalah Al-Qur’an, Rasulullah saw. dan sahabat. Tafsir
yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang
jelas. Rasulullah saw. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh
Allah swt. kepada para sahabat. Para sahabat mendirikan madrasah-madrasah
tafsir sebagai wadah untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan
syarat-syarat mufassir.

18
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam
hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Objek kajian utamanya
adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan
variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang
mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan
memungkinkan makna itu muncul.
Sejarah hermeneutika berawal dari ditemukannya buku Peri Hermeneias
karya Aristoteles. Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan
agamawan gereja untuk membongkar makna teks Injil. Istilah hermeneutika
sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog Jerman
bernama Johann Konrad Dannhauer pada abad ke-17. Abad ke-20, F.D.E.
Schleiermacher dikenal sebagai “Bapak Hermeneutika Modern” yang pertama
kali berusaha membakukan hermeneutika sebagai satu metode umum
interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra, kemudian
Wilhelm Dilthey menerapkannya sebagai metode sejarah, lalu Hans Georg
Gadamer mengembangkannya menjadi filsafat, Paul Ricoeur menjadikannya
sebagai metode penafsiran fenomenologis-komprehensif. Hingga akhir abad
ke-20, hermeneutika dapat dipilah pada tiga kategori, yaitu teoritik, filosofis
dan kritik.
Jenis hermeneutika ada tiga yaitu hermeneutika yang berisi cara untuk
memahami (teoritis), hermeneutika yang berisi cara untuk memahami
pemahaman (filosofis), hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi
pemahamann (kritik). Hermeneutika memiliki horison-horison (cakrawala)
yang melingkupi teks tersebut yaitu horizon teks, horison pengarang dan
horizon pembaca.
Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dan dapat dikatakan
membawa sebuah perspektif baru dalam (Ilmu Tafsir Al-Qur’an) adalah

19
berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman yang berasal dari para tokoh
hermeneutika filosofis dan kritis. Kesadaran akan adanya berbagai determinasi
yang turut menentukan sebuah proses pemahaman, baik determinasi tersebut
berasal dari wilayah sosial, budaya, politik maupun psikologis. Determinasi-
determinasi ini pada akhirnya akan mengeliminasi setiap pemahaman dan
penafsiran yang merasa (obyektif, tanpa kepentingan, pasti benar).
B. Saran-Saran
Saran dari penulis dari makalah ini yaitu kesadaran ala hermenutika kritis
inilah nantinya diharapkan bisa muncul dan berkembang sikap inklusif dan
toleran menghadapi keragaman. Disinilah kiranya hermeneutika memberikan
pelajaran bahwa sebenarnya setiap ide, pemikiran maupun penafsiran itu sangat
dipengaruhi oleh konteks dan misi serta kepentingan dari sang penafsir,
sehingga sangat tidak bijaksana untuk menyalahkan “yang lain” dan
membenarkan dirinya sendiri secara apriori, karena betapapun adanya, baik
pikiran “yang lain” maupun pikiran sendiri itu sangat ditentukan oleh konteks
masing-masing.

20
DAFTAR PUSTAKA
Bashori, Akmal, Pendekatan Hermeneutika: Sebuah Paradigma dan Kerangka
Metodologi, Makalah Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman, Semarang:
Institut Agama Islam Negeri Wali Songo, 2013.

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial,


Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011.

Palmer, Richard E., Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Raharjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana


Politik Gur Dur, Malang: UIN Maliki Press, 2010.

Susanto, Edi, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, Jakarta: Kencana, 2016.

Wijaya, Aksin, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis


Hermeneutis, Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009.

Anda mungkin juga menyukai