Anda di halaman 1dari 147

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN NOTA DINAS..................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iv
HALAMAN MOTTO............................................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................xiii
ABSTRAK...........................................................................................................xv

BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………………. 1


A. Latar Belakang ………………………………………………. 1
B. Pokok Masalah ……………………………………………… 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………………………. 10
D. Metode Penelitian …………………………………………… 10
E. Kajian Pustaka ………………………………………………. 13
F. Sistematika Penulisan ……………………………………….. 16

BAB II : KONTRIBUSI M. ‘ALI AL-S{ABU<NI< DALAM


PEMIKIRAN TAFSIR AL-QUR’AN …………………………… 18
A. Karya-Karyanya dan Garis Besar Pemikirannya …………... 18
B. Penilaian atas Karya dan Pemikirannya …………………… 29

BAB III : KONSEPSI BIDADARI DALAM PEMIKIRAN ISLAM ……… 33


A. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Bidadari ……………………... 33
B. Tafsir atas ayat Bidadari …………………………………… 40
C. Pandangan Masyarakat Islam terhadap makna bidadari …… 51

xiii
BAB IV : TAFSIR TENTANG “BIDADARI”
MENURUT M. ‘ALI AL-S{ABU<NI ……………………………
61
A. Alur Penafsiran M. ‘Ali al-S{abu<ni tentang
Bidadari dalam Şafwah al-Tafāsir ………………………….. 61
B. Keberadaan “Bidadari” di Surga ……………………………. 71
1. Penciptaan Bidadari ……………………………………… 71
2. Perbedaan antara Pelayan Surga dan Bidadari …………... 75
3. Ciri-ciri Bidadari di Surga ……………………………….. 78
4. Bidadari dan Amal Perbuatan Manusia …………………. 85
C. Bidadari sebagai Simbol konsep Jaza’ Amal Baik Manusia,
Bukan Makhluk Fisik di Surga ………………………………. 94
1. Bidadari sebagai Simbol Balasan atas Amal Manusia …… 94
2. Maksud Penggunaan Simbol Bidadari bagi Manusia ……. 98

BAB V : PENUTUP ………………………………………………………… 102


A. Kesimpulan …………………………………………………. 102
B. Saran ………………………………………………………… 106
C. Penutup ……………………………………………………… 107

DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
ABSTRAK

Masalah pokok yang menjadi kajian skripsi ini penafsiran


Muhammad ‘Alī al-S{abūnī tentang bidadari di surga yang
termuat dalam kitab S{afwah al-Tafāsir, yang dikaji berdasarkan
pada pola tafsir kontemporer, simbolis, dan bercorak “ukhrawi”
sebagaimana keberadaan bidadari itu sendiri. Jadi yang menjadi
inti masalah dalam penelitian ini adalah apakah yang dimaksud
bidadari menurut Muhammad ‘Alī al-S{abūnī?
Untuk mencari jawaban atas persoalan pokok tersebut,
maka penulis akan melakukan penelitian dengan metode content
analysis. Melalui model pengumpulam data library research,

xiv
skripsi ini berusaha memberikan jawaban atas persoalan pokok
tersebut. Dan setelah dilakukan penelitian dengan pendekatan
deskriptif-analitis menunjukkan bahwa terdapat beberapa
tafsiran dari al-S{abūnī sebagaimana yang sudah ada dalam
kitab-kitab tafsir lain yang mendahuluinya, namun lebih banyak
penafsirannya yang agak berbeda, terutama tentang hakekat
dan eksistensi bidadari di surga, yang tidak hanya difahami
sebagai sosok fisik perempuan yang jelita, namun lebih
substansial lagi, bahwa itu merupakan simbol bagi pembalasan
atas amal perbuatan baik orang beriman sewaktu di dunia. Tentu
saja pemahaman seperti ini masih jarang didapatkan di kalangan
masyarakat Islām, khususnya Indonesia.
Oleh karena itu, keseluruhan penelitian ini mencakup
beberapa tema pokok: karya-karya al-S{abūnī dan garis besar
pemikirannya; konsep umum mengenai bidadari pada
masyarakat Islām; alur penafsiran al-S{abūnī tentang bidadari
dalam kitab S{afwah al-Tafāsir; keberadaan bidadari di surga;
dan bidadari sebagai suatu simbol atas balasan amal manusia.
Dari berbagai penafsiran yang termuat dalam kitab
S{afwah al-Tafāsir tersebut juga diketahui adanya relevansi
antara simbol bidadari sebagai balasan kenikmatan tambahan
bagi manusia beriman, dengan karakteristik khusus jenis amal
shalih yang harus diperbuat manusia untuk mendapatkan nikmat
yang dilambangkan dengan simbol bidadari tersebut.
Al-S{abūnī juga membuat tafsiran tentang maksud
diberikannya simbol bidadari tersebut, yang tidak lain adalah
merupakan cara tersendiri dari al-Qur`ān dalam melukiskan
tentang dan untuk al-targīb wa al-tarhīb kepada hamba-hamba
Allah.

ABSTRAK

Masalah pokok yang menjadi kajian skripsi ini penafsiran


Muhammad ‘Alī al-S{abūnī tentang bidadari di surga yang
termuat dalam kitab S{afwah al-Tafāsir, yang dikaji berdasarkan
pada pola tafsir kontemporer, simbolis, dan bercorak “ukhrawi”
sebagaimana keberadaan bidadari itu sendiri. Jadi yang menjadi
inti masalah dalam penelitian ini adalah apakah yang dimaksud
bidadari menurut Muhammad ‘Alī al-S{abūnī?
Untuk mencari jawaban atas persoalan pokok tersebut,
maka penulis akan melakukan penelitian dengan metode content
analysis. Melalui model pengumpulam data library research,

xv
skripsi ini berusaha memberikan jawaban atas persoalan pokok
tersebut. Dan setelah dilakukan penelitian dengan pendekatan
deskriptif-analitis menunjukkan bahwa terdapat beberapa
tafsiran dari al-S{abūnī sebagaimana yang sudah ada dalam
kitab-kitab tafsir lain yang mendahuluinya, namun lebih banyak
penafsirannya yang agak berbeda, terutama tentang hakekat
dan eksistensi bidadari di surga, yang tidak hanya difahami
sebagai sosok fisik perempuan yang jelita, namun lebih
substansial lagi, bahwa itu merupakan simbol bagi pembalasan
atas amal perbuatan baik orang beriman sewaktu di dunia. Tentu
saja pemahaman seperti ini masih jarang didapatkan di kalangan
masyarakat Islām, khususnya Indonesia.
Oleh karena itu, keseluruhan penelitian ini mencakup
beberapa tema pokok: karya-karya al-S{abūnī dan garis besar
pemikirannya; konsep umum mengenai bidadari pada
masyarakat Islām; alur penafsiran al-S{abūnī tentang bidadari
dalam kitab S{afwah al-Tafāsir; keberadaan bidadari di surga;
dan bidadari sebagai suatu simbol atas balasan amal manusia.
Dari berbagai penafsiran yang termuat dalam kitab
S{afwah al-Tafāsir tersebut juga diketahui adanya relevansi
antara simbol bidadari sebagai balasan kenikmatan tambahan
bagi manusia beriman, dengan karakteristik khusus jenis amal
shalih yang harus diperbuat manusia untuk mendapatkan nikmat
yang dilambangkan dengan simbol bidadari tersebut.
Al-S{abūnī juga membuat tafsiran tentang maksud
diberikannya simbol bidadari tersebut, yang tidak lain adalah
merupakan cara tersendiri dari al-Qur`ān dalam melukiskan
tentang dan untuk al-targīb wa al-tarhīb kepada hamba-hamba
Allah.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

xvi
Dalam sejarah tafsir al-Qur’a>n,1 didapatkan realita

keanekaragaman penafsiran2 atas al-Qur’a>n oleh para mufassir, sesuai

dengan kecenderungan, background keilmuan, setting sosial, budaya, politik

dan sebagainya.3 Para ahli fikir menafsirkan dengan corak kerasionalannya, 4

ahli filsafat menafsirkan dengan corak kefilsafatannya, 5 ahli fiqih dengan

kefikihannya,6 ahli tasawuf menafsirkan dengan kesufiannya, dan ahli sosial

1
Tentang sejarah tafsīr al-Qur’a>n secara sekilas lihat misalnya dalam S}ubhi
Al-S}alih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’ān, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, cetakan ketiga, 1992), hlm. 383-395.
2
Tafsīr dalam konteks penelitian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan
oleh M. Quraish Shihab sebagai “Upaya memahami maksud firman-firman Allāh sesuai dengan
kemampuan manusia.” Lihat M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’a>n; Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 15.
3
Kitab tafsīr yang pertama ditulis adalah dari Said ibn Jubair atas perintah
Khalifah ‘Abdul Mālik. Namun pengarang kitab tafsīr terlengkap pertama adalah Abū Ja’far
Muh{ammad ibn al-Ţabari (839-32) dengan karya masyhurnya Jamī’ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur’ān, (Mesir: Amiriya, 1330 H). Kitab inilah yang dijuluki sebagai “ibu segala tafsīr”. Ia
merupakan cikal bakal dari tafsīr bi al- ma’s\ūr. Jejak kitab ini kemudian diikuti oleh ahli tafsīr
lain seperti Ibn Kas\ir dalam Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Az}īm; juga al-S}uyut}i dalam Al-Dūrr al-
Mans\ūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’s\ūr, Nasyr Muh}ammad Amīn (Duma’, Mu’assasah, Beirut,
t.t.). Pada perkembangan masa-masa berikutnya banyak yang mengembangkan pola tafsīr tematik
maud}u’i). Oleh karenanya kita bisa dengan mudah menemukan tafsīr-tafsīr tematik (tafsīr
maud}u’i), dimana dalam bidang ini didominasi oleh tafsīr humanistic atau antropologis. Jenis-
jenis kitab ini sangat banyak, lihat misalnya: ‘Aisyat ‘Abd al-Rahmān bint al-Syāti, Al-Maqāl fī
al-Insān, Dirāsat Qur’āniyyāt, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1968).
4
Jenis tafsīr rasional ini contohnya karya Rasyid Rid}a, Tafsīr al-Manār, (Kairo:
Dār al-Mishriyyah, t.t.). Tetapi kitab tafsīr jenis ini yang mendapatkan penilaian bagus dari para
pengamat antara lain: Mafātīh} al-Gaīb karya Imām Fakhr al-Dīn Muh}ammad ibn ‘Umār al-
Rāzī (w. 606), dan Lubāb al-Ta’wīl fī Ma’āni al-Tanzīl oleh ‘Alā al-Dīn ‘Alī ibn Muh}ammad
ibn Ibrāhīm al-Bagdadī (terkenal sebagai Tafsīr Khāzin, w. 741 H).
5
Jenis tafsīr “teologi” (alur Filsafat” lihat misalnya Imām Abī al-Qasīm Jār Allāh
Mah}mūd ibn ‘Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsary, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl , 4 volume, (Beirut: Dār al-Fikr, 1397/1977). Kitab tafsīr ini
terkenal dengan sebutan Tafsīr al-Kasysyāf tergolong unik dalam pemakaianya. Pasalnya ia
merupakan karya seorang pemikir Mu’tazilah, namun menjadi kitab rujukan utama bagi orang-
orang ahl al-sunnah wa al-jamā’ah. Tafsīr jenis ini memiliki kesan pembahasan yang sangat
mendalam sehingga sulit dipahami. Selain itu gersang dari pertunjuk yang menyentuh jiwa, serta
memiliki orientasi tinggi terhadap rasionalisme. Tafsīr lain dari jenis ini antara lain: Anwār al-
Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Baid}awi (w. 791 H), Rūh al-Ma’āni dari Al-Alūsi (w. 1270 H),
Al-Bahr al-Muh} īţ-nya Abu H{ayyan (w. 745 H), Fī Z{ilāl al-Qur’ān oleh Sayyid Qut}b
(1906-1966).
6
Termasuk dalam kelompok ini adalah para ahli h}adis\ dan semacamnya yang
sering disebut sebagai mufassir tradisional. Lihat misalnya Abu Al-Fidā’ Isma’īl Ibn Kas\īr, Tafsīr
Al-Qur’ān al-‘Az}īm, 6 jilid, (Singapura: al-Haramain, t.t.) (juga terbitan, Mesir: Maktabah an-
Nahd}ah al- H{adīs\ah, 1384); Ahmad Musţafa al-Maragī. Tafsīr al-Maragī, (Beirut: Dār al-
Fikr, 1394/1974); Syekh Muh}ammad Nawawī Banten, Marah Labīd Tafsīr Nawawī,
(Semarang: Usaha Keluarga, t.t.).

xvii
juga menafsirkan dengan corak sosiologinya (adabī, ijtimā’ī),7 ahli sejarah

juga menafsirkan dengan kesejarahannya, pakar bahasa mendekatinya

dengan kebahasaan,8 dan sebagainya.

M. Quraish Shihab membagi corak-ragam penafsiran yang dikenal

selama ini antara lain: corak sastra bahasa, corak Filsafat dan teologi, corak

penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra

budaya kemasyarakatan.9

Dari segi kuantitas, kitab tafsīr yang muncul juga sangat banyak,

sehingga nampak bahwa baik secara kualitas maupun kuantitas, pendekatan

terhadap al-Qur’ān dalam bentuk kitab tafsīr seakan telah melampaui zaman

yang ada,10 yakni sekitar 15 abad.

Walaupun demikian, perhatian umat Islam tidak boleh berhenti

sampai di sini. Banyaknya kitab tafsīr bukan berarti al-Qur’ān sudah bisa

difahami secara utuh dan menyeluruh, sebab memang penafsiran al-Qur’ān

tidak akan pernah selesai,11 dan karena Nabi SAW sendiri tidak menafsirkan

semua ayat Al-Qur’ān.12 Maka harus terus selalu berupaya mencari dan

menggali apa yang ada dalam al-Qur’ān, baik yang tersirat maupun tersurat

di dalamnya, dan mencari apa sebenarnya makna yang dikandung dan di

7
Tafsīr “sosio-kultural” misalnya Abdullah Yusuf Ali. The Holy Al-Qur’ān; Text,
Translation, and Commentary, Terj. Ali Audah, Al-Qur’ān Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997).
8
Lihat misalnya Imām Jalāl al-Dīn al-Mah}alli, Imām Jalāl al-Dīn al-S{uyut}ī.
Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm, (Semarang: Toha Putera, t.t.).
9
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 72-73.
10
Tentang berbagai cara dan jalan pendekatan atas al-Qur’ān sehingga
menghasilkan berbagai jenis tafsīr yang jumlahnya hampir tidak terhitung lagi, lihat secara sekilas
dalam Abubakar Aceh. Sejarah Al-Qur’ān, (Solo: Ramadhani, cetakan keenam, 1989), hlm. 50-52.
11
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 16-17.
12
Lihat Muh}ammad Husain Al-Żahabī. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Mesir: Dār
al-Kutub al-H{adīs\ah, 1961), vol. I, hlm. 53.

xviii
maksudkan oleh al-Qur’ān.13 Dalam hal ini, nampak bahwa Al-Qur’ān

memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan

yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada

tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk

interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.

Kandungan al-Qur’ān bersifat multi-interpretatif, sehingga dalam

memahaminya harus melihat berbagai perspektif untuk menemukan makna

utuhnya.14 Maka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ān yang bersifat

fiqhiyah misalnya, dalam memahaminya tidak bisa hanya berkutat dari

masalah hukum saja, tetapi harus pula melihat segi-segi lain yang memiliki

hubungan dengan fiqih, serta berkaitan dengan ayat yang dimaksud.

Demikian pula ketika dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ān yang bersifat

eskatologis tidak bisa hanya berkutat pada informasi tekstual ayat tersebut.

Untuk itu harus dipilah dan dipilih antara ayat-ayat yang bersifat natural dan

yang bersifat supra-natural, ayat-ayat simbolik dan substantif, dan

sebagainya.

Dalam al-Al-Qur’ān, terdapat ayat yang bersifat simbolik yang

selama ini masih sangat jarang diperhatikan substansinya. Hal ini

memunculkan akibat, dikalangan masyarakat Islām, hal-hal yang simbolik


13
Hal ini sejalan dengan pengertian tafsīr menurut Zarkasyi dan S{uyut}ī, yakni
“Ilmu untuk memahami kitab Allāh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad serta untuk
menjalankan makna-maknanya; mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Lihat Badr
al-Dīn al-Zarkasyi. Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqīq Muhammad Abi al-Fahl Ibrāhīm (Beirut:
Dār al-Fikr, cet. 3, 1400) jl. I, hlm. 13.; Jalāl al-Dīn al-S{uyut}ī. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān,
(Mesir: al-Azhariyah, cet .II, 1343/1370), jl. II, hlm. 174. Bandingkan dengan Dr. Fahd ibn
Abdurrahmān Al-Rumi. Ulumul Al-Qur’ān Studi Kompleksitas Al-Qur’ān, Terj. Amirul Hasan
dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997) hlm. 198.
14
Jalaluddin al-S{uyut}ī. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, vol. II, hlm. 304; juga al-
Zarkasyi. al-Burhān, jl. II, hlm. 156-161.

xix
dan fenomenal jarang difahami tentang esensinya. Pemahaman atas ayat-

ayat jenis tersebut umumnya berhenti pada pemahaman yang tekstual dan

lahiriyah, dan berputar pada segi al-Qur’ān sebagai “Warisan Budaya”. 15

Tema-tema seperti neraka, surga dan juga keadaan-kadaannya sering

difahami sebatas informasi tekstual. Pemikirannya telah terbelenggu oleh

deskripsi dunia yang dilarikan kepada konsep alam akhirat yang dibaca dari

al-Qur’ān. Proses transformasi negatif atas pemahaman al-Qur’ān ini justru

mendapatkan dukungan dari karya-karya tafsir yang ada dalam literatur

tafsīr.16

Salah satu tema menarik dari yang kurang dipikirkan (bahkan telah

“tidak dipikirkan” lagi) oleh umat Islām atas tema simbolik itu adalah ayat-

ayat al-Qur’ān yang berbicara tentang bidadari di surga. Konsep “bidadari”

ini begitu populer di kalangan masyarakat Islām, dan sangat menarik

perhatian, terutama masyarakat ‘awam, sehubungan dengan kredit pahala

atas ibadah yang dilakukan. Sehingga ia telah diterima dengan pemahaman

“seperti itu” belaka.

Dalam al-Qur’ān, penyebutan “bidadari” memakai konsep kunci

“h}ūr un ‘īn”,17 dan secara umum diberi makna sebagai “bidadari”. Oleh

para ulama, umumnya ia dipahami sebagai sesosok wanita yang sangat

cantik jelita,18 dan bayangan akan “sosok cantik” tersebut tentunya relatif
15
Nas}r Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’ān, Kritik terhadap Ulumul Al-
Qur’ān, Terj. Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 11-13.
16
Fazlur Rahmān. Tema Pokok Al-Qur’ān, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung,
Pustaka, cetakan kedua, 1996), hlm. ix.
17
Ayat-ayat pokok antara lain Qs. Al-Rahmān /55:72; Al-S{āfāt:48; dan yang
memakai kata “hurun ‘in” adalah: Al-Dukhan:54; Aţ-Ţur:20; Al-Waqi’ah:22.
18
Penggambaran ini juga banyak dilakukan oleh para ulama Indonesia, lihat
misalnya esai menarik dari A. Mudjab Mahalli. Muslimah dan Bidadari, (Yogyakarta: Mitra

xx
dalam penggambaran masing-masing ulama. Tentu saja model

“membayangkan” ini, menjadi agak kontroversial jika dihadapkan dengan

konsep teologis bahwa surga –yaitu bahwa bidadari menjadi salah satu

elemen penting di dalamnya- tidak bisa dibayangkan.

Jika dilihat dari konteks historis dan kultural di saat masa-masa al-

Qur’ān di turunkan, penggambaran Allāh tentang janji surga dengan segala

sebutan kenikmatannya menjadi sesuatu hal yang wajar. 19 Pada masa-masa

awal Islām, umat Islām sedang berjuang keras untuk menyebarkan Islām dan

menciptakan peradaban Islām. Ummat Islām dituntut mengerahkan segala

kemampuan, taktik, strategi demi pengakuan dunia atas Islām. Itu terjadi di

sebuah kawasan padang pasir tandus, gersang, dan sangat panas, sehingga

perjuangan itu menjadi suatu hal yang sangat melelahkan dan menguras

tenaga fisik maupun psikis.20

Dalam al-Qur’ān banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang

menghubungkan antara jihad dengan pahala yang besar di sisi Allāh, 21 dan

dalam konteks refreshing, Allāh menjanjikan iming-iming dengan surga

beserta gambaran-gambaran yang menyejukkan, seperti gunung atau bukit

yang menghijau, mengalir di bawahnya sungai-sungai, baik air, madu dan


Pustaka, 1996), hlm. 28-30.
19
Kalimat yang membicarakan surga dalam al-Qur’ān meliputi 174 kalimat dalam
158 ayat.
20
Kondisi padang pasir dengan alam geografisnya memunculkan watak umum
bangsa Arab yang bertemperamen keras, enggan berkompromi, dan semangat mempertashankan
diri serta rasnya secara berlebihan, serta memiliki “darah-panas” yang dominan. Kondisi ini
pulalah yang kemudian memunculkan peradaban jahiliyyah. Lihat penjelasan menarik tentang hal
ini secara menyeluruh dalam Toshihiko Izutsu. Etika Beragama dalam Al-Qur’ān, Terj.
Mansuruddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 43-56, 78-110. Lihat juga Muhammad
Sholikhin, Karakter Manusia Beriman (Teori dan Aplikasi “Al-Iman” menurut Al-Qur’ān),
(Semarang: Paguyuban Pengajian ‘Arafah, Februari 2003), hlm. 42-51.
21
Konsep jihad dalam segala bentuknya disebutkan sebanyak 41 dalam al-Qur’ān.

xxi
susu; dan tidak ketinggalan di tengah taman yang indah itu terdapat

bidadari-bidadari yang sangat cantik yang selalu siap melayani. Semua itu

bermuara pada kesejukan, kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan.22 Dan

deskripsi bidadari yang ada dalam benak umum masyarakat Islām adalah

bermuara pada pengertian wanita cantik dan şālihat secara fisik.23

Pemahaman seperti ini tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sebab

dalam ayat-ayat yang terkait terdapat zawwaja (wa zawwajnāhum bi h}ūrin

‘īn).24 Kata zawwaja merupakan kata yang memiliki lebih dari satu makna.

Tetapi selama ini pemahaman umum telah terbelenggu dengan pemahaman

yang monolitik, dalam arti kalimah tersebut lebih diorientasikan dengan

persoalan pernikahan. Di dalam berbagai kitab tafsīr sendiri banyak

dikemukakan bahwa pengartian nikah, atau zauj lebih mengarah pada

Pengertian wat}i’.25 Mind-set secara umum hampir-hampir telah

terkontaminasi ol2eh pemaknaan ini, sehingga banyak masyarakat yang

terbuai dengan lamunan akan kenikmatan fisik bersama bidadari tersebut.26

Sementara konsepsi bidadari ini dalam ayat-ayat al-Qur’ān lebih mengarah

pada makhluk supra-natural (makhluk ukhrawi) yang tidak bisa secara

gegabah diapresiasi dalam bentuk rupa apa dan siapa.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap

penafsiran konsep bidadari ini, yang lebih mengarah kepada pengertian wa

22
Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī, S{afwah al-Tafāsīr, (Beirut: Dār al-Fikr,
cetakan I, 1416 H/1996 M), jl. III, hlm. 280-284.
23
Lihat Tafsīr Ibn Kas\īr, juga Tafsīr al- Qurt}ubī, dalam CD-Rom The Holy Al-
Qur’ān, Sakhr Co. Ltd., Riyadh, 1997, Qs. Al-Dukhan: 54.
24
Qs. Al-Dukhan:54.
25
Lihat. Ibid.
26
Dalam istilah Arkoun, masyarakat Islām umumnya telah terjebak ke dalam
“angan-angan keagamaan”, Lihat Arkoun, Nalar Islāmi, hlm. 290-192.

xxii
zawwajnahum bi h}ūr in ‘īn, di mana zawwaja berasal dari kata zauj dalam

makna qarīn yang berarti “Aku jadikan teman bagi mereka” sebagaimana

yang ada dalam tafsīr S}afwah al-Tafāsīr. Dalam pengertian ini,

terkandung maksud utama, yakni berkumpulnya hamba-hamba Allāh dengan

aneka ragam “kenikmatan” yang sangat memuaskan dan membahagiakan

mereka.

Penelitian ini dipusatkan pada penafsiran Muhammad ‘Alī al-

S{ābūnī dalam kitabnya S{afwah al-Tafāsīr, karena al-S{ābūnī melalui

karya tafsirnya tersebut secara tegas menyatakan bahwa bidadari di surga

merupakan simbol dari nikmat tambahan atas pahala bagi orang-orang yang

beriman. Suatu pendapat yang jarang didapatkan.

Maksud penelitian ini adalah mengungkapkan penafsiran M. ‘Alī al-

S{ābūnī dalam kitabnya S{afwah al-Tafāsīr tentang makna dan hakekat

bidadari. Selama ini penafsiran di kalangan ummat Islām tentang bidadari

lebih bermakna duniawi, artinya bidadari difahami sebagai sesosok gadis

perawan yang cantik jelita, tanpa tanding, yang akan melayani para

penghuni surga sebagai salah satu balasan akan amal baiknya. Pemahaman

umum juga mengasumsikan bahwa bidadari berjenis kelamin perempuan,

atau wanita suci.

Pada sisi lain, al-S{ābūnī yang selama ini terkenal dengan

.kepakarannya dalam bidang hukum melalui metodologi yang ia terapkan,

ternyata ia juga mampu menerapkannya dalam menggali esensialitas dari

ayat-ayat eskatologis yang bersifat simbolis, dalam arti ia berusaha

xxiii
mereduksi dan mencari persamaan serta perbedaan perspektif dari sekian

banyak tafsir yang ada, selanjutnya mencari arti esensialnya dari adanya

persamaan dan perbedaan tersebut. Ia juga memberikan deskripsi yang

mudah ditangkap oleh rasio manusia dengan tidak mengeyampingkan

konsep substansinya bahwa hakekat akhirat tidak bisa ditangkap oleh panca

indera dan nalar manusia, sehingga semua berita keakhiratan harus diterima

sebagai gambaran deskriptif simbolis yang tidak bisa dimaknai sebagaimana

teks yang ada.

Demikian pula konsepsi tentang bidadari tidaklah bisa ditangkap

secara hakiki sebagai sosok perempuan cantik jelita yang siap melayani

setiap saat, bagi orang yang berada di surga, dan siap memenuhi kebutuhan

biologis manusia di sana. Dalam arti bidadari tidak bisa hanya digambarkan

sebagai berseks perempuan.

Penelitian ini menjadi penting, karena M. ‘Alī al- S{ābūnī

merupakan pakar tafsir kontemporer yang dalam pemahaman-pemahamanya

sebagian besar cukup kontroversial dari segi hasil penafsiran dan dari segi

metodologi al- S{ābūnī mampu menggabungkan antara metodologi tafsir

klasik dengan metodologi modern.

B. Pokok Masalah

Berdasar pada alur latar belakang di atas, maka dapat diketahui

bahwa konsepsi mengenai bidadari menjadi salah satu konsep kunci tentang

kenikmatan surga yang dijanjikan Allāh atas hamba-hamba-Nya yang şālih.

xxiv
Namun pengertian yang sebetulnya “ukhrawi” itu, dalam pemikiran umum

masyarakat Islām terbawa menjadi bersifat “duniawi”. Maka dapat

dirumuskan persoalan pokok dalam penelitian ini, yaitu “apakah yang

dimaksud dengan “bidadari” tersebut menurut ‘Alī al-S{ābūnī?”.

Jelasnya setelah mendeskripsikan tentang pengertian dan

pemahaman umum tentang “bidadari”, penulis akan melanjutkan

pembahasan dengan menganalisis kesalah-mengertian pemahaman atas

konsep “bidadari”, baik yang dikemukakan olah para ahli tafsīr dalam karya

tafsirnya, maupun dalam masyarakat, dan kemudian menfokuskan penelitian

pada penafsiran konsep “bidadari” menurut M ‘Alī al-S{ābūnī.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis-jenis

penafsiran tentang “h}ūrun ‘in” (bidadari) dan menggali makna terdalam

tentang bidadari menurut pandangan M. ‘Alī al-S{ābūnī.

Adapun kegunaan dari penelitian ini dimaksudkan:

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi ummat Islām tentang wacana

pemikiran bidadari.

2. Sebagai sumbangsih pemikiran Islām Indonesia tentang khazanah tafsīr

tematik, terutama tentang tafsīr bidadari yang belum mendapatkan

apresiasi semestinya dari ulama Islām.

xxv
3. Agar ummat Islām meningkatkan cara berfikir dan mengembangkan

pola penafsiran ke arah ayat-ayat yang membicarakan konsep terpenting

bagi amalnya di kemudian hari.

D. Metode Penelitian

Dari permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, maka penulis

menetapkan metodologi penelitian yang meliputi sifat penelitian,

pendekatan, dan analisis datanya.

Sebagaimana akan tergambar dalam kegiatan penghimpunan data

dalam penulisan ini, maka studi ini dilakukan berdasar pada studi

kepustakaan (library research), yaitu aktivitas pengumpulan data dengan

pengamatan atas bahan tertulis yang diperoleh dari perpustakaan dan bahan-

bahan yang bersifat kepustakaan.

Sebagaimana dikatakan oleh Moh. Nazir, studi ini melibatkan unsur-

unsur pengumpulan data primer terlebih dahulu, lalu ditunjang dengan data

sekunder,27 karena realitas yang dipelajari dalam studi ini adalah berupa

pemahaman umum masyarakat muslim (termasuk para mufassir) bahwa

bidadari di surga itu bersifat fisik sebagai wanita cantik jelita dan siap selalu

melayani orang shaleh di akhirat, dan dipusatkan pada hasil penafsiran dari

M. ‘Alī al- S{ābūnī.

Oleh karenanya sumber penelitian sebagai fokus perhatian studi ini

adalah data-data kualitatif melalui penelitian kepustakaan yang relevan

dengan pokok permasalahan, sehingga pengumpulan datanya dilakukan


27
Moh. Nazir. Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 63..

xxvi
dengan library research. Yaitu dengan mengumpulkan data-data formal yang

berkaitan dengan makna bidadari, seperti yang diperoleh dari kitab-kitab

tafsīr al-Qur’ān dan h}adīs\, dan pandangan para ulama umumnya yang

tertulis. Tentu juga akan mengumpulkan sumber lain yang memiliki

relevansi dengan studi ini, seperti kitab-kitab fiqih, teologi, sastra dan

sebagainya.

Dalam menelaah obyek penelitian, studi ini menggunakan landasan

pendekatan multi-disipliner. Ia memanfaatkan beberapa pendekatan yang

dipandang penting, seperti: pendekatan teologis, filosofis, sosio-kultural,

historis, dan semantik. Sifat pendekatan itu saling melengkapi dalam analisis

data yang dihimpun. Namun pendekatan yang dominan adalah filosofis,

semantik dan teologis.28 Penerapan ketiga pendekatan analisis tersebut

menggunakan logika induktif dan deduktif.29

Sementara dalam pola pendekatan tafsir, penulis lebih

mengutamakan metode tematik (maud}ū’ī) menurut Quraish Shihab.

Metode maud}ū’ī –menurut Quraish Shihab- mempunyai dua

pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Qur’ān

dengan menjelaskan tujuan-tujuan secara umum dan yang merupakan tema

sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam

dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema

28
Tentang pendekatan terakhir lihat Abdul Ghaffur. Metode Penelitian
Perbandingan Agama, (Jombang: Darul ‘Ulūm, 1997), hlm. 63.
29
Tentang pendekatan-pendekatan tersebut lihat Gorys Keraf. Argumentasi dan
Narasi, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 43, 57.; juga bandingkan dengan Chris Bekker,
Metodologi Penelitian Fīlsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 43.

xxvii
tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-

Qur’ān yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat

al-Qur’ān dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,

kemudian menjelaskan Pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna

menarik petunjuk al-Qur’ān secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. 30

Metode tafsīr maud}ū’ī yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dalam

pengertian yang kedua.

E. Kajian Pustaka

Penelitian tentang pemikiran M. ‘Alī al-S{ābūnī, sejauh temuan

penulis, sampai saat ini belum banyak dilakukan orang. Demikian pula

penelitian yang menyangkut tema bidadari.

Penulis menemukan sebuah karya tulis yang membahas masalah

bidadari dalam al-Qur’ān yang dilakukan oleh Mujab Mahalli, dan

dituangkan dalam buku yang berjudul Muslimah dan Bidadari.31

Judul buku tersebut sebenarnya hanya merupakan salah satu bab dari

keseluruhan buku, yang merupakan hasil dari berbagai tulisan serta ceramah

dari penyusunnya. Sehingga hasil tulisan tentang bidadari yang dilakukan

oleh A. Mujab Mahalli tersebut, barulah sebatas kajian awal yang mewakili

30
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 74.
31
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cetakan
pertama, 1996).

xxviii
mainstream pemikiran ulama Indonesia menyangkut penafsirannya tentang

konsep bidadari dalam al-Qur’ān.

Menurut Mujab Mahalli, konsep bidadari dalam al-Qur’ān lebih

merupakan balasan atau pahala atas amal baik seorang muslim. Wujud

sebagian bentuk dari pahala atas kebaikan tersebut adalah wanita cantik

jelita yang mendampinginya di surga. Dalam hal ini persepsi bidadari

bukanlah simbol, namun bentuk fisik.32

Di samping bidadari yang sudah tersedia di surga, Mujab Mahalli

juga mengungkapkan adanya kemungkinan bahwa seorang muslimah yang

taat, juga akan bisa menjadi bidadari di surga kelak. Jadi bidadari yang

merupakan wanita cantik tersebut memang ada yang tersedia dari surga, dan

ada juga yang berasal dari wanita muslimah dunia, yang kemudian

menjelma menjadi bidadari.33

Selain tulisan Mujab Mahalli, terdapat pula buku yang membahas

tema bidadari, yang ditulis oleh Abu M. Jamal Ismail dengan judul asli

Imtā’u al-Sāmi’īn bi Aushāf al-h}ūr al-’Īn.34 Buku tersebut menjelaskan

tentang sifat-sifat bidadari, baik yang diambil dari penafsiran tekstual atas

al-Qur’ān, h}adīs\-h}adīs\ Nabi, dan kitab-kitab karya ‘ulama. Buku

tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul

Bertemu Bidadari di Surga oleh Abdul Mukti Thabarani.35

32
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari., hlm. 30.
33
Ibid., hlm. 29.
34
Abu M. Jamal Isma’īl, Imtā’u al-Sāmi’īn bi Aushāf al-H{ūr al’Īn, Dar Ulum al-
Qur’ān, Kairo, 1994.
35
Abu M. Jamal Isma’īl. Bertemu Bidadari di Surga, Terj. Abdul Mukti Ţabarani,
(Jakarta: Gema Insani Press, cetekan Kedua, 1423/2002).

xxix
Buku tersebut bukan merupakan penelitian menyeluruh menyangkut

bidadari, bahkan jauh dari kesan akademis. Isinya hanya mengumpulkan

bahan-bahan tertulis yang menunjukkan ciri-ciri fisik bidadari, dan sangat

jelas mengemukakan pesan bahwa bidadari merupakan makhluk perempuan

yang ada di surga, yang disediakan untuk memenuhi kepuasan biologis

penghuni surga, bahkan sebagian isinya lebih bersifat mitos daripada

informasi faktual al-Qur’ān.

Penulis juga menemukan sebuah buku yang berjudul Menjadi

Bidadari Dunia-Akhirat Pendamping Mujahid, buah tangan Mas Udik

Abdullah.36 Akan tetapi setelah membuka buku tersebut, tidak ada sama

sekali pembahasan mengenai bidadari sebagai makna dari h}ūrun ‘īn.

Bidadari dalam buku tersebut ternyata hanya digunakan sebagai

penggambaran atas seorang isteri yang s}ālihah, cantik, dan taat kepada

suaminya yang muslim.

Kitab yang tergolong lengkap dan sistematis memberikan informasi

dan penjelasan mengenai bidadari (h}ūrun ‘īn) adalah karya Ibnu Qayyim

al-Jauziyyah yang bertitel asli Hādy al-Arwāh} ilā Bilād al-Afrāh}. Kitab

ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tamasya ke

Surga oleh Fadhli Bahri, Lc.37

Kitab ini sebenarnya membahas seluk beluk surga beserta seluruh

kenikmatannya, yang pembahasannya didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’ān,

36
Mas Udik Abdullah, Menjadi Bidadari Dunia Akhirat Pendamping Mujahid,
(Bandung: Mujahid Press, 2003).
37
Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Tamasya ke Surga, Terj. Fadhli Bahri, Lc, (Jakarta:
Darul Falah, cetakan ketujuh, 1424).

xxx
berbagai h}adīs\ Nabi, pendapat para sahabat, ulama salaf, kisah-kisah,

dan pendapat Ibnu Qayyim sendiri. Tema mengenai bidadari tercantum

dalam bab kelimapuluh tiga dan kelimapuluh empat. Ia menyajikan

informasi mengenai jenis, pesona, ciri-ciri dan kecantikan bidadari, diikuti

dengan proses penciptaan bidadari di surga.

Karya Ibnu Qayyim ini memang terhitung lengkap dibanding buku

lain yang menyajikan informasi tentang bidadari, akan tetapi informasi yang

ada belum mewakili corak penafsiran al-Qur’ān atas ayat-ayat bidadari

secara mendetail dan jelas, bahkan informasi yang ada bercampur aduk

antara tafsīr, kisah dan mitos. Tentu juga dari sudut pandang akademis, karya

tersebut belum bisa dibilang sebagai karya yang final, terutama tentang ayat-

ayat bidadari.

Sedangkan penelitian penulis akan difokuskan pada analisis

mengenai bidadari M. ‘Alī al-S{ābūnī, yang mengarah pada kesimpulan

bahwa, konsep bidadari menurut al-Qur’ān merupakan simbol atas

kenikmatan surgawi bagi kelompok orang-orang yang dikategorikan sebagai

ahl al-jannah. Dan pemikiran tersebut dituangkan oleh as-Shabuni dalam

kitab tafsīrnya yang berjudul S{afwah al-Tafāsīr. Sementara informasi

mengenai h}ūr un ‘īn yang ditafsīrkan al-S{ābūnī sangat berbeda dengan

yang ada dalam karya-karya tentang bidadari yang sudah ada, sehingga

sangat layak untuk diketahui oleh publik.

F. Sistematika Penulisan

xxxi
Skripsi ini disajikan dalam lima bab pembahasan, yaitu: terdiri dari

satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi, dan satu bab penutup.

Dalam bab I tentang pendahuluan, penulis menyajikan tentang latar

belakang serta pokok permasalahan dalam penelitian ini. Gambaran umum

mengenai penafsiran ummat Islām atas konsep bidadari disajikan dalam

bagian ini. Selain itu juga penulis sajikan tentang alasan pemilihan judul,

tujuan dan kegunaan penelitian, pembatasan dan lingkup pembahasan, telaah

kepustakaan, hipotesis, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Dalam bab II, penulis menyajikan tentang kontribusi M. ‘Alī al-

S{ābūnī dalam pemikiran tafsīr al-Qur’ān. Dalam bab ini penulis membahas

tentang berbagai karya M. ‘Alī al-S{ābūnī beserta garis besar pemikirannya,

yang dalam beberapa hal memang memiliki nuansa-nuansa baru bagi

pemikiran tafsīr al-Qur’ān. Di samping itu juga dikemukakan tentang

penilaian atas karya dan pemikirannya, baik oleh para ulama sejawat

maupun ulama dan cendekiawam lain yang memang memiliki kompetensi

untuk melakukan penilaian atas karya dan pemikiran M. ‘Alī al-S{ābūnī.

Dalam bab III, dikemukakan uraian dan penjelasan tentang

pemahaman dan penafsiran umat Islām tentang bidadari, atau konsepsi

bidadari dalam pemikiran Islām selama ini secara umum. Bagian ini terdiri

atas tiga sub-bab, yakni: ayat-ayat al-Qur’ān tentang bidadari, tafsīr atas ayat

bidadari, dan pandangan masyarakat Islām terhadap makna bidadari.

Jika pada bab III diuraikan penafsiran umum dan konvensional

tentang bidadari, maka dalam bab IV, penulis membahas penafsiran bidadari

xxxii
secara khusus, yakni penafsiran dari M. ‘Alī al-S{ābūnī. Pertama-tama

penafsiran diarahkan dalam kesesuaiannya dengan konteks penafsiran

keakhiratan, dan bukan penafsiran duniawi, dengan membahas metodologi

penafsiran M. ‘Alī al-S{ābūnī. Kemudian penafsiran difokuskan pada

konteks khusus bidadari sebagai simbolisasi kenikmatan dan kelezatan

akhirat bagi orang yang beriaman, sebagaimana perspektif M. ‘Alī al-

S{ābūnī.

Kemudian pada bab V yakni bab penutup, dikemukakan kesimpulan-

kesimpulan yang berisi kesimpulan atau jawaban dari rumusan masalah.

Selain itu juga dikemukakan implikasi penelitian sebagai bahan pemikiran

lebih lanjut.

BAB I

PENDAHULUAN

G. Latar Belakang

Dalam sejarah tafsir al-Qur’a>n,38 didapatkan realita

keanekaragaman penafsiran39 atas al-Qur’a>n oleh para mufassir, sesuai

dengan kecenderungan, background keilmuan, setting sosial, budaya, politik

38
Tentang sejarah tafsīr al-Qur’a>n secara sekilas lihat misalnya dalam S}ubhi
Al-S}alih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’ān, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, cetakan ketiga, 1992), hlm. 383-395.
39
Tafsīr dalam konteks penelitian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan
oleh M. Quraish Shihab sebagai “Upaya memahami maksud firman-firman Allāh sesuai dengan
kemampuan manusia.” Lihat M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’a>n; Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 15.

xxxiii
dan sebagainya.40 Para ahli fikir menafsirkan dengan corak

kerasionalannya,41 ahli filsafat menafsirkan dengan corak kefilsafatannya, 42

ahli fiqih dengan kefikihannya,43 ahli tasawuf menafsirkan dengan

kesufiannya, dan ahli sosial juga menafsirkan dengan corak sosiologinya

(adabī, ijtimā’ī),44 ahli sejarah juga menafsirkan dengan kesejarahannya,

pakar bahasa mendekatinya dengan kebahasaan,45 dan sebagainya.

40
Kitab tafsīr yang pertama ditulis adalah dari Said ibn Jubair atas perintah
Khalifah ‘Abdul Mālik. Namun pengarang kitab tafsīr terlengkap pertama adalah Abū Ja’far
Muh{ammad ibn al-Ţabari (839-32) dengan karya masyhurnya Jamī’ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur’ān, (Mesir: Amiriya, 1330 H). Kitab inilah yang dijuluki sebagai “ibu segala tafsīr”. Ia
merupakan cikal bakal dari tafsīr bi al- ma’s\ūr. Jejak kitab ini kemudian diikuti oleh ahli tafsīr
lain seperti Ibn Kas\ir dalam Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Az}īm; juga al-S}uyut}i dalam Al-Dūrr al-
Mans\ūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’s\ūr, Nasyr Muh}ammad Amīn (Duma’, Mu’assasah, Beirut,
t.t.). Pada perkembangan masa-masa berikutnya banyak yang mengembangkan pola tafsīr tematik
maud}u’i). Oleh karenanya kita bisa dengan mudah menemukan tafsīr-tafsīr tematik (tafsīr
maud}u’i), dimana dalam bidang ini didominasi oleh tafsīr humanistic atau antropologis. Jenis-
jenis kitab ini sangat banyak, lihat misalnya: ‘Aisyat ‘Abd al-Rahmān bint al-Syāti, Al-Maqāl fī
al-Insān, Dirāsat Qur’āniyyāt, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1968).
41
Jenis tafsīr rasional ini contohnya karya Rasyid Rid}a, Tafsīr al-Manār, (Kairo:
Dār al-Mishriyyah, t.t.). Tetapi kitab tafsīr jenis ini yang mendapatkan penilaian bagus dari para
pengamat antara lain: Mafātīh} al-Gaīb karya Imām Fakhr al-Dīn Muh}ammad ibn ‘Umār al-
Rāzī (w. 606), dan Lubāb al-Ta’wīl fī Ma’āni al-Tanzīl oleh ‘Alā al-Dīn ‘Alī ibn Muh}ammad
ibn Ibrāhīm al-Bagdadī (terkenal sebagai Tafsīr Khāzin, w. 741 H).
42
Jenis tafsīr “teologi” (alur Filsafat” lihat misalnya Imām Abī al-Qasīm Jār Allāh
Mah}mūd ibn ‘Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsary, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl , 4 volume, (Beirut: Dār al-Fikr, 1397/1977). Kitab tafsīr ini
terkenal dengan sebutan Tafsīr al-Kasysyāf tergolong unik dalam pemakaianya. Pasalnya ia
merupakan karya seorang pemikir Mu’tazilah, namun menjadi kitab rujukan utama bagi orang-
orang ahl al-sunnah wa al-jamā’ah. Tafsīr jenis ini memiliki kesan pembahasan yang sangat
mendalam sehingga sulit dipahami. Selain itu gersang dari pertunjuk yang menyentuh jiwa, serta
memiliki orientasi tinggi terhadap rasionalisme. Tafsīr lain dari jenis ini antara lain: Anwār al-
Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Baid}awi (w. 791 H), Rūh al-Ma’āni dari Al-Alūsi (w. 1270 H),
Al-Bahr al-Muh} īţ-nya Abu H{ayyan (w. 745 H), Fī Z{ilāl al-Qur’ān oleh Sayyid Qut}b
(1906-1966).
43
Termasuk dalam kelompok ini adalah para ahli h}adis\ dan semacamnya yang
sering disebut sebagai mufassir tradisional. Lihat misalnya Abu Al-Fidā’ Isma’īl Ibn Kas\īr, Tafsīr
Al-Qur’ān al-‘Az}īm, 6 jilid, (Singapura: al-Haramain, t.t.) (juga terbitan, Mesir: Maktabah an-
Nahd}ah al- H{adīs\ah, 1384); Ahmad Musţafa al-Maragī. Tafsīr al-Maragī, (Beirut: Dār al-
Fikr, 1394/1974); Syekh Muh}ammad Nawawī Banten, Marah Labīd Tafsīr Nawawī,
(Semarang: Usaha Keluarga, t.t.).
44
Tafsīr “sosio-kultural” misalnya Abdullah Yusuf Ali. The Holy Al-Qur’ān; Text,
Translation, and Commentary, Terj. Ali Audah, Al-Qur’ān Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997).
45
Lihat misalnya Imām Jalāl al-Dīn al-Mah}alli, Imām Jalāl al-Dīn al-
S{uyut}ī. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm, (Semarang: Toha Putera, t.t.).

xxxiv
M. Quraish Shihab membagi corak-ragam penafsiran yang dikenal

selama ini antara lain: corak sastra bahasa, corak Filsafat dan teologi, corak

penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra

budaya kemasyarakatan.46

Dari segi kuantitas, kitab tafsīr yang muncul juga sangat banyak,

sehingga nampak bahwa baik secara kualitas maupun kuantitas, pendekatan

terhadap al-Qur’ān dalam bentuk kitab tafsīr seakan telah melampaui zaman

yang ada,47 yakni sekitar 15 abad.

Walaupun demikian, perhatian umat Islam tidak boleh berhenti

sampai di sini. Banyaknya kitab tafsīr bukan berarti al-Qur’ān sudah bisa

difahami secara utuh dan menyeluruh, sebab memang penafsiran al-Qur’ān

tidak akan pernah selesai,48 dan karena Nabi SAW sendiri tidak menafsirkan

semua ayat Al-Qur’ān.49 Maka harus terus selalu berupaya mencari dan

menggali apa yang ada dalam al-Qur’ān, baik yang tersirat maupun tersurat

di dalamnya, dan mencari apa sebenarnya makna yang dikandung dan di

maksudkan oleh al-Qur’ān.50 Dalam hal ini, nampak bahwa Al-Qur’ān

memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan


46
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 72-73.
47
Tentang berbagai cara dan jalan pendekatan atas al-Qur’ān sehingga
menghasilkan berbagai jenis tafsīr yang jumlahnya hampir tidak terhitung lagi, lihat secara sekilas
dalam Abubakar Aceh. Sejarah Al-Qur’ān, (Solo: Ramadhani, cetakan keenam, 1989), hlm. 50-52.
48
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 16-17.
49
Lihat Muh}ammad Husain Al-Żahabī. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Mesir: Dār
al-Kutub al-H{adīs\ah, 1961), vol. I, hlm. 53.
50
Hal ini sejalan dengan pengertian tafsīr menurut Zarkasyi dan S{uyut}ī, yakni
“Ilmu untuk memahami kitab Allāh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad serta untuk
menjalankan makna-maknanya; mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Lihat Badr
al-Dīn al-Zarkasyi. Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqīq Muhammad Abi al-Fahl Ibrāhīm (Beirut:
Dār al-Fikr, cet. 3, 1400) jl. I, hlm. 13.; Jalāl al-Dīn al-S{uyut}ī. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān,
(Mesir: al-Azhariyah, cet .II, 1343/1370), jl. II, hlm. 174. Bandingkan dengan Dr. Fahd ibn
Abdurrahmān Al-Rumi. Ulumul Al-Qur’ān Studi Kompleksitas Al-Qur’ān, Terj. Amirul Hasan
dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997) hlm. 198.

xxxv
yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada

tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk

interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.

Kandungan al-Qur’ān bersifat multi-interpretatif, sehingga dalam

memahaminya harus melihat berbagai perspektif untuk menemukan makna

utuhnya.51 Maka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ān yang bersifat

fiqhiyah misalnya, dalam memahaminya tidak bisa hanya berkutat dari

masalah hukum saja, tetapi harus pula melihat segi-segi lain yang memiliki

hubungan dengan fiqih, serta berkaitan dengan ayat yang dimaksud.

Demikian pula ketika dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ān yang bersifat

eskatologis tidak bisa hanya berkutat pada informasi tekstual ayat tersebut.

Untuk itu harus dipilah dan dipilih antara ayat-ayat yang bersifat natural dan

yang bersifat supra-natural, ayat-ayat simbolik dan substantif, dan

sebagainya.

Dalam al-Al-Qur’ān, terdapat ayat yang bersifat simbolik yang

selama ini masih sangat jarang diperhatikan substansinya. Hal ini

memunculkan akibat, dikalangan masyarakat Islām, hal-hal yang simbolik

dan fenomenal jarang difahami tentang esensinya. Pemahaman atas ayat-

ayat jenis tersebut umumnya berhenti pada pemahaman yang tekstual dan

lahiriyah, dan berputar pada segi al-Qur’ān sebagai “Warisan Budaya”. 52

Tema-tema seperti neraka, surga dan juga keadaan-kadaannya sering

51
Jalaluddin al-S{uyut}ī. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, vol. II, hlm. 304; juga al-
Zarkasyi. al-Burhān, jl. II, hlm. 156-161.
52
Nas}r Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’ān, Kritik terhadap Ulumul Al-
Qur’ān, Terj. Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 11-13.

xxxvi
difahami sebatas informasi tekstual. Pemikirannya telah terbelenggu oleh

deskripsi dunia yang dilarikan kepada konsep alam akhirat yang dibaca dari

al-Qur’ān. Proses transformasi negatif atas pemahaman al-Qur’ān ini justru

mendapatkan dukungan dari karya-karya tafsir yang ada dalam literatur

tafsīr.53

Salah satu tema menarik dari yang kurang dipikirkan (bahkan telah

“tidak dipikirkan” lagi) oleh umat Islām atas tema simbolik itu adalah ayat-

ayat al-Qur’ān yang berbicara tentang bidadari di surga. Konsep “bidadari”

ini begitu populer di kalangan masyarakat Islām, dan sangat menarik

perhatian, terutama masyarakat ‘awam, sehubungan dengan kredit pahala

atas ibadah yang dilakukan. Sehingga ia telah diterima dengan pemahaman

“seperti itu” belaka.

Dalam al-Qur’ān, penyebutan “bidadari” memakai konsep kunci

“h}ūr un ‘īn”,54 dan secara umum diberi makna sebagai “bidadari”. Oleh

para ulama, umumnya ia dipahami sebagai sesosok wanita yang sangat

cantik jelita,55 dan bayangan akan “sosok cantik” tersebut tentunya relatif

dalam penggambaran masing-masing ulama. Tentu saja model

“membayangkan” ini, menjadi agak kontroversial jika dihadapkan dengan

konsep teologis bahwa surga –yaitu bahwa bidadari menjadi salah satu

elemen penting di dalamnya- tidak bisa dibayangkan.

53
Fazlur Rahmān. Tema Pokok Al-Qur’ān, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung,
Pustaka, cetakan kedua, 1996), hlm. ix.
54
Ayat-ayat pokok antara lain Qs. Al-Rahmān /55:72; Al-S{āfāt:48; dan yang
memakai kata “hurun ‘in” adalah: Al-Dukhan:54; Aţ-Ţur:20; Al-Waqi’ah:22.
55
Penggambaran ini juga banyak dilakukan oleh para ulama Indonesia, lihat
misalnya esai menarik dari A. Mudjab Mahalli. Muslimah dan Bidadari, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 1996), hlm. 28-30.

xxxvii
Jika dilihat dari konteks historis dan kultural di saat masa-masa al-

Qur’ān di turunkan, penggambaran Allāh tentang janji surga dengan segala

sebutan kenikmatannya menjadi sesuatu hal yang wajar. 56 Pada masa-masa

awal Islām, umat Islām sedang berjuang keras untuk menyebarkan Islām dan

menciptakan peradaban Islām. Ummat Islām dituntut mengerahkan segala

kemampuan, taktik, strategi demi pengakuan dunia atas Islām. Itu terjadi di

sebuah kawasan padang pasir tandus, gersang, dan sangat panas, sehingga

perjuangan itu menjadi suatu hal yang sangat melelahkan dan menguras

tenaga fisik maupun psikis.57

Dalam al-Qur’ān banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang

menghubungkan antara jihad dengan pahala yang besar di sisi Allāh, 58 dan

dalam konteks refreshing, Allāh menjanjikan iming-iming dengan surga

beserta gambaran-gambaran yang menyejukkan, seperti gunung atau bukit

yang menghijau, mengalir di bawahnya sungai-sungai, baik air, madu dan

susu; dan tidak ketinggalan di tengah taman yang indah itu terdapat

bidadari-bidadari yang sangat cantik yang selalu siap melayani. Semua itu

bermuara pada kesejukan, kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan.59 Dan

56
Kalimat yang membicarakan surga dalam al-Qur’ān meliputi 174 kalimat dalam
158 ayat.
57
Kondisi padang pasir dengan alam geografisnya memunculkan watak umum
bangsa Arab yang bertemperamen keras, enggan berkompromi, dan semangat mempertashankan
diri serta rasnya secara berlebihan, serta memiliki “darah-panas” yang dominan. Kondisi ini
pulalah yang kemudian memunculkan peradaban jahiliyyah. Lihat penjelasan menarik tentang hal
ini secara menyeluruh dalam Toshihiko Izutsu. Etika Beragama dalam Al-Qur’ān, Terj.
Mansuruddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 43-56, 78-110. Lihat juga Muhammad
Sholikhin, Karakter Manusia Beriman (Teori dan Aplikasi “Al-Iman” menurut Al-Qur’ān),
(Semarang: Paguyuban Pengajian ‘Arafah, Februari 2003), hlm. 42-51.
58
Konsep jihad dalam segala bentuknya disebutkan sebanyak 41 dalam al-Qur’ān.
59
Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī, S{afwah al-Tafāsīr, (Beirut: Dār al-Fikr,
cetakan I, 1416 H/1996 M), jl. III, hlm. 280-284.

xxxviii
deskripsi bidadari yang ada dalam benak umum masyarakat Islām adalah

bermuara pada pengertian wanita cantik dan şālihat secara fisik.60

Pemahaman seperti ini tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sebab

dalam ayat-ayat yang terkait terdapat zawwaja (wa zawwajnāhum bi h}ūrin

‘īn).61 Kata zawwaja merupakan kata yang memiliki lebih dari satu makna.

Tetapi selama ini pemahaman umum telah terbelenggu dengan pemahaman

yang monolitik, dalam arti kalimah tersebut lebih diorientasikan dengan

persoalan pernikahan. Di dalam berbagai kitab tafsīr sendiri banyak

dikemukakan bahwa pengartian nikah, atau zauj lebih mengarah pada

Pengertian wat}i’.62 Mind-set secara umum hampir-hampir telah

terkontaminasi ol2eh pemaknaan ini, sehingga banyak masyarakat yang

terbuai dengan lamunan akan kenikmatan fisik bersama bidadari tersebut.63

Sementara konsepsi bidadari ini dalam ayat-ayat al-Qur’ān lebih mengarah

pada makhluk supra-natural (makhluk ukhrawi) yang tidak bisa secara

gegabah diapresiasi dalam bentuk rupa apa dan siapa.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap

penafsiran konsep bidadari ini, yang lebih mengarah kepada pengertian wa

zawwajnahum bi h}ūr in ‘īn, di mana zawwaja berasal dari kata zauj dalam

makna qarīn yang berarti “Aku jadikan teman bagi mereka” sebagaimana

yang ada dalam tafsīr S}afwah al-Tafāsīr. Dalam pengertian ini,

terkandung maksud utama, yakni berkumpulnya hamba-hamba Allāh dengan


60
Lihat Tafsīr Ibn Kas\īr, juga Tafsīr al- Qurt}ubī, dalam CD-Rom The Holy Al-
Qur’ān, Sakhr Co. Ltd., Riyadh, 1997, Qs. Al-Dukhan: 54.
61
Qs. Al-Dukhan:54.
62
Lihat. Ibid.
63
Dalam istilah Arkoun, masyarakat Islām umumnya telah terjebak ke dalam
“angan-angan keagamaan”, Lihat Arkoun, Nalar Islāmi, hlm. 290-192.

xxxix
aneka ragam “kenikmatan” yang sangat memuaskan dan membahagiakan

mereka.

Penelitian ini dipusatkan pada penafsiran Muhammad ‘Alī al-

S{ābūnī dalam kitabnya S{afwah al-Tafāsīr, karena al-S{ābūnī melalui

karya tafsirnya tersebut secara tegas menyatakan bahwa bidadari di surga

merupakan simbol dari nikmat tambahan atas pahala bagi orang-orang yang

beriman. Suatu pendapat yang jarang didapatkan.

Maksud penelitian ini adalah mengungkapkan penafsiran M. ‘Alī al-

S{ābūnī dalam kitabnya S{afwah al-Tafāsīr tentang makna dan hakekat

bidadari. Selama ini penafsiran di kalangan ummat Islām tentang bidadari

lebih bermakna duniawi, artinya bidadari difahami sebagai sesosok gadis

perawan yang cantik jelita, tanpa tanding, yang akan melayani para

penghuni surga sebagai salah satu balasan akan amal baiknya. Pemahaman

umum juga mengasumsikan bahwa bidadari berjenis kelamin perempuan,

atau wanita suci.

Pada sisi lain, al-S{ābūnī yang selama ini terkenal dengan

.kepakarannya dalam bidang hukum melalui metodologi yang ia terapkan,

ternyata ia juga mampu menerapkannya dalam menggali esensialitas dari

ayat-ayat eskatologis yang bersifat simbolis, dalam arti ia berusaha

mereduksi dan mencari persamaan serta perbedaan perspektif dari sekian

banyak tafsir yang ada, selanjutnya mencari arti esensialnya dari adanya

persamaan dan perbedaan tersebut. Ia juga memberikan deskripsi yang

mudah ditangkap oleh rasio manusia dengan tidak mengeyampingkan

xl
konsep substansinya bahwa hakekat akhirat tidak bisa ditangkap oleh panca

indera dan nalar manusia, sehingga semua berita keakhiratan harus diterima

sebagai gambaran deskriptif simbolis yang tidak bisa dimaknai sebagaimana

teks yang ada.

Demikian pula konsepsi tentang bidadari tidaklah bisa ditangkap

secara hakiki sebagai sosok perempuan cantik jelita yang siap melayani

setiap saat, bagi orang yang berada di surga, dan siap memenuhi kebutuhan

biologis manusia di sana. Dalam arti bidadari tidak bisa hanya digambarkan

sebagai berseks perempuan.

Penelitian ini menjadi penting, karena M. ‘Alī al- S{ābūnī

merupakan pakar tafsir kontemporer yang dalam pemahaman-pemahamanya

sebagian besar cukup kontroversial dari segi hasil penafsiran dan dari segi

metodologi al- S{ābūnī mampu menggabungkan antara metodologi tafsir

klasik dengan metodologi modern.

H. Pokok Masalah

Berdasar pada alur latar belakang di atas, maka dapat diketahui

bahwa konsepsi mengenai bidadari menjadi salah satu konsep kunci tentang

kenikmatan surga yang dijanjikan Allāh atas hamba-hamba-Nya yang şālih.

Namun pengertian yang sebetulnya “ukhrawi” itu, dalam pemikiran umum

masyarakat Islām terbawa menjadi bersifat “duniawi”. Maka dapat

dirumuskan persoalan pokok dalam penelitian ini, yaitu “apakah yang

dimaksud dengan “bidadari” tersebut menurut ‘Alī al-S{ābūnī?”.

xli
Jelasnya setelah mendeskripsikan tentang pengertian dan

pemahaman umum tentang “bidadari”, penulis akan melanjutkan

pembahasan dengan menganalisis kesalah-mengertian pemahaman atas

konsep “bidadari”, baik yang dikemukakan olah para ahli tafsīr dalam karya

tafsirnya, maupun dalam masyarakat, dan kemudian menfokuskan penelitian

pada penafsiran konsep “bidadari” menurut M ‘Alī al-S{ābūnī.

I. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis-jenis

penafsiran tentang “h}ūrun ‘in” (bidadari) dan menggali makna terdalam

tentang bidadari menurut pandangan M. ‘Alī al-S{ābūnī.

Adapun kegunaan dari penelitian ini dimaksudkan:

4. Sebagai sumbangan pemikiran bagi ummat Islām tentang wacana

pemikiran bidadari.

5. Sebagai sumbangsih pemikiran Islām Indonesia tentang khazanah tafsīr

tematik, terutama tentang tafsīr bidadari yang belum mendapatkan

apresiasi semestinya dari ulama Islām.

6. Agar ummat Islām meningkatkan cara berfikir dan mengembangkan

pola penafsiran ke arah ayat-ayat yang membicarakan konsep terpenting

bagi amalnya di kemudian hari.

J. Metode Penelitian

xlii
Dari permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, maka penulis

menetapkan metodologi penelitian yang meliputi sifat penelitian,

pendekatan, dan analisis datanya.

Sebagaimana akan tergambar dalam kegiatan penghimpunan data

dalam penulisan ini, maka studi ini dilakukan berdasar pada studi

kepustakaan (library research), yaitu aktivitas pengumpulan data dengan

pengamatan atas bahan tertulis yang diperoleh dari perpustakaan dan bahan-

bahan yang bersifat kepustakaan.

Sebagaimana dikatakan oleh Moh. Nazir, studi ini melibatkan unsur-

unsur pengumpulan data primer terlebih dahulu, lalu ditunjang dengan data

sekunder,64 karena realitas yang dipelajari dalam studi ini adalah berupa

pemahaman umum masyarakat muslim (termasuk para mufassir) bahwa

bidadari di surga itu bersifat fisik sebagai wanita cantik jelita dan siap selalu

melayani orang shaleh di akhirat, dan dipusatkan pada hasil penafsiran dari

M. ‘Alī al- S{ābūnī.

Oleh karenanya sumber penelitian sebagai fokus perhatian studi ini

adalah data-data kualitatif melalui penelitian kepustakaan yang relevan

dengan pokok permasalahan, sehingga pengumpulan datanya dilakukan

dengan library research. Yaitu dengan mengumpulkan data-data formal yang

berkaitan dengan makna bidadari, seperti yang diperoleh dari kitab-kitab

tafsīr al-Qur’ān dan h}adīs\, dan pandangan para ulama umumnya yang

tertulis. Tentu juga akan mengumpulkan sumber lain yang memiliki

64
Moh. Nazir. Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 63..

xliii
relevansi dengan studi ini, seperti kitab-kitab fiqih, teologi, sastra dan

sebagainya.

Dalam menelaah obyek penelitian, studi ini menggunakan landasan

pendekatan multi-disipliner. Ia memanfaatkan beberapa pendekatan yang

dipandang penting, seperti: pendekatan teologis, filosofis, sosio-kultural,

historis, dan semantik. Sifat pendekatan itu saling melengkapi dalam analisis

data yang dihimpun. Namun pendekatan yang dominan adalah filosofis,

semantik dan teologis.65 Penerapan ketiga pendekatan analisis tersebut

menggunakan logika induktif dan deduktif.66

Sementara dalam pola pendekatan tafsir, penulis lebih

mengutamakan metode tematik (maud}ū’ī) menurut Quraish Shihab.

Metode maud}ū’ī –menurut Quraish Shihab- mempunyai dua

pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Qur’ān

dengan menjelaskan tujuan-tujuan secara umum dan yang merupakan tema

sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam

dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema

tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-

Qur’ān yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat

al-Qur’ān dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,

65
Tentang pendekatan terakhir lihat Abdul Ghaffur. Metode Penelitian
Perbandingan Agama, (Jombang: Darul ‘Ulūm, 1997), hlm. 63.
66
Tentang pendekatan-pendekatan tersebut lihat Gorys Keraf. Argumentasi dan
Narasi, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 43, 57.; juga bandingkan dengan Chris Bekker,
Metodologi Penelitian Fīlsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 43.

xliv
kemudian menjelaskan Pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna

menarik petunjuk al-Qur’ān secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. 67

Metode tafsīr maud}ū’ī yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dalam

pengertian yang kedua.

K. Kajian Pustaka

Penelitian tentang pemikiran M. ‘Alī al-S{ābūnī, sejauh temuan

penulis, sampai saat ini belum banyak dilakukan orang. Demikian pula

penelitian yang menyangkut tema bidadari.

Penulis menemukan sebuah karya tulis yang membahas masalah

bidadari dalam al-Qur’ān yang dilakukan oleh Mujab Mahalli, dan

dituangkan dalam buku yang berjudul Muslimah dan Bidadari.68

Judul buku tersebut sebenarnya hanya merupakan salah satu bab dari

keseluruhan buku, yang merupakan hasil dari berbagai tulisan serta ceramah

dari penyusunnya. Sehingga hasil tulisan tentang bidadari yang dilakukan

oleh A. Mujab Mahalli tersebut, barulah sebatas kajian awal yang mewakili

mainstream pemikiran ulama Indonesia menyangkut penafsirannya tentang

konsep bidadari dalam al-Qur’ān.

Menurut Mujab Mahalli, konsep bidadari dalam al-Qur’ān lebih

merupakan balasan atau pahala atas amal baik seorang muslim. Wujud

sebagian bentuk dari pahala atas kebaikan tersebut adalah wanita cantik

67
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 74.
68
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cetakan
pertama, 1996).

xlv
jelita yang mendampinginya di surga. Dalam hal ini persepsi bidadari

bukanlah simbol, namun bentuk fisik.69

Di samping bidadari yang sudah tersedia di surga, Mujab Mahalli

juga mengungkapkan adanya kemungkinan bahwa seorang muslimah yang

taat, juga akan bisa menjadi bidadari di surga kelak. Jadi bidadari yang

merupakan wanita cantik tersebut memang ada yang tersedia dari surga, dan

ada juga yang berasal dari wanita muslimah dunia, yang kemudian

menjelma menjadi bidadari.70

Selain tulisan Mujab Mahalli, terdapat pula buku yang membahas

tema bidadari, yang ditulis oleh Abu M. Jamal Ismail dengan judul asli

Imtā’u al-Sāmi’īn bi Aushāf al-h}ūr al-’Īn.71 Buku tersebut menjelaskan

tentang sifat-sifat bidadari, baik yang diambil dari penafsiran tekstual atas

al-Qur’ān, h}adīs\-h}adīs\ Nabi, dan kitab-kitab karya ‘ulama. Buku

tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul

Bertemu Bidadari di Surga oleh Abdul Mukti Thabarani.72

Buku tersebut bukan merupakan penelitian menyeluruh menyangkut

bidadari, bahkan jauh dari kesan akademis. Isinya hanya mengumpulkan

bahan-bahan tertulis yang menunjukkan ciri-ciri fisik bidadari, dan sangat

jelas mengemukakan pesan bahwa bidadari merupakan makhluk perempuan

yang ada di surga, yang disediakan untuk memenuhi kepuasan biologis

69
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari., hlm. 30.
70
Ibid., hlm. 29.
71
Abu M. Jamal Isma’īl, Imtā’u al-Sāmi’īn bi Aushāf al-H{ūr al’Īn, Dar Ulum al-
Qur’ān, Kairo, 1994.
72
Abu M. Jamal Isma’īl. Bertemu Bidadari di Surga, Terj. Abdul Mukti Ţabarani,
(Jakarta: Gema Insani Press, cetekan Kedua, 1423/2002).

xlvi
penghuni surga, bahkan sebagian isinya lebih bersifat mitos daripada

informasi faktual al-Qur’ān.

Penulis juga menemukan sebuah buku yang berjudul Menjadi

Bidadari Dunia-Akhirat Pendamping Mujahid, buah tangan Mas Udik

Abdullah.73 Akan tetapi setelah membuka buku tersebut, tidak ada sama

sekali pembahasan mengenai bidadari sebagai makna dari h}ūrun ‘īn.

Bidadari dalam buku tersebut ternyata hanya digunakan sebagai

penggambaran atas seorang isteri yang s}ālihah, cantik, dan taat kepada

suaminya yang muslim.

Kitab yang tergolong lengkap dan sistematis memberikan informasi

dan penjelasan mengenai bidadari (h}ūrun ‘īn) adalah karya Ibnu Qayyim

al-Jauziyyah yang bertitel asli Hādy al-Arwāh} ilā Bilād al-Afrāh}. Kitab

ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tamasya ke

Surga oleh Fadhli Bahri, Lc.74

Kitab ini sebenarnya membahas seluk beluk surga beserta seluruh

kenikmatannya, yang pembahasannya didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’ān,

berbagai h}adīs\ Nabi, pendapat para sahabat, ulama salaf, kisah-kisah,

dan pendapat Ibnu Qayyim sendiri. Tema mengenai bidadari tercantum

dalam bab kelimapuluh tiga dan kelimapuluh empat. Ia menyajikan

informasi mengenai jenis, pesona, ciri-ciri dan kecantikan bidadari, diikuti

dengan proses penciptaan bidadari di surga.


73
Mas Udik Abdullah, Menjadi Bidadari Dunia Akhirat Pendamping Mujahid,
(Bandung: Mujahid Press, 2003).
74
Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Tamasya ke Surga, Terj. Fadhli Bahri, Lc, (Jakarta:
Darul Falah, cetakan ketujuh, 1424).

xlvii
Karya Ibnu Qayyim ini memang terhitung lengkap dibanding buku

lain yang menyajikan informasi tentang bidadari, akan tetapi informasi yang

ada belum mewakili corak penafsiran al-Qur’ān atas ayat-ayat bidadari

secara mendetail dan jelas, bahkan informasi yang ada bercampur aduk

antara tafsīr, kisah dan mitos. Tentu juga dari sudut pandang akademis, karya

tersebut belum bisa dibilang sebagai karya yang final, terutama tentang ayat-

ayat bidadari.

Sedangkan penelitian penulis akan difokuskan pada analisis

mengenai bidadari M. ‘Alī al-S{ābūnī, yang mengarah pada kesimpulan

bahwa, konsep bidadari menurut al-Qur’ān merupakan simbol atas

kenikmatan surgawi bagi kelompok orang-orang yang dikategorikan sebagai

ahl al-jannah. Dan pemikiran tersebut dituangkan oleh as-Shabuni dalam

kitab tafsīrnya yang berjudul S{afwah al-Tafāsīr. Sementara informasi

mengenai h}ūr un ‘īn yang ditafsīrkan al-S{ābūnī sangat berbeda dengan

yang ada dalam karya-karya tentang bidadari yang sudah ada, sehingga

sangat layak untuk diketahui oleh publik.

L. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disajikan dalam lima bab pembahasan, yaitu: terdiri dari

satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi, dan satu bab penutup.

Dalam bab I tentang pendahuluan, penulis menyajikan tentang latar

belakang serta pokok permasalahan dalam penelitian ini. Gambaran umum

mengenai penafsiran ummat Islām atas konsep bidadari disajikan dalam

xlviii
bagian ini. Selain itu juga penulis sajikan tentang alasan pemilihan judul,

tujuan dan kegunaan penelitian, pembatasan dan lingkup pembahasan, telaah

kepustakaan, hipotesis, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Dalam bab II, penulis menyajikan tentang kontribusi M. ‘Alī al-

S{ābūnī dalam pemikiran tafsīr al-Qur’ān. Dalam bab ini penulis membahas

tentang berbagai karya M. ‘Alī al-S{ābūnī beserta garis besar pemikirannya,

yang dalam beberapa hal memang memiliki nuansa-nuansa baru bagi

pemikiran tafsīr al-Qur’ān. Di samping itu juga dikemukakan tentang

penilaian atas karya dan pemikirannya, baik oleh para ulama sejawat

maupun ulama dan cendekiawam lain yang memang memiliki kompetensi

untuk melakukan penilaian atas karya dan pemikiran M. ‘Alī al-S{ābūnī.

Dalam bab III, dikemukakan uraian dan penjelasan tentang

pemahaman dan penafsiran umat Islām tentang bidadari, atau konsepsi

bidadari dalam pemikiran Islām selama ini secara umum. Bagian ini terdiri

atas tiga sub-bab, yakni: ayat-ayat al-Qur’ān tentang bidadari, tafsīr atas ayat

bidadari, dan pandangan masyarakat Islām terhadap makna bidadari.

Jika pada bab III diuraikan penafsiran umum dan konvensional

tentang bidadari, maka dalam bab IV, penulis membahas penafsiran bidadari

secara khusus, yakni penafsiran dari M. ‘Alī al-S{ābūnī. Pertama-tama

penafsiran diarahkan dalam kesesuaiannya dengan konteks penafsiran

keakhiratan, dan bukan penafsiran duniawi, dengan membahas metodologi

penafsiran M. ‘Alī al-S{ābūnī. Kemudian penafsiran difokuskan pada

konteks khusus bidadari sebagai simbolisasi kenikmatan dan kelezatan

xlix
akhirat bagi orang yang beriaman, sebagaimana perspektif M. ‘Alī al-

S{ābūnī.

Kemudian pada bab V yakni bab penutup, dikemukakan kesimpulan-

kesimpulan yang berisi kesimpulan atau jawaban dari rumusan masalah.

Selain itu juga dikemukakan implikasi penelitian sebagai bahan pemikiran

lebih lanjut.

BAB II

KONTRIBUSI M. ‘ALĪ AL-S{ĀBŪNĪ

DALAM PEMIKIRAN TAFSĪR AL-QUR`ĀN

C. Karya-Karya al-S{ābūnī dan Garis Besar Pemikirannya

Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī adalah seorang pemikir baru dalam bidang

tafsīr al-Qur`ān (‘ulamā’mufassir baru).75 Dia adalah pengajar pada bidang

Syari’ah dan Dirāsah Islāmiyah pada Universitas King ‘Abd al-‘Aziz di

Makkah.

Menurut penilaian Syekh ‘Abdullāh al-Khayyāt}, khatib Masjid al-

H{arām dan penasehat kementerian pengajaran Arab Saudi, al-S{ābūnī

adalah seorang ‘ulamā’ yang memiliki banyak pengetahuan, yang salah satu

cirinya adalah aktivitasnya yang mencolok di bidang ilmu dan pengetahuan.

Ia banyak menggunakan kesempatannya berlomba dengan waktu untuk

menelorkan karya ilmiahnya yang bermanfaat dan memberi konteks

pencerahan, yang merupakan buah penelaahan, pembahasan dan penelitian

75
Lebih tepatnya adalah mufassir kekinian, atau al-mufassir al-khalaf, penafsir
kontemporer.

l
yang cukup lama.76 Dalam menuangkan pemikirannya, al-S{ābūnī tidak

tergesa-gesa, dan tidak berorientasi mengejar banyaknya jumlah karya tulis,

namun menekankan segi ilmiah, kedalaman pemahaman serta aspek-aspek

kualitas dari sebuah karya ilmiah, untuk mendekati kesempurnaan dan segi

kebenarannya,77 sehingga karya-karyanya di lingkungan ‘ulamā’ Islām

dianggap memiliki bobot yang utama bagi seorang pemikir baru, serta

dianggap tidak hanya penting bagi ummat Islām secara umum, namun juga

penting untuk ditelaah oleh para ‘ulamā’.

Karya pertamanya, berjudul asli Rawā-i’ al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām

min al-Qur`ān dan lebih dikenal dengan tafsīr ayat ahkām, menurut al-

Khayyāt} merupakan kitab yang paling baik dalam masalah tafsīr terhadap

ayat-ayat hukum, disebabkan oleh pola penyusunannya yang menggunakan

pola lama dari segi kekayaan materi pembahasannya dan padat materinya,

dan menempuh pola baru dari segi metodenya, sistematika, dan gaya

(us}lub), yang menjadikannya mudah difahami.78

Kepakaran al-S{ābūnī juga ditentukan oleh kekayaan perspektifnya

tentang sejarah, serta keluasan pembahasannya dalam mengoreksi karya-

karya terdahulu di lingkungan Islām, serta karya-karya keislāman mengenai

al-Qur`ān dari pihak lain (Orientalis dan para pemikir sekuler). Susunan

76
Pengantar (taqdīm) Syekh ‘Abdullāh al-Khayyāţ untuk Muhammad ‘Alī al-
S{ābūnī, Rawā-i’ al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām min al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), juz I,
hlm. 4.
77
Ibid., hlm. 4.
78
Ibid., h.4.

li
tafsīrnya jelas dan terang dalam hal menetapkan peristiwa keislāman serta

menyanggah tuduhan sementara musuh islām dalam tulisan-tulisannya.

Salah satu contoh dalam hal ini adalah mengenai perkawinan Nabi yang

oleh sementara ‘ulamā’ modern dan oleh Orientalis dipandang sebagai hal

yang tercela dan tidak sesuai dengan kenabian Muhammad. Al-S{ābūnī

menerangkan hikmah pensyari’atan poligami oleh Nabi dengan dasar yang

rasional dan logis dengan meninjau berbagai seginya, 79 sebagaimana juga ia

membahas masalah hijab bagi wanita muslim, di mana ia menolak pendapat

orang yang memperkenankan wanita membuka wajah dan kedua telapak

tangannya terhadap orang lain. Al-S{ābūnī menjelaskan dari sudut pandang

pola pergaulan Barat dari segi mafsadatnya, baru kemudian ia menjelaskan

efek-efek pakaian dalam sudut pandang Islām.80

Dalam menafsirkan al-Qur`ān, al-S{ābūnī memadukan antara

sistematika lama dan sistematika modern, dengan metode penyajian yang

ditinjau dari sepuluh (10) segi pembahasan. Sepuluh segi pembahasan yang

umum dipakai al-S{ābūnī dalam menafsirkan al-Qur`ān itu adalah:81

1. Uraian secara lafz}i (lafal) dengan berpegangan atas pandangan ahli-

ahli tafsīr dan ahli-ahli bahasa.

2. Arti global bagi ayat-ayat yang mulia dengan bentuk cetusan (tanpa

sumber pengambilan).

79
Lihat Rawā-i’ al-Bayān, juz II, hlm. 244-274.
80
Ibid., hlm. 303-316.
81
Lihat lebih jauh dalam Muqaddimah M. ‘Alī al-S{ābūnī untuk kitabnya Rawā-i’
al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām Min al-Qur`ān, juz. 1, hlm. 8.

lii
3. Sabab al-nuzu>l, jika ayat-ayat tersebut memang ada Sabab al-

nuzu>l nya.

4. Segi kaitan (hubungan) di antara ayat-ayat yang terdahulu dan ayat-ayat

yang berikutnya.

5. Pembahasan dari segi bacaan-bacaan yang mutawātir.

6. Pembahasan dari segi i’rāb (Nahwu dan S{araf) dengan cara yang

ringkas.

7. Tafsīr, yang meliputi segi-segi rahasia-rahasianya, faedah-faedah dari

segi ilmu balaghah dan kelembutan-kelembutan ilmiahnya.

8. Hukum-hukum syar’i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqaha’ serta

tarjih di antara dalil-dalil mereka.

9. Kesimpulan dengan cara yang ringkas.

10. Penutup pembahasan dengan cara menampilkan segi hikmat al-tasyri’

bagi ayat-ayat yang dibahas.

Memang pada awalnya sepuluh sistematika pembahasan itu digunakan

oleh al-S{ābūnī dalam karya pertamanya yakni Tafsīr āyāt al-Ahkām, namun

pada masa-masa berikutnya sangat mempengaruhi karya-karya sesudahnya,

yang tidak jauh dari langkah-langkah tersebut. Hanya saja, penggunaan

sistematika yang sepuluh tersebut selain dari kitab Tafsīr āyāt al-Ahkām,

digunakan secara praktis dan ringkas. Berbeda dengan penggunaannya di

kitab Tafsīr Āyāt Ahkām, yang digunakan secara rinci dan menyeluruh, di

mana sepuluh sistematika itu digunakan sebagai sub-judul dalam

menerangkan ayat-ayat hukum yang ada.

liii
Selain itu, karya-karya al-S{ābūnī selalu kaya dengan rujukan dan

literatur dari pemikir-pemikir yang mendahuluinya, sebab al-S{ābūnī dalam

setiap karyanya selalu mencoba memadukan pemikiran ‘ulamā’-’ulamā’ tafsīr

baik dari kalangan mutaqaddimīn dan mutaakhkhirīn, dengan demikian dapat

ditarik pemahaman, bahwa secara mendasar corak pemikiran al-S{ābūnī

memiliki corak atau mewakili aliran salaf, dan secara umum tidak jauh

berbeda dengan para ‘ulamā’ Timur Tengah pada umumnya. Hanya saja

dalam memahami hal-hal yang ghaiblah yang agak sedikit berbeda, yang

dalam hal ini al-S{ābūnī melihat janji-janji akhirat sebagai sesuatu yang

harus ditransformasikan ummat Islām di dunia.

Contohnya, dalam memahami janji adanya pahala Allāh dalam bentuk

bidadari –perempuan şālihat yang tiada tandingan kecantikannya di dunia ini,

lahir maupun batin. Bagi al-S{ābūnī hal itu bukan semata sosok perempuan

dalam arti fisik sebagai pendamping orang-orang beriman di surga. Akan

tetapi itu hanya bentuk simbolis bagi pahala keni’matan yang tiada tara untuk

manusia beriman. Jadi belum tentu bentuknya persis seperti itu. Maka

orientasi ibadah seorang mukmin, jangan sampai hanya bertujuan untuk

mendapatkan pahala-pahala simbol tersebut, namun berupaya meraih ridha

Allāh.82

Dengan demikian al-S{ābūnī sebenarnya telah berhasil mendobrak

pola penafsiran al-Qur`ān secara ortodoks, di mana segi-segi ilmiah kurang

diperhitungkan. Al-S{ābūnī memadukan konsep berfikir model ‘ulamā’ al-


82
Lihat misalnya dalam Muhammad Ali al- S{abuni, S{afwah al-Tafāsīr, jl. III, hlm.
246 dan 281. Untuk pengkajian secara rinci dan menyeluruh, lihat pada bab IV mendatang.

liv
salaf, sekaligus mengambil pola dan metode baru yang berkembang di dunia

Islām. Lebih dari itu, al-S{ābūnī juga menggunakan perangkat ilmu-ilmu lain

dalam tafsīrnya, seperti sejarah, sosiologi, anţropologi dan budaya.

Jika al-S{ābūnī menkritisi pemikir lain, ia tidak semata-mata

menyerang hasil pemikirannya, namun lebih memusatkan pada pola

metodologis dan hasil pemikirannya secara sistematis.

Sampai saat ini (ketika skripsi ini dibuat) karya-karya utama M. ‘Alī al-

S{ābūnī –di samping puluhan karya lain yang kurang dikenal masyarakat-

yang telah beredar di masyarakat luas Indonesia ada empat, yaitu:

1) Ikhtişār Tafsīr Ibn Kaŝir

Kitab ini merupakan ringkasan atas kitab tafsīr karya dari Ibnu Kaŝir.

Dalam meringkas kitab tafsīr monumental ini, al-S{ābūnī menempuh

metode maud}u’i. Dari upaya inilah, ummat Islām dapat membaca tafsīr

Ibnu Kaŝir secara mudah, ringkas, dan menyeluruh dari segi substansinya.

2) Rawā-i’ al-Bayān fi Tafsīr āyāt al-Ahkām min al-Qur`ān

Kitab ini berupa tafsīr maudu’i atas ayat-ayat hukum dari al-Qur`ān.

Dalam arti dari kitab inilah kaum muslim dapat mengambil rujukan

hukum-hukum dari marāji’ al-awwal, yakni al-Qur`ān. Darinya ummat

Islām memperoleh banyak kemanfaatan, sebab untuk mengetahui atau

merujuk hukum-hukum positif keagamaan, kemasyarakatan dan

sebagainya, ummat Islām tidak kerepotan memahami al-Quran secara

keseluruhan.

lv
Karya ini menjadi momentum bagi kepakaran al-S{ābūnī di bidang tafsīr

al-Qur`ān, dan sampai saat ini menjadi master piece-nya setelah S{afwah

al-Tafāsīr .

Kitab ini terdiri atas dua juz yang menghimpun khusus ayat-ayat hukum,

dan disusun dengan metode kuliah ilmiah dengan mengkompromikan

sistematika lama dan baru yang sampai sekarang kitab ini menjadi rujukan

utama bagi ummat Islām.

Memang kitab ini disusun setelah 10 tahun masa pengabdiannya di

Fakultas Syari’ah dan Dirāsah Islāmiyah, Makkah, dan setelah melahirkan

sejumlah karya ilmiah, namun baru setelah karya inilah nama al-S{ābūnī

mencuat di masyarakat Islām seluruh dunia.

3) Al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān

Karya ini merupakan “diktat” utama bagi penelaahan tentang ilmu-ilmu

al-Qur`ān secara lengkap.83 Kitab ini disusun dengan sistematika yang

baik, penyajian yang ringkas, dan meliputi hampir keseluruhan wacana

pokok yang dibutuhkan bagi pendalaman seluk-beluk mengenai al-Qur`ān

(mengenai ‘ulūm al-Qur`ān, asbab al-nuzul, hikmah penurunan al-Qur`ān

sedikit demi sedikit/saling terpisah, pengumpulan al-Qur`ān, mengenai

tafsīr dan penafsirnya, para mufassir kalangan tabi’in, i’jāz al-Qur`ān,

mu’jizat al-Qur`ān dalam perspektif ilmiah, makna penurunan al-Qur`ān

dalam tujuh huruf serta qira’ah-qira’ah yang masyhur).

4) S{afwah al-Tafāsīr Tafsīr lil-Al-Qur`ān al-Karīm84

83
Terdiri atas 9 bab, 239 halaman. Lihat Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī, al-Tibyān fī
‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: ‘Alīm al-Kutub, 1985/1405).

lvi
Ini adalah karya mutakhir dari al-S{ābūnī, yang sampai saat ini menjadi

karya monumentalnya. Dalam kitab tafsīr ini, al-S{ābūnī memadukan

antara al-ma’tsur dengan al-ma’qul, dan menghimpun sejumlah pandangan

‘ulamā’ kenamaan dengan kitab-kitab tafsīr yang monumental. Pandangan-

pandangan yang dihimpunkannya terutama adalah dari tafsīr al-T}abarī,

al-Kasysyāf, al-Qurt}ubī, al-Alūsi, Ibnu Kas\īr, dan al-Bahr al-

Muh}īt}, di samping sejumlah kitab tafsīr lain.

Kitab tafsīr ini disusun dengan us}lub yang mudah namun tetap ilmiah,

dan dengan struktrur yang mudah, namun tetap mengacu pada pola

penafsiran al-S{ābūnī yang memperhatikan sepuluh hal sebagaimana

dipakai dalam pola Tafsīr Āyāt al-Ahkām di atas.

Kitab ini terbit pertama kali untuk umum tahun 1996/1416 oleh penerbit

Dār al-Fikr Beirut-Lebanon,85 yang terdiri atas tiga jilid tebal (jilid pertama

terdiri atas 568 halaman, jilid kedua 552 halaman, dan jilid ketiga 607).

Penyusunan kitab S{afwah al-Tafāsīr sendiri memerlukan waktu yang

cukup lama, serta pendalaman dan diskusi ilmiah serta diskusi publik yang

matang. Sebelum kitab ini diterbitkan untuk umum pada tahun 1996, naskah

84
Dalam edisi yang diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-Islāmiyah : Jakarta, 1999
berjudul S{afwah al-Tafāsīr Tafsīr al-Qur`ān al-‘Az}īm.
85
Pada terbitan pertama ini, kehadiran kitab ini mendapatkan sambutan dari tujuh
tokoh ‘ulamā’ terkemuka Timur Tengah, masing-masing: Dr. ‘Abd al-H{alim Mah}mūd
(Rektor Universitas Al-Azhar Mesir), Syekh ‘Abdullāh ibn H{amīd (Kerpala Majlis Hakim
Tinggi dan Kepala Umum Jawatan urusan Agama Masjid al-H{arām), Syekh Abi al-Hasan ‘Alī al-
H{asani al-Nadwi (Kepala Persatuan ‘ulamā’ Asia), Dr. ‘Abdullāh ‘Umar Nas}īf (Mudir
Kerajaan Arab Saudi), Dr. Rasyīd ibn Rajīh (Dekan Fakultas Syari’ah), Syekh ‘Abdullāh
Khayyāt} (Khatuib Masjid al-H{arām Makkah), dan Syekh Muhammad Al-Gazalī (Kepala
Bidang Dakwah dan Ushul al-Dīn Fakultas Syari’ah). Untuk tanggapan-tanggapan atas kitab
S{afwah al-Tafāsīr ini akan dibahas pada sub-bab B di bawah.

lvii
kitab ini sudah diterbitkan untuk kalangan terbatas dan sebagai bahan kuliah

di Universitas Makkah.

Penerbitan naskah ini secara terbatas dimulai pada tahun 1975/1395 di

kalangan ‘ulamā’ masjid al-H{arām, yang diberi kata sambutan oleh Syekh

‘Abdullāh Khayyāt}, seorang ‘ulamā’ yang selalu mengapresiasi karya-

karya al-S{ābūnī, untuk mendapatkan apresiasi dan tash}i>h} dari

kalangan ‘ulamā’.

Kemudian pada tahun 1976/1396 diterbitkan di lingkungan kampus

dengan kata sambutan ‘Abd al-H{alim Mah}mūd, Syekh Abi al-H{asan

‘Alī al- H{asani al-Nadwi, Rasyīd ibn Rajīh, dan Syekh Dr. Muhammad al-

Gazalī. Penerbitan ini dimaksudkan untuk mendapatkan tanggapan dari

kalangan akademisi dan kalangan cendekiawan.

Pada tahun 1977/1397, karya tersebut mendapatkan semacam

pengesahan dari Masjlis al-Qad}a’ al-A’lā Arab Saudi, dengan kata

sambutan dari Syekh ‘Abdullāh ibn H{amīd. Dan berikutnya setelah

mengalami berbagai revisi, serta mendapatkan berbagai “tashih” dari

berbagai kalangan dan kelembagaan, pada tahun 1980/1400 mendapatkan

sambutan dari kerajaan dengan kata sambutan ‘Abdullāh ‘Umar Nas}īf.

Namun walau demikian, al-S{ābūnī belum berani menerbitkannya

untuk kalangan umum. Baru pada tahun 1996, al-S{ābūnī berani

menerbitkannya untuk masyarakat muslim. Sehingga proses keseluruhan

penulisan dan penerbitan kitab S{afwah al-Tafāsīr membutuhkan waktu 30-

an tahun.

lviii
Dalam menyusun tafsīrnya ini, al-S{ābūnī menggunakan metode yang

khusus, di samping juga menempuh sepuluh jalan sebagaimana telah

digunakannya dalam karya terdahulu. Metode khusus dalam tafsīr ini meliputi

tujuh jalan, yaitu:86

1. Dimulai dengan penjelasan secara global untuk setiap surat, dengan

menjelaskan maksud dan substansi, serta pokok-pokok ajaran yang

terkandung di dalamnya.

2. Mencari munasabah antara ayat yang mendahului dengan ayat-ayat

yang mengikutinya.

3. Dari segi tatabahasa menggunakan penjelasan isytiqaq bahasa Arab dan

yang menguatkannya.

4. Sabāb al-nuzul terhadap ayat-ayat yang memiliki sabāb.

5. Langkah penafsiran.

6. Segi-segi balaghah.

7. Segi-segi fawāid dan lat}āif.

Sedangkan secara tekhnis, langkah-langkah penafsiran al-S{ābūnī

dalam S{afwah al-Tafāsīr mencakup enam langkah sistematis, adalah

sebagai berikut:

a. Menuliskan rangkaian ayat-ayat yang akan ditafsīrkan yang meliputi satu

tema dari suatu surat.

b. Mencari munasabah antar ayat.

c. Kajian secara lughawi dari kata-kata sulit atau baru, yang belum

disebutkan pada surat atau ayat sebelumnya.


86
Ibid, jl. I, hlm. 14-15.

lix
d. Langkah menafsirkan dari ayat ke ayat dalam satu tema, di mana sejumlah

ayat telah disebutkan/dituliskan tadi.

e. Tinjauan segi balaghahnya

f. Menyebutkan faedah dari suatu surat yang terdapat pada bagian akhir

penafsiran dalam satu surat.

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ān, al-S{ābūnī lebih banyak

menafsirkan berdasarkan pengertian ayat-ayat al-Qur`ān itu sendiri, dan tidak

jarang menggunakan pola penafsiran ayat dengan ayat. Hampir tidak

ditemukan penggunaan hadiŝ Nabi, kecuali sangat sedikit dalam

penafsirannya. Hanya saja untuk memperkuat atau membandingkan hasil

pemikiran tafsīrnya al-S{ābūnī sering mengutip pendapat-pendapat mufassir

besar, yang bagi ummat Islām dunia sudah tidak asing lagi. Jadi nampak

sekali bahwa al-S{ābūnī berusaha agar al-Qur`ān berbicara sesuai dengan

dirinya sendiri, sejauh menurut penafsiran al-S{ābūnī tentangnya.

Sedangkan yang membuat nilai lebih tafsīr ini layak diperhitungkan, di

samping sistematika yang sudah disebutkan tadi adalah, bahwa terdapat garis

tegas keterhubungan entri-entri al-Qur`ān melalui pola munasabah al-ayat

yang dilakukan al-S{ābūnī, dan itu tidak terlepas dari tafsīr yang

diberikannya kemudian.

Adapun nama S{afwah al-Tafāsīr diambil dikarenakan makna-makna

penafsiran di dalamnya menghimpunkan hampir semua kitab-kitab tafsīr

besar secara berkesinambungan, secara ringkas namun sistematis, langsung

pada sasaran dan langsung menjelaskan. Sehingga pemberian nama tersebut

lx
adalah memberikan dedikasi bagi ‘ulamā’ terdahulu, dan sekaligus untuk

memberi penjelasan langsung bahwa tafsīr ini oleh penulisnya dianggap telah

mewakili seluruh tradisi pemikiran tafsīr Al-Qur`ān dalam Islām, dalam

menunjukkan ke arah S{irat} al-mustaqim.87 Bahkan isinya, oleh

penulisnya dianggap mencakup zamannya sendiri, sekaligus melewati

zamannya.88

D. Penilaian atas Karya dan Pemikirannya

Secara umum, para ‘ulamā’ dan cendekiawan memberikan penilaian

yang cukup positif terhadap munculnya kitab S{afwah al-Tafāsīr , berikut

pemikiran-pemikiran yang ada di dalamnya. Tentu saja ini juga sebagian

diakibatkan, bahwa karya-karya sebelumnya dari al-S{ābūnī telah

memberikan konstribusi yang cukup berarti dalam pengembangan pemikiran

dan penafsiran di dunia Islām.

‘Abd al-H{alim Mah}mūd menilai bahwa karya-karya tafsīr al-

S{ābūnī merupakan karya yang berhasil dalam upaya memberikan

pencerahan, yang menunjukkan kapabilitas penulisnya yang betul-betul

memiliki pemahaman yang hampir sempurna dalam seluk beluk tafsīr al-

Qur`ān, sehingga dalam karya tafsīrnya, ia berhasil meruju’kan berbagai

karya-karya induk tafsīr Al-Qur`ān di dalam kitabnya, dan sekaligus dalam

kitab tersebut didapatkan perpaduan harmonis antara ilmu tafsīr dan sejarah.89

87
Ibid., hlm. 4.
88
Ibid..
89
Ibid., hlm. 5.

lxi
Syekh ‘Abdullāh ibn H{amīd menilai bahwa kitab S{afwah al-

Tafāsīr merupakan kitab yang “tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk

memahaminya”.90 Dan susunannya memadukan antara yang ma’s\ur dan

ma’qul, dengan us}lub yang indah, memakai hadiŝ-hadiŝ yang jelas,

memberikan kesimpulan-kesimpulan sempurna terhadap maksud antara surat

dengan landasan dan dasar ajaran pokoknya. Makna-maknanya disajikan

dengan bahasa indah, dan dengan penjelasan yang tidak terbantah. Hubungan

antar ayatnya jelas, dan diperjelas dengan Sabāb nuzul ayat. Penafsirannya

dimulai dengan tafsīr ayat, bukan bentuk i’rabnya, sehingga memudahkan

setiap pembaca, dan dengan menyebutkan kandungan faedah pada setiap

ayatnya serta mengambil istinbat darinya, dan memiliki keindahan sastrawi

yang memukau.91

Penilaian serupa juga diberikan oleh Syekh Abi al-H{asan, dan

bahkan menyatakan bahwa belum ada tafsīr yang menyamai S{afwah al-

Tafāsīr dengan segala kelebihan dan kemudahan, serta kelengkapan

perspektif yang dimilikinya, sehingga penghargaan yang diberikan terhadap

kitab ini memang sudah seharusnya diberikan setinggi-tingginya.92

Lebih jauh lagi ‘Abdullāh ‘Umar Nat}īf memberikan acungan jempol,

dengan menyatakan bahwa al-S{ābūnī dengan tafsīr monumentalnya ini,

telah berhasil menunjukkan jati diri ke’ulamā’an dan kepakarannya, sehingga

90
Ibid., hlm. 6.

91
Ibid .
92
Ibid., hlm. 7.

lxii
ia merupakan orang yang telah mampu merepresentasikan dirinya dalam

mewujudkan firman Allāh (Qs. Al-Zumar: 9) tentang keutamaan dan

kelebihan “orang yang mengetahui/memiliki keilmuan khusus”, dengan

“orang yang tidak mengetahui/tidak memiliki spesialisasi keilmuan”. Dengan

tafsīr inilah, maka telah berhasil cita-cita banyak ‘ulamā’ Islām untuk

memudahkan pembahasan bagi para pencari kefahaman al-Qur`ān, apalagi

bahwa kitab ini betul-betul telah mampu membuat khulas}ah dengan

mengumpulkan makna penafsiran hampir semua kitab-kitab tafsīr utama di

dunia Islām. Dengan itu maka ia sanggup memberikan sumbangan bagi para

‘ulamā’ dan pencari ilmu sampai pada satu titik temu (makna al-Qur`ān).93

Rasyīd ibn Rajīh dan Syekh ‘Abdullāh Khayyāt} juga menilai seperti

itu. Bahwa dengan kesanggupannya mengkhulas{ahkan hampir semua

pendapat mufassir, maka membuat sangat mudah untuk memahami isi

kandungan al-Qur`ān, langsung pada titik poin maknanya, didukung ibarat-

ibarat yang mudah. Dalam hal ini, kitab ini pantas dinobatkan sebagai kitab

yang sama sekali baru di bidang tafsīr al-Qur`ān.94

Muhammad al-Gazalī menyatakan bahwa tafsīr al-S{ābūnī telah

memberikan perspektif baru dan pencerahan yang sangat berarti, sebab tafsīr

tersebut disajikan secara ilmiah dan berperspektif adabiyah (berperadaban,

perspektif kebudayaan dan kemanusiaan), yang menjadikannya kaya akan

nilai-nilai kebenaran serta hikmah-hikmah yang sangat bermanfaat. Di

samping kemampuannya yang sangat ideal memadukan antara yang salaf dan

93
Ibid., hlm. 8.
94
Ibid., hlm. 9-10.

lxiii
khalaf, dan di dalamnya terdapat hampir semua penjelasan yang manqūl serta

yang ma’qūl.95

Dari kelebihan-kelebihan atas karya al-S{ābūnī tersebut, maka wajar

jika setiap karya-karya ilmiahnya langsung meledak di pasaran, dan langsung

menjadi rujukan yang mantap di lingkungan Perguruan Tinggi Islām, baik di

Timur Tengah maupun di seluruh masyarakat muslim. Demikian pula di

Indonesia hampir semua karya al-S{ābūnī selalu mendapat sambutan yang

baik di kalangan sivitas akademik maupun di Pesantren, sehingga sering

menjadi rujukan utama bagi mahasiswa muslim (syari’ah khususnya) dan

kalangan Pesantren. Tafsīr-tafsīrnya menjadi literatur yang harus dibaca bagi

kalangan sivitas akademik muslim.

Oleh karena itu wajar juga jika seorang ‘ulamā’ kharismatik dan sangat

diperhitungkan di Timur Tengah Syekh al- Khayyāt}, sejak jauh sebelum

kitab S{afwah al-Tafāsīr diselesaikan, sampai memanjatkan do’a “Semoga

Allāh memperbanyak orang-orang yang seperti dia (al-S{ābūnī) di dalam

masyarakat muslim ini, yaitu orang-orang yang berani berkata benar dan

menunjuki (umat) ke arah jalan yang lurus.”96

BAB IV
TAFSĪR TENTANG “BIDADARI”
MENURUT M. ‘ALĪ AL-S{ĀBŪNĪ

95
Ibid., hlm. 11.
96
Syekh ‘Abdullāh al-Khayyāţ, dalam kata sambutan pada kitab Rawā-i’ Al-Bayān, jl.
I, hlm. 5

lxiv
D. Alur Penafsiran M. ‘Alī al-S{ābūnī tentang Bidadari dalam

S{afwah al-Tafāsīr

Mengenai alur penafsiran al-S{ābūnī tentang bidadari dalam tulisan

ini ditempuh melalui dua cara, yakni, alur penafsiran sesuai dengan urutan

ayat serta surat dalam al-Qur`ān mengenai bidadari, dan kemudian baru alur

sistematisasi pemikiran al-S{ābūnī mengenai bidadari, sesuai dengan hasil

penafsirannya.

Sesuai dengan pernyataan al-Qur`ān bahwa keberadaan bidadari di

surga berkaitan dengan pemberian kabar gembira kepada orang yang beriman

serta berbuat kebajikan di dunia, bahwa mereka akan diberikan pahala

surga.97 Surga dalam ayat ini digambarkan memiliki sifat; mengalir di

bawahnya sungai-sungai; bagi setiap orang dari penghuninya diberikan rezki

buah-buahan; dan bagi setiap dari mereka tersedia “azwāj” yang suci; serta

mereka kekal di dalamnya.

Umumnya, kata “azwāj” dalam ayat ini diterjemahkan sebagai “isteri-

isteri” yang mengacu kepada perempuan sebagai pasangan seks laki-laki.98

Al-S{ābūnī memulai pemikiran bidadarinya dengan mengurai definisi

awal dari perspektif lugawi kata azwāj ini. Menurut al-S{ābūnī, kata azwāj

yang merupakan jamak dari zauj adalah kata yang dipakai baik untuk laki-

laki maupun perempuan. Perempuan adalah zauj (pasangan) laki-laki, dan

97
Qs. Al-Baqarah/2:25.
98
Lihat misalnya Lembaga Penjelenggara Penerdjemah Kitab Sutji Al-Quraan. Al-
Quraan dan Terdjemahnja, (Jakarta: percetakan Jamunu, 1965), h.12.

lxv
laki-laki adalah pasangan perempuan.99 Maka dengan demikian berarti, bagi

laki-laki di surga mendapatkan pasangan bidadari, dan bagi perempuan

mendapatkan pasangan –mudahnya sebut saja- bidadara. Dalam arti janji

akan pasangan lawan jenis sebagai balasan amal s}ālih bagi orang beriman

di surga berlaku umum.

Maka ketika menafsirkan kata mut}ahharah yang mengikuti kata

azwāj, al- S{ābūnī tidak seperti penafsir lain yang mengartikannya sebagai

suci dari h}aid} atau kotoran keperempuanan lain,100 akan tetapi al-S{ābūnī

menyatakan bahwa maksud mut}ahharah adalah pasangan-pasangan

penghuni surga yang dibersihkan dari kotoran-kotoran hissiyah maupun

maknawiyyah.101

Hanya saja kemudian al-S{ābūnī melengkapi penafsirannya dengan

pendapat ‘ulamā’ lain yang mengartikannya secara fisik kotoran perempuan.

Bahkan al-S{ābūnī juga mengakomodasi pendapat sebagian ‘ulamā’ yang

menyatakan bahwa wanita-wanita mukmin dunia pada hari kiamat akan

dijadikan lebih cantik dibanding bidadari. Hal ini –menurut para mufassir

klasik- sesuai dengan makna yang dimaksud oleh firman Allāh pada Qs. al-

Wāqi’ah:35-37.102

Nampak bahwa al-S{ābūnī belum bisa benar-benar tegas menentukan

corak tafsīrnya sendiri dan mengambil garis tegas mengenai pemikirannya.

99
M. Ali al-S{abuni, S{afwah al-Tafāsīr , jl. I, hlm. 34.
100
Lihat misalnya Jalaluddin al-Suyut}i dan Jaluluddin al-Mah}alli, Op. Cit., hlm.
5.
101
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 36.
102
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-
Wāqi’ah: 35-37).

lxvi
Hanya saja akomodasi penafsiran yang mengarah pada kata zauj sebagai

perempuan pasangan laki-laki ini bisa saja diterima dengan menilik

penafsiran atas Qs. Al-Baqarah:35, di mana kalimat “yā Ādamu uskun anta

wazaujuka al-jannat” dalam ayat itu bermakna “berdiamlah kamu di surga

dengan abadi beserta pasangan/isterimu Hawa.”103

Al-S{ābūnī menyebutkan bahwa bidadari sebagai pasangan orang

beriman di surga adalah bidadari yang hanya membatasi pandangan hanya

untuk pasangan-pasangannya karena rasa cinta dan bersihnya (qās}irāt al-

s}arf).104 Ketika manafsirkan Qs. S{ād:52105 al-S{ābūnī menjelaskan bahwa

ketertujuan pandangan mata pada suaminya itu disertai dengan

ketidakmauannya melihat pada yang lain.106 Dengan mengutip al-T{abarī, al-

S{ābūnī menyebutkan sosok bidadari, bahwa lebar dan bulatnya mata serta

rupanya yang elok ditentukan dengan bentuk mata yang paling bagus.107

Penafsiran al-S{ābūnī mengenai zauj tersebut mempengaruhi

penafsiran berikutnya terhadap konsep bidadari. Bahwa penggunaan kata

h}ūrin ‘īn dalam ayat-ayat Qs. Al-Dukhān:51-55108 bukan berarti bermuatan

makna bidadari saja. Ketika menafsirkan kalimat “kadzalika wazawwajnāhun

bi h}ūrin ‘īn” (Qs. Ad-Dukhān:54), al-S{ābūnī menyebutkan “każālika

103
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 42.
104
Ibid., jl. III, hlm. 30 berdasarkan penafsiran atas Qs. Al-S{āffāt:48.
105
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (Qs.S{ād: 52).
106
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 56.
107
Ibid., hlm. 30.
108
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air; mereka memakai sutera
yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan
kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman
(dari segala kekhawatiran). (Qs. Al-Dukhān:51-55).

lxvii
akramnāhum bi anwā’i al-ikrām, wa zawwajnāhum aid}an bi al-h}ūr al-

h}isān fī al-Jinan” (demikianlah telah kami muliakan mereka dengan

berbagai macam kemulian, dan kami pasangkan pula kepada mereka teman

bersanding yang mempesona di surga)”.109

Jadi diberikannya pasangan yang menyenangkan kepada orang beriman

di surga adalah terkait erat dengan pemuliaan Allāh atas amal-amalnya,

sehingga kemudian diberi balasan yang serba mulia, yang salah satunya

adalah pasangan bidadari tersebut.

Dalam memberikan tafsīr ini, al-S{ābūnī menyandarkan kepada

pendapat al- Bait}awī yang menafsirkan zauj sebagai qarīn (teman).

Menurut al-S{ābūnī penggambaran bidadari ini terkait dengan

penggambaran sifat surga yang lain. Bahwa penggambaran mengenai surga

berupa taman dengan sungai-sungai adalah sesuatu yang sangat indah serta

memiliki fungsi menjadikan kegundahan berubah menjadi fresh kembali.

Maka penyebutan bidadari itu, mempertegas kesegaran yang dimunculkan

oleh fenomena surga.

Bersama pasangan di surga, seseorang akan meraih puncak

kebahagiaan, sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa; “ada tiga hal

yang bisa menghilangkan kesusahan atau beban hati, yaitu air, hijau-hijauan

(warna hijau daun), dan wajah yang menawan.”110 Jadi al-S{ābūnī

menafsirkan h}ūr di sini sebagai wajah yang menawan, yang bersifat netral

kelamin.

109
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 165.
110
Ibid, jl. III, hlm. 165

lxviii
Sehingga ketika menafsirkan kalimat wazawwajnāhum bih}ūrin ‘īn

(Qs. Al-T{ūr:20 al-S{ābūnī memberikan tafsīr sebagai berikut: “dan Aku

jadikan untuk mereka teman-teman yang s}ālihah dan pasangan-pasangan

yang elok dari bidadari. Mereka adalah wanita-wanita yang matanya terlihat

putih warna putihnya lagi anggun.” Al-S{ābūnī mengatakan bahwa simbol

putihnya warna mata serta lebar dan bulatnya mata adalah puncak kecantikan

dan kejelitaan.111

Berdasarkan Qs. Al-Rah}mān :72, Al-S{ābūnī mendeskripsikan

bahwa para bidadari di surga di pingit di dalam rumah kediaman, dan mereka

tidak pernah keluar rumah karena keagungan dan kemuliannya. Para bidadari

itu hanya diam di perkemahan mutiara. 112 Ciri ini disandangkan kepada para

bidadari sebagai corak khasnya yang s}ālihah dengan pakaian akhlak

mulia.113

Dengan mengutip Abu Hayan, al-S{ābūnī membawa tafsīr bidadari

“tersimpan” ini ke konteks wanita dunia, bahwa para wanita dipuji dengan

pujian yang agung dan mulia seperti di atas, karena keberdiam-dirian mereka

di rumah itu menunjukkan bahwa mereka bernar-benar terjaga. 114 Nampaknya

al-S{ābūnī menginginkan agar konteks dasar persifatan bidadari yang serba

mulia dan terpuji ini dibawa membumi sebagai sifat dasar wanita mukminah.

Upaya pembumian penafsiran itu makin nyata ketika al-S{ābūnī

memberikan tafsīrnya atas Qs. Al-Rah}mān : 56-58 dalam bentuk

111
Ibid., hlm. 246.
112
Ibid., hlm. 283.
113
Ibid., hlm. 282 berdasarkan Qs. Al-Rah}mān : 70.
114
Ibid., hlm. 283.

lxix
perumpamaan. Bahwa di dalam taman surga terdapat wanita yang hanya

mengkhususkan pandangannya kepada suami-suaminya, bukan kepada yang

lain seperti halnya wanita-wanita lembut yang berada dalam sebuah

pingitan.115

Penafsiran ini tentu memiliki maksud tertentu. Pertama, bahwa wanita-

wanita mukminah dunia, kelak di akhirat tetap akan menjadi pendamping

bagi suaminya, yang tidak beralih kepada orang mukmin lain. Kedua, wanita

yang di dunia selalu berupaya menempatkan diri dalam “sebuah pingitan”

keagamaan, maka sebagaimana halnya di dunia, kelak di akhirat juga tetap

terjaga kesuciannya hingga hanya tetap dalam memandang suaminya saja.

Inilah nampaknya tafsīr membumi dari kata qās}irāt al-t}arfi menurut al-

S{ābūnī.

Keberadaan bidadari di surga itu betul-betul bersifat perawan, yang

belum pernah tersentuh sama sekali atau bersenggama oleh siapapun baik jin

maupun manusia. Bidadari dengan kecantikan yang bagaikan mutiara

jernihnya itu belum pernah terjamah oleh apa dan siapapun. 116

Keperawanannya adalah sejati. Sifat keperawanan bidadari al-S{ābūnī ini

diacu dari pendirian al-Alūsi yang mengatakan bahwa makna al-ţamŝ adalah

keluarnya darah, sehingga orang yang haidh disebut ţamaŝu. Istilah ini lalu

dipakai juga untuk menyenggamai perawan, di mana dalam peristiwa ini

darah akan terkeluarkan. Kemudian juga bisa dipakai untuk segala macam

jima’ walaupun tidak ada darah yang keluar.117


115
Ibid., hlm. 282.
116
Ibid., hlm. 290 pada tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah: 22-23.
117
Ibid., hlm. 282.

lxx
Keperawanann yang disandang oleh bidadari surga, menurut al-

S{ābūnī, sepadan dengan usianya yang rata-rata remaja, dengan sikap yang

selalu mengitari penghuni surga guna memberikan pelayanan kepada mereka

sesuai tugasnya. Dan bidadari tersebut tidak pernah mati, serta dalam keadaan

selalu muda.118 Namun usia yang selalu muda itu, bukan sekedar kemudaan

sebagaimana layaknya manusia, tetapi usia muda yang sudah berada dalam

kematangan dan kedewasaan sikap dalam memberikan pelayanan, yang

ditandai dengan bentuk fisik tubuhnya, dengan ciri payudara yang padat

berisi, dan menyembul keluar.119 Sebuah gambaran yang sangat

menyenangkan.

Menurut al-S{ābūnī, sifat keperawanan sejati dalam keremajaan usia

itu, seiring dengan proses penciptaan bidadari yang bersifat “baru” (dalam

arti belum pernah terjadi penciptaannya, dan belum pernah ada bentuk

makhluk sebelumnya), baik yang merupakan makhluk surgawi, maupun yang

semula berasal dari makhluk dunia, yang kemudian menjadi pasangan

penghuni surga, baik untuk pasangannya ketika di dunia, atau dengan

pasangannya yang sama sekali baru.120 Pasangan dari dunia adalah

suami/isterinya yang sama-sama masuk surga karena amal s}ālihnya,

sedang maksud pasangan yang baru adalah pasangan bagi yang tidak bersama

pasangannya dari dunia, atau yang sudah beserta pasangan dari dunia yang

118
Ibid., hlm. 289, tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:17.
119
Ibid., hlm. 485 tafsīr atas Qs. An-Naba’:33.
120
Ibid., hlm. 291. Untuk pembahasan proses penciptaan bidadari menurut al-S{ābūnī
lihat pada pembahasan lebih lanjut di bawah pada bab ini.

lxxi
berfungsi sebagai permaisuri/raja, kemudian mendapatkan nikmat tambahan

pasangan bidadari di surga.

Maka wajar jika kemudian digambarkan bahwa nikmat mendapatkan

bidadari dijadikan sebagai nikmat puncak di surga. Al-S{ābūnī ketika

menafsirkan Qs. Al-S{āffāt:41-60 menyebutkan pemaparan Abu Haijan,

bahwa ada enam macam gambaran nikmat surgawi:

a. rizki yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jisim (fisik)

b. kemuliaan yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jiwa (psikis)

c. tempat yang berupa taman-taman yang sangat nyaman

d. kepuasan bercengkrama dengan saudara-saudara mukmin

e. minuman yang mengelilingi mereka yang tanpa bersusah payah

mendapatkannya, dan

f. kepuasan lahir batin yang sangat luar biasa yaitu yang berupa

bercengkrama dengan wanita.121

Al-S{ābūnī menekankan bahwa dalam surat al-S{āffāt itu terdapat

penjelasan Allāh atas ayat yang masih global yang dalam disiplin ilmu al-

Qur`ān disebut tabyīn al-mujmāl, yaitu:

1. Globlalitas konsep rizqun ma’lūm yang dijelaskan oleh Allāh dalam ayat

selanjutnya, yaitu fawāqihu, bahwa yang dimaksud rizki di sini adalah

buah-buahan.

2. Globlalitas al-na‘īm yang dijelaskan oleh ayat-ayat selanjutnya yang

diantaranya adalah bidadari yang senantiasa menemani.122

121
Ibid, jl. I, hlm. 30.
122
Ibid., jl. III, hlm. 29.

lxxii
Semua jenis perincian yang menyangkut bentuk kesenangan dan

kenikmatan surga merupakan simbol balasan terperinci bagi jenis-jenis amal

manusia ketika di dunia. Jadi di samping penafsiran tekstual di mana al-

S{ābūnī menafsirkannya sebagaimana ahli tafsīr yang lain, namun jika

dicermati, didapatkan kenyataan bahwa al-S{ābūnī ternyata melakukan

penafsiran kontekstual, dengan menjelaskan maksud lain yang nyata dari

simbolitas bidadari, sebagai simbol atas balasan Allāh di akhirat atas amal

baik manusia di dunia. Dan ini berlaku dengan simbol-simbol lain seperti

taman yang indah dan sejuk, aneka ragam minuman dan buah-buahan,

sungai-sungai nan indah, dan sebagainya.

Dari penafsirannya atas ayat-ayat tentang bidadari tersebut, nampak

bahwa al- S{ābūnī berada dalam dua posisi sekaligus; pertama posisi sebagai

penafsir mandiri, yang berbeda orientasi dengan mufassir lain. Ini nampak

dari upaya penafsirannya yang tidak hanya sekedar simbolis dan harfiyah,

namun berupaya membumikan konsepsi eskatologis menjadi konsep praktis

teologi terapan di dunia, maka wajar jika walaupun al-S{ābūnī dalam

pemikirannya juga kerap mengisyaratkan bahwa konsep bidadari di surga

bukan merupakan hal yang harus difahami secara fisikal begitu saja, sebab

hanya sebagai salah satu simbol pembalasan amal, namun terkadang juga

menandaskan penafsiran yang bersifat fisikal atas ayat-ayat tentang bidadari.

Hal ini bisa terjadi, kemungkinan karena al-S{ābūnī belum bisa

menghilangkan bias penafsiran ayat-ayat tentang bidadari dari kerancuan

lxxiii
berfikir mufasir sebelumnya, yang masih didominasi dengan penafsiran yang

diadopsi dari filsafat dan mitos peradaban dan agama lain.

Kedua, sebagai seorang ‘ulamā’ yang tawad}u’ dengan para

pendahulunya, terkadang pandangannya nampak tetap mengikuti mereka,

sehingga terkesan kurang tegas bagaimana pendiriannya mengenai konsep

bidadari; apakah hanya sekedar simbolitas bagi balasan amal, atau memang

bidadari itu betul-betul merupakan sosok fisik wanita elok sebagai ganjaran

bagi orang beriman? Namun hal ini telah dijawab juga dengan ungkapannya

bahwa konsep h}ūrun ‘īn sebenarnya bersifat netral kelamin, berlaku bagi

pria dan wanita beriman. Perkara terdapat ayat-ayat yang jelas-jelas

mengacunya sebagai sosok fisik wanita, tidaklah harus membatalkan

pengertian umum dari h}ūrun ‘īn dalam al-Qur`ān.

Namun yang jelas, dalam menafsirkan konsep h}ūrun ‘īn nampak

bahwa al-S{ābūnī sudah tidak semata terpaku dengan penafsiran lahiriyah.

al-S{ābūnī sudah melangkah ke arah penafsiran metaforis, dengan

mengungkapkan makna dibalik simbol yang diberikan oleh al-Qur`ān. Hal ini

tentu sangat tepat dilakukan dalam memaknai h}ūrun ‘īn sebagai bagian

dari konsep surga, sebab di surga itu, sebagaimana sabda Nabi beserta

balasan-balasan di dalamnya tidak bisa dirasakan baik dengan mata, telinga,

maupun insting keduniaan.123

E. Keberadaan “Bidadari” di Surga

123
Abu Zakariya Yahya al-Nawawī. Riyadh al-s}ālihin, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.),
hlm. 703.

lxxiv
1. Penciptaan Bidadari

Dalam masalah penciptaan bidadari, al-S{ābūnī tidak membahasnya

secara luas, dan juga tidak menyampaikan pemikirannya secara rinci, kecuali

sedikit yang diambil dari riwayat Ibn Abbas dan h}adīs\ Ummu Salāmah,

sehingga penjelasan al-S{ābūnī dalam hal ini, tidak bisa betul-betul

menjawab bagaimana proses bidadari diciptakan. Oleh karenanya, dalam hal

ini penulis akan membandingkan sedikit penafsiran al-S{ābūnī tentang ayat

yang terkait dengan penciptaan bidadari dengan pendapat Ibn Qayyim.

Hanya saja yang perlu digarsibawahi dari pendapat al-S{ābūnī

mengenai penciptaan bidadari di surga adalah, bahwa al-S{ābūnī

mengakomodasi pendapat yang menyatakan bahwa sebagian bidadari berasal

dari wanita mukminat di dunia, bahkan dijadikan lebih cantik.124

Al-S{ābūnī menjelaskan penciptaan bidadari ini ketika memberikan

tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:35-38.125 Al-S{ābūnī menyatakan bahwa maksud

firman “innā ansya’nāhunna insyā’” adalah bahwa “Aku jadikan wanita-

wanita surga itu sosok yang baru, yang pembuatannya sangat

mengherankan.”126 Sifat menta’ajubkan ini terjadi karena –sebagaimana telah

dipaparkan di atas- proses penciptaan maupun jenis makhluk yang diciptakan

bersifat “baru”, sehingga masih asing bagi makhluk yang berasal dari dunia.

Al-S{ābūnī dengan mengutip Ibnu Jazi dalam kitabnya al-Tashil fi

‘Ulūm al-Tanzīl menyatakan bahwa makna insya’ al-nisa yaitu Allāh


124
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.
125
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-
Wāqi’ah 35-38).
126
S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291.

lxxv
menciptakan mereka sebagai makhluk baru yang sangat cantik tidak seperti di

dunianya. Di surga nanti, walau ketika di dunia telah menjadi seorang nenek-

nenek, ia akan kembali menjadi muda, serta tidak memiliki cacat dalam

rupanya, ia akan berubah menjadi gadis yang cantik mempesona. 127 Dengan

mengutip Ibnu Abbas dari Tafsīr al-Khāzin, al-S{ābūnī mempertegas

pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa nenek-nenek yang sudah lanjut

usia, ompong dan kempot (tidak punya gigi lagi) akan dijadikan oleh Allāh

kembali perawan sebagai makhluk yang sama sekali sudah lain.128

Demikian pula, perempuan yang di dunia sudah dijima’ oleh suaminya,

oleh Allāh akan dijadikan perawan, hanya kembali mencintai suaminya, serta

sangat menggairahkan, dan usianya sepadan dengan suaminya, yang rata-rata

33 tahun.129 Nampak di sini bahwa al-S{ābūnī meletakkan konsep bidadari

yang berasal dari perempuan mukminat di dunia, sehingga dalam hal

penciptaan bidadari ini, al-S{ābūnī hanya membahas bidadari yang berasal

dari wanita s}ālihat di dunia, tidak membahas bidadari yang khusus

diciptakan di akhirat. Sehingga penafsiran al-S{ābūnī pada ayat-ayat ini dan

yang seperti ini, tidak bisa dikaitkan dengan penafsirannya yang memberikan

makna h}ūr secara netral kelamin.

Terkait dengan ayat tersebut, al-S{ābūnī juga mengutip h}adīs\

terkenal yang berasal dari Ummu Salāmah, bahwa ketika Nabi ditanya

mengenai bidadari surga, Nabi menjawab, “mereka adalah wanita-wanita

dunia yang di saat kematiannya mereka dalam keadaan lanjut usia, kempot,
127
Ibid., hlm. 291.
128
Ibid.
129
Ibid.

lxxvi
ompong dan bungkuk, yang dijadikan Allāh kembali dalam usia yang

sama.”130

Al-S{ābūnī juga meriwayatkan h}adīs\ yang menginformasikan

tangisan seorang wanita tua, ketika Rasūlullāh menyatakan bahwa orang yang

sudah tua tidak bisa masuk surga. Wanita tersebut memangis karena merasa

peluangnya masuk surga tidak ada karena usianya yang sudah tua. Lalu nabi

pun memberitahukan bahwa ia nanti akan masuk surga bukan dalam keadaan

lanjut usia, karena Allāh telah berjanji bahwa para wanita akan dijadikan

kembali perawan dan berusia muda.131

Jadi jelas bahwa penjelasan al-S{ābūnī mengenai penciptaan bidadari

hanya menyangkut bidadari yang berasal dari wanita s}ālihah dunia, tidak

termasuk bidadari yang khusus dicipta di surga. Memang sejauh informasi al-

Qur`ān, tidak terdapat ayat yang mengetengahkan atau mengisyaratkan

tentang bagaimana bidadari surga diciptakan.

Berbeda dengan al-S{ābūnī, Ibnu Qayyim menggali banyak riwayat

mengenai penciptaan bidadari yang tidak berasal dari wanita dunia. Dengan

mengumpulkan berbagai informasi ‘ulamā’ dan h}adīs\ Nabi, Ibnu Qayyim

menjelaskan bahwa bidadari surga diciptakan dari za’faran, khususnya yang

diperuntukkan bagi para wali Allāh, yang disediakan pengantin yang tidak

pernah dilahirkan oleh Adam dan Hawwa'.132 Sehinga karena bahan baku dari

za’faran tersebut, maka bidadari surga memancarkan cahaya dan sinar

gemerlap yang mempesona siapapun yang melihatnya. Sementara mereka


130
Ibid. Bandingkan dengan Tafsīr al- Qurt}ubī jl. 17, hlm. 210.
131
S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291-292.
132
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 339-340.

lxxvii
semua telah bersiap menunggu suami-suaminya di pintu surga.133 Demikian

menurut Ibn Qayyim.

Tentu sampai di sini justru diketemukan kelebihan dari al-S{ābūnī

dalam memberikan tafsīran atas ayat-ayat Tuhan. Al-S{ābūnī hanya

menggunakan riwayat-riwayat yang jelas dan mutawātir, dan tidak mau

menggunakan riwayat yang bersifat dugaan, cerita, mitos, tidak mutawātir,

serta mengundang polemik. Nampak bahwa al-S{ābūnī ingin membiarkan al-

Qur`ān bercerita mengenai isi dirinya sendiri.

2. Perbedaan antara Pelayan Surga dan Bidadari

Al-Qur`ān dalam Qs. Al-Rah}mān secara jelas membedakan antara

pelayan surga dengan bidadari. Bidadari bukanlah pelayan surga, namun ia

merupakan makhluk khusus yang memiliki jenis pelayanan surgawi yang

khusus pula.

Penyebutan pelayan-pelayan surga juga dibedakan secara tersendiri

dengan bidadari surga. Dalam al-Qur`ān, terdapat dua ayat pokok mengenai

pelayan surga, satu ayat disebutkan secara mandiri, tidak memiliki rangkaian

ayat dengan penyebutan bidadari, dan satu ayat lainnya disebutkan dengan

berangkaian dengan ayat-ayat tentang bidadari.

Istilah yang dipakai al-Qur`ān mengenai masalah pelayan surga adalah

“wildānun mukhalladūn”. Wildānun berarti anak-anak muda. Berdasarkan

133
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 343-345.

lxxviii
akar katanya, mukhalladūn memiliki dua arti, namun tetap mempunyai muara

makna yang sama. Pertama berasal dari kata al-khuld yang artinya baka atau

abadi, kekal, tidak mati selama-lamanya.134 Dan kedua dari kata al-khildah

dengan jamak khilādun berarti orang yang mengenakan anting dan gelang. Ini

merupakan simbol bagi pelayan-pelayan abadi. Dalam istilah Arab julukan

(laqab) “mukhalladūn” dikenakan bagi orang yang lanjut usia tetapi tidak

beruban, giginya terjaga, tidak rontok.135 Jadi wildānun mukhalladūn

diterjemahkan sebagai pelayan-pelayan muda yang tetap dalam

kemudaannya.136

Ayat tentang pelayan surga yang berdiri sendiri adalah Qs. Al-Insan:19:

“Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda.


Apabila kamu melihat mereka kamu akan mengira mereka, mutiara yang
bertaburan.” (Qs. Al-Insan:19)

Sedangkan ayat yang berangkai dengan ayat-ayat tentang bidadari

adalah Qs. Al-Wāqi’ah:17-18:

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan


membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil
dari air yang mengalir.” (Qs. Al-Wāqi’ah:17-18).

134
Firuzabadī, Op. Cit., hlm. 376.
135
Ibnu Qayyim, Op. Cit. hlm. 308.
136
Mushţafa Bisyri, Op. Cit., hlm. 313.

lxxix
Terhadap ayat tersebut al-S{ābūnī menafsirkannya “terhadap mereka

selalu didampingi pelayan yang berkhidmat yang terdiri atas anak-anak muda

di sekelilingnya, mereka tidak pernah mati dan tidak pernah berubah.” 137 Sifat

utama para pelayan surga itu adalah: terdiri atas anak-anak muda, selalu

berkhidmat terhadap penghuni surga, selalu siap memberikan pelayan sesuai

keinginan penghuni surga (mengelilingi para penghuni surga), tidak berubah

keadaan kemudaannya, belum pernah terjamah atau tersentuh oleh apa dan

siapapun (maknūn), sangat rupawan, tidak mati,138 selalu dalam pekerjaan

pelayanan yang ditunjukkan dengan ayat bahwa mereka selalu berhiaskan

gelas minuman, beserta cerek dan slokinya. Diberikannya pelayan-pelayan

tersebut, menurut al-S{ābūnī memang dikhususkan bagi orang beriman

dikarenakan perilaku al-abrārnya sewaktu di dunia.139

Sedangkan sifat para pelayan surga yang diibaratkan sebagai mutiara

yang bertaburan mengisyaratkan bahwa para pelayan tersebut memiliki

kebeningan kulit yang memukau dan kebagusan wajah yang mempesona.

Mengutip al-Rāzī, al-S{ābūnī menyatakan bahwa pernyataan itu

mengandung tasybīh al-‘ajīb, dengan mutiara yang bertebaran itu, maka

keindahan dan keistimewaan mutiara semakin nampak kian nyata.140

Penafsiran al-S{ābūnī tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan

oleh Ibnu Qayyim, bahwa ada dua hikmah besar mengapa pelayan surga

dibuat bertebaran di mana-mana: pertama, menunjukkan bahwa para pelayan

137
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 289.
138
Bandingkan dengan Ibid., hlm. 470.
139
Ibid.
140
Ibid.

lxxx
surga tidak pernah menganggur. Mereka mondar-mandir di surga dalam

rangka berkhidmah kepada penghuni surga dan memenuhi keperluan mereka.

Kedua, bahwa mutiara yang disebar di atas permadani dari emas dan sutra itu

lebih indah di mata daripada dikumpulkan di satu tempat.141

Al-S{ābūnī dalam tafsīrnya tidak menyebutkan bagaimana para

pelayan surga diciptakan. Sedangkan Ibnu Qayyim menginformasikan bahwa

dalam masalah ini, terdapat dua pendapat: pertama, bahwa para pelayan surga

diciptakan dari anak-anak muslim dunia yang meninggal dalam keadaan tidak

memiliki kebaikan dan keburukan. Mereka menjadi pelayan surga karena di

surga tidak ada proses kelahiran. Selain itu juga berasal dari anak-anak yang

meninggal dunia di masa kecil. Pendapat kedua adalah, bahwa para pelayan

surga diciptakan khusus di surga sebagaimana juga bidadari yang diciptakan

khusus di surga. Inilah yang dipegangi oleh Ibnu Qayyim.142

Dari uraian tersebut jelas, bahwa al-S{ābūnī membedakan antara

bidadari dengan pelayan surga. Pelayan surga adalah terdiri atas anak-anak

muda yang diciptakan di surga yang berfungsi bagi pelayan penghuni surga,

termasuk melayani bidadari yang menjadi pasangan penghuni surga.

Sementara bidadari adalah pasangan penghuni surga, dengan tugas menjadi

tambahan kenikmatan bagi mereka. Kesamaannya dengan bidadari adalah

bahwa mereka diciptakan khusus di surga, dan belum pernah tersentuh oleh

apa dan siapapun.

3. Ciri-ciri Bidadari di Surga

141
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 309.
142
Ibid., hlm. 310-311.

lxxxi
Dalam menjelaskan sifat-sifat atau ciri-ciri bidadari di surga, al-

S{ābūnī dalam penafsirannya tidak melebihi apa-apa yang diinformasikan

olah al-Qur`ān. Ia hanya bersifat lebih memperjelas mengenai sifat bidadari

menurut al-Qur`ān. Secara terperinci, sifat-sifat bidadari menurut al-S{ābūnī

adalah sebagai berikut:

a. Sosok pasangan yang suci

Menurut al-S{ābūnī, bidadari di surga disucikan dari kotoran hissiyah

maupun maknawiyah. Dalam hal ini, al-S{ābūnī juga mengutip ‘ulamā’ lain

yang menyebutkan bahwa bidadari disucikan dari kotoran haid, nifas, buang

air maupun dahak. Namun al-S{ābūnī menyambungnya dengan pernyataan

bahwa wanita dunia mukminah di hari akhir lebih cantik dibanding

bidadari.143 Sehingga yang dimaksud suci dari haid, nifas dan kotoran

kewanitaan lain adalah bidadari yang berasal dari wanita mukminah dunia.

Secara tidak langsung, al-S{ābūnī menekankan bahwa ada dua jenis bidadari

di surga, yaitu: bidadari yang berasal dari dunia, yang menjadi pasangan

suaminya dari dunia juga, jika sama-sama beriman; dan bidadari dan bidadara

yang khusus diciptakan di surga.

b. Diciptakan abadi

Keabadian menjadi ciri yang menyatu bagi bidadari, sebagaimana keabadian

alam akhirat. Menurut al-S{ābūnī, keabadian inilah yang menjadi salah satu

kunci kebahagiaan yang sempurna. Karena penghuni surga bersama

pasangannya berada dalam tempat yang aman dan bersanding hidup dengan

143
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, h.36.

lxxxii
pasangan-pasangannya dalam buaian keabadian yang tiada pernah putus.144

Dengan begitu keabadian akhirat menurut al-S{ābūnī, karena tiada putus,

merupakan keabadian yang mutlak, tanpa batas waktu lagi, atau tiada dimensi

ruang dan waktu yang membatasinya lagi.

c. Dipingit di dalam kemah mutiara

Al-S{ābūnī berpendapat, bahwa maksud dari maqs\ūrāt fī al-khiyām,

adalah bahwa bidadari di surga hanya berjalan-jalan keliling di sekitar kemah,

bahkan lebih banyak berdiam di dalamnya, tidak keluar karena kehormatan

dan kemuliaannya, dalam kemah yang terbuat dari mutiara yang memang

disediakan untuk mereka. Mereka membatasi diri hanya dalam ruangan yang

terbuat dari mutiara itu.145

d. Memiliki adab atau akhlak mulia

Bidadari di surga menurut al-S{ābūnī, merupakan wanita-wanita s}ālihah

yang memiliki akhlak yang sangat mulia di samping rupanya yang sangat

cantik.146 Jadi makna khairātun h}isān, memiliki dua dimenasi; wajah yang

jelita dan akhlak yang mulia.

e. Hanya untuk pasangannya sendiri saja

Bidadari di surga, menurut al-S{ābūnī, memiliki sifat hanya membatasi

pandangan matanya kepada pasangannya saja, dan tidak memandang yang

lain, seperti keadaan wanita-wanita pencinta dan penyayang. 147 Jadi

kekhususan pasangan menjadi ciri utama bagi bidadari surga.

144
Ibid., hlm.36.
145
Ibid., jl. III, hlm. 283.
146
Ibid.
147
Ibid., hlm. 282.

lxxxiii
f. Belum pernah tersentuh, terjamah, dan tersenggamai oleh siapapun

Salah satu sifat utama bidadari menurut al-S{ābūnī adalah keperawanannya

yang sejati. Belum pernah ada seseorangpun yang pernah manjamah dan

menyenggamainya kecuali pasangannya di surga itu, baik dari manusia

maupun jin. Mereka betul-betul perawan yang sejati (ting-ting).148 Hanya saja

nampaknya sifat ini dikenakan pada bidadari yang dicipta khusus di surga,

menilik pernyataan bahwa belum pernah tersentuh oleh makhluk. Jika wanita

mukminah di dunia, pasti sudah mengalami persentuhan dengan pasangannya

di dunia, walaupun di akhirat dijadikan perawan sejati kembali. Namun

kalimat al-S{ābūnī jelas menunjukkan kebelum-pernah disentuhnya bidadari

itu sebelum di surga. Mengutip pendapat dari kitab al-Tashil, al-S{ābūnī

mengemukakan bahwa penyebutan kalimat lam yat}mis\hunna insun

walā jānn sebanyak dua kali dalam Qs. Al-Rah}mān ini, pertama ditujukan

bagi kelompok al-sābiqūn, dan yang kedua bagi kelompok as}h}āb al-

yamīn. Jadi penggambaran sifat-sifat surga untuk masing-masing kelompok

orang beriman memiliki perbedaan dan kekhususan sendiri-sendiri, surga

bagi kelompok pertama lebih tinggi dibanding bagi kelompok yang

berikutnya.149 Sehingga menurut al-S{ābūnī, tingkatan bidadari yang

diberikan pun berbeda untuk masing-masing kelompok orang beriman.

g. Menyerupai mutiara yang paling mulia

Bahwa bidadari di surga, menurut al-S{ābūnī menyerupai yāqūt dan marjān

dalam kebeningan dan kemerah-merahannya (bersih dan sangat mulus)

148
Ibid.
149
Ibid., hlm. 283-284.

lxxxiv
sampai-sampai tembus pandang.150 Mengutip Qatadah, al-S{ābūnī

mengemukakan bahwa dalam bersih dan beningnya menyerupai yāqūt,

sedang kemerah-merah-jambuannya (kecantikan yang tiada tara) menyerupai

marjān. Segala sesuatu yang dimasukkan dalam yāqūt , pasti akan dapat

dilihat dari semua sisi.151

h. Berada di tempat yang tinggi

Menurut al- al-S{ābūnī, bidadari di surga berada di atas dipan atau ranjang

yang tinggi, empuk, dan nyaman. Hal ini didasarkan pada h}adīs\ riwayat

Hakim yang menyatakan bahwa tingginya dipan itu seperti tingginya langit

dengan bumi yang untuk mencapainya membutuhkan waktu selama limaratus

tahun.152 Namun bukan berati bahwa untuk mencapainya sulit. Mengutip al-

Alūsi, al-S{ābūnī menyatakan bahwa jika seseorang ingin naik turun dipan,

maka dengan sendirinya dipan tersebut akan menyesuaikan diri. Jika seorang

mukmin ingin naik, maka dipan tersebut akan turun, kemudian setelah orang

tersebut naik, maka dipan itu akan mengangkatnya.153

i. Diciptakan sebagai makhluk yang sama sekali baru

Bidadari merupakan makhluk yang diciptakan khusus di surga, yakni berupa

makhluk yang sama sekali baru dalam penciptaan, lagipula bersifat unik.

Sehingga ia menjadi makhluk yang mampu mendatangkan keta’juban luar

150
Ibid.
151
Ibid.
152
Ibid., hlm. 291.
153
Ibid.

lxxxv
biasa. Keelokan dan keanehan penciptaan itu terjadi, karena memang berbeda

sama sekali dengan segakla jenis ciptaan di dunia.154

j. Selalu dalam keadaan perawan

Sifat abkāra, oleh al-S{ābūnī diberi makna tafsīr sebagai perawan ting-ting

sepanjang masa. Setiap kali pasangannya mendatanginya, setelahnya

langsung kembali perawan lagi.155

k. Memiliki kecintaan dan kerinduan menggebu kepada pasangannya

Para bidadari di surga memiliki semangat kecintaan serta kerinduan yang

menggebu-gebu.

Mengutip Mujahid, al-S{ābūnī mengatakan bahwa salah satu sifat bidadari

adalah agresif terhadap pasangannya, dalam hal bermain cinta.156

l. Berusia rata-rata muda

Menurut al-S{ābūnī, bidadari di surga memiliki usia yang rata-rata muda,

dan sama dengan pasangannya, yaitu berusia 33 tahun,157 sebuah usia puncak

kedewasaan dan usia yang sangat agresif dalam hal percintaan.

m. Kecantikannya dan kesuciannya tidak ada yang menyamai

Bahwa bidadari di surga memiliki kecantikan dan keelokan tiada tara,

kebeningan yang sangat, demikian pula seperti mutiara yang tersimpan,

kesuciannya yang belum pernah tersentuh.158 al-S{ābūnī mengutip h}adīs}

Ummu Salāmah yang menggambarkan bahwa kejernihan h}ūrun ‘īn ibarat

154
Ibid.
155
Ibid.
156
Ibid.
157
Ibid.
158
Ibid., hlm. 290.

lxxxvi
mutiara yang tersimpan di tengah lautan yang belum pernah tersentuh oleh

tangan.159

n. Memiliki fisik yang sempurna

Bidadari di surga memiliki bentuk fisik yang paling sempurna, yang

ditunjukkan dengan gairah yang tinggi dari keperawanannya, serta bentuk

payudara yang menyembul keluar. al-S{ābūnī memperkuat tafsīrnya ini

dengan mengutip al-Tashil, bahwa kata al-kawā’ib merupakan bentuk jamak

dari ka’ib yang memiliki arti dasar gadis perawan yang menonjol (keluar

tegak) bentuk payudaranya.160

o. Usianya sama dengan suaminya

Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya (poin l) bahwa usia bidadari

di surga setara dengan pasangannya. Tidak lebih dan tidak kurang.161

p. Selalu bersenang-senang dengan sumianya

Dijelaskan oleh al-S{ābūnī bahwa orang-orang beriman akan masuk ke surga

bersama pasangan-pasangan wanitanya (isterinya) yang beriman. Kemudian

di dalam surga mereka berni’mat-ni’mat, bersenang-senang (istisrār),

sehingga kebahagiaan itu memancar dari wajah-wajah mereka.162 Sifat ini –

sebagaimana diberikan tafsīrnya oleh al-S{ābūnī - mengarah pada dua hal;

bahwa bidadari dalam ayat ini adalah bidadari yang berasal dari wanita

mukmin di dunia, yang bersama suaminya yang beriman bersama-sama

159
Ibid.
160
Ibid., hlm. 485.
161
Ibid., hlm. 291.
162
Ibid., hlm. 153.

lxxxvii
masuk surga. Dan di dalam surga, mereka bersenang-senang sebagai suami

isteri, di mana kata tuh}barūn, bermakna istimtā’ (hubungan badan).

q. Keanggunan yang sempurna

Bidadari di surga, baik yang dari wanita mukminah di dunia, maupun yang

khusus diciptakan di surga, semuanya memiliki keanggunan yang tiada tara,

(sehingga digelari h}ūrun ‘īn), sebagai deskripsi puncak tentang sosok yang

rupawan dan dipenuhi segala kesempurnaan, demi memenuhi kebahagiaan

para penghuni surga.163 Kembali lagi di sini ditekankan oleh al-S{ābūnī,

bahwa julukan h}ūrun ‘īn adalah bersifat netral kelamin.

4. Bidadari dan Amal Perbuatan Manusia

Dalam al-Qur`ān tidak semua informasi yang menyangkut surga selalu

disertai dengan adanya bidadari di dalamnya. Informasi tentang surga yang

disertai informasi adanya bidadari di dalamnya hanyalah menyangkut pada

beberapa tempat, yang sekaligus mencantumkan informasi jenis sifat dan

amal s}ālih tertentu dari orang beriman.

Sebelum membahas pendapat al-S{ābūnī tentang hubungan bidadari

dan amal perbuatan manusia, ada baiknya jika penulis kemukakan gambaran

umum mengenai surga dari dalam al-Qur`ān

Dalam al-Qur`ān, jumlah ayat yang berkaitan dengan surga berjumlah

174, adapun yang berkaitan dengan kata dasar jannah berjumlah 159.

Istilah surga sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta suwarga yang

bermakna tempat kebahagiaan puncak.164 Sedang istilah tersebut digunakan


163
Ibid., hlm. 246.
164
Muhammad Sholikhin. Berwisata ke Alam Akhirat, (Semarang: Risalah Pengajian
Paguyuban ‘Arafah), 2001, hlm. 152.

lxxxviii
oleh umat Islām untuk menerjemahkan kata jannah dalam bahasa Arab, yang

arti harfiahnya adalah kebun, atau taman yang penuh keindahan,165 sebagai

tempat bagi orang-orang yang menemukan kebahagiaan kekal di akhirat.

Dalam Qs. Ali Imran/3;15 Allāh melukiskan, bahwa surga terdiri dari

sungai-sungai yang indah, kekal, bagi penghuninya tersediakan pasangan

hidup (suami atau isteri) yang disucikan dan diridhai Allāh. Sifat

keindahannya melebihi segala kenikmatan yang ada di dunia, walaupun itu

mencakup keindahan hiasan wanita, anak-anak, harta dari emas maupun

perak, kendaraan pilihan, binatang ternak maupun segala hewan piaraan serta

sawah dan ladang.

Sehingga diingatkan bahwa surga itulah yang merupakan tempat

kembali manusia yang terbaik. Bagi penghuninya disediakan mata air banyak

yang mengalir serta menyejukkan penghuninya, dan setiap memasuki pintu-

pintunya selalu disambut dengan ucapan “masuklah ke dalamnya dengan

sejahtera dari semua kesalahan lagi aman dari kematian serta dari hilangnya

keni’matan,” dilenyapkan segala dendam maupun perasaan buruk, selalu

merasa bersaudara dengan saling mencintai dan saling memuliakan, tidak ada

lagi kelelahan, dan kebahagiannya bersifat abadi karena memang surga

berwatak suci dan bahagia selamanya.166

Mereka semua mengenakan perhiasan dari gelang-gelang emas serta

mutiara, di samping mengenakan sutra, dikarenakan dahulu di dunia mereka

165
al-Marbawī, Op. Cit., hlm. 110.
166
Qs. Al-Hijr/15;43-48; lihat Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī. S}afwah al-Tafāsīr
Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzim, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 1999/1420), jl. II, h.112.

lxxxix
mematuhinya untuk tidak bermegah-megahan. Dan ini adalah sebagai

penghargaan atas iman dan amal s}ālih} mereka (Qs. Al-H{ajj /22;23).

Rumah-rumah mereka berupa gedung-gedung bertingkat yang di

bawahnya banyak mengalir sungai yang beraneka warna (Qs.Al-

Zumar/39;20). Sungai-sungai tersebut tidak pernah mengalami perubahan

baik rasa dan baunya. Jenisnya sangat variatif, ada sungai-sungai air susu,

sungai arak yang lezat dan tidak beralkohol, sungai-sungai madu yang

disaring, dan juga disediakan segala kebutuhan dan keinginan akan buah-

buahan sebagaimana pula disediakan segala ampunan (Qs. Muhammad /

27;15).

Adapun penghuni surga adalah orang yang beriman dan beramal

s}ālih}, yang tidak pernah tersentuh oleh neraka, 167 yang disebut sebagai

kelompok al-su’adā’, orang-orang yang menemukan kebahagiaan (Qs.

Hud/11:108), yang berbahagia karena kebajikan-kebajikannya.168

Para penghuni surga itu disucikan dari segala dosa, segala keinginan

terpenuhi, dimuliakan dengan segala kenikmatan, masing-masing orang

memiliki tahta beserta hiasannya, dengan pelayanan minum-minuman yang

sedap rasanya sesuai keinginan surgawi dalam piala-piala yang indah yang

dibawakan oleh para bidadari yang “jinak” (Qs. Al-S}āfāt /37; 40-49, 60-

62). Di sinilah kaum mukmin memperoleh segala yang dikehendakinya (Qs.

Qaaf/50;35). Orang-orang beriman ini akan berkumpul kembali dengan

keluargannya atau yang dikasihinnya di dunia dulu, jika memang sama-sama


167
Ibid., jl. I, hlm. 63.
168
Ibid., jl. II, hlm. 35.

xc
beriman, dan masing-masing tak ada yang pahalanya berkurang (walaupun

mungkin di dunia dulunya sebagian amal dan do’anya, pahala diperuntukkan

bagi keluarganya yang lain –Qs. Al-T{ūr /52;21). Dan tentu saja kebahagiaan

tertinggi adalah diberikannya mereka wajah yang berseri-seri dan dengan

wajah itulah mereka “melihat Tuhan” [ru’yah] (Qs. Al-Qiyamah/75;22-23).

Surga diciptakan oleh Allāh tidak hanya satu jenis. Sejauh pernyataan

harfiyah al-Qur`ān, surga berjumlah empat. Empat surga itu pun oleh Allāh

diklasifikasikan dalam dua gambaran. Pertama, surga yang terdiri dari

pohon-pohonan serta buah-buahan, memiliki dua mata air, segala buah dan

makanan yang diinginkan berdatangan sendiri, penghuninya duduk dalam

permadani sutra di bawah rerimbunan pepohonan dengan didampingi oleh

bidadari yang belum/tidak pernah tersentuh, seperti permata yakut dan

marjān. Di sinilah segala bentuk kebaikan dibalas (Qs. Al-Rah}mān /55;46-

63).169

Kedua, surga berwarna hijau yang memiliki dua mata air yang

memancar, penuh dengan buah-buahan terutama kurma dan delima, juga

dihiasi dengan bidadari yang baik dan cantik jelita yang dipingit dalam ruang-

ruang khusus, serta belum pernah tersentuh, dengan kesucian abadi, mereka

bercengkerama dan duduk-duduk dalam tahta hijau berpermadani indah.

Semua ini tidak lain adalah menunjukkan keagungan Allāh (Qs. Al-

Rah}mān / 55; 64-78). Nampaknya surga kedua inilah yang lebih realistis,

dan inilah surganya para Nabi, syuhadā’, shiddīqin, dan s}ālih}īn. Di

169
Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hlm. 154-155.

xci
bawah yang berwarna hijau, masih ada yang berwarna kuning, merah, putih

dan hitam sesuai dengan derajat penghuninya.170

Surga tersebut hanyalah disediakan bagi orang yang bertaqwa, dan

mereka senantiasa selalu berusaha dan berdoa. Dalam Qs. Ali Imran/3;15-17

dicantumkan sebagian ahli-ahli surga yakni yang melakukan;

(1) Berdo’a rabbanā innanā āmannā fagfirlanā żunūbanā waqinā ‘ażāb al-
nār,
(2) Shabar,
(3) Qānitāt [ketaatan yang tidak pernah luntur],
(4) Menafkahkan hartanya dijalan Allāh,
(5) Selalu meminta ampun di waktu sahur (sebelum fajar mendekati subuh).
Jadi surga merupakan alat tukar yang diberikan Allāh hanya kepada

orang-orang yang memberikan jiwa dan hartanya demi jihad Islām,171

bertaubat, beribadat, selalu memuji Allāh, melawat untuk mencari ilmu dan

berjihad serta berpuasa, selalu ruku’ dan sujud, mengerjakan ‘amar ma’rūf

nahi munkar secara aktif serta selalu memelihara hukum-hukum Allāh (Qs.

Al-Taubah/9;111-112). Mereka itulah yang disebut sebagai golongan kanan

yang paling dulu beriman (Qs. Al-Wāqi’ah/56;8-10), yang sebagian besarnya

adalah ummat terdahulu sebelum Rasūlullāh, dan sebagian kecil adalah umat

Rasūlullāh Muhammad (ayat 13-14).

Bagi mereka akan diberi pahala; (1) tahta dari emas, (2) selalu akrab

antara satu dengan yang lain, (3) selalu muda, (4) disediakan segala macam

minuman yang tidak memabukkan dan tidak membosankan, (5) tersedia


170
Ibid.
171
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 525-526.

xcii
segala aneka buah-buahan yang tiada henti, (6) daging-daging segala hewan,

(7) bidadari yang seperti mutiara tersimpan, (8) tidak ada perkataan buruk

sama sekali kecuali ucapan salām dan dikelilingi pohon-pohon bidara tanpa

duri serta pisang-pisang yang indah dan lebat, (9) diberi naungan yang luas

dan indah, (10) air yang senantiasa tercurah, (11) kasur-kasur tebal dengan

bidadari yang tetap perawan, sebaya serta penuh cinta dan kasih-sayang.

Allāh juga membuat tamsilan surga itu sebagai tempat bagi orang yang

bertaqwa yang sungai-sungainya mengalir terus menerus, buah-buahannya

tumbuh tanpa henti, dan kerindangannya menaungi dengan teduh (Qs. Al-

Ra’d/13:35). Sedangkan sungai-sungai itu tidak pernah rusak, sungai susunya

tidak pernah berubah cita rasanya, sungai-sungai minuman yang lezat, sungai

madu yang murni-bersih, segala macam, buah-buahan, dan disertai dengan

penuhnya ampunan Allāh. Dan ini berkebalikan dengan kondisi neraka yang

disiapkan konsumsinya dengan air yang mendidih dan api menggelegak (Qs.

Muhammad /47:15).

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa janji surga yang diiringi

dengan janji adanya bidadari di surga hanya menyangkut amal-amal tertentu,

walaupun secara umum disebutkan bahwa hal itu teruntuk bagi orang beriman

dan beramal s}ālih}.

al-S{ābūnī menyebutkan bahwa kabar gembira dengan surga yang

teriring dengan janji pasangan bidadari diperuntukkan bagi orang beriman

yang bertaqwa, menegakkan keimanan dan ketaqwaannya dengan perilaku

sehari-hari,172 dan di dunia termasuk orang yang muhsinun, yang merupakan


172
Ibid., jl. III, hlm. 165.; lihat juga jl. I, 172.

xciii
hasil terkumpulnya watak keimanan dan amal s}ālih},173 mengutamakan

kebajikan dalam segala segi (al-abrār) dan mengataskan keataatan kepada

Allāh,174 yang dengan al-abrār serta al-‘amal al- s}ālih} itulah di akhirat

wajah mereka akan diputihkan oleh Allāh.175

Keimanan mereka adalah suatu sikap pembenaran total atas ayat-ayat

Allāh, yang dengan itu ia benar-benar berserah diri atas hukum-hukum Allāh

serta semua perintah-Nya, dan berislām atas-Nya dengan menekadkan dalam

hatinya untuk selalu mentaati-Nya.176

Bagi mereka, menurut al-S{ābūnī, selain mendapatkan balasan

berkumpul dengan keluarga, yakni isteri/suami (syarikahum) dan anak-

anaknya, juga mendapatkan balasan bidadari sebagai pasangan dan

pendampingntya.177 Jadi, di sini secara jelas, al-S{ābūnī membedakan antara

isteri/suami bagi ahli surga dengan bidadari. Ini berarti al-S{ābūnī

memegang pendapat yang menyatakan bahwa bidadari khusus diciptakan di

surga.

Karakter lain yang disebut al-S{ābūnī, bagi hamba yang mendapatkan

nikmat tambahan bidadari adalah seorang hamba yang di saat berdiri

menyembah Tuhannya selalu merasa takut karena ia menghisab dirinya atas

amalnya sendiri.178 Sifat khāfa ini tentunya adalah sebagai efek ketaqwaan

yang mendalam dalam diri seorang mukmin, yang disebut sebagai selalu

173
Ibid., hlm. 36.
174
Ibid., jl. III, hlm. 485.
175
Ibid., jl. I, hlm. 202.
176
Ibid., jl. III, hlm. 153.
177
Ibid., hlm. 246.
178
Ibid., hlm. 281.

xciv
berhati-hati dalam menjaga dan mensucikan kerimanannya,179 sehingga

keadaannya mendatangkan kekaguman dari Allāh dan penghuni langit.180

Dari hisabnya itulah, kemudian seorang beriman selalu berbuat

kebajikan dengan penuh keikhlasan. al-S{ābūnī juga menyatakan bahwa

hamba yang mendapat karunia surga beserta bidadarinya adalah orang

beriman yang dalam beribadahnya dihiasi dengan keikhlasan meng-Esakan

Allāh (ikhlas tauhīd). Sehingga bukan karena dorongan takut akan ‘ażāb. Ia

tidak pernah kendor dalam hisab pribadinya, tidak pernah bertambah

kejelekannya, justru amal kebaikannya yang selalu meningkat.181

al-S{ābūnī juga menyebutkan karakter; seseorang yang selalu menjadi

pelopor atas kebaikan (al-khairāt) dan keadaban (al-hasanāt), baik dari

kalangan umat era Nabi maupun dalam masa akhir, selalu mendekatkan diri

kepada Allāh, di dalam kesendirian dunia, dalam naungan ‘arsy, dan di tempat

ibadah yang dimuliakan,182 atau tegasnya orang yang dalam ketaqwaannya

berada dalam kepengikutan pola Rasūlullāh.183 Merekalah penghuni tetap

surga selamanya.184 Sebab memang surga disediakan oleh Allāh bagi pemilik

sifat di atas –disertai dengan jihad dan bertaubat- yang nikmat-nikmatnya

tidak akan berakhir, kebahagiaan penduduknya tidak pernah surut dan segala

apa yang diterima mereka tidak bisa dikira-kirakan, apalagi dihitung. 185

179
Ibid., hlm. 288.
180
Ibid., juga hlm. 290.
181
Ibid., hlm. 29.
182
Ibid., hlm. 289.
183
Ibid., hlm. 56.
184
Ibid., jl. I, hlm. 232.
185
Ibid., jl. I, hlm. 525; juga lihat Sayid Sabiq, al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Dār al-Fikr,
Beirut, 1992, hlm. 302.

xcv
Sehingga penggambarannya hanya dapat dilakukan dengan simbol-simbol

yang gampang dimengerti manusia.

Jadi terhadap pertanyaan, apakah semua orang beriman yang masuk

surga pasti mendapatkan balasan bidadari? Maka dalam hal ini memang

dalam tafsīr S{afwah -nya, al-S{ābūnī tidak pernah menyatakan secara

tegas, namun melihat klasifikasi yang disebutkan di atas, nampaknya,

jawabannya tidak semua yang masuk surga pasti mendapatkan bidadari.

Hanya yang memiliki karakter amal s}ālih}di atas yang mendapatkan

kelengkapan bidadari, sehingga inilah jawaban atas pertanyaan mengapa

pahala bidadari disebut sebagai nikmat tambahan.

Klasifikasi tersebut juga mengisyaratkan bahwa yang terpenting

bukanlah mendapatkan bidadarinya, akan tetapi jenis amal perbuatan yang

menyebabkan seseorang mendapatkan kesempurnaan balasan dengan simbol

bidadari itulah yang menjadi tujuan simbol tersebut.

Simbolitas ini semakin nampak, jika ditilik dari segi sastra. al-S{ābūnī

mengungkapkan bahwa balasan Allāh berupa bidadari yang elok dan belum

pernah tersentuh, jelas merupakan bentuk penggambaran yang tidak

menyebutkan sisi penggambarannya, oleh karena kata bantu

penggambarannya tidak disebutkan pula maka dalam disiplin ilmu sastra arab

disebut tasybīh-mursal-mujmal.186

Dengan simbolitas-simbolitas itulah, kesenangan manusia yang

terpendam dalam dirinya diusik agar berubah menjadi motivasi positif bagi

186
Ibid., jl. III, hlm. 298; juga Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, al- Balagah al-
Wad}ih}ah, hlm. 25.

xcvi
kehidupan keagamaannya. Maka pertanyaan Allāh yang diulang-ulang dalam

Qs. Al-Rah}mān menjadi sangat relevan, “ni’mat Tuhan yang mana yang

bisa kamu dustakan?”. Menurut al-S{ābūnī, pertanyaan ini mengandung

teguran keras dan celaan,187 karena tidak ada nikmat yang bisa didustakan,

namun dalam prakteknya manusia banyak yang tidak mengaplikasikan. Jadi

ruh ayat-ayat simbol tersebut bukan pada bentuk simbolnya, akan tetapi

ruhnya adalah kata “ni’mat” sebagai balasan amal kebajikan di surga.188

F. Bidadari sebagai Simbol konsep Jazā’ Amal Baik Manusia, Bukan

Makhluk Fisik di Surga

1. Bidadari sebagai Simbol Balasan atas Amal Manusia

al-S{ābūnī menyatakan bahwa, pernyataan Allāh dalam Qs. Al-

Rah}mān yang mengelompokkan paragraf ayat 1 sampai 45 dengan

paragraf ayat 46 sampai 78, bahwa sebelum Allāh menjanjikan surga dengan

segala isinya, terlebih dahulu Allāh menuturkan ihwal ahli neraka. Baru

kemudian menjelaskan janji-Nya untuk kelompok orang beriman dalam

bentuk taman, pelayan, dan bidadari yang cantik jelita, dengan maksud agar

menjadi jelas perbedaan mencolok antara jalan penempuhan kaum mujrimin

dengan tertib jalan kelompok muttaqīn.189

Itu berarti bahwa menurut al-S{ābūnī penggambaran bidadari, yang

walaupun dalam spesifikasinya nampak seperti nyata-nyata fisik, akan tetapi

187
Ibid., jl. III, h.288.
188
lihat misalnya Ibid., h.31 dan 282. Nampak bahwa pensifatan atas bidadari
sebenarnya bukan mengacu kepada bidadarinya itu sendiri, tetapi justru ditujukan kepada ni’mat
yang diterima oleh penghuni surga.
189
Ibid., hlm. 281.

xcvii
dalam segi lain, bidadari juga menjadi simbol bagi balasan atas amal baik

manusia. Bahkan di samping al-Qur`ān, Rasūlullāh sendiri dalam berbagai

h}adīs}nya juga sering dan suka menggunakan bahasa-bahasa simbolis,

baik untuk merangsang orang beramal s}ālih}, atau agar lebih mudah

diterima dan dimengerti umat atau dengan motiv yang lain.190

Bahasa simbolis tersebut sangat penting untuk memberikan semangat

kejuangan agama bagi umat, apalagi pada konteks masa Nabi. Tentunya

memahami keadaan geografis dan historis masyarakat Arab-Islām era Nabi

sangat penting untuk mengetahui sebagian motiv dibalik penggunaan simbol-

simbol dalam bahasa al-Qur`ān. Al-Wahidi menyatakan, bahwa tidak

mungkin seseorang bisa memahami tafsīr sebuah ayat tanpa berpijak pada

konteks di saat ayat itu diturunkan.191

Saat masa-masa penyiaran dan perkembangan Islām, masyarakat Arab

berada dalam kondisi geografis yang gersang, padang pasir luas, disertai

dengan kewajiban berjuang menghadapi bahaya maut setiap saat. Kondisi-

kondisi itu sangat mempengaruhi segi kejiwaan mereka. Saat-saat seperti itu,

tentunya mereka memerlukan hal-hal yang dapat memunculkan motivasi

psikis. Allāh serta Rasūlnya memenuhi itu dengan janji-janji surgawi yang

serba indah dan nikmat, disertai janji adanya bidadari yang sudah menantikan

kehadiran mereka di surga.192


190
Lihat misalnya dalam al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut-
Lebanon: Dār al-Fikr, 1988), jl. I, hlm. 309-310.
191
Lihat al-S}uyut}ī. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, cet. III, (Beirut: Dār al-Fikr,
1370/1951), hlm. 28; al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān, jl. I, hlm. 109; juga Manā’ Khalīl al-Qaţān,
Mabāhis fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Fikr, cet. III, t.t.), hlm. 80.
192
Faktor-faktor geografis, historis, dan psikologis itulah yang menyebabkan
dibolehkannya nikah mut’ah pada masa Nabi, walaupun pembolehan itu sifatnya kasuistik, dan
bersifat lokal-temporer. Lihat dalam Sahih Bukhari, jl. III, hlm. 125-126; Sahih Muslim, jl. II, hlm.

xcviii
Jika melihat karakter orang-orang yang menerima pembalasan surga

beserta bidadarinya, sebagaimana diuraikan al-S{ābūnī di atas, nampak

bahwa orang yang diberi balasan dengan simbolitas bidadari adalah orang

yang dalam amal s}ālih} lahiriyahnya didasari dengan keikhlasan paripurna

batinnya, serta selalu diiringi dengan selalu menghisab diri atas amal-

amalnya.

Apa yang bisa dipahami dari penjelasan al-S{ābūnī tersebut

menyerupai pendapat para ahli tafsīr kontemporer lain seperti misalnya Mirza

Bas}īr al-Din Ahmad dan Abdullah Yusuf Ali.

Menurut Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad makna azwājun

mut}ahharah dalam Qs. 2:25 bukanlah hanya sekedar mengacu pada

bentuk pasangan fisik suami isteri sebagaimana selama ini difahami, akan

tetapi maknanya lebih luas dari itu, diantaranya adalah pasangan bagi adanya

surga adalah amal s}ālih}, sehingga bagi yang masuk surga harus disanding

dengan pasangannya yakni amal s}ālih}. Dalam arti kata-kata itu

merupakan simbol dari keserasian dan keharmonisan jiwa raga, lahir batin,

habl min Allāh dan habl min al-nās, fungsi khalīfah Allāh dan ‘abīd Allāh dan

sebagainya. Maka yang paling mengerti makna tersebut adalah hendaknya

dikembalikan kepada Allāh.193

Apa yang dikemukakan oleh Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad sejalan

dengan Abdullah Yusuf Ali yang memaknai bahwa janji-janji surgawi dalam

1022; Musnad Ahmad jl. I, hlm. 142, 402, dan 405. Untuk lebih jelasnya lihat Syuhudi Isma’il.
Ĥadīŝ Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, cetakan Pertama, 1994), hlm.
82-87.
193
Bandingkan dengan Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad. al-Tafsīr al-Kabīr,
(Tilford Surrey, U.K.: al-Syirkat al-Islāmiyyah), jl. I, hlm. 162-167.

xcix
ayat tersebut, merupakan simbol segala kebahagiaan, sebagaimana api

sebagai simbol hukuman.

Dan apa pula yang akan lebih menyenangkan daripada sebuah kebun,
yang kita lihat dari ketinggian dan tampak sebuah pemandangan yang
begitu indah di sekitar kita, -sungai-sungai dengan air mengalir seperti
kristal, dengan pohon buah-buahan yang terbaik terhampar di depan kita.
Sama saja, buah kebaikan ialah kebaikan pula, tetapi yang lebih baik
akan berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Kita mengira itu sama,
tetapi sebenarnya karena kenangan kita mengenai pengalaman dan masa
lampau. Kemudian adanya pasangan-pasangan. Jika di sini ada kesan
bernada seks, maka hubungan fisiknya sekaligus sudah dinafikan dengan
hanya tambahan kata “mut}ahharah”, “bersih dan suci”. Sebutan
bahasa Arab ini dalam bentuk intensif, dan harus diterjemahkan dengan
dua kata sifat yang menunjukkan kebersihan dalam tingkat yang
tertinggi. Pasangan ialah mengenai orang dan berlaku buat kedua jenis
dalam arti fisik, laki-laki dan perempuan. Dan kebahagiaan itu tidak
sekadar dalam waktu terbatas akan tetapi akan berada diluar kekuasaan
waktu.”194

Jadi konsepsi itu bersifat menyeluruh, bukan semata mukmin lelaki

mendapatkan pasangan bidadari, akan tetapi semua orang beriman akan

mendapatkan pasangan masing-masing, yang menjadi sebab kebahagian

abadi mereka. Hal ini semakin mempertegas bahwa makna bidadari yang

dapat dipastikan kebenarannya adalah, bahwa itu merupakan simbol puncak

bagi kenikmatan ahli surga, sebagai balasan perbuatannya sewaktu hidup di

dunia. al-S{ābūnī lebih jauh menyatakan bahwa semua janji-janji akhirat

adalah sebagai simbol pengingat atas cara al-Qur`ān dalam mengumpulkan

al-tarĝīb dan al-tarhīb, untuk membandingkan antara keadaan orang-orang

ahli kebajikan dengan ahli-ahli keburukan (al-fajīr).195

194
Abdullah Yusuf Ali. Al-Qur`ān Terjemahan dan Tafsīrnya, Terj. Ali Audah,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), juz I s/d XV, hlm. 22, catatan no. 44.
195
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.

c
Wajar jika konsep bidadari sebagai simbol kenikmatan atas amalpun

tidaklah menyeluruh, sebab bidadari hanya menduduki posisi sebagai nikmat

tambahan kepada orang mukmin,196 sehingga pada Qs. Al-Wāqi’ah:24 di

akhir pembahasan mengenai kenikmatan-kenikmatan surga ditegaskan bahwa

“semua itu Kami jadikan untuk mereka sebagai balasan atas amal-amal

mereka ketika di dunia.”

Jadi jelaslah bahwa konsep bidadari dalam al-Qur`ān dengan segala

kesempurnaannya digunakan oleh Allāh sebagai simbol atas buah kebajikan

orang beriman di akhirat kelak.

2. Maksud Penggunaan Simbol Bidadari bagi Manusia

Penggunaan simbol dalam al-Qur`ān, termasuk konsep h}ūrun ‘īn

sebenarnya memiliki maksud yang cukup mendalam bagi umat Islām, baik

maksud tata kebahasaan al-Qur`ān, maupun maksud praktis bagi pola

keberagamaan dzahir maupun batin.

Dalam segi sastra, penggunaan simbol mengacu pada konsep sastra,

tepatnya pemakaian pengertian lugas dan majas (maknawi)197 dan segi

kebahasaan adalah menyangkut kejelasan kata yang secara implikatif

mempunyai pengaruh mendalam sekaligus muatan tema dan obyek dalam

wacana kontekstual.198 Dengan segi-segi itu, serta simbolisasi yang sempurna

196
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 11.
197
Untuk pengertian masing-masing istilah tersebut lihat Ali al-Jarimi dan Mushtafa
Amin, al- Balagah al-Wad}ih}ah, (Surabaya: al-Hidayah, cet. ke-15, 1961), hlm. 84.; juga
Machasin (penerjemah), al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur`ān; Dalil Rasionalitas al-
Qur`ān, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 76.
198
Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, Op. Cit., hlm. 8.

ci
dalam semua perspektif, dapat menjadikan al-Qur`ān tidak tertandingi oleh

bahkan semua makhluk sekalipun.199

Nampaknya penggunaan simbol h}ūrun ‘īn telah mencapai hal-hal

tersebut, terutama dengan melihat penafsiran al-S{ābūnī di atas.

Menurut Abu M. Jamal Isma’īl, dimuatnya diskripai yang menampilkan

keindahan dan sifat-sifat lain yang dikhususkan oleh Allāh kepada bidadari

itu memiliki manfaat yang besar bagi kaum beriman, yaitu agar ilustrasi ini

menimbulkan rasa “zuhud” untuk tidak memenuhi ajakan syahwat haram.

Supaya lebih intens mengingat terus menerus akan surga dan apa yang

diciptakan Allāh di dalamnya.200 Dalam arti bahwa kenikmatan di dunia ini

tidak ada apa-apanya dibanding kenikmatan akhirat, sementara jika mengejar

nafsu kenikmatan dunia, yang hanya sedikit dan sebentar, justru akan

kehilangan kesempatan menikmati kebahagiaan akhirat yang abadi. Menurut

al-S{ābūnī penggunaan simbol-simbol bidadari dan sebagainya yang

menggambarkan keindahan surgawi, demikian pula simbol-simbol yang

sebaliknya tidak lain merupakan t}arīqat al-qur'ān fī al-targīb wa al-

tarhīb.201 Surga dengan segala janji kenikmatannya merupakan simbolitas

kesempurnaan kebahagiaan yang diperoleh, yang dengan kenikmatan itu

orang beriman berada dalam tempat yang nyaman, yang digambarkan

199
al-S{ābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), hlm. 93-
95.
200
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 2.
201
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 281.

cii
berbahagia bersama pasangannya selamanya, tanpa sesuatupun yang

menjadikannya renggang atau terpisah.202

Seluruh gambaran mengenai bentuk dan simbol surga atau neraka

beserta pengelompokan manusia atas tempat-tempat itu untuk mengingatkan

manusia akan peri keadaan kelompok asyqiyā’ dan su’adā’; meneguhkan

pada hati hamba antara fakta al-rugbah dengan al-ruhbah, memunculkan

faktor kekhawatiran dan harapan untuk mendapatkan surga dengan segala

isinya.203

Hal ini kembali ditegaskan oleh al-S{ābūnī ketika memberikan

tafsīrnya atas Qs. Al-Wāqi’ah:24, setelah ayat-ayat yang menjelaskan

berbagai kenikmatan surgawi, utamanya kenikmatan diberinya bidadari,

dengan menyatakan, “Kami jadikan bagi mereka yang demikian itu

seluruhnya agar mereka menjadi orang-orang yang s}ālih} di dunia.”204

Oleh al-S{ābūnī dinyatakan bahwa orang-orang s}ālih} bukan sekedar

orang yang berkeimanan i’tiqādiyah disertai ‘amal s}ālih} semata, akan

tetapi iman yang dimaksudkan adalah berkumpulnya ikhlās al-‘aqīdah

dengan ikhlās al-‘amal.205

Jadi maksud utama pemberian gambaran bidadari sebagai simbol amal

baik, tidak lain adalah agar orang beriman semakin disiplin dalam mematuhi

hukum Allāh, tidak dikalahkan dengan kesenangan duniawi sesaat yang justru

202
Ibid., jl. I, hlm. 36.
203
Ibid., jl. II, h.96.
204
Ibid., jl. III, hlm. 290.
205
Ibid., jl. II, hlm. 466.

ciii
akan menghancurkan kebahagaian abadi di akhirat, sehingga orientasi dan

tujuan hidupnya akan semakin jelas bagi orang beriman.

Kiat-kiat simbolis sebagaimana dinyatakan oleh al-S{ābūnī itu, dalam

al-Qur`ān sangatlah banyak, yang diantaranya mengandung maksud utama

untuk al-targīb wa al-tarhīb kepada hamba-hamba Allāh. Ini semakin nampak

nyata misalnya dalam Qs. Al-Taubah:111 yang berisi janji Allāh kepada orang

yang berjihad dengan mengorbankan jiwa serta hartanya, sehingga

mendapatkan balasan surga, entah jihad berakhir dengan kekalahan atau

dengan kemenangan.206

BAB IV
TAFSĪR TENTANG “BIDADARI”
MENURUT M. ‘ALĪ AL-S{ĀBŪNĪ

G. Alur Penafsiran M. ‘Alī al-S{ābūnī tentang Bidadari dalam

S{afwah al-Tafāsīr

Mengenai alur penafsiran al-S{ābūnī tentang bidadari dalam tulisan

ini ditempuh melalui dua cara, yakni, alur penafsiran sesuai dengan urutan

ayat serta surat dalam al-Qur`ān mengenai bidadari, dan kemudian baru alur

206
Ayat tersebut turun ketika Nabi dan para sahabat Anshar mengadakan persetujuan
di malam bai’ah ‘aqabah. Saat itu Abdullah ibn Rawahah bertanya; “wahai Rasūlullāh kewajiban
apa yang engkau kehendaki dari kami terhadap Tuhanmu dan dirimu sendiri?” Rasūlullāh
menjawab, “terhadap Tuhanku, sembahlah Dia dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun.
Sedangkan terhadap diriku, cegahlah aku dari apa yang kalian sendiri mencegah diri kalian
sendiri.” Lalu mereka bertanya, “andaikata itu kami lakukan, lalu apa konsekwensinya?”
Rasūlullāh menjawab tegas, “Surga.” Maka turunlah ayat tersebut. Lihat Ibid., jl. I, hlm. 525; juga
Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi. Asbab al-Nuzul, Beirut: Dār al-Fikr, 1991),
hlm. 179.

civ
sistematisasi pemikiran al-S{ābūnī mengenai bidadari, sesuai dengan hasil

penafsirannya.

Sesuai dengan pernyataan al-Qur`ān bahwa keberadaan bidadari di

surga berkaitan dengan pemberian kabar gembira kepada orang yang beriman

serta berbuat kebajikan di dunia, bahwa mereka akan diberikan pahala

surga.207 Surga dalam ayat ini digambarkan memiliki sifat; mengalir di

bawahnya sungai-sungai; bagi setiap orang dari penghuninya diberikan rezki

buah-buahan; dan bagi setiap dari mereka tersedia “azwāj” yang suci; serta

mereka kekal di dalamnya.

Umumnya, kata “azwāj” dalam ayat ini diterjemahkan sebagai “isteri-

isteri” yang mengacu kepada perempuan sebagai pasangan seks laki-laki.208

Al-S{ābūnī memulai pemikiran bidadarinya dengan mengurai definisi

awal dari perspektif lugawi kata azwāj ini. Menurut al-S{ābūnī, kata azwāj

yang merupakan jamak dari zauj adalah kata yang dipakai baik untuk laki-

laki maupun perempuan. Perempuan adalah zauj (pasangan) laki-laki, dan

laki-laki adalah pasangan perempuan.209 Maka dengan demikian berarti, bagi

laki-laki di surga mendapatkan pasangan bidadari, dan bagi perempuan

mendapatkan pasangan –mudahnya sebut saja- bidadara. Dalam arti janji

akan pasangan lawan jenis sebagai balasan amal s}ālih bagi orang beriman

di surga berlaku umum.

207
Qs. Al-Baqarah/2:25.
208
Lihat misalnya Lembaga Penjelenggara Penerdjemah Kitab Sutji Al-Quraan. Al-
Quraan dan Terdjemahnja, (Jakarta: percetakan Jamunu, 1965), h.12.

209
M. Ali al-S{abuni, S{afwah al-Tafāsīr , jl. I, hlm. 34.

cv
Maka ketika menafsirkan kata mut}ahharah yang mengikuti kata

azwāj, al- S{ābūnī tidak seperti penafsir lain yang mengartikannya sebagai

suci dari h}aid} atau kotoran keperempuanan lain,210 akan tetapi al-S{ābūnī

menyatakan bahwa maksud mut}ahharah adalah pasangan-pasangan

penghuni surga yang dibersihkan dari kotoran-kotoran hissiyah maupun

maknawiyyah.211

Hanya saja kemudian al-S{ābūnī melengkapi penafsirannya dengan

pendapat ‘ulamā’ lain yang mengartikannya secara fisik kotoran perempuan.

Bahkan al-S{ābūnī juga mengakomodasi pendapat sebagian ‘ulamā’ yang

menyatakan bahwa wanita-wanita mukmin dunia pada hari kiamat akan

dijadikan lebih cantik dibanding bidadari. Hal ini –menurut para mufassir

klasik- sesuai dengan makna yang dimaksud oleh firman Allāh pada Qs. al-

Wāqi’ah:35-37.212

Nampak bahwa al-S{ābūnī belum bisa benar-benar tegas menentukan

corak tafsīrnya sendiri dan mengambil garis tegas mengenai pemikirannya.

Hanya saja akomodasi penafsiran yang mengarah pada kata zauj sebagai

perempuan pasangan laki-laki ini bisa saja diterima dengan menilik

penafsiran atas Qs. Al-Baqarah:35, di mana kalimat “yā Ādamu uskun anta

wazaujuka al-jannat” dalam ayat itu bermakna “berdiamlah kamu di surga

dengan abadi beserta pasangan/isterimu Hawa.”213

210
Lihat misalnya Jalaluddin al-Suyut}i dan Jaluluddin al-Mah}alli, Op. Cit., hlm.
5.
211
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 36.
212
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-
Wāqi’ah: 35-37).
213
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 42.

cvi
Al-S{ābūnī menyebutkan bahwa bidadari sebagai pasangan orang

beriman di surga adalah bidadari yang hanya membatasi pandangan hanya

untuk pasangan-pasangannya karena rasa cinta dan bersihnya (qās}irāt al-

s}arf).214 Ketika manafsirkan Qs. S{ād:52215 al-S{ābūnī menjelaskan bahwa

ketertujuan pandangan mata pada suaminya itu disertai dengan

ketidakmauannya melihat pada yang lain.216 Dengan mengutip al-T{abarī, al-

S{ābūnī menyebutkan sosok bidadari, bahwa lebar dan bulatnya mata serta

rupanya yang elok ditentukan dengan bentuk mata yang paling bagus.217

Penafsiran al-S{ābūnī mengenai zauj tersebut mempengaruhi

penafsiran berikutnya terhadap konsep bidadari. Bahwa penggunaan kata

h}ūrin ‘īn dalam ayat-ayat Qs. Al-Dukhān:51-55218 bukan berarti bermuatan

makna bidadari saja. Ketika menafsirkan kalimat “kadzalika wazawwajnāhun

bi h}ūrin ‘īn” (Qs. Ad-Dukhān:54), al-S{ābūnī menyebutkan “każālika

akramnāhum bi anwā’i al-ikrām, wa zawwajnāhum aid}an bi al-h}ūr al-

h}isān fī al-Jinan” (demikianlah telah kami muliakan mereka dengan

berbagai macam kemulian, dan kami pasangkan pula kepada mereka teman

bersanding yang mempesona di surga)”.219

214
Ibid., jl. III, hlm. 30 berdasarkan penafsiran atas Qs. Al-S{āffāt:48.
215
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (Qs.S{ād: 52).
216
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 56.
217
Ibid., hlm. 30.
218
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air; mereka memakai sutera
yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan
kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman
(dari segala kekhawatiran). (Qs. Al-Dukhān:51-55).
219
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 165.

cvii
Jadi diberikannya pasangan yang menyenangkan kepada orang beriman

di surga adalah terkait erat dengan pemuliaan Allāh atas amal-amalnya,

sehingga kemudian diberi balasan yang serba mulia, yang salah satunya

adalah pasangan bidadari tersebut.

Dalam memberikan tafsīr ini, al-S{ābūnī menyandarkan kepada

pendapat al- Bait}awī yang menafsirkan zauj sebagai qarīn (teman).

Menurut al-S{ābūnī penggambaran bidadari ini terkait dengan

penggambaran sifat surga yang lain. Bahwa penggambaran mengenai surga

berupa taman dengan sungai-sungai adalah sesuatu yang sangat indah serta

memiliki fungsi menjadikan kegundahan berubah menjadi fresh kembali.

Maka penyebutan bidadari itu, mempertegas kesegaran yang dimunculkan

oleh fenomena surga.

Bersama pasangan di surga, seseorang akan meraih puncak

kebahagiaan, sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa; “ada tiga hal

yang bisa menghilangkan kesusahan atau beban hati, yaitu air, hijau-hijauan

(warna hijau daun), dan wajah yang menawan.”220 Jadi al-S{ābūnī

menafsirkan h}ūr di sini sebagai wajah yang menawan, yang bersifat netral

kelamin.

Sehingga ketika menafsirkan kalimat wazawwajnāhum bih}ūrin ‘īn

(Qs. Al-T{ūr:20 al-S{ābūnī memberikan tafsīr sebagai berikut: “dan Aku

jadikan untuk mereka teman-teman yang s}ālihah dan pasangan-pasangan

yang elok dari bidadari. Mereka adalah wanita-wanita yang matanya terlihat

220
Ibid, jl. III, hlm. 165

cviii
putih warna putihnya lagi anggun.” Al-S{ābūnī mengatakan bahwa simbol

putihnya warna mata serta lebar dan bulatnya mata adalah puncak kecantikan

dan kejelitaan.221

Berdasarkan Qs. Al-Rah}mān :72, Al-S{ābūnī mendeskripsikan

bahwa para bidadari di surga di pingit di dalam rumah kediaman, dan mereka

tidak pernah keluar rumah karena keagungan dan kemuliannya. Para bidadari

itu hanya diam di perkemahan mutiara.222 Ciri ini disandangkan kepada para

bidadari sebagai corak khasnya yang s}ālihah dengan pakaian akhlak

mulia.223

Dengan mengutip Abu Hayan, al-S{ābūnī membawa tafsīr bidadari

“tersimpan” ini ke konteks wanita dunia, bahwa para wanita dipuji dengan

pujian yang agung dan mulia seperti di atas, karena keberdiam-dirian mereka

di rumah itu menunjukkan bahwa mereka bernar-benar terjaga. 224 Nampaknya

al-S{ābūnī menginginkan agar konteks dasar persifatan bidadari yang serba

mulia dan terpuji ini dibawa membumi sebagai sifat dasar wanita mukminah.

Upaya pembumian penafsiran itu makin nyata ketika al-S{ābūnī

memberikan tafsīrnya atas Qs. Al-Rah}mān : 56-58 dalam bentuk

perumpamaan. Bahwa di dalam taman surga terdapat wanita yang hanya

mengkhususkan pandangannya kepada suami-suaminya, bukan kepada yang

lain seperti halnya wanita-wanita lembut yang berada dalam sebuah

pingitan.225
221
Ibid., hlm. 246.
222
Ibid., hlm. 283.
223
Ibid., hlm. 282 berdasarkan Qs. Al-Rah}mān : 70.
224
Ibid., hlm. 283.
225
Ibid., hlm. 282.

cix
Penafsiran ini tentu memiliki maksud tertentu. Pertama, bahwa wanita-

wanita mukminah dunia, kelak di akhirat tetap akan menjadi pendamping

bagi suaminya, yang tidak beralih kepada orang mukmin lain. Kedua, wanita

yang di dunia selalu berupaya menempatkan diri dalam “sebuah pingitan”

keagamaan, maka sebagaimana halnya di dunia, kelak di akhirat juga tetap

terjaga kesuciannya hingga hanya tetap dalam memandang suaminya saja.

Inilah nampaknya tafsīr membumi dari kata qās}irāt al-t}arfi menurut al-

S{ābūnī.

Keberadaan bidadari di surga itu betul-betul bersifat perawan, yang

belum pernah tersentuh sama sekali atau bersenggama oleh siapapun baik jin

maupun manusia. Bidadari dengan kecantikan yang bagaikan mutiara

jernihnya itu belum pernah terjamah oleh apa dan siapapun.226

Keperawanannya adalah sejati. Sifat keperawanan bidadari al-S{ābūnī ini

diacu dari pendirian al-Alūsi yang mengatakan bahwa makna al-ţamŝ adalah

keluarnya darah, sehingga orang yang haidh disebut ţamaŝu. Istilah ini lalu

dipakai juga untuk menyenggamai perawan, di mana dalam peristiwa ini

darah akan terkeluarkan. Kemudian juga bisa dipakai untuk segala macam

jima’ walaupun tidak ada darah yang keluar.227

Keperawanann yang disandang oleh bidadari surga, menurut al-

S{ābūnī, sepadan dengan usianya yang rata-rata remaja, dengan sikap yang

selalu mengitari penghuni surga guna memberikan pelayanan kepada mereka

sesuai tugasnya. Dan bidadari tersebut tidak pernah mati, serta dalam keadaan

226
Ibid., hlm. 290 pada tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah: 22-23.
227
Ibid., hlm. 282.

cx
selalu muda.228 Namun usia yang selalu muda itu, bukan sekedar kemudaan

sebagaimana layaknya manusia, tetapi usia muda yang sudah berada dalam

kematangan dan kedewasaan sikap dalam memberikan pelayanan, yang

ditandai dengan bentuk fisik tubuhnya, dengan ciri payudara yang padat

berisi, dan menyembul keluar.229 Sebuah gambaran yang sangat

menyenangkan.

Menurut al-S{ābūnī, sifat keperawanan sejati dalam keremajaan usia

itu, seiring dengan proses penciptaan bidadari yang bersifat “baru” (dalam

arti belum pernah terjadi penciptaannya, dan belum pernah ada bentuk

makhluk sebelumnya), baik yang merupakan makhluk surgawi, maupun yang

semula berasal dari makhluk dunia, yang kemudian menjadi pasangan

penghuni surga, baik untuk pasangannya ketika di dunia, atau dengan

pasangannya yang sama sekali baru.230 Pasangan dari dunia adalah

suami/isterinya yang sama-sama masuk surga karena amal s}ālihnya,

sedang maksud pasangan yang baru adalah pasangan bagi yang tidak bersama

pasangannya dari dunia, atau yang sudah beserta pasangan dari dunia yang

berfungsi sebagai permaisuri/raja, kemudian mendapatkan nikmat tambahan

pasangan bidadari di surga.

Maka wajar jika kemudian digambarkan bahwa nikmat mendapatkan

bidadari dijadikan sebagai nikmat puncak di surga. Al-S{ābūnī ketika

228
Ibid., hlm. 289, tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:17.
229
Ibid., hlm. 485 tafsīr atas Qs. An-Naba’:33.
230
Ibid., hlm. 291. Untuk pembahasan proses penciptaan bidadari menurut al-S{ābūnī
lihat pada pembahasan lebih lanjut di bawah pada bab ini.

cxi
menafsirkan Qs. Al-S{āffāt:41-60 menyebutkan pemaparan Abu Haijan,

bahwa ada enam macam gambaran nikmat surgawi:

a. rizki yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jisim (fisik)

b. kemuliaan yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jiwa (psikis)

c. tempat yang berupa taman-taman yang sangat nyaman

d. kepuasan bercengkrama dengan saudara-saudara mukmin

e. minuman yang mengelilingi mereka yang tanpa bersusah payah

mendapatkannya, dan

f. kepuasan lahir batin yang sangat luar biasa yaitu yang berupa

bercengkrama dengan wanita.231

Al-S{ābūnī menekankan bahwa dalam surat al-S{āffāt itu terdapat

penjelasan Allāh atas ayat yang masih global yang dalam disiplin ilmu al-

Qur`ān disebut tabyīn al-mujmāl, yaitu:

3. Globlalitas konsep rizqun ma’lūm yang dijelaskan oleh Allāh dalam ayat

selanjutnya, yaitu fawāqihu, bahwa yang dimaksud rizki di sini adalah

buah-buahan.

4. Globlalitas al-na‘īm yang dijelaskan oleh ayat-ayat selanjutnya yang

diantaranya adalah bidadari yang senantiasa menemani.232

Semua jenis perincian yang menyangkut bentuk kesenangan dan

kenikmatan surga merupakan simbol balasan terperinci bagi jenis-jenis amal

manusia ketika di dunia. Jadi di samping penafsiran tekstual di mana al-

S{ābūnī menafsirkannya sebagaimana ahli tafsīr yang lain, namun jika

231
Ibid, jl. I, hlm. 30.
232
Ibid., jl. III, hlm. 29.

cxii
dicermati, didapatkan kenyataan bahwa al-S{ābūnī ternyata melakukan

penafsiran kontekstual, dengan menjelaskan maksud lain yang nyata dari

simbolitas bidadari, sebagai simbol atas balasan Allāh di akhirat atas amal

baik manusia di dunia. Dan ini berlaku dengan simbol-simbol lain seperti

taman yang indah dan sejuk, aneka ragam minuman dan buah-buahan,

sungai-sungai nan indah, dan sebagainya.

Dari penafsirannya atas ayat-ayat tentang bidadari tersebut, nampak

bahwa al- S{ābūnī berada dalam dua posisi sekaligus; pertama posisi sebagai

penafsir mandiri, yang berbeda orientasi dengan mufassir lain. Ini nampak

dari upaya penafsirannya yang tidak hanya sekedar simbolis dan harfiyah,

namun berupaya membumikan konsepsi eskatologis menjadi konsep praktis

teologi terapan di dunia, maka wajar jika walaupun al-S{ābūnī dalam

pemikirannya juga kerap mengisyaratkan bahwa konsep bidadari di surga

bukan merupakan hal yang harus difahami secara fisikal begitu saja, sebab

hanya sebagai salah satu simbol pembalasan amal, namun terkadang juga

menandaskan penafsiran yang bersifat fisikal atas ayat-ayat tentang bidadari.

Hal ini bisa terjadi, kemungkinan karena al-S{ābūnī belum bisa

menghilangkan bias penafsiran ayat-ayat tentang bidadari dari kerancuan

berfikir mufasir sebelumnya, yang masih didominasi dengan penafsiran yang

diadopsi dari filsafat dan mitos peradaban dan agama lain.

Kedua, sebagai seorang ‘ulamā’ yang tawad}u’ dengan para

pendahulunya, terkadang pandangannya nampak tetap mengikuti mereka,

sehingga terkesan kurang tegas bagaimana pendiriannya mengenai konsep

cxiii
bidadari; apakah hanya sekedar simbolitas bagi balasan amal, atau memang

bidadari itu betul-betul merupakan sosok fisik wanita elok sebagai ganjaran

bagi orang beriman? Namun hal ini telah dijawab juga dengan ungkapannya

bahwa konsep h}ūrun ‘īn sebenarnya bersifat netral kelamin, berlaku bagi

pria dan wanita beriman. Perkara terdapat ayat-ayat yang jelas-jelas

mengacunya sebagai sosok fisik wanita, tidaklah harus membatalkan

pengertian umum dari h}ūrun ‘īn dalam al-Qur`ān.

Namun yang jelas, dalam menafsirkan konsep h}ūrun ‘īn nampak

bahwa al-S{ābūnī sudah tidak semata terpaku dengan penafsiran lahiriyah.

al-S{ābūnī sudah melangkah ke arah penafsiran metaforis, dengan

mengungkapkan makna dibalik simbol yang diberikan oleh al-Qur`ān. Hal ini

tentu sangat tepat dilakukan dalam memaknai h}ūrun ‘īn sebagai bagian

dari konsep surga, sebab di surga itu, sebagaimana sabda Nabi beserta

balasan-balasan di dalamnya tidak bisa dirasakan baik dengan mata, telinga,

maupun insting keduniaan.233

H. Keberadaan “Bidadari” di Surga

1. Penciptaan Bidadari

Dalam masalah penciptaan bidadari, al-S{ābūnī tidak membahasnya

secara luas, dan juga tidak menyampaikan pemikirannya secara rinci, kecuali

sedikit yang diambil dari riwayat Ibn Abbas dan h}adīs\ Ummu Salāmah,

sehingga penjelasan al-S{ābūnī dalam hal ini, tidak bisa betul-betul

233
Abu Zakariya Yahya al-Nawawī. Riyadh al-s}ālihin, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.),
hlm. 703.

cxiv
menjawab bagaimana proses bidadari diciptakan. Oleh karenanya, dalam hal

ini penulis akan membandingkan sedikit penafsiran al-S{ābūnī tentang ayat

yang terkait dengan penciptaan bidadari dengan pendapat Ibn Qayyim.

Hanya saja yang perlu digarsibawahi dari pendapat al-S{ābūnī

mengenai penciptaan bidadari di surga adalah, bahwa al-S{ābūnī

mengakomodasi pendapat yang menyatakan bahwa sebagian bidadari berasal

dari wanita mukminat di dunia, bahkan dijadikan lebih cantik.234

Al-S{ābūnī menjelaskan penciptaan bidadari ini ketika memberikan

tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:35-38.235 Al-S{ābūnī menyatakan bahwa maksud

firman “innā ansya’nāhunna insyā’” adalah bahwa “Aku jadikan wanita-

wanita surga itu sosok yang baru, yang pembuatannya sangat

mengherankan.”236 Sifat menta’ajubkan ini terjadi karena –sebagaimana telah

dipaparkan di atas- proses penciptaan maupun jenis makhluk yang diciptakan

bersifat “baru”, sehingga masih asing bagi makhluk yang berasal dari dunia.

Al-S{ābūnī dengan mengutip Ibnu Jazi dalam kitabnya al-Tashil fi

‘Ulūm al-Tanzīl menyatakan bahwa makna insya’ al-nisa yaitu Allāh

menciptakan mereka sebagai makhluk baru yang sangat cantik tidak seperti di

dunianya. Di surga nanti, walau ketika di dunia telah menjadi seorang nenek-

nenek, ia akan kembali menjadi muda, serta tidak memiliki cacat dalam

rupanya, ia akan berubah menjadi gadis yang cantik mempesona. 237 Dengan

234
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.
235
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-
Wāqi’ah 35-38).
236
S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291.
237
Ibid., hlm. 291.

cxv
mengutip Ibnu Abbas dari Tafsīr al-Khāzin, al-S{ābūnī mempertegas

pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa nenek-nenek yang sudah lanjut

usia, ompong dan kempot (tidak punya gigi lagi) akan dijadikan oleh Allāh

kembali perawan sebagai makhluk yang sama sekali sudah lain.238

Demikian pula, perempuan yang di dunia sudah dijima’ oleh suaminya,

oleh Allāh akan dijadikan perawan, hanya kembali mencintai suaminya, serta

sangat menggairahkan, dan usianya sepadan dengan suaminya, yang rata-rata

33 tahun.239 Nampak di sini bahwa al-S{ābūnī meletakkan konsep bidadari

yang berasal dari perempuan mukminat di dunia, sehingga dalam hal

penciptaan bidadari ini, al-S{ābūnī hanya membahas bidadari yang berasal

dari wanita s}ālihat di dunia, tidak membahas bidadari yang khusus

diciptakan di akhirat. Sehingga penafsiran al-S{ābūnī pada ayat-ayat ini dan

yang seperti ini, tidak bisa dikaitkan dengan penafsirannya yang memberikan

makna h}ūr secara netral kelamin.

Terkait dengan ayat tersebut, al-S{ābūnī juga mengutip h}adīs\

terkenal yang berasal dari Ummu Salāmah, bahwa ketika Nabi ditanya

mengenai bidadari surga, Nabi menjawab, “mereka adalah wanita-wanita

dunia yang di saat kematiannya mereka dalam keadaan lanjut usia, kempot,

ompong dan bungkuk, yang dijadikan Allāh kembali dalam usia yang

sama.”240

Al-S{ābūnī juga meriwayatkan h}adīs\ yang menginformasikan

tangisan seorang wanita tua, ketika Rasūlullāh menyatakan bahwa orang yang
238
Ibid.
239
Ibid.
240
Ibid. Bandingkan dengan Tafsīr al- Qurt}ubī jl. 17, hlm. 210.

cxvi
sudah tua tidak bisa masuk surga. Wanita tersebut memangis karena merasa

peluangnya masuk surga tidak ada karena usianya yang sudah tua. Lalu nabi

pun memberitahukan bahwa ia nanti akan masuk surga bukan dalam keadaan

lanjut usia, karena Allāh telah berjanji bahwa para wanita akan dijadikan

kembali perawan dan berusia muda.241

Jadi jelas bahwa penjelasan al-S{ābūnī mengenai penciptaan bidadari

hanya menyangkut bidadari yang berasal dari wanita s}ālihah dunia, tidak

termasuk bidadari yang khusus dicipta di surga. Memang sejauh informasi al-

Qur`ān, tidak terdapat ayat yang mengetengahkan atau mengisyaratkan

tentang bagaimana bidadari surga diciptakan.

Berbeda dengan al-S{ābūnī, Ibnu Qayyim menggali banyak riwayat

mengenai penciptaan bidadari yang tidak berasal dari wanita dunia. Dengan

mengumpulkan berbagai informasi ‘ulamā’ dan h}adīs\ Nabi, Ibnu Qayyim

menjelaskan bahwa bidadari surga diciptakan dari za’faran, khususnya yang

diperuntukkan bagi para wali Allāh, yang disediakan pengantin yang tidak

pernah dilahirkan oleh Adam dan Hawwa'.242 Sehinga karena bahan baku dari

za’faran tersebut, maka bidadari surga memancarkan cahaya dan sinar

gemerlap yang mempesona siapapun yang melihatnya. Sementara mereka

semua telah bersiap menunggu suami-suaminya di pintu surga.243 Demikian

menurut Ibn Qayyim.

241
S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291-292.
242
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 339-340.
243
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 343-345.

cxvii
Tentu sampai di sini justru diketemukan kelebihan dari al-S{ābūnī

dalam memberikan tafsīran atas ayat-ayat Tuhan. Al-S{ābūnī hanya

menggunakan riwayat-riwayat yang jelas dan mutawātir, dan tidak mau

menggunakan riwayat yang bersifat dugaan, cerita, mitos, tidak mutawātir,

serta mengundang polemik. Nampak bahwa al-S{ābūnī ingin membiarkan al-

Qur`ān bercerita mengenai isi dirinya sendiri.

2. Perbedaan antara Pelayan Surga dan Bidadari

Al-Qur`ān dalam Qs. Al-Rah}mān secara jelas membedakan antara

pelayan surga dengan bidadari. Bidadari bukanlah pelayan surga, namun ia

merupakan makhluk khusus yang memiliki jenis pelayanan surgawi yang

khusus pula.

Penyebutan pelayan-pelayan surga juga dibedakan secara tersendiri

dengan bidadari surga. Dalam al-Qur`ān, terdapat dua ayat pokok mengenai

pelayan surga, satu ayat disebutkan secara mandiri, tidak memiliki rangkaian

ayat dengan penyebutan bidadari, dan satu ayat lainnya disebutkan dengan

berangkaian dengan ayat-ayat tentang bidadari.

Istilah yang dipakai al-Qur`ān mengenai masalah pelayan surga adalah

“wildānun mukhalladūn”. Wildānun berarti anak-anak muda. Berdasarkan

akar katanya, mukhalladūn memiliki dua arti, namun tetap mempunyai muara

makna yang sama. Pertama berasal dari kata al-khuld yang artinya baka atau

abadi, kekal, tidak mati selama-lamanya.244 Dan kedua dari kata al-khildah
244
Firuzabadī, Op. Cit., hlm. 376.

cxviii
dengan jamak khilādun berarti orang yang mengenakan anting dan gelang. Ini

merupakan simbol bagi pelayan-pelayan abadi. Dalam istilah Arab julukan

(laqab) “mukhalladūn” dikenakan bagi orang yang lanjut usia tetapi tidak

beruban, giginya terjaga, tidak rontok.245 Jadi wildānun mukhalladūn

diterjemahkan sebagai pelayan-pelayan muda yang tetap dalam

kemudaannya.246

Ayat tentang pelayan surga yang berdiri sendiri adalah Qs. Al-Insan:19:

“Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda.


Apabila kamu melihat mereka kamu akan mengira mereka, mutiara yang
bertaburan.” (Qs. Al-Insan:19)

Sedangkan ayat yang berangkai dengan ayat-ayat tentang bidadari

adalah Qs. Al-Wāqi’ah:17-18:

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan


membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil
dari air yang mengalir.” (Qs. Al-Wāqi’ah:17-18).

Terhadap ayat tersebut al-S{ābūnī menafsirkannya “terhadap mereka

selalu didampingi pelayan yang berkhidmat yang terdiri atas anak-anak muda

di sekelilingnya, mereka tidak pernah mati dan tidak pernah berubah.” 247 Sifat

utama para pelayan surga itu adalah: terdiri atas anak-anak muda, selalu
245
Ibnu Qayyim, Op. Cit. hlm. 308.
246
Mushţafa Bisyri, Op. Cit., hlm. 313.
247
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 289.

cxix
berkhidmat terhadap penghuni surga, selalu siap memberikan pelayan sesuai

keinginan penghuni surga (mengelilingi para penghuni surga), tidak berubah

keadaan kemudaannya, belum pernah terjamah atau tersentuh oleh apa dan

siapapun (maknūn), sangat rupawan, tidak mati,248 selalu dalam pekerjaan

pelayanan yang ditunjukkan dengan ayat bahwa mereka selalu berhiaskan

gelas minuman, beserta cerek dan slokinya. Diberikannya pelayan-pelayan

tersebut, menurut al-S{ābūnī memang dikhususkan bagi orang beriman

dikarenakan perilaku al-abrārnya sewaktu di dunia.249

Sedangkan sifat para pelayan surga yang diibaratkan sebagai mutiara

yang bertaburan mengisyaratkan bahwa para pelayan tersebut memiliki

kebeningan kulit yang memukau dan kebagusan wajah yang mempesona.

Mengutip al-Rāzī, al-S{ābūnī menyatakan bahwa pernyataan itu

mengandung tasybīh al-‘ajīb, dengan mutiara yang bertebaran itu, maka

keindahan dan keistimewaan mutiara semakin nampak kian nyata.250

Penafsiran al-S{ābūnī tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan

oleh Ibnu Qayyim, bahwa ada dua hikmah besar mengapa pelayan surga

dibuat bertebaran di mana-mana: pertama, menunjukkan bahwa para pelayan

surga tidak pernah menganggur. Mereka mondar-mandir di surga dalam

rangka berkhidmah kepada penghuni surga dan memenuhi keperluan mereka.

Kedua, bahwa mutiara yang disebar di atas permadani dari emas dan sutra itu

lebih indah di mata daripada dikumpulkan di satu tempat.251

248
Bandingkan dengan Ibid., hlm. 470.
249
Ibid.
250
Ibid.
251
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 309.

cxx
Al-S{ābūnī dalam tafsīrnya tidak menyebutkan bagaimana para

pelayan surga diciptakan. Sedangkan Ibnu Qayyim menginformasikan bahwa

dalam masalah ini, terdapat dua pendapat: pertama, bahwa para pelayan surga

diciptakan dari anak-anak muslim dunia yang meninggal dalam keadaan tidak

memiliki kebaikan dan keburukan. Mereka menjadi pelayan surga karena di

surga tidak ada proses kelahiran. Selain itu juga berasal dari anak-anak yang

meninggal dunia di masa kecil. Pendapat kedua adalah, bahwa para pelayan

surga diciptakan khusus di surga sebagaimana juga bidadari yang diciptakan

khusus di surga. Inilah yang dipegangi oleh Ibnu Qayyim.252

Dari uraian tersebut jelas, bahwa al-S{ābūnī membedakan antara

bidadari dengan pelayan surga. Pelayan surga adalah terdiri atas anak-anak

muda yang diciptakan di surga yang berfungsi bagi pelayan penghuni surga,

termasuk melayani bidadari yang menjadi pasangan penghuni surga.

Sementara bidadari adalah pasangan penghuni surga, dengan tugas menjadi

tambahan kenikmatan bagi mereka. Kesamaannya dengan bidadari adalah

bahwa mereka diciptakan khusus di surga, dan belum pernah tersentuh oleh

apa dan siapapun.

3. Ciri-ciri Bidadari di Surga

Dalam menjelaskan sifat-sifat atau ciri-ciri bidadari di surga, al-

S{ābūnī dalam penafsirannya tidak melebihi apa-apa yang diinformasikan

olah al-Qur`ān. Ia hanya bersifat lebih memperjelas mengenai sifat bidadari

menurut al-Qur`ān. Secara terperinci, sifat-sifat bidadari menurut al-S{ābūnī

adalah sebagai berikut:


252
Ibid., hlm. 310-311.

cxxi
a. Sosok pasangan yang suci

Menurut al-S{ābūnī, bidadari di surga disucikan dari kotoran hissiyah

maupun maknawiyah. Dalam hal ini, al-S{ābūnī juga mengutip ‘ulamā’ lain

yang menyebutkan bahwa bidadari disucikan dari kotoran haid, nifas, buang

air maupun dahak. Namun al-S{ābūnī menyambungnya dengan pernyataan

bahwa wanita dunia mukminah di hari akhir lebih cantik dibanding

bidadari.253 Sehingga yang dimaksud suci dari haid, nifas dan kotoran

kewanitaan lain adalah bidadari yang berasal dari wanita mukminah dunia.

Secara tidak langsung, al-S{ābūnī menekankan bahwa ada dua jenis bidadari

di surga, yaitu: bidadari yang berasal dari dunia, yang menjadi pasangan

suaminya dari dunia juga, jika sama-sama beriman; dan bidadari dan bidadara

yang khusus diciptakan di surga.

b. Diciptakan abadi

Keabadian menjadi ciri yang menyatu bagi bidadari, sebagaimana keabadian

alam akhirat. Menurut al-S{ābūnī, keabadian inilah yang menjadi salah satu

kunci kebahagiaan yang sempurna. Karena penghuni surga bersama

pasangannya berada dalam tempat yang aman dan bersanding hidup dengan

pasangan-pasangannya dalam buaian keabadian yang tiada pernah putus.254

Dengan begitu keabadian akhirat menurut al-S{ābūnī, karena tiada putus,

merupakan keabadian yang mutlak, tanpa batas waktu lagi, atau tiada dimensi

ruang dan waktu yang membatasinya lagi.

c. Dipingit di dalam kemah mutiara


253
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, h.36.
254
Ibid., hlm.36.

cxxii
Al-S{ābūnī berpendapat, bahwa maksud dari maqs\ūrāt fī al-khiyām,

adalah bahwa bidadari di surga hanya berjalan-jalan keliling di sekitar kemah,

bahkan lebih banyak berdiam di dalamnya, tidak keluar karena kehormatan

dan kemuliaannya, dalam kemah yang terbuat dari mutiara yang memang

disediakan untuk mereka. Mereka membatasi diri hanya dalam ruangan yang

terbuat dari mutiara itu.255

d. Memiliki adab atau akhlak mulia

Bidadari di surga menurut al-S{ābūnī, merupakan wanita-wanita s}ālihah

yang memiliki akhlak yang sangat mulia di samping rupanya yang sangat

cantik.256 Jadi makna khairātun h}isān, memiliki dua dimenasi; wajah yang

jelita dan akhlak yang mulia.

e. Hanya untuk pasangannya sendiri saja

Bidadari di surga, menurut al-S{ābūnī, memiliki sifat hanya membatasi

pandangan matanya kepada pasangannya saja, dan tidak memandang yang

lain, seperti keadaan wanita-wanita pencinta dan penyayang. 257 Jadi

kekhususan pasangan menjadi ciri utama bagi bidadari surga.

f. Belum pernah tersentuh, terjamah, dan tersenggamai oleh siapapun

Salah satu sifat utama bidadari menurut al-S{ābūnī adalah keperawanannya

yang sejati. Belum pernah ada seseorangpun yang pernah manjamah dan

menyenggamainya kecuali pasangannya di surga itu, baik dari manusia

maupun jin. Mereka betul-betul perawan yang sejati (ting-ting).258 Hanya saja

255
Ibid., jl. III, hlm. 283.
256
Ibid.
257
Ibid., hlm. 282.
258
Ibid.

cxxiii
nampaknya sifat ini dikenakan pada bidadari yang dicipta khusus di surga,

menilik pernyataan bahwa belum pernah tersentuh oleh makhluk. Jika wanita

mukminah di dunia, pasti sudah mengalami persentuhan dengan pasangannya

di dunia, walaupun di akhirat dijadikan perawan sejati kembali. Namun

kalimat al-S{ābūnī jelas menunjukkan kebelum-pernah disentuhnya bidadari

itu sebelum di surga. Mengutip pendapat dari kitab al-Tashil, al-S{ābūnī

mengemukakan bahwa penyebutan kalimat lam yat}mis\hunna insun

walā jānn sebanyak dua kali dalam Qs. Al-Rah}mān ini, pertama ditujukan

bagi kelompok al-sābiqūn, dan yang kedua bagi kelompok as}h}āb al-

yamīn. Jadi penggambaran sifat-sifat surga untuk masing-masing kelompok

orang beriman memiliki perbedaan dan kekhususan sendiri-sendiri, surga

bagi kelompok pertama lebih tinggi dibanding bagi kelompok yang

berikutnya.259 Sehingga menurut al-S{ābūnī, tingkatan bidadari yang

diberikan pun berbeda untuk masing-masing kelompok orang beriman.

g. Menyerupai mutiara yang paling mulia

Bahwa bidadari di surga, menurut al-S{ābūnī menyerupai yāqūt dan marjān

dalam kebeningan dan kemerah-merahannya (bersih dan sangat mulus)

sampai-sampai tembus pandang.260 Mengutip Qatadah, al-S{ābūnī

mengemukakan bahwa dalam bersih dan beningnya menyerupai yāqūt,

sedang kemerah-merah-jambuannya (kecantikan yang tiada tara) menyerupai

marjān. Segala sesuatu yang dimasukkan dalam yāqūt , pasti akan dapat

dilihat dari semua sisi.261


259
Ibid., hlm. 283-284.
260
Ibid.
261
Ibid.

cxxiv
h. Berada di tempat yang tinggi

Menurut al- al-S{ābūnī, bidadari di surga berada di atas dipan atau ranjang

yang tinggi, empuk, dan nyaman. Hal ini didasarkan pada h}adīs\ riwayat

Hakim yang menyatakan bahwa tingginya dipan itu seperti tingginya langit

dengan bumi yang untuk mencapainya membutuhkan waktu selama limaratus

tahun.262 Namun bukan berati bahwa untuk mencapainya sulit. Mengutip al-

Alūsi, al-S{ābūnī menyatakan bahwa jika seseorang ingin naik turun dipan,

maka dengan sendirinya dipan tersebut akan menyesuaikan diri. Jika seorang

mukmin ingin naik, maka dipan tersebut akan turun, kemudian setelah orang

tersebut naik, maka dipan itu akan mengangkatnya.263

i. Diciptakan sebagai makhluk yang sama sekali baru

Bidadari merupakan makhluk yang diciptakan khusus di surga, yakni berupa

makhluk yang sama sekali baru dalam penciptaan, lagipula bersifat unik.

Sehingga ia menjadi makhluk yang mampu mendatangkan keta’juban luar

biasa. Keelokan dan keanehan penciptaan itu terjadi, karena memang berbeda

sama sekali dengan segakla jenis ciptaan di dunia.264

j. Selalu dalam keadaan perawan

262
Ibid., hlm. 291.
263
Ibid.
264
Ibid.

cxxv
Sifat abkāra, oleh al-S{ābūnī diberi makna tafsīr sebagai perawan ting-ting

sepanjang masa. Setiap kali pasangannya mendatanginya, setelahnya

langsung kembali perawan lagi.265

k. Memiliki kecintaan dan kerinduan menggebu kepada pasangannya

Para bidadari di surga memiliki semangat kecintaan serta kerinduan yang

menggebu-gebu.

Mengutip Mujahid, al-S{ābūnī mengatakan bahwa salah satu sifat bidadari

adalah agresif terhadap pasangannya, dalam hal bermain cinta.266

l. Berusia rata-rata muda

Menurut al-S{ābūnī, bidadari di surga memiliki usia yang rata-rata muda,

dan sama dengan pasangannya, yaitu berusia 33 tahun,267 sebuah usia puncak

kedewasaan dan usia yang sangat agresif dalam hal percintaan.

m. Kecantikannya dan kesuciannya tidak ada yang menyamai

Bahwa bidadari di surga memiliki kecantikan dan keelokan tiada tara,

kebeningan yang sangat, demikian pula seperti mutiara yang tersimpan,

kesuciannya yang belum pernah tersentuh.268 al-S{ābūnī mengutip h}adīs}

Ummu Salāmah yang menggambarkan bahwa kejernihan h}ūrun ‘īn ibarat

mutiara yang tersimpan di tengah lautan yang belum pernah tersentuh oleh

tangan.269

n. Memiliki fisik yang sempurna

265
Ibid.
266
Ibid.
267
Ibid.
268
Ibid., hlm. 290.
269
Ibid.

cxxvi
Bidadari di surga memiliki bentuk fisik yang paling sempurna, yang

ditunjukkan dengan gairah yang tinggi dari keperawanannya, serta bentuk

payudara yang menyembul keluar. al-S{ābūnī memperkuat tafsīrnya ini

dengan mengutip al-Tashil, bahwa kata al-kawā’ib merupakan bentuk jamak

dari ka’ib yang memiliki arti dasar gadis perawan yang menonjol (keluar

tegak) bentuk payudaranya.270

o. Usianya sama dengan suaminya

Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya (poin l) bahwa usia bidadari

di surga setara dengan pasangannya. Tidak lebih dan tidak kurang.271

p. Selalu bersenang-senang dengan sumianya

Dijelaskan oleh al-S{ābūnī bahwa orang-orang beriman akan masuk ke surga

bersama pasangan-pasangan wanitanya (isterinya) yang beriman. Kemudian

di dalam surga mereka berni’mat-ni’mat, bersenang-senang (istisrār),

sehingga kebahagiaan itu memancar dari wajah-wajah mereka.272 Sifat ini –

sebagaimana diberikan tafsīrnya oleh al-S{ābūnī - mengarah pada dua hal;

bahwa bidadari dalam ayat ini adalah bidadari yang berasal dari wanita

mukmin di dunia, yang bersama suaminya yang beriman bersama-sama

masuk surga. Dan di dalam surga, mereka bersenang-senang sebagai suami

isteri, di mana kata tuh}barūn, bermakna istimtā’ (hubungan badan).

q. Keanggunan yang sempurna

Bidadari di surga, baik yang dari wanita mukminah di dunia, maupun yang

khusus diciptakan di surga, semuanya memiliki keanggunan yang tiada tara,


270
Ibid., hlm. 485.
271
Ibid., hlm. 291.
272
Ibid., hlm. 153.

cxxvii
(sehingga digelari h}ūrun ‘īn), sebagai deskripsi puncak tentang sosok yang

rupawan dan dipenuhi segala kesempurnaan, demi memenuhi kebahagiaan

para penghuni surga.273 Kembali lagi di sini ditekankan oleh al-S{ābūnī,

bahwa julukan h}ūrun ‘īn adalah bersifat netral kelamin.

4. Bidadari dan Amal Perbuatan Manusia

Dalam al-Qur`ān tidak semua informasi yang menyangkut surga selalu

disertai dengan adanya bidadari di dalamnya. Informasi tentang surga yang

disertai informasi adanya bidadari di dalamnya hanyalah menyangkut pada

beberapa tempat, yang sekaligus mencantumkan informasi jenis sifat dan

amal s}ālih tertentu dari orang beriman.

Sebelum membahas pendapat al-S{ābūnī tentang hubungan bidadari

dan amal perbuatan manusia, ada baiknya jika penulis kemukakan gambaran

umum mengenai surga dari dalam al-Qur`ān

Dalam al-Qur`ān, jumlah ayat yang berkaitan dengan surga berjumlah

174, adapun yang berkaitan dengan kata dasar jannah berjumlah 159.

Istilah surga sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta suwarga yang

bermakna tempat kebahagiaan puncak.274 Sedang istilah tersebut digunakan

oleh umat Islām untuk menerjemahkan kata jannah dalam bahasa Arab, yang

arti harfiahnya adalah kebun, atau taman yang penuh keindahan,275 sebagai

tempat bagi orang-orang yang menemukan kebahagiaan kekal di akhirat.

273
Ibid., hlm. 246.
274
Muhammad Sholikhin. Berwisata ke Alam Akhirat, (Semarang: Risalah Pengajian
Paguyuban ‘Arafah), 2001, hlm. 152.
275
al-Marbawī, Op. Cit., hlm. 110.

cxxviii
Dalam Qs. Ali Imran/3;15 Allāh melukiskan, bahwa surga terdiri dari

sungai-sungai yang indah, kekal, bagi penghuninya tersediakan pasangan

hidup (suami atau isteri) yang disucikan dan diridhai Allāh. Sifat

keindahannya melebihi segala kenikmatan yang ada di dunia, walaupun itu

mencakup keindahan hiasan wanita, anak-anak, harta dari emas maupun

perak, kendaraan pilihan, binatang ternak maupun segala hewan piaraan serta

sawah dan ladang.

Sehingga diingatkan bahwa surga itulah yang merupakan tempat

kembali manusia yang terbaik. Bagi penghuninya disediakan mata air banyak

yang mengalir serta menyejukkan penghuninya, dan setiap memasuki pintu-

pintunya selalu disambut dengan ucapan “masuklah ke dalamnya dengan

sejahtera dari semua kesalahan lagi aman dari kematian serta dari hilangnya

keni’matan,” dilenyapkan segala dendam maupun perasaan buruk, selalu

merasa bersaudara dengan saling mencintai dan saling memuliakan, tidak ada

lagi kelelahan, dan kebahagiannya bersifat abadi karena memang surga

berwatak suci dan bahagia selamanya.276

Mereka semua mengenakan perhiasan dari gelang-gelang emas serta

mutiara, di samping mengenakan sutra, dikarenakan dahulu di dunia mereka

mematuhinya untuk tidak bermegah-megahan. Dan ini adalah sebagai

penghargaan atas iman dan amal s}ālih} mereka (Qs. Al-H{ajj /22;23).

Rumah-rumah mereka berupa gedung-gedung bertingkat yang di

bawahnya banyak mengalir sungai yang beraneka warna (Qs.Al-


276
Qs. Al-Hijr/15;43-48; lihat Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī. S}afwah al-Tafāsīr
Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzim, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 1999/1420), jl. II, h.112.

cxxix
Zumar/39;20). Sungai-sungai tersebut tidak pernah mengalami perubahan

baik rasa dan baunya. Jenisnya sangat variatif, ada sungai-sungai air susu,

sungai arak yang lezat dan tidak beralkohol, sungai-sungai madu yang

disaring, dan juga disediakan segala kebutuhan dan keinginan akan buah-

buahan sebagaimana pula disediakan segala ampunan (Qs. Muhammad /

27;15).

Adapun penghuni surga adalah orang yang beriman dan beramal

s}ālih}, yang tidak pernah tersentuh oleh neraka, 277 yang disebut sebagai

kelompok al-su’adā’, orang-orang yang menemukan kebahagiaan (Qs.

Hud/11:108), yang berbahagia karena kebajikan-kebajikannya.278

Para penghuni surga itu disucikan dari segala dosa, segala keinginan

terpenuhi, dimuliakan dengan segala kenikmatan, masing-masing orang

memiliki tahta beserta hiasannya, dengan pelayanan minum-minuman yang

sedap rasanya sesuai keinginan surgawi dalam piala-piala yang indah yang

dibawakan oleh para bidadari yang “jinak” (Qs. Al-S}āfāt /37; 40-49, 60-

62). Di sinilah kaum mukmin memperoleh segala yang dikehendakinya (Qs.

Qaaf/50;35). Orang-orang beriman ini akan berkumpul kembali dengan

keluargannya atau yang dikasihinnya di dunia dulu, jika memang sama-sama

beriman, dan masing-masing tak ada yang pahalanya berkurang (walaupun

mungkin di dunia dulunya sebagian amal dan do’anya, pahala diperuntukkan

bagi keluarganya yang lain –Qs. Al-T{ūr /52;21). Dan tentu saja kebahagiaan

277
Ibid., jl. I, hlm. 63.
278
Ibid., jl. II, hlm. 35.

cxxx
tertinggi adalah diberikannya mereka wajah yang berseri-seri dan dengan

wajah itulah mereka “melihat Tuhan” [ru’yah] (Qs. Al-Qiyamah/75;22-23).

Surga diciptakan oleh Allāh tidak hanya satu jenis. Sejauh pernyataan

harfiyah al-Qur`ān, surga berjumlah empat. Empat surga itu pun oleh Allāh

diklasifikasikan dalam dua gambaran. Pertama, surga yang terdiri dari

pohon-pohonan serta buah-buahan, memiliki dua mata air, segala buah dan

makanan yang diinginkan berdatangan sendiri, penghuninya duduk dalam

permadani sutra di bawah rerimbunan pepohonan dengan didampingi oleh

bidadari yang belum/tidak pernah tersentuh, seperti permata yakut dan

marjān. Di sinilah segala bentuk kebaikan dibalas (Qs. Al-Rah}mān /55;46-

63).279

Kedua, surga berwarna hijau yang memiliki dua mata air yang

memancar, penuh dengan buah-buahan terutama kurma dan delima, juga

dihiasi dengan bidadari yang baik dan cantik jelita yang dipingit dalam ruang-

ruang khusus, serta belum pernah tersentuh, dengan kesucian abadi, mereka

bercengkerama dan duduk-duduk dalam tahta hijau berpermadani indah.

Semua ini tidak lain adalah menunjukkan keagungan Allāh (Qs. Al-

Rah}mān / 55; 64-78). Nampaknya surga kedua inilah yang lebih realistis,

dan inilah surganya para Nabi, syuhadā’, shiddīqin, dan s}ālih}īn. Di

bawah yang berwarna hijau, masih ada yang berwarna kuning, merah, putih

dan hitam sesuai dengan derajat penghuninya.280

279
Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hlm. 154-155.
280
Ibid.

cxxxi
Surga tersebut hanyalah disediakan bagi orang yang bertaqwa, dan

mereka senantiasa selalu berusaha dan berdoa. Dalam Qs. Ali Imran/3;15-17

dicantumkan sebagian ahli-ahli surga yakni yang melakukan;

(6) Berdo’a rabbanā innanā āmannā fagfirlanā żunūbanā waqinā ‘ażāb al-
nār,
(7) Shabar,
(8) Qānitāt [ketaatan yang tidak pernah luntur],
(9) Menafkahkan hartanya dijalan Allāh,
(10) Selalu meminta ampun di waktu sahur (sebelum fajar mendekati subuh).
Jadi surga merupakan alat tukar yang diberikan Allāh hanya kepada

orang-orang yang memberikan jiwa dan hartanya demi jihad Islām,281

bertaubat, beribadat, selalu memuji Allāh, melawat untuk mencari ilmu dan

berjihad serta berpuasa, selalu ruku’ dan sujud, mengerjakan ‘amar ma’rūf

nahi munkar secara aktif serta selalu memelihara hukum-hukum Allāh (Qs.

Al-Taubah/9;111-112). Mereka itulah yang disebut sebagai golongan kanan

yang paling dulu beriman (Qs. Al-Wāqi’ah/56;8-10), yang sebagian besarnya

adalah ummat terdahulu sebelum Rasūlullāh, dan sebagian kecil adalah umat

Rasūlullāh Muhammad (ayat 13-14).

Bagi mereka akan diberi pahala; (1) tahta dari emas, (2) selalu akrab

antara satu dengan yang lain, (3) selalu muda, (4) disediakan segala macam

minuman yang tidak memabukkan dan tidak membosankan, (5) tersedia

segala aneka buah-buahan yang tiada henti, (6) daging-daging segala hewan,

(7) bidadari yang seperti mutiara tersimpan, (8) tidak ada perkataan buruk

sama sekali kecuali ucapan salām dan dikelilingi pohon-pohon bidara tanpa
281
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 525-526.

cxxxii
duri serta pisang-pisang yang indah dan lebat, (9) diberi naungan yang luas

dan indah, (10) air yang senantiasa tercurah, (11) kasur-kasur tebal dengan

bidadari yang tetap perawan, sebaya serta penuh cinta dan kasih-sayang.

Allāh juga membuat tamsilan surga itu sebagai tempat bagi orang yang

bertaqwa yang sungai-sungainya mengalir terus menerus, buah-buahannya

tumbuh tanpa henti, dan kerindangannya menaungi dengan teduh (Qs. Al-

Ra’d/13:35). Sedangkan sungai-sungai itu tidak pernah rusak, sungai susunya

tidak pernah berubah cita rasanya, sungai-sungai minuman yang lezat, sungai

madu yang murni-bersih, segala macam, buah-buahan, dan disertai dengan

penuhnya ampunan Allāh. Dan ini berkebalikan dengan kondisi neraka yang

disiapkan konsumsinya dengan air yang mendidih dan api menggelegak (Qs.

Muhammad /47:15).

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa janji surga yang diiringi

dengan janji adanya bidadari di surga hanya menyangkut amal-amal tertentu,

walaupun secara umum disebutkan bahwa hal itu teruntuk bagi orang beriman

dan beramal s}ālih}.

al-S{ābūnī menyebutkan bahwa kabar gembira dengan surga yang

teriring dengan janji pasangan bidadari diperuntukkan bagi orang beriman

yang bertaqwa, menegakkan keimanan dan ketaqwaannya dengan perilaku

sehari-hari,282 dan di dunia termasuk orang yang muhsinun, yang merupakan

hasil terkumpulnya watak keimanan dan amal s}ālih},283 mengutamakan

kebajikan dalam segala segi (al-abrār) dan mengataskan keataatan kepada

282
Ibid., jl. III, hlm. 165.; lihat juga jl. I, 172.
283
Ibid., hlm. 36.

cxxxiii
Allāh,284 yang dengan al-abrār serta al-‘amal al- s}ālih} itulah di akhirat

wajah mereka akan diputihkan oleh Allāh.285

Keimanan mereka adalah suatu sikap pembenaran total atas ayat-ayat

Allāh, yang dengan itu ia benar-benar berserah diri atas hukum-hukum Allāh

serta semua perintah-Nya, dan berislām atas-Nya dengan menekadkan dalam

hatinya untuk selalu mentaati-Nya.286

Bagi mereka, menurut al-S{ābūnī, selain mendapatkan balasan

berkumpul dengan keluarga, yakni isteri/suami (syarikahum) dan anak-

anaknya, juga mendapatkan balasan bidadari sebagai pasangan dan

pendampingntya.287 Jadi, di sini secara jelas, al-S{ābūnī membedakan antara

isteri/suami bagi ahli surga dengan bidadari. Ini berarti al-S{ābūnī

memegang pendapat yang menyatakan bahwa bidadari khusus diciptakan di

surga.

Karakter lain yang disebut al-S{ābūnī, bagi hamba yang mendapatkan

nikmat tambahan bidadari adalah seorang hamba yang di saat berdiri

menyembah Tuhannya selalu merasa takut karena ia menghisab dirinya atas

amalnya sendiri.288 Sifat khāfa ini tentunya adalah sebagai efek ketaqwaan

yang mendalam dalam diri seorang mukmin, yang disebut sebagai selalu

berhati-hati dalam menjaga dan mensucikan kerimanannya,289 sehingga

keadaannya mendatangkan kekaguman dari Allāh dan penghuni langit.290

284
Ibid., jl. III, hlm. 485.
285
Ibid., jl. I, hlm. 202.
286
Ibid., jl. III, hlm. 153.
287
Ibid., hlm. 246.
288
Ibid., hlm. 281.
289
Ibid., hlm. 288.
290
Ibid., juga hlm. 290.

cxxxiv
Dari hisabnya itulah, kemudian seorang beriman selalu berbuat

kebajikan dengan penuh keikhlasan. al-S{ābūnī juga menyatakan bahwa

hamba yang mendapat karunia surga beserta bidadarinya adalah orang

beriman yang dalam beribadahnya dihiasi dengan keikhlasan meng-Esakan

Allāh (ikhlas tauhīd). Sehingga bukan karena dorongan takut akan ‘ażāb. Ia

tidak pernah kendor dalam hisab pribadinya, tidak pernah bertambah

kejelekannya, justru amal kebaikannya yang selalu meningkat.291

al-S{ābūnī juga menyebutkan karakter; seseorang yang selalu menjadi

pelopor atas kebaikan (al-khairāt) dan keadaban (al-hasanāt), baik dari

kalangan umat era Nabi maupun dalam masa akhir, selalu mendekatkan diri

kepada Allāh, di dalam kesendirian dunia, dalam naungan ‘arsy, dan di tempat

ibadah yang dimuliakan,292 atau tegasnya orang yang dalam ketaqwaannya

berada dalam kepengikutan pola Rasūlullāh.293 Merekalah penghuni tetap

surga selamanya.294 Sebab memang surga disediakan oleh Allāh bagi pemilik

sifat di atas –disertai dengan jihad dan bertaubat- yang nikmat-nikmatnya

tidak akan berakhir, kebahagiaan penduduknya tidak pernah surut dan segala

apa yang diterima mereka tidak bisa dikira-kirakan, apalagi dihitung. 295

Sehingga penggambarannya hanya dapat dilakukan dengan simbol-simbol

yang gampang dimengerti manusia.

291
Ibid., hlm. 29.
292
Ibid., hlm. 289.
293
Ibid., hlm. 56.
294
Ibid., jl. I, hlm. 232.
295
Ibid., jl. I, hlm. 525; juga lihat Sayid Sabiq, al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Dār al-Fikr,
Beirut, 1992, hlm. 302.

cxxxv
Jadi terhadap pertanyaan, apakah semua orang beriman yang masuk

surga pasti mendapatkan balasan bidadari? Maka dalam hal ini memang

dalam tafsīr S{afwah -nya, al-S{ābūnī tidak pernah menyatakan secara

tegas, namun melihat klasifikasi yang disebutkan di atas, nampaknya,

jawabannya tidak semua yang masuk surga pasti mendapatkan bidadari.

Hanya yang memiliki karakter amal s}ālih}di atas yang mendapatkan

kelengkapan bidadari, sehingga inilah jawaban atas pertanyaan mengapa

pahala bidadari disebut sebagai nikmat tambahan.

Klasifikasi tersebut juga mengisyaratkan bahwa yang terpenting

bukanlah mendapatkan bidadarinya, akan tetapi jenis amal perbuatan yang

menyebabkan seseorang mendapatkan kesempurnaan balasan dengan simbol

bidadari itulah yang menjadi tujuan simbol tersebut.

Simbolitas ini semakin nampak, jika ditilik dari segi sastra. al-S{ābūnī

mengungkapkan bahwa balasan Allāh berupa bidadari yang elok dan belum

pernah tersentuh, jelas merupakan bentuk penggambaran yang tidak

menyebutkan sisi penggambarannya, oleh karena kata bantu

penggambarannya tidak disebutkan pula maka dalam disiplin ilmu sastra arab

disebut tasybīh-mursal-mujmal.296

Dengan simbolitas-simbolitas itulah, kesenangan manusia yang

terpendam dalam dirinya diusik agar berubah menjadi motivasi positif bagi

kehidupan keagamaannya. Maka pertanyaan Allāh yang diulang-ulang dalam

Qs. Al-Rah}mān menjadi sangat relevan, “ni’mat Tuhan yang mana yang

296
Ibid., jl. III, hlm. 298; juga Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, al- Balagah al-
Wad}ih}ah, hlm. 25.

cxxxvi
bisa kamu dustakan?”. Menurut al-S{ābūnī, pertanyaan ini mengandung

teguran keras dan celaan,297 karena tidak ada nikmat yang bisa didustakan,

namun dalam prakteknya manusia banyak yang tidak mengaplikasikan. Jadi

ruh ayat-ayat simbol tersebut bukan pada bentuk simbolnya, akan tetapi

ruhnya adalah kata “ni’mat” sebagai balasan amal kebajikan di surga.298

I. Bidadari sebagai Simbol konsep Jazā’ Amal Baik Manusia, Bukan

Makhluk Fisik di Surga

1. Bidadari sebagai Simbol Balasan atas Amal Manusia

al-S{ābūnī menyatakan bahwa, pernyataan Allāh dalam Qs. Al-

Rah}mān yang mengelompokkan paragraf ayat 1 sampai 45 dengan

paragraf ayat 46 sampai 78, bahwa sebelum Allāh menjanjikan surga dengan

segala isinya, terlebih dahulu Allāh menuturkan ihwal ahli neraka. Baru

kemudian menjelaskan janji-Nya untuk kelompok orang beriman dalam

bentuk taman, pelayan, dan bidadari yang cantik jelita, dengan maksud agar

menjadi jelas perbedaan mencolok antara jalan penempuhan kaum mujrimin

dengan tertib jalan kelompok muttaqīn.299

Itu berarti bahwa menurut al-S{ābūnī penggambaran bidadari, yang

walaupun dalam spesifikasinya nampak seperti nyata-nyata fisik, akan tetapi

dalam segi lain, bidadari juga menjadi simbol bagi balasan atas amal baik

manusia. Bahkan di samping al-Qur`ān, Rasūlullāh sendiri dalam berbagai

297
Ibid., jl. III, h.288.
298
lihat misalnya Ibid., h.31 dan 282. Nampak bahwa pensifatan atas bidadari
sebenarnya bukan mengacu kepada bidadarinya itu sendiri, tetapi justru ditujukan kepada ni’mat
yang diterima oleh penghuni surga.
299
Ibid., hlm. 281.

cxxxvii
h}adīs}nya juga sering dan suka menggunakan bahasa-bahasa simbolis,

baik untuk merangsang orang beramal s}ālih}, atau agar lebih mudah

diterima dan dimengerti umat atau dengan motiv yang lain.300

Bahasa simbolis tersebut sangat penting untuk memberikan semangat

kejuangan agama bagi umat, apalagi pada konteks masa Nabi. Tentunya

memahami keadaan geografis dan historis masyarakat Arab-Islām era Nabi

sangat penting untuk mengetahui sebagian motiv dibalik penggunaan simbol-

simbol dalam bahasa al-Qur`ān. Al-Wahidi menyatakan, bahwa tidak

mungkin seseorang bisa memahami tafsīr sebuah ayat tanpa berpijak pada

konteks di saat ayat itu diturunkan.301

Saat masa-masa penyiaran dan perkembangan Islām, masyarakat Arab

berada dalam kondisi geografis yang gersang, padang pasir luas, disertai

dengan kewajiban berjuang menghadapi bahaya maut setiap saat. Kondisi-

kondisi itu sangat mempengaruhi segi kejiwaan mereka. Saat-saat seperti itu,

tentunya mereka memerlukan hal-hal yang dapat memunculkan motivasi

psikis. Allāh serta Rasūlnya memenuhi itu dengan janji-janji surgawi yang

serba indah dan nikmat, disertai janji adanya bidadari yang sudah menantikan

kehadiran mereka di surga.302

300
Lihat misalnya dalam al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut-
Lebanon: Dār al-Fikr, 1988), jl. I, hlm. 309-310.
301
Lihat al-S}uyut}ī. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, cet. III, (Beirut: Dār al-Fikr,
1370/1951), hlm. 28; al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān, jl. I, hlm. 109; juga Manā’ Khalīl al-Qaţān,
Mabāhis fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Fikr, cet. III, t.t.), hlm. 80.
302
Faktor-faktor geografis, historis, dan psikologis itulah yang menyebabkan
dibolehkannya nikah mut’ah pada masa Nabi, walaupun pembolehan itu sifatnya kasuistik, dan
bersifat lokal-temporer. Lihat dalam Sahih Bukhari, jl. III, hlm. 125-126; Sahih Muslim, jl. II, hlm.
1022; Musnad Ahmad jl. I, hlm. 142, 402, dan 405. Untuk lebih jelasnya lihat Syuhudi Isma’il.
Ĥadīŝ Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, cetakan Pertama, 1994), hlm.
82-87.

cxxxviii
Jika melihat karakter orang-orang yang menerima pembalasan surga

beserta bidadarinya, sebagaimana diuraikan al-S{ābūnī di atas, nampak

bahwa orang yang diberi balasan dengan simbolitas bidadari adalah orang

yang dalam amal s}ālih} lahiriyahnya didasari dengan keikhlasan paripurna

batinnya, serta selalu diiringi dengan selalu menghisab diri atas amal-

amalnya.

Apa yang bisa dipahami dari penjelasan al-S{ābūnī tersebut

menyerupai pendapat para ahli tafsīr kontemporer lain seperti misalnya Mirza

Bas}īr al-Din Ahmad dan Abdullah Yusuf Ali.

Menurut Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad makna azwājun

mut}ahharah dalam Qs. 2:25 bukanlah hanya sekedar mengacu pada

bentuk pasangan fisik suami isteri sebagaimana selama ini difahami, akan

tetapi maknanya lebih luas dari itu, diantaranya adalah pasangan bagi adanya

surga adalah amal s}ālih}, sehingga bagi yang masuk surga harus disanding

dengan pasangannya yakni amal s}ālih}. Dalam arti kata-kata itu

merupakan simbol dari keserasian dan keharmonisan jiwa raga, lahir batin,

habl min Allāh dan habl min al-nās, fungsi khalīfah Allāh dan ‘abīd Allāh dan

sebagainya. Maka yang paling mengerti makna tersebut adalah hendaknya

dikembalikan kepada Allāh.303

Apa yang dikemukakan oleh Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad sejalan

dengan Abdullah Yusuf Ali yang memaknai bahwa janji-janji surgawi dalam

303
Bandingkan dengan Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad. al-Tafsīr al-Kabīr,
(Tilford Surrey, U.K.: al-Syirkat al-Islāmiyyah), jl. I, hlm. 162-167.

cxxxix
ayat tersebut, merupakan simbol segala kebahagiaan, sebagaimana api

sebagai simbol hukuman.

Dan apa pula yang akan lebih menyenangkan daripada sebuah kebun,
yang kita lihat dari ketinggian dan tampak sebuah pemandangan yang
begitu indah di sekitar kita, -sungai-sungai dengan air mengalir seperti
kristal, dengan pohon buah-buahan yang terbaik terhampar di depan kita.
Sama saja, buah kebaikan ialah kebaikan pula, tetapi yang lebih baik
akan berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Kita mengira itu sama,
tetapi sebenarnya karena kenangan kita mengenai pengalaman dan masa
lampau. Kemudian adanya pasangan-pasangan. Jika di sini ada kesan
bernada seks, maka hubungan fisiknya sekaligus sudah dinafikan dengan
hanya tambahan kata “mut}ahharah”, “bersih dan suci”. Sebutan
bahasa Arab ini dalam bentuk intensif, dan harus diterjemahkan dengan
dua kata sifat yang menunjukkan kebersihan dalam tingkat yang
tertinggi. Pasangan ialah mengenai orang dan berlaku buat kedua jenis
dalam arti fisik, laki-laki dan perempuan. Dan kebahagiaan itu tidak
sekadar dalam waktu terbatas akan tetapi akan berada diluar kekuasaan
waktu.”304

Jadi konsepsi itu bersifat menyeluruh, bukan semata mukmin lelaki

mendapatkan pasangan bidadari, akan tetapi semua orang beriman akan

mendapatkan pasangan masing-masing, yang menjadi sebab kebahagian

abadi mereka. Hal ini semakin mempertegas bahwa makna bidadari yang

dapat dipastikan kebenarannya adalah, bahwa itu merupakan simbol puncak

bagi kenikmatan ahli surga, sebagai balasan perbuatannya sewaktu hidup di

dunia. al-S{ābūnī lebih jauh menyatakan bahwa semua janji-janji akhirat

adalah sebagai simbol pengingat atas cara al-Qur`ān dalam mengumpulkan

al-tarĝīb dan al-tarhīb, untuk membandingkan antara keadaan orang-orang

ahli kebajikan dengan ahli-ahli keburukan (al-fajīr).305

304
Abdullah Yusuf Ali. Al-Qur`ān Terjemahan dan Tafsīrnya, Terj. Ali Audah,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), juz I s/d XV, hlm. 22, catatan no. 44.
305
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.

cxl
Wajar jika konsep bidadari sebagai simbol kenikmatan atas amalpun

tidaklah menyeluruh, sebab bidadari hanya menduduki posisi sebagai nikmat

tambahan kepada orang mukmin,306 sehingga pada Qs. Al-Wāqi’ah:24 di

akhir pembahasan mengenai kenikmatan-kenikmatan surga ditegaskan bahwa

“semua itu Kami jadikan untuk mereka sebagai balasan atas amal-amal

mereka ketika di dunia.”

Jadi jelaslah bahwa konsep bidadari dalam al-Qur`ān dengan segala

kesempurnaannya digunakan oleh Allāh sebagai simbol atas buah kebajikan

orang beriman di akhirat kelak.

2. Maksud Penggunaan Simbol Bidadari bagi Manusia

Penggunaan simbol dalam al-Qur`ān, termasuk konsep h}ūrun ‘īn

sebenarnya memiliki maksud yang cukup mendalam bagi umat Islām, baik

maksud tata kebahasaan al-Qur`ān, maupun maksud praktis bagi pola

keberagamaan dzahir maupun batin.

Dalam segi sastra, penggunaan simbol mengacu pada konsep sastra,

tepatnya pemakaian pengertian lugas dan majas (maknawi)307 dan segi

kebahasaan adalah menyangkut kejelasan kata yang secara implikatif

mempunyai pengaruh mendalam sekaligus muatan tema dan obyek dalam

wacana kontekstual.308 Dengan segi-segi itu, serta simbolisasi yang sempurna

306
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 11.
307
Untuk pengertian masing-masing istilah tersebut lihat Ali al-Jarimi dan Mushtafa
Amin, al- Balagah al-Wad}ih}ah, (Surabaya: al-Hidayah, cet. ke-15, 1961), hlm. 84.; juga
Machasin (penerjemah), al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur`ān; Dalil Rasionalitas al-
Qur`ān, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 76.
308
Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, Op. Cit., hlm. 8.

cxli
dalam semua perspektif, dapat menjadikan al-Qur`ān tidak tertandingi oleh

bahkan semua makhluk sekalipun.309

Nampaknya penggunaan simbol h}ūrun ‘īn telah mencapai hal-hal

tersebut, terutama dengan melihat penafsiran al-S{ābūnī di atas.

Menurut Abu M. Jamal Isma’īl, dimuatnya diskripai yang menampilkan

keindahan dan sifat-sifat lain yang dikhususkan oleh Allāh kepada bidadari

itu memiliki manfaat yang besar bagi kaum beriman, yaitu agar ilustrasi ini

menimbulkan rasa “zuhud” untuk tidak memenuhi ajakan syahwat haram.

Supaya lebih intens mengingat terus menerus akan surga dan apa yang

diciptakan Allāh di dalamnya.310 Dalam arti bahwa kenikmatan di dunia ini

tidak ada apa-apanya dibanding kenikmatan akhirat, sementara jika mengejar

nafsu kenikmatan dunia, yang hanya sedikit dan sebentar, justru akan

kehilangan kesempatan menikmati kebahagiaan akhirat yang abadi. Menurut

al-S{ābūnī penggunaan simbol-simbol bidadari dan sebagainya yang

menggambarkan keindahan surgawi, demikian pula simbol-simbol yang

sebaliknya tidak lain merupakan t}arīqat al-qur'ān fī al-targīb wa al-

tarhīb.311 Surga dengan segala janji kenikmatannya merupakan simbolitas

kesempurnaan kebahagiaan yang diperoleh, yang dengan kenikmatan itu

orang beriman berada dalam tempat yang nyaman, yang digambarkan

309
al-S{ābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), hlm. 93-
95.
310
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 2.
311
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 281.

cxlii
berbahagia bersama pasangannya selamanya, tanpa sesuatupun yang

menjadikannya renggang atau terpisah.312

Seluruh gambaran mengenai bentuk dan simbol surga atau neraka

beserta pengelompokan manusia atas tempat-tempat itu untuk mengingatkan

manusia akan peri keadaan kelompok asyqiyā’ dan su’adā’; meneguhkan

pada hati hamba antara fakta al-rugbah dengan al-ruhbah, memunculkan

faktor kekhawatiran dan harapan untuk mendapatkan surga dengan segala

isinya.313

Hal ini kembali ditegaskan oleh al-S{ābūnī ketika memberikan

tafsīrnya atas Qs. Al-Wāqi’ah:24, setelah ayat-ayat yang menjelaskan

berbagai kenikmatan surgawi, utamanya kenikmatan diberinya bidadari,

dengan menyatakan, “Kami jadikan bagi mereka yang demikian itu

seluruhnya agar mereka menjadi orang-orang yang s}ālih} di dunia.”314

Oleh al-S{ābūnī dinyatakan bahwa orang-orang s}ālih} bukan sekedar

orang yang berkeimanan i’tiqādiyah disertai ‘amal s}ālih} semata, akan

tetapi iman yang dimaksudkan adalah berkumpulnya ikhlās al-‘aqīdah

dengan ikhlās al-‘amal.315

Jadi maksud utama pemberian gambaran bidadari sebagai simbol amal

baik, tidak lain adalah agar orang beriman semakin disiplin dalam mematuhi

hukum Allāh, tidak dikalahkan dengan kesenangan duniawi sesaat yang justru

312
Ibid., jl. I, hlm. 36.
313
Ibid., jl. II, h.96.
314
Ibid., jl. III, hlm. 290.
315
Ibid., jl. II, hlm. 466.

cxliii
akan menghancurkan kebahagaian abadi di akhirat, sehingga orientasi dan

tujuan hidupnya akan semakin jelas bagi orang beriman.

Kiat-kiat simbolis sebagaimana dinyatakan oleh al-S{ābūnī itu, dalam

al-Qur`ān sangatlah banyak, yang diantaranya mengandung maksud utama

untuk al-targīb wa al-tarhīb kepada hamba-hamba Allāh. Ini semakin nampak

nyata misalnya dalam Qs. Al-Taubah:111 yang berisi janji Allāh kepada orang

yang berjihad dengan mengorbankan jiwa serta hartanya, sehingga

mendapatkan balasan surga, entah jihad berakhir dengan kekalahan atau

dengan kemenangan.316

BAB V

PENUTUP

D. Kesimpulan

Studi ini diawali dengan argumen bahwa tema h}ūrun ‘īn - atau yang

lebih dikenal secara salah kaprah dengan sebutan bidadari - yang dipaparkan

dalam penelitian ini merujuk pada pemikiran seorang mufassir kontemporer,

Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī yang tertuang di dalam kitabnya S}afwah al-

316
Ayat tersebut turun ketika Nabi dan para sahabat Anshar mengadakan persetujuan
di malam bai’ah ‘aqabah. Saat itu Abdullah ibn Rawahah bertanya; “wahai Rasūlullāh kewajiban
apa yang engkau kehendaki dari kami terhadap Tuhanmu dan dirimu sendiri?” Rasūlullāh
menjawab, “terhadap Tuhanku, sembahlah Dia dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun.
Sedangkan terhadap diriku, cegahlah aku dari apa yang kalian sendiri mencegah diri kalian
sendiri.” Lalu mereka bertanya, “andaikata itu kami lakukan, lalu apa konsekwensinya?”
Rasūlullāh menjawab tegas, “Surga.” Maka turunlah ayat tersebut. Lihat Ibid., jl. I, hlm. 525; juga
Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi. Asbab al-Nuzul, Beirut: Dār al-Fikr, 1991),
hlm. 179.

cxliv
Tafāsīr Tafsīr li al-Qur’ān al-Karīm, atau dalam salah satu versi penerbitan

lain berjudul S}afwah al-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm.

Al-S{ābūnī menunjukkan bahwa al-Qur’ān dalam mendeskripsikan

konsep eskatologis lebih banyak menggunakan simbolitas serta permisalan

yang gampang diterima oleh persepsi manusia seluruh dunia. Gagasan

tersebut berangkat dari proposisi bahwa sesungguhnya tidaklah tepat

memaknai konsep h}ūrun ‘īn hanya semata sebagai sosok perempuan yang

elok (bidadari) dalam artian fisik pemuas pasangan lawan jenisnya di surga.

Bagi umat Islām, bukan saatnya lagi hanya memahami dunia simbol al-

Qur’ān secara harfiyah. Justru bagi al-S{ābūnī dunia simbol al-Qur’ān, yang

salah satu tema utamanya adalah bidadari di surga, haruslah difahami sebagai

suatu konsep yang harus dibumikan, melalui dunia pesan yang terkandung di

dalam simbol bidadari tersebut.

Pandangan al-S{ābūnī tersebut menyiratkan makna bahwa kebutuhan

umat Islām atas tafsīr al-Qur’ān bukanlah semata-mata uraian huruf atau

kalimat yang dijelaskan, atau sebatas bagaimana al-Qur’ān ditindaklanjuti

dalam bentuk amalan sehari-hari. Namun lebih dari itu, tafsīr al-Qur’ān yang

ada harus mampu menyesuaikan dengan diktum klasik bahwa al-Qur’ān

selalu sesuai dengan setiap tempat dan masa, sekaligus tafsīr al-Qur’ān yang

ada harus mencukupi segala jawaban atas persoalan kontemporer manusia.

Alhasil, tafsīr al-Qur’ān harus mampu pula ikut membentuk karakter moral

umat, dengan mengurai dunia simbol dari al-Qur’ān.

cxlv
Dalam hal ini al-S{ābūnī menandaskan bahwa suatu penafsiran harus

memuat kaidah-kaidah tafsīr yang sistematik, namun sekaligus mudah

difahami oleh pembacanya. al-S{ābūnī mencontohkan pola ini dengan

memuat unsur-unsur baina yaday al-sūrah, al-munāsabah, al-tafsīr, al-lūgah,

al-balāgah, sabāb al-nuzul, al-fawā’id, lat}īfah. Jika ada hal yang penting

ditambahkan dalam unsur tanbih.

Dari penelitian atas konsep h}ūrun ‘īn dalam S{afwah al-Tafāsīr

-nya al-S{ābūnī dapat dikemukakan berbagai hal penting menyangkut

konsep teologis tersebut.

Al-S{ābūnī menekankan bahwa konsepsi h}ūrun ‘īn merupakan

simbol sempurna bagi indah dan sempurnanya balasan Allāh atas amal baik

manusia di surga. Bagi al-S{ābūnī, h}ūrun ‘īn bukanlah tema yang

menunjukkan jenis kelamin tertentu. H{ūrun ‘īn adalah kosakata yang netral

kelamin, yang berlaku baik bagi kaum mukmin laki-laki maupun perempuan,

sebab mengenai balasan di akhirat semua jenis kelamin akan mendapatkan

balasan dalam simbol pasangannya masing-masing.

Dalam memahami bidadari sebagai pasangan seks bagi penghuni surga,

al-S{ābūnī membedakan dua jenis h}ūrun ‘īn. Pertama adalah h}ūrun ‘īn

yang diciptakan khusus di surga, yang menurut Ibnu Qayyim dibuat dari

bahan Za’faran. Dalam hal ini al-S{ābūnī cukup berhati-hati untuk tidak

memuat informasi yang sifatnya masih meragukan. Sedangkan kedua adalah

h}ūrun ‘īn yang berasal dari perempuan maupun lelaki mukmin di dunia,

akan tetapi sebenarnya yang berasal dari manusia dunia bukanlah h}ūrun

cxlvi
‘īn dalam arti sesungguhnya. Posisi mereka adalah sebagai permaisuri bagi

suaminya, atau sebagai raja bagi isterinya, sementara mereka juga tetap

mendapatkan h}ūrun ‘īn masing-masing sebagai nikmat tambahannya.

Al-S{ābūnī membedakan antara pelayan surga dengan h}ūrun ‘īn.

Pelayan surga adalah para pemuda/pemudi yang diciptakan khusus di surga

dengan tugas sebagai pelayan umum bagi semua penghuni surga, sementara

h}ūrun ‘īn diciptakan di surga dengan tugas pelayanan yang khusus, yakni

membahagiakan pasangannya di surga, di samping pasangan yang berasal

dari dunia, yang sama-sama beriman.

Maka bagi al-S{ābūnī, hal terpenting yang perlu difahami dari tema

h}ūrun ‘īn dalam al-Qur’ān itu adalah konsepsi simbolis bagi manusia.

Dalam hal ini, al-S{ābūnī agak menyalahi para mufassir lain, yang hampir

sepenuhnya mengartikan h}ūrun ‘īn sebagai perempuan pasangan penghuni

surga. al-S{ābūnī menandaskan bahwa simbol h}ūrun ‘īn memiliki maksud

utama sebagai metodologi al-Qur’ān menyampaikan pesannya mengenai al-

targīb dan al-tarhīb. Hanya dalam memahami h}ūrun ‘īn dalam arti fisik,

al-S{ābūnī tidak jauh berbeda dengan para mufassir kenamaan yang lain.

Oleh karenanya, al-S{ābūnī al-S{ābūnī berpendapat bahwa janji Allāh

untuk mendapatkan h}ūrun ‘īn di surga tidaklah berlaku bagi semua

penghuni surga. Orang yang masuk surga belum tentu mendapatkan balasan

Allāh dalam bentuk h}ūrun ‘īn. Sebab untuk mendapatkan balasan pahala

h}ūrun ‘īn, menurut al-S{ābūnī, seseorang harus memiliki karakter-

karakter khusus dari jenis iman dan amal s}ālih}nya.

cxlvii
Itulah sebabnya al-Qur’ān tidak secara otomatis menyebutkan pahala

h}ūrun ‘īn setiap kali menginformasikan surga. Hal ini berbeda dengan

ketika misalnya, disebutkan adanya taman, pohon yang menghijau, sungai di

bawah surga dan sebagainya, yang hampir selalu disebutkan dalam tema

surga secara umum. Dalam hal inilah, makna pernyataan bahwa nikmat surga

h}ūrun ‘īn merupakan nikmat tambahan bagi orang yang bertaqwa harus

difahami.

Dari pemaknaan atas simbol h}ūrun ‘īn tersebut, al-S{ābūnī

menekankan bahwa tujuan akhir dari makna simbol h}ūrun ‘īn itu adalah

untuk merangsang keinginan, melukiskan keindahan akan balasan Allāh yang

melebihi ukuran-ukuran puncak keindahan dalam persepsi manusia di

manapun.

E. Saran

Dari kesimpulan di atas, nampaklah bahwa terdapat beberapa hal yang

perlu ditindaklanjuti dari penelitian ini.

Konsep h}ūrun ‘īn hanyalah merupakan salah satu bagian dari jenis-

jenis simbol surga yang ditampilkan al-Qur’ān, sehingga masih diperlukan

penelitian elaboratif terhadap simbol-simbol lainnya, baik yang dinyatakan

oleh al-S{ābūnī maupun ahli tafsīr lain, yang kemudian dihubungkan dengan

jenis amal perbuatan manusian yang di sniyalir oleh al-Qur’ān terkait dengan

simbol tersebut.

cxlviii
Al-S{ābūnī merupakan pakar tafsīr kontemporer yang dalam

pemahaman-pemahamannya sebagian cukup kontroversial dari segi hasil

penafsiran. Adapun dari segi metodologi, al-S{ābūnī telah mampu

menggabungkan antara metodologi klasik dengan metodologi modern,

sehingga sangat penting untuk melakukan penelitian atas metodologi baru al-

S{ābūnī dalam bidang ‘ulūm al-Qur’ān, dalam hal ini Tafsīr. Selain itu,

merupakan hal yang sangat penting untuk menerjemahkan karya-karya al-

S{ābūnī ke dalam publik Indonesia, bagi kepentingan pragmatis maupun

metodologis dalam kancah pemikiran Islām dewasa ini. Lebih dari itu,

nampaknya perlu kajian lebih lanjut mengenai pemikiran-pemikiran al-

S{ābūnī secara utuh dalam bentuk buku utuh yang menggabungkan

penelitian berbagai segi pemikiran al-S{ābūnī, yang sampai saat ini sudah

terpublikasikan.

F. Penutup

Tafsīr al-Qur’ān memiliki urgensi yang menentukan bagi upaya

teransfromasi masyarakat. Oleh karena itu tafsīr yang kritis terhadap

zamannya sangat ditunggu oleh masyarakat Islām. Studi atas tafsīr h}ūrun

‘īn al-S{ābūnī ini hanyalah titik awal pengggalian tafsīr yang disusun dengan

berbagai kaidah klasik, namun sekaligus mencoba menerobos metode

mutakhir, dengan memanfaatkan sarana ilmu baru lain. Kritik dan saran

tentunya sangat berguna bagi penyempurnaan penelitian ini di masa

mendatang.

cxlix
BAB V

PENUTUP

G. Kesimpulan

Studi ini diawali dengan argumen bahwa tema h}ūrun ‘īn - atau yang

lebih dikenal secara salah kaprah dengan sebutan bidadari - yang dipaparkan

dalam penelitian ini merujuk pada pemikiran seorang mufassir kontemporer,

Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī yang tertuang di dalam kitabnya S}afwah al-

Tafāsīr Tafsīr li al-Qur’ān al-Karīm, atau dalam salah satu versi penerbitan

lain berjudul S}afwah al-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm.

Al-S{ābūnī menunjukkan bahwa al-Qur’ān dalam mendeskripsikan

konsep eskatologis lebih banyak menggunakan simbolitas serta permisalan

yang gampang diterima oleh persepsi manusia seluruh dunia. Gagasan

tersebut berangkat dari proposisi bahwa sesungguhnya tidaklah tepat

memaknai konsep h}ūrun ‘īn hanya semata sebagai sosok perempuan yang

elok (bidadari) dalam artian fisik pemuas pasangan lawan jenisnya di surga.

Bagi umat Islām, bukan saatnya lagi hanya memahami dunia simbol al-

Qur’ān secara harfiyah. Justru bagi al-S{ābūnī dunia simbol al-Qur’ān, yang

salah satu tema utamanya adalah bidadari di surga, haruslah difahami sebagai

suatu konsep yang harus dibumikan, melalui dunia pesan yang terkandung di

dalam simbol bidadari tersebut.

cl
Pandangan al-S{ābūnī tersebut menyiratkan makna bahwa kebutuhan

umat Islām atas tafsīr al-Qur’ān bukanlah semata-mata uraian huruf atau

kalimat yang dijelaskan, atau sebatas bagaimana al-Qur’ān ditindaklanjuti

dalam bentuk amalan sehari-hari. Namun lebih dari itu, tafsīr al-Qur’ān yang

ada harus mampu menyesuaikan dengan diktum klasik bahwa al-Qur’ān

selalu sesuai dengan setiap tempat dan masa, sekaligus tafsīr al-Qur’ān yang

ada harus mencukupi segala jawaban atas persoalan kontemporer manusia.

Alhasil, tafsīr al-Qur’ān harus mampu pula ikut membentuk karakter moral

umat, dengan mengurai dunia simbol dari al-Qur’ān.

Dalam hal ini al-S{ābūnī menandaskan bahwa suatu penafsiran harus

memuat kaidah-kaidah tafsīr yang sistematik, namun sekaligus mudah

difahami oleh pembacanya. al-S{ābūnī mencontohkan pola ini dengan

memuat unsur-unsur baina yaday al-sūrah, al-munāsabah, al-tafsīr, al-lūgah,

al-balāgah, sabāb al-nuzul, al-fawā’id, lat}īfah. Jika ada hal yang penting

ditambahkan dalam unsur tanbih.

Dari penelitian atas konsep h}ūrun ‘īn dalam S{afwah al-Tafāsīr

-nya al-S{ābūnī dapat dikemukakan berbagai hal penting menyangkut

konsep teologis tersebut.

Al-S{ābūnī menekankan bahwa konsepsi h}ūrun ‘īn merupakan

simbol sempurna bagi indah dan sempurnanya balasan Allāh atas amal baik

manusia di surga. Bagi al-S{ābūnī, h}ūrun ‘īn bukanlah tema yang

menunjukkan jenis kelamin tertentu. H{ūrun ‘īn adalah kosakata yang netral

kelamin, yang berlaku baik bagi kaum mukmin laki-laki maupun perempuan,

cli
sebab mengenai balasan di akhirat semua jenis kelamin akan mendapatkan

balasan dalam simbol pasangannya masing-masing.

Dalam memahami bidadari sebagai pasangan seks bagi penghuni surga,

al-S{ābūnī membedakan dua jenis h}ūrun ‘īn. Pertama adalah h}ūrun ‘īn

yang diciptakan khusus di surga, yang menurut Ibnu Qayyim dibuat dari

bahan Za’faran. Dalam hal ini al-S{ābūnī cukup berhati-hati untuk tidak

memuat informasi yang sifatnya masih meragukan. Sedangkan kedua adalah

h}ūrun ‘īn yang berasal dari perempuan maupun lelaki mukmin di dunia,

akan tetapi sebenarnya yang berasal dari manusia dunia bukanlah h}ūrun

‘īn dalam arti sesungguhnya. Posisi mereka adalah sebagai permaisuri bagi

suaminya, atau sebagai raja bagi isterinya, sementara mereka juga tetap

mendapatkan h}ūrun ‘īn masing-masing sebagai nikmat tambahannya.

Al-S{ābūnī membedakan antara pelayan surga dengan h}ūrun ‘īn.

Pelayan surga adalah para pemuda/pemudi yang diciptakan khusus di surga

dengan tugas sebagai pelayan umum bagi semua penghuni surga, sementara

h}ūrun ‘īn diciptakan di surga dengan tugas pelayanan yang khusus, yakni

membahagiakan pasangannya di surga, di samping pasangan yang berasal

dari dunia, yang sama-sama beriman.

Maka bagi al-S{ābūnī, hal terpenting yang perlu difahami dari tema

h}ūrun ‘īn dalam al-Qur’ān itu adalah konsepsi simbolis bagi manusia.

Dalam hal ini, al-S{ābūnī agak menyalahi para mufassir lain, yang hampir

sepenuhnya mengartikan h}ūrun ‘īn sebagai perempuan pasangan penghuni

surga. al-S{ābūnī menandaskan bahwa simbol h}ūrun ‘īn memiliki maksud

clii
utama sebagai metodologi al-Qur’ān menyampaikan pesannya mengenai al-

targīb dan al-tarhīb. Hanya dalam memahami h}ūrun ‘īn dalam arti fisik,

al-S{ābūnī tidak jauh berbeda dengan para mufassir kenamaan yang lain.

Oleh karenanya, al-S{ābūnī al-S{ābūnī berpendapat bahwa janji Allāh

untuk mendapatkan h}ūrun ‘īn di surga tidaklah berlaku bagi semua

penghuni surga. Orang yang masuk surga belum tentu mendapatkan balasan

Allāh dalam bentuk h}ūrun ‘īn. Sebab untuk mendapatkan balasan pahala

h}ūrun ‘īn, menurut al-S{ābūnī, seseorang harus memiliki karakter-

karakter khusus dari jenis iman dan amal s}ālih}nya.

Itulah sebabnya al-Qur’ān tidak secara otomatis menyebutkan pahala

h}ūrun ‘īn setiap kali menginformasikan surga. Hal ini berbeda dengan

ketika misalnya, disebutkan adanya taman, pohon yang menghijau, sungai di

bawah surga dan sebagainya, yang hampir selalu disebutkan dalam tema

surga secara umum. Dalam hal inilah, makna pernyataan bahwa nikmat surga

h}ūrun ‘īn merupakan nikmat tambahan bagi orang yang bertaqwa harus

difahami.

Dari pemaknaan atas simbol h}ūrun ‘īn tersebut, al-S{ābūnī

menekankan bahwa tujuan akhir dari makna simbol h}ūrun ‘īn itu adalah

untuk merangsang keinginan, melukiskan keindahan akan balasan Allāh yang

melebihi ukuran-ukuran puncak keindahan dalam persepsi manusia di

manapun.

cliii
H. Saran

Dari kesimpulan di atas, nampaklah bahwa terdapat beberapa hal yang

perlu ditindaklanjuti dari penelitian ini.

Konsep h}ūrun ‘īn hanyalah merupakan salah satu bagian dari jenis-

jenis simbol surga yang ditampilkan al-Qur’ān, sehingga masih diperlukan

penelitian elaboratif terhadap simbol-simbol lainnya, baik yang dinyatakan

oleh al-S{ābūnī maupun ahli tafsīr lain, yang kemudian dihubungkan dengan

jenis amal perbuatan manusian yang di sniyalir oleh al-Qur’ān terkait dengan

simbol tersebut.

Al-S{ābūnī merupakan pakar tafsīr kontemporer yang dalam

pemahaman-pemahamannya sebagian cukup kontroversial dari segi hasil

penafsiran. Adapun dari segi metodologi, al-S{ābūnī telah mampu

menggabungkan antara metodologi klasik dengan metodologi modern,

sehingga sangat penting untuk melakukan penelitian atas metodologi baru al-

S{ābūnī dalam bidang ‘ulūm al-Qur’ān, dalam hal ini Tafsīr. Selain itu,

merupakan hal yang sangat penting untuk menerjemahkan karya-karya al-

S{ābūnī ke dalam publik Indonesia, bagi kepentingan pragmatis maupun

metodologis dalam kancah pemikiran Islām dewasa ini. Lebih dari itu,

nampaknya perlu kajian lebih lanjut mengenai pemikiran-pemikiran al-

S{ābūnī secara utuh dalam bentuk buku utuh yang menggabungkan

penelitian berbagai segi pemikiran al-S{ābūnī, yang sampai saat ini sudah

terpublikasikan.

cliv
I. Penutup

Tafsīr al-Qur’ān memiliki urgensi yang menentukan bagi upaya

teransfromasi masyarakat. Oleh karena itu tafsīr yang kritis terhadap

zamannya sangat ditunggu oleh masyarakat Islām. Studi atas tafsīr h}ūrun

‘īn al-S{ābūnī ini hanyalah titik awal pengggalian tafsīr yang disusun dengan

berbagai kaidah klasik, namun sekaligus mencoba menerobos metode

mutakhir, dengan memanfaatkan sarana ilmu baru lain. Kritik dan saran

tentunya sangat berguna bagi penyempurnaan penelitian ini di masa

mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mas Udik. Menjadi Bidadari Dunia Akhirat Pendamping Mujahid,


Mujahid Press, Bandung, 2003

Aceh, Abubakar. Sejarah Al-Qur’ān, Ramadhani, Solo, cetakan keenam, 1989

Adnan, Muhammad. Tafsīr Al-Qur’ān Suci Basa Jawi, PT. Al-Ma’arif, Bandung,
cetakan ke-10, t.t.

Ahmad, Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd. al-Tafsīr al-Kabīr, al-Syirkat al-


Islāmiyyah, Tilford Surrey, U.K.

Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Abdillah, Musnad Ahmad. Dār al-Ihya al-Kutub al-
Indunisiyya, t.t.

Ali, Abdullah Yusuf. Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, alih bahasa Ali Audah,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993

Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an; Text, Translation, and Commentary,
Amana Corp., Brentwood, Maryland USA, 1983

Arkoun, Mohammed. Nalar Islāmi dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, penerjemah Rahayu S. Hidayat, INIS, Jakarta, 1994

clv
Bekker, Anton dan Chris. Metodologi Penelitian Fīlsafat, Kanisius, Yogyakarta,
1994

Binti Syāti, ‘Aisyat ‘Abd al-Rahmān. Al-Maqāl fī al-Insān, Dirāsat Qur’āniyyat,


Dār al-Ma’ārif, Mesir, 1968

Bisyri, KH. Mustafa. al-Ubairiz fī Tafsīr Garāib al-Qur’ān al-‘Azīz, Pustaka


Progresif, Surabaya, 2000

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1996

Al-Fairūzābādī, Abi T{ahir Muhammad ibn Ya’qūb. Tanwīr al-Miqbās min


Tafsīr Ibn ‘Abbās, Dār Ihyā’al-Kutub al-‘Arabiyah Indūnisia, t.t.

Ghaffur, Abdul. Metode Penelitian Perbandingan Agama, Darul ‘Ulūm, Jombang,


1997

Al-Hajawiy, Mustamir, K. Qāmus ‘Arab-Jawa Lengkap, Menara Kudus, Kudus,


t.t.

Ibn Kas\īr, Abu Al-Fidā’ Isma’īl. Tafsīr Al-Qur’ān al-’ażīm, 6 jilid, al-Haramain,
Singapura, t.t. (juga terbitan Maktabah an-Nahdlah al-Hadīŝah, Mesir,
1384)

Isma’īl , Abu M. Jamal. Imtā’u al-Sāmi’īn bi aus}āfī al-h}ūr al-‘īn, terjemahan


Bertemu Bidadari di Surga, penerjemah Abdul Mukti Ţabrani, Gema
Insani Press, Jakarta, 2002

Izutsu, Toshihiko. Etika Beragama dalam Qur’an, penerjemah Mansuruddin


Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993

Al-Jarimi, Ali dan Amin, Mustafa. al-Balāgah al-Wād}ih}ah, al-Hidayah,


Surabaya, cet. ke-15, 1961

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Hādi al-Arwāh} ilā Balād al-Afrah}, Tamasya ke


Surga, penerjemah Fadlli Bahri, Lc, Darul Falah, Jakarta, cetakan ketujuh,
1424 H

Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, 1991

Khadim al-Haraman asy-Syarifain KSA, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, Kerajaan


Saudi Atrabia, t.t.

Lembaga Penjelenggara Penerdjemah Kitab Sutji Al-Quraan, Al-Quraan dan


Terdjemahnja, percetakan Jamunu, Jakarta,1965

clvi
Machasin (penerjemah). al-Qad}i ‘Abd al-Jabbār Mutasyābih al-Qur’ān; Dalil
Rasionalitas al-Qur’ān, LKiS, Yogyakarta, 2000

Mahalli, A. Mudjab,. Muslimah dan Bidadari, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1996

Al-Mah}alli, Imām Jalāl al-Dīn., Al-S}uyut}ī, Imām Jalāl al-Dīn. Tafsīr al-
Qur’ān al-’ażīm, Toha Putera, Semarang, t.t.

Al-Maragī, Ahmad Mus}t}afa. Tafsīr al-Maragī, Dār al-Fikr, Beirut, 1394/1974

Marbawī, Muhammad Idrīs ‘Abd al-Rauf al-. Qāmus Idrīs al-Marbawī ‘Arabī-
Malayū, Dār Ihyā’al-Kutub al-‘Arabiyyah Indūnisia, t.t.

Misbah, ibn Zain al- Mustafa, Al-Iklīl fī Ma’āni al-Tanzil, al-Ihsan, Surabaya, t.t.

Munawir, Ahmad Warson. al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif,


cet. 14, 1997

Mustafa, Bishri. Al-Ibrīz lima’rifati Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz bi al-lugat al-


jawiyah, Menara Kudus, Kudus, t.t.

Naisaburi, Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-, Asbab al-Nuzul, Dār al-
Fikr, Beirut, 1991

Nawawī, Abu Zakariya Yahya al-, Riyad} al-S{alihin, al-Hidāyah, Surabaya,


t.t.

Nawawī al-Bantani, Syekh Muhammad. Marah Labīd Tafsīr Nawawī, Usaha


Keluarga, Semarang, t.t.

Nazir, Moh. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985

Penyiaran Islām Jogjakarta. Quran Tardjamah Djawi, Penyiaran Islām Jogjakarta,


cetakan kedelapan, 1969

Al-Qat}t}ān, Manā’ Khalīl. Mabāh}is\ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Dār al-Fikr,


Beirut, cet. III, t.t.,

Qut}ub, Sayyid. Fī Z{ilalil Quran, Tafsīr di Bawah Naungan Al Qur’an,


terjemah H. Bey Arifin & Jamaluddin Kafie, juz pertama, Bina Ilmu,
Surabaya, 1982/1402

Rahmān , Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’ān, penerjemah Anas Mahyudin, Pustaka,


Bandung, cetakan kedua, 1996

clvii
Al-Rumi, Fahd ibn AburRahmān , Dr. Ulūmul Qur’an Studi Kompleksitas Al-
Qur’ān, penerjemah Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Titian Ilahi
Press, Yogyakarta, 1997

Rid}o Rasyid. Tafsīr al-Manār, Dār al-Mishriyyah, Kairo, t.t.

Sabiq, Sayyid. al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Dār al-Fikr, Beirut, 1992

Al-Bukhārī, Abī ‘Abdullah Muhammad ibn Ismā’īl, S}ah}īh} Bukhari. Dār al-
Kutub al-Islāmiyah, Jakarta, t.t.

S}ah}īh} Muslim. T}aha Putra, Semarang, t.t.

Al-Sa’di, ‘Abd al-Rahmān. Tafsīr al-Sa’di, Dār al-Fikr, Beirut, t.t.

Al-S{ābūnī, Muhammad ‘Alī. al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, ‘Alīm al-Kutub,


Beirut, 1985/1405

______________. Rawā-i’ al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām min al-Qur’ān, Dār al-
Fikr, Beirut, t.t.

______________. S}afwah al-Tafāsīr Tafsīr lil-Qur’an al-Karim, Dār al-Fikr,


Beirut, 1996.

______________. S}afwah al-Tafāsīr Tafsīr al-Qur’ān al-’ażīm, Dār al-Kutub


al-Islāmiyah, Jakarta, 1999/1420

Al-S}ālih, Subh}i. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’ān, penerjemah Tim Pustaka


Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta, cetakan ketiga, 1992

Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi Ash-. Tafsīr al-Qur’ān al-Majid, Pustaka


Rizki Putra, Semarang, cet. II, 1995

Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al-Qur’ān; Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1992

______________. Mukjizat Al-Qur’ān Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat


Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Mizan, Bandung, 1997

Sholikhin, Muhammad. Berwisata ke Alam Akhirat, Risalah Pengajian Paguyuban


‘Arafah, Semarang, 2001

______________. Karakter Manusia Beriman (Teori dan Aplikasi “Al-Iman”


menurut Al-Qur’ān), Paguyuban Pengajian ‘Arafah, Semarang, Februari
2003

clviii
Al-S}uyut}ī, Jalal al-Din, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, cet. III, Dār al-Fikr,
Beirut, 1370/1951

______________, Al-Durr al-Mantsur fī al-Tafsiir bi al-Ma’tsur, Nasyr


Muhammad Amin Duma’, Mu’assasah, Beirut, t.t.

______________. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, al-Azhariyah, Mesir, cet .II, tahun


1343/1370

Syamsu, Nazwar. Kamus Al-Qur’ān; Al-Qur’ān-Indonesia-Inggris, Ghalia


Indonesia, Jakarta, cetakan kedua, 1982

Isma’il, Syuhudi, Ĥadīŝ Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Bulan Bintang,
Jakarta, cetakan Pertama, 1994

Tafsīr Ibn Kas\īr, dalam CD-Rom The Holy Qur’an, Sakhr Corp., Riyadh, 1997

Tafsīr al- Qurt}ubī, dalam CD-Rom The Holy Qur’an, Sakhr Corp., Riyadh,
1997

Al-T{abarī, Abu Ja’far Muhammad ibn al-. Jami’ al-Bayan fī Tafsīr al-Qur’ān,
Amiriya, Mesir, 1330 H
Al-Żahabī, Muhammad Husain. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Dār al-Kutub al-
Hadīŝah, Mesir, 1961

Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’ān, Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
penerjemah, Khoiron Nahdliyin, LKIS, Yogyakarta, 2001

Al-Zamakhsary, Imām Abi al-Qasīm Jārallah Mahmūd ibn ‘Umar al-Khawārizmi.


al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl,
4 volume, Dār al-Fikr, Beirut, 1397/1977

Al-Zarkasyi, Badr al-Dīn. Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqīq Muhammad Abi


al-Fahl Ibrāhīm, Dār al-Fikr, cet. 3, 1400

Al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Dār al-Fikr, Beirut, Lebanon,


1988

clix

Anda mungkin juga menyukai