HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN NOTA DINAS..................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iv
HALAMAN MOTTO............................................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................xiii
ABSTRAK...........................................................................................................xv
xiii
BAB IV : TAFSIR TENTANG “BIDADARI”
MENURUT M. ‘ALI AL-S{ABU<NI ……………………………
61
A. Alur Penafsiran M. ‘Ali al-S{abu<ni tentang
Bidadari dalam Şafwah al-Tafāsir ………………………….. 61
B. Keberadaan “Bidadari” di Surga ……………………………. 71
1. Penciptaan Bidadari ……………………………………… 71
2. Perbedaan antara Pelayan Surga dan Bidadari …………... 75
3. Ciri-ciri Bidadari di Surga ……………………………….. 78
4. Bidadari dan Amal Perbuatan Manusia …………………. 85
C. Bidadari sebagai Simbol konsep Jaza’ Amal Baik Manusia,
Bukan Makhluk Fisik di Surga ………………………………. 94
1. Bidadari sebagai Simbol Balasan atas Amal Manusia …… 94
2. Maksud Penggunaan Simbol Bidadari bagi Manusia ……. 98
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
ABSTRAK
xiv
skripsi ini berusaha memberikan jawaban atas persoalan pokok
tersebut. Dan setelah dilakukan penelitian dengan pendekatan
deskriptif-analitis menunjukkan bahwa terdapat beberapa
tafsiran dari al-S{abūnī sebagaimana yang sudah ada dalam
kitab-kitab tafsir lain yang mendahuluinya, namun lebih banyak
penafsirannya yang agak berbeda, terutama tentang hakekat
dan eksistensi bidadari di surga, yang tidak hanya difahami
sebagai sosok fisik perempuan yang jelita, namun lebih
substansial lagi, bahwa itu merupakan simbol bagi pembalasan
atas amal perbuatan baik orang beriman sewaktu di dunia. Tentu
saja pemahaman seperti ini masih jarang didapatkan di kalangan
masyarakat Islām, khususnya Indonesia.
Oleh karena itu, keseluruhan penelitian ini mencakup
beberapa tema pokok: karya-karya al-S{abūnī dan garis besar
pemikirannya; konsep umum mengenai bidadari pada
masyarakat Islām; alur penafsiran al-S{abūnī tentang bidadari
dalam kitab S{afwah al-Tafāsir; keberadaan bidadari di surga;
dan bidadari sebagai suatu simbol atas balasan amal manusia.
Dari berbagai penafsiran yang termuat dalam kitab
S{afwah al-Tafāsir tersebut juga diketahui adanya relevansi
antara simbol bidadari sebagai balasan kenikmatan tambahan
bagi manusia beriman, dengan karakteristik khusus jenis amal
shalih yang harus diperbuat manusia untuk mendapatkan nikmat
yang dilambangkan dengan simbol bidadari tersebut.
Al-S{abūnī juga membuat tafsiran tentang maksud
diberikannya simbol bidadari tersebut, yang tidak lain adalah
merupakan cara tersendiri dari al-Qur`ān dalam melukiskan
tentang dan untuk al-targīb wa al-tarhīb kepada hamba-hamba
Allah.
ABSTRAK
xv
skripsi ini berusaha memberikan jawaban atas persoalan pokok
tersebut. Dan setelah dilakukan penelitian dengan pendekatan
deskriptif-analitis menunjukkan bahwa terdapat beberapa
tafsiran dari al-S{abūnī sebagaimana yang sudah ada dalam
kitab-kitab tafsir lain yang mendahuluinya, namun lebih banyak
penafsirannya yang agak berbeda, terutama tentang hakekat
dan eksistensi bidadari di surga, yang tidak hanya difahami
sebagai sosok fisik perempuan yang jelita, namun lebih
substansial lagi, bahwa itu merupakan simbol bagi pembalasan
atas amal perbuatan baik orang beriman sewaktu di dunia. Tentu
saja pemahaman seperti ini masih jarang didapatkan di kalangan
masyarakat Islām, khususnya Indonesia.
Oleh karena itu, keseluruhan penelitian ini mencakup
beberapa tema pokok: karya-karya al-S{abūnī dan garis besar
pemikirannya; konsep umum mengenai bidadari pada
masyarakat Islām; alur penafsiran al-S{abūnī tentang bidadari
dalam kitab S{afwah al-Tafāsir; keberadaan bidadari di surga;
dan bidadari sebagai suatu simbol atas balasan amal manusia.
Dari berbagai penafsiran yang termuat dalam kitab
S{afwah al-Tafāsir tersebut juga diketahui adanya relevansi
antara simbol bidadari sebagai balasan kenikmatan tambahan
bagi manusia beriman, dengan karakteristik khusus jenis amal
shalih yang harus diperbuat manusia untuk mendapatkan nikmat
yang dilambangkan dengan simbol bidadari tersebut.
Al-S{abūnī juga membuat tafsiran tentang maksud
diberikannya simbol bidadari tersebut, yang tidak lain adalah
merupakan cara tersendiri dari al-Qur`ān dalam melukiskan
tentang dan untuk al-targīb wa al-tarhīb kepada hamba-hamba
Allah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
xvi
Dalam sejarah tafsir al-Qur’a>n,1 didapatkan realita
1
Tentang sejarah tafsīr al-Qur’a>n secara sekilas lihat misalnya dalam S}ubhi
Al-S}alih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’ān, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, cetakan ketiga, 1992), hlm. 383-395.
2
Tafsīr dalam konteks penelitian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan
oleh M. Quraish Shihab sebagai “Upaya memahami maksud firman-firman Allāh sesuai dengan
kemampuan manusia.” Lihat M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’a>n; Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 15.
3
Kitab tafsīr yang pertama ditulis adalah dari Said ibn Jubair atas perintah
Khalifah ‘Abdul Mālik. Namun pengarang kitab tafsīr terlengkap pertama adalah Abū Ja’far
Muh{ammad ibn al-Ţabari (839-32) dengan karya masyhurnya Jamī’ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur’ān, (Mesir: Amiriya, 1330 H). Kitab inilah yang dijuluki sebagai “ibu segala tafsīr”. Ia
merupakan cikal bakal dari tafsīr bi al- ma’s\ūr. Jejak kitab ini kemudian diikuti oleh ahli tafsīr
lain seperti Ibn Kas\ir dalam Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Az}īm; juga al-S}uyut}i dalam Al-Dūrr al-
Mans\ūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’s\ūr, Nasyr Muh}ammad Amīn (Duma’, Mu’assasah, Beirut,
t.t.). Pada perkembangan masa-masa berikutnya banyak yang mengembangkan pola tafsīr tematik
maud}u’i). Oleh karenanya kita bisa dengan mudah menemukan tafsīr-tafsīr tematik (tafsīr
maud}u’i), dimana dalam bidang ini didominasi oleh tafsīr humanistic atau antropologis. Jenis-
jenis kitab ini sangat banyak, lihat misalnya: ‘Aisyat ‘Abd al-Rahmān bint al-Syāti, Al-Maqāl fī
al-Insān, Dirāsat Qur’āniyyāt, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1968).
4
Jenis tafsīr rasional ini contohnya karya Rasyid Rid}a, Tafsīr al-Manār, (Kairo:
Dār al-Mishriyyah, t.t.). Tetapi kitab tafsīr jenis ini yang mendapatkan penilaian bagus dari para
pengamat antara lain: Mafātīh} al-Gaīb karya Imām Fakhr al-Dīn Muh}ammad ibn ‘Umār al-
Rāzī (w. 606), dan Lubāb al-Ta’wīl fī Ma’āni al-Tanzīl oleh ‘Alā al-Dīn ‘Alī ibn Muh}ammad
ibn Ibrāhīm al-Bagdadī (terkenal sebagai Tafsīr Khāzin, w. 741 H).
5
Jenis tafsīr “teologi” (alur Filsafat” lihat misalnya Imām Abī al-Qasīm Jār Allāh
Mah}mūd ibn ‘Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsary, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl , 4 volume, (Beirut: Dār al-Fikr, 1397/1977). Kitab tafsīr ini
terkenal dengan sebutan Tafsīr al-Kasysyāf tergolong unik dalam pemakaianya. Pasalnya ia
merupakan karya seorang pemikir Mu’tazilah, namun menjadi kitab rujukan utama bagi orang-
orang ahl al-sunnah wa al-jamā’ah. Tafsīr jenis ini memiliki kesan pembahasan yang sangat
mendalam sehingga sulit dipahami. Selain itu gersang dari pertunjuk yang menyentuh jiwa, serta
memiliki orientasi tinggi terhadap rasionalisme. Tafsīr lain dari jenis ini antara lain: Anwār al-
Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Baid}awi (w. 791 H), Rūh al-Ma’āni dari Al-Alūsi (w. 1270 H),
Al-Bahr al-Muh} īţ-nya Abu H{ayyan (w. 745 H), Fī Z{ilāl al-Qur’ān oleh Sayyid Qut}b
(1906-1966).
6
Termasuk dalam kelompok ini adalah para ahli h}adis\ dan semacamnya yang
sering disebut sebagai mufassir tradisional. Lihat misalnya Abu Al-Fidā’ Isma’īl Ibn Kas\īr, Tafsīr
Al-Qur’ān al-‘Az}īm, 6 jilid, (Singapura: al-Haramain, t.t.) (juga terbitan, Mesir: Maktabah an-
Nahd}ah al- H{adīs\ah, 1384); Ahmad Musţafa al-Maragī. Tafsīr al-Maragī, (Beirut: Dār al-
Fikr, 1394/1974); Syekh Muh}ammad Nawawī Banten, Marah Labīd Tafsīr Nawawī,
(Semarang: Usaha Keluarga, t.t.).
xvii
juga menafsirkan dengan corak sosiologinya (adabī, ijtimā’ī),7 ahli sejarah
selama ini antara lain: corak sastra bahasa, corak Filsafat dan teologi, corak
penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra
budaya kemasyarakatan.9
Dari segi kuantitas, kitab tafsīr yang muncul juga sangat banyak,
terhadap al-Qur’ān dalam bentuk kitab tafsīr seakan telah melampaui zaman
sampai di sini. Banyaknya kitab tafsīr bukan berarti al-Qur’ān sudah bisa
tidak akan pernah selesai,11 dan karena Nabi SAW sendiri tidak menafsirkan
semua ayat Al-Qur’ān.12 Maka harus terus selalu berupaya mencari dan
menggali apa yang ada dalam al-Qur’ān, baik yang tersirat maupun tersurat
7
Tafsīr “sosio-kultural” misalnya Abdullah Yusuf Ali. The Holy Al-Qur’ān; Text,
Translation, and Commentary, Terj. Ali Audah, Al-Qur’ān Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997).
8
Lihat misalnya Imām Jalāl al-Dīn al-Mah}alli, Imām Jalāl al-Dīn al-S{uyut}ī.
Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm, (Semarang: Toha Putera, t.t.).
9
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 72-73.
10
Tentang berbagai cara dan jalan pendekatan atas al-Qur’ān sehingga
menghasilkan berbagai jenis tafsīr yang jumlahnya hampir tidak terhitung lagi, lihat secara sekilas
dalam Abubakar Aceh. Sejarah Al-Qur’ān, (Solo: Ramadhani, cetakan keenam, 1989), hlm. 50-52.
11
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 16-17.
12
Lihat Muh}ammad Husain Al-Żahabī. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Mesir: Dār
al-Kutub al-H{adīs\ah, 1961), vol. I, hlm. 53.
xviii
maksudkan oleh al-Qur’ān.13 Dalam hal ini, nampak bahwa Al-Qur’ān
tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk
interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
masalah hukum saja, tetapi harus pula melihat segi-segi lain yang memiliki
eskatologis tidak bisa hanya berkutat pada informasi tekstual ayat tersebut.
Untuk itu harus dipilah dan dipilih antara ayat-ayat yang bersifat natural dan
sebagainya.
xix
dan fenomenal jarang difahami tentang esensinya. Pemahaman atas ayat-
ayat jenis tersebut umumnya berhenti pada pemahaman yang tekstual dan
deskripsi dunia yang dilarikan kepada konsep alam akhirat yang dibaca dari
tafsīr.16
Salah satu tema menarik dari yang kurang dipikirkan (bahkan telah
“tidak dipikirkan” lagi) oleh umat Islām atas tema simbolik itu adalah ayat-
“h}ūr un ‘īn”,17 dan secara umum diberi makna sebagai “bidadari”. Oleh
cantik jelita,18 dan bayangan akan “sosok cantik” tersebut tentunya relatif
15
Nas}r Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’ān, Kritik terhadap Ulumul Al-
Qur’ān, Terj. Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 11-13.
16
Fazlur Rahmān. Tema Pokok Al-Qur’ān, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung,
Pustaka, cetakan kedua, 1996), hlm. ix.
17
Ayat-ayat pokok antara lain Qs. Al-Rahmān /55:72; Al-S{āfāt:48; dan yang
memakai kata “hurun ‘in” adalah: Al-Dukhan:54; Aţ-Ţur:20; Al-Waqi’ah:22.
18
Penggambaran ini juga banyak dilakukan oleh para ulama Indonesia, lihat
misalnya esai menarik dari A. Mudjab Mahalli. Muslimah dan Bidadari, (Yogyakarta: Mitra
xx
dalam penggambaran masing-masing ulama. Tentu saja model
konsep teologis bahwa surga –yaitu bahwa bidadari menjadi salah satu
Jika dilihat dari konteks historis dan kultural di saat masa-masa al-
awal Islām, umat Islām sedang berjuang keras untuk menyebarkan Islām dan
kemampuan, taktik, strategi demi pengakuan dunia atas Islām. Itu terjadi di
sebuah kawasan padang pasir tandus, gersang, dan sangat panas, sehingga
perjuangan itu menjadi suatu hal yang sangat melelahkan dan menguras
menghubungkan antara jihad dengan pahala yang besar di sisi Allāh, 21 dan
xxi
susu; dan tidak ketinggalan di tengah taman yang indah itu terdapat
bidadari-bidadari yang sangat cantik yang selalu siap melayani. Semua itu
deskripsi bidadari yang ada dalam benak umum masyarakat Islām adalah
Pemahaman seperti ini tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sebab
‘īn).24 Kata zawwaja merupakan kata yang memiliki lebih dari satu makna.
22
Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī, S{afwah al-Tafāsīr, (Beirut: Dār al-Fikr,
cetakan I, 1416 H/1996 M), jl. III, hlm. 280-284.
23
Lihat Tafsīr Ibn Kas\īr, juga Tafsīr al- Qurt}ubī, dalam CD-Rom The Holy Al-
Qur’ān, Sakhr Co. Ltd., Riyadh, 1997, Qs. Al-Dukhan: 54.
24
Qs. Al-Dukhan:54.
25
Lihat. Ibid.
26
Dalam istilah Arkoun, masyarakat Islām umumnya telah terjebak ke dalam
“angan-angan keagamaan”, Lihat Arkoun, Nalar Islāmi, hlm. 290-192.
xxii
zawwajnahum bi h}ūr in ‘īn, di mana zawwaja berasal dari kata zauj dalam
makna qarīn yang berarti “Aku jadikan teman bagi mereka” sebagaimana
mereka.
merupakan simbol dari nikmat tambahan atas pahala bagi orang-orang yang
perawan yang cantik jelita, tanpa tanding, yang akan melayani para
penghuni surga sebagai salah satu balasan akan amal baiknya. Pemahaman
xxiii
mereduksi dan mencari persamaan serta perbedaan perspektif dari sekian
banyak tafsir yang ada, selanjutnya mencari arti esensialnya dari adanya
konsep substansinya bahwa hakekat akhirat tidak bisa ditangkap oleh panca
indera dan nalar manusia, sehingga semua berita keakhiratan harus diterima
secara hakiki sebagai sosok perempuan cantik jelita yang siap melayani
setiap saat, bagi orang yang berada di surga, dan siap memenuhi kebutuhan
biologis manusia di sana. Dalam arti bidadari tidak bisa hanya digambarkan
sebagian besar cukup kontroversial dari segi hasil penafsiran dan dari segi
B. Pokok Masalah
bahwa konsepsi mengenai bidadari menjadi salah satu konsep kunci tentang
xxiv
Namun pengertian yang sebetulnya “ukhrawi” itu, dalam pemikiran umum
konsep “bidadari”, baik yang dikemukakan olah para ahli tafsīr dalam karya
pemikiran bidadari.
xxv
3. Agar ummat Islām meningkatkan cara berfikir dan mengembangkan
D. Metode Penelitian
dalam penulisan ini, maka studi ini dilakukan berdasar pada studi
pengamatan atas bahan tertulis yang diperoleh dari perpustakaan dan bahan-
unsur pengumpulan data primer terlebih dahulu, lalu ditunjang dengan data
sekunder,27 karena realitas yang dipelajari dalam studi ini adalah berupa
bidadari di surga itu bersifat fisik sebagai wanita cantik jelita dan siap selalu
melayani orang shaleh di akhirat, dan dipusatkan pada hasil penafsiran dari
xxvi
dengan library research. Yaitu dengan mengumpulkan data-data formal yang
tafsīr al-Qur’ān dan h}adīs\, dan pandangan para ulama umumnya yang
relevansi dengan studi ini, seperti kitab-kitab fiqih, teologi, sastra dan
sebagainya.
historis, dan semantik. Sifat pendekatan itu saling melengkapi dalam analisis
dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema
28
Tentang pendekatan terakhir lihat Abdul Ghaffur. Metode Penelitian
Perbandingan Agama, (Jombang: Darul ‘Ulūm, 1997), hlm. 63.
29
Tentang pendekatan-pendekatan tersebut lihat Gorys Keraf. Argumentasi dan
Narasi, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 43, 57.; juga bandingkan dengan Chris Bekker,
Metodologi Penelitian Fīlsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 43.
xxvii
tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya
Qur’ān yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat
al-Qur’ān dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
menarik petunjuk al-Qur’ān secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. 30
Metode tafsīr maud}ū’ī yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dalam
E. Kajian Pustaka
penulis, sampai saat ini belum banyak dilakukan orang. Demikian pula
Judul buku tersebut sebenarnya hanya merupakan salah satu bab dari
keseluruhan buku, yang merupakan hasil dari berbagai tulisan serta ceramah
oleh A. Mujab Mahalli tersebut, barulah sebatas kajian awal yang mewakili
30
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 74.
31
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cetakan
pertama, 1996).
xxviii
mainstream pemikiran ulama Indonesia menyangkut penafsirannya tentang
merupakan balasan atau pahala atas amal baik seorang muslim. Wujud
sebagian bentuk dari pahala atas kebaikan tersebut adalah wanita cantik
taat, juga akan bisa menjadi bidadari di surga kelak. Jadi bidadari yang
merupakan wanita cantik tersebut memang ada yang tersedia dari surga, dan
ada juga yang berasal dari wanita muslimah dunia, yang kemudian
tema bidadari, yang ditulis oleh Abu M. Jamal Ismail dengan judul asli
tentang sifat-sifat bidadari, baik yang diambil dari penafsiran tekstual atas
32
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari., hlm. 30.
33
Ibid., hlm. 29.
34
Abu M. Jamal Isma’īl, Imtā’u al-Sāmi’īn bi Aushāf al-H{ūr al’Īn, Dar Ulum al-
Qur’ān, Kairo, 1994.
35
Abu M. Jamal Isma’īl. Bertemu Bidadari di Surga, Terj. Abdul Mukti Ţabarani,
(Jakarta: Gema Insani Press, cetekan Kedua, 1423/2002).
xxix
Buku tersebut bukan merupakan penelitian menyeluruh menyangkut
Abdullah.36 Akan tetapi setelah membuka buku tersebut, tidak ada sama
penggambaran atas seorang isteri yang s}ālihah, cantik, dan taat kepada
dan penjelasan mengenai bidadari (h}ūrun ‘īn) adalah karya Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah yang bertitel asli Hādy al-Arwāh} ilā Bilād al-Afrāh}. Kitab
36
Mas Udik Abdullah, Menjadi Bidadari Dunia Akhirat Pendamping Mujahid,
(Bandung: Mujahid Press, 2003).
37
Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Tamasya ke Surga, Terj. Fadhli Bahri, Lc, (Jakarta:
Darul Falah, cetakan ketujuh, 1424).
xxx
berbagai h}adīs\ Nabi, pendapat para sahabat, ulama salaf, kisah-kisah,
lain yang menyajikan informasi tentang bidadari, akan tetapi informasi yang
secara mendetail dan jelas, bahkan informasi yang ada bercampur aduk
antara tafsīr, kisah dan mitos. Tentu juga dari sudut pandang akademis, karya
tersebut belum bisa dibilang sebagai karya yang final, terutama tentang ayat-
ayat bidadari.
yang ada dalam karya-karya tentang bidadari yang sudah ada, sehingga
F. Sistematika Penulisan
xxxi
Skripsi ini disajikan dalam lima bab pembahasan, yaitu: terdiri dari
satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi, dan satu bab penutup.
bagian ini. Selain itu juga penulis sajikan tentang alasan pemilihan judul,
S{ābūnī dalam pemikiran tafsīr al-Qur’ān. Dalam bab ini penulis membahas
penilaian atas karya dan pemikirannya, baik oleh para ulama sejawat
bidadari dalam pemikiran Islām selama ini secara umum. Bagian ini terdiri
atas tiga sub-bab, yakni: ayat-ayat al-Qur’ān tentang bidadari, tafsīr atas ayat
tentang bidadari, maka dalam bab IV, penulis membahas penafsiran bidadari
xxxii
secara khusus, yakni penafsiran dari M. ‘Alī al-S{ābūnī. Pertama-tama
S{ābūnī.
lebih lanjut.
BAB I
PENDAHULUAN
G. Latar Belakang
38
Tentang sejarah tafsīr al-Qur’a>n secara sekilas lihat misalnya dalam S}ubhi
Al-S}alih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’ān, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, cetakan ketiga, 1992), hlm. 383-395.
39
Tafsīr dalam konteks penelitian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan
oleh M. Quraish Shihab sebagai “Upaya memahami maksud firman-firman Allāh sesuai dengan
kemampuan manusia.” Lihat M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’a>n; Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 15.
xxxiii
dan sebagainya.40 Para ahli fikir menafsirkan dengan corak
40
Kitab tafsīr yang pertama ditulis adalah dari Said ibn Jubair atas perintah
Khalifah ‘Abdul Mālik. Namun pengarang kitab tafsīr terlengkap pertama adalah Abū Ja’far
Muh{ammad ibn al-Ţabari (839-32) dengan karya masyhurnya Jamī’ al-Bayān fī Tafsīr al-
Qur’ān, (Mesir: Amiriya, 1330 H). Kitab inilah yang dijuluki sebagai “ibu segala tafsīr”. Ia
merupakan cikal bakal dari tafsīr bi al- ma’s\ūr. Jejak kitab ini kemudian diikuti oleh ahli tafsīr
lain seperti Ibn Kas\ir dalam Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Az}īm; juga al-S}uyut}i dalam Al-Dūrr al-
Mans\ūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’s\ūr, Nasyr Muh}ammad Amīn (Duma’, Mu’assasah, Beirut,
t.t.). Pada perkembangan masa-masa berikutnya banyak yang mengembangkan pola tafsīr tematik
maud}u’i). Oleh karenanya kita bisa dengan mudah menemukan tafsīr-tafsīr tematik (tafsīr
maud}u’i), dimana dalam bidang ini didominasi oleh tafsīr humanistic atau antropologis. Jenis-
jenis kitab ini sangat banyak, lihat misalnya: ‘Aisyat ‘Abd al-Rahmān bint al-Syāti, Al-Maqāl fī
al-Insān, Dirāsat Qur’āniyyāt, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1968).
41
Jenis tafsīr rasional ini contohnya karya Rasyid Rid}a, Tafsīr al-Manār, (Kairo:
Dār al-Mishriyyah, t.t.). Tetapi kitab tafsīr jenis ini yang mendapatkan penilaian bagus dari para
pengamat antara lain: Mafātīh} al-Gaīb karya Imām Fakhr al-Dīn Muh}ammad ibn ‘Umār al-
Rāzī (w. 606), dan Lubāb al-Ta’wīl fī Ma’āni al-Tanzīl oleh ‘Alā al-Dīn ‘Alī ibn Muh}ammad
ibn Ibrāhīm al-Bagdadī (terkenal sebagai Tafsīr Khāzin, w. 741 H).
42
Jenis tafsīr “teologi” (alur Filsafat” lihat misalnya Imām Abī al-Qasīm Jār Allāh
Mah}mūd ibn ‘Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsary, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl , 4 volume, (Beirut: Dār al-Fikr, 1397/1977). Kitab tafsīr ini
terkenal dengan sebutan Tafsīr al-Kasysyāf tergolong unik dalam pemakaianya. Pasalnya ia
merupakan karya seorang pemikir Mu’tazilah, namun menjadi kitab rujukan utama bagi orang-
orang ahl al-sunnah wa al-jamā’ah. Tafsīr jenis ini memiliki kesan pembahasan yang sangat
mendalam sehingga sulit dipahami. Selain itu gersang dari pertunjuk yang menyentuh jiwa, serta
memiliki orientasi tinggi terhadap rasionalisme. Tafsīr lain dari jenis ini antara lain: Anwār al-
Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Baid}awi (w. 791 H), Rūh al-Ma’āni dari Al-Alūsi (w. 1270 H),
Al-Bahr al-Muh} īţ-nya Abu H{ayyan (w. 745 H), Fī Z{ilāl al-Qur’ān oleh Sayyid Qut}b
(1906-1966).
43
Termasuk dalam kelompok ini adalah para ahli h}adis\ dan semacamnya yang
sering disebut sebagai mufassir tradisional. Lihat misalnya Abu Al-Fidā’ Isma’īl Ibn Kas\īr, Tafsīr
Al-Qur’ān al-‘Az}īm, 6 jilid, (Singapura: al-Haramain, t.t.) (juga terbitan, Mesir: Maktabah an-
Nahd}ah al- H{adīs\ah, 1384); Ahmad Musţafa al-Maragī. Tafsīr al-Maragī, (Beirut: Dār al-
Fikr, 1394/1974); Syekh Muh}ammad Nawawī Banten, Marah Labīd Tafsīr Nawawī,
(Semarang: Usaha Keluarga, t.t.).
44
Tafsīr “sosio-kultural” misalnya Abdullah Yusuf Ali. The Holy Al-Qur’ān; Text,
Translation, and Commentary, Terj. Ali Audah, Al-Qur’ān Terjemahan dan Tafsirnya, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997).
45
Lihat misalnya Imām Jalāl al-Dīn al-Mah}alli, Imām Jalāl al-Dīn al-
S{uyut}ī. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Az}īm, (Semarang: Toha Putera, t.t.).
xxxiv
M. Quraish Shihab membagi corak-ragam penafsiran yang dikenal
selama ini antara lain: corak sastra bahasa, corak Filsafat dan teologi, corak
penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra
budaya kemasyarakatan.46
Dari segi kuantitas, kitab tafsīr yang muncul juga sangat banyak,
terhadap al-Qur’ān dalam bentuk kitab tafsīr seakan telah melampaui zaman
sampai di sini. Banyaknya kitab tafsīr bukan berarti al-Qur’ān sudah bisa
tidak akan pernah selesai,48 dan karena Nabi SAW sendiri tidak menafsirkan
semua ayat Al-Qur’ān.49 Maka harus terus selalu berupaya mencari dan
menggali apa yang ada dalam al-Qur’ān, baik yang tersirat maupun tersurat
xxxv
yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada
tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk
interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
masalah hukum saja, tetapi harus pula melihat segi-segi lain yang memiliki
eskatologis tidak bisa hanya berkutat pada informasi tekstual ayat tersebut.
Untuk itu harus dipilah dan dipilih antara ayat-ayat yang bersifat natural dan
sebagainya.
ayat jenis tersebut umumnya berhenti pada pemahaman yang tekstual dan
51
Jalaluddin al-S{uyut}ī. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, vol. II, hlm. 304; juga al-
Zarkasyi. al-Burhān, jl. II, hlm. 156-161.
52
Nas}r Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’ān, Kritik terhadap Ulumul Al-
Qur’ān, Terj. Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 11-13.
xxxvi
difahami sebatas informasi tekstual. Pemikirannya telah terbelenggu oleh
deskripsi dunia yang dilarikan kepada konsep alam akhirat yang dibaca dari
tafsīr.53
Salah satu tema menarik dari yang kurang dipikirkan (bahkan telah
“tidak dipikirkan” lagi) oleh umat Islām atas tema simbolik itu adalah ayat-
“h}ūr un ‘īn”,54 dan secara umum diberi makna sebagai “bidadari”. Oleh
cantik jelita,55 dan bayangan akan “sosok cantik” tersebut tentunya relatif
konsep teologis bahwa surga –yaitu bahwa bidadari menjadi salah satu
53
Fazlur Rahmān. Tema Pokok Al-Qur’ān, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung,
Pustaka, cetakan kedua, 1996), hlm. ix.
54
Ayat-ayat pokok antara lain Qs. Al-Rahmān /55:72; Al-S{āfāt:48; dan yang
memakai kata “hurun ‘in” adalah: Al-Dukhan:54; Aţ-Ţur:20; Al-Waqi’ah:22.
55
Penggambaran ini juga banyak dilakukan oleh para ulama Indonesia, lihat
misalnya esai menarik dari A. Mudjab Mahalli. Muslimah dan Bidadari, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 1996), hlm. 28-30.
xxxvii
Jika dilihat dari konteks historis dan kultural di saat masa-masa al-
awal Islām, umat Islām sedang berjuang keras untuk menyebarkan Islām dan
kemampuan, taktik, strategi demi pengakuan dunia atas Islām. Itu terjadi di
sebuah kawasan padang pasir tandus, gersang, dan sangat panas, sehingga
perjuangan itu menjadi suatu hal yang sangat melelahkan dan menguras
menghubungkan antara jihad dengan pahala yang besar di sisi Allāh, 58 dan
susu; dan tidak ketinggalan di tengah taman yang indah itu terdapat
bidadari-bidadari yang sangat cantik yang selalu siap melayani. Semua itu
56
Kalimat yang membicarakan surga dalam al-Qur’ān meliputi 174 kalimat dalam
158 ayat.
57
Kondisi padang pasir dengan alam geografisnya memunculkan watak umum
bangsa Arab yang bertemperamen keras, enggan berkompromi, dan semangat mempertashankan
diri serta rasnya secara berlebihan, serta memiliki “darah-panas” yang dominan. Kondisi ini
pulalah yang kemudian memunculkan peradaban jahiliyyah. Lihat penjelasan menarik tentang hal
ini secara menyeluruh dalam Toshihiko Izutsu. Etika Beragama dalam Al-Qur’ān, Terj.
Mansuruddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 43-56, 78-110. Lihat juga Muhammad
Sholikhin, Karakter Manusia Beriman (Teori dan Aplikasi “Al-Iman” menurut Al-Qur’ān),
(Semarang: Paguyuban Pengajian ‘Arafah, Februari 2003), hlm. 42-51.
58
Konsep jihad dalam segala bentuknya disebutkan sebanyak 41 dalam al-Qur’ān.
59
Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī, S{afwah al-Tafāsīr, (Beirut: Dār al-Fikr,
cetakan I, 1416 H/1996 M), jl. III, hlm. 280-284.
xxxviii
deskripsi bidadari yang ada dalam benak umum masyarakat Islām adalah
Pemahaman seperti ini tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sebab
‘īn).61 Kata zawwaja merupakan kata yang memiliki lebih dari satu makna.
zawwajnahum bi h}ūr in ‘īn, di mana zawwaja berasal dari kata zauj dalam
makna qarīn yang berarti “Aku jadikan teman bagi mereka” sebagaimana
xxxix
aneka ragam “kenikmatan” yang sangat memuaskan dan membahagiakan
mereka.
merupakan simbol dari nikmat tambahan atas pahala bagi orang-orang yang
perawan yang cantik jelita, tanpa tanding, yang akan melayani para
penghuni surga sebagai salah satu balasan akan amal baiknya. Pemahaman
banyak tafsir yang ada, selanjutnya mencari arti esensialnya dari adanya
xl
konsep substansinya bahwa hakekat akhirat tidak bisa ditangkap oleh panca
indera dan nalar manusia, sehingga semua berita keakhiratan harus diterima
secara hakiki sebagai sosok perempuan cantik jelita yang siap melayani
setiap saat, bagi orang yang berada di surga, dan siap memenuhi kebutuhan
biologis manusia di sana. Dalam arti bidadari tidak bisa hanya digambarkan
sebagian besar cukup kontroversial dari segi hasil penafsiran dan dari segi
H. Pokok Masalah
bahwa konsepsi mengenai bidadari menjadi salah satu konsep kunci tentang
xli
Jelasnya setelah mendeskripsikan tentang pengertian dan
konsep “bidadari”, baik yang dikemukakan olah para ahli tafsīr dalam karya
pemikiran bidadari.
J. Metode Penelitian
xlii
Dari permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, maka penulis
dalam penulisan ini, maka studi ini dilakukan berdasar pada studi
pengamatan atas bahan tertulis yang diperoleh dari perpustakaan dan bahan-
unsur pengumpulan data primer terlebih dahulu, lalu ditunjang dengan data
sekunder,64 karena realitas yang dipelajari dalam studi ini adalah berupa
bidadari di surga itu bersifat fisik sebagai wanita cantik jelita dan siap selalu
melayani orang shaleh di akhirat, dan dipusatkan pada hasil penafsiran dari
tafsīr al-Qur’ān dan h}adīs\, dan pandangan para ulama umumnya yang
64
Moh. Nazir. Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 63..
xliii
relevansi dengan studi ini, seperti kitab-kitab fiqih, teologi, sastra dan
sebagainya.
historis, dan semantik. Sifat pendekatan itu saling melengkapi dalam analisis
dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema
Qur’ān yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat
al-Qur’ān dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
65
Tentang pendekatan terakhir lihat Abdul Ghaffur. Metode Penelitian
Perbandingan Agama, (Jombang: Darul ‘Ulūm, 1997), hlm. 63.
66
Tentang pendekatan-pendekatan tersebut lihat Gorys Keraf. Argumentasi dan
Narasi, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 43, 57.; juga bandingkan dengan Chris Bekker,
Metodologi Penelitian Fīlsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 43.
xliv
kemudian menjelaskan Pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk al-Qur’ān secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. 67
Metode tafsīr maud}ū’ī yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dalam
K. Kajian Pustaka
penulis, sampai saat ini belum banyak dilakukan orang. Demikian pula
Judul buku tersebut sebenarnya hanya merupakan salah satu bab dari
keseluruhan buku, yang merupakan hasil dari berbagai tulisan serta ceramah
oleh A. Mujab Mahalli tersebut, barulah sebatas kajian awal yang mewakili
merupakan balasan atau pahala atas amal baik seorang muslim. Wujud
sebagian bentuk dari pahala atas kebaikan tersebut adalah wanita cantik
67
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 74.
68
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cetakan
pertama, 1996).
xlv
jelita yang mendampinginya di surga. Dalam hal ini persepsi bidadari
taat, juga akan bisa menjadi bidadari di surga kelak. Jadi bidadari yang
merupakan wanita cantik tersebut memang ada yang tersedia dari surga, dan
ada juga yang berasal dari wanita muslimah dunia, yang kemudian
tema bidadari, yang ditulis oleh Abu M. Jamal Ismail dengan judul asli
tentang sifat-sifat bidadari, baik yang diambil dari penafsiran tekstual atas
69
A. Mujab Mahalli, Muslimah dan Bidadari., hlm. 30.
70
Ibid., hlm. 29.
71
Abu M. Jamal Isma’īl, Imtā’u al-Sāmi’īn bi Aushāf al-H{ūr al’Īn, Dar Ulum al-
Qur’ān, Kairo, 1994.
72
Abu M. Jamal Isma’īl. Bertemu Bidadari di Surga, Terj. Abdul Mukti Ţabarani,
(Jakarta: Gema Insani Press, cetekan Kedua, 1423/2002).
xlvi
penghuni surga, bahkan sebagian isinya lebih bersifat mitos daripada
Abdullah.73 Akan tetapi setelah membuka buku tersebut, tidak ada sama
penggambaran atas seorang isteri yang s}ālihah, cantik, dan taat kepada
dan penjelasan mengenai bidadari (h}ūrun ‘īn) adalah karya Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah yang bertitel asli Hādy al-Arwāh} ilā Bilād al-Afrāh}. Kitab
xlvii
Karya Ibnu Qayyim ini memang terhitung lengkap dibanding buku
lain yang menyajikan informasi tentang bidadari, akan tetapi informasi yang
secara mendetail dan jelas, bahkan informasi yang ada bercampur aduk
antara tafsīr, kisah dan mitos. Tentu juga dari sudut pandang akademis, karya
tersebut belum bisa dibilang sebagai karya yang final, terutama tentang ayat-
ayat bidadari.
yang ada dalam karya-karya tentang bidadari yang sudah ada, sehingga
L. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disajikan dalam lima bab pembahasan, yaitu: terdiri dari
satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi, dan satu bab penutup.
xlviii
bagian ini. Selain itu juga penulis sajikan tentang alasan pemilihan judul,
S{ābūnī dalam pemikiran tafsīr al-Qur’ān. Dalam bab ini penulis membahas
penilaian atas karya dan pemikirannya, baik oleh para ulama sejawat
bidadari dalam pemikiran Islām selama ini secara umum. Bagian ini terdiri
atas tiga sub-bab, yakni: ayat-ayat al-Qur’ān tentang bidadari, tafsīr atas ayat
tentang bidadari, maka dalam bab IV, penulis membahas penafsiran bidadari
xlix
akhirat bagi orang yang beriaman, sebagaimana perspektif M. ‘Alī al-
S{ābūnī.
lebih lanjut.
BAB II
Makkah.
adalah seorang ‘ulamā’ yang memiliki banyak pengetahuan, yang salah satu
75
Lebih tepatnya adalah mufassir kekinian, atau al-mufassir al-khalaf, penafsir
kontemporer.
l
yang cukup lama.76 Dalam menuangkan pemikirannya, al-S{ābūnī tidak
kualitas dari sebuah karya ilmiah, untuk mendekati kesempurnaan dan segi
dianggap memiliki bobot yang utama bagi seorang pemikir baru, serta
dianggap tidak hanya penting bagi ummat Islām secara umum, namun juga
min al-Qur`ān dan lebih dikenal dengan tafsīr ayat ahkām, menurut al-
Khayyāt} merupakan kitab yang paling baik dalam masalah tafsīr terhadap
pola lama dari segi kekayaan materi pembahasannya dan padat materinya,
dan menempuh pola baru dari segi metodenya, sistematika, dan gaya
al-Qur`ān dari pihak lain (Orientalis dan para pemikir sekuler). Susunan
76
Pengantar (taqdīm) Syekh ‘Abdullāh al-Khayyāţ untuk Muhammad ‘Alī al-
S{ābūnī, Rawā-i’ al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām min al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), juz I,
hlm. 4.
77
Ibid., hlm. 4.
78
Ibid., h.4.
li
tafsīrnya jelas dan terang dalam hal menetapkan peristiwa keislāman serta
Salah satu contoh dalam hal ini adalah mengenai perkawinan Nabi yang
oleh sementara ‘ulamā’ modern dan oleh Orientalis dipandang sebagai hal
ditinjau dari sepuluh (10) segi pembahasan. Sepuluh segi pembahasan yang
2. Arti global bagi ayat-ayat yang mulia dengan bentuk cetusan (tanpa
sumber pengambilan).
79
Lihat Rawā-i’ al-Bayān, juz II, hlm. 244-274.
80
Ibid., hlm. 303-316.
81
Lihat lebih jauh dalam Muqaddimah M. ‘Alī al-S{ābūnī untuk kitabnya Rawā-i’
al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām Min al-Qur`ān, juz. 1, hlm. 8.
lii
3. Sabab al-nuzu>l, jika ayat-ayat tersebut memang ada Sabab al-
nuzu>l nya.
yang berikutnya.
6. Pembahasan dari segi i’rāb (Nahwu dan S{araf) dengan cara yang
ringkas.
oleh al-S{ābūnī dalam karya pertamanya yakni Tafsīr āyāt al-Ahkām, namun
sistematika yang sepuluh tersebut selain dari kitab Tafsīr āyāt al-Ahkām,
kitab Tafsīr Āyāt Ahkām, yang digunakan secara rinci dan menyeluruh, di
liii
Selain itu, karya-karya al-S{ābūnī selalu kaya dengan rujukan dan
memiliki corak atau mewakili aliran salaf, dan secara umum tidak jauh
berbeda dengan para ‘ulamā’ Timur Tengah pada umumnya. Hanya saja
dalam memahami hal-hal yang ghaiblah yang agak sedikit berbeda, yang
dalam hal ini al-S{ābūnī melihat janji-janji akhirat sebagai sesuatu yang
lahir maupun batin. Bagi al-S{ābūnī hal itu bukan semata sosok perempuan
tetapi itu hanya bentuk simbolis bagi pahala keni’matan yang tiada tara untuk
manusia beriman. Jadi belum tentu bentuknya persis seperti itu. Maka
Allāh.82
liv
salaf, sekaligus mengambil pola dan metode baru yang berkembang di dunia
Islām. Lebih dari itu, al-S{ābūnī juga menggunakan perangkat ilmu-ilmu lain
Sampai saat ini (ketika skripsi ini dibuat) karya-karya utama M. ‘Alī al-
S{ābūnī –di samping puluhan karya lain yang kurang dikenal masyarakat-
Kitab ini merupakan ringkasan atas kitab tafsīr karya dari Ibnu Kaŝir.
metode maud}u’i. Dari upaya inilah, ummat Islām dapat membaca tafsīr
Ibnu Kaŝir secara mudah, ringkas, dan menyeluruh dari segi substansinya.
Kitab ini berupa tafsīr maudu’i atas ayat-ayat hukum dari al-Qur`ān.
Dalam arti dari kitab inilah kaum muslim dapat mengambil rujukan
keseluruhan.
lv
Karya ini menjadi momentum bagi kepakaran al-S{ābūnī di bidang tafsīr
al-Qur`ān, dan sampai saat ini menjadi master piece-nya setelah S{afwah
al-Tafāsīr .
Kitab ini terdiri atas dua juz yang menghimpun khusus ayat-ayat hukum,
sistematika lama dan baru yang sampai sekarang kitab ini menjadi rujukan
sejumlah karya ilmiah, namun baru setelah karya inilah nama al-S{ābūnī
83
Terdiri atas 9 bab, 239 halaman. Lihat Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī, al-Tibyān fī
‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: ‘Alīm al-Kutub, 1985/1405).
lvi
Ini adalah karya mutakhir dari al-S{ābūnī, yang sampai saat ini menjadi
Kitab tafsīr ini disusun dengan us}lub yang mudah namun tetap ilmiah,
dan dengan struktrur yang mudah, namun tetap mengacu pada pola
Kitab ini terbit pertama kali untuk umum tahun 1996/1416 oleh penerbit
Dār al-Fikr Beirut-Lebanon,85 yang terdiri atas tiga jilid tebal (jilid pertama
terdiri atas 568 halaman, jilid kedua 552 halaman, dan jilid ketiga 607).
cukup lama, serta pendalaman dan diskusi ilmiah serta diskusi publik yang
matang. Sebelum kitab ini diterbitkan untuk umum pada tahun 1996, naskah
84
Dalam edisi yang diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-Islāmiyah : Jakarta, 1999
berjudul S{afwah al-Tafāsīr Tafsīr al-Qur`ān al-‘Az}īm.
85
Pada terbitan pertama ini, kehadiran kitab ini mendapatkan sambutan dari tujuh
tokoh ‘ulamā’ terkemuka Timur Tengah, masing-masing: Dr. ‘Abd al-H{alim Mah}mūd
(Rektor Universitas Al-Azhar Mesir), Syekh ‘Abdullāh ibn H{amīd (Kerpala Majlis Hakim
Tinggi dan Kepala Umum Jawatan urusan Agama Masjid al-H{arām), Syekh Abi al-Hasan ‘Alī al-
H{asani al-Nadwi (Kepala Persatuan ‘ulamā’ Asia), Dr. ‘Abdullāh ‘Umar Nas}īf (Mudir
Kerajaan Arab Saudi), Dr. Rasyīd ibn Rajīh (Dekan Fakultas Syari’ah), Syekh ‘Abdullāh
Khayyāt} (Khatuib Masjid al-H{arām Makkah), dan Syekh Muhammad Al-Gazalī (Kepala
Bidang Dakwah dan Ushul al-Dīn Fakultas Syari’ah). Untuk tanggapan-tanggapan atas kitab
S{afwah al-Tafāsīr ini akan dibahas pada sub-bab B di bawah.
lvii
kitab ini sudah diterbitkan untuk kalangan terbatas dan sebagai bahan kuliah
di Universitas Makkah.
kalangan ‘ulamā’ masjid al-H{arām, yang diberi kata sambutan oleh Syekh
kalangan ‘ulamā’.
‘Alī al- H{asani al-Nadwi, Rasyīd ibn Rajīh, dan Syekh Dr. Muhammad al-
an tahun.
lviii
Dalam menyusun tafsīrnya ini, al-S{ābūnī menggunakan metode yang
digunakannya dalam karya terdahulu. Metode khusus dalam tafsīr ini meliputi
terkandung di dalamnya.
yang mengikutinya.
yang menguatkannya.
5. Langkah penafsiran.
6. Segi-segi balaghah.
sebagai berikut:
c. Kajian secara lughawi dari kata-kata sulit atau baru, yang belum
lix
d. Langkah menafsirkan dari ayat ke ayat dalam satu tema, di mana sejumlah
f. Menyebutkan faedah dari suatu surat yang terdapat pada bagian akhir
besar, yang bagi ummat Islām dunia sudah tidak asing lagi. Jadi nampak
samping sistematika yang sudah disebutkan tadi adalah, bahwa terdapat garis
yang dilakukan al-S{ābūnī, dan itu tidak terlepas dari tafsīr yang
diberikannya kemudian.
lx
adalah memberikan dedikasi bagi ‘ulamā’ terdahulu, dan sekaligus untuk
memberi penjelasan langsung bahwa tafsīr ini oleh penulisnya dianggap telah
zamannya.88
memiliki pemahaman yang hampir sempurna dalam seluk beluk tafsīr al-
kitab tersebut didapatkan perpaduan harmonis antara ilmu tafsīr dan sejarah.89
87
Ibid., hlm. 4.
88
Ibid..
89
Ibid., hlm. 5.
lxi
Syekh ‘Abdullāh ibn H{amīd menilai bahwa kitab S{afwah al-
Tafāsīr merupakan kitab yang “tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk
dengan bahasa indah, dan dengan penjelasan yang tidak terbantah. Hubungan
antar ayatnya jelas, dan diperjelas dengan Sabāb nuzul ayat. Penafsirannya
yang memukau.91
bahkan menyatakan bahwa belum ada tafsīr yang menyamai S{afwah al-
90
Ibid., hlm. 6.
91
Ibid .
92
Ibid., hlm. 7.
lxii
ia merupakan orang yang telah mampu merepresentasikan dirinya dalam
tafsīr inilah, maka telah berhasil cita-cita banyak ‘ulamā’ Islām untuk
dunia Islām. Dengan itu maka ia sanggup memberikan sumbangan bagi para
‘ulamā’ dan pencari ilmu sampai pada satu titik temu (makna al-Qur`ān).93
Rasyīd ibn Rajīh dan Syekh ‘Abdullāh Khayyāt} juga menilai seperti
ibarat yang mudah. Dalam hal ini, kitab ini pantas dinobatkan sebagai kitab
memberikan perspektif baru dan pencerahan yang sangat berarti, sebab tafsīr
samping kemampuannya yang sangat ideal memadukan antara yang salaf dan
93
Ibid., hlm. 8.
94
Ibid., hlm. 9-10.
lxiii
khalaf, dan di dalamnya terdapat hampir semua penjelasan yang manqūl serta
yang ma’qūl.95
Oleh karena itu wajar juga jika seorang ‘ulamā’ kharismatik dan sangat
masyarakat muslim ini, yaitu orang-orang yang berani berkata benar dan
BAB IV
TAFSĪR TENTANG “BIDADARI”
MENURUT M. ‘ALĪ AL-S{ĀBŪNĪ
95
Ibid., hlm. 11.
96
Syekh ‘Abdullāh al-Khayyāţ, dalam kata sambutan pada kitab Rawā-i’ Al-Bayān, jl.
I, hlm. 5
lxiv
D. Alur Penafsiran M. ‘Alī al-S{ābūnī tentang Bidadari dalam
S{afwah al-Tafāsīr
ini ditempuh melalui dua cara, yakni, alur penafsiran sesuai dengan urutan
ayat serta surat dalam al-Qur`ān mengenai bidadari, dan kemudian baru alur
penafsirannya.
surga berkaitan dengan pemberian kabar gembira kepada orang yang beriman
buah-buahan; dan bagi setiap dari mereka tersedia “azwāj” yang suci; serta
awal dari perspektif lugawi kata azwāj ini. Menurut al-S{ābūnī, kata azwāj
yang merupakan jamak dari zauj adalah kata yang dipakai baik untuk laki-
97
Qs. Al-Baqarah/2:25.
98
Lihat misalnya Lembaga Penjelenggara Penerdjemah Kitab Sutji Al-Quraan. Al-
Quraan dan Terdjemahnja, (Jakarta: percetakan Jamunu, 1965), h.12.
lxv
laki-laki adalah pasangan perempuan.99 Maka dengan demikian berarti, bagi
akan pasangan lawan jenis sebagai balasan amal s}ālih bagi orang beriman
azwāj, al- S{ābūnī tidak seperti penafsir lain yang mengartikannya sebagai
suci dari h}aid} atau kotoran keperempuanan lain,100 akan tetapi al-S{ābūnī
maknawiyyah.101
dijadikan lebih cantik dibanding bidadari. Hal ini –menurut para mufassir
klasik- sesuai dengan makna yang dimaksud oleh firman Allāh pada Qs. al-
Wāqi’ah:35-37.102
99
M. Ali al-S{abuni, S{afwah al-Tafāsīr , jl. I, hlm. 34.
100
Lihat misalnya Jalaluddin al-Suyut}i dan Jaluluddin al-Mah}alli, Op. Cit., hlm.
5.
101
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 36.
102
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-
Wāqi’ah: 35-37).
lxvi
Hanya saja akomodasi penafsiran yang mengarah pada kata zauj sebagai
penafsiran atas Qs. Al-Baqarah:35, di mana kalimat “yā Ādamu uskun anta
S{ābūnī menyebutkan sosok bidadari, bahwa lebar dan bulatnya mata serta
rupanya yang elok ditentukan dengan bentuk mata yang paling bagus.107
103
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 42.
104
Ibid., jl. III, hlm. 30 berdasarkan penafsiran atas Qs. Al-S{āffāt:48.
105
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (Qs.S{ād: 52).
106
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 56.
107
Ibid., hlm. 30.
108
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air; mereka memakai sutera
yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan
kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman
(dari segala kekhawatiran). (Qs. Al-Dukhān:51-55).
lxvii
akramnāhum bi anwā’i al-ikrām, wa zawwajnāhum aid}an bi al-h}ūr al-
berbagai macam kemulian, dan kami pasangkan pula kepada mereka teman
sehingga kemudian diberi balasan yang serba mulia, yang salah satunya
berupa taman dengan sungai-sungai adalah sesuatu yang sangat indah serta
yang bisa menghilangkan kesusahan atau beban hati, yaitu air, hijau-hijauan
menafsirkan h}ūr di sini sebagai wajah yang menawan, yang bersifat netral
kelamin.
109
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 165.
110
Ibid, jl. III, hlm. 165
lxviii
Sehingga ketika menafsirkan kalimat wazawwajnāhum bih}ūrin ‘īn
yang elok dari bidadari. Mereka adalah wanita-wanita yang matanya terlihat
putihnya warna mata serta lebar dan bulatnya mata adalah puncak kecantikan
dan kejelitaan.111
bahwa para bidadari di surga di pingit di dalam rumah kediaman, dan mereka
tidak pernah keluar rumah karena keagungan dan kemuliannya. Para bidadari
itu hanya diam di perkemahan mutiara. 112 Ciri ini disandangkan kepada para
mulia.113
“tersimpan” ini ke konteks wanita dunia, bahwa para wanita dipuji dengan
pujian yang agung dan mulia seperti di atas, karena keberdiam-dirian mereka
mulia dan terpuji ini dibawa membumi sebagai sifat dasar wanita mukminah.
111
Ibid., hlm. 246.
112
Ibid., hlm. 283.
113
Ibid., hlm. 282 berdasarkan Qs. Al-Rah}mān : 70.
114
Ibid., hlm. 283.
lxix
perumpamaan. Bahwa di dalam taman surga terdapat wanita yang hanya
pingitan.115
bagi suaminya, yang tidak beralih kepada orang mukmin lain. Kedua, wanita
Inilah nampaknya tafsīr membumi dari kata qās}irāt al-t}arfi menurut al-
S{ābūnī.
belum pernah tersentuh sama sekali atau bersenggama oleh siapapun baik jin
jernihnya itu belum pernah terjamah oleh apa dan siapapun. 116
diacu dari pendirian al-Alūsi yang mengatakan bahwa makna al-ţamŝ adalah
keluarnya darah, sehingga orang yang haidh disebut ţamaŝu. Istilah ini lalu
darah akan terkeluarkan. Kemudian juga bisa dipakai untuk segala macam
lxx
Keperawanann yang disandang oleh bidadari surga, menurut al-
S{ābūnī, sepadan dengan usianya yang rata-rata remaja, dengan sikap yang
sesuai tugasnya. Dan bidadari tersebut tidak pernah mati, serta dalam keadaan
selalu muda.118 Namun usia yang selalu muda itu, bukan sekedar kemudaan
sebagaimana layaknya manusia, tetapi usia muda yang sudah berada dalam
ditandai dengan bentuk fisik tubuhnya, dengan ciri payudara yang padat
menyenangkan.
itu, seiring dengan proses penciptaan bidadari yang bersifat “baru” (dalam
arti belum pernah terjadi penciptaannya, dan belum pernah ada bentuk
sedang maksud pasangan yang baru adalah pasangan bagi yang tidak bersama
pasangannya dari dunia, atau yang sudah beserta pasangan dari dunia yang
118
Ibid., hlm. 289, tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:17.
119
Ibid., hlm. 485 tafsīr atas Qs. An-Naba’:33.
120
Ibid., hlm. 291. Untuk pembahasan proses penciptaan bidadari menurut al-S{ābūnī
lihat pada pembahasan lebih lanjut di bawah pada bab ini.
lxxi
berfungsi sebagai permaisuri/raja, kemudian mendapatkan nikmat tambahan
a. rizki yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jisim (fisik)
b. kemuliaan yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jiwa (psikis)
mendapatkannya, dan
f. kepuasan lahir batin yang sangat luar biasa yaitu yang berupa
penjelasan Allāh atas ayat yang masih global yang dalam disiplin ilmu al-
1. Globlalitas konsep rizqun ma’lūm yang dijelaskan oleh Allāh dalam ayat
buah-buahan.
121
Ibid, jl. I, hlm. 30.
122
Ibid., jl. III, hlm. 29.
lxxii
Semua jenis perincian yang menyangkut bentuk kesenangan dan
simbolitas bidadari, sebagai simbol atas balasan Allāh di akhirat atas amal
baik manusia di dunia. Dan ini berlaku dengan simbol-simbol lain seperti
taman yang indah dan sejuk, aneka ragam minuman dan buah-buahan,
bahwa al- S{ābūnī berada dalam dua posisi sekaligus; pertama posisi sebagai
penafsir mandiri, yang berbeda orientasi dengan mufassir lain. Ini nampak
dari upaya penafsirannya yang tidak hanya sekedar simbolis dan harfiyah,
bukan merupakan hal yang harus difahami secara fisikal begitu saja, sebab
hanya sebagai salah satu simbol pembalasan amal, namun terkadang juga
lxxiii
berfikir mufasir sebelumnya, yang masih didominasi dengan penafsiran yang
bidadari; apakah hanya sekedar simbolitas bagi balasan amal, atau memang
bidadari itu betul-betul merupakan sosok fisik wanita elok sebagai ganjaran
bagi orang beriman? Namun hal ini telah dijawab juga dengan ungkapannya
bahwa konsep h}ūrun ‘īn sebenarnya bersifat netral kelamin, berlaku bagi
mengungkapkan makna dibalik simbol yang diberikan oleh al-Qur`ān. Hal ini
tentu sangat tepat dilakukan dalam memaknai h}ūrun ‘īn sebagai bagian
dari konsep surga, sebab di surga itu, sebagaimana sabda Nabi beserta
123
Abu Zakariya Yahya al-Nawawī. Riyadh al-s}ālihin, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.),
hlm. 703.
lxxiv
1. Penciptaan Bidadari
secara luas, dan juga tidak menyampaikan pemikirannya secara rinci, kecuali
sedikit yang diambil dari riwayat Ibn Abbas dan h}adīs\ Ummu Salāmah,
bersifat “baru”, sehingga masih asing bagi makhluk yang berasal dari dunia.
lxxv
menciptakan mereka sebagai makhluk baru yang sangat cantik tidak seperti di
dunianya. Di surga nanti, walau ketika di dunia telah menjadi seorang nenek-
nenek, ia akan kembali menjadi muda, serta tidak memiliki cacat dalam
rupanya, ia akan berubah menjadi gadis yang cantik mempesona. 127 Dengan
usia, ompong dan kempot (tidak punya gigi lagi) akan dijadikan oleh Allāh
oleh Allāh akan dijadikan perawan, hanya kembali mencintai suaminya, serta
yang seperti ini, tidak bisa dikaitkan dengan penafsirannya yang memberikan
terkenal yang berasal dari Ummu Salāmah, bahwa ketika Nabi ditanya
dunia yang di saat kematiannya mereka dalam keadaan lanjut usia, kempot,
127
Ibid., hlm. 291.
128
Ibid.
129
Ibid.
lxxvi
ompong dan bungkuk, yang dijadikan Allāh kembali dalam usia yang
sama.”130
tangisan seorang wanita tua, ketika Rasūlullāh menyatakan bahwa orang yang
sudah tua tidak bisa masuk surga. Wanita tersebut memangis karena merasa
peluangnya masuk surga tidak ada karena usianya yang sudah tua. Lalu nabi
pun memberitahukan bahwa ia nanti akan masuk surga bukan dalam keadaan
lanjut usia, karena Allāh telah berjanji bahwa para wanita akan dijadikan
hanya menyangkut bidadari yang berasal dari wanita s}ālihah dunia, tidak
termasuk bidadari yang khusus dicipta di surga. Memang sejauh informasi al-
mengenai penciptaan bidadari yang tidak berasal dari wanita dunia. Dengan
diperuntukkan bagi para wali Allāh, yang disediakan pengantin yang tidak
pernah dilahirkan oleh Adam dan Hawwa'.132 Sehinga karena bahan baku dari
lxxvii
semua telah bersiap menunggu suami-suaminya di pintu surga.133 Demikian
khusus pula.
dengan bidadari surga. Dalam al-Qur`ān, terdapat dua ayat pokok mengenai
pelayan surga, satu ayat disebutkan secara mandiri, tidak memiliki rangkaian
ayat dengan penyebutan bidadari, dan satu ayat lainnya disebutkan dengan
133
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 343-345.
lxxviii
akar katanya, mukhalladūn memiliki dua arti, namun tetap mempunyai muara
makna yang sama. Pertama berasal dari kata al-khuld yang artinya baka atau
abadi, kekal, tidak mati selama-lamanya.134 Dan kedua dari kata al-khildah
dengan jamak khilādun berarti orang yang mengenakan anting dan gelang. Ini
(laqab) “mukhalladūn” dikenakan bagi orang yang lanjut usia tetapi tidak
kemudaannya.136
Ayat tentang pelayan surga yang berdiri sendiri adalah Qs. Al-Insan:19:
134
Firuzabadī, Op. Cit., hlm. 376.
135
Ibnu Qayyim, Op. Cit. hlm. 308.
136
Mushţafa Bisyri, Op. Cit., hlm. 313.
lxxix
Terhadap ayat tersebut al-S{ābūnī menafsirkannya “terhadap mereka
selalu didampingi pelayan yang berkhidmat yang terdiri atas anak-anak muda
di sekelilingnya, mereka tidak pernah mati dan tidak pernah berubah.” 137 Sifat
utama para pelayan surga itu adalah: terdiri atas anak-anak muda, selalu
keadaan kemudaannya, belum pernah terjamah atau tersentuh oleh apa dan
oleh Ibnu Qayyim, bahwa ada dua hikmah besar mengapa pelayan surga
137
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 289.
138
Bandingkan dengan Ibid., hlm. 470.
139
Ibid.
140
Ibid.
lxxx
surga tidak pernah menganggur. Mereka mondar-mandir di surga dalam
Kedua, bahwa mutiara yang disebar di atas permadani dari emas dan sutra itu
dalam masalah ini, terdapat dua pendapat: pertama, bahwa para pelayan surga
diciptakan dari anak-anak muslim dunia yang meninggal dalam keadaan tidak
surga tidak ada proses kelahiran. Selain itu juga berasal dari anak-anak yang
meninggal dunia di masa kecil. Pendapat kedua adalah, bahwa para pelayan
bidadari dengan pelayan surga. Pelayan surga adalah terdiri atas anak-anak
muda yang diciptakan di surga yang berfungsi bagi pelayan penghuni surga,
bahwa mereka diciptakan khusus di surga, dan belum pernah tersentuh oleh
141
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 309.
142
Ibid., hlm. 310-311.
lxxxi
Dalam menjelaskan sifat-sifat atau ciri-ciri bidadari di surga, al-
maupun maknawiyah. Dalam hal ini, al-S{ābūnī juga mengutip ‘ulamā’ lain
yang menyebutkan bahwa bidadari disucikan dari kotoran haid, nifas, buang
bidadari.143 Sehingga yang dimaksud suci dari haid, nifas dan kotoran
kewanitaan lain adalah bidadari yang berasal dari wanita mukminah dunia.
Secara tidak langsung, al-S{ābūnī menekankan bahwa ada dua jenis bidadari
di surga, yaitu: bidadari yang berasal dari dunia, yang menjadi pasangan
suaminya dari dunia juga, jika sama-sama beriman; dan bidadari dan bidadara
b. Diciptakan abadi
alam akhirat. Menurut al-S{ābūnī, keabadian inilah yang menjadi salah satu
pasangannya berada dalam tempat yang aman dan bersanding hidup dengan
143
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, h.36.
lxxxii
pasangan-pasangannya dalam buaian keabadian yang tiada pernah putus.144
merupakan keabadian yang mutlak, tanpa batas waktu lagi, atau tiada dimensi
dan kemuliaannya, dalam kemah yang terbuat dari mutiara yang memang
disediakan untuk mereka. Mereka membatasi diri hanya dalam ruangan yang
yang memiliki akhlak yang sangat mulia di samping rupanya yang sangat
cantik.146 Jadi makna khairātun h}isān, memiliki dua dimenasi; wajah yang
144
Ibid., hlm.36.
145
Ibid., jl. III, hlm. 283.
146
Ibid.
147
Ibid., hlm. 282.
lxxxiii
f. Belum pernah tersentuh, terjamah, dan tersenggamai oleh siapapun
yang sejati. Belum pernah ada seseorangpun yang pernah manjamah dan
maupun jin. Mereka betul-betul perawan yang sejati (ting-ting).148 Hanya saja
nampaknya sifat ini dikenakan pada bidadari yang dicipta khusus di surga,
menilik pernyataan bahwa belum pernah tersentuh oleh makhluk. Jika wanita
walā jānn sebanyak dua kali dalam Qs. Al-Rah}mān ini, pertama ditujukan
bagi kelompok al-sābiqūn, dan yang kedua bagi kelompok as}h}āb al-
148
Ibid.
149
Ibid., hlm. 283-284.
lxxxiv
sampai-sampai tembus pandang.150 Mengutip Qatadah, al-S{ābūnī
marjān. Segala sesuatu yang dimasukkan dalam yāqūt , pasti akan dapat
Menurut al- al-S{ābūnī, bidadari di surga berada di atas dipan atau ranjang
yang tinggi, empuk, dan nyaman. Hal ini didasarkan pada h}adīs\ riwayat
Hakim yang menyatakan bahwa tingginya dipan itu seperti tingginya langit
tahun.152 Namun bukan berati bahwa untuk mencapainya sulit. Mengutip al-
Alūsi, al-S{ābūnī menyatakan bahwa jika seseorang ingin naik turun dipan,
maka dengan sendirinya dipan tersebut akan menyesuaikan diri. Jika seorang
mukmin ingin naik, maka dipan tersebut akan turun, kemudian setelah orang
makhluk yang sama sekali baru dalam penciptaan, lagipula bersifat unik.
150
Ibid.
151
Ibid.
152
Ibid., hlm. 291.
153
Ibid.
lxxxv
biasa. Keelokan dan keanehan penciptaan itu terjadi, karena memang berbeda
Sifat abkāra, oleh al-S{ābūnī diberi makna tafsīr sebagai perawan ting-ting
menggebu-gebu.
dan sama dengan pasangannya, yaitu berusia 33 tahun,157 sebuah usia puncak
154
Ibid.
155
Ibid.
156
Ibid.
157
Ibid.
158
Ibid., hlm. 290.
lxxxvi
mutiara yang tersimpan di tengah lautan yang belum pernah tersentuh oleh
tangan.159
dari ka’ib yang memiliki arti dasar gadis perawan yang menonjol (keluar
bahwa bidadari dalam ayat ini adalah bidadari yang berasal dari wanita
159
Ibid.
160
Ibid., hlm. 485.
161
Ibid., hlm. 291.
162
Ibid., hlm. 153.
lxxxvii
masuk surga. Dan di dalam surga, mereka bersenang-senang sebagai suami
Bidadari di surga, baik yang dari wanita mukminah di dunia, maupun yang
(sehingga digelari h}ūrun ‘īn), sebagai deskripsi puncak tentang sosok yang
dan amal perbuatan manusia, ada baiknya jika penulis kemukakan gambaran
174, adapun yang berkaitan dengan kata dasar jannah berjumlah 159.
lxxxviii
oleh umat Islām untuk menerjemahkan kata jannah dalam bahasa Arab, yang
arti harfiahnya adalah kebun, atau taman yang penuh keindahan,165 sebagai
Dalam Qs. Ali Imran/3;15 Allāh melukiskan, bahwa surga terdiri dari
hidup (suami atau isteri) yang disucikan dan diridhai Allāh. Sifat
perak, kendaraan pilihan, binatang ternak maupun segala hewan piaraan serta
kembali manusia yang terbaik. Bagi penghuninya disediakan mata air banyak
sejahtera dari semua kesalahan lagi aman dari kematian serta dari hilangnya
merasa bersaudara dengan saling mencintai dan saling memuliakan, tidak ada
165
al-Marbawī, Op. Cit., hlm. 110.
166
Qs. Al-Hijr/15;43-48; lihat Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī. S}afwah al-Tafāsīr
Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzim, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 1999/1420), jl. II, h.112.
lxxxix
mematuhinya untuk tidak bermegah-megahan. Dan ini adalah sebagai
penghargaan atas iman dan amal s}ālih} mereka (Qs. Al-H{ajj /22;23).
baik rasa dan baunya. Jenisnya sangat variatif, ada sungai-sungai air susu,
sungai arak yang lezat dan tidak beralkohol, sungai-sungai madu yang
disaring, dan juga disediakan segala kebutuhan dan keinginan akan buah-
27;15).
s}ālih}, yang tidak pernah tersentuh oleh neraka, 167 yang disebut sebagai
Para penghuni surga itu disucikan dari segala dosa, segala keinginan
sedap rasanya sesuai keinginan surgawi dalam piala-piala yang indah yang
dibawakan oleh para bidadari yang “jinak” (Qs. Al-S}āfāt /37; 40-49, 60-
xc
beriman, dan masing-masing tak ada yang pahalanya berkurang (walaupun
bagi keluarganya yang lain –Qs. Al-T{ūr /52;21). Dan tentu saja kebahagiaan
Surga diciptakan oleh Allāh tidak hanya satu jenis. Sejauh pernyataan
harfiyah al-Qur`ān, surga berjumlah empat. Empat surga itu pun oleh Allāh
pohon-pohonan serta buah-buahan, memiliki dua mata air, segala buah dan
63).169
Kedua, surga berwarna hijau yang memiliki dua mata air yang
dihiasi dengan bidadari yang baik dan cantik jelita yang dipingit dalam ruang-
ruang khusus, serta belum pernah tersentuh, dengan kesucian abadi, mereka
Semua ini tidak lain adalah menunjukkan keagungan Allāh (Qs. Al-
Rah}mān / 55; 64-78). Nampaknya surga kedua inilah yang lebih realistis,
169
Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hlm. 154-155.
xci
bawah yang berwarna hijau, masih ada yang berwarna kuning, merah, putih
mereka senantiasa selalu berusaha dan berdoa. Dalam Qs. Ali Imran/3;15-17
(1) Berdo’a rabbanā innanā āmannā fagfirlanā żunūbanā waqinā ‘ażāb al-
nār,
(2) Shabar,
(3) Qānitāt [ketaatan yang tidak pernah luntur],
(4) Menafkahkan hartanya dijalan Allāh,
(5) Selalu meminta ampun di waktu sahur (sebelum fajar mendekati subuh).
Jadi surga merupakan alat tukar yang diberikan Allāh hanya kepada
bertaubat, beribadat, selalu memuji Allāh, melawat untuk mencari ilmu dan
berjihad serta berpuasa, selalu ruku’ dan sujud, mengerjakan ‘amar ma’rūf
nahi munkar secara aktif serta selalu memelihara hukum-hukum Allāh (Qs.
adalah ummat terdahulu sebelum Rasūlullāh, dan sebagian kecil adalah umat
Bagi mereka akan diberi pahala; (1) tahta dari emas, (2) selalu akrab
antara satu dengan yang lain, (3) selalu muda, (4) disediakan segala macam
xcii
segala aneka buah-buahan yang tiada henti, (6) daging-daging segala hewan,
(7) bidadari yang seperti mutiara tersimpan, (8) tidak ada perkataan buruk
sama sekali kecuali ucapan salām dan dikelilingi pohon-pohon bidara tanpa
duri serta pisang-pisang yang indah dan lebat, (9) diberi naungan yang luas
dan indah, (10) air yang senantiasa tercurah, (11) kasur-kasur tebal dengan
bidadari yang tetap perawan, sebaya serta penuh cinta dan kasih-sayang.
Allāh juga membuat tamsilan surga itu sebagai tempat bagi orang yang
tumbuh tanpa henti, dan kerindangannya menaungi dengan teduh (Qs. Al-
tidak pernah berubah cita rasanya, sungai-sungai minuman yang lezat, sungai
penuhnya ampunan Allāh. Dan ini berkebalikan dengan kondisi neraka yang
disiapkan konsumsinya dengan air yang mendidih dan api menggelegak (Qs.
Muhammad /47:15).
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa janji surga yang diiringi
walaupun secara umum disebutkan bahwa hal itu teruntuk bagi orang beriman
xciii
hasil terkumpulnya watak keimanan dan amal s}ālih},173 mengutamakan
Allāh,174 yang dengan al-abrār serta al-‘amal al- s}ālih} itulah di akhirat
Allāh, yang dengan itu ia benar-benar berserah diri atas hukum-hukum Allāh
surga.
amalnya sendiri.178 Sifat khāfa ini tentunya adalah sebagai efek ketaqwaan
yang mendalam dalam diri seorang mukmin, yang disebut sebagai selalu
173
Ibid., hlm. 36.
174
Ibid., jl. III, hlm. 485.
175
Ibid., jl. I, hlm. 202.
176
Ibid., jl. III, hlm. 153.
177
Ibid., hlm. 246.
178
Ibid., hlm. 281.
xciv
berhati-hati dalam menjaga dan mensucikan kerimanannya,179 sehingga
Allāh (ikhlas tauhīd). Sehingga bukan karena dorongan takut akan ‘ażāb. Ia
kalangan umat era Nabi maupun dalam masa akhir, selalu mendekatkan diri
kepada Allāh, di dalam kesendirian dunia, dalam naungan ‘arsy, dan di tempat
surga selamanya.184 Sebab memang surga disediakan oleh Allāh bagi pemilik
tidak akan berakhir, kebahagiaan penduduknya tidak pernah surut dan segala
apa yang diterima mereka tidak bisa dikira-kirakan, apalagi dihitung. 185
179
Ibid., hlm. 288.
180
Ibid., juga hlm. 290.
181
Ibid., hlm. 29.
182
Ibid., hlm. 289.
183
Ibid., hlm. 56.
184
Ibid., jl. I, hlm. 232.
185
Ibid., jl. I, hlm. 525; juga lihat Sayid Sabiq, al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Dār al-Fikr,
Beirut, 1992, hlm. 302.
xcv
Sehingga penggambarannya hanya dapat dilakukan dengan simbol-simbol
surga pasti mendapatkan balasan bidadari? Maka dalam hal ini memang
Simbolitas ini semakin nampak, jika ditilik dari segi sastra. al-S{ābūnī
mengungkapkan bahwa balasan Allāh berupa bidadari yang elok dan belum
penggambarannya tidak disebutkan pula maka dalam disiplin ilmu sastra arab
disebut tasybīh-mursal-mujmal.186
terpendam dalam dirinya diusik agar berubah menjadi motivasi positif bagi
186
Ibid., jl. III, hlm. 298; juga Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, al- Balagah al-
Wad}ih}ah, hlm. 25.
xcvi
kehidupan keagamaannya. Maka pertanyaan Allāh yang diulang-ulang dalam
Qs. Al-Rah}mān menjadi sangat relevan, “ni’mat Tuhan yang mana yang
teguran keras dan celaan,187 karena tidak ada nikmat yang bisa didustakan,
ruh ayat-ayat simbol tersebut bukan pada bentuk simbolnya, akan tetapi
paragraf ayat 46 sampai 78, bahwa sebelum Allāh menjanjikan surga dengan
segala isinya, terlebih dahulu Allāh menuturkan ihwal ahli neraka. Baru
bentuk taman, pelayan, dan bidadari yang cantik jelita, dengan maksud agar
187
Ibid., jl. III, h.288.
188
lihat misalnya Ibid., h.31 dan 282. Nampak bahwa pensifatan atas bidadari
sebenarnya bukan mengacu kepada bidadarinya itu sendiri, tetapi justru ditujukan kepada ni’mat
yang diterima oleh penghuni surga.
189
Ibid., hlm. 281.
xcvii
dalam segi lain, bidadari juga menjadi simbol bagi balasan atas amal baik
baik untuk merangsang orang beramal s}ālih}, atau agar lebih mudah
kejuangan agama bagi umat, apalagi pada konteks masa Nabi. Tentunya
mungkin seseorang bisa memahami tafsīr sebuah ayat tanpa berpijak pada
berada dalam kondisi geografis yang gersang, padang pasir luas, disertai
kondisi itu sangat mempengaruhi segi kejiwaan mereka. Saat-saat seperti itu,
psikis. Allāh serta Rasūlnya memenuhi itu dengan janji-janji surgawi yang
serba indah dan nikmat, disertai janji adanya bidadari yang sudah menantikan
xcviii
Jika melihat karakter orang-orang yang menerima pembalasan surga
bahwa orang yang diberi balasan dengan simbolitas bidadari adalah orang
batinnya, serta selalu diiringi dengan selalu menghisab diri atas amal-
amalnya.
menyerupai pendapat para ahli tafsīr kontemporer lain seperti misalnya Mirza
bentuk pasangan fisik suami isteri sebagaimana selama ini difahami, akan
tetapi maknanya lebih luas dari itu, diantaranya adalah pasangan bagi adanya
surga adalah amal s}ālih}, sehingga bagi yang masuk surga harus disanding
merupakan simbol dari keserasian dan keharmonisan jiwa raga, lahir batin,
habl min Allāh dan habl min al-nās, fungsi khalīfah Allāh dan ‘abīd Allāh dan
dengan Abdullah Yusuf Ali yang memaknai bahwa janji-janji surgawi dalam
1022; Musnad Ahmad jl. I, hlm. 142, 402, dan 405. Untuk lebih jelasnya lihat Syuhudi Isma’il.
Ĥadīŝ Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, cetakan Pertama, 1994), hlm.
82-87.
193
Bandingkan dengan Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad. al-Tafsīr al-Kabīr,
(Tilford Surrey, U.K.: al-Syirkat al-Islāmiyyah), jl. I, hlm. 162-167.
xcix
ayat tersebut, merupakan simbol segala kebahagiaan, sebagaimana api
Dan apa pula yang akan lebih menyenangkan daripada sebuah kebun,
yang kita lihat dari ketinggian dan tampak sebuah pemandangan yang
begitu indah di sekitar kita, -sungai-sungai dengan air mengalir seperti
kristal, dengan pohon buah-buahan yang terbaik terhampar di depan kita.
Sama saja, buah kebaikan ialah kebaikan pula, tetapi yang lebih baik
akan berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Kita mengira itu sama,
tetapi sebenarnya karena kenangan kita mengenai pengalaman dan masa
lampau. Kemudian adanya pasangan-pasangan. Jika di sini ada kesan
bernada seks, maka hubungan fisiknya sekaligus sudah dinafikan dengan
hanya tambahan kata “mut}ahharah”, “bersih dan suci”. Sebutan
bahasa Arab ini dalam bentuk intensif, dan harus diterjemahkan dengan
dua kata sifat yang menunjukkan kebersihan dalam tingkat yang
tertinggi. Pasangan ialah mengenai orang dan berlaku buat kedua jenis
dalam arti fisik, laki-laki dan perempuan. Dan kebahagiaan itu tidak
sekadar dalam waktu terbatas akan tetapi akan berada diluar kekuasaan
waktu.”194
abadi mereka. Hal ini semakin mempertegas bahwa makna bidadari yang
194
Abdullah Yusuf Ali. Al-Qur`ān Terjemahan dan Tafsīrnya, Terj. Ali Audah,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), juz I s/d XV, hlm. 22, catatan no. 44.
195
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.
c
Wajar jika konsep bidadari sebagai simbol kenikmatan atas amalpun
“semua itu Kami jadikan untuk mereka sebagai balasan atas amal-amal
sebenarnya memiliki maksud yang cukup mendalam bagi umat Islām, baik
196
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 11.
197
Untuk pengertian masing-masing istilah tersebut lihat Ali al-Jarimi dan Mushtafa
Amin, al- Balagah al-Wad}ih}ah, (Surabaya: al-Hidayah, cet. ke-15, 1961), hlm. 84.; juga
Machasin (penerjemah), al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur`ān; Dalil Rasionalitas al-
Qur`ān, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 76.
198
Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, Op. Cit., hlm. 8.
ci
dalam semua perspektif, dapat menjadikan al-Qur`ān tidak tertandingi oleh
keindahan dan sifat-sifat lain yang dikhususkan oleh Allāh kepada bidadari
itu memiliki manfaat yang besar bagi kaum beriman, yaitu agar ilustrasi ini
Supaya lebih intens mengingat terus menerus akan surga dan apa yang
nafsu kenikmatan dunia, yang hanya sedikit dan sebentar, justru akan
199
al-S{ābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), hlm. 93-
95.
200
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 2.
201
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 281.
cii
berbahagia bersama pasangannya selamanya, tanpa sesuatupun yang
isinya.203
baik, tidak lain adalah agar orang beriman semakin disiplin dalam mematuhi
hukum Allāh, tidak dikalahkan dengan kesenangan duniawi sesaat yang justru
202
Ibid., jl. I, hlm. 36.
203
Ibid., jl. II, h.96.
204
Ibid., jl. III, hlm. 290.
205
Ibid., jl. II, hlm. 466.
ciii
akan menghancurkan kebahagaian abadi di akhirat, sehingga orientasi dan
nyata misalnya dalam Qs. Al-Taubah:111 yang berisi janji Allāh kepada orang
dengan kemenangan.206
BAB IV
TAFSĪR TENTANG “BIDADARI”
MENURUT M. ‘ALĪ AL-S{ĀBŪNĪ
S{afwah al-Tafāsīr
ini ditempuh melalui dua cara, yakni, alur penafsiran sesuai dengan urutan
ayat serta surat dalam al-Qur`ān mengenai bidadari, dan kemudian baru alur
206
Ayat tersebut turun ketika Nabi dan para sahabat Anshar mengadakan persetujuan
di malam bai’ah ‘aqabah. Saat itu Abdullah ibn Rawahah bertanya; “wahai Rasūlullāh kewajiban
apa yang engkau kehendaki dari kami terhadap Tuhanmu dan dirimu sendiri?” Rasūlullāh
menjawab, “terhadap Tuhanku, sembahlah Dia dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun.
Sedangkan terhadap diriku, cegahlah aku dari apa yang kalian sendiri mencegah diri kalian
sendiri.” Lalu mereka bertanya, “andaikata itu kami lakukan, lalu apa konsekwensinya?”
Rasūlullāh menjawab tegas, “Surga.” Maka turunlah ayat tersebut. Lihat Ibid., jl. I, hlm. 525; juga
Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi. Asbab al-Nuzul, Beirut: Dār al-Fikr, 1991),
hlm. 179.
civ
sistematisasi pemikiran al-S{ābūnī mengenai bidadari, sesuai dengan hasil
penafsirannya.
surga berkaitan dengan pemberian kabar gembira kepada orang yang beriman
buah-buahan; dan bagi setiap dari mereka tersedia “azwāj” yang suci; serta
awal dari perspektif lugawi kata azwāj ini. Menurut al-S{ābūnī, kata azwāj
yang merupakan jamak dari zauj adalah kata yang dipakai baik untuk laki-
akan pasangan lawan jenis sebagai balasan amal s}ālih bagi orang beriman
207
Qs. Al-Baqarah/2:25.
208
Lihat misalnya Lembaga Penjelenggara Penerdjemah Kitab Sutji Al-Quraan. Al-
Quraan dan Terdjemahnja, (Jakarta: percetakan Jamunu, 1965), h.12.
209
M. Ali al-S{abuni, S{afwah al-Tafāsīr , jl. I, hlm. 34.
cv
Maka ketika menafsirkan kata mut}ahharah yang mengikuti kata
azwāj, al- S{ābūnī tidak seperti penafsir lain yang mengartikannya sebagai
suci dari h}aid} atau kotoran keperempuanan lain,210 akan tetapi al-S{ābūnī
maknawiyyah.211
dijadikan lebih cantik dibanding bidadari. Hal ini –menurut para mufassir
klasik- sesuai dengan makna yang dimaksud oleh firman Allāh pada Qs. al-
Wāqi’ah:35-37.212
Hanya saja akomodasi penafsiran yang mengarah pada kata zauj sebagai
penafsiran atas Qs. Al-Baqarah:35, di mana kalimat “yā Ādamu uskun anta
210
Lihat misalnya Jalaluddin al-Suyut}i dan Jaluluddin al-Mah}alli, Op. Cit., hlm.
5.
211
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 36.
212
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-
Wāqi’ah: 35-37).
213
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 42.
cvi
Al-S{ābūnī menyebutkan bahwa bidadari sebagai pasangan orang
S{ābūnī menyebutkan sosok bidadari, bahwa lebar dan bulatnya mata serta
rupanya yang elok ditentukan dengan bentuk mata yang paling bagus.217
berbagai macam kemulian, dan kami pasangkan pula kepada mereka teman
214
Ibid., jl. III, hlm. 30 berdasarkan penafsiran atas Qs. Al-S{āffāt:48.
215
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (Qs.S{ād: 52).
216
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 56.
217
Ibid., hlm. 30.
218
Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan
sebaya umurnya. (yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air; mereka memakai sutera
yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan
kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman
(dari segala kekhawatiran). (Qs. Al-Dukhān:51-55).
219
M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 165.
cvii
Jadi diberikannya pasangan yang menyenangkan kepada orang beriman
sehingga kemudian diberi balasan yang serba mulia, yang salah satunya
berupa taman dengan sungai-sungai adalah sesuatu yang sangat indah serta
yang bisa menghilangkan kesusahan atau beban hati, yaitu air, hijau-hijauan
menafsirkan h}ūr di sini sebagai wajah yang menawan, yang bersifat netral
kelamin.
yang elok dari bidadari. Mereka adalah wanita-wanita yang matanya terlihat
220
Ibid, jl. III, hlm. 165
cviii
putih warna putihnya lagi anggun.” Al-S{ābūnī mengatakan bahwa simbol
putihnya warna mata serta lebar dan bulatnya mata adalah puncak kecantikan
dan kejelitaan.221
bahwa para bidadari di surga di pingit di dalam rumah kediaman, dan mereka
tidak pernah keluar rumah karena keagungan dan kemuliannya. Para bidadari
itu hanya diam di perkemahan mutiara.222 Ciri ini disandangkan kepada para
mulia.223
“tersimpan” ini ke konteks wanita dunia, bahwa para wanita dipuji dengan
pujian yang agung dan mulia seperti di atas, karena keberdiam-dirian mereka
mulia dan terpuji ini dibawa membumi sebagai sifat dasar wanita mukminah.
pingitan.225
221
Ibid., hlm. 246.
222
Ibid., hlm. 283.
223
Ibid., hlm. 282 berdasarkan Qs. Al-Rah}mān : 70.
224
Ibid., hlm. 283.
225
Ibid., hlm. 282.
cix
Penafsiran ini tentu memiliki maksud tertentu. Pertama, bahwa wanita-
bagi suaminya, yang tidak beralih kepada orang mukmin lain. Kedua, wanita
Inilah nampaknya tafsīr membumi dari kata qās}irāt al-t}arfi menurut al-
S{ābūnī.
belum pernah tersentuh sama sekali atau bersenggama oleh siapapun baik jin
diacu dari pendirian al-Alūsi yang mengatakan bahwa makna al-ţamŝ adalah
keluarnya darah, sehingga orang yang haidh disebut ţamaŝu. Istilah ini lalu
darah akan terkeluarkan. Kemudian juga bisa dipakai untuk segala macam
S{ābūnī, sepadan dengan usianya yang rata-rata remaja, dengan sikap yang
sesuai tugasnya. Dan bidadari tersebut tidak pernah mati, serta dalam keadaan
226
Ibid., hlm. 290 pada tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah: 22-23.
227
Ibid., hlm. 282.
cx
selalu muda.228 Namun usia yang selalu muda itu, bukan sekedar kemudaan
sebagaimana layaknya manusia, tetapi usia muda yang sudah berada dalam
ditandai dengan bentuk fisik tubuhnya, dengan ciri payudara yang padat
menyenangkan.
itu, seiring dengan proses penciptaan bidadari yang bersifat “baru” (dalam
arti belum pernah terjadi penciptaannya, dan belum pernah ada bentuk
sedang maksud pasangan yang baru adalah pasangan bagi yang tidak bersama
pasangannya dari dunia, atau yang sudah beserta pasangan dari dunia yang
228
Ibid., hlm. 289, tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:17.
229
Ibid., hlm. 485 tafsīr atas Qs. An-Naba’:33.
230
Ibid., hlm. 291. Untuk pembahasan proses penciptaan bidadari menurut al-S{ābūnī
lihat pada pembahasan lebih lanjut di bawah pada bab ini.
cxi
menafsirkan Qs. Al-S{āffāt:41-60 menyebutkan pemaparan Abu Haijan,
a. rizki yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jisim (fisik)
b. kemuliaan yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jiwa (psikis)
mendapatkannya, dan
f. kepuasan lahir batin yang sangat luar biasa yaitu yang berupa
penjelasan Allāh atas ayat yang masih global yang dalam disiplin ilmu al-
3. Globlalitas konsep rizqun ma’lūm yang dijelaskan oleh Allāh dalam ayat
buah-buahan.
231
Ibid, jl. I, hlm. 30.
232
Ibid., jl. III, hlm. 29.
cxii
dicermati, didapatkan kenyataan bahwa al-S{ābūnī ternyata melakukan
simbolitas bidadari, sebagai simbol atas balasan Allāh di akhirat atas amal
baik manusia di dunia. Dan ini berlaku dengan simbol-simbol lain seperti
taman yang indah dan sejuk, aneka ragam minuman dan buah-buahan,
bahwa al- S{ābūnī berada dalam dua posisi sekaligus; pertama posisi sebagai
penafsir mandiri, yang berbeda orientasi dengan mufassir lain. Ini nampak
dari upaya penafsirannya yang tidak hanya sekedar simbolis dan harfiyah,
bukan merupakan hal yang harus difahami secara fisikal begitu saja, sebab
hanya sebagai salah satu simbol pembalasan amal, namun terkadang juga
cxiii
bidadari; apakah hanya sekedar simbolitas bagi balasan amal, atau memang
bidadari itu betul-betul merupakan sosok fisik wanita elok sebagai ganjaran
bagi orang beriman? Namun hal ini telah dijawab juga dengan ungkapannya
bahwa konsep h}ūrun ‘īn sebenarnya bersifat netral kelamin, berlaku bagi
mengungkapkan makna dibalik simbol yang diberikan oleh al-Qur`ān. Hal ini
tentu sangat tepat dilakukan dalam memaknai h}ūrun ‘īn sebagai bagian
dari konsep surga, sebab di surga itu, sebagaimana sabda Nabi beserta
1. Penciptaan Bidadari
secara luas, dan juga tidak menyampaikan pemikirannya secara rinci, kecuali
sedikit yang diambil dari riwayat Ibn Abbas dan h}adīs\ Ummu Salāmah,
233
Abu Zakariya Yahya al-Nawawī. Riyadh al-s}ālihin, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.),
hlm. 703.
cxiv
menjawab bagaimana proses bidadari diciptakan. Oleh karenanya, dalam hal
bersifat “baru”, sehingga masih asing bagi makhluk yang berasal dari dunia.
menciptakan mereka sebagai makhluk baru yang sangat cantik tidak seperti di
dunianya. Di surga nanti, walau ketika di dunia telah menjadi seorang nenek-
nenek, ia akan kembali menjadi muda, serta tidak memiliki cacat dalam
rupanya, ia akan berubah menjadi gadis yang cantik mempesona. 237 Dengan
234
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.
235
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-
Wāqi’ah 35-38).
236
S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291.
237
Ibid., hlm. 291.
cxv
mengutip Ibnu Abbas dari Tafsīr al-Khāzin, al-S{ābūnī mempertegas
usia, ompong dan kempot (tidak punya gigi lagi) akan dijadikan oleh Allāh
oleh Allāh akan dijadikan perawan, hanya kembali mencintai suaminya, serta
yang seperti ini, tidak bisa dikaitkan dengan penafsirannya yang memberikan
terkenal yang berasal dari Ummu Salāmah, bahwa ketika Nabi ditanya
dunia yang di saat kematiannya mereka dalam keadaan lanjut usia, kempot,
ompong dan bungkuk, yang dijadikan Allāh kembali dalam usia yang
sama.”240
tangisan seorang wanita tua, ketika Rasūlullāh menyatakan bahwa orang yang
238
Ibid.
239
Ibid.
240
Ibid. Bandingkan dengan Tafsīr al- Qurt}ubī jl. 17, hlm. 210.
cxvi
sudah tua tidak bisa masuk surga. Wanita tersebut memangis karena merasa
peluangnya masuk surga tidak ada karena usianya yang sudah tua. Lalu nabi
pun memberitahukan bahwa ia nanti akan masuk surga bukan dalam keadaan
lanjut usia, karena Allāh telah berjanji bahwa para wanita akan dijadikan
hanya menyangkut bidadari yang berasal dari wanita s}ālihah dunia, tidak
termasuk bidadari yang khusus dicipta di surga. Memang sejauh informasi al-
mengenai penciptaan bidadari yang tidak berasal dari wanita dunia. Dengan
diperuntukkan bagi para wali Allāh, yang disediakan pengantin yang tidak
pernah dilahirkan oleh Adam dan Hawwa'.242 Sehinga karena bahan baku dari
241
S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291-292.
242
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 339-340.
243
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 343-345.
cxvii
Tentu sampai di sini justru diketemukan kelebihan dari al-S{ābūnī
khusus pula.
dengan bidadari surga. Dalam al-Qur`ān, terdapat dua ayat pokok mengenai
pelayan surga, satu ayat disebutkan secara mandiri, tidak memiliki rangkaian
ayat dengan penyebutan bidadari, dan satu ayat lainnya disebutkan dengan
akar katanya, mukhalladūn memiliki dua arti, namun tetap mempunyai muara
makna yang sama. Pertama berasal dari kata al-khuld yang artinya baka atau
abadi, kekal, tidak mati selama-lamanya.244 Dan kedua dari kata al-khildah
244
Firuzabadī, Op. Cit., hlm. 376.
cxviii
dengan jamak khilādun berarti orang yang mengenakan anting dan gelang. Ini
(laqab) “mukhalladūn” dikenakan bagi orang yang lanjut usia tetapi tidak
kemudaannya.246
Ayat tentang pelayan surga yang berdiri sendiri adalah Qs. Al-Insan:19:
selalu didampingi pelayan yang berkhidmat yang terdiri atas anak-anak muda
di sekelilingnya, mereka tidak pernah mati dan tidak pernah berubah.” 247 Sifat
utama para pelayan surga itu adalah: terdiri atas anak-anak muda, selalu
245
Ibnu Qayyim, Op. Cit. hlm. 308.
246
Mushţafa Bisyri, Op. Cit., hlm. 313.
247
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 289.
cxix
berkhidmat terhadap penghuni surga, selalu siap memberikan pelayan sesuai
keadaan kemudaannya, belum pernah terjamah atau tersentuh oleh apa dan
oleh Ibnu Qayyim, bahwa ada dua hikmah besar mengapa pelayan surga
Kedua, bahwa mutiara yang disebar di atas permadani dari emas dan sutra itu
248
Bandingkan dengan Ibid., hlm. 470.
249
Ibid.
250
Ibid.
251
Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 309.
cxx
Al-S{ābūnī dalam tafsīrnya tidak menyebutkan bagaimana para
dalam masalah ini, terdapat dua pendapat: pertama, bahwa para pelayan surga
diciptakan dari anak-anak muslim dunia yang meninggal dalam keadaan tidak
surga tidak ada proses kelahiran. Selain itu juga berasal dari anak-anak yang
meninggal dunia di masa kecil. Pendapat kedua adalah, bahwa para pelayan
bidadari dengan pelayan surga. Pelayan surga adalah terdiri atas anak-anak
muda yang diciptakan di surga yang berfungsi bagi pelayan penghuni surga,
bahwa mereka diciptakan khusus di surga, dan belum pernah tersentuh oleh
cxxi
a. Sosok pasangan yang suci
maupun maknawiyah. Dalam hal ini, al-S{ābūnī juga mengutip ‘ulamā’ lain
yang menyebutkan bahwa bidadari disucikan dari kotoran haid, nifas, buang
bidadari.253 Sehingga yang dimaksud suci dari haid, nifas dan kotoran
kewanitaan lain adalah bidadari yang berasal dari wanita mukminah dunia.
Secara tidak langsung, al-S{ābūnī menekankan bahwa ada dua jenis bidadari
di surga, yaitu: bidadari yang berasal dari dunia, yang menjadi pasangan
suaminya dari dunia juga, jika sama-sama beriman; dan bidadari dan bidadara
b. Diciptakan abadi
alam akhirat. Menurut al-S{ābūnī, keabadian inilah yang menjadi salah satu
pasangannya berada dalam tempat yang aman dan bersanding hidup dengan
merupakan keabadian yang mutlak, tanpa batas waktu lagi, atau tiada dimensi
cxxii
Al-S{ābūnī berpendapat, bahwa maksud dari maqs\ūrāt fī al-khiyām,
dan kemuliaannya, dalam kemah yang terbuat dari mutiara yang memang
disediakan untuk mereka. Mereka membatasi diri hanya dalam ruangan yang
yang memiliki akhlak yang sangat mulia di samping rupanya yang sangat
cantik.256 Jadi makna khairātun h}isān, memiliki dua dimenasi; wajah yang
yang sejati. Belum pernah ada seseorangpun yang pernah manjamah dan
maupun jin. Mereka betul-betul perawan yang sejati (ting-ting).258 Hanya saja
255
Ibid., jl. III, hlm. 283.
256
Ibid.
257
Ibid., hlm. 282.
258
Ibid.
cxxiii
nampaknya sifat ini dikenakan pada bidadari yang dicipta khusus di surga,
menilik pernyataan bahwa belum pernah tersentuh oleh makhluk. Jika wanita
walā jānn sebanyak dua kali dalam Qs. Al-Rah}mān ini, pertama ditujukan
bagi kelompok al-sābiqūn, dan yang kedua bagi kelompok as}h}āb al-
marjān. Segala sesuatu yang dimasukkan dalam yāqūt , pasti akan dapat
cxxiv
h. Berada di tempat yang tinggi
Menurut al- al-S{ābūnī, bidadari di surga berada di atas dipan atau ranjang
yang tinggi, empuk, dan nyaman. Hal ini didasarkan pada h}adīs\ riwayat
Hakim yang menyatakan bahwa tingginya dipan itu seperti tingginya langit
tahun.262 Namun bukan berati bahwa untuk mencapainya sulit. Mengutip al-
Alūsi, al-S{ābūnī menyatakan bahwa jika seseorang ingin naik turun dipan,
maka dengan sendirinya dipan tersebut akan menyesuaikan diri. Jika seorang
mukmin ingin naik, maka dipan tersebut akan turun, kemudian setelah orang
makhluk yang sama sekali baru dalam penciptaan, lagipula bersifat unik.
biasa. Keelokan dan keanehan penciptaan itu terjadi, karena memang berbeda
262
Ibid., hlm. 291.
263
Ibid.
264
Ibid.
cxxv
Sifat abkāra, oleh al-S{ābūnī diberi makna tafsīr sebagai perawan ting-ting
menggebu-gebu.
dan sama dengan pasangannya, yaitu berusia 33 tahun,267 sebuah usia puncak
mutiara yang tersimpan di tengah lautan yang belum pernah tersentuh oleh
tangan.269
265
Ibid.
266
Ibid.
267
Ibid.
268
Ibid., hlm. 290.
269
Ibid.
cxxvi
Bidadari di surga memiliki bentuk fisik yang paling sempurna, yang
dari ka’ib yang memiliki arti dasar gadis perawan yang menonjol (keluar
bahwa bidadari dalam ayat ini adalah bidadari yang berasal dari wanita
Bidadari di surga, baik yang dari wanita mukminah di dunia, maupun yang
cxxvii
(sehingga digelari h}ūrun ‘īn), sebagai deskripsi puncak tentang sosok yang
dan amal perbuatan manusia, ada baiknya jika penulis kemukakan gambaran
174, adapun yang berkaitan dengan kata dasar jannah berjumlah 159.
oleh umat Islām untuk menerjemahkan kata jannah dalam bahasa Arab, yang
arti harfiahnya adalah kebun, atau taman yang penuh keindahan,275 sebagai
273
Ibid., hlm. 246.
274
Muhammad Sholikhin. Berwisata ke Alam Akhirat, (Semarang: Risalah Pengajian
Paguyuban ‘Arafah), 2001, hlm. 152.
275
al-Marbawī, Op. Cit., hlm. 110.
cxxviii
Dalam Qs. Ali Imran/3;15 Allāh melukiskan, bahwa surga terdiri dari
hidup (suami atau isteri) yang disucikan dan diridhai Allāh. Sifat
perak, kendaraan pilihan, binatang ternak maupun segala hewan piaraan serta
kembali manusia yang terbaik. Bagi penghuninya disediakan mata air banyak
sejahtera dari semua kesalahan lagi aman dari kematian serta dari hilangnya
merasa bersaudara dengan saling mencintai dan saling memuliakan, tidak ada
penghargaan atas iman dan amal s}ālih} mereka (Qs. Al-H{ajj /22;23).
cxxix
Zumar/39;20). Sungai-sungai tersebut tidak pernah mengalami perubahan
baik rasa dan baunya. Jenisnya sangat variatif, ada sungai-sungai air susu,
sungai arak yang lezat dan tidak beralkohol, sungai-sungai madu yang
disaring, dan juga disediakan segala kebutuhan dan keinginan akan buah-
27;15).
s}ālih}, yang tidak pernah tersentuh oleh neraka, 277 yang disebut sebagai
Para penghuni surga itu disucikan dari segala dosa, segala keinginan
sedap rasanya sesuai keinginan surgawi dalam piala-piala yang indah yang
dibawakan oleh para bidadari yang “jinak” (Qs. Al-S}āfāt /37; 40-49, 60-
bagi keluarganya yang lain –Qs. Al-T{ūr /52;21). Dan tentu saja kebahagiaan
277
Ibid., jl. I, hlm. 63.
278
Ibid., jl. II, hlm. 35.
cxxx
tertinggi adalah diberikannya mereka wajah yang berseri-seri dan dengan
Surga diciptakan oleh Allāh tidak hanya satu jenis. Sejauh pernyataan
harfiyah al-Qur`ān, surga berjumlah empat. Empat surga itu pun oleh Allāh
pohon-pohonan serta buah-buahan, memiliki dua mata air, segala buah dan
63).279
Kedua, surga berwarna hijau yang memiliki dua mata air yang
dihiasi dengan bidadari yang baik dan cantik jelita yang dipingit dalam ruang-
ruang khusus, serta belum pernah tersentuh, dengan kesucian abadi, mereka
Semua ini tidak lain adalah menunjukkan keagungan Allāh (Qs. Al-
Rah}mān / 55; 64-78). Nampaknya surga kedua inilah yang lebih realistis,
bawah yang berwarna hijau, masih ada yang berwarna kuning, merah, putih
279
Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hlm. 154-155.
280
Ibid.
cxxxi
Surga tersebut hanyalah disediakan bagi orang yang bertaqwa, dan
mereka senantiasa selalu berusaha dan berdoa. Dalam Qs. Ali Imran/3;15-17
(6) Berdo’a rabbanā innanā āmannā fagfirlanā żunūbanā waqinā ‘ażāb al-
nār,
(7) Shabar,
(8) Qānitāt [ketaatan yang tidak pernah luntur],
(9) Menafkahkan hartanya dijalan Allāh,
(10) Selalu meminta ampun di waktu sahur (sebelum fajar mendekati subuh).
Jadi surga merupakan alat tukar yang diberikan Allāh hanya kepada
bertaubat, beribadat, selalu memuji Allāh, melawat untuk mencari ilmu dan
berjihad serta berpuasa, selalu ruku’ dan sujud, mengerjakan ‘amar ma’rūf
nahi munkar secara aktif serta selalu memelihara hukum-hukum Allāh (Qs.
adalah ummat terdahulu sebelum Rasūlullāh, dan sebagian kecil adalah umat
Bagi mereka akan diberi pahala; (1) tahta dari emas, (2) selalu akrab
antara satu dengan yang lain, (3) selalu muda, (4) disediakan segala macam
segala aneka buah-buahan yang tiada henti, (6) daging-daging segala hewan,
(7) bidadari yang seperti mutiara tersimpan, (8) tidak ada perkataan buruk
sama sekali kecuali ucapan salām dan dikelilingi pohon-pohon bidara tanpa
281
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 525-526.
cxxxii
duri serta pisang-pisang yang indah dan lebat, (9) diberi naungan yang luas
dan indah, (10) air yang senantiasa tercurah, (11) kasur-kasur tebal dengan
bidadari yang tetap perawan, sebaya serta penuh cinta dan kasih-sayang.
Allāh juga membuat tamsilan surga itu sebagai tempat bagi orang yang
tumbuh tanpa henti, dan kerindangannya menaungi dengan teduh (Qs. Al-
tidak pernah berubah cita rasanya, sungai-sungai minuman yang lezat, sungai
penuhnya ampunan Allāh. Dan ini berkebalikan dengan kondisi neraka yang
disiapkan konsumsinya dengan air yang mendidih dan api menggelegak (Qs.
Muhammad /47:15).
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa janji surga yang diiringi
walaupun secara umum disebutkan bahwa hal itu teruntuk bagi orang beriman
282
Ibid., jl. III, hlm. 165.; lihat juga jl. I, 172.
283
Ibid., hlm. 36.
cxxxiii
Allāh,284 yang dengan al-abrār serta al-‘amal al- s}ālih} itulah di akhirat
Allāh, yang dengan itu ia benar-benar berserah diri atas hukum-hukum Allāh
surga.
amalnya sendiri.288 Sifat khāfa ini tentunya adalah sebagai efek ketaqwaan
yang mendalam dalam diri seorang mukmin, yang disebut sebagai selalu
284
Ibid., jl. III, hlm. 485.
285
Ibid., jl. I, hlm. 202.
286
Ibid., jl. III, hlm. 153.
287
Ibid., hlm. 246.
288
Ibid., hlm. 281.
289
Ibid., hlm. 288.
290
Ibid., juga hlm. 290.
cxxxiv
Dari hisabnya itulah, kemudian seorang beriman selalu berbuat
Allāh (ikhlas tauhīd). Sehingga bukan karena dorongan takut akan ‘ażāb. Ia
kalangan umat era Nabi maupun dalam masa akhir, selalu mendekatkan diri
kepada Allāh, di dalam kesendirian dunia, dalam naungan ‘arsy, dan di tempat
surga selamanya.294 Sebab memang surga disediakan oleh Allāh bagi pemilik
tidak akan berakhir, kebahagiaan penduduknya tidak pernah surut dan segala
apa yang diterima mereka tidak bisa dikira-kirakan, apalagi dihitung. 295
291
Ibid., hlm. 29.
292
Ibid., hlm. 289.
293
Ibid., hlm. 56.
294
Ibid., jl. I, hlm. 232.
295
Ibid., jl. I, hlm. 525; juga lihat Sayid Sabiq, al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Dār al-Fikr,
Beirut, 1992, hlm. 302.
cxxxv
Jadi terhadap pertanyaan, apakah semua orang beriman yang masuk
surga pasti mendapatkan balasan bidadari? Maka dalam hal ini memang
Simbolitas ini semakin nampak, jika ditilik dari segi sastra. al-S{ābūnī
mengungkapkan bahwa balasan Allāh berupa bidadari yang elok dan belum
penggambarannya tidak disebutkan pula maka dalam disiplin ilmu sastra arab
disebut tasybīh-mursal-mujmal.296
terpendam dalam dirinya diusik agar berubah menjadi motivasi positif bagi
Qs. Al-Rah}mān menjadi sangat relevan, “ni’mat Tuhan yang mana yang
296
Ibid., jl. III, hlm. 298; juga Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, al- Balagah al-
Wad}ih}ah, hlm. 25.
cxxxvi
bisa kamu dustakan?”. Menurut al-S{ābūnī, pertanyaan ini mengandung
teguran keras dan celaan,297 karena tidak ada nikmat yang bisa didustakan,
ruh ayat-ayat simbol tersebut bukan pada bentuk simbolnya, akan tetapi
paragraf ayat 46 sampai 78, bahwa sebelum Allāh menjanjikan surga dengan
segala isinya, terlebih dahulu Allāh menuturkan ihwal ahli neraka. Baru
bentuk taman, pelayan, dan bidadari yang cantik jelita, dengan maksud agar
dalam segi lain, bidadari juga menjadi simbol bagi balasan atas amal baik
297
Ibid., jl. III, h.288.
298
lihat misalnya Ibid., h.31 dan 282. Nampak bahwa pensifatan atas bidadari
sebenarnya bukan mengacu kepada bidadarinya itu sendiri, tetapi justru ditujukan kepada ni’mat
yang diterima oleh penghuni surga.
299
Ibid., hlm. 281.
cxxxvii
h}adīs}nya juga sering dan suka menggunakan bahasa-bahasa simbolis,
baik untuk merangsang orang beramal s}ālih}, atau agar lebih mudah
kejuangan agama bagi umat, apalagi pada konteks masa Nabi. Tentunya
mungkin seseorang bisa memahami tafsīr sebuah ayat tanpa berpijak pada
berada dalam kondisi geografis yang gersang, padang pasir luas, disertai
kondisi itu sangat mempengaruhi segi kejiwaan mereka. Saat-saat seperti itu,
psikis. Allāh serta Rasūlnya memenuhi itu dengan janji-janji surgawi yang
serba indah dan nikmat, disertai janji adanya bidadari yang sudah menantikan
300
Lihat misalnya dalam al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut-
Lebanon: Dār al-Fikr, 1988), jl. I, hlm. 309-310.
301
Lihat al-S}uyut}ī. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, cet. III, (Beirut: Dār al-Fikr,
1370/1951), hlm. 28; al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān, jl. I, hlm. 109; juga Manā’ Khalīl al-Qaţān,
Mabāhis fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Fikr, cet. III, t.t.), hlm. 80.
302
Faktor-faktor geografis, historis, dan psikologis itulah yang menyebabkan
dibolehkannya nikah mut’ah pada masa Nabi, walaupun pembolehan itu sifatnya kasuistik, dan
bersifat lokal-temporer. Lihat dalam Sahih Bukhari, jl. III, hlm. 125-126; Sahih Muslim, jl. II, hlm.
1022; Musnad Ahmad jl. I, hlm. 142, 402, dan 405. Untuk lebih jelasnya lihat Syuhudi Isma’il.
Ĥadīŝ Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, cetakan Pertama, 1994), hlm.
82-87.
cxxxviii
Jika melihat karakter orang-orang yang menerima pembalasan surga
bahwa orang yang diberi balasan dengan simbolitas bidadari adalah orang
batinnya, serta selalu diiringi dengan selalu menghisab diri atas amal-
amalnya.
menyerupai pendapat para ahli tafsīr kontemporer lain seperti misalnya Mirza
bentuk pasangan fisik suami isteri sebagaimana selama ini difahami, akan
tetapi maknanya lebih luas dari itu, diantaranya adalah pasangan bagi adanya
surga adalah amal s}ālih}, sehingga bagi yang masuk surga harus disanding
merupakan simbol dari keserasian dan keharmonisan jiwa raga, lahir batin,
habl min Allāh dan habl min al-nās, fungsi khalīfah Allāh dan ‘abīd Allāh dan
dengan Abdullah Yusuf Ali yang memaknai bahwa janji-janji surgawi dalam
303
Bandingkan dengan Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad. al-Tafsīr al-Kabīr,
(Tilford Surrey, U.K.: al-Syirkat al-Islāmiyyah), jl. I, hlm. 162-167.
cxxxix
ayat tersebut, merupakan simbol segala kebahagiaan, sebagaimana api
Dan apa pula yang akan lebih menyenangkan daripada sebuah kebun,
yang kita lihat dari ketinggian dan tampak sebuah pemandangan yang
begitu indah di sekitar kita, -sungai-sungai dengan air mengalir seperti
kristal, dengan pohon buah-buahan yang terbaik terhampar di depan kita.
Sama saja, buah kebaikan ialah kebaikan pula, tetapi yang lebih baik
akan berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Kita mengira itu sama,
tetapi sebenarnya karena kenangan kita mengenai pengalaman dan masa
lampau. Kemudian adanya pasangan-pasangan. Jika di sini ada kesan
bernada seks, maka hubungan fisiknya sekaligus sudah dinafikan dengan
hanya tambahan kata “mut}ahharah”, “bersih dan suci”. Sebutan
bahasa Arab ini dalam bentuk intensif, dan harus diterjemahkan dengan
dua kata sifat yang menunjukkan kebersihan dalam tingkat yang
tertinggi. Pasangan ialah mengenai orang dan berlaku buat kedua jenis
dalam arti fisik, laki-laki dan perempuan. Dan kebahagiaan itu tidak
sekadar dalam waktu terbatas akan tetapi akan berada diluar kekuasaan
waktu.”304
abadi mereka. Hal ini semakin mempertegas bahwa makna bidadari yang
304
Abdullah Yusuf Ali. Al-Qur`ān Terjemahan dan Tafsīrnya, Terj. Ali Audah,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), juz I s/d XV, hlm. 22, catatan no. 44.
305
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.
cxl
Wajar jika konsep bidadari sebagai simbol kenikmatan atas amalpun
“semua itu Kami jadikan untuk mereka sebagai balasan atas amal-amal
sebenarnya memiliki maksud yang cukup mendalam bagi umat Islām, baik
306
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 11.
307
Untuk pengertian masing-masing istilah tersebut lihat Ali al-Jarimi dan Mushtafa
Amin, al- Balagah al-Wad}ih}ah, (Surabaya: al-Hidayah, cet. ke-15, 1961), hlm. 84.; juga
Machasin (penerjemah), al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur`ān; Dalil Rasionalitas al-
Qur`ān, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 76.
308
Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, Op. Cit., hlm. 8.
cxli
dalam semua perspektif, dapat menjadikan al-Qur`ān tidak tertandingi oleh
keindahan dan sifat-sifat lain yang dikhususkan oleh Allāh kepada bidadari
itu memiliki manfaat yang besar bagi kaum beriman, yaitu agar ilustrasi ini
Supaya lebih intens mengingat terus menerus akan surga dan apa yang
nafsu kenikmatan dunia, yang hanya sedikit dan sebentar, justru akan
309
al-S{ābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), hlm. 93-
95.
310
Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 2.
311
M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 281.
cxlii
berbahagia bersama pasangannya selamanya, tanpa sesuatupun yang
isinya.313
baik, tidak lain adalah agar orang beriman semakin disiplin dalam mematuhi
hukum Allāh, tidak dikalahkan dengan kesenangan duniawi sesaat yang justru
312
Ibid., jl. I, hlm. 36.
313
Ibid., jl. II, h.96.
314
Ibid., jl. III, hlm. 290.
315
Ibid., jl. II, hlm. 466.
cxliii
akan menghancurkan kebahagaian abadi di akhirat, sehingga orientasi dan
nyata misalnya dalam Qs. Al-Taubah:111 yang berisi janji Allāh kepada orang
dengan kemenangan.316
BAB V
PENUTUP
D. Kesimpulan
Studi ini diawali dengan argumen bahwa tema h}ūrun ‘īn - atau yang
lebih dikenal secara salah kaprah dengan sebutan bidadari - yang dipaparkan
316
Ayat tersebut turun ketika Nabi dan para sahabat Anshar mengadakan persetujuan
di malam bai’ah ‘aqabah. Saat itu Abdullah ibn Rawahah bertanya; “wahai Rasūlullāh kewajiban
apa yang engkau kehendaki dari kami terhadap Tuhanmu dan dirimu sendiri?” Rasūlullāh
menjawab, “terhadap Tuhanku, sembahlah Dia dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun.
Sedangkan terhadap diriku, cegahlah aku dari apa yang kalian sendiri mencegah diri kalian
sendiri.” Lalu mereka bertanya, “andaikata itu kami lakukan, lalu apa konsekwensinya?”
Rasūlullāh menjawab tegas, “Surga.” Maka turunlah ayat tersebut. Lihat Ibid., jl. I, hlm. 525; juga
Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi. Asbab al-Nuzul, Beirut: Dār al-Fikr, 1991),
hlm. 179.
cxliv
Tafāsīr Tafsīr li al-Qur’ān al-Karīm, atau dalam salah satu versi penerbitan
memaknai konsep h}ūrun ‘īn hanya semata sebagai sosok perempuan yang
elok (bidadari) dalam artian fisik pemuas pasangan lawan jenisnya di surga.
Bagi umat Islām, bukan saatnya lagi hanya memahami dunia simbol al-
Qur’ān secara harfiyah. Justru bagi al-S{ābūnī dunia simbol al-Qur’ān, yang
salah satu tema utamanya adalah bidadari di surga, haruslah difahami sebagai
suatu konsep yang harus dibumikan, melalui dunia pesan yang terkandung di
umat Islām atas tafsīr al-Qur’ān bukanlah semata-mata uraian huruf atau
dalam bentuk amalan sehari-hari. Namun lebih dari itu, tafsīr al-Qur’ān yang
selalu sesuai dengan setiap tempat dan masa, sekaligus tafsīr al-Qur’ān yang
Alhasil, tafsīr al-Qur’ān harus mampu pula ikut membentuk karakter moral
cxlv
Dalam hal ini al-S{ābūnī menandaskan bahwa suatu penafsiran harus
al-balāgah, sabāb al-nuzul, al-fawā’id, lat}īfah. Jika ada hal yang penting
simbol sempurna bagi indah dan sempurnanya balasan Allāh atas amal baik
menunjukkan jenis kelamin tertentu. H{ūrun ‘īn adalah kosakata yang netral
kelamin, yang berlaku baik bagi kaum mukmin laki-laki maupun perempuan,
al-S{ābūnī membedakan dua jenis h}ūrun ‘īn. Pertama adalah h}ūrun ‘īn
yang diciptakan khusus di surga, yang menurut Ibnu Qayyim dibuat dari
bahan Za’faran. Dalam hal ini al-S{ābūnī cukup berhati-hati untuk tidak
h}ūrun ‘īn yang berasal dari perempuan maupun lelaki mukmin di dunia,
akan tetapi sebenarnya yang berasal dari manusia dunia bukanlah h}ūrun
cxlvi
‘īn dalam arti sesungguhnya. Posisi mereka adalah sebagai permaisuri bagi
suaminya, atau sebagai raja bagi isterinya, sementara mereka juga tetap
dengan tugas sebagai pelayan umum bagi semua penghuni surga, sementara
h}ūrun ‘īn diciptakan di surga dengan tugas pelayanan yang khusus, yakni
Maka bagi al-S{ābūnī, hal terpenting yang perlu difahami dari tema
h}ūrun ‘īn dalam al-Qur’ān itu adalah konsepsi simbolis bagi manusia.
Dalam hal ini, al-S{ābūnī agak menyalahi para mufassir lain, yang hampir
targīb dan al-tarhīb. Hanya dalam memahami h}ūrun ‘īn dalam arti fisik,
al-S{ābūnī tidak jauh berbeda dengan para mufassir kenamaan yang lain.
penghuni surga. Orang yang masuk surga belum tentu mendapatkan balasan
Allāh dalam bentuk h}ūrun ‘īn. Sebab untuk mendapatkan balasan pahala
cxlvii
Itulah sebabnya al-Qur’ān tidak secara otomatis menyebutkan pahala
h}ūrun ‘īn setiap kali menginformasikan surga. Hal ini berbeda dengan
bawah surga dan sebagainya, yang hampir selalu disebutkan dalam tema
surga secara umum. Dalam hal inilah, makna pernyataan bahwa nikmat surga
h}ūrun ‘īn merupakan nikmat tambahan bagi orang yang bertaqwa harus
difahami.
menekankan bahwa tujuan akhir dari makna simbol h}ūrun ‘īn itu adalah
manapun.
E. Saran
Konsep h}ūrun ‘īn hanyalah merupakan salah satu bagian dari jenis-
oleh al-S{ābūnī maupun ahli tafsīr lain, yang kemudian dihubungkan dengan
jenis amal perbuatan manusian yang di sniyalir oleh al-Qur’ān terkait dengan
simbol tersebut.
cxlviii
Al-S{ābūnī merupakan pakar tafsīr kontemporer yang dalam
sehingga sangat penting untuk melakukan penelitian atas metodologi baru al-
S{ābūnī dalam bidang ‘ulūm al-Qur’ān, dalam hal ini Tafsīr. Selain itu,
metodologis dalam kancah pemikiran Islām dewasa ini. Lebih dari itu,
penelitian berbagai segi pemikiran al-S{ābūnī, yang sampai saat ini sudah
terpublikasikan.
F. Penutup
zamannya sangat ditunggu oleh masyarakat Islām. Studi atas tafsīr h}ūrun
‘īn al-S{ābūnī ini hanyalah titik awal pengggalian tafsīr yang disusun dengan
mutakhir, dengan memanfaatkan sarana ilmu baru lain. Kritik dan saran
mendatang.
cxlix
BAB V
PENUTUP
G. Kesimpulan
Studi ini diawali dengan argumen bahwa tema h}ūrun ‘īn - atau yang
lebih dikenal secara salah kaprah dengan sebutan bidadari - yang dipaparkan
Tafāsīr Tafsīr li al-Qur’ān al-Karīm, atau dalam salah satu versi penerbitan
memaknai konsep h}ūrun ‘īn hanya semata sebagai sosok perempuan yang
elok (bidadari) dalam artian fisik pemuas pasangan lawan jenisnya di surga.
Bagi umat Islām, bukan saatnya lagi hanya memahami dunia simbol al-
Qur’ān secara harfiyah. Justru bagi al-S{ābūnī dunia simbol al-Qur’ān, yang
salah satu tema utamanya adalah bidadari di surga, haruslah difahami sebagai
suatu konsep yang harus dibumikan, melalui dunia pesan yang terkandung di
cl
Pandangan al-S{ābūnī tersebut menyiratkan makna bahwa kebutuhan
umat Islām atas tafsīr al-Qur’ān bukanlah semata-mata uraian huruf atau
dalam bentuk amalan sehari-hari. Namun lebih dari itu, tafsīr al-Qur’ān yang
selalu sesuai dengan setiap tempat dan masa, sekaligus tafsīr al-Qur’ān yang
Alhasil, tafsīr al-Qur’ān harus mampu pula ikut membentuk karakter moral
al-balāgah, sabāb al-nuzul, al-fawā’id, lat}īfah. Jika ada hal yang penting
simbol sempurna bagi indah dan sempurnanya balasan Allāh atas amal baik
menunjukkan jenis kelamin tertentu. H{ūrun ‘īn adalah kosakata yang netral
kelamin, yang berlaku baik bagi kaum mukmin laki-laki maupun perempuan,
cli
sebab mengenai balasan di akhirat semua jenis kelamin akan mendapatkan
al-S{ābūnī membedakan dua jenis h}ūrun ‘īn. Pertama adalah h}ūrun ‘īn
yang diciptakan khusus di surga, yang menurut Ibnu Qayyim dibuat dari
bahan Za’faran. Dalam hal ini al-S{ābūnī cukup berhati-hati untuk tidak
h}ūrun ‘īn yang berasal dari perempuan maupun lelaki mukmin di dunia,
akan tetapi sebenarnya yang berasal dari manusia dunia bukanlah h}ūrun
‘īn dalam arti sesungguhnya. Posisi mereka adalah sebagai permaisuri bagi
suaminya, atau sebagai raja bagi isterinya, sementara mereka juga tetap
dengan tugas sebagai pelayan umum bagi semua penghuni surga, sementara
h}ūrun ‘īn diciptakan di surga dengan tugas pelayanan yang khusus, yakni
Maka bagi al-S{ābūnī, hal terpenting yang perlu difahami dari tema
h}ūrun ‘īn dalam al-Qur’ān itu adalah konsepsi simbolis bagi manusia.
Dalam hal ini, al-S{ābūnī agak menyalahi para mufassir lain, yang hampir
clii
utama sebagai metodologi al-Qur’ān menyampaikan pesannya mengenai al-
targīb dan al-tarhīb. Hanya dalam memahami h}ūrun ‘īn dalam arti fisik,
al-S{ābūnī tidak jauh berbeda dengan para mufassir kenamaan yang lain.
penghuni surga. Orang yang masuk surga belum tentu mendapatkan balasan
Allāh dalam bentuk h}ūrun ‘īn. Sebab untuk mendapatkan balasan pahala
h}ūrun ‘īn setiap kali menginformasikan surga. Hal ini berbeda dengan
bawah surga dan sebagainya, yang hampir selalu disebutkan dalam tema
surga secara umum. Dalam hal inilah, makna pernyataan bahwa nikmat surga
h}ūrun ‘īn merupakan nikmat tambahan bagi orang yang bertaqwa harus
difahami.
menekankan bahwa tujuan akhir dari makna simbol h}ūrun ‘īn itu adalah
manapun.
cliii
H. Saran
Konsep h}ūrun ‘īn hanyalah merupakan salah satu bagian dari jenis-
oleh al-S{ābūnī maupun ahli tafsīr lain, yang kemudian dihubungkan dengan
jenis amal perbuatan manusian yang di sniyalir oleh al-Qur’ān terkait dengan
simbol tersebut.
sehingga sangat penting untuk melakukan penelitian atas metodologi baru al-
S{ābūnī dalam bidang ‘ulūm al-Qur’ān, dalam hal ini Tafsīr. Selain itu,
metodologis dalam kancah pemikiran Islām dewasa ini. Lebih dari itu,
penelitian berbagai segi pemikiran al-S{ābūnī, yang sampai saat ini sudah
terpublikasikan.
cliv
I. Penutup
zamannya sangat ditunggu oleh masyarakat Islām. Studi atas tafsīr h}ūrun
‘īn al-S{ābūnī ini hanyalah titik awal pengggalian tafsīr yang disusun dengan
mutakhir, dengan memanfaatkan sarana ilmu baru lain. Kritik dan saran
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Muhammad. Tafsīr Al-Qur’ān Suci Basa Jawi, PT. Al-Ma’arif, Bandung,
cetakan ke-10, t.t.
Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Abdillah, Musnad Ahmad. Dār al-Ihya al-Kutub al-
Indunisiyya, t.t.
Ali, Abdullah Yusuf. Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, alih bahasa Ali Audah,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993
Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an; Text, Translation, and Commentary,
Amana Corp., Brentwood, Maryland USA, 1983
Arkoun, Mohammed. Nalar Islāmi dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, penerjemah Rahayu S. Hidayat, INIS, Jakarta, 1994
clv
Bekker, Anton dan Chris. Metodologi Penelitian Fīlsafat, Kanisius, Yogyakarta,
1994
Ibn Kas\īr, Abu Al-Fidā’ Isma’īl. Tafsīr Al-Qur’ān al-’ażīm, 6 jilid, al-Haramain,
Singapura, t.t. (juga terbitan Maktabah an-Nahdlah al-Hadīŝah, Mesir,
1384)
clvi
Machasin (penerjemah). al-Qad}i ‘Abd al-Jabbār Mutasyābih al-Qur’ān; Dalil
Rasionalitas al-Qur’ān, LKiS, Yogyakarta, 2000
Al-Mah}alli, Imām Jalāl al-Dīn., Al-S}uyut}ī, Imām Jalāl al-Dīn. Tafsīr al-
Qur’ān al-’ażīm, Toha Putera, Semarang, t.t.
Marbawī, Muhammad Idrīs ‘Abd al-Rauf al-. Qāmus Idrīs al-Marbawī ‘Arabī-
Malayū, Dār Ihyā’al-Kutub al-‘Arabiyyah Indūnisia, t.t.
Misbah, ibn Zain al- Mustafa, Al-Iklīl fī Ma’āni al-Tanzil, al-Ihsan, Surabaya, t.t.
Naisaburi, Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-, Asbab al-Nuzul, Dār al-
Fikr, Beirut, 1991
clvii
Al-Rumi, Fahd ibn AburRahmān , Dr. Ulūmul Qur’an Studi Kompleksitas Al-
Qur’ān, penerjemah Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Titian Ilahi
Press, Yogyakarta, 1997
Al-Bukhārī, Abī ‘Abdullah Muhammad ibn Ismā’īl, S}ah}īh} Bukhari. Dār al-
Kutub al-Islāmiyah, Jakarta, t.t.
______________. Rawā-i’ al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām min al-Qur’ān, Dār al-
Fikr, Beirut, t.t.
clviii
Al-S}uyut}ī, Jalal al-Din, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, cet. III, Dār al-Fikr,
Beirut, 1370/1951
Isma’il, Syuhudi, Ĥadīŝ Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Bulan Bintang,
Jakarta, cetakan Pertama, 1994
Tafsīr Ibn Kas\īr, dalam CD-Rom The Holy Qur’an, Sakhr Corp., Riyadh, 1997
Tafsīr al- Qurt}ubī, dalam CD-Rom The Holy Qur’an, Sakhr Corp., Riyadh,
1997
Al-T{abarī, Abu Ja’far Muhammad ibn al-. Jami’ al-Bayan fī Tafsīr al-Qur’ān,
Amiriya, Mesir, 1330 H
Al-Żahabī, Muhammad Husain. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Dār al-Kutub al-
Hadīŝah, Mesir, 1961
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’ān, Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
penerjemah, Khoiron Nahdliyin, LKIS, Yogyakarta, 2001
clix