Anda di halaman 1dari 43

Pemikir Ekonomi Islam

TOKOH EKONOMI ISLAM : Pokok-Pokok Pemikiran Imam Abu Yusuf (113 – 182 H / 731 – 798 M )
by Budi darmawan 26 Januari 2016 0 comment 2670 views
TOKOH EKONOMI ISLAM : Pokok-Pokok Pemikiran Imam Abu Yusuf
(113 – 182 H / 731 – 798 M )

Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad SAW dipilih menjadi seorang
Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya,
Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata ekonomi negara.
Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai
dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah,
sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan
kontribusi yang sangat berharga sejak berabad-abad yang lampau. Walaupun, pada kenyataannya para
cendekiawan tersebut tidak memfokuskan pemikirannya dalam kajian ilmu ekonomi. Keadaan ini
mengantarkan Islam pada masa kejayaannya dimana telah banyak memberikan sumbangsih yang sangat
besar terhadap peradaban dunia.
Salah satu pemikir ekonomi Islam pada masa klasik adalah Abu Yusuf.
I.Latar belakang sosial
Nama lengkap Abu Yusuf adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al Ansari. Ia lahir di Kufah, Irak pada tahun
731 M (113 H). Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut Ansari
karena dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam pertama dan
penolong Rasulullah SAW di Madinah). Sejak Abu Yusuf masih kecil, beliau mempunyai minat ilmiah
yang tinggi, tetapi karena keadaan ekonomi keluarganya yang lemah, maka beliau bekerja mencari
nafkah.
Dalam belajar, beliau sangat gigih dan menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlulhadis dan
ahlurra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadist. Hingga kemudian beliau mendalami ilmu fiqh yang
dipelajarinya pada Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila atau Ibnu Abi Laila. Kemudian beliau
belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Karena melihat bakat dan semangat serta
ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua
keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan
agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.
Hadist yang diriwayatkannya diperoleh dari guru-gurunya, antara lain Abi Ishaq al Syaibani, Sulaiman al
Taymi, Yahya bin Said al Ansari, A’masi, Hisyam bin Urwah, Ata’ bin Sa’ib, dan Muhammad Sihaq bin
Yasir.
Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan
Imam Abu Hanifah. Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang
jabatan apapun dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu
Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal itu membuat karier
keilmuannya tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M beliapun meninggalkan Kufah dan
pergi ke Baghdad. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang hingga beliau memegang jabatan dalam
kehakiman.
Abu Yusuf meninggal pada tahun 182 H/798 M.
II. Capaian Karir
Abu Yusuf adalah seorang mufti pada masa kekhalifahan Harun al Rasyid. Jabatan penting yang pernah
diamanahi pada Abu Yusuf :
1. Pada tahun 159-169 H/775-785 M Abu Yusuf diangkat sebagai hakim oleh Khalifah Abbasiyah, al
Mahdi di Baghdad Timur. Jabatan ini terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan al Hadi pada tahun
169-170 H/785-786 M. Jabatan yang dipegangnya pada masa ini hanya memberi wewenang kepadanya
untuk memutuskan perkara yang diajukan serta memberi fatwa bagi yang membutuhkannya.
2. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar Rasyid, tahun 170-194 H/786-809 M, beliau menjabat
sebagai ketua para hakim (Qadi al Qudah, seperti ketua Mahkamah Agung pada masa sekarang)
pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak Bani Umayyah sampai pada masa
Khalifah al Mahdi dari Daulah Abbasiyah. Pada masa ini, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai
hakim lebih luas, yaitu disamping memutuskan perkara, juga bertanggungjawab menyusun materi
hukum yang diterapkan oleh para hakim. Wewenangnya yang paling penting adalah mengangkat para
hakim di seluruh negeri.
III. Keahlian Bidang
Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih. Karena kertertarikan beliau dalam bidang fikih,
beliaupun belajar pada Imam Abu Hanifah. Ketekunan dalam belajar membuat Abu Yusuf menyusun
buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian fikih yang beredar pada masa itu. Dalam
lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab
Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai negeri seiring dengan perkembangan
Mazhab Hanafi.
Beliaupun banyak mempelajari hadist dan meriwayatkan hadist. Banyak diantara para ahli hadist yang
memuji kemampuannya dalam periwayatan hadist.
IV. Pokok-pokok Pemikiran dalam Bidang Ekonomi
Sejak awal, pemikiran ekonomi Islam terfokus pada penekanan terhadap tanggung jawab penguasa.
Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat yang panjang yang dikirimkannya kepada khalifah
Harun ar-Rasyid. Abu Yusuf menyatakan bahwa :
Anda tidak diciptakan dengan sia-sia dan tidak akan dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Allah akan
menanyakan Anda mengenai segala sesuatu yang Anda miliki dan apa yang Anda lakukan terhadapnya.
Atas permintaan khalifah Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf menyusun Kitab al-Kharaj untuk digunakan sebagai
pedoman dalam pelaksanaan sistem perpajakan yaitu menghimpun pemasukan atau pendapatan
negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah.
Kharaj adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah yang
ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilikan mengadakan perjanjian damai dengan pasukan
muslim.
Ushr adalah zakat atas hasil pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada pedagang muslim maupun
non muslim yang melintasi wilayah Daulah Islamiyah, yang dibayar hanya sekali dalam setahun. Untuk
pengelolaan zakat pertanian ditentukan sebagai berikut, jika pengelolaan tanah menggunakan teknik
irigasi ditentukan 5 persen dan jika pengelolaan tanah menggunakan teknik irigasi tadah hujan
ditentukan 10 persen. Bea cukai untuk pedagang muslim dikenakan 2,5 persen sedangkan untuk orang-
orang yang dilindungi dikenakan 5 persen.
Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim yang hidup di negara dan pemerintahan
Islam sebagai imbalan atas perlindungan hukum, kemerdekaan, keselamatan jiwa dan harta mereka.
Dalam Kitab al-Kharaj pemikiran Abu Yusuf mencakup berbagai bidang, antara lain:
Tentang pemerintahan, dimana Abu Yusuf mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang
raja yang dapat berbuat secara diktator. Seorang khalifah adalah wakil Allah yang ditugaskan dibumi
untuk melaksanakan perintah Allah. Oleh karena itu, harus bertindak atas nama Allah SWT. Dalam
hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah
fikih yang sangat popular, yaitu tasarruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manutun bi al-maslahah (setiap
tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka).
Tentang keuangan, Abu Yusuf menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat
Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
Tentang pertanahan, Abu Yusuf berpendapat bahwa tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik
kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
Tentang perpajakan, Abu Yusuf berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi
kebutuhan rakyat dan ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.
Tentang peradilan, Abu Yusuf mengatakan bahwa suatu peradilan adalah keadilan yang murni,
menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat (sesuatu yang tidak pasti). Kesalahan
dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum
Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi menitikberatkan pada bidang perpajakan dan
tanggung jawab negara dalam bidang ekonomi. Sumbangan pemikirannya terletak pada pembuktian
keunggulan pajak berimbang terhadap sistem pemungutan tetap atas tanah, keduanya ditinjau dari segi
pandangan dan keadilan.
Terkait dengan keadilan, kepada khalifah Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf mengatakan :
Mengantarkan keadilan kepada mereka yang disakiti dan menghapuskan kezaliman akan meningkatkan
penghasilan, mempercepat pembangunan negara, dan membawa keberkahan, disamping mendapatkan
pahala di akhirat.Dalam teori yang lain, Abu Yusuf juga menunjukkan sejumlah aturan-aturan yang
mengatur perpajakan, seperti kemampuan untuk membayar, kebijakan dalam penentuan waktu
pemungutan serta pemusatan pengambilan keputusan dalam pengadministrasian pajak.
Abu Yusuf menganjurkan model pajak yang proporsional atas hasil produksi tanah yang dianggapnya
sebagai metode yang jujur dan seimbang bagi kedua belah pihak dalam keadaan hasil panen yang baik
maupun yang buruk. Seperti dalam kasus kharaj, apabila nilai pajak tetap sementara terjadi penurunan
produksi, maka ada kemungkinan membebani si wajib pajak yang akan mengakibatkan negara
kehilangan penghasilan potensial yang sangat baik. Karena pada saat itu si wajib pajak tadi akan
membayar sejumlah uang yang sangat tinggi, itu akan merugikan kepentingannya. Begitupun sebaliknya,
apabila terjadi peningkatan produksi, nilai pajak yang tetap itu akan menjadi rendah dan tidak sesuai
dengan kebutuhan negara dalam melaksanakan administrasinya.
Dalam hal pemungutan dan pengadministrasian pajak, ada sejumlah departemen yang
bertanggungjawab dalam menangani berbagai pungutan pajak dan keuangan. Dan Baitul Mal sebagai
pusat atau koordinator dari departemen tersebut, yang merupakan kantor perbendaharaan dan
keuangan negara, yang dikenal sejak awal Islam.
Dalam pandangannya tentang masalah tanah dan pertanian, Abu Yusuf mengemukakan dalam Kitab al-
Kharaj:
Menggarap tanah tak produktif sangat dihargai oleh Rasulullah SAW dan menyia-nyiakannya sangat
tidak disukai. Itu mengikuti hadist Rasulullah SAW: “Pemilik asli tanah itu adalah Allah SWT dan
Rasulullah SAW dan kalian sesudah itu. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati (tak digarap)
merupakan perbuatan yang amat mulia.
Untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan
lahan pertanian, Abu Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi
pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
Abu Yusuf juga memberikan pandangannya terhadap mekanisme pasar. Abu Yusuf menyatakan dalam
Kitab al-Kharaj:
Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang
mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian
juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.
Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit
tetapi murah.
Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan
timbal balik antara penawaran dan harga. Pendapat umum yang berkembang saat ini menyatakan
apabila barang yang tersedia sedikit maka kemungkinan harganya pun akan mahal begitupun sebaliknya,
apabila jumlah barang yang tersedia banyak, maka harganya akan murah. Namun, pada kenyatannya
terbentuknya harga dalam pasar tidak hanya bergantung pada segi penawaran saja, tetapi juga
bergantung pada kekuatan permintaan.
Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf adalah pada masalah pengendalian harga (tas’ir).
Beliau menentang penguasa yang menetapkan harga. Seperti dikemukakan beliau dalam Kitab al-Kharaj
bahwa hasil panen pertanian yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan
sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung.
Muh. Nejatullah Siddiqi, seorang pakar ekonomi Islam, berpendapat bahwa penjelasan Abu Yusuf
tentang hubungan antara penyediaan barang dan harga tidak dibahas secara mendalam dan nasihatnya
terhadap aturan yang menentang pengawasan harga yang tidak diimbangi dengan penjelasan secara
menyeluruh mengenai permasalahan tersebut.
Muh. Nejatullah Siddiqi, berkesimpulan bahwa pandangan Abu Yusuf terletak pada penekanan atas
pekerjaaan umum, seperti dalam bidang penyediaan sarana irigasi dan jalan raya. Dia juga menyarankan
sejumlah aturan dalam hal pengukuran jaminan pembangunan untuk memajukan sektor pertanian.
V. Karya
Disela-sela kesibukannya sebagai murid, guru, hakim dan sebagai pejabat penting dalam kehakiman,
Imam Abu Yusuf masih sempat menulis berbagai buku yang berpengaruh besar dalam memperbaiki
system pemerintahan dan peradilan serta penyebaran Mazhab Hanafi. Beberapa diantara karyanya
adalah sebagai berikut :
1. Kitab al-Asar, yang memuat hadist yang diriwayatkan beliau dari ayah dan gurunya. Dari hadist-hadist
tersebut ada yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, ada yang sampai kepada
sahabat, dan ada pula yang sampai kepada tabiin.
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Laila, yang mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abi
Laila serta perbedaan pendapat mereka. Juga memuat kritik keras Imam Abu Hanifah terhadap
ketetapan peradilan yang dibuat oleh Ibnu Abi Laila dala memutuskan perkara.
3. Kitab ar-Radd ‘ala Siyar al-Auza’i. Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan pendapat
Abdurrahman al-Auza’i tentang masalah perang dan jihad.
4. Kitab al-Kharaj, yang merupakan kitab terpopuler diantara karya-karya Abu Yusuf. Didalam kitab ini,
beliau menuangkan pemikiran fikihnya dalam berbagai aspek, diantaranya seperti keuangan negara,
pajak tanah, pemerintahan, dan musyawarah.
Selain kitab-kitab diatas, menurut Ibnu Nadim (wafat 386 H/995 M), seorang sejarawan, masih banyak
buku yang disusunnya. Diantaranya Kitab as-Salah (mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat),
Kitab as-Siyam (mengenai puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab al-Fara’id (mengenai waris),
dan Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat). Abu Yusuf juga menulis Al Jawami, buku yang sengaja ditulis
untuk Yahya bin Khalid.
VI.Kesimpulan
Ekonomi Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi dunia.
Hanya saja, kenyataan bahwa ekonomi Islam pernah mengalami masa kejayaan selama beberapa abad,
dibelokkkan oleh pemikiran kapitalis. Padahal jauh sebelum adanya pemikiran kapitalis, sejumlah
pemikir Islam telah memberikan sumbangan pemikirannnya yang sangat besar terhadap ekonomi dunia,
walaupun para pemikir Islam tersebut berasal dariberbagai disiplin ilmu yang berbeda.
Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi terfokus pada bidang perpajakan dan pengolahan
lahan pertanian, yang dituangkannya dalam Kitab al-Kharaj. Selain itu, beliau juga memberikan
pendapatnya dalam hal mekanisme pasar terhadap permintaan dan penawaran harga. Abu Yusuf
memberikan pandangan yang singkat, jelas, dan padat dalam permasalahan ekonomi.
Dalam masalah perpajakan, Abu Yusuf menganjurkan sistem pajak yang proporsional, seimbang dan
berdasarkan prinsip keadilan.
Dalam masalah pertanian, untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan
fasilitas dalam perluasan lahan pertanian, Abu Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil
bagian dari hasil produksi pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
Dalam hal mekanisme pasar, Abu Yusuf memberikan pandangan yang berbeda dengan pendapat umum,
dimana harga yang mahal bukan berarti terdapat kelangkaan barang dan harga yang murah bukan
berarti jumlah barang melimpah, tetapi ada variabel-variabel lain yang menentukan pembentukan
harga. Abu Yusuf juga menentang penguasa menentukan harga.

Biografi Abu Yusuf


Nama asli Abu Yusuf adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad al-Anshari al-Jalbi
al-Kuhfi al-Baghdadi, lahir di Kufah pada tahun 133 H atau 731 M dan wafat di Baghdad pada tahun 182
H atau 798 M. Abu Yusuf belajar dari banyak ulama besar, antara lain seperti : Abu Muhammad Atho bin
as-Saib al-Kufi, Sulaiman bin Mahran al-A’masy, Hisam bin Urwah, Muhammad bin Abdurahman bin Abi
Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu juga belajar dengan
Abu Hanifah selama 17 tahun. meskipun ia sebagai murid Abu Hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil
pendapat Abu Hanifah. Diantara murid-muridnya yang menjadi tokoh besar antara lain : Muhammad bin
al-Hasan al-Syaibani, Ahmad bin Hambal, Yazid bin Harun al-Washiti, al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lui, dan
Yahya bin Adam al-Qarasy. Di sisi lain, sebagai salah satu bentuk penghormatan dan Pengakuan
pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, Khalifah Dinasti Abasiyah, Harun ar-Rasyid,
mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhah). Beberapa karya tulisnya
yang terpenting adalah, al-Jawami’, ar-Radd ala Siyar al-Auza’i, al-Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi
Laila, Adab al-Qadhi, dan al-Kharaj. Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah Kitab al-
Kharaj (buku tentang perpajakan). Penulisan kitab al-Kharaj versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah
dan pernyataan Khalifah Harun ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. jizyah, dan
shodaqah, yang dilengkapi dengan cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis
harta tersebut sesuai dengan syariah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliah (al-Qur’an dan Hadits) dan
aqilah (rasional). Sekalipun berjudul al-Kharaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan
tentang al-Kharaj, melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan negara lainnya, seperti
ghanimah, fai, kharaj, ushr, jizyah, dan shodaqah, yang dilengkapi dengan cara bagaimana
mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syariah Islam
berdasarkan dalil-dalil naqliah (al-Qur’an dan Hadits) dan aqilah (rasional).
Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf
Pandangan Abu Yusuf menekankan memenuhi pentingnya kebutuhan rakyat dan mengembangkan
berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Mengenai tentang pengadaan fasilitas
infrastruktur, Abu Yusuf menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat
meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat
bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, harus ditanggung oleh negara.
Pemikiran Abu Yusuf yang berkaitan dengan pengadaan barang-barang publik tersebut jelas menyatakan
bahwa proyek irigasi sungai-sungai besar yang manfaatnya digunakan untuk kepentingan umum harus
dibiayai oleh negara. Abu Yusuf menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang jujur dan amanah
dalam berbagai tugas. Dalam kerangka lain pula, Abu Yusuf berpendapat bahwa negara harus
memberikan upah dan jaminan di masa pensiun kepada mereka dan keluarganya yang berjasa dalam
menjaga wilayah kedaulatan Islam atau mendatangkan sesuatu yan baik dan bermanfaat bagi kaum
muslim.
Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas selama berabad-abad, dikenal dengan canons
of taxtion. Prinsip tersebut antara lain : kesanggupan membayar pajak, pemberian waktu yang longgar,
bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak. Sebuah studi
perbandingan menunjukkan bahwa, beberapa abad sebelum keuangan publik dipelajari secara
sistematis di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan
kenyamanan dalam membayar pajak. Dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung negara
menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa
dari lahan pertanian. Cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar
dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih
merekomendasikan penggunaan sistem Muqasamah (Proporsional Tax) daripada sistem Misahah (fixed
Tax) yang telah berlaku sejak masa pemerintahan Khalifah Umar hingga periode awal pemerintahan
Dinasti Abasiyah.
Terhadap administrasi keuangan, Abu Yusuf mempunyai pandangaan berdasarkan pengalaman
praktis tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi. Penekanannya pada sifat
adminitrasi pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sistem
pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara
lumpsum kepada negara dan sebagai imbalannya, penjamin tersebut memperoleh hak untuk
mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa
yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan kepada negara. Setelah beliau membahas mengenai
sistem pajak yang baru, beliau mengatur teknis ukuran pajak yang wajib dikeluarkan oleh wajib pajak
(tax payer) dengan sistem muqasamah, beliau menyatakan : Aku berpendapat wahai Amirul Mukminin,
bahwa tanah pertanian penghasil gandum dan jelai yang irigasinya alami, maka dikenai pajak 2/5
adapun yang teririgasi dengan menggunakan alat maka dikenai pajak 1/5,5. Adapun buah kurma,
anggur, ruthab (kurma muda), dan perkebunan, maka dikenai pajak sebesar 1/3, dan perkebunan
tersebut di saat musim panas dikenai pajak sebesar 1/3 dan perkebunan tersebut di saat musim panas
dikenai pajak sebesar 1/4 (dari hasil panen), pengambilan pajak tersebut tidak boleh dengan kira-kira.
Jika hasil panen tersebut dijual kepada pedagang, maka pajaknya senilai dengan yang telah ditentukan,
jangan sampai para wajib pajak terbebani dan pemerintah pun jangan sampai rugi, maka ambilah dari
wajib pajak yang sesuai denga kewajibannya, apapun pilihannya, yang terpenting meringankan bagi
wajib pajak. Jika nilai dari jual hasil panen lebih meringankan, maka lakukanlah.
Melimpahnya hasil pertanian pada saat itu di Irak dan meledaknya industri dalam negeri,
mengakibatkan berkembangan transaksi perdagangan internasional, para pedagang berpikir untuk
mengekspor barang dagangan ke pasar internasional. Agar tidak terjadi over supply di dalam negeri.
Adapun di dalam sistem perdagangan internasional ada sistem usyr atau bea cukai seperti yang sudah
diterapkan Umar bin Khatab. Kemudian Abu Yusuf melanjutkan peraturan tersebut, dari pernyataan
beliau dapat disimpulkan :
Besaran pajak yang dikenakan adalah 2,5% bagi muslim, 5% bagi ahl dzimah, dan 10% bagi ahl harbi.
Jika kaum muslimin melintasi pos be cukai dengan membawa barang dagangan dan bersumpah telah
membayar zakat, maka 2,5% yang menjadi usyr tidak lagi dikenakan, karena usyr bagi kaum muslim
adalah zakat.
Barang yang diharamkan oleh Islam, lalu dibawa oleh orang kafir baik dzimmi maupun harbi, tetap
dikenakan pajak jika nilainya mencapai atas minimal wajip pajak (200 dirham), karena barang-barang
tersebut merupakan barang bernilai bagi mereka, walaupun bagi kaum muslim tidak bernilai.
Batas minimal jumlah barang dagangan yang dikenakan pajak atau bea cukai adalah 200 dirham.
Pajak bea cukai hanya dikenakan bagi yang melintas dengan barang dagangan, bukan barang pribadi
yang dapat

Abu Yusuf membantah statment “tidak selalu terjadi bahwa bila persediaan barang sedikit maka
harga akan mahal, dan bila persediaan barang melimpah harga akan murah”. Di lain pihak Abu Yusuf
juga menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi, tetapi di tidak menjelaskan
lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan dan jumlah uang yang beredar di
suatu negara atau penimbunan dan penahanan barang atau semua hal tersebut.
Relevansi Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf
Relevansi terhadap pendapatan negara

Pemikiran Abu Yusuf tentang berbeda dengan PBB (Pajak Bumi dan Banggunan) yang diterapkan di
Indonesia, kharaj dikenakan pada lahan pertanian. Sedangkan PBB ialah pajak yang dikenakan untuk
semua jenis tanah, baik yang digunakan untuk pertanian maupun banggunan. Apabila digabungkan
dengan pemikiran Umar bin Khatab dengan sistem misahah, maka ditinjau dari karakter yang agraris
akan sangat potensial untuk meraup pajak secara optimal. Perbedaan kharaj dengan PBB terletak pada
pembayarnya (tax payer). Kharaj pada hukum Islam asalnya adalah pajak yang diperlakukan orang kafir.
Apabila yang punya tanah masuk Islam maka yang dipungut bukanlah kharaj, tetapi zakat pertanian atau
usyr pertanian.

Sistem pemungutan pajak di Indonesia menggunakan sistem self assessment, yaitu sistem
pemungutan pajak yang diberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkann sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar. Sistem ini ikut menyuburkan praktik korupsi pajak. Maka sistem yang ditawarkan Abu Yusuf
masih sangat relevan, karena beliau menolak sistem qabalah yang menimbulkan kedzaliman. Di negara
Indonesia terjadi kekacauan manajemen pajak dan banyak terjadi korupsi pajak. Maka Pendapat Abu
Yusuf mengenai kriteria petugas pajak sangat relevan. Kriteria yang disampaikan beliau antara lain : baik
agamanya, amanah, menguasai ilmu fiqh, cakap, suka bermusyawarah, menjaga harga diri, berani
membela kebenaran., orientasi akhirat dalam menjalankan kewajiban, jujur, dan tidak dzalim.
Jika dilihat relevansi usyr dengan bea cukai moderen saat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Usyr merupakan bentuk pajak atas barang niaga yang dibayarkan kepada negara dengan tujuan
perlindungan dan kemaslahatan umum.
Usyr merupakan bentk pajak benda dengan melihat pribadi pemiliknya, sebab jumlah yang dikenakan
akan berbeda dengan agamanya. Berbeda dengan pajak bea cukai moderen yang tidak melihat dari sisi
agama.
Usyr adalah bentuk pajak tidak langsung karena dikenakan atas barang perniagaan yang dilakukan pada
pos perbatasan negara, sebagaimana pajak bea cukai saat ini.
Usyr adalah pajak nominal yang dihitung daari ukuran kadar tertentu, sedangkan pajak be cukai saat ini
mengambil dari dasar nominal terhadap sebagaian barang dagangan.

Relevansi terhadap belanja negara


Relevansi pendapat Abu Yusuf tentang belanja pegawai sangat relevan karena pemerintah harus
betanggung jawab dan memberikan gaji pegawai yang layak bagi pegawai yang telah bekerja untuk
pelayanan publik yang dialokasikan dari pajak kharaj. Belanja pemerintah yang berupa pembangunan
infrastruktur yang bertujuan untuk investasi telah menjadi perhatian Abu Yusuf. Proyek perhatian pada
saat itu membangun kembali pusat irigasi, agar dapat berfungsi dengan baik, sehingga akan
menghasilkan pertanian yang bagus yang akhirnya meningkatkan jumlah pajak, kemudian bertambahlah
penghasilan nasional.
Dari pembahasan mengenai pendapatan dan belanja negara persepektif Abu Yusuf dengan
pendapatan dan belanja negara saat ini, maka dapat dikatakan ada beberapa instrumen kebijakan pajak
ataupun keuangan lainnya, baik pendapatan dan belanja tidak ada struktur di negara saat ini perspektif
Abu Yusuf, begitu sebaliknya.
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejarah merupakan kejadian dimasa lampau. Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan
muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal
pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua
memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari alquran dan
hadis nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal,
mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta
mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang
diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi.Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kebijakan
ekonomi dan keuangan negara secara umum.

PEMBAHASAN

1. Biografi Abu Yusuf

Ya’qub bin Ibrahim bin habib bin Khunais bin Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al-Bagdadi, atau yang
lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di kufah pada tahun 113 h (731 M) dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 182 H (798 M). dari nasib ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan
salah seorang sahabat Rasulullah Saw, Sa’ad Al- Anshari. Keluarganya sendiri bukan berasal dari
lingkungan berada. Namun demikian, sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu
pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh suasana kufah yang ketika itu merupakan salah satu
pusat peradaban islam, tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam dating silih
berganti untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai bidang keilmuan.

Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad atho bin as-saib
Al-kufi, sulaiman bin Mahram Al-a’masy, hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin abi Laila,
Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu, ia juga menuntut ilmu
kepada Abu Hanifah hingga yang terahir namanya disebut ia meninggal dunai. Selama tujuh belas tahun,
Abu Yusuf tiada henti-hentinya belajar kepada pendiri madzhab Hanafi tersebut. Ia pun terkenal sebagai
salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin Al-
Hasan Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab Hanafi.

Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, Abu Yusuf tumbuh
sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun
masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya. Di antara tokoh besar yang
menjadi muridnya adalah Muhammad bin Al-Hasan Al- Syaibani, Ahmad bin hambal, Yazid bin Harun Al-
Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-lu’lui, dan yahya bin Adam Al-qarasy. Di sisi lain, sebagai salah satu bentuk
penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, khalifah Dinasti
Abbasiyah, harun Al- Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (qhadi al-qhadah).

Sekalipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan
waktu untuk menulis. Beberapa karya tulisnya yang terpenting adalah al jawami’, ar-radd’ala syar al-
auza’i, al-atsar, ikhtilaf abi hanifah wa ibn abi laila, Adab al-Qadhi, dan al-Kharaj.

2. Riwayat Hidup

Sejak kecil abu yusuf mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak
dipengaruhi oleh suasana kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban islam, tempat
para cendikawan Muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang silih-berganti untuk saling bertukar
pikiran tentang berbagai bidang keilmuan. Abu yusuf menimba ilmu kepada banyak ulama besar, seperti
Abu Muhammad Atho bin as-Saib AL-Kufi, dan masih banyak yang lainnya

Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad SAW dipilih menjadi seorang
Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya,
Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam.menata,ekonominegara.Sistem ekonomi Islam telah
terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di
dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof, sosial,
politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga
sejak berabad-abad yang lampau.

Walaupun, pada kenyataannya para cendekiawan tersebut tidak memfokuskan pemikirannya dalam
kajian ilmu ekonomi. Keadaan ini mengantarkan Islam pada masa kejayaannya dimana telah banyak
memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap,peradaban,dunia.Salah satu pemikir ekonomi
Islam pada masa klasik adalah Abu Yusuf.Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketentuan
dan kecerdasannya, abu hanifah tumbuh sebagai alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan,
baik ulama, pengusaha maupun masyarakat umum.

3. Karya Abu Yusuf

Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat mamumental adalah Kitab al-Kharaj (buku tentang perpajakan).
Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini bukanlah kitab pertama yang membahas masalah al-Kharaj atau
perpajakan. Para sejarahwan muslim sepakat bahwa orang pertama yang menulis kitab dengan
mengangkat tema al-Kharaj adalah Mu’awiyah bin Ubaidillah bin Yasar (W. 170 H), seorang Yahudi yang
memluk agama Islam dan menjadi sekertaris khalifah Abu Abdillah Muhammad al-Mahdi (158-169 H/
755-785 M). namun sayangnya, karya pertama di bidang perpajakan dalm islam tersebut hilang ditelan
zaman.

Penulusan kitab al-Kharaj versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan khalifah Harun alr-
Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian, kitab al-Kharaj ini mempunyai
orientasi birokratik karena itulis untuk merespon permintaan khalifah Harun ar-Rasyid yang ingin
menjadikannya sebagi buku petunjuk administrative dalam rangka mengelola lembaga baitul mal
dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat hidup makmur dan rakyat tidak terdzalimi.
Sekalipun berjudul al-Kharaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentangn al-Kharaj,
melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan Negara lainnya, seperti Ghanimah, Fai, Kharaj,
ushr, jizyah, dan shadaqah, yang dilengkapi dengan cara-cara bagaimana mengumpulkan serta
mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syari’ah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliyah
(al-Qur’an dan Hadist) dan aqliyah (Rasional). Metode penulisan dengan mengombinasikan dalil-dalil
naqliyah dengna dalil-dalil aqliyah ini menjadi pembeda antara kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dengan
kitab-kitab al-Kharaj yang muncul pada periode berikutnya, terutam kitab al-Karaj karya Yahya bin Adam
al-Qarasy yang mnggunakan metode penulisan berdasarkan dalil-dalil naqliah saja.

Penggunaan dalil-dalil aqliah, baik dalam kitab al-Kharaj maupun dalam kitabnya, hanya dilakukan Abu
Yusuf pada kasus-kasus tertentu yang menurutnya tidak diatur didalam nash atau tidak terdapat hadist-
hadist shahih yang dapat dijadikan pegangan. Dalam hal ini, ia menggunakan dalil-dalil aqliyah hanya
dalam konteks untuk mewujudkan al-Mashlahah al-Ammah (kemaslahatan umum).

Kitab al-Kharaj

Salah satu karya abu yusuf yang sangat monumental adalah kitab al-Kharaj ( buku Tentang perpajakan ).
Kitab yang ditulis ini sebenar nya bukan kitab pertama yang membahas masalah al-Kharaj ini. Para
sejarahwan Muslim sepakat bahwa orang pertama yang menulis buku ini adalah Muawiyah bin
Ubaidillah bin yasar. Namun sayanganya, karaya pertama dibidang perpajakan dalam islam tersebut
hilang ditelan jaman. Walau pun kitab ini menerangkan tentang perpajakan tapi isinnya bukan hanya
satu saja tentang perpajakan tetapi isinya melainkan tentang ganimah,fai, Kharaj, ushr, jiyah, dan
sodakoh. Dengan dilengkapi dengan cara-cara bagai mana mengumpulkan serta mendistribusikan sesuai
dengan syariah islam berdasarkan dalil-dalil naqliah ( Alquran dan hadis )dan aqliah ( rasional ).

Dalam Kitab al-Kharaj pemikiran Abu Yusuf mencakup berbagai bidang, antara lain :

1. Tentang pemerintahan, dimana Abu Yusuf mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah
seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Seorang khalifah adalah wakil Allah yang ditugaskan
dibumi untuk melaksanakan perintah Allah. Oleh karena itu, harus bertindak atas nama Allah SWT.
Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, Abu Yusuf menyusun sebuah
kaidah fikih yang sangat popular, yaitu tasarruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manutun bi al-maslahah (setiap
tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka).

2. Tentang keuangan, Abu Yusuf menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat
Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.

3. Tentang pertanahan, Abu Yusuf berpendapat bahwa tanah yang diperoleh dari pemberian dapat
ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang,lain.

4. Tentang perpajakan, Abu Yusuf berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi
kebutuhan rakyat dan ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.

5. Tentang peradilan, Abu Yusuf mengatakan bahwa suatu peradilan adalah keadilan yang murni,
menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat (sesuatu yang tidak pasti). Kesalahan
dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum.
Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi menitikberatkan pada bidang perpajakan dan
tanggung jawab negara dalam bidang ekonomi. Sumbangan pemikirannya terletak pada pembuktian
keunggulan pajak berimbang terhadap sistem pemungutan tetap atas tanah, keduanya ditinjau dari segi
pandangan dan keadilan. Terkait dengan keadilan, kepada khalifah Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf
mengatakan bahwasannya :
Mengantarkan keadilan kepada mereka yang disakiti dan menghapuskan kezaliman akan meningkatkan
penghasilan, mempercepat pembangunan negara, dan membawa keberkahan, disamping itu
mendapatkan pahala di akhirat yang akan kita peroleh.

Dalam teori yang lain, Abu Yusuf juga menunjukkan sejumlah aturan-aturan yang mengatur perpajakan,
seperti kemampuan untuk membayar, kebijakan dalam penentuan waktu pemungutan serta pemusatan
pengambilan keputusan dalam pengadministrasian pajak.

Abu Yusuf menganjurkan model pajak yang proporsional atas hasil produksi tanah yang dianggapnya
sebagai metode yang jujur dan seimbang bagi kedua belah pihak dalam keadaan hasil panen yang baik
maupun yang buruk. Seperti dalam kasus kharaj, apabila nilai pajak tetap sementara terjadi penurunan
produksi, maka ada kemungkinan membebani si wajib pajak yang akan mengakibatkan negara
kehilangan penghasilan potensial yang sangat baik. Karena pada saat itu si wajib pajak tadi akan
membayar sejumlah uang yang sangat tinggi, itu akan merugikan kepentingannya. Begitupun sebaliknya,
apabila terjadi peningkatan produksi, nilai pajak yang tetap itu akan menjadi rendah dan tidak sesuai
dengan kebutuhan negara dalam melaksanakan administrasinya.Dalam hal pemungutan dan
pengadministrasian pajak, ada sejumlah departemen yang bertanggungjawab dalam menangani
berbagai pungutan pajak dan keuangan. Dan Baitul Mal sebagai pusat atau koordinator dari departemen
tersebut, yang merupakan kantor perbendaharaan dan keuangan negara, yang dikenal sejak awal Islam.

Dalam pandangannya tentang masalah tanah dan pertanian, Abu Yusuf mengemukakan dalam,Kitab’al-
Kharaj:Menggarap tanah tak produktif sangat dihargai oleh Rasulullah SAW dan menyia-nyiakannya
sangat tidak disukai. Itu mengikuti hadist Rasulullah SAW: “Pemilik asli tanah itu adalah Allah SWT dan
Rasulullah SAW dan kalian sesudah itu. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati (tak digarap)
merupakan perbuatan yang amat mulia.

Untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan
lahan pertanian, Abu Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi
pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.Abu Yusuf juga memberikan
pandangannya terhadap mekanisme pasar. Abu Yusuf menyatakan,dalam,Kitab’al-Kharaj:Tidak ada
batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya.
Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak
disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang
makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.

Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan
timbal balik antara penawaran dan harga. Pendapat umum yang berkembang saat ini menyatakan
apabila barang yang tersedia sedikit maka kemungkinan harganya pun akan mahal begitupun sebaliknya,
apabila jumlah barang yang tersedia banyak, maka harganya akan murah. Namun, pada kenyatannya
terbentuknya harga dalam pasar tidak hanya bergantung pada segi penawaran saja, tetapi juga
bergantung pada kekuatan permintaan. Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf adalah
pada masalah pengendalian harga (tas’ir). Beliau menentang penguasa yang menetapkan harga. Seperti
dikemukakan beliau dalam Kitab al-Kharaj bahwa hasil panen pertanian yang berlimpah bukan alasan
untuk menurunkan harga panen dan sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan,harganya’melambung.
Muh. Nejatullah Siddiqi, seorang pakar ekonomi Islam, berpendapat bahwa penjelasan Abu Yusuf
tentang hubungan antara penyediaan barang dan harga tidak dibahas secara mendalam dan nasihatnya
terhadap aturan yang menentang pengawasan harga yang tidak diimbangi dengan penjelasan secara
menyeluruh mengenai permasalahan,tersebut.Muh. Nejatullah Siddiqi, berkesimpulan bahwa
pandangan Abu Yusuf terletak pada penekanan atas pekerjaaan umum, seperti dalam bidang
penyediaan sarana irigasi dan jalan raya. Dia juga menyarankan sejumlah aturan dalam hal pengukuran
jaminan pembangunanuntukmemajukan dalam sektor pertanian dilingkungannya agar mendapatkan
nya.

4. Keahlian Bidang

Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih. Karena kertertarikan beliau dalam bidang fikih,
beliaupun belajar pada Imam Abu Hanifah. Ketekunan dalam belajar membuat Abu Yusuf menyusun
buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian fikih yang beredar pada masa itu. Dalam
lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab
Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai penjuru negeri seiring dengan perkembangan
yang di pimpin oleh Mazhab Hanafi.
Beliaupun banyak mempelajari hadist dan meriwayatkan hadist. Banyak diantara para ahli hadist yang
memuji dan menyebut -nama dalam kemampuan nya dalam periwayatan hadist. Beberapa karyatlisnya
yang terpenting adalah al-Jawami’, ar-Radd’ala Siyar al-Auza’i, al-Atsar, Ihktilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi
Laila, Adab al-Qadhi, dan al-Kharaj

5. Pokok-pokok Pemikiran dalam Bidang Ekonomi

Dengan latar belakang sebagai seseorang fuqaha beraliran di ar-ra’yu, Abu Yusuf cenderung
memaparkan sebagai pemikiran ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang
didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap Alqur’an, hadis nabi ,atsar shahabi, serta
perktik para penguasa yang saleh. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah
mewujudkan al-mushlahahal-‘ammah ( kemaslahatan umum ). Pendekatan ini membuat berbagai
gagasannya lebih relavan dan mantap.

Kekuatan utama abu yusuf adalah dalam masalah keungana publik. Dengan daya observasi dan
analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukan beberapa kebijakan
yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai
perinsip perpajakan dan pertanggung jawaban negara terhadap kesejahteraan masyarakat rakyat, ia
memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber perbelanjaan untuk pembangunan
jangka panjang, seperti pembanguna jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar
dan kecil.

Suatu studi komperatif tentang pemikiran abu yusuf dalam kitab ini menunjukan bahwa beradab-adab
sebelum adanya kajian yang sistematis mengenai keuangan publik dibarat, abu yusuf telah berbicara
tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia menolak tegas
pajak pertanian dan menekan kan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak
untuk menghindari korupsi dan penindasan. Abu yusuf mengangap penghapusan penindasan dan
jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia juga menekankan pentingnya
pengenmbangan infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek kesejahteraan.
a. Negara dan Aktivitas Ekonomi

Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalam mewujudkan serta menjamin
kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan
mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip
pernyataan Umar Ibn Al-Khatab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang
memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang
memerintah tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.

Ketika bicara tentang pengadaan fasilitas infrastuktur, Abu Yusuf menyatakan bahwa negara
bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran
rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi
pengadaan proyek publik, seperti pembanguna tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh negara.
Lebih jauh ia menyatakan,
“jika proyek seperti itu menghasilkan perkembangan dan peningkatan daloam kharaj, anda harus
memerintahkan penggalian kanal-kanal ini. Semua nbiaya harus ditanggung oleh keuangan negara.
Jangan menarik biaya itu dari rakyat diwilayah tersebut karena mereka yang seharusnya ditingkatkan,
bukan dihancurkan. Setiap permintaan masyarakat pembayar kharaj untuk perbaikan dan sebagainya,
termasuk peningkatan dan perbaikan tanah dan kanal mereka, harus dipenuhi selama hal itu tidak
merusak yang lain”
“pemeliharaan atas kepentingan mereka kmerupakan kewajiban penguasa karena masalah-masalah ini
terkait dengan kaum muslimin secara keseluruhan”

b. Mekanisme

Abu Yusuf dalam membenahi sistem perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan
membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak
dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak bila ekonomi tidak
adil.

1). Menggantikan sistem Wazifah dengan sistem Muqasamah


Wazifah dan Muqasamah merupakan dua istilah yang digunakan Abu Yusuf dalam membahas sistem
pungutan pajak. Menurut Abu Yusuf, sistem Wazifah perlu diganti dengan sistem Musaqamah, karena
Musaqamah merupakan sistem yang bisa mencapai keadilan ekonomi[8]. Sistem Wazifah adalah sistem
pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan
wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah
yang sama secara keseluruhan.

Sedangkan sistem Muqasamah merupakan sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan
nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan presentase
penghasilan atau pajak proporsional, sehingga pajak diambil dengan cara yang tidak membebani kepada
masyarakat.

2). Membangun Fleksibilitas Sosial


Yang sering menjadi perbincangan dan diskusi yaitu ketika konsep agama dan negara dihadapkan
tentang Muslim dan non-Muslim, diantaranya warga negara yang non-Muslim harus membayar pajak,
sedangkan warga Muslim tidak diharuskan. Islam hanya mengakui warga Muslim yang mendapat
kepastian hukum penuh, sedangkan non-Muslim tidak. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan
terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok
Harbi, Musta’min, dan Zimmi.

Ketiga kelompok ini mendapat perhatian khusus dalam pandangan Abu Yusuf, dengan memberi
pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah sesuai status
kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan, serta ketentuan hukum lainnya. Perhatian
khusus tersebut diantaranya terlihat dalam mekanisme penetapan pajak Jizyah terhadap mereka.

3). Membangun Sistem Politik dan Ekonomi yang Transparan


Menurut Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan,
karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai
perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.

Pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue (Ghanimah dan Fai’) maupun
Permanent Revenue (Kharaj, Jizyah, Ushr, dan Shadaqah/Zakat) dijelaskan secara transparan
pengalokasiannya kepada masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik.

Transparansi ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan
kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan (al-Adalah), kehendak bebas (al-
Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun), dan berbuat baik (al-Ikhsan).

4). Menciptakan Sistem Ekonomi yang Otonom


Salah satu upaya untuk mewujudkan visi ekonomi dalam pandangan Abu Yusuf adalah upaya
menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah).Dalam hal ini,
mekanisme kerja yang beliau tawarkan adalah analisisnya terhadap regulasi harga yang bertentangan
dengan teori supply and demand.
Bagi beliau, jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolak ukur utama bagi naik dan
turunnya harga, tapi ada kekuatan lain yang lebih menentukan.

c. Keuangan Publik

Yang menjadi prinsip dasar pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi adalah bahwa semua kekayaan yang
dikumpulkan dan dikelola oleh khalifah adalah amanah dari Allah yang akan dimintai
pertanggungjawaban. Semua kebijakan negara harus mengedepankan aspek kepentingan rakyat seluas-
luasnya.
Dalam konsep keuangan publik, penerimaan negara menurut Abu Yusuf dapat diklasifikasin dalam
beberapa kategori utama, yaitu:

1). Ghanimah
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui
peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara. Pemasukan
dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena
sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi
Negara.

2). Pajak (Kharaj)


Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari non-Muslim. Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai
pajak antara lain sebagai berikut:

a) Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam.


· Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
· Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
· Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab (membayar Usyr).

b) Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai.


· Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr).
· Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj).

c) Tanah taklukan
· Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi
milik mereka dan harus membayar Usyr.
· Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj.
· Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
· Tanah yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.

3). Zakat
Pertama, zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr, yaitu 10% dan 5%,
tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut Abu Yusuf
adalah :
a) Lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi Hijaz, Makkah, Madinah dan Yaman.
b) Tanah tandus atau mati yag dihidupkan kembali oleh orang slam.
c) Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah
khaibar.
d) Tanah yang diberikan kepada orang Islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi kita kepada
orang-orang yang berjasa bagi Negara.
e) Tanah yang dimiliki oleh orang Islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja
Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri
dari peperagan.
Kedua, objek zakat adalah zakat dari hasil mineral atau barang tambang lainnya. Abu Yusuf dan Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah
1/5 atau 20% dari total produksi.

4). Fa’i
Faiy’ adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan,
temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari
perdagangan[15].
Semua harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta
yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk
kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat
dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.

5). Usyr (Bea Cukai)


Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum
Harbi yang melewati perbatasan Negara Islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang[16]. Abu yusuf,
melaporkan bahwa Abu Musa Al- As’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah Umar
bahwa para pedagang Muslim dikenakan bea cukai dengan tarif sepersepuluh di tanah-tanah Harbi.
Khalifah Umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea cukai dari
mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang Muslim.

Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia Muslim maka ia akan dikenakan zakat
pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tarif 5%, kafir
harbi dikenakan tarif 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea cukai sebanyak kedatangan mereka ke
Negara Islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang Muslim dan pedagang ahl jimmah bea
cukai hanya dikenakan sekali dalam setahun.

Dalam pengumpulan bea cukai, Abu Yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
Pertama, barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan.
Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham.

PENUTUP

Kesimpulan

Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad al-anshari, atau yang sering dikenal Abu Yusuf, lahir
di Kufah pada tahun 113H (731M) dan meninggal dunia tahun 182H (789M). Sejak Abu Yusuf masih
kecil, beliau mempunyai minat ilmiah yang tinggi, tetapi karena keadaan ekonomi keluarganya yang
lemah, maka beliau bekerja mencari nafkah. Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan
kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah.

Kitab-kitab karya Abu Yusuf adalah Kitab al-Atsar, Kitab al-Kharaj, Kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i, Kitab
Adabu al-Qadhi, Kitab al-Maharij fi al-Haili, Kitab al-Jawami’, Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila
dan masih banyak lagi.

Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi dipengaruhi 2 faktor, yaitu:

a. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal
ini nampak dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, tidak keluar dari konteksnya. Ia berupaya
melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan
rasioanalitas dengan tidak bertaqlid.
b. Faktor ekstern, adanya sistem pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan
masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik
dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk
dipertemukan.

Pemikiran Abu Yusuf memperlihatkan perhatiannya yang besar pada sistem perekonomian yang
semakin berkembang. Dan tanpa kehilangan jati dirinya, beliau mengedapankan nilai-nilai moral dan
sosial yang merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu mendalam.
Kitab Al-Kharaj karyanya merupakan salah satu literatur dan bahan rujukan bagi para pemikir
sesudahnya maupun pemikir-pemikir kontemporer dalam menyusun kembali sistem Islam yang
sempurna dari sisi ekonomi.
Bukan hal yang mustahil jika dikemudian hari terbentuk sistem ekonomi Islam yang utuh yang
merupakan hasil dari para pemikir ekonomi Islam klasik maupun kontemporer. Dengan tetap berbasis
pada sayari’at ( Qur’an dan Sunnah ).

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Adiwarman. 2001. Ekonimi Islam suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.

Azwar, Adiwarman. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: International Insitute of Islamic
Thought.

Azwar, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Azwar, Adiwarman. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Siddiqi, Muhammad. 1986. Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: LIPPM.

Wallaahu A'lam Bish-Showab.

Nama lengkapnya adalah Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm ibn Habîb ibn Khunais ibn Sa’ad al-Anshârî al-
Jalbi al-Kûfî al-Baghdâdî. Beliau lahir di Kûfah, sebuah kota di Irak pada tahun 731 M (113 H) dan wafat
pada tahun 798 M (182 H) dalam usia 63 tahun. Nisbah al-Anshâri diperoleh karena ibunya masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Anshâr, Madînah. Bapaknya sendiri berasal dari kabilah
Bujailah.

Abû Yûsuf al-Kûfi (w. 182 H) berasal dari keluarga sederhana dan tumbuh kembang di Kûfah, yang pada
masanya merupakan pusat peradaban Islam sehingga banyak cendekiawan Muslim yang berkumpul di
sana, salah satunya adalah Imam Abû Hanîfah (w. 148 H) dan Abû Yûsuf (w. 182 H) sendiri tercatat
sebagai salah satu santrinya. Ditilik dari tahun kelahiran, Abû Yûsuf hidup di masa peralihan kekuasaan
dari Daulah Bani Umayyah ke Daulah Bani Abbasiyah. Sekilas gambaran suasana Kûfah di masa Abû
Yûsuf, di era Bani Umayyah, Kûfah merupakan tempat yang sering dipergunakan untuk debat oleh para
intelektual Muslim melawan intelektual yang berasal dari Yunâni dan Româwi. Sampai di sini maka bisa
dibayangkan, bahwa Kûfah memang sudah berkembang tradisi intelektual dan tradisi pemikiran Muslim
kala itu.

Perjalanan rihlah ilmiah yang pernah dilakukannya antara lain adalah ia berguru kepada Imam Abû
Hanîfah selama kurang lebih 17 tahun. Guru beliau yang lain adalah Abu Muhammad ‘Athâ Ibn al-Saib
Al-Kûfi, Sulaimân bin Mahram Al-A’mâsy, Hisyâm Ibn Urwah, Muhammad Ibn Abd al-Rahmân Ibn Abî
Lailâ, Muhammad Ibn Ishâq Ibn Yassâr Ibn Jabbâr, dan Al-Hajjâj bin Arthâh. Abû Yusuf juga dicatat
pernah berguru kepada Imam Mâlik bin Anas (w. 179 H).

Beberapa karya Abû Yûsuf yang terkenal antara lain antara lain adalah kitab al-Atsâr. Kitab ini syarat
dengan paradigma fiqih mazhab Hanâfi, termasuk pemikiran dari Abû Yûsuf sendiri. Kitab ini sekaligus
menunjukkan supremasi beliau sebagai seorang yang pantas menyandang qâdli al-qudlât (hakim agung)
pada masa Daulah Abbasiyah. Karya lainnya adalah Ikhtilâf Abî Hanîfah wa Ibn Lailâ yang berisikan kitab
muqâran (perbandingan pendapat) antara Abû Hanîfah dan Abû Lailâ, yang keduanya sama-sama
merupakan guru dari Abû Yûsuf. Kitab Al-Radd ‘ala Siyâr al-Auza’î, berisikan sebuah narasi yang berisi
bantahan atas pendapat al-Auzâ’i yang saat itu, al-Auzâ’i adalah seorang qâdlî di Syam (Siria). Adab al-
Qadlî berisikan narasi tata krama seorang qâdli, menyerupai kitab adab berfatwanya Imam al-Nawâwi
dari kalangan Syafî’iyah.

Sementara itu kitab al-Kharrâj menjelaskan tentang hukum perpajakan dan cukai dan ditulis atas
permintaan langsung dari Khalîfah Harûn al-Râsyîd, sebagai kitab pedoman dalam menghimpun
pemasukan dan pendapatan negara yang berasal dari kharrâj, ‘usyr dan jizyah. Kitab ini sekaligus
merupakan kitab panduan tata kelola keuangan negara yang pertama sebelum Yahya Ibn Adam Al-
Qurasyi (w. 203 H) menulis kitab dengan judul yang sama. Kitab al-Jawâmi’ merupakan kitab yang berisi
perdebatan tentang kedudukan ra’yu dan rasio (‘aql) dalam penggalian hukum Islam. Asal-asalnya kitab
ini merupakan surat yang ditulis dan ditujukan langsung kepada Yahya ibn Khâlid al-Barmâki, Perdana
Menteri dari Khalifah Harun al-Râsyîd.

Karena Abû Yûsuf terkenal sebagai ahli tata kelola keuangan negara, maka dalam kesempatan ini,
pembahasan kita spesifikkan ke al-Kharrâj sebagai salah satu kitab karyanya. Di tangan penulis, kitab al-
Kharrâj diterbitkan tahun 1979 oleh peneribit Dâr al-Ma’rifah, Beirut, Libanon. Kitab ini tersusun setebal
244 halaman lengkap dengan daftar isi dan indeks kitab.

Kitab al-Kharrâj merupakan jawaban dari beberapa masalah yang diajukan oleh Khalifah Harûn al-Rasyîd
dan beberapa di antaranya adalah masalah yang dibuat sendiri oleh Abû Yûsuf. Di awal
muqaddimahnya, Abû Yûsuf menegaskan:

?? ???? ??????? ???? ???? ????? ????? ?? ??? ????? ????? ???? ?? ?? ????? ?????? ?????? ????????
???????? ???? ??? ??? ??? ???? ????? ??? ?????? ?? ????? ???? ???? ??? ????? ?? ????? ??????? ??????

Artinya: “Sesungguhnya Amirul Mukminin - semoga Allah SWT meneguhkannya – telah memintaku
untuk menyusun sebuah kitab kumpulan pedoman aplikatif penerapan al-kharaj, al’usyur, shadaqat,
jawâli dan semacamnya, yang memuat hal-hal yang wajib untuk diperhatikan dan terapkan. Khalifah
menghendaki penyusunan ini guna menghindari tindakan al-dhulm terhadap rakyatnya dan
mengupayakan reformasi terhadap urusan mereka.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli Abû Yûsuf
Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979:
3)

Dasar yang dipergunakan untuk berargumen oleh penulisnya adalah sintesa antara ‘aqlî (rasio) dan naqli
(wahyu) yang sekaligus menunjukkan perbedaaannya dengan al-Kharrâj yang ditulis oleh Ibn Adam. Ibn
Adam hanya memanfaatkan dalil naqli guna mengulas pendapatnya dengan metode tautsiq
(penguatan/dokumentasi) terhadap riwayat-riwayat hadits, pendapat sahabat dan tabi’in. Mungkin
disebabkan karena saat itu, metode kritik hadits belum berkembang, maka Ibn Adam tidak melakukan
kritik sanad dan matannya. Tapi karyanya menjadi bagian dari perbendaharaan kekayaan intelektual
Muslim.

Metode Ibn Adam ini tidak dipergunakan oleh Abû Yûsuf. Beliau lebih memilih upaya merasionalisasikan
i’lal al-hadits sehingga hadits-hadits yang dinukil oleh Abû Yûsuf sedikit banyak sudah mendapatkan
koreksi dan kritik sehingga al-Kharrâj merupakan kitab hasil seleksi data. A’mâlu al-shahâbi (praktik
sahabat) mendapatkan bagian tersendiri dari data yang dipergunakan oleh Abû Yûsuf, jadi seolah bahwa
kitab al-Kharrâj ini adalah buah dari hasil studi kasus.
Menurut pengertian leksikal, sebenarnya al-Kharrâj memiliki arti pajak tanah yang dipungut dari wilayah
yang dikuasai oleh Islam. Namun, dalam praktiknya, menurut Abû Yûsuf al-Kharrâj memiliki dua dimensi
makna, pertama dipandang sebagai al-amwâl al-‘âmmah (keuangan publik) dan al-amwâl al-khâshah
(keuangan khusus). Sumber keuangan publik bagi pemerintahan meliputi: ghanimah, fai’, al-kharaj, al-
jizyah, ‘usyr al-tijârah dan shadaqah. Adapun sumber keuangan khusus, dapat diketahui saat beliau
mengupas soal sewa tanah atau kompensasi pemanfaatan tanah negara oleh asing. Menilik dua dimensi
ini, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-Kharrâj menurut Abû Yûsuf adalah kurang
lebih sama dengan istilah pajak penghasilan saat ini (common taxation). Kedua dimensi ini merupakan
sumber finansial negara.

Di dalam kitab ini, Abû Yûsuf menjelaskan bahwa sumber perekonomian negara juga bisa diperoleh
melalui: (1) pengelolaan sumber daya alam (tanah dan air) dan (2) peningkatan efektivitas lapangan
kerja dan penyediaan tenaga kerja. Swakelola sumber daya alam dimaksimalkan melalui pembukaan
lahan pertanian, dan pemanfaatan tanah. Sementara untuk meningkatkan efektivitasnya, perlu
diupayakan pembuatan sistem irigasi pertanian.

Persoalan masyarakat kecil kurang mendapat perhatian dari Abû Yûsuf. Sumber penghasilan negara
lebih mengedepankan pada jalinan relasi produktif antara umat Islam dengan kaum dzimmi dalam dâr
al-islâm atau relasi produktif antara umat Islam dengan komunitas non Muslim dalam dâr al-harb. Untuk
penghasilan dari relasi level pertama, diperoleh dari al-kharaj dan jizyah. Sementara penghasilan dari
akibat relasi level kedua, diperoleh dari ghanîmah. Cukai ditetapkan oleh pemerintah terhadap para
pedagang kâfir harbî (orang kafir yang memerangi umat Islam) yang membawa barang dagangannya ke
negara Islam. Sementara itu, umat Islam hanya berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai bagian dari
membangun solidaritas antara sesama Muslim.

Menurut Abû Yûsuf, ada tiga pemegang hak kuasa atas diri kaum Muslim di Dâr al-Islâm, antara lain:
rakyat, pemimpin (imam) dan lembaga-lembaga negara atau lembaga pemerintahan, seperti Hizb al-
jaisy (Departemen Angkatan Bersenjata), Dawâwîn (Para Dewan). Setiap departemen memiliki tugas dan
peran masing-masing yang sudah ditetapkan. Job diskripsi secara umum mencakup penetapan rasio
jizyah yang boleh diterima, pengelolaan harta ghanîmah dalam perbendaharaan negara, penetapan gaji
dan tunjangan bagi khalifah dan seluruh perangkatnya, penetapan hak guna tanah dan hak guna
bangunan, membuat saluran irigasi dan reboisasi tanah.

Konsep kepemilikan dalam negara sudah dibagi menjadi beberapa macam, mencakup banyak aspek di
antaranya: kepemilikan permodalan yang juga diatur oleh negara (istighlâl), kepemilikan aktual,
kepemilikan individu, kepemilikan khusus terhadap barang bergerak, kepemilikan umum dan
kepemilikan bersama. Semua jenis kepemilikan ini bersifat tidak permanen.

Ada tiga relasi elemen yang mendapat perhatian serius oleh Abû Yûsuf agar semua sistem negara
tersebut dapat berjalan dengan baik. Ketiga faktor ini harus saling bekerjasama dalam menjaga dan
mewujudkan tujuan negara, yaitu agama (religi), ekonomi dan militer. Tiga faktor ini merupakan
penopang kuat atau lemahnya suatu negara.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat
sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil
Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tags:
#ekonomi
Bagikan:

Jumat 25 Januari 2019 18:25 WIB


Menjawab Persoalan Fiqih Sehari-hari

Buku Tanya Jawab Fikih Sehari-hari merupakan kumpulan artikel keislaman yang dimuat di rubrik
Bahtsul Masail NU Online, sejenis rubrik konsultasi hukum Islam yang diasuh secara konsisten oleh salah
satunya KH Mahbub Maafi sepanjang 2013-2018.

Artikel di rubrik ini merupakan jawaban penulis keislaman atas pertanyaan yang masuk ke email Redaksi
NU Online.

Kumpulan artikel keislaman ini memuat persoalan fiqih keseharian yang kerap muncul dan sedang
aktual di kalangan masyarakat awam. Pertanyaan yang berkaitan dengan masalah keseharian tidak
selalu mudah dan dapat segera dirumuskan jawabannya.

Karya ini tidak lahir dari ruang kosong. Konteks sosial hampir selalu melatarbelakangi kumpulan artikel
ini. Semua pertanyaan yang masuk ke email redaksi merupakan problem riil yang dihadapi masyarakat
yang berkenaan dengan urusan shalat, puasa, haji, zakat, perkawinan, perempuan, anak, seksual,
muamalah, hingga soal tradisi.

Persoalan keseharian sering kali menyita waktu tim penulis keislaman NU Online untuk memikirkan
gambaran persoalan secara utuh. Dari pemahaman atas persoalan itu, penulis kemudian merumuskan
jawabannya.

Artikel keislaman yang dimuat di NU Online–apalagi soal hukum Islam–memiliki bobot “intelektualitas”
tersendiri dibanding artikel keislaman yang dimuat di media cetak atau portal keislaman lainnya. Artikel
keislaman yang dimuat di NU Online memikul dua tuntutan sekaligus.

Selain tuntutan untuk menjawab pertanyaan masyarakat awam dengan bahasa sederhana, penulis
artikel ini juga dituntut untuk memenuhi standar wacana keislaman yang berlaku di lingkungan
Nahdlatul Ulama, terutama terkait sumber-sumber rujukan yang otoritatif (al-kutubul muktabarah).

Hal ini bisa dimaklumi karena NU Online merupakan situs resmi NU yang mewakili organisasi sehingga
penulisnya memiliki tanggung jawab “akademik” yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Karena disajikan untuk masyarakat awam, penulis artikel keislaman NU Online dituntut untuk
menggunakan teknik penulisan yang sederhana guna mudah dipahami oleh kalangan awam. Meski
demikian, artikel pada rubrik Bahtsul Masail NU Online juga dituntut tetap menjaga standar “akademik”
karena ia menjadi konsumsi para kiai dan santri di lingkungan NU.
Sejumlah pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online kerap kali berdiskusi untuk menjawab persoalan
yang masuk ke meja redaksi. Mereka kerap kali membutuhkan waktu lebih dari sepekan untuk
menjawab sebuah persoalan dalam rangka memenuhi dua tuntutan meski “hanya” menjawab persoalan
fikih keseharian yang sering kali mengandung problematika yang kompleks.

Sebut saja soal membaca Al-Qur'an via hape ketika shalat, bersolek saat ngabuburit, zakat profesi,
menikahi janda, hamil di luar nikah, sterilisasi kandungan, nafkah anak di luar nikah, oral seks, dan
masalah aktual lainnya.

Buku ini perlu dibaca. Buku ini cukup "lengkap" memuat persoalan-persoalan aktual keseharian ditinjau
dari sudut padang fiqih. Buku ini disajikan dengan bahasa dan logika pemaparan yang sistematis
sehingga jelas "bunyi" hukumnya di akhir sebagai simpulan.

Jawaban fiqih atas persoalan keseharian ini juga disajikan dengan mempertimbangkan hukum positif
yang berlaku di Indonesia baik UU, PP, dan regulasi turunan lainnya di samping pertimbangan
fiqhiyyahnya.

Peresensi adalah Alhafiz Kurniawan, pemerhati masalah keislaman.

Identitas Buku:
Judul buku: Tanya Jawab Fiqih Sehari-hari.
Penulis : KH Mahbub Ma’afi Ramdan.
Editor : Trian Lesmana.
Penerbit : Qafila (PT Grasindo) atas kerja sama dengan NU Online.
Cetakan I : 2018.
Tebal : 290 Halaman.
Jumat 25 Januari 2019 10:0 WIB
Bergantung kepada Allah, Kunci Kebahagiaan Hidup

Martin Seligman seorang Profesor Psikologi Keluarga Zellerbach di Departemen Psikologi Universitas
Pennsylvania, Amerika Serikat pernah berkata seperti ini, “Kurangnya kebahagiaan membuat individu
terlihat murung dan seperti mengucilkan diri dari lingkungan sekitar.” Kemudian ia melanjutkan, “Ketika
murung, individu menjadi gampang curiga, suka menyendiri, dan defensif, berfokus pada kebutuhan diri
sendiri, padahal mementingkan diri sendiri lebih merupakan karakteristik kesedihan daripada
kebahagiaan.”

Untuk mengatasi hal itu, Martin Seligman menjelaskan bahwa diantara bahaya ketidak bahagiaan adalah
seseorang akan merasa tidak tenang dalam menjalani kehidupan sehingga merasa tak berharga, merasa
tak mampu melakukan apapun, baik bagi sendiri apalgi untuk orang lain. Perasaan seperti ini tentu saja
bisa menghampiri siapapun, bahakan kepada seseorang yang terlihat selalu ceria.

Meskipun demikian, pada dasarnya setiap manusia memiliki tujuan yang sama dalam menjalani hidup
ini. Tujuan hidup tersebut adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Di balik perilaku manusia yang
berbeda-beda antara manusia satu dengan yang lainnya, bukankah tujuan dari itu semua adalah demi
mencapai kebahagiaan?
Agaknya, dengan latar belakang seperti itulah buku best seller Timur Tengah yang telah diterjemahkan
ke dalam 20 Bahasa berjudul Liannaka Allah karya Ali bin Jabir al-Faifi ini ditulis. Ia berkeyakinan bahwa
kebergantungan hati kepada Allah, pengetahuan tentang-Nya, perasaan selalu diawasi oleh-Nya,
perasaan cinta kepada-Nya, perasaan takut kepada-Nya, dan pengharapan kepada-Nya, selain
merupakan kunci kebahagiaan di akhirat, juga merupakan kunci kebahagiaan di dunia.

Untuk menelusuri kebenaran argumen yang dibangun oleh pengajar di Departmen Syariah dan Bahasa
Arab di Sekolah Tinggi Program Bersama “Kulliyah al-Barnamij al-Musytarakah” di Muhalah, Arab Saudi
ini, dalam al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 22 tercatat jelas bahwa“orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati
menjadi tenteram”.

Setidaknya ada persamaan antara argumen yang dibangun oleh Ali bin Jabir dengan Ayat al-Qur’an di
atas, kesamaan itu adalah “Kunci kebahagiaan yang sejati adalah dengan mengingat Allah.”

Masih dalam kajian tentang kebahagiaan, Dadang Hawari seorang psikiater terkenal di Indonesia pernah
melakukan penelitian dan menghasilkan kesimpulan bahwa“ditinjau dari sudut pandang kesehatan jiwa,
doa dan dzikir mengandung unsur psikoteraupetik yang mendalam. Terapi psikoreligius tidak kalah
pentingnya dengan psikoterapi dan psikiatrik, karena mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian
yang dapat memunculkan Rasa percaya diri dan optimisme.”

Hal ini diperkuat oleh Robert Frager, seorang psikolog sosial Amerika, pendiri Institute of Transpersonal
Psychology, sekarang disebut Universitas Sofia, di Palo Alto, California, “dzikir juga berfungsi sebagai
pembersih atau pensuci kotoran-kotoran hati seperti marah, dendam atau bermusuhan, dan mampu
menguatkan hati seseorang sehingga tidak mudah tegang, takut, dan juga gelisa.” Menurutnya Dengan
demikian, efek psikologis dari banyak berdzikir akan mampu mengikis perasaan-perasaan negatif yang
dimiliki oleh individu.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Mukjizat Books ini, terdapat satu kutipan yang menghentak “Masa-
masa kedukaan, kegundahan, dan kesusahan akan benar-benar berakhir jika seorang hamba selalu
mengarahkan kompas perhatiannya kepada Dzat yang tidak menciptakannya melainkan untuk
beribadah kepada-Nya.”

Buku yang memiliki ketebalan 310 halaman ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Roland
Gunawan. Upaya penerjemahan ini patut diapresiasi, mengingat pada tahun-tahun ini banyak orang
mendadak menyukai film humor, hal ini terbukti dari penjualan tiket film di bioskop terbanyak pada ahir
tahun 2018 adalah film-film yang bergenre humor dan ringan.Apakah ini pertanda bahwa masyarakat
kita butuh hiburan karena mengalami stres dan kegundahan hatinya? Wallahu a’lam.

Buku ini, sangat cocok untuk para calon anggota eksekutif maupun legislatif yang sedang
mempersiapkan diri di medan laga perpolitikan Indonesia.Sebab harapan terkadang tak selalui sesuai
dengan kenyataan. Seseorang harus selalu siap kalah di medan pertempuran apapun, termasuk dalam
pertempuran besar melawan harapan-harapannya sendiri, apabila harapan itu tak sampai, hati akan
menjadi sangat rapuh dan gunda.

Selain itu buku ini sangat pas pula dimiliki oleh mereka yang sedang konsen melakukan penyembuhan
bathin, dari berbagai kalangan terutama bagi mereka yang sedang sakit fisik, buku ini dapat dibaca
sambil berbaring di ranjangnya, dapat dibaca oleh orang yang putus cinta sambil mengenang masa indah
ketika bersama kekasihnya, dapat dibaca oleh orang yang sedih disertai cucuran air matanya, dapat
dibaca oleh orang yang miskin sembari menikmati kesusahannya.

Penulis buku ini berusaha keras menjadikan buku ini mudah dipahami oleh siapa saja, bahkan oleh
seseorang yang benar-benar terpuruk dan tak mempunyai selera lagi membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Hal
itu ia jelaskan sendiri dalam pengantarnya, “dengan kalimat-kalimat di buku ini, saya ingin menepuk
pundak orang-orang yang dirundung kesusahan, dan mengurangi rasa sakit yang mendera kepalanya.
Dengan huruf-huruf di dalam buku ini, saya ingin menghapus air mata dan memadamkan kobaran
duka.”

Tersayat luka apakah hati dan pikiran manusia jika tak lagi merasakan indahnya mencintai Allah?
Padahal Allah adalah Asy-Syafiy, Maha Penyembuh, menyembuhkan kita dengan sebab, dia
menyembuhkan kita sebab kita ini amat lemah. Bagaimanakah menenangkan dan mengosongkan hati
dari selain Allah? Biarkanlah menjadi alasan mengapa Anda harus membaca buku ini.

Peresensi adalah Ali Adhim, penikmat dan penulis buku yang nyantri di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah
Yogyakarta

Identitas Buku
Judul Buku: Liannaka Allah (Karena Engkau adalah Allah)
Penulis: Ali bin Jabir al-Faifi
Penerbit: Mukjizat Books
Cetakan: Pertama, November 2018
Tebal Buku: 310 halaman
ISBN: 978-602-5508-561
Rabu 16 Januari 2019 20:30 WIB
Mengenal Kitab Ushul Fiqh ‘Al-Mustashfa’ Karya Imam al-Ghazali

Al-Ghazali bernama lengkap Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thûsî al-Syâfi’î. Ia lahir
di Thûs pada tahun 450 H dan wafat serta dikebumikan di kota yang sama pada tahun 505 H, pada
kisaran usia 52-55 tahun. (As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah: 6/191).

Ada dua riwayat yang menyebutkan penisbatan beliau dengan al-Ghazalî. Pertama, disebabkan karena
ayah Imam al-Ghazali adalah seorang pemintal bulu kambing. Pemintal dalam istilah Mu’jamu al-Arab
disebut Ghazala. Ahli pintal dikenal dengan istilah Ghazâl. Jadi, nisbat al-Ghazâlî seolah menunjuk pada
keahlian sang ayah sebagai juru pintal. Ibnu Imad menjelaskan ini dalam kitabnya Syadzarâtu al-Dzahab
fi Akhbâri Man Dzahab, juz 6 halaman 19. Riwayat kedua menghubungkan nisbah al-Ghazâlî dengan
desa tempat al-Ghazali dilahirkan yaitu Ghazâlah, sebuah kota yang menjadi bandar dari kota Thûs, yang
berada di wilayah Khurasân, Persia (Iran).

Pendidikan al-Ghazali diawali dengan berguru di kepada seorang sufi besar di masanya, yaitu Ahmad bin
Muhammad al-Razikânî. Berikutnya, ia masuk ke sebuah ribath yang diasuh oleh Syeikh Yusuf Al-Nasaj.
Setelah tamat, kemudian ia melakukan rihlah ilmiahnya yang diawali ke kota al-Jurjân, lalu berguru
kepada Abu Nashr al-Ismâ’ily. Beberapa kitab hadits yang sempat dipelajarinya adalah sebagai berikut:
1. Shahih Bukhâri, dipelajari dari Abû Sahl Muhammad ibn Abd allâh al-Hafsh dan Abû al-Fatyân Umar al-
Ruasâi. Khusus dari ulama’ terakhir, ia juga mempelajari Shahih Muslim
2. Sunan Abu Dawud dari al-Hâkim Abû Fath al-Hâkimî
3. Maulid Nabi dari Abû Abdillah Muhammad ibn Muhammad al-Khawwâni

Di usia 20 tahun ia pergi dari al-Thûs menuju ke pusat kota Nisabûr, yang saat itu menjadi kota ilmu
pengetahuan yang masyhur hingga hancurnya oleh tentara Mongol di Tahun 1256 M. Di kota ini ia
masuk di Universitas Nidhâmiyah, dan berguru kepada Abu al-Ma’âlî al-Juwaini (Imam Haramain) sampai
beliau wafat kurang lebih tahun 478 H (1084 H). Di al-Nidhâmiyah inilah, kemudian al-Ghazali diangkat
sebagai guru besar madrasah itu, yaitu pada tahun 1090 M/482 H dan berlangsung selama 6 tahun.
Tahun 488 H, beliau memutuskan kembali ke tanah kelahirannya yaitu al-Thûs lalu mendirikan sebuah
khanaqah (semacam tempat tajrîbah/latihan bagi para sufi yang ingin mempelajari dzikir dan olah
batin). Seluruh perjalanan ini, terangkum dengan baik di dalam kitabnya yang berjudul al-Munqîdz min
al-Dlalâl. (Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al-Dhalal, Kairo: Dar al-Nasr Li Taba’ah 1968, 75).

Baca juga:
• Akhlak Para Ulama-Mahaguru Madrasah Nidhamiyah
• Menengok Isi Kitab Ushul Fiqh 'al-Burhan' Karya Imam Haramain
Al-Ghazali dalam perjalanan intelektualnya, dikenal sebagai sosok ulama terkemuka yang menguasai
berbagai bidang keilmuan termasuk ilmu kalam, filsafat, sastra, manthiq, fiqih, ushul fiqih, hadits,
bahkan seorang teolog. Karena daya ingatnya yang kuat dan mampu berdialog dengan baik, maka ia
mendapatkan gelar sebagai hujjatu al-islâm oleh para tokoh di zamannya, sebagai bentuk penghargaan
atas perannya yang besar dalam mewarnai pemikiran umat Islam kala itu. Al-Isnawi dalam kitab
Thabaqat-nya sebagaimana dikutip oleh Ibnu Imad menggambarkan sosok al-Ghazali sebagai berikut:

???????? ???? ????? ????? ??????? ????? ??????? ?????? ????? ??????? ?????? ???????? ??????? ????
??????? ????? ?????? ??? ????? ??? ????? ?????????? ???? ????? ???? ?????? ?????? ?? ??????

Artinya: “Al-Ghazzali adalah seorang imam yang dengan namanya dada menjadi lapang, jiwa menjadi
hidup, tinta-tinta menjadi berbangga ketika menulis namanya, kertas-kertas terguncang mendengar
namanya, suara-suara akan jadi khusyuk dan kepala-kepala akan tertunduk. Beliau dilahirkan di Thus
tahun 450 H. Ayahnya menenun bulu dan menjualnya di tokonya.” (Ibnu Imad, Syadzarâtu al-Dzahab fi
Akhbâri Man Dzahab, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.: Juz 6 halaman 19)

Al-Ghazali memiliki banyak karya tulis. Beberapa karya yang menjadi masterpiece-nya dan terkenal di
Indonesia adalah kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn. Ada juga karya yang lain, dan turut terkenal dan diajarkan di
pesantren-{pesantren nusantara antara lain Bidâyat al-Hidâyah, Minhâj al-‘Abidîn, al-Munqîdz min al-
Dlalâl dan al-Wasîth dan al-Wajîz. Di dalam ushul al-fiqh, al-Ghazali memiliki sejumlah karangan antara
lain al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Ma’lul fi ikhtilifayah, Tahdzîb al-Ushûl, dan Shifâu al-Ghalil. Sebenarnya
masih banyak kitab karya yang lain, namun dari kesekian kitab itu masih agak jarang ditemui di dunia
pesantren selain empat kitab yang telah disebutkan di atas.

Untuk mengetahui pemikiran maqâshid dari al-Ghazali, maka kitab rujukan yang paling disarankan
adalah kitab al-Mustashfa. Kitab ini disusun kurang lebih 900 halaman. Di dalam kitab ini, Al-Ghazali
seolah menunjukkan kapasitasnya sebagai ahli dalam bidang ushul al-fiqh. Penting diketahui bahwa al-
Ghazali merupakan sosok pemikir dan tasawuf yang bermadzhab al-Syâfi’i. Oleh karena itu, disarankan
bagi para pembaca yang menginginkan untuk mendalami kitab ini, agar membingkaikan diri terlebih
dahulu dengan pagar madzhab ini sehingga dapat menyerap apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazali di
dalam kitabnya.

Kandungan Kitab al-Mustashfa

Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali menjadi bukti kualitas dan kapabilitas sang pengarang di
bidang fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazâli menyebutkan bahwa kitab tersebut
selesai ditulis pada tahun 503 H. Berbekal informasi ini dan bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa
kitab tersebut ditulis selama tiga tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai proyek risetnya
ini kurang lebih pada tahun 499 H.

Pada tahun 499 H, al-Ghazâlî mendapat permintaan dari para mahasiswanya di Universitas Nidhâm al-
Mulk agar menulis sebuah kitab pegangan (semacam diktat) tentang metode penggalian hukum Islam.
Berbekal permintaan inilah, lalu dijawab oleh al-Ghazâli dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa min
'Ilm al-Ushûl. Jika menilik dari tahun akhir penulisan, maka kurang lebihnya al-Mustashfa adalah kitab
akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam pemikiran yang sudah benar-benar matang
(Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comaparative Study in Islamic and Western Methods of
Inquiry, Selangor: IIUM dan IIIT, 1996, hal: 8-9).

Baca juga:
• Mengenal Kitab-kitab Fiqih Perbandingan Mazhab
• Detik-detik Wafatnya Imam Al-Ghazali
Melihat dari judul kitabnya “al-Mustashfa” yang berarti upaya menuju kondisi shafiyun (bersih), maka
seolah kitab ini menggambarkan akhir perjalanan hidup beliau yang sempat menyatakan diri keluar dari
Universitas Nidhâm al-Mulk untuk berkonsentrasi pada dunia ketasawufan. Dan apabila melihat bahwa
kitab ini disandarkan pada satu disiplin ilmu ushûl al-fiqh, maka seolah kitab ini beliau hadirkan sebagai
wujud metode menempuh jalan pemurnian hati melalui pola penggalian hukum fiqih. Dan sebagaimana
pernah beliau sampaikan bahwa maqâshid syarîah pada dasarnya adalah upaya mencapai kesejahteraan
(sabîli al-ibtida’), maka yang dimaksud oleh beliau sebagai kesejahteraan olehnya adalah tidak jauh amat
dari nama salah satu judul kitabnya yaitu upaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat (sa’âdah fi al-dunya wa sa’âdah fi al-âkhirat). Hal ini tertuang sebagaimana isi dari kitab Kimiyâu
al-Sa’âdah li al-Ghazâli.

Kitab al-Mustashfa disusun dengan penggunaan gaya bahasa yang imbang antara sulit dan mudah.
Sistematika penyusunan kitabnya juga unik, karena terkesan rapi dan penyelidikan isi yang cermat. Isi
kitab seolah membawa daya tarik tersendiri kepada pembacanya untuk terus-menerus membaca,
bahkan jauh dari kesan membosankan, meskipun uraiannya panjang. Pantaslah kiranya kalau al-Juwaini
menjuluki Imam al-Ghazali sebagai al-bahru maghrûq (samudera yang menenggelamkan). Pembaca
karyanya tidak terasa seperti terhipnotis atas uraiannya sehingga sulit untuk mencari titik lemahnya.
Istilah zaman sekarang adalah “diam-diam menghanyutkan”. Itulah kiranya padanan julukan dari al-
Juwaini ini kepada al-Ghazâli.

Jika umumnya para penulis ushul fiqh memulai bahasannya mengenai bahasa hukum dan premis-premis
kebahasaan dalam penalaran hukum, lalu dilanjutkan dengan kajian dilâlatu al-ahkâm (dalil-dalil
hukum), ikhtilâf dan ittifâq di dalam hukum, ijtihad dan mujtahid serta syarat mujtahid, lalu taqlid dan
diakhiri dengan metode tarjîhât al-ahkâm, namun semua itu tidak dengan al-Ghazâli dalam kitab al-
Mustashfa ini. Kitab al-Mustashfa diorganisasikan dalam apa yang disebut dengan istilah “quthub.” Al-
Ghazali mendefinisikan quthub sendiri sebagai sesuatu yang memuat substansi yang dituju (???????? ??
???????? ??? ???? ???????).

Kurang lebih ada 4 quthub dalam al-Mustashfa. Mungkin maksud pengorganisasian ini dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa semua materi yang dikaji dalam tiap-tiap quthub-nya adalah berhubungan
erat antara satu sama lain membentuk suatu kesatuan bahasan dalam satu ide sentral yang menjadi
topik utama kajiannya.

Lantas apa sebenarnya tujuan utama beliau dalam membagi kajian ushul fiqih menjadi 4 quthub ini?
Asumsi dasar penulis kemungkinan hal itu ditujukan untuk menjawab empat dasar pertanyaan dasar
ushul fiqih, antara lain:

1) Apakah hukum syar’i itu?


2) Di mana hukum syar’i itu ditemukan atau apa sumber hukum syar’i itu?
3) Bagaimana cara (metode) menemukan hukum dari sumber hukum syar’i?
4) Siapa yang berwenang melakukan penemuan hukum syar’i dari sumber-sumber hukum tersebut?

Keempat pertanyaan inilah yang menyebabkan bahasan al-Mustashfa dibagi menjadi 4 quthub. Dengan
berbekal pertanyaan ini, maka seolah al-Mustashfa memang hadir tidak lepas dari setting sosial al-
Ghazâli sendiri yang sangat panjang dan bahkan sempat menggambarkan dunia eskatisme yang pernah
beliau alami saat beliau memutuskan berhenti dari mengajar di Universitas Nidhâm al-Mulk untuk
menekuni dunia tashawuf dan tazkiyâtu al-nafs (pembersihan jiwa).

Pada bagian awal muqaddimah kitab, al-Ghazâli membaginya menjadi tiga sub-pembahasan. Di sub
pertama, ia menjelaskan latar belakang dan motif mengapa ia menulis kitab ini (hal. 8-10). Sub kedua, ia
membahas mengenai apa itu usul fiqih, kedudukannya dalam struktur ilmu-ilmu keislaman, sistematika
dan ruang lingkup kajian ushul fiqh (hal. 11-18). Di bagian sub ketiga, al-Ghazâli membahas mengenai
logika Yunani. Di bagian sub ketiga ini, beliau menjelaskan banyak hal tentang logika dengan sangat
menarik hingga mencapai kurang lebih 40 halaman tersendiri (hal. 19-68).

Quthub pertama al-Mustashfa membahas tentang hukum syar’i. Di bagian ini, ia membagi kajian
menjadi empat pokok bahasan utama. Pokok bahasan pertama, membahas mengenai hakikat hukum itu
sendiri sebagai khithab syar’î (sapaan Ilahi) yang ditujukan kepada perbuatan subjek hukum (mukallaf).
Tanpa adanya khithab syar’i, maka tidak ada hukum (hal. 68-80).

Pada pokok bahasan pertama, al-Ghazâli membahas mengenai pembagian hukum. Pembahasan ini
diawali dengan sebuah diskusi pendahuluan mengenai hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram. Pembahasan dilanjutkan dengan membahas 15 masalah yang keseluruhannya membicarakan
mengenai korelasi dari kelima hukum dengan lafadh amar (perintah) dan nahî (larangan) (hal. 80-100).

Pada pokok bahasan ketiga, ia membahas mengenai ‘anâshir al-ahkâm yang di dalam istilah al-Ghazâli
disebut arkân al-hukm yang memuat materi hukum itu sendiri. Menurut al-Ghazâli, hukum itu memiliki
beberapa rukun, antara lain adalah adanya al-hâkim (pembuat hukum), subjek hukum (al-mahkûm
‘alaih) dan objek hukum (al-mahkûm fîh). Pembahasan arkânu al-hukm ini dibahas sampai 11 lembar
(hal. 100-111). Berikutnya, di pokok bahasan keempat, al-Ghazâli mengajukan sebuah diskusi tentang
dialektika sebab-sebab hukum dan hubungan hukum dengan sebab-sebab tersebut. Imam al-Ghazâli
mengistilahkannya dengan sebutan hukum wadl’i (hal. 111-118).
Pembahasan dari al-Mustashfa ini sangat menarik untuk dicermati. Cakupannya luas, dan insyaallah
dalam beberapa edisi tulisan mendatang, kita akan berkonsentrasi pada kitab ini untuk menggali
maqâshid al-Ghazâli, mengingat Indonesia pada khususnya, dan Nusantara pada umumnya, banyak yang
menggunakan karya beliau sebagai bagian dari kurikulum yang diajarkan di setiap pesantren. Bagaimana
sikap beliau dengan manhâj iqtishâd-nya (metode “tengah-tengah”), mungkin akan banyak mewarnai
tulisan-tulisan mendatang. Wallâhu a’lam.

Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf (113 – 182 H/731 – 798 M)

Menarik untuk dibicarakan dan kita mengkaji kembali salah satu tokoh ekonomi islam yang sangat
brillian dimasanya, yaitu Abu Yusuf yang sangat terkenal dengan salah satu karyanya “Al Kharaj”. Beliau
hidup pada masa daulah Abassiyah yaitu masa khalifah Harun Al-Rasyid.

Kita tahu bahwa Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba
datang begitu saja. Ekonomi islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktek tentunya telah
hadir secara bertahap dalam feriode dan fase tertentu. Memang ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun
aktivitas dari manusia untuk memnuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu hal yang sebenarnya
memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi seorang manusia adalah fitrah.
bahwa terdapat tokoh-tokoh ekonomi Islam yang memberikan prinsip-prinsip dasar, yang mana konsep
ekonomi mereka berakar pada hukum Islam yang bersumber dari Nash yaitu Al Qur’an dan Hadis Nabi
Muhammad SAW. Sebagaimana tokoh yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu Abu Yusuf, beliau
telah memberikan kontribusi pemikiran ekonomi. Beliau merupakan seorang tokoh muslim pertama
yang menyinggung masalah mekanisme pasar. Dalam makalah ini akan coba berusaha mengangkat
tentang bagaimanakah pemikiran ekonomi beliau.
Pembahasan dalam makalah ini akan penulis diawali dengan Sekilas tentang Abu Yusuf, kemudian
sedikit menyinggung kitab beliau yaitu Al-Kharaj, Sistem Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf, Mekanisme
pasar.

1.Sekilas Riwayat Abu Yusuf


Ya`qub bin Ibrahim bin Habib bin khunais bin Sa`ad Al-Anshari, atau yang sering dikenal Abu Yusuf, lahir
di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia tahun 182 H (789 M).1 Ibunya masih
mempunyai hubungan darah dengan salah satu sahabat nabi yaitu Sa`ad Al Anshori. Sejak kecil beliau
Abu Yusuf sangat mempunyai minat terhadap ilmu pengetahuan. Kota Kufah merupakan Salah satu
pusat peradaban pemerintahan islam, yang tampak pada suasana kota kufah adalah tempat para
cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang untuk saling bertukar pikiran tentang
berbagai pikiran Ilmu pengetahuan.

Dalam belajar, beliau sangat gigih dan menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlul hadis dan
ahlurra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadist. Hingga kemudian beliau mendalami ilmu fiqh yang
dipelajarinya pada Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila atau Ibnu Abi Laila. Kemudian beliau
belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Karena melihat bakat dan semangat serta
ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua
keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan
agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.

Atas bimbingan para gurunya dan berkat ketekunan dan kecerdasan seorang Abu Yusuf tumbuh dan
berkembang menjadi seorang yang alim yang sangat dihormati dan disegani banyak kalangan, baik
ulama, penguasa dan masyarakat umum. Tidak jarang pendapatnya dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan masyarakat. Bahkan sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan
dan kedalaman ilmunya, Khalifah Dinasti Abbasiyah, Harun ar Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai
ketua Mahkamah Agung (Qadhi al Qudhah).
Meskipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan
waktu untuk menulis. Beberapa karyanya yang terpenting adalah: al Jawami`, ar Radd `ala Siyar al
Auza`i, al Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, Adab al Qadhi dan al Kharaj.2

2.Kitab Al Kharaj
Sebagian besar pemikiran ekonomi Abu Yusuf tertuang pada karangan terbesarnya yakni kitab al Kharaj.
Kitab Al Kharaj ditulis Abu Yusuf sebagai jawaban atas persoalan kenegaraan yang dihadapi oleh Khalifah
Harun Al Rasyid yang sangat menginginkan terciptanya kebaikan umum atas dasar syariat dan keadilan
social.3 Kitab ini ditulis untuk merespon permintaan Khalifah Harun Al Rasyid tentang ketentuan-
ketentuan agama Islam yang membahas masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan dan
pembelanjaan publik. Abu Yusuf menuliskan bahwa Amir al-Mu’minin telah memintanya untuk
mempersiapkan sebuah buku yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan
pajak yang sah, untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Al Kharaj adalah merupakan kitab
pertama yang menghimpun semua pemasukan dan pengeluaran Negara berdasarkan dalil Al Qur`an dan
sunnah Rasul SAW.

Kitab ini dapat digolongkan sebagai fublic finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang
dipakai dalam kitab al-Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh. Kitab ini berupaya membangun
sebuah system keuangan publik yang mudah dilaksanakan yang sesuai dengan hukum islam yang sesuai
dengan persyaratan-persyaratan ekonomi. Dengan pengamatan (observasi) yang tinggi dan analisisnya
yang tinggi, Abu Yusuf dalam kitab ini sering menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw
serta praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat gagasan-
gagasannya relevan dan mantap.4
Prinsip-prinsip yang ditekankan oleh Abu Yusuf dalam perekonomian, dapat disimpulkkan bahwa
pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebenarnya tersimpul dalam al-Kharaj yang dapat disebut sebagai bentuk
pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiskal, pendapatan negara dan
pengeluaran.5
Penamaan al Kharaj terhadap kitab ini, dikarenakan memuat beberapa persoalan pajak, jiz'ah kaum non
muslim wajib membayar jizyah, namun jika mereka meninggal maka jizyah tersebut tidak boleh dibayar
oleh ahli warisnya. Jizyah dalam terminology konvensional disebut dengan pajak perlindungan, yakni
jasa keamanan yang diberikan negara islam kepada kaum non muslim. Bagi kaum non muslim yang ikut
berperang, maka bagi mereka tidak dibebankan untuk membayar jizyah. Berdasarkan klasifikasi strata
masyarakat maka jizyah bagi golongan kaya sebesar 4 dinar, golongan menengah 2 dinar dan kelas
miskin 1 dinar. Tentang mereka yang enggan membayar jizyah, beliau menyatakan bahwa dalam
menarik jizyah dari orang-orang non muslim tidak perlu dengan cara kekerasan tetapi dengan cara yang
kekeluargaan yakni memberlakukan mereka layaknya teman, karena hal ini dapat memberikan
pengaruh positif yaitu bertambah simpatinya kaum non muslim terhadap Islam., serta masalah-masalah
pemerintahan.

Suatu studi yang komparatif mengenai buku itu menunjukkan bahwa berabad-abad sebelum adanya
suatu kajian yang sistematis mengenai keuangan publik dibarat, Abu Yusuf telah berbicara tentang
kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia menolak dengan tegas
penanaman pajak dan menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak
untuk menghindari korup dan penindasan. Ia dengan tulus menganggap penghapusan penindasan dan
jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia juga menekankan pembangunan
infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek kesejahteraan. Sumbangan utamanya terletak pada
bidang keuangan publik. Namun, ada juga beberapa refleksi dalam bukunya tentang pasar dan
penetapan harga, seperti bagaimana haarga itu ditentukan dan apa dampak pelbagai pajak. Disamping
itu, buku tersebut mengkaji status non-muslim dinegara Islam, tempat ibadah mereka dan hukum
kriminal.6
Kitab Al Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain :
Tentang pemerintahan, seorang khalifah adalah wakil Allah di bumi untuk melaksanakan perintah-Nya.
Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Kaidah yang terkenal adalah
Tasharaf al-imam manuthum bi al Maslahah.
Tentang keuangan; uang negara bukan milik khalifah tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus
dijaga dan penuh tanggung jawab.
Tentang pertanahan; tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap
selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
Tentang perpajakan; pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang
ditetapkan berdasarkan pada kerelaan mereka.
Tentang peradilan; hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang yang subhat. Kesalahan dalam
mengampuni lebih baik dari pada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak boleh menjadi bahan
pertimbangan dalam persoalan keadilan.7

3.Sistem Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf


Sebagai seorang fuqaha dengan latar belakang beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf cenderung
memaparkan berbagai pemikiran Ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang
didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap Al Qur’an, Hadist Nabi, atsar Shahabi,
serta praktik para penguasa yang shalih. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah
mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan ini membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan
mantap.8
Selain itu, Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik
intern maupun ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari
beberapa gurunya. Hal ini nampak dari, setting social dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya,
tidak keluar dari konteksnya. Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para
pendahulu, dengan cara mengedepankan rasionalitas dengan tidak bertaqlid. Faktor ekstern, adanya
system pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan
khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang
tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan setting social
seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj.9 Penekanan terhadap tanggung
jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula
yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada penguasa Dinasti
Abbasiyah, Khalifah Harun Al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan
perpajakan tersebut dikenal sebagai kitab al-Kharaj.

Seperti yang sudah penulis katakan bahwa kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah
keuangan public. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah
keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadobsi bagi pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban negara
terhadap kesejahteraan rakyatnya, Ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh
sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang seperti membangun jembatan dan
bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.10
Sistem ekonomi yang dikehendaki oleh Abu Yusuf adalah salah satu upaya untuk mencapai
kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ini didasarkan pada al Qur’an, al Hadits, maupun landasan-
landasan lainnya. Hal inilah yang nampak dalam pembahasannya kitab Al Kharaj. Kemaslahatan yang
dimaksud oleh Abu Yusuf adalah, yang dalam termiologi fiqh disebut dengan Maslahah/kesejahteraan,
baik sifatnya individu (mikro) maupun (makro) kelompok. Secara mikro juga diharapkan bahwa manusia
dapat menikmati hidup dalam kedamaian dan ketenangan dalam hubungan interaksi sosial antar
sesama, dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antar masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lainnya. Ukuran maslahah, menurut Abu Yusuf dapat diukur dari beberapa
aspek, yaitu keseimbangan, (tawazun), kehendak bebas (al-Ikhtiar), tanggung jawab/keadilan (al-
‘adalah/accountability), dan berbuat baik (al-Ikhsan).11
Dalam hal yang berhubungan pemerintahan Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat
populer, yaitu Tasrruf al-Imam `ala Ra`iyyah Manutun bi al-Mashlaha (setiap tindakan pemerintah yang
berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya
sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan
rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.12

Dengan melihat dari bagaimana kebijakan Abu Yusuf dalam hal ekonomi, menunjukkan bahwa
perkembangan pemikiran ekonomi dalam islam telah memberikan suatu pencerahan dan kontribusi
positif. Melihat dari bagaimana pendapat Abu Yusuf tentang fluktuasi harga memberikan kesimpulan
bahwa system ekonomi yang ada belum tentu bisa diterima, tergantung pada keadaan dan situasi yang
terjadi pada suatu tempat.

Dengan pemikiran ekonomi Abu Yusuf ini hendaklah dapat mendorong kita untuk menjadi umat yang
menghubungkan antara agama dan ekonomi, karena hal yang berhubungan dengan kegiatan manusia
tersebut telah di jelaskan hukumnya didalam Al-Qur`an dan Hadis. Selain mendapat kesejahteraan di
dunia, kita juga akan mendapat kesejahteraan di akhirat juga. Kesejahteraan (mashlahah itu terbagi
dalam dua komponen yaitu manfaat dan berkah. Yang mana berkah tersebut dapat diperoleh dengan
menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiataan ekonominya.

a. Negara dan Aktivitas Ekonomi


Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan
rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan rakyat dan mengembangkan berbagai
proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar bin Khattab,
Ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran
rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah
menemui kesulitan.
Abu Yusuf menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas
infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan
ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek public, seperti
pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh Negara. Namun demikian, Abu Yusuf
managaskan bahwa jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek
akan dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia mengomentari
proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.

Lebih jauh beliau berbendapat dalam buku kharajnya:


”Jika proyek seperti itu menghasilkan perkembangan dan peningkatan dalam kharaj, anda harus
memerintahkan penggalian kanal-kanal ini. Semua biaya harus ditanggung oleh keuangan negara.
Jangan menarik biaya itu dari rakyat diwilayah tersebut karena mereka seharusnya ditingkatkan, bukan
dihancurkan. Setiap permintaan masyarakat pembayar kharaj untuk perbaikan dan sebagainya,
termasuk peningkatan dan perbaikan tanah dan kanal mereka, harus dipenuhi selama hal itu tidak
merusak yang lain.”13
Kemudian pendapatnya juga tampak ketika Ia mengomentari proyek pembersihan kenal pribadi yaitu:
“Keseluruhan kanal harus dibersihkan terlebih dahulu dan pembiayaanya harus dibebankan kepada
pemiliknya, sesuai dengan bagian kepemilikan mereka atas kenal tersebut”.14

Menarik dicatat Persepsi Abu Yusuf tentang pengadaan barang-barang public muncul dalam teori
konvensional tentang keuangan public. Teori konvensional mengilustrasikan bahwa barang-barang
social yang bersifat umum harus disediakan secara umum oleh Negara dan dibiayai oleh kebijakan
anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang public tersebut diinternalisasikan dan
mengonsumsinya berlawanan dan mungkin menghalangi pihak yang lain dalam memanfaatkan proyek
tersebut, maka biaya akan dibebankan secara langsung.15

Dalam menganalisis gagasan Abu Yusuf yang berkaitan dengan pengadaan barang-barang publik atau
umum, bahwa proyek-proyek irigasi di sungai-sungai besar yang manfaatnya digunakan untuk umum
maka harus dibiayai oleh keuangan negara. Karena manfaatnya secara umum, pelarangan atas
seseorang untuk memanfaatkannya tidak mungkin dan tidak dapat dilakukan. Sebaliknya dalam kasus
kenal milik pribadi, dimana manfaatnya diinternalisasikan dan pelarangan bagi umum dapat dilakukan,
maka pembiayaannya akan dibebankan pada orang-orang yang memperoleh langsung manfaat dari
fasilitas seperti itu.16
Siddiqi membahas hal-hal ini bersamaan dengan penekanan Abu Yusuf atas pekerjaan umum terutama
sarana irigasi dan jalan-jalan raya. Ia juga mendesak penguasa untuk mengambil tindakan-tindakan lain
guna menjamin kemajuan pertanian. Siddiqi mencatat bahwa komentar singkat Abu Yusuf mengenai
hubungan antara penyediaan barang dan harganya tidak membahasnya cukup mendalam, dan
nasehatnya kepada penguasa yang menentang pengawasan harga, tidak diiringi dengan pembahasan
menyeluruh mengenai permasalahan tersebut.

Dalam hal pertanian, lebih jauh Abu Yusuf cenderung menyetujui bila negara mengambil bagian dari
hasil yang dilakukan oleh para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian yang digarap.
Prinsip-prinsip yang jelas tentang pajak yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi
sebagai ‘canons of taxation’. Banyak sudut dalam perpajakan yang menurut beliau akhirnya dijadikan
sebagai prinsip yang harus dijalankan. Akan tetapi, Abu Yusuf menentang keras pajak pertanian. Ia
menyarankan supaya petugas pajak diberi gaji. Tindakan mereka harus selalu diawasi untuk mencegah
terjadinya penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi dan praktek penindasan.

Farid mengemukakan, bahwa Abu Yusuf adalah seorang yang tulus dan baik hati dan sungguh-sungguh
menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Inilah
bentuk simpati Abu Yusuf dan keinginan yang tulus yang beliau coba sampaikan kepada para penguasa.
Pemenuhan pelayanan publik, dalam cakupan inilah beliau mendesak para penguasa yang merupakan
bagian dari titik tekan pemikirannya yaitu tanggung jawab negara. Jelasnya, kontribusi besar dalam
menetukan kewajiban-kewajiban penguasa, status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan
pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.

b. Perpajakan menurut Abu Yusuf


Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap
daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya
akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas
tanah garapan. Dalam hal pajak, Ia telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad
kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar,
pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam
administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.17 Misalnya Abu Yusuf juga mengangkat
kisah khalifah Umar bin Khattab yang menghadapi kaum nasrani bani Tlaghlab. Mereka adalah orang
arab yang anti pajak. Maka jangan sekali-kali kamu engkau jadikan mereka sebagai musuh (karena tidak
mau membayar pajak), maka ambillah dari mereka pajak dengan atas nama sedekah. Karena mereka
sejak dulu mau membayar sedekah dengan berlipat ganda asal tidak bernama pajak. Mendengar hal itu
pada mulanya khalifah Umar menolak usulan ini, tetapi kemudian hari justru menyetujuinya, sebab di
dalamnya terdapat unsur mengais manfaat dan mencegah mudharat.18 Sebagai contoh dalam
sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak.

Dalam bukunya kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menguraikan kondisi-kondisi untuk perpajakan, yaitu:
1.charging a justifiable minimum (harga minimum yang dapat dibenarkan)
2.no oppression of tax-payers (tidak menindas para pembayar pajak)
3.maintenance of a healthy treasury, (pemeliharaan harta benda yang sehat)
4.benefiting both government and tax-payers (manfaat yang diperoleh bagi pemerintah dan para
pembayar pajak)
5.in choosing between alternative policies having the same effects on treasury, preferring the one that
benefits tax-payers (pada pilihan antara beberapa alternatif peraturan yang memeliki dampak yang
sama pada harta benda, yang melebihi salah satu manfaat bagi para pembayar pajak.19

Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan
perilaku mereka harus diawasi untuk mencegah korupsi dan praktek penindasan. Dan mengusulkan
penggantian system pajak tetap (lump sum system) atas tanah menjadi pajak proporsional atas hasil
pertanian. Sistem proporsional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic
stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi
terlalu tajam.20 Bagi Abu Yusuf metode pajak secara proporsional dapat meningkatkan pemasukan
negara dari pajak tanah dari sisi lain mendorong para penanam untuk meningkatkan produksinya.
Sebagaimana pernyataan Abu Yusuf dalam kitab al Kharaj yaitu:

Dalam pandangan saya, system perpajakan terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi
keuangan negara dan yang paling tepat untuk menghindari kezaliman terhadap pembayar pajak oleh
para pengumpul pajak adalah pajak pertanian yang proporsional. System ini akan menghalau kezaliman
terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.21

Sistem pajak ini didasarkan pada hasil pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, system tersebut
mensyaratkan penetapan pajak berdasarkan produksi keseluruhan, sehingga system ini akan
mendorong para petani untuk memanfaatkan tanah tandus dan mati agar memperoleh bagian
tambahan. Dalam menetapkan angka, Abu Yusuf menganggap system irigasi sebagai landasannya,
perbedaan angka yang diajukannya adalah sebagai berikut:
1.40 % dari produksi yang diairi oleh hujan alamiah
2.30 % dari produksi yang diairi secara artificial
3.1/3 dari produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya)
4.¼ dari produksi tanaman musim panas.
Tingkatan angka di atas menunjukkan bahwa Abu Yusuf menggunakan sistem irigasi sebagai kriteria
untuk menentukan kemampuan tanah membayar pajak, karena itu Abu Yusuf menganjurkan
menetapkan angka berdasarkan kerja dan modal yang digunakan dalam menanam tanaman.22
Abu Yusuf wrote too that all persons had the right to use water from the great rivers. But if the canal
excavated passed through land belonging to others, then those who benefited from this canal might
have to pay compensation like a monthly charge (Abu Yusuf juga menjeaskan bahwa semua manusia
memiliki hak untuk menggunakan air dari sungai besar tetapi jika kanal (parit kecil) digali yang melalui
lahan milik orang lain, kemudian ini dimanfaat dari kanal tersebut harus membayar kopensasi seperti
membayar iuran setiap bulan).23

c. Makamisme Harga
Abu Yusuf tercatat sebagi ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya
memerhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.24
Berbeda dengan pemahaman saat itu yang berangapan bila tersedia sedikit barang maka harga akan
mahal dan sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal
yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah
bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan.
Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Abu Yusuf menyatakan:
“Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit
tetapi murah”25.

Hal kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (tas`ir). Ia
menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada sunnah Rasul. Dalam hal
ini beliau mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa “Tinggi dan rendahnya barang
merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu
jauh bagian dari ketetapan tersebut ” (Riwayat Abdu a-Rahman bin Abi Laila dari Hikam bin ‘Utaibah)26.
Abu Yusuf menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan alasan Untuk menurunkan harga
panen dan sebaliknya, kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini
merupakan hasil observasi. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil
dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun disisi
lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.27 Tapi
kelihatannya Abu Yusuf ingin mengatakan bahwa kenyataannya harga tidak hanya bergantung pada
kekuatan penawaran tetapi juga permintaan. Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu
berhubungan dengan penurunan atau peningkatan dalam produksi. Secara tegas Ia mengatakan ada
beberapa variabel-variabel lain yang mempengaruhi, namun beliau tidak menjelaskan secara rinci,
variabel-variabel apa saja itu.28

Tapi bias dari variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu
negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Menurut Siddiqi
sebagaimana yang telah dikutip oleh Adiwarman, bahwa ucapan Abu Yusuf harus diterima sebagai
pernyataan dari hasil pengamatan pada saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya
barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.29

Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga
dengan menambah suplay bahan makanan dan mereka menghindari kntrol harga. Kecendrungan yang
ada dalam pemikiran ekonomi adalah membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan
pratek korup lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan
penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.30
KESIMPULAN
Dengan demikian yang dapat penulis simpulkan ialah bahwa Ekonomi Islam telah memberikan
kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi dunia ini. Kenyataan bahwa ekonomi
Islam pernah mengalami masa kejayaannya. Jauh sebelum adanya pemikiran ekonomi kapitalis,
sejumlah pemikir Islam telah memberikan sumbangan pemikirannnya yang sangat besar terhadap
ekonomi dunia.

Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi terfokus pada bidang perpajakan dan pengolahan
lahan pertanian, yang banyak dituangkannya dalam Kitab al-Kharaj. Selain itu, beliau juga memberikan
pendapatnya dalam hal mekanisme pasar terhadap permintaan dan penawaran harga.
Masalah perpajakan, Abu Yusuf menganjurkan sistem pajak yang proporsional, seimbang dan
berdasarkan prinsip keadilan.

Dalam masalah pertanian, untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan
fasilitas dalam perluasan lahan pertanian,dan pembebanan biaya ditanggung negara. Abu Yusuf lebih
cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi pertanian para penggarap daripada
penarikan sewa dari lahan pertanian.

Dalam hal mekanisme pasar, Abu Yusuf memberikan pandangan yang berbeda dengan pendapat umum,
dimana harga yang mahal bukan berarti terdapat kelangkaan barang dan harga yang murah bukan
berarti jumlah barang melimpah, tetapi ada variabel-variabel lain yang menentukan pembentukan
harga. Abu Yusuf juga menentang penguasa menentukan harga.

reprensinya:

1.Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. 231
2. Adiwarman Azwar Karim, Ibid, h. 232
3. Arif Hoetoro, Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, (Malang: BPFE
UNIBRAW, 2007), h. 67
4. Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik, Kosep Perpajakan dan Peran Bait al-
Mal, (Bandung: Nuansa, 2005) h. 47
5. Akmal Azhar, Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Bandung: cipta Pustaka Media:2006), h. 223
6. Sabahuddin Azmi, Op Cit. h. 47
7. Naili Rahmawati, Sebuah Makalah, Pemikiran Ekonomi Islami Abu Yusuf, h. 4
8. Adiwarman, Op Cit. h. 235
9. Naili Rahmawati. Op Cit. h. 2
10.Adiwarman Azwar Karim, Op Cit. h. 235
11.Laili Rahmawati, Op Cit. h. 3
12.Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, Jakarta PT. Rajagrafindo
Persada), h. 107
13Abu Yusuf, Kitab Al Kharaj, (Beirut : Dar al Ma`arif, 1979), h. 109-110
14.Abu Yusuf, Ibid. h. 110
15.Sabahuddin Azmi. Op Cit. h. 66
16.Sahabudin Azmi. Ibid. h. 67
17.Adiwarman Azwar Karim, Op Cit. h. 15
18. Yusuf Qordawi, Karakteristik Islam (Jakarta: Robbani press: 1997), h. 296
19.http://www.islamic-world.net/2010/16/economics/al_kharaj.htm
20.Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Op Cit h. 107
21.Abu Yusuf. Op Cit h. 49-50
22.Sabahuddin Azmi, Op Cit. h. 154.
23.http://www.islamic-world.net/2010/16/economics/al_kharaj.htm
24.Adiwarman Azwar Karim, Op Cit. h. 249
25.Abu Yusuf. Op Cit. hlm. 49
26.Abu Yusuf, Ibid
27.Adiwarman Azwar Karim, Op Cit. h. 15
28.Mustafa Edwin, pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007), hlm. 186
29.Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Pres) h.
156
30.Adiwarman Azwar Karim, Op cit. H. 16

Daftar Pustaka
Azmi Sabahuddin, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik, Kosep Perpajakan dan Peran Bait al-
Mal, (Bandung: Nuansa, 2005)
Al-Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam. (Jakarta : Rabbani Press, 1997)
Azmi Sabahuddin, Islamic Ekonomics, Public Finance in Early Islamic Thought, New Delhi: Goodword
Books, 2004.
Hasan Abul, Readings in Islamic Ekonomic Thought, Longman Malaysia Sdn. Bhd, 1992
Karim, Adiwarman Azhar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed. Ketiga. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2004.
Karim Adiwarman Azhar, Ekonomi Islam Suatu kajian Kontemporer, Jakarta. Gema Insani 2001.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2008.
Yusuf Abu, kitab al-kharaj, Beirut: Dar al-Ma’rifah,1979
http://www.islamic-world.net/2010/16/economics/al_kharaj.htm
Siddiqi, Muhammad. 1986. Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: LIPPM.
Naili Rahmawati, Sebuah Makalah, Pemikiran Ekonomi Islami Abu Yusuf

A. Biografi Singkat Abu Yusuf

Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim Ibn habib
Ibn Khunais Ibn Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al-Bagdadi. Lahir di Kufah, Irak pada tahun 731 M
(113 H)[1] dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 798 M (182 H). Beliau hidup pada masa transisi
dua zaman kekhalifahan besar, yaitu akhir masa Dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Beliau berasal dari
suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Abu Yusuf masih memiliki hubungan darah dengan salah
seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. Yakni Sa’ad Al-Anshari.i[2] karena dari pihak ibunya masih
mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam pertama dan penolong Rasulullah SAW di
Madinah). Keluarganya sendiri bukan berasal dari lingkungan berada. Namun demikian, sejak kecil, ia
mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh
suasana kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban islam, tempat para cendikiawan
muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang silih berganti untuk saling bertukar pikiran tentang
berbagai bidang keilmuan.
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar. Menurut penuturannya beliau menjadi
murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. Seperti Abu
Muhammad atho Ibn as-saib Al-Kufi, sulaiman Ibn Mahram Al-A’masy, Hisyam Ibn Urwah, Muhammad
Ibn Abdurrahman Ibn Abi Laila, Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yassar Ibn Jabbar, dan Al-Hajjaj Ibn
Arthah.Ia pun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Karena melihat bakat dan
semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai
semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat
mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke
berbagai dunia Islam[3].
Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor
dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab Hanafi. Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu
fikih. Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun
dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu Hanifah wafat,
keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal itu membuat karir keilmuannya
tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M Abu Yusuf pun meninggalkan Kufah dan pergi ke
Baghdad. Abu Yusuf menemui khalifah Abbasiyah al-Mahdi (159 H/775 M – 169 H/785 M) yang
langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur. Dan disinilah karier keilmuannya
berkembang hingga Abu Yusuf memegang jabatan dalam kehakiman. Ketekunan dalam belajar
membuat Abu Yusuf menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian fikih yang
beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi, banyak
dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai
negeri seiring dengan perkembangan Mazhab Hanafi[4].
Sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas kecendekiawanan dan
keluasan ilmunya, Harun ar-Rasyid selaku Khalifah Dinasti Abbasiyah mengangkat Abu Yusuf sebagai
Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhat).[5] Diangkatnya Abu Yusuf sebagai Qadhi al-Qudhat oleh
sang khalifah menunjukkan bahwa Abu Yusuf memiliki hubungan yang dekat dengan penguasa pada
saat itu. Hal ini tentunya juga akan ikut mempengaruhi pola pikir Abu Yusuf terutama dalam bidang
ekonomi. Dengan mendapatkan setatus quo dari khalifah serta sifat pemerintahan kekhalifaha yang
selalu ingin mencari legitimasi, menjadikan pemikiran ekonomi dari Abu Yusuf tidak akan pernah berani
secara frontal mengkritisi dan bertentangan dengan kebijakan ekonomi pemerintah pada saat itu. Hal ini
pun terlihat jelas pada kitab monumentalnya yakni kitab al-Kharaj,
Kitab al-Kharaj sendiri ditulis atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk pedoman dalam
menghimpunan pemasukkan atau pendapatan Negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah.57 Didalam
pengertian modern kitab ini dapat dikatakan sebagai public finance. Dengan demikian kitab al-Kharaj ini
memiliki orentasi birokratik karena ditulis dengan tujuan sebagai buku petunjuk administratif dalam
rangka mengeloala keungan negara dengan baik dan benar.44

Gaya berfikirnya yang independent sangat berkaitan dengan profesinya sebagai hakim pada masa itu,
karena profesinya menuntutnya untuk mengembangkan independent thinking yang sangat diperlukan
untuk mencapai keadilan dan kenetralan dalam mengambil keputusan. Amirul Mukminin Harun al-
Rasyid mengangkatnya sebagai ketua hakim yaitu posisi hakim tertinggi pada masanya. Abu Yusuf wafat
pada hari kamis setelah dzuhur 5 rabiul awwal 182 Hijriyyah[6].

B. Karya- Karya Abu Yusuf

Sekalipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan
waktu untuk menulis. Karya ilmiah dan tulisannya adalah sebagai bentuk respon dari berbagai gejala dan
problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan sosial dan agama. Beberapa karya tulisnya
yang terkenal adalah:
1. Al-Jawami’, kitab ini banyak memuat tentang hal yang berkenaan dengan pendidikan.
2. Ar-Radd ‘Ala Siyar Al-Auza’i, kitab ini memuat beberapa pendapat dan pandangan Abu Yusuf
tentang beberapa hukum islam yang merupakan himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-
sanggahan beliau terhadap pendapat al-Auza’i seputar perang dan jihad.
3. al-Atsar, sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan dari para gurunya dan
juga dari ayahnya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam Abu hanifah, kemudian pendapatnya
sendiri dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.
4. Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab ini membahas tentang perbandingan fiqih yang
mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka.
5. Adab al-Qadhi, sebuah kitab yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh
seorang hakim (Qadhi).
6. Al-Kharaj, kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat kaitannya dengan
fenomena sosial[7]. Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-karyanya. Di dalam kitab ini, ia
menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah,
pemerintahan dan musyawarah. Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid untuk
pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari Kharaj, Ushr, Zakat, dan jiz'ah.
Kitab ini dapat digolongkan sebagai 'Public Finance' dalam pengertian ekonomi modern.
Selain kitab-kitab di atas, menurut Ibnu Nadim (wafat 386 H/995 M), seorang sejarawan, masih banyak
buku yang disusunnya. Diantaranya Kitab as-Salah (mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat),
Kitab as-Siyam (mengenai puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab al-Fara’id (mengenai waris),
dan Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat).

C. Pemikiran ekonomi Abu Yusuf


Pemikiran ekonomi Abu Yusuf tertuang pada karangan terbesarnya yakni kitab al-Kharaj. Kitab ini
ditulis untuk merespon permintaan khalifah harun al-Rasyid tentang ketentuan-ketentuan agama Islam
yang membahas masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Abu Yusuf
menuliskan bahwa Amir al-Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang
komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, yang dirancang
untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Al-Kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun
semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-pos pengeluaran berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul
saw.
Dalam kitab ini dijelaskan bagaimana seharusnya sikap penguasa dalam menghimpun pemasukan dari
rakyat sehingga diharapkan paling tidak dalam proses penghimpunan pemasukan bebas dari kecacatan
sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga Negara. Kitab ini dapat digolongkan
sebagai fublic finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang dipakai dalam kitab al-
Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh. Kitab ini berupaya membangun sebuah system keuangan
public yang mudak dilaksanakan yang sesuai dengan hukum islam dan ekonomi islam. Abu Yusuf dalam
kitab ini sering menggunakan ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta praktek dari para penguasa
saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat gagasan-gagasannya relevan dan mantap

Misalnya Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj mengomentari perbuatan khalifah Umar dengan
mengatakan: pendapat Umar ra yang menolak pembagian tanah kepada penakluknya tersebut, adalah
sesuai dengan keterangan al-Qur`an yang di ilhamkan Allah kepadanya dan merupakan taufiq dari Allah
kepadanya dalam tindakan yang diambilnya dalam keputusan ini dinyatakan bahwa kekayaan tersebut
adalah untuk seluruh umat Islam. Sedangkan pendapatnya yg menegaskan bahwa penghasilan tanah
tersebut harus di kumpulkan kemudian dibagi kepada kaum muslimin, juga membawa manfaat yang
luas bagi mereka semua[8]
Prinsip-prinsip yang ditekankan Abu Yusuf dalam perekonomian, dapat disimpulkkan bahwa pemikiran
ekonomi Abu Yusuf sebenarnya tersimpul dalam al-Kharaj yang dapat disebut sebagai bentuk pemikiran
ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiscal, pendapat negara dan pengeluaran.

Berikut adalah sejumlah pemikiran ekonomi Abu Yusuf antara lain:

1. Kebijakan Fiskal

Abu Yusuf adalah seorang ulama fiqih pertama yang mencurahkan perhatiannya pada permasalahan
ekonomi. Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggungjawab ekonomi
penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak
serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang public sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-
baiknya.[9]

Abu Yusuf menganalisis permasalahan-permasalahan fiscal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Konstribusi yang lain adalah dengan menunjukan keunggulan sistem pajak proporsional (muqasamah)
menggantikan sistem pajak tetap (misahah atau waziah) pada tanah.[10] Menurut Abu Yusuf hal ini
lebih adil dan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dalam menggunakan dana public, Abu Yusuf
mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktifitas dalam
meningkatkan pendapatan negara.

2. Sumber Pendapatan negara


Keuangan publik merujuk kepada aktivitas pemerintah terhadap pendapatan dan pengeluaran Negara.
Secara conventional, terdiri dari 3 fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi
stabilisasi. Dalam pengaturannya Negara Islam membagi masyarakatnya manjadi 3 golongan: Muslim,
Dhimmi dan harbi. Mereka semua ini terkena pajak di dalam pemerintahan Islam dengan kadar yang
berbeda-beda.
Abu Yusuf membagi sumber pendapatan Negara dalam 5 kategori, yaitu: (1) Ghanimah, (2) Al-fay’ (Al-
kharaj dan ‘Usyr), (3) Shadaqoh, dan (4) Jisyah, dan (5) ‘usyur. Pendapatan-pendapatan Negara ini akan
dijelaskan lebih rinci di bawah ini:

a. Ghanimah
Ghanimah secara bahasa adalah sesuatu yang didapatkan tanpa melalui kesulitan. Secara terminologi
adalah rampasan atau jarahan di dalam peperangan dengan non-Muslim yang meliputi barang-barang
bergerak yang ditinggalkan oleh pasukan musuh.[5]Mengenai pembagian ghanimah ini, Abu Yusuf
membaginya kepada 2 bagian, yaitu yang pertama 1/5 adalah milik Allah SWT. Yang kedua adalah 4/5
adalah milik diantara para tentara.Perbedaan yang terlihat dalam pembagian tersebut yaitu pada
kavaleri dan arteleri. Beberapa hadist yang dirujuk oleh Abu Yusuf menyebutkan sebagai berikut:
??? ??? ????: ?? ??? ????? ?? ??? ?? ????? ?? ??? ???? ??...??? ???? ??? ? ??? ???? ????? ?? ???? ????
??? ???? ???? ???? ??? ????? ?? ?: ????? ? ???? ?, ? ??? ?? ???.[6]
Namun, Imam Abu Hanifah tidak sependapat dengan hadist tersebut dengan tidak membeda-bedakan
antara yang menggunakan kuda atau tidak ketika berperang.

??? ??? ????: ? ??? ?????? ?????? ??? ????? ???? ???? ???? ????: ? ??? ?? ???, ????? ? ???. ? ???: ??
???? ????? ??? ??? ????. [7]
Maka Abu Hanifah merujuk pada hadist diatas dan menjadikan keduanya masing-masing mendapatkan
1 bagian. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Abu yusuf dengan penjelasan bahwa hadist-hadist
atau atsar-atsartentang bagian untuk kuda 2 dan 1 lelaki yang berperang lebih sering disebutkan dan
tsiqoh (terpercaya). Walapun Abu Yusuf telah menguatkan argumennya, tetapi semua keputusan
diserahkan kepada Amirul Mukminin untuk memilih mana yang lebih baik untuk dijalankan sebagai
kebijakan di dalam pemerintahannya.
Adapun di masa Rasulullah SAW hidup bagian 1/5 (khumus) didistribusikan ke dalam 5 bagian: (1) 1
bagian untuk Allah SWT dan Rasul-Nya, (2) 1 bagian untuk kerabat dekat Rasulullah SAW, dan (3) 3
bagian untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir (Ibnu Sabil). Kemudian di masa Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali membaginya menjadi 3 bagian. Maka gugurlah bagian Rasulullah dan
kerabat dekatnya, dan membaginya kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir (Ibnu
Sabil). Gugurnya bagian Rasulullah SAW dan kerabatnya setelah wafatnya menjadi perdebatan pada
masa itu. Pendapat pertama mengatakan bahwa bagian Rasulullah diberikan kepada Khalifah
setelahnya. Adapun pendapat yang lain mengatakan bahwa bagian kerabat dekat diberikan kepada
kerabat-kerabat Rasulullah SAW. Dan lainnya mengatakan bahwa bagian kerabat dekat diberikan
kepada kerabat dekat Khalifah. Menurut Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah dan para fuqaha berpendapat
bahwa Khalifah harus membaginya sebagaimana yang dilakukan khulafa arrasyidun.
Abu Yusuf juga membagi jenis-jenis harta atau barang yang dikategorikan sebagai 1/5 (khums), yaitu:
1. Barang-barang tambang seperti emas, perak, tembaga, besi dan timah
2. Tanah arab atau tanah orang asing yang didalamnya diletakkan tempatshadaqoh.
3. Apa pun yang keluar dari lautan.
4. Rikaz (barang temuan berupa emas, perak, mutiara dan lain-lainya[11]
b. Fay (al-kharaj dan usyr)
Menurut Abu Yusuf bahwa fay berarti al-kharaj, yaitu pajak tanah. Selanjutnya dalam harta fay ini terdiri
dari 2 pembagian, yaitu: (1) al-kharaj dan (2) Usyr. Al-kharaj pertama diberlakukan pada masa Umar Ibn
Khattab
Adapun definisi al-kharaj menurutnya adalah setiap tanah yang dimilikidhimmah yang di kenakan pajak
tanahnya. Adapun usyr adalah pajak tanah yang dikenakan terhadap orang-orang Muslim. Untuk
membedakan antara al-kharaj dan usyr maka perlu ada pembagian jenis-jenis tanah (?????(, yaitu: tanah
kharaj dan tanah usyr. Tanah usyr adalah tanah yang dimiliki orang-orang Muslim baik berupa tanah
arab atau tanah non-arab, seperti tanah Hijaz, Madinah, Makkah dan Yaman. Sedangkan tanah kharaj
adalah tanah non arab yang dimiliki oleh non-Muslim dibawah pemerintahan Islam, seperti tanah di
Basrah dan Khurasan. Tanah usyr dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu: (1) tanah yang dimiliki melalui
peperangan, (2) tanah yang dimiliki melalui perdamaian (Shulhu) dan (3) tanah yang dimiliki oleh orang-
orang Muslim.
c. Al-Kharaj
Selanjutnya berkenaan dengan kebijakan al-kharaj, Abu Yusuf menekankan bahwa keadilan di dalam al-
kharaj akan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya, jika
penghimpunan al-kharaj dengan ketidakadilan akan mengakibatkan resesi dan penurunan terhadap
pendapatan al-kharaj. Hal ini terjadi di masa Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab yang berhasil
menghimpun pendapatan al-kharaj mencapai 100 juta dirham (mitsqal) dengan memberikan keadilan
dan menghapuskan kezaliman terhadap ahli al-khara di Sawad.
Menurut Abu Yusuf bahwa sebelumnya yang dikenakan kepada tanahAl-kharaj berdasarkan ukuran
tanah atau luas tanah. Di masa Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab sampai kepada pemerintahan
Khalifah al-Mahdi ditarik pajaknya berdasarkan luas area. Kebijakan al-kharaj yang mereka lakukan
menurutnya sangat menguntungkan bagi golongan yang kuat dan merugikan golongan yang lemah.
Adapaun kadar al-kharaj yang diberlakukan Umar Ibn khattab sebagai berikut
a. Hasil-hasil pertanian dengan irigasi alamiah 50% kharaj nya
b. Hasil-hasil pertanian dengan dengan irigasi (?? ? ???? ??????) 33% kharajnya
c. Hasil-hasil pertanian dengan intensif pekerja (????????) 25% kharaj nya
Di masa Al-Mahdi kadar tanah yang diirigasi secara alamiah dari 50% menjadi 60% per unit tanah. Abu
Yusuf mengusulkan adanya perubahan kebijakan terhadap kadar al-kharaj dibebankan terhadap
Dhimmi. Beliau mengusulkan sebuah sistem yang baru yang konsisten terhadap Syari’ah, yaitu dengan
membebankan atau memungut al-kharaj sesuai dengan kemampuan penyewa.

Kadar al-kharaj tidak ditentukan dengan estimasi atau mengira ukuran hasil panen yang di jual dipasaran
dan kemudian menjadi share yang dikenakan pajaknya dalam bentuk uang atau dengan nilai yang adil
yang tidak membebankan ahli al-kharaj dan tidak memberikan kerugian terhadap penguasa.
d. ‘Usyr
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tanah al-kharaj di bagi menjadi 3 kategori,
yaitu: tanah yang ditaklukan dengan berperang, tanah yang didapatkan melalui jalan perdamaian dan
tanah yang memang dimiliki oleh orang-orang Islam. Tanah yang dimiliki orang-orang Muslim kadar ‘usyr
sudah jelas yaitu: (1) hasil-hasil pertanian dengan irigasi alamiah kadar ‘usyr nya 10%, dan (2) hasil-hasil
pertanian dengan irigasi buatan kadar ‘usyr nya 5%.
Adapun untuk tanah yang didapatkan melalui jalan perdamaian dibagi menjadi 2 kategori, yaitu mereka
yang masuk Islam dan yang tidak masuk Islam. Bagi mereka yang masuk Islam dikenakan ‘usyrnya dan
bagi mereka yang masih berada dalam agamanya masing-masing harus membayar al-kharaj atau tetap
membayar ‘usyr sesuai persetujuan yang berlaku. Adapun tanah-tanah yang ditaklukan oleh Rasulullah
SAW, seperti tanah Hijaz, Mekkah, Madinah dan Yaman tidak ditambah dan dikurang nilai ‘usyr nya,
karena telah berjalan perintah Rasulullah dan hukumnya. Tanah-tanah tersebut tidak dijadikan tanah
kharaj, dan tetap dijadikan ‘usyr dan setengah ushr jika menggunakan irigasi/ Selanjutnya bersangkutan
dengan orang-orang non-muslim yang pernah berperang dengan kaum Muslim (ahlul harbi) yang
kemudian memeluk Islam maka status tanah al-kharaj berubah menjadi tanah ‘usyr, sebagaimana ahli
Madinah, Bahran dan Badiyah yang telah memeluk Islam bersama Rasulullah SAW.
e. Shadaqoh (zakat)
Shadaqoh disini yang dimaksudkan adalah zakat. Abu Yusuf hanya membatasi Pembahasan zakat pada
peternakan saja. Hewan-hewan yang dikenakan zakatnya seperti, unta, sapi, kamIbn g dan kuda. Dalam
hal ini, hewan-hewan tersebut mempunyai nisab dan kadar zakatnya masing-masing.Adapun nisab dan
kadar zakat unta sebagai berikut:
Jika bertambah lebih dari 120, maka setiap 50 ekor unta tambahan, zakatnya hendaklah ditambahkan 1
hiqqah, dan pada setiap 40 ekor unta tambahan, zakatnya hendaklah ditambahkan 1 Ibn tu labun.
Adapun untuk nisab dan kadar zakat hewan sapi atau lembu adalah jika mencapai nisabnya 40 maka
kadarnya zakatnya 1 musinnah. Apabila mencapai 60 maka kadar zakatnya berjumlah 2 tabi’, dan
apabila mencapai 70 maka kadar zakatnya adalah 1 tabi’ dan 1 musinnah. Selanjutnya, apabila
bertambah pada setiap 40 lembu atau sapi maka kadar zakatnya 1 musinnah, dan pada setiap 30 ekor
lembu atau sapi maka kadar zakatnya 1 tabi’ atau tabi’ah. Nisab zakat kamIbn g 40 sampai 120 ekor
adalah 1 kambing betina.
Abu Yusuf menekankan beberapa point penting agar teciptanya efisiensi dalam pengelolaan zakat, yaitu:
(1) Khalifah memilih petugas zakat yang amanah dan terpercaya yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan zakat sebagai ketua, (2) Ketua petugas zakat yang amanah dan terpercaya ini harus memilih
orang-orang yang amanah dan terpercaya juga untuk mengelolah zakat di setiap kota; (3) pengelolaan
dalam penghimpunan zakat harus terpisah dari pajak yang lain seperti, ‘usyr dan al-kharaj karena harta
keduanya untuk semua orang-orang Muslim, dan zakat adalah harta bagi orang-orang Muslim yang
sudah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya; and (4) pendapatan zakat yang dating dari sumber-
sumber zakat dalam satu wilayah harus dikumpulkan menjadi satu dan di keluarkan kepada ashnaf;
f. Jisyah
Jisyah disebutkan di dalam al-Qur’an surah 9 ayat 29. Jisyah berasal dari kata jaza yang berarti
konpensasi.Konpensasi ini berupa jaminan keamanan yang diberikan oleh pemerintahan Islam kepada
kaum dhimmiyang menetap didalamnya. Abu Yusuf menasehati Amirul Mukminin Harun al-Rasyid agar
bertindak ramah tamah terhadap kaum dhimmi sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Rasulullah SAW berkata: “Barang siapa menzalimi orang yang membuat perjanjian
setia atau membebannya diatas kemampuannya maka saya akan menghujatnya”.
Menurut Abu Yusuf jisyah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kaum dhimmi lelaki baik dari
Sawad, Khirah dan dari penjuru daerah dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Sabi’in dan Samirah. Jisyah bagi
golongan kaya 48 dirham, bagi golongan menengah 24 dirham, dan bagi pengerajin atau petani biasa 12
dirham untuk setiap tahunnya. Jika pembayarannya dengan menggunakan barang-barang selain emas
dan perak maka akan dihitung sesuai dengan kadarnya. Selanjutnya, Amirul Mukminin melarang
bangkai, babi, dan alkohol (khimar) untuk dibayarkan sebagai jisyah, Ali Ibn Abi Thalib menegaskan agar
tidak mengambil jisyah kepada orang-orang miskin, orang-orang buta yang tidak mempunyai usaha dan
pekerjaan, dan orang-orang yang cacat. Namun ada pengecualian, jika orang cacat, orang buta dan
orang yang berpenyakitan merana adalah masuk dalam kategori kaya, maka bagi mereka akan
dikenakan jisyah. Para pendeta yang kaya berada di rumah pendeta, maka akan dikenakan jisyah, tetapi
jika mereka masuk dalam golongan miskin tidak dikenakan. Demikian juga dengan orang-orang gereja
jika mereka termasuk dalam golongan kaya. Adapun kaum dhimmi yang masuk Islam sebelum masuk
masa setahun maka tidak dikenakan jisyah, tetapi jika masuk setelah masa setahun atau belum
sempurna setahun masih dikenakan jisyah kepadanya. Orang tua yang tidak dapat lagi bekerja dan
orang gila atau tidak sehat akalnya juga tidak dikenakan jisyahnya.

g. ‘Usyur (??????)
Al-‘Usyur secara bahasa berasal dari asal kata ‘syara- ya’syuru-‘asyran yang berarti mengambil
sepersepuluh harta. Secara istilah adalah pajak perdagangan (cukai) yang dikenakan kepada Muslim dan
non-Muslim (kaum dhimmi dan harbi). Al-‘usyur dikenakan bagi kaum muslim berjumlah 2,5 %, bagi
kaum dhimmi berjumlah 5 %, dan bagi kaum al-harbiberjumlah 10% jika mencapai kadarnya 200 dirham
atau mencapai kadar 20mitsqal. Jadi ‘Usyur yang dikenakan selain dari kamu Muslim berlipat
ganda,yaitu Dhimmi harus membayar dua kali lipat dari apa yang di bayarkan Muslim, dan bagi Harbi
harus membayar dua kali lipat dari apa yang dibayarkan Dhimmi kepada pemerintah Islam[12]
3. Konsep Harga
Abu Yusuf menyebutkan beberapa referensi hadist mengenai harga, seperti hadist yang sebutkan di
bawah ini:
??? ??? ????: ??? ??? ???? ?? ??? ?????? ?? ??? ???? ?? ????? ?? ????? ?? ??? ?? ?? ?? ????? ??? ?? ???
???? ???? ??? ???? ???? ? ???, ??? ? ???? ? ?? ?? ? ???? ????? ?? ??? ?? ?? ????? ?????. ??? ?: ?? ?????
?????? ? ??? ???? ??? ??? ?? ???? ??? ???? ? ??? ??.[6]
Harga murah bukan karena persediaan (supply) makanan yang berada di pasaran itu banyak, dan harga
mahal bukan disebabkan oleh persediaan makanan yang sedikit. Abu Yusuf menolak argumen yang
menyatakan bahwa ketika persediaan barang naik, maka harga akan turun atau ketika persediaan
terbatas, maka harga akan naik. Menurutnya naik dan turun nya harga di pasaran adalah kehendak Allah
SWT.
Disini terlihat bahwa yang menentukan harga pasar bukan saja terletak pada sisi permintaan, tetapi ada
faktor-faktor lain yang menentukannya. Sebagai contoh yang terjadi di masa Amirul Mukminin yang
mana harga gandum pada masa itu turun dikarenakan musim paceklik (faktor alam). Jadi penawaran
(supply) atau permintaan (demand) di dalam ekonomi adalah sebuah mekanisme terbentuknya harga
melalui kebijakan Allah SWT.
3. Pengeluaran Negara

Abu Yusuf tidak membahas secara sistematis tentang pengeluaran Negara dalam kitab Al-Kharaj, namun
di dalam kitab tersebut setidaknya terdapat lima point pengeluaran negara yaitu pertama gaji pegawai
negeri, kedua pertahanan militer, ketiga pembangunan infrastuktur, keempat memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat dan yang kelima fasilitas untuk narapidana.

Rangkuman
· Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi terfokus pada bidang perpajakan dan
pengolahan lahan pertanian, yang banyak dituangkannya dalam Kitab al-Kharaj. Selain itu, beliau juga
memberikan pendapatnya dalam hal mekanisme pasar terhadap permintaan dan penawaran harga.
· Masalah perpajakan, Abu Yusuf menganjurkan sistem pajak yang proporsional, seimbang dan
berdasarkan prinsip keadilan.
· Dalam masalah pertanian, untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara
penyediaan fasilitas dalam perluasan lahan pertanian,dan pembebanan biaya ditanggung negara. Abu
Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi pertanian para
penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
· Dalam hal mekanisme pasar, Abu Yusuf memberikan pandangan yang berbeda dengan pendapat
umum, dimana harga yang mahal bukan berarti terdapat kelangkaan barang dan harga yang murah
bukan berarti jumlah barang melimpah, tetapi ada variabel-variabel lain yang menentukan
pembentukan harga. Abu Yusuf juga menentang penguasa menentukan harga
· Pengeluaran Negara dalam kitab Al-Kharaj, terdapat lima point pengeluaran negara yaitu pertama
gaji pegawai negeri, kedua pertahanan militer, ketiga pembangunan infrastuktur, keempat memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat dan yang kelima fasilitas untuk narapidana.
·

[1] M. Nejatullah Siddiqi dan S.M. Ghanzafar, Early Medieval Islamic Economic Thought: Abu Yusuf’s
Economic of Public Finance, London and Newyork: Routledge, 2003, 210
[2] Mustafa Edwin, pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007), 185 lihat juga Rifaat Al-
Audhi, Min at-Turats: al-Iqtisad li al-Muslimin, Makkah: Rabithah ‘Alam al-Islam, 1985), Cet. Ke-4, 119.
[3] Meskipun Abu Yusuf bermadhab Abu Hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu
Hanifah dalam ijtihadnya.

[4]Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek......... 24


[5] Al-Maraghi dan Abdullah Mustafa, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 2001),
77. Philip K. Hitti menyebutkan bahwa pada pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasid ini banyak terjadi
penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah dan Yunani kedalam bahasa Arab
secara besar-besaran. Lihat Philip K. Hitti, History Of The Arabs,ter. R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet
Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2013), hal. 381
[6]Muhammad Nejatullah Siddiqi, Al-fiqri al-Iqtisad li Abi Yusuf, Journal of Research Islamic Economics,
Vol 2, 1984-85, 71
[7]al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.] Buku ini
merupakan buku yang paling popular dari kepopuleran buku-bukunya yang lain. Dengan buku ini Abu
Yusuf dianugerahi sebagai ahli fikih dan ahli ekonomi klasik muslim. Banyak penelitian terkait dengan
kitab al-kharaj ini.
[8] Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta: Rabbani press: 1997), 431
[9] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, ,
2010),154
[10]Ibid, 155.
[11] Abu Yusuf, kitab al-Kharaj, (Bairut: Dar al-Ma;arif,1979),108
[12]Ibid, 132-133.

Anda mungkin juga menyukai