Anda di halaman 1dari 18

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Laundry

Air limbah yang dihasilkan dari proses laundry mempunyai komposisi dan

kandungan yang bervariasi. Hal ini disebabkan variasi kandungan kotoran di

pakaian, komposisi dan jumlah deterjen yang digunakan serta teknologi yang

dipakai. Selain itu terdapat perbedaan konsentrasi antara air limbah laundry yang

dihasilkan dari rumah tangga dengan jasa laundry. Untuk jasa laundry, kandungan

air limbahnya mengandung deterjen dengan jumlah yang lebih sedikit,

dikarenakan pemakaian yang lebih ekonomis dan juga penggunaan peralatan

pelunakan air. Karakteristik dari air limbah laundry yang diperoleh dari beberapa

penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1.
Karakteristik air limbah laundry

Sumber
Parameter Eriksson et al. Hoinkis Ge et al. Savitri
(2002) (2008) (2004) (2007)
Suhu (°𝐶) 28-32 15-30 27
Konduktivitas (𝜇S/cm) 190-1400 1900 786-1904 1256-1335
pH 9.3-10 9-11 7.83-9.56 8.29-8.87
Kekeruhan (NTU) 50-210 - 471-583 -
Surfaktan (mg/L) - 72.3-64.5 210.6
COD (mg/L) 725 1050 785-1090 1815
BOD (mg/L) 150-380 - - 1087
TSS (mg/L) 120-280 - - -
Fosfat (mg/L) 4-15 5 - 7.64
Total N (mg/L) 6-21 40 - -

7
8

Konsumsi air untuk kegiatan mencuci di rumah tangga mempunyai jumlah

yang signifikan, yaitu sekitar 22% dari total kebutuhan air bersih (Woodwell et

al., 1995). Menurut Smulders (2002) penggunaan air untuk kegiatan laundry

sekitar 17 L atau 13% dari kebutuhan air bersih atau sekitar 8% dari air yang

masuk ke sistem air buangan. Selain kontribusi volume air, air limbah laundry

menyumbang beban kontaminan yang cukup tinggi ke dalam air buangan.

Mengurangi beban pencemaran yang berasal dari aktifitas laundry maka

perlu dilakukan pengolahan terutama di tempat jasa laundry yang menghasilkan

volume air limbah yang cukup besar.

2.1.1 Proses Laundry

Laundry merupakan proses kompleks yang melibatkan interaksi antara

beberapa faktor fisik dan kimiawi. Pada proses ini kotoran yang melekat pada

pakaian dibersihkan dengan mempergunakan air dan deterjen. Tahapan yang

terjadi pada proses ini adalah kotoran yang melekat pada pakaian akan dilepaskan

oleh larutan deterjen dan dilanjutkan dengan stabilisasi air yang berisi kotoran

supaya kotoran tersebut tidak menempel kembali pada permukaan pakaian.

Kemampuan membersihkan pakaian dalam proses laundry sangatlah

tergantung pada beberapa faktor seperti jenis bahan pakaian, jenis kotoran,

kualitas air, peralatan mencuci, dan komposisi deterjen (Smulders, 2002).

Diantara faktor tersebut yang memegang peranan penting adalah komposisi

deterjen.

Air pada proses laundry berfungsi sebagai pelarut bagi deterjen dan

kotoran yang menempel di pakaian. Air juga berfungsi sebagai media perpindahan
9

untuk komponen tanah yang terlarut maupun terdispersi. Proses laundry dimulai

dengan membasahi dan penetrasi larutan deterjen pada pakaian yang kotor. Air

mempunyai tegangan permukaan yang sangat tinggi yaitu 72 mN/m padahal

proses pembasahan pakaian dapat berjalan lebih cepat dan efektif jika tegangan

permukaannya berkurang sampai 30 mN/m. Pada proses inilah peranan dari

surfaktan sebagai bahan baku deterjen untuk menurunkan tegangan permukaan.

Kualitas air yang jelek dapat mempengaruhi proses pencucian dan

menimbulkan masalah pada mesin cuci. Ion kalsium dan magnesium yang

bertanggung jawab terhadap kesadahan air dapat menimbulkan terbentuknya

endapan. Endapan ini disebabkan oleh terbentuknya residu pada proses laundry

dan dapat membentuk kerak pada mesin cuci sehingga berakibat pada

terganggunya fungsi dari elemen pemanas dan komponen mesin cuci yang lain.

Kandungan kalsium yang tinggi dalam air dapat menghalangi proses

menghilangkan partikel tanah pada kotoran yang melekat pada pakaian. Selain itu,

keberadaan ion logam seperti besi, tembaga dan mangan dapat merugikan proses

laundry. Ion-ion tersebut dapat menjadi katalis dari dekomposisi agen pemutih

(bleaching agents) sehingga fungsinya menjadi terganggu (Smulders, 2002).

Kotoran yang melekat pada pakaian dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

debu dari udara, kotoran yang dihasilkan badan (misalnya keringat), pengotor

yang berasal dari aktifitas domestik, komersial dan industri. Menurut Smulders

(2002), jenis kotoran tersebut dapat digolongkan menjadi:

a. Bahan yang mudah larut, seperti : garam, gula, urea, dan keringat

b. Partikel, seperti : oksida logam, karbonat, silika, humus, dan arang


10

c. Minyak dan lemak, seperti : minyak hewani, minyak nabati, pelembab,

minyak dan logam mineral, dan lemak yang berasal dari serangga

d. Protein yang berasal dari : darah, telur, susu dan keratin dari kulit

e. Karbohidrat, seperti : kanji

f. Zat pewarna dari : buah-buahan, sayuran, anggur, kopi dan teh.

2.1.2 Mekanisme Detergen sebagai Pembersih

Sebagai bahan aktif detergen, surfaktan yang juga disebut zat aktif

permukaan (surface active agent) memiliki kemampuan menurunkan tegangan

permukaan cairan khususnya air dari sekitar 73 dyne/cm menjadi 30 dyne/cm.

Selain itu kemampuan surfaktan membentuk gelembung serta pengaruh

permukaan lainnya membuat surfaktan bertindak sebagai zat pembersih dan

pengemulsi dalam industri dan rumah tangga. Secara struktur, surfaktan memiliki

polaritas lipofilik dan hidrofilik. Kutub lipofilik terletak pada rantai alkil yang

bersifat larut dalam minyak atau lemak, sedangkan kutub hidrofilik terletak pada

gugus aril (mengandung garam) yang larut dalam air.

Kutub lipofilik cenderung muncul keluar dari fase air menghadap ke

udara, sedangkan kutub hidrofilik menghadap ke fase air, yaitu tempat ion-ion

bermigrasi menuju batas antara air-udara yang bekerja mengurangi energi bebas

permukaan sehingga tegangan permukaan berkurang (Smulders, 2002).

Pada konsentrasi surfaktan yang cukup tinggi di air, gugus lipofilik saling

tarik menarik dan membentuk agregat atau micelle, sedangkan gugus hidrofilik

terdapat disebelah luar micelle. Dengan demikian zat yang lipofil dapat tertimbun

dalam inti lipofilik dari micelle dan dengan cara inilah kotoran dilarutkan
11

(disolubilisasi). Mekanisme tersebut di atas memungkinkan surfaktan bertindak

sebagai pembersih kotoran. Proses pembersihan oleh surfaktan terdiri atas tiga

tahap, yaitu :

1. Pembahasan (wetting) kotoran oleh larutan deterjen

2. Lepasnya kotoran dari permukaan bahan

3. Pembentukan suspensi kotoran yang stabil.

Menurut Showell (2006), mekanisme pembersihan kotoran (umumnya

berupa tanah) terdiri beberapa tahapan, yaitu :

1. Perpindahan surfaktan ke interfase. Hal ini terjadi pada kondisi surfaktan

dalam bentuk monomer, dimana kinetika perpindahannya sangat cepat (10 - 5

cm2/detik) atau juga terjadi pada kondisi surfaktan berbetuk agregat atau

micelle dimana kinetika perpindahannya relatif lambat (10 - 7 cm2/detik).

Kinetika perpindahan surfaktan dan adsorpsi pada permukaan dapat diukur

dengan tegangan permukaan dinamik.

2. Adsorpsi surfaktan pada interfase air-tanah, interfase air-udara, dan interfase

permukaan-air. Tahapan ini terjadi dengan menurunkan tegangan permukaan

pada masing-masing interfase tersebut.

3. Membentuk kompleks surfaktan-tanah. Hal ini menunjukkan bahwa surfaktan

akan menyelimuti tanah yang akan dipisahkan dalam satu lapisan atau pada

konsentrasi surfaktan yang tinggi akan menghasilkan dua lapisan. Pada

tahapan ini surfaktan dapat mendorong padatan tanah menjadi lunak dan

berbentuk cairan. Tahapan ini merupakan tahapan yang kritis untuk menuju

proses emulsi yang dapat terjadi jika tanah berbentuk cairan.


12

4. Desorpsi kompleks surfaktan-tanah. Untuk tanah yang berminyak, proses ini

dapat terjadi melalui mekanisme penggulungan atau melalui pelarutan minyak

menjadi agregat micelle dari surfaktan.

5. Perpindahan kompleks surfaktan-tanah menjauh dari permukaan. Pada

tahapan ini tanah yang mengandung minyak dengan massa jenis yang lebih

rendah dari air akan mengapung di permukaan. Padahal dibutuhkan energi

mekanik atau pengadukan untuk menjauhkan kompleks surfaktan tanah dari

permukaan.

6. Stabilisasi tanah yang terdispersi untuk mencegah terjadinya redeposisi.

2.1.3 Kandungan Deterjen

Secara umum istilah dari deterjen digunakan untuk bahan atau produk

yang mempunyai fungsi meningkatkan kemampuan pemisahan suatu materi dari

permukaan benda, misalnya kotoran dari pakaian, sisa makanan dari piring atau

buih sabun dari permukaan benda serta mendispersi dan menstabilisasi dalam

matriks seperti suspensi butiran minyak dalam fase seperti air (Showell, 2006).

Kemampuan deterjen tersebut tergantung kepada komposisi dari

formulanya, persyaratan penggunaan, sifat alami dari permukaan yang akan

dibersihkan, sifat dari bahan yang akan dipisahkan. Oleh karena itu, penentuan

formula deterjen merupakan proses yang rumit karena harus memperhitungkan

beberapa hal, seperti kebutuhan pengguna, nilai ekonomi, pertimbangan

lingkungan dan kemampuan spesifik yang dibutuhkan supaya fungsi deterjen

menjadi efektif.
13

Deterjen yang digunakan untuk keperluan rumah tangga dan industri

menggunakan formula yang sangat kompleks yaitu lebih dari 25 bahan. Namun

secara umum penyusun deterjen dikelompokan menjadi empat, yaitu surfaktan,

builders, bleaching agent dan bahan aditif (Smulders, 2002).

Surfaktan berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian baik yang

larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Setelah surfaktan, kandungan

lain yang penting adalah penguat (builders) yang meningkatkan efisiensi

surfaktan. Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat

mineral-mineral yang terlarut, sehingga surfaktan dapat berfungsi dengan lebih

baik. Selain itu, builders juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang

tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung dengan lebih baik serta

membantu mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas.

Senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau

zeolit dan fluorescent sering digunakan dalam builders.

Senyawa fosfat dapat mencegah menempelnya kembali kotoran pada

bahan yang sedang dicuci. Senyawa fosfat yang digunakan oleh semua merk

deterjen memberikan andil yang cukup besar terhadap terjadinya proses

eutrofikasi yang menyebabkan alga blooming (meledaknya populasi tanaman air).

Formulasi yang tepat antara kompleks fosfat dengan surfaktan menjadi kunci

utama kehebatan daya cuci deterjen.

Menurut Connell dan Miller (1995), berdasarkan sifat ionisasi senyawa

aktifnya, surfaktan diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu :


14

1. Surfaktan anionik

Jenis ini memiliki sisi permukaan aktif negatif. Secara umum gugusnya adalah

sulfat dan sulfonat yang dapat larut dalam air. Surfaktan yang tergolong ke

dalam kelompok ini adalah sodium dodecylbenzene sulphonate (SDS).

Surfaktan anionik banyak digunakan dalam produk pembersih pakaian dan

peralatan rumah tangga, serta produk pembersih pribadi. Surfaktan jenis ini

merupakan produk terbesar hingga saat ini.

2. Surfaktan kationik

Jenis ini memiliki sisi permukaan positif. Senyawa utamanya yaitu alkil dengan

gugus utama ammonium. Surfaktan yang tergolong jenis ini adalah dialkyl

dimethyl ammonium chlorides.

3. Surfaktan nonionik

Jenis ini merupakan produk kondensasi alkilfenol atau alkohol lemak dengan

etilenoksida. Surfaktan jenis nonionik banyak pula digunakan sebagai

pembersih pakaian.

Pada awalnya surfaktan (senyawa aktif) yang digunakan dalam komposisi

deterjen yaitu dari jenis BAS (Branched Alkylbenzene Sulphonate) yang memiliki

rantai karbon bercabang. BAS ini dikenal sebagai hard detergent karena sifatnya

yang tahan penguraian biologis. Rantai cabang BAS inilah yang membuat BAS

tidak terurai sehingga peningkatan konsentrasinya berjalan cepat. Oleh karena itu

BAS dikenal sebagai senyawa pencemar yang toksik terhadap biota perairan

(Connell dan Miller, 1995).


15

Para ahli terus berusaha menemukan bahan aktif deterjen sintesis baru

yang mudah terurai, akhirnya pada tahun 1965 mulai dikenal LAS (Linear

Alkylbenzene Sulphonate). Seperti halnya BAS, senyawa ini pun dibuat dari

senyawa hidrokarbon minyak bumi. Senyawa aktif LAS termasuk ke dalam

kriteria surfaktan anionik yang memiliki rantai alkil lurus. Dengan struktur

demikian LAS ini bila tidak segera terurai seluruhnya akibat akumulasi yang

terus-menerus maka akan bersifat lebih toksik dibandingkan BAS.

Struktur rantai alkilnya yang lurus membuat senyawa LAS ini lebih

bersifat lipofilik sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada

membran sel. Sebagai surfaktan, LAS dapat menurunkan tegangan permukaan dan

mengemulsi lemak sehingga dimanfaatkan sebagai pelarut lemak dan denaturasi

protein. Dengan sifat ini LAS berpotensi merusak membran sel organisme dan

mematikan bakteri-bakteri yang berguna di perairan.

2.2 Pengolahan Limbah Secara Biosistem

2.2.1 Biofiltrasi

Biofiltrasi adalah suatu cara pemurnian limbah dengan bantuan tanaman

maupun mikroba sebagai media penghancur bahan-bahan pencemar tertentu

terutama senyawa organik yang sangat efektif dan tidak membahayakan perairan

(Muhammad, 2010). Pengolahan limbah secara biologi dapat dilakukan dengan

proses biofiltrasi menggunakan tanaman air sebagai media penyerap.

Pertimbangan digunakannya proses biofiltrasi ini disebabkan proses biofiltrasi

memiliki beberapa kelebihan diantaranya sangat efektif, biaya pembuatan kolam


16

biofiltrasi relatif murah, tanaman untuk biofiltrasi cepat tumbuh dan mudah

dipelihara, serta tidak membutuhkan operator yang memiliki keahlian khusus.

Pengolahan limbah dengan menggunakan sistem biofiltrasi yaitu menggunakan

biofilter tanaman teraerasi terbukti efektif dalam meminimalkan bahan-bahan

pencemar seperti dalam air limbah laundry (Nailufary, 2008).

Proses biofiltrasi dapat menggunakan tanaman dengan sistem akar sebagai

media filtrasi. Akar tanaman akan memberikan lingkungan yang cocok untuk

pertumbuhan mikroba. Mikroba tertentu dalam jumlah banyak sering kali ditemui

disekitar akar. Interaksi antara mikroba dengan akar tanaman dapat mencukupi

kebutuhan unsur hara yang penting baik untuk tanaman maupun mikrobanya

(Sumastri, 2009). Tanaman yang digunakan sebagai biofiltrasi memiliki

kemampuan yang berbeda-beda tergantung daya serap bahan organiknya.

Sistem saringan pasir bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan-

bahan padat yang ada di air dan kandungan lumpur. Umumnya, air kotor yang

akan disaring oleh pasir mengandung bahan padat dan endapan lumpur. Ukuran

pasir untuk menyaring bermacam-macam, tergantung jenis bahan pencemar yang

akan disaring. Semakin besar bahan padat yang perlu disaring, semakin besar

ukuran pasir yang digunakan.

Saringan pasir hanya mampu untuk menahan bahan padat terapung dan

tidak bisa menyaring virus dan bakteri pembawa penyakit. Untuk itu air yang

melewati saringan pasir masih harus disaring lagi oleh media lain. Saringan pasir

ini harus dibersihkan secara teratur pada waktu tertentu (Untung, 1995).
17

Menurut Haberl dan Langergraber (2002), bahwa proses eliminasi polutan

dalam air limbah terjadi melalui proses secara fisik, kimia dan biologi yang cukup

komplek yang terdapat dalam asosiasi antara media, tumbuhan makrophyta dan

mikroorganisme, antara lain :

• Pengendapan untuk zat padatan tersuspensi

• Filtrasi dan pretipitasi kimia pada media

• Transformasi kimia

• Adsorpsi dan pertukaran ion dalam permukaan tanaman maupun media

• Transformasi dan penurunan polutan maupun nutrient oleh mikroorganisme

maupun tanaman

• Mengurangi mikroorganisme pathogen

Unit pengolahan filtrasi berlapis dari pasir dan bebatuan yang dipadukan

dengan penyerapan tanaman maupun degradasi oleh mikroba pada risosfir akar

akan memberikan hasil efektif bagi pemamfaatan kembali air limbah. (Suyasa dan

Dwijani, 2007)

2.2.2 Rhizodegradasi

Rhizodegradasi merupakan proses biofiltrasi dengan memanfaatkan

eksudat akar tanaman sebagai sumber pertumbuhan mikroorganisme yang dapat

menguraikan zat pencemar. Mikroorganisme yang dimaksud dapat berasal dari

lingkungan tanaman itu sendiri atau dari luar (Muhammad, 2010).

Bahan organik oleh mikroorganisme (ragi, fungi dan atau bakteri)

dikonsumsi, diuraikan atau diubah untuk dipergunakan sebagai nutrient. Senyawa

organik yang terdapat dalam bahan-bahan seperti minyak dan larutan berbahaya
18

lainnya oleh beberapa jenis mikroorganisme dapat diuraikan dan diubah menjadi

bahan kurang berbahaya melalui proses degradasi juga sebagai eco-receptors

(reseptor lingkungan). Kandungan karbon organik yang dilepaskan akar tumbuhan

berupa senyawa-senyawa alami seperti zat gula, alkohol dan asam memiliki fungsi

sebagai sumber nutrient bagi mikroorganisme dalam tanah yang akan

meningkatkan aktivitas mikrobia tersebut (Kurniawan, 2008)

Mekanisme rhizodegradasi adalah oksigen yang dikeluarkan oleh

tumbuhan ditransformasikan bersama ke dalam tanah. Oksigen di atmosfer juga

ditransportasikan ke dalam daerah akar. Bantuan oleh ragi, fungi, dan zat-zat

keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alkohol, asam meningkatkan peran

mikroorganisme dalam penguraian polutan dalam tanah. Eksudat tersebut

merupakan makanan mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi

polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi

zat organik. Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah berbagai jenis rumput

(Cunningham dan Gant, 1995).

2.2.3 Biofilm

Biofilm didefinisikan sebagai material organik terdiri dari mikroorganisme

terlekat pada matriks polimer (materi polimer ekstraseluler) yang dibuat oleh

mikroorganisme itu sendiri, dengan ketebalan lapisan biofilm berkisar antara 100

μm-10 mm yang secara fisik dan mikrobiologis sangat kompleks (Barros, 2000).

Lapisan biofilm yang sudah matang atau terbentuk sempurna akan tersusun

dalam tiga lapisan kelompok bakteri. Lapisan paling luar adalah sebagian besar
19

berupa jamur, lapisan tengah adalah jamur dan algae, dan lapisan paling dalam

adalah bakteri, jamur dan algae (Slamet dan Masduqi, 2000).

Biofilm dapat tumbuh dengan tersedianya unsur karbon (C), nitrogen (N),

dan fosfor (P). Unsur tersebut merupakan nutrient utama yang dibutuhkan

mikroorganisme untuk tumbuh. Melalui penelitian jangka panjang, dapat

disimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci diantara semua nutrient

tersebut. Agar lapisan biofilter lebih cepat tumbuh, perlu kondisi yang memadai

pada biofilter, dan langkah yang diambil adalah dengan penambahan zat yang

kaya akan unsur karbon. Pertumbuhan lapisan biofilm dapat mencapai ketebalan

yang berkisar antara 100 mikro meter sampai 10 mm tergantung pada kondisi

tempat biofilm tumbuh (Metcalf dan Eddy, 2004).

Perbandingan N dan P yang dirancang untuk menjamin nutrient yang

cukup dalam laju penanganan biologic yang tinggi adalah 100:10:1. Manfaatnya

adalah untuk memperoleh kadar nitrogen dan fosfor yang rendah dalam efluen

(Putu Evy. 1994).

2.3 Indikator Pencemar Laundry

Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016 tentang Baku Mutu

Lingkungan dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup pada BAB III

tentang mewajibkan setiap penanggungjawab usaha dan/kegiatan yang membuang

limbah ke lingkungan wajib mentaati baku mutu lingkungan hidup dan kriteria

baku kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penanggung jawab usaha

dan/kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah sebelum dibuang ke


20

lingkungan, sehingga tidak melampaui baku mutu lingkungan hidup. Setiap

penanggung jawab usaha dan/kegiatan juga wajib mencegah terjadinya

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Baku mutu air limbah diatur pada

lampiran XXVI. A Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016 tentang Baku

Mutu Lingkungan dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup.

Penjelasan parameter-parameter yang diukur untuk kegiatan laundry

memiliki baku mutu air limbah yang ditetapkan Peraturan Gubernur Bali Nomor

16 Tahun 2016 yaitu :

a. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan suatu ukuran konsentrasi ion hidrogen dan

menuju suasana air tersebut bereaksi asam/basa (Pescod, 1973). Baku mutu

limbah cair untuk parameter pH adalah berkisar antara 6–9.

Derajat keasaman (pH) menunjukkan suatu proses reaksi yang berada

dalam perairan seperti reaksi dalam kondisi asam atau basa. Derajat keasaman

menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan

mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. Pengukuran pH adalah sesuatu yang

penting dan praktis, karena banyak reaksi-reaksi kimia dan biokimia yang penting

terjadi pada tingkat pH yang khusus atau pada lingkungan pH yang sangat sempit.

Derajat keasaman sangat berpengaruh terhadap tingkat toksisitas bahan beracun.

Perairan yang netral memiliki nilai pH yaitu 7, perairan yang bersifat asam pH < 7

dan bersifat basa pH > 7 (Ayuningtyas, 2009).


21

b. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Pemeriksaan Biologycal Oxygen Demand (BOD) diperlukan untuk

menentukan beban pencemaran akibat air buangan dan untuk mendesain sistem

pengolahan secara biologis. Parameter BOD merupakan salah satu indikator

pencemar di dalam air yang disebabkan oleh limbah organik (Muljadi dan

Widjaja, 2005).

Menurut Ayuningtyas (2009), BOD atau kebutuhan oksigen biologis

adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air

lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di

dalam air lingkungan tersebut. Menurut Lee et al. (2002), mikroorganisme yang

memerlukan oksigen untuk memecah bahan buangan organik sering disebut

dengan bakteri aerobik, mikroorganisme yang tidak memerlukan oksigen disebut

dengan bakteri anaerobik. Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat

organik dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena

adanya bakteri aerobik.

Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen

yang akan dihabiskan dalam waktu 5 (lima) hari oleh organisme pengurai aerobik

dalam suatu volume limbah yang disebut dengan BOD5 (Lee et al., 2002).

Hasilnya dinyatakan dalam satuan ppm, misalnya BOD sebesar 200 ppm berarti

bahwa 200 mg oksigen akan dihabiskan oleh contoh limbah sebanyak satu liter

dalam waktu lima hari pada suhu 20 ºC (Ibeh dan Omoruyi, 2011).

BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang

dibutuhkan organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan buangan


22

dalam air (Fardiaz, 1992). BOD merupakan suatu nilai empiris yang mendekati

secara global terjadinya proses penguraian bahan-bahan yang terdapat dalam air

dan sebagai hasil dari proses oksidasi tersebut akan terbentuk 𝐶𝑂2, air, dan 𝑁𝐻3

(Alaert dan Santik, 1987). BOD merupakan parameter utama dalam menentukan

tingkat pencemaran perairan dan tingkat pencemaran berdasarkan nilai BOD

disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2.
Tingkat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD

Nilai BOD (mg/l) Tingkat Pencemaran

< 200 Ringan

200-350 Sedang

350-750 Berat

>750 Sangat berat

Sumber: Winarno et al. (1974) Baku mutu limbah cair domestik untuk
parameter BOD adalah maksimum 50 mg/l.

c. COD (Chemical Oxygen Demand)

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air,

dimana pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (Siregar, 2005).

Pengukuran limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran

kebutuhan oksigen dalam air limbah (Chitnis et al., 2004). Metode ini lebih

singkat waktuya dibandingkan dengan analisis BOD. Uji COD sebagai alternatif

uji penguraian beberapa komponen yang stabil terhadap reaksi biologi atau tidak

dapat diurai/dioksidasi oleh mikroorganisme. Parameter COD merupakan


23

parameter utama dalam menentukan tingkat pencemaran perairan selain BOD

(Alamsyah, 2007).

Menurut Siregar (2005), COD atau kebutuhan oksigen kimia adalah

jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat

teroksidasi melalui reaksi kimia. Dalam hal ini bahan buangan organik akan

dioksidasi oleh Kalium bichromat menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion

Chrom. Kalium bichromat akan digunakan sebagai sumber oksigen.

COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan

oleh bahan oksidan (misal: Kalium Dikromat) untuk menguraikan bahan organik

(Fardiaz, 1992). Uji COD sebagai alternatif uji penguraian beberapa komponen

yang stabil terhadap reaksi biologi atau tidak dapat diurai/dioksidasi oleh

mikroorganisme. COD merupakan parameter utama dalam menentukan tingkat

pencemaran perairan selain BOD, dan tingkat pencemaran berdasarkan nilai COD

disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3.
Tingkat Pencemaran Berdasar Nilai COD

Nilai BOD (mg/L) Tingkat Pencemaran

< 400 Ringan

400-700 Sedang

700-1500 Berat

>1500 Sangat berat

Sumber: Winarno et al. (1974) Baku mutu limbah cair domestik untuk parameter
COD adalah maksimum 80 mg/L.
24

d. Fosfat

Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat,

polifosfat dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk

terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme air. Di daerah pertanian

ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam sungai atau danau

melalui drainase dan aliran air hujan. Polifosfat dapat memasuki sungai melalui

air buangan penduduk dan industri yang menggunakan bahan detergen yang

mengandung fosfat, seperti industri logam dan sebagainya. Fosfat organis terdapat

dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan. Fosfat organis dapat pula

terjadi dari ortofosfat yang terlarut melalui proses biologis karena baik bakteri

maupun tanaman menyerap fosfat bagi pertumbuhannya (Alaerts, 1987).

Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap

keseimbangan ekosistem perairan. Bila kadar fosfat dalam air rendah (< 0,01 mg

P/L), pertumbuhan ganggang akan terhalang, kedaan ini dinamakan oligotrop.

Sebaliknya bila kadar fosfat dalam air tinggi, pertumbuhan tanaman dan ganggang

tidak terbatas lagi (keadaaan eutrop), sehingga dapat mengurangi jumlah oksigen

terlarut air. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kelestarian ekosistem perairan.

e. Logam berat

Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat

didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh

manusia melalui makanan, air minum dan udara. Logam berat seperti tembaga,

selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja

metabolisme tubuh. Akan tetapi, berbahaya jika konsentrasi dalam tubuh berlebih.

Anda mungkin juga menyukai