Anda di halaman 1dari 96

DAULAH ISLAMIYAH

(STUDI KOMPARASI ANTARA PEMIKIRAN


HASAN AL-BANNA DAN YUSUF AL-QARADAWI)

SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKUTAS SYARI`AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH:
PUAD MAWARDI
NIM : 99363837

PEMBIMBING:
1. DRS. H. FUAD ZEIN, MA
2. DRS. OCKTOBERRINSYAH, M.AG

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAK U LTAS S YAR I `AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2005/1426
ABSTRAK
DAULAH ISLAMIYAH
(STUDI KOMPARASI ANTARA PEMIKIRAN
HASAN AL-BANNA DAN YUSUF AL-QARADAWI

Agama dan negara sebenarnya bukan suatu yang bertentangan secara dia-
metral, atau juga bukan berarti negara bagian dari agama, melainkan negara itu
inheren dalam agama. Kesadaran akan makna lebih jauh tentang politik yang
inheren dalam agama merupakan kesadaran manusiawi yang tidak dapat dibantah,
sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai naluri untuk hidup bersama.
Implikasi dari kehidupan sosial ini akan membawa manusia dalam upaya
mengembangkan sistem kehidupan bersama dengan perangkat hukumnya yang
kemudian berkembang menjadi negara. Negara Islam (daulah Islamiyah)
merupakan wacana yang tidak pernah pupus dibicarakan. Wacana ini akan
senantiasa ada mengikuti perkembangan peradaban dan pemikiran manusia
seiring dengan kemajuan yang dialaminya. Negara merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupann sosial-politik manusia sebagai sarana untuk mencapai
tujuan baik yang bersifat individual maupun sosial. Perkembangan wacana negara
demokrasi telah dimulai sejak zaman Yunani kuno dengan ditandai berdirinya
negara kota.

Kajian yang dikemukakan oleh Hasan al-Banna dan Yusuf al-Qaradawi


mengenai daulah Islamiyah merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk
dikaji. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada penyusun untuk mengkaji
dan mendeskripsikan lebih mendalam tentang kosnsepsi keduanya mengenai
daulah Islamiyah.

Pendekatan yang digunakan adalah sosio-historis, hal ini diperlukan guna


mencari obyektifitas penelitian. Selain itu untuk menguji relevansi pemikiran
keduanya, agar dapat diketahui secara tegas mengenai letak persamaan dan
perbedaan antara keduanya, kemudian menggunakan metode komparasi
(perbandingan) untuk menganalisisnya.

Setelah dilakukan penelitian, dapat disimpulkan. Bagi Hasan al-Banna


bahwa pemerintahan Islam (daulah Islamiyah) adalah suatu pemerintahan yang
mengacu bahkan harus siap untuk menjadikan syari’at Islam atau hukum Islam
sebagai konstitusi negara dan penerapannya secara ketat (lebih menekankan pada
formalitasnya). Sementara menurut Yusuf al-Qaradawi, daulah Islamiyah
merupakan daulah nasional atau lokal ia tidak berdiri atas batasan-batasan tanah
dan letak geografi. Karena pada dasarnya daulah Islamiyah adalah daulah yang
terbuka bagi setiap muslimin, bebas tanpa ada paksaan dan tekanan dari manapun.
Dengan demikian, bagi Yusuf al-Qaradawi daulah Islamiyah tidak harus
diterapkan secara formil, tetapi lebih menekankan pada subtansi yang terdapat
dalam daulah Islamiyah itu sendiri, yang harus diterapakan atau dijalankan oleh
setiap penguasa negara.
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i

HALAMAN NOTA DINAS…………………………………………….. ii

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………. v

HALAMAN MOTTO……………………………………………………. vi

KATA PENGANTAR………………………………………………….... vii

DAFTAR TRANSLITERASI ARAB-LATIN………………………….. ix

DAFTAR ISI…………………………………………………………….. xvi

ABTRAK………………………………………………………………… xix

BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………... 1

A. Latar Belakang Masalah…………………………………….. 1

B. Pokok Masalah……………………………………………… 9

C. Tujuan dan Kegunaan………………………………………. 9

D. Telaah Pustaka……………………………………………… 10

E. Kerangka Teoretik………………………………………….. 12

F. Metode Penelitian…………………………………………... 20

G. Sistematika Pembahasan…………………………………… 22

BAB II : GAMBARAN UMUM MENGENAI


DAULAH ISLAMIYAH…………………………………….… 24
A. Pengertian…….....…………………………………………… 24

B. Teori dan Sejarah..………….……………………………….. 26

C. Ciri-ciri………….………………………………………….. 32

D. Bentuk Kekuasaan Khilafat………………………………... 38

E. Dasar Perundang-undangan.………………….……………. 46

BAB III : SKETSA BIOGRAFI HASAN AL-BANNA DAN YUSUF AL-

QARADAWI……………………………………..…………. 50

A. Sketsa Beografi Hasan al-Banna……………………….. 50

1. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan………………… 50

2. Pengalaman dan Aktivitas Keilmuan………………….. 57

B.Yusuf al-Qaradawi……………………………………….. 70

1. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan ………………… 70

2. Pengalaman dan Aktivitas Keilmuan…………………... 75

BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN PEMIKIRAN POLITIK

HASAN AL-BANNA DAN YUSUF AL-QARADAWI

TENTANG DAULAH ISLAMIYAH……………………. 80

A.Hasan Al Banna …………………………………………

80

Paradigma Pemikiran ………………………………. 80

Agama dan Negara …………………………………. 84

B. Yusuf al-Qaradawi……..………………………...……...

96 1. Paradigma Pemikiran…………………………….…. 96

2. Agama dan Negara…………………………………… 101


BAB V: PENUTUP…………………………………..………………….. 108

A. Kesimpulan…………………… …………………………… 108

B. Saran-saran…………………………………………...…….. 110

DAFTAR PUSTAKA……………………………………….…………… 111

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN I : TERJEMAHAN…………………………………… I
LAMPIRAN II : BIOGRAFI ULAMA……………………………… II
LAMPIRAN III : BIODATA PENYUSUN………………………… IV

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI DAULAH ISLAMIYAH

A. Pengertian Daulah Islamiyah

Para ahli fiqh berpendapat bahwa daulah Islamiyah merupakan makna

yang dikandung oleh negara Islam—merupakan nama dari bagi tempat yang

berada ditangan kaum muslimin. Definisi terserbut menonjolkan unsur kekuasaan

dan unsur tempat serta memendam unsur-unsur negara lainnya, seperti unsur

penduduk, unsur peraturan, karena kewajiban kaum muslimin jika mereka

menetapkan hukum adalah melaksanakan Undang- undang Islam. Sebagian ahli

fiqh lagi memberikan definisi daulah Islamiyah ialah kekuasaan yang tampak

pada syiar Islam dan kekuatan kaum muslim, definisi tersebut menonjolkan
peraturan negara dan kekuasaannya serta memendam unsur-unsur negara yang

lainnya seperti penduduk dan tempat. Sebagai cacatan penduduk tidaklah

disyaratkan berdirinya negara kaum muslimin, tetapi ada di antaranya yang bukan

muslim.

Oleh karenanya ahli fiqh menegaskan bahwa “az-Zimmi” penduduk non

muslim sebagian dari penduduk negara Islam, maka berdiri negara Islam ialah

adanya penguasa muslim yang melaksanakan peraturan Islam. Ar-Rafi’i berkata

adanya kaum muslimin bukanlah syarat berdiri negara Islam, tetapi cukuplah

negara tersebut dipegang oleh kepala negara muslim. Negara menurut Islam

negara yang rasional yang ditegakkan di atas sendi akidah Islam dan hukum serta

peraturan yang ditumbuhkannya. Jadi bukanlah negara kedaerahan yang dibatasi

oleh suku, jenis atau ras. Namun negara rasional yang terbentang hingga atas yang

dapat dicapai24oleh akidah Islam. Oleh karena itu tak ada tempat bagi

keistimewaan berdasarkan pada warna kulit, jenis atau daerah. Karakter negara

Islam memungkinkan menjadi negara dunia yang mencakup dari berbagai ras dan

bangsa.1

Pada dasarnya definisi secara umum terhadap negara sudah menjadi

perbincangan pada abad yang lampau dari era Yunani kuno sampai era modern

sekarang sudah menjadi bagian wacana kembali, karena untuk memberikan yang

terbaik terhadap masyarakat yang lebih luas. Secara bahasa negara diartikan

sebagai berikut:

1
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, alih bahasa, Abd
Aziz, cet. I, (Jakarta: Yayasan al-Imam, 1984), hlm. 11-13
1. Organisasi dalam satu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang

sah dan ditaati oleh rakyat.

2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang

diorganisir dibawah lembaga politik yang berdaulat sehingga berhak

menentukkan tujuan nasionalnya.2

Menurut istilah, negara dapat diartikan dari kata-kata Staat (bahasa

Jerman), State (bahasa Inggris), Etat (bahasa Perancis ),3 yaitu negara

didefininisikan sebagai suatu gejala sosial-politik, maka dalam literatur inggris

ilmu negara dapat diistilahkan menjadi political science yang mengandung kata

politik yang berasal dari politea yang berarti negara.4 Memang dalam Islam negara

dapat diterjemahkan dengan berbagai cara, bukan saja disebabkan oleh faktor

sosio-budaya-historis, tetapi juga bersumber dari aspek teologis–doktrinal.

Walaupun Islam mempunyai konsep khalifah, daulah, dan imamah, tetapi al-

Qur’an dan as-Sunnah belum menjelaskan konsep tersebut secara rinci. Dari

sinilah muncul berbagai penafsiran mengenai bentuk dan hubungan antara negara

dengan agama. Dalam Islam telah ada kesepakatan bahwa sumber utama

ajarannya adalah al-Qur’an yang di sini diturunkan dua intisari ajaran yaitu akidah

dan syari’ah. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak ada akidah

tanpa syari’ah dan begitu pula sebaliknya. Akidahlah yang menghubungankan

2
Kamus besar Bahasa Indonesia cet. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm 610.
3
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, cet. I, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 90
4
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, cet. I, ( Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 90.
antara hamba dengan Allah, yang biasa disebut dengan ibadah, hubungan antara

yang memerintah dan yang diperintah disebut dengan siyasah.5

B. Teori dan Sejarah Timbulnya Daulah Islamiyah

Sejarah Islam telah mengungkapkan bahwa Rasulullah telah berusaha

semaksimal dengan mengerahkan kekuatan dan pikiran, yang ditopang dengan

hidayah wahyu, untuk mendirikan daulah Islam bagi dakwah Rasulullah serta

penyelamat bagi para pengikutnya. Tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan

kecuali dengan kekuasaan syari’ah. Oleh karena itu Rasulullah sendiri yang

datang keberbagai kabilah, agar mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

guna mendukung dan ikut serta menjaga dakwah Rasulullah, hingga Allah

menganugerahkan “Anshar” dari kalangan Aus dan Khazraj, yang beriman kepada

risalah Rasulullah.6 Tatkala Islam telah menyebar di kalangan mereka, maka di

saat musim haji datang utusan mereka, yang terdiri dari tujuh puluh tiga laki-laki

dan dua wanita, lalu mereka berbai’at kepada Rasulullah, menyatakan kesediaan

untuk melindungi Rasulullah sebagaimana mereka melindungi diri mereka

sendiri, isteri dan anak-anak mereka, siap untuk tunduk dan taat, memerintahkan

kepada yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar dan seterusnya. Mereka

menyatakan bai’at atas semua itu, hingga hijrah ke Madinah hanya sekedar

sebagai upaya untuk mendirikan masyarakat Islam yang berdaulat, dengan daulah

Islam yang berdiri sendiri. Madinah menjadi “Darul Islam” (wilayah Islam)

dengan pijakan daulah Islam yang baru, yang dipimpin langsung oleh Rsulullah,

5
Abdul Karim, Masalah Kenegaraan, hlm. 3-4
6
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah dalam perspektif al-Qur’an dan as-Sunah, terj; Kathur
Suhardi, (Jakarta: al-Katsar, 2000 ), hlm. 24
Rasulullah menjadi komandan tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka,

sebagaimana beiau menjadi Nabi dan Rasul Allah yang diutus kepada mereka.

Negara Madinah pimpinan Nabi tersebut seperti yang dikatakan oleh

Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama termuka, adalah model bagi

hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah

seorang pemikir kontemporer terdepan menyebutkan usaha Nabi SAW, sebagai

“Eksperimen Madinah” menurutnya eksperimen Madinah telah menyajikan

kepada umat manusia contoh tatanan sosial politik atau kekuasaan tidak

memusatkan pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan

pada orang banyak melalui musyawarah dan kehidupan berkonstitusi artinya

sumber kekuasaan dan wewenang tidak pada keinginan dan keputusan lisan

pribadi, melainkan pada suatu dokumen tertulis yang prinsip- prinsipnya

disepakati bersama. Karena wujud historis terpenting dari sistem sosial dan politik

eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Misaq al-

Madinah (Piagam Madinah). Menurut as-Sayyid Muhammad Ma’ruf ad-Dawalibi

yang paling menakjubkan dari semuanya tentang konstitusi Madinah tersebut;

bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip

dan kaidah-kaidah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak

pernah dikenal umat manusia.7

Dari sisi sejarah yang ada mengenai terbentuknya suatu daulah Islamiyah

dapat dijumpai dalam beberapa hadis sahih yang membicarakan masalah khilafah,

imarah, pengadilan, para pemimpin, sifat-sifat pemimpin, hak-hak mereka untuk


7
Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam, cet. II, (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm. 588
membantu setiap kebajikan, nasehat bagi mereka, hak-hak mereka untuk

membantu mereka dalam kondisi apa pun, sabar menghadapi kekurangan mereka,

batasan-batasan kesabaran, batasan kewajiban mereka menegakkan hukum Allah,

memperhatikkan hak-hak rakyat, meminta pendapat para penasehat, mengangkat

orang-orang yang kuat dan dapat dipercaya, mengambil orang-orang yang shalih,

keharusan menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, menyuruh kepada yang

ma’ruf mencegah dari yang mungkar dan lain-lainnya dari berbagi masalah

daulah, hukum dan pemerintahan.8

Pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan pertumbuhan

dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah melakukan

hijrah dari Mekah ke Yastrib yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah

hingga saat sekarang ini dalam wujud sekurang-kurangnya kerajaan Saudi Arabia

dan Republik Islam Iran telah menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah

kenegaraan. Pembincaraan hubungan agama dan negara dalam Islam selalu terjadi

dalam suasana yang stagmatis. Hal ini disebabkan;1. Hubungan agama dan negara

dalam Islam merupakan hubungan yang paling mengesankan sepanjang sejarah

umat Islam. 2. Sepanjang sejarah hubungan antara kaum Muslim dan non Muslim

Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan yang penuh dengan ketegangan.dimulai

dengan ekspansi militer politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian

Kristen (hampir seluruhnya) dengan kulminasinya berupa pembebasan

Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian perang salib

yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh Islam, lalu

8
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah, hlm. 23
berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis

dengan dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan

antara dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena

dalam fasenya yang terakhir dunia Islam dalam posisi kalah, maka dengan

pembicaraan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara

berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai musuh9

Nas Islam tidak datang menegaskan kewajiban mendirikan daulah bagi

Islam. Sejarah Rasulullah dan para sahabat juga tidak datang sebagi penerapan

praktis dari seruan nas. Tetapi tabi’at risalah Islam itu sendiri yang sudah

memastikan keharusan adanya daulah atau wilayah bagi Islam, agar bisa

membangun akidah, syiar, ajaran, pemahaman, akhlak, keutamaan, tradisi dan

syari’at- syari’atnya.10 Islam sangat membutuhkan daulah yang bertanggung

jawab pada setiap zaman. Tetapi ia jauh lebih membutuhkannya pada zaman

sekarang, zaman yang lebih memunculkan “Negara ideologi” dengan kata lain

daulah yang mampu membangun suatu pemikiran, yang keseluruhan

bangunannya didirikan pada prinsip-prinsip yang dikehendaki, baik pendidikan,

pengajaran, hukum, undang-undang, ekonomi, dan berbagai masalah dalam negeri

maupun politik luar negerinya. Seperti yang dapat kita lihat secara jelas di negara-

negara komunis dan sosialis. Ilmu pengetahuan modern yang ditunjang dengan

kemajuan teknologi siap membantu daulah, pikiran, perasaan, cita rasa dan

perilakunya secara optimal, yang tidak pernah ada seperti itu sebelumnya. Bahkan

9
Budhy Munawar Rachman, Kontekstualitas Doktrin Islam Dalam Sejarah, cet. I,
(Jakarta: Paramadina, 1994 ), hlm. 588.
10
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah, hlm.29..
dengan perangkatnya yang modern, daulah bisa merubah nilai-nilai sosial seperti

membalik telapak tangan, selagi hal ini tidak dihadang dengan sebuah kekuatan

yang besar. Sementara itu, daulah Islam adalah daulah berbasis akidah dan

pemikiran, daulah yang yang didirikan pada landasan akidan dan sistem, bukan

sekedar “perangkat proteksi”yang menjaga umat dari agresi dari dalam dan invasi

dari luar, tetapi tugas daulah Islamiyah yang paling mendalam dan paling

mendasar adalah mengajarkan dan mendidik umat berdasarkan ajaran dan prinsip-

prinsip Islam, menciptakan iklim yang baik, agar akidah Islam, pemikiran dan

ajaran-ajarannya beralih ke alam nyata yang bisa di rasakan, dan dapat dijadikan

panutan bagi setiap orang yang mencari petunjuk dan menjadi hujjah bagi setiap

orang yang sudah berjalan di atas petunjuk.

Dakwah yang paling dibutuhkan Islam pada zaman sekarang ini adalah

“Darul Islam” (wilayah Islam) atau “Daulah Islam” agar bisa menjadi tumpuan

risalah Islam, akidah maupun tatanan, akidah maupun akhlak, kehidupan maupun

peradaban, yang dapat menegakkan semua sektor kehidupan, yang dilandaskan

kepada risalah yang universal ini, dan membuka pintu bagi setiap Muslimin yang

hendak hijrah ke sana dari wilayah orang-orang kafir, zalim dan yang

menyimpang.11

Daulah tersebut di atas adalah urgensi Islam, yang sekaligus merupakan

urgensi kehidupan manusia. Karena daulah seperti itu akan menghadirkan nilai

yang hidup dan kombinasi antara materi dan ruh bagi kehidupan manusia.,

mengakomodasikan antara kemajuan peradaban dan keluhuran akhlak, yang

sekaligus merupakan batu bata pertama berdirinya daulah Islam yang agung, yang
11
Ibid., hlm 32.
menyatukan umat Islam di bawah panji-panji al-Qur’an, di bawah lindungan

khilafah Islam. Sementara itu kekhilafahan dikenal sebagai “pengaruh umat

menuju tujuan yang bersifat syar’i untuk mencapai kemaslahatan ukhrawi dan

duniawi, yang duniawi mengacu pada ukhrawi lantaran semua perilaku duniawi

selamanya berpijak pada syara’ demi kemaslahatan ukhrawi”. Dan pada bagian

yang lain, dengan demikian, bahwa fungsi-fungsi kesultanan dalam agama Islam

berada di bawah peringkat kekhilafahan, lantaran menyeluruhnya jabatan

kekhilafahan ini dalam masalah-masalah keagamaan dan dunia seperti yang telah

dijelaskan terdahulu. Syari’at Islam saling kait-mengkait semua seginya, dan di

dalamnya termuat segala hukum yang ada, lantaran hukum syara’ ini berkenaan

dengan semua perilaku hamba Allah SWT.

Namun di sisi lain, kekuatan yang ingin memerangi Islam senantiasa

berusaha semaksimal mungkin agar daulah ini tidak berdiri di penjuru dunia mana

pun, sekalipun wilayahnya kecil dengan penduduknya sedikit. Orang-orang Barat

bisa membiarkan berdirinya negara Marxis, orang-orang komunis bisa

membiarkan berdirinya negara Liberalis, tetapi mereka tidak akan membiarkan

berdirinya daulah Islam yang sebenarnya.

Oleh karenanya, setiap kali harakah Islam yang sukses dikhawatirkn akan

berkembang menjadi sebuah daulah, maka secepatnya kekuatan orang-orang kafir,

internasional maupun lokal dikerahkan ke sana, lewat cara pengusiran, embargo

bahan makanan, penyiksaan, pembantaian dan distorsi. Belum selesai dengan satu

cara, sudah disusul dengan cara lain, agar harakah itu terjepit dan menderita, tidak

lagi menuntut dan berambisi.


C. Ciri-ciri

Negara Islam sesungguhnya dibangun atas asas sukarela, elektif dan

keimanan. Hal itu terlihat ketika datang perwakilan orang-orang Madinah, seperti

yang telah diketahui dari fakta sejarah yang membai’at Rasul pada kesempatan

bai’at ‘Aqabah, dan inilah yang merupakan asas bangunan negara Islam yang

ditegakkan di Madinah sesudah Hijrah. Dengan bai’at dan persetujuan itu, Rasul

pun menjadi imam, panglima, dan pemimpin masyarakat baru ini. Adapun tujuan

masyarakat atau negara ini adalah bersifat keagamaan dan universal, sementara itu

segala sesuatunya ditempuh melalui musyawarah dan saling tolong menolong.

Dengan demikian tidak ada satu unsur atau sosok seorang raja pun di situ, justru

sistem Islam yang baru ini sepenuhnya bertentangan dengan sistem kerajaan,

imperium dan kekaisaran.

Sementara konsep yang digambarkan oleh al-Qur’an bagi negara dan

tatanannya, setidaknya mengandung atau memiliki ciri-ciri sebagaai berikut:1

1. Negara yang didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka

dan bersedia menundukkan kepalanya kepada Tuhan semesta alam,

meskipun adanya bkenyataan bahwa ia adalah bangsa yang merdeka

dengan kemerdekaan yang sempurna. Dan ia rela menempati kedudukan

sebagai khalifah (pengganti, wakil), bukan kedudukan penguasa tertinggi

di bawah kekuasaan Allah yang tertinggi dan bekerja sesuai dengan

1
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taymiyah, terjemahan Saidi al-Kamil,,
(Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 37-41
perundang-undangan dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah dalam

kitab-Nya dan melalui Rasul-Nya.

2. Bahwasannya kekuasaannya dan kedaulatan hukum tertinggi di dalamnya

adalah sepenuhnya bagi Allah sendiri sampai pada suatu batas yang

bersesuaian dengan teori teokrasi, hanya saja cara negara melaksanakan

teori ini berbeda dengan sistem teokrasi yang dikenal. Sebagai ganti

keistimewaan suatu kelas tertentu dari kaum pendeta atau kaum sesepuh

dan lain-lainnya berkenaan dengan perwakilan dari Allah dan pemusatan

segenap kekuasaan al-Hal wa al-‘Aqd (melepas dan mengikat) di

tangannya, seperti yang dikenal dalam kekuasaan teokrasi, kita mendapati

bahwa khalifah atau perwakilan dari Allah dalam negara Islam adalah

bagian kaum Muslimin semuanya (yaitu mereka yang telah membuat

perjanjian dengan Allah dengan kesadaran yang timbul dari keinginan

mereka untuk patuh dan taat kepada hukum-Nya) dalam batasan–batasan

negara semuanya, dan bahwa kekuasaan-kekuasaan al-Hal wa al-‘Aqd

yang terakhir berada di tangan mereka secara kolektif.2

3. Sistem ini bersesuaian dengan pokok-pokok demokrasi tentang ketentuan

bahwa terbentuknya pemerintahan, pergantiannya serta pelaksanaannya

haruslah sesuai dengan pendapat rakyat. Tetapi rakyat, dalam sistem ini,

tidak telepaskan kendalinya sama sekali sehingga menjadikan undang-

undang negara, pokok-pokok kehidupan, garis-garis politik dalam dan luar

negerinya, serta seluruh daya dan sumber kekuatannya mengikuti hawa

2
Ibid.
nafsu atau kecenderungan mereka ikut bersama ke mana mereka pergi,

akan tetapi kecenderungan mereka itu diatur dan diluruskan dengan

undang-undang Allah dan Rasul-Nya, yaitu undang-undang dasar yang

tertinggi (al-Qur'an dan al-Hadis), dan dengan prinsip-prinsip, batasan-

batasan, hukum-hukum dan ikatan-ikatan akhlaknya. Maka negara

menempuh jalan tertentu yang ditetapkan dan tidak diperbolehkan bagi

badan legislatif, yudikatif, eksekutif atau bahkan rakyat seluruhnya untuk

mengubahnya. Dalam hal ini tentunya dengan pengecualian apabila rakyat

memutuskan untuk melanggar perjanjian dengan Allah dan ke luar dari

lingkungan iman.3

4. Negara ini adalah negara yang berdasarkan konsep tertentu dan sudah

barang tentu dikelola oleh orang-orang yang mau percaya dan menerima

gagasan- gagasannya, prinsip-prinsip dan teori-teori asasinya.4 Adapun

orang-orang yang menyakini kebenarannya dan tidak menerimanya

dengan baik, tapi mereka ingin tinggal di dalam perbatasanya, maka

mereka pun memiliki hak- hak yang sama dengan orang-orang yang

menyakini dan menerima prinsip- prinsip serta gagasan-gagasan negara

ini.

5. Negara berdiri atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas dasar ikatan

warna, ras, bahasa atau batasan geografis. Sikap manusia, di mana pun

mereka berada di muka bumi ini, dapat menerima prinsip-prinsinnya

apabila ia ingin dan menggabungkan diri ke dalam sistemnya, dan


3
Ibid., hlm. 38
4
Ibid., 38-39
memperoleh hak-hak yang sama persis tanpa perbedaan, kefanatikan atau

kekhususaan, dan setiap negara, seluruh dunia, yang ditegakkan atas dasar

dan prinsip ini adalah negara Islam baik ia berdiri di Afrika, di Amerika, di

Eropa atau di Asia, dijalankan dan dilaksanakan urusan-urusannya oleh

orang-orang yang berkulit merah atau hitam ataupun kuning. Tidak ada

suatu hambatan sesuatu pun mengalanginya untuk menjadikan sebuah

negara dengan kekhususan ideologi ini. Sebagai sebuah negara sesuai

dengan hukum-hukum internasional. Dan apabila di berbagai tempat di

atas bumi ini terdapat beberapa negara seperti ini, maka semuanya adalah

negara Islam yang dapat saling tolong menolong dan bantu membantu di

antara mereka, sebagaimana layaknya sanak saudara yang saling

mengasihi, tidak bertarung atas dasar nasionalisme ataupun ikatan-ikatan

kebangsaan yang beraneka ragam.5 Dan apabila mereka sama-sama

mencapai persetujuaan, mereka pun dapat membentuk perdamaian

internasional dan kesatuan pendapat umum yang bersifat internasional.

6. Semangat hakiki yang menjiwai negara ini adalah mengikuti akhlak dan

bukan mengikuti politik serta tujuannya, serta menjalankan urusan-

urusannya berdasarkan taqwa kepada Allah dan takut kepada-Nya. Dasar

keutamaaan seseorang dalam negara ini ialah keutamaan dalam bidang

akhlak semata-mata. Urusan-urusan yang dapat dipelihara dan layak

diperhatikan dan diayomi ketika pemilihan para pemimpin dan orang-

orang ahlu al-hall wa-al-aqdi (yang berhak “melepas dan mengikat”)

dalam negara ini ialah kebersihan akhlak dan kesuciaannya di samping


5
Ibid
kemampuaan intelegensia dan fisik. Setiap bagian dalam urusan dalam

negeri sistem negara ini haruslah ditegakkan atas dasar amanat, keadilan,

ketulusan, dan persamaan, sebagaimana politik luar negerinya juga harus

ditegakkan atas dasar ketulusan sempurna dan berpegang teguh dengan

ucapan-ucapan atau keputusan- keputusan yang telah dibuat, dan

mengusahakan adanya perdamaian dan keadilan internasional serta

perilaku yang sebaik-baiknya.

7. Negara ini tugasnya bukanlah melaksanakan kewajiban-kewajiban

kepolisian semata-mata, sehingga menjadikan fungsinya hanya

menangkap, menahan, menetapkan peraturan-peraturan serta menjaga

batasan-batasan negara, tapi ia adalah negara yang memiliki sasaran dan

tujuan, kewajibannya yang terpenting ialah menyeruh perbuatan kebaikan

dan melaksanakan keadilan sosial, menyuburkan kebajikan, mencegah

kemungkaran dan memberantas kejahatan serta segala bentuk kerusakan.6

8. Nilai-nilai asasi negara ini ialah persamaan hak, kedudukan dan

kesempatan serta pelaksanaan undang-undang, saling tolong menolong

dalam kebaikan dan ketaqwaaan dan tidak saling tolong-menolong dalam

dosa dan pelanggaraan, kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Allah,

kesesuaian antara individu dan masyarakat serta negara dalam sasaran

yang satu, dan tidak membiarkan salah seorang anggota rakyat negara ini

terpenuhi kebutuhan-kebutuhan asasinya atau keperluan-keperluan

hidupnya yang esensial.7


6
Ibid., hlm.40
7
Ibid., hlm. 40-41
9. Telah disepakati adanya hubungan keseimbangan antara individu dan

negara dalam hal kepentingan, sehingga tidak menjadikan negara sebagai

penguasa mutlak yang dapat berbuat apa saja, atau menjadikan menjadikan

dirinya sebagai majikan yang memiliki kekuasaan tanpa batas dan

kesewenangan yang meliputi segalanya, yang akhirnya menjadikan rakyat

sebagai hamba yang dimilikinya, tanpa daya dan kekuatan; tapi ia juga

tidak memberikan kemerdekaan mutlak tanpa batas kepada individu dan

membiarkannya berbuat apa saja, sehingga menjadikannya sebagai musuh

bagi dirinya sendiri dan bagi kepentingan mmasyarakat. Tapi ia

memberikan, kepada setiap individu, hak-hak mereka yang asasi dan

mewajibkan kepada pemerintah untuk mengikuti undang-undang tertinggi

dan berpegang teguh pada permusyawaratan, serta menyiapkan

kesempatan-kesempatan yang sempurna untuk mendidik dan membina

kepribadian individu dan menjaganya dari campur tangan kekuasaan tanpa

alaaan, dalam satu segi, dan dalam segi yang lain, ia mengikat orang

perorang dengan ikatan-ikatan akhlak dan mewajibkan, atas dirinya,

ketaatan kepada pemerintah yang berjalan sesuai dengan undang-undang

Allah dan syari’at-Nya, dan bekerja sama dengannya dalam kebaikan dan

kebajikan dan melarangnya menyebabkan kerusakan dalam tatanannya

atau menyebarkan kekacauan di seluruh negeri, atau enggan berkorban

dengan menjaga jiwa dan harta demi mempertahankankannya.8

8
Ibid., hlm. 41
D. Bentuk Kekuasaan Khilafah9

Salah satu fenomena yang menarik pada dekade-dekde terakhir ini,

khususnya yang terjadi di Indonesia tiga tahun terakhir ini, adalah semakin

kompleksnya pertautan antara kekuasaan dengan kekerasan sebagai akibat dari

semakin maju dan meningkatnya kompleksitas teknologi, manajeman, dan

kehidupan dan kehidupan sosial politik. Kekuasaan dan kekerasaan yang ada

dibaliknya kini dilengkapi dengan teknologi yang tinggi (high technology).

Artinya, cara, trik, taktik, dan strategi yang digunakan dalam melanggengkan

kekuasaan begitu canggih, sehingga kekerasan—yang sebenarnya merupakan

bagian yang menyatu dalam proses mempertahankan kekuasaan—diciptakan

sedemikian rupa, sehingga seakan-akan kekerasan itu tidak pernah ada. Kekerasan

ditutup dengan berbagai topeng dan tirai- tirai, seolah-olah ia dilakukan oleh

kelompok tertentu yang anti pemerintahan (maker, subversi). Seolah- olah

kekerasan itu murni terjadi antara kelompok- kelompok masyarakat yang sedang

bermusuhan. Padahal, dibalik semua kekerasan itu ada skenario yang diciptakan,

yang semuanya pada akhirnya bermuara pada upaya pelanggengan kekuasaan.

Sama halnya dengan apa yang terjadi pada bangsa Arab terdahulu,

ditemukan suatu uraian tentang konsep negara Islam secara relatif adalah suatu hal

yang baru saja dimulai. Walaupun sebenarnya, persaingan untuk merebut

9
Istilah khilafat telah disepakati dalam Islam sudah dimulai sejak terjadinya pemilihan
Abu Bakar untuk menempati jabatan kepemimpinan umat, yang terjadi setelah wafatnya
Rasulullah, yang pada akhirnya istilah tersebut telah dipakai untuk menyebutkan seseorang yang
memegang kekuasaan tertinggi (menjadi Imam). Kata Imam atau Imamah ini sedang digunakan
oleh bani Abassiyah, di mana pada saat itu golongan Abassiyah mendorong para ulama Sunni
untuk menggunakan istilah tersebut bagi teori politik Sunni. Baca Qmaruddin Khan, Tentang Teori
Politik Islam, terjemahan Taufik Adnan Kamal, cet. I (Bandung: Pustaka, 1987) hlm. 26
kekuasaan itu sejak lama sudah ada, bahkan pada zaman kehidupan Rasululllah

itu sendiri.

Berbagai konflik, bahkan dalam persenjataan, yang mempertentangkan

antara seorang muslim dengan seorang muslim yang lainnya. Menunjukkan

keingingan-keinginan yang dapat menimbulkan perdebatan, yang akhirnya akan

menjurus pada perpecahan. Mulai dari perpecahan umat Islam di Madinah (pada

zaman Rasulullah sendiri, antara berbagai kelompok). Dan yang paling menonjol

adalah antara pihak Muhajirin dan Anshar. Dalam peperangan Siffin, antara Ali

dan Muawiyah, kemudian perlawanan Husein, anak Ali terhadap Yazid anak

Muawiyah, dan akhirnya jatuhnya kedaulatan Bani Umayyah, yang digantikan

dengan Bani Abbasiyah.

Dalam kenyataan, justru perpecahan dan perjuangan politik inilah yang

akhirnya mengakibatkan munculnya perpecahan teoritis (tentang kekuasaan

Islam). Sehingga timbullah aliran-aliran, mazhab-mazhab, dan doktrin-doktrin

yang berbeda pendirian sekte-sekte (seperti Sunni, Syiah, dan Khawarij), yang

pada intinya itu semua terjadi karena didasari dengan adanya cinta kekuasaan. Hal

inilah yang merupakan menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat, khususnya

dalam mazhab-mazhab politik. Pandangan orang-orang yang cinta politik

kekuasaan akan selalu berhenti pada hal yang berhubugan dengan kekuatan

kekuasaan. Pandangan ini muncul dari keinginan khusus mereka dan berusaha

menguatkan dengan mengaku ikhlas dalam menyerukan seruannya dan

menekankan bahwa apa yang mereka katakan itulah yang paling benar. 10
10
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa adakala seorang pemimpin-pemimpin itu
mempunyai seorang pedukung yang mengeluh-ngeluhkannya. Mereka memberikan dukungan dan
menyebarluaskan berbagi pandangan dalam rangka dukungan itu, padahal sesungguhnya mereka
Fanatisme rasional atau etnis kadang-kadang menjadi penyebab perbedaan

pendapat pula. Penyebab inilah yang akhirnya dapat dikategorikan menjadi atau

ke dalam cinta kekuasaan.

Sekarang marilah melihat secara singkat berbagai masalah teoritis tentang

kekuasaan khalifah dalam Islam. Masalah-masalah tersebut lebih lanjut diuraiakan

dan paparan dalam paparan yang selanjutnya.

1. Perlunya seorang khalifah

Prinsip politik sekitar jabatan khalifah, cukup sederhana bahwa

kepemimpinan umat setelah wafatnya Rasulullah SAW, janganlah

dibiarkan kosong begitu saja. Untuk itu diperlukan adanya seorang

khalifah, dan seorang khalifah tersebut haruslah dipilih untuk menduduki

jabatan tertinggi itu, guna manjalankan tugas utama yang timbul adalah

tentang kewajiban dan sifat pokok (calon untuk jabatan khalifah tersebut).

Mayoritas kalangan Sunni sekarang telah sepakat tentang kepastian

adanya seorang pemimpin (Imam).11 Yang bertujuan untuk menegakkan

persatuan dan mengatur masyarakat, mengusahakan tetap berlakunya

hudud (hukuman atas kejahatan-kejahatan yang tertentu ), mengumpulkan

zakat dari orang-orang kaya dan mendistribusikan kepada orang-orang

miskin, mempertahankan batasan-batasan wilayah kekuasaan,

menyelesaikan masalah-masalah dengan mengangkat para hakim,

telah menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pendapat mereka yang paling benar.
Padahal kelompok yang semacam ia adalah merupakan kelompok yang paling berbahaya bagi
kelompok manusia yang lainnya. Baca Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik dan
Aqidah Dalam Islam, terjemahan Abdur Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, cet. I ( Jakarta: Logos,
1996 ), hlm. 4
11
Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik, hlm. 87
menyatukan pendapat,melaksanakan hukum syara’ dan menciptakan.

Negara yang penuh dengan keberkatan sebagaimana yang diajarkan

(dianjurkan) oleh Islam. Hal inilah yang merupakan jadi dasar kesepakatan

kaum muslimin, khususnya kaum Sunni. Berbeda dengan sejumlah kecil

golongan Khawarij yang menolak untuk mengakui keharusan adanya

seorang khalifah.12 Sementara itu Ibn Khaldun, ia mengatakan; “ kemudian

dari pada itu, jabatan imam wajib hukumnya dalam syara’ ditetapkan

melalui ijma’ para sahabat dan tabi’in, sebab seiring dengan wafatnya

Rasullah para sahabat juga bersegera membai’at Abu Bakar ash-Shidiq

lalu menyerahkan persoalan mereka kepadanya. Demikian pula yang

terjadi pada masa sesudahnya; tidak pernah barang sedetik pun umat

dibiarkan kacau tanpa adanya pemimpin ketetapan yang diambil melalui

ijma’ ini membuktikan wajibnya seorang imam”. 13 Mayoritas para teolog

yang menerima akan perlunya sistem khalifah, dengan mengacu pada dua

sistem yaitu:

a. Meletakkan dasar-dasar kewajibannya pada bukti-bukti nas

(syari’).
12
Seperti Abu Bakar al-Asam dan Hisyam al-Fuwati. Bagi al-Asam, “Komunitas yang
ideal adalah yang terdiri dari manusia-manusia jujur; dengan demikian, tidak memerlukan adanya
pemimpin- pemimpin politik. Hanya ketika ketidakadilan manusia yang mengharuskan
memberikan atau menerima seorang pemimpin. Orang sudah menahan diri untuk tidak saling
bermusuhan tidak perlu untuk mempunyai seorang khalifah “Sementara al-Fuwati dipihaknya
melihat bahwa “Ketika komunitas Islam sudah terpecah-pecah belah dan tenggelam dalam anarsi
pertentangan, maka selurh kepemimpinan (dalam pengertian yang luas, termasuk pula khalifah),
adalah kepemimpinan menurut kenyataan de facto, dan bukan berdasrkan pada de jure. Hanya jika
suatu komunitas sudah bersatu, akan mampu bersepakat untuk memilih seorang imam, dan imam
itu menjadi sah. Baca Mehdi Muzaffari, Kekuasaan Dalam Islam, terjemahan Abdul Rahman
Ahmed, cet. I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 32
13
Diya’ ad-Din ar-Rais, Islam Dan Khalifah: Kritik Terhadap Buku Khilafah Dan
Pemerintahan Dalam Islam, Ali ‘Abdur Raziq, terjemahan Afif Muhammad, cet. 1 (Bandung:
Pustaka, 1985), hlm.172
b. Tentang pemilihan seorang khalifah, harus mepunyai dua aspek

yaitu, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang calon

khalifah dan cara pemilihannya.

2. Persyaratan yang wajib dipenuhi bagi calon khalifah.

Untuk terciptanya kekhalifahan yang bersifat kenabian dan tidak

beruba menjadi kerajaan turun menurun, maka para ulama telah menyusun

berbagai syarat (untuk dipenuhi oleh seorang calon khalifah), yang garis

besarnya ada persamaan. Seorang calon khalifah harus memenuhi syarat-

syarat kedewasaan (baligh), berakal sehat, laki-laki dan seorang yang

bebas (orang-orang budak dikecualikan). Dalam hal ini jumhur ulama

(Sunni), telah sepakat untuk menetapkan empat syarat bagi seorang yang

diangkat menjadi imam, yaitu suku Quraisy, adanya bai’at, hasil

musyawarah, dan bersifat adil.14 lebih lanjut kaum Sunni tidak

menentukan syarat utama seorang calon yang akan menjadi

khalifah,mereka lebih mementingkan dari silsilah keturunan suku Quraisy.

Hal ini terbukti, dimulai sejak keempat khalifah Arab, yaitu dari al-

Khulafa ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali), Khalifah Bani

Umayyah, Khalifah Bani Abbasiyah dan Khalifah Fathimiyah, yang

kesemuanya itu berasal dari suku Quraisy, yaitu suku Rasulullah SAW

sendiri berasal.15 Sementara menurut Ibn Taimiyah, hendaknya dipilih


14
Baca Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik, hlm. 88-104
15
Mahdi Muzaffary, Kekuasaan dalam Islam, hlm. 34
orang yang paling sesuai untuk menempati setiap jabatan yang ada.

Sesungguhnya untuk menempati sebuah posisi (kedudukan) tertentu. Maka

untuk menjadi seorang khalifah hendaknya memenuhi dua kriteria sebagi

berikut ini, yaitu harus adanya Quwwah (otoritas) dan amanah (jujur dan

dapat dipercaya).16 Tampaknya dalam hal ini (amanah), Ibn Taimiyah

mengartikannya menjadi dua arti.

a. Yang dimaksudkan dengan amanah adalah kepentingan-

kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara

untuk mengelolanya. Dan pengelolaannya akan baik sempurna

jikalau dalam pengangkatan para pembantunya, seorang pemimpin

harus memilih orang-orang yang betul-betul memiliki kecakapan

dan kemampuan.

b. Perkataan amanah yang dimaksudkan juga mengandung

arti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh kepala

negara, dan kalau untuk melaksanakannya dia memerlukan wakil-

wakil dan pembantu-pembantu, hendaknya mereka terdiri dari

orang-orang yang betul-betul memiliki persyaratan kecakapan dan

kemampuan. Dan kalau memang dia melimpahkan wewenang

memerintah pada wakil, pembantu dan pejabat yang kurang cakap

sedangkan terdapat orang-orang yang memenuhi syarat, ini akan

dapat terlihat dan merupakan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul,

16
Ibn Taimiyah, Siyasah Syari’iyah: Etika Politik Islam, terjemahan: Rafiq Munawar, cet.
I (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 11-12.
dan umat Islam.17 Adapun golongan Ahlu as-Sunnah berpendapat,

bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin adalah:

calon tersebut harus memiliki keutamaan (wibawa), adil, dan

ikhlas. Sebab jika syarat seperti itu sudah tidak ada, dan juga sudah

terbentuknya atau terpilihnya seorang imam, maka jalan terbaik

yang harus dilakukan adalah mematuhinya dengan sabar. Karena

itu dipandang lebih baik daripada menentangnya. Hal ini

mengingat akibat yang timbul dari tindakan menentang itu, antara

lain adalah keamanan akan berubah menjadi sebuah ketakutan,

darah akan mengalir di mana-mana, dan kerusakan pasti akan

terjadi (timbul).18

3. Cara Untuk Memilih Khalifah.

Dengan wafatnya Rasulullah SAW, maka berakhir pula situasi yang

sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin

tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi), yang

berdasarkan pada kenabian dan bersumberkan pada wahyu Ilahi. Dan

situasi tersebut tidak akan terulang lagi, karena menurut kepercayaan

Islam, Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi dan utusan Tuhan yang

terakhir. Sementara itu Rasulullah tidak meninggalkan wasiat dan pesan

tentang siapa di antara sahabat yang harus menggantikan Rasulullah

sebagai pemimpin umat. Sebab agama Islam, dalam bentuk asalnya tidak

17
Munawwir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet. I
(Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 85-86
18
Muhammad Abu Zarrah, Aliran-aliran Politik, hlm.106
menetapkan suatu cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang

khalifah (pengganti Rasulullah). Kenyataan ini, dalam berbagai hal, adalah

suatu opini yang dipegang oleh sejumlah besar (jumhur ulama ) umat

Islam, dalam hal ini adalah mazhab Sunni.

Tidak ada sebuah nas yang memberikan instruksi tentang tata cara

pemilihan seorang pemimpin ini, hal inilah yang menimbulkan berbagai

cara dan prosedur. Empat al-Khulafa ar-Rasyidun, yang silih berganti

memimpin masyarakat Islam, yakni selama selama 29 tahun (632-661 M)

jelas-jelas nampak, bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang

berbeda (empat cara). Apabila menambahkan aspek keturunan, selain

keempat cara tersebut, maka akan menemukan lima cara dalam memilih

seorang khalifah sebagi berikut:19

a. Pertimbangan dari sebuah majlis (Saqifa)

b. Pilihan dari seorang yang berkuasa ( ‘Ahd )

c. Pilihan melalui musyawarah sahabat tertentu ( Syurah )

d. Khalifah yang diangkat setelah terjadinya pemberontakan (Fitnah)

e. Pemilihan berdasarkan keturunan (Irth)

E. Dasar Perundang-undangan

19
Baca Mehdi Muzaffary, Kekuasaan Dalam Islam, hlm. 36-38. Sementara Dhiya ad-Din
ar-Rais berpendapat, bahwa prinsip kekhalifahan dikalangan kaum Muslimin hendaknya
bersumber pada pemilihan ahl al-hal wa al-‘Aqd….. hanya saja bila kita merujuk pada kenyataan
yang ada, maka kita akan menemukan kenyataan bahwa khalifah Islam selama ini tidak berbijak
pada asas apapun selain kekuatan dan paksaan yang sewenang- enang. Kecuali dalam jumlah yang
amat kecil, kekuatan itu pada umumnya merupakan kekuatan bersenjata…” Lihat Diya ad-Din ar-
Rais, Islam Dan Khilafah, hlm. 233- 234.
Prinsip-prinsip yang merupakan tumpuan undang-undang dasar daulah ini

ialah firman Allah S.W.T:

ِ‫فيِاَأفيَيِفهاَ الرإذيِفن فءافمكنِوُا أفإطيِكعوُا اف فوأفإطيِكعوُا الرركسوُفل فوأكموإلىِ مالفممإر إمنِككمم ففإإن‬

‫تففنِاَفزمعتكمم إفيِ فشمىِءء ففكريَدوهك إإفلىِ اإ فوالرركسوُإل إإنِ ككنِتكمم تكمؤإمكنِوُفنِ إباَلإ فوامليِفموُإم‬

‫ك فخميِ ككر فوأفمحفسكن تفأمإويِل‬


‫مالفإخإر فذلإ ف‬. 20

Ayat ini menjelaskan tentang enam hal yang bersangkutan dengan

konstitusi dasar yaitu:

1. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya didahulukan dari segala ketaatan

kepada yang lain.

2. Ulil–Amri haruslah terdiri dari atas orang-orang mukmin.

3. Ketaatan kepada ulil-amri datang setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-

Nya.

4. Rakyat mempunyai hak menggugat para penguasa dan pemerintah.

5. Ketaatan penentu dalam setiap perselisihan adalah undang-undang Allah

dan Rasul-Nya.

6. Diperlukan adanya suatu badan yang bebas dan merdeka dari tekanan

rakyat maupun pengaruh para penguasa, agar dapat memberi keputusan

dalam perselisihann-perselisihan sesuai dengan undang-undang Allah dan

Rasul-Nya.

Dengan demikian ayat tersebut di atas mengandung beberapa unsur, yaitu;

20
An-Nisa' (4): 59.
a. Kekuasaan badan eksekutif haruslah dibatasi dengan batasan-batas

Allah, diikat dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya, yaitu undang-

undang yang tidak boleh dilampauinnya dengan memilih suatu politik

atau mengeluarkan suatu hukum yang dapat digolongkan sebagai

maksiat atau pembangkangan terhadap konstitusi ini. Sebab apabila ia

keluar dari lingkaran ini, maka ia kehilangan haknya untuk menuntut

ketaaatan rakyat kepadanya. Lebih jauh, badan eksekutif ini haruslah

dibentuk dengan jalan permusyawaratan, yakni pemilihan, dan itu adalah

satu-satunya jalan yang dibenarkan, sebagimana ia harus melaksanakan

tindakan-tindakannya berdasarkan permusyawaratan. Al-Qur’an tidak

menentukan bentuk atau rupa tertentu berkenaan dengan

permusyawaratan dan pemilihan, tetapi ia meletakkan dasar-dasar umum

dan kaidah-kaidah yang luas, kemudian membiarkan bentuk-bentuk

pelaksanaannya ditetapkan sendiri oleh manusia dalam zaman yang

berbeda sesuai dengan zaman dan kondisi lingkungan mereka.21

b. Lembaga legislatif haruslah bekerja berdasarkan pada musyawarah,

namun kekuasaan-kekuasaannya dalam membuat undang-undang harus

dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Perkara-perkara yang oleh

Allah dan Rasul-Nya telah ditetapkan hukumnya yang jelas dan atau

telah ditetapkan batasan dan prinsip dasarnya, maka badan legislatif ini

dibolehkan membuat penafsiran-penafsiran, perincian-perincian atau

mengajukan saran-saran untuk membuat kaidah peraturan sampingan

21
Mahdi Muzaffary, Kekuasaan Dalam Islam, hlm. 67
dan ikatan khusus dalam melaksanakannya dan menjalankannya. Tatapi

badan ini tidak diperbolehkan melakukan suatu penolakan atau

pergantian.22 Adapun perkara-perkara yang oleh pemegang kekuasaan

tertinggi yakni Allah belum ditetapkan hukumnya yang pasti atau belum

diletakkan dasar atau batasan-batasannya, maka badan legislatif ini

diperbolehkan membuat undang-undang yang sesuai dengan ruh Islam

serta prinsp-prisipnya yang umum, sebab tidak adanya ketentuan dari zat

pembuat syari’at. Yakni Allah mengenai perkara-perkara itu,

menunjukkan bahwa Dia telah menyerahkannya kepada kebijaksanaan

kaum mukmin yang benar.

c. Lembaga yudikatif haruslah bersifat bebas dan terlepas dari segala

campur tangan, tekanan, pengaruh, sehingga dapat membuat keputusan,

baik melawan rakyat atu penguasa, sesuai dengan konstitusi, tanpa rasa

takut atau penyimpangan.23 Dalam hal ini ia haruslah mengikuti batasan-

batasan yang telah ada. Dan menjadikannya untuk memutuskan perkara-

perkara dengan haq dan adil tanpa terpengaruh oleh kecenderungannya

sendiri ataupun kecenderungan orang lain.

BAB III

SKETSA BIOGRAFI HASAN AL-BANNA

DAN YUSUF AL-QARADAWI

22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 69
A. Sketsa Biografi Hasan al-Banna.

1. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan

Selama abad ke-19, nasib politik dan ekonomi Mesir semakin erat terkait

dengan Eropa. Selama awal 1800-an, Mesir mengekspor kapas ke Eropa dalam

jumlah yang besar, dan kapaspun menjadi hasil utama Mesir. Berbagai proyek

dikembangkan dalam rangka memudahkan tumbuhnya perdagangan antara Mesir

dan Eropa. Yang terpenting dari proyek itu adalah pembangunan Terusan Suez

yang selesai pada tahun 1869, yang mengakibatkan Mesir banyak berhutang budi

pada kreditur Eropa. Kolonialisme Inggris telah mencengkeram seluruh bagian

negeri Mesir saat itu, alam pikiran Perancis dan Barat pada belum ternoda ke

berbagai belahan, karena perjalanan waktu sebagai respon terhadap adanya

pemaksaan atas budaya kebaratan oleh Eropa (Inggris). Muhammad Abduh dan

Rasyid Rida adalah dua orang pioneer penting yang memberikan respon hal

tersebut.

Mereka berpendapat bahwa jika Islam dipahami dengan benar, maka

sangat selaras dengan nalar dan sains serta kaum Muslimin dapat beradaptasi

dengan kondisi modern tanpa meninggalkan agama. Kenyataan ini terus terjadi

hingga memasuki dekade abad ke-20. Dan di saat seperti inilah seorang Hasan al-

Banna untuk menjawab tantangan zamanya dan menanggung beban yang berat.

Hasan al-Banna lahir pada bulan 1 Muharram tahun 1324 H atau pada 25 Februari

1906 M di sebuah desa yang dikenal dengan nama al-Mahmudiyah, yang masih
50
termasuk wilayah al-Buhairah dengan ibu kotanya Damanhur, terletak 90 mil dari
barat daya Kairo (ibukota Mesir).24 Ayahnya bernama Syekh Ahmad

Abdurrahman, seorang yang pekerjaan sehari-harinya sebagai tukang reparasi jam

yang dengan ketekunannya serta kesabaranya menjadikan ia seorang ulama besar

hadis dan pentahqiq hadis ternama.

Sejak kecil, al-Banna dididik dalam lingkungan yang taat beragama.

Pengaruh ayahnya terutama telah membentuk kepribadiannya menjadi orang yang

taat dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama di atas segala-galanya sehingga

tindak-tanduk dan perilaku keseharianya mencerminkan sosok Muslim sejati.

Ketika usia al-Banna memasuki 8 tahun ayahnya menyekolahkannya ke Madrasah

Diniyah ar-Rasyad. Madrasah ini didirikan oleh Syekh Muhammad Zahran, dan

sekaligus ia menjadi guru al-Banna.25 Di madrasah ini, al-Banna dapat menghafal

separuh al-Qur’an. Kemudian Syekh Muhammad Zahran meninggalkan madrasah

ini ketika al-Banna mencapai usia 12 tahun.26 Pengganti Syekh Muhammad

Zahran tidak setingkat dengannya, maka al-Banna tidak betah lagi di madrasah ini

sehingga ia pindah ke madrasah I’dadiyah, madrasah ini setingkat dengan

Madrasah Ibtidaiyah, hanya tanpa pelajaran bahasa asing. Siang hari ia masuk

sekolah madrasah I’dadiyah dan malam harinya ia mengambil waktu untuk

menghafal al-Qur’an serta mempelajari ilmu-ilmu agama lainya dari ayahnya.

Dan pada usia yang relatif muda ini, al-Banna masuk sebuah jama’ah

Diniyah (perhimpunan keagamaan), yaitu jama’ah Suluk Akhlaqi, suatu

24
Rahmat Tohir Ashari, Konsep Pergerakan Al-Ikhwanuul Muslimun: Upaya Mengenal
Hasan al-Banna Lebih Dekat, Dalam Islam Garda Depan; Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
M. Aunul Abid Shah, cet.I (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 62
25
2 Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna Untuk Dakwah dan Para Da’inya, alih
bahasa Salafuddin Abu Sayyid & Hawn Murtadha, cet. II (Solo: Era Intermedia, 1999), hlm. 26
26
3 Ibid., hlm. 28
perhimpunan yang membina para siswa agar berakhlak mulia. Disamping itu al-

Banna juga bergabung dalam jama’ah yang lain yaitu jam’iyah Man‘al-

Muharramat atau assosiasi anti haram. Satu hal yang perlu di catat, ketika masih

di madrasah ini, pada usia 13 tahun ia telah ikut memprotes atau berdemontrasi

menuntut kepergian Inggris.

Setelah itu, karena pemerintah menetapkan penghapusan sistem madrasah

I’dadiyah, al-Banna akhirnya pindah ke madrasah Mualimin al-Awwaliyah di

Damanhur. Al-Banna kemudian masuk ke sebuah kelompok tasawwuf yaitu

tarikat Hasafiyah. Di jama’ah inilah al-Banna berjumpa dengan Ahmad asy-

Syukri yang dikemudian harinya menjadi wakil ketua al-Ikhwan al-Muslimun.

Keaktifan al-Banna pada tarikat sufi al-Hasafiyah menjadikannya senantiasa

menghargai tasawwuf selama tidak mengandung bid’ah. Al-Banna tidak pernah

mengutuk tasawwuf, bahkan ia menyerukan pembaharuan sufi yang salah jalan

dan menyerukan pembersihan tulisan sufi dari noda. Setamatnya dari Madrasah

Mualimin al-Awwaliyah, al-Banna kemudian melanjutkan ke Dar al-Ulum di

Kairo. Dar al-Ulum didirikan oleh Muhammad Abduh dan dimashurkan oleh

Rasyid Rida. Ketika masih mahasiswa di Dar al-Ulum, atau upayanya sendiri, al-

Banna membaca karya-karya Spengler, Spencer, dan Arnold Toynbe. Selama

hidup dan kuliah di Dar al-Ulum Kairo, al-Banna mendapat setuasi yang

dianggapnya tidak lagi berpatokan pada prinsip-prinsip Islam.

Gelombang atheisme dan liberalisme melanda Mesir. Al-Banna

menyesalkan gerakan kemalisme di Turki yang menghapuskan kekhalifahan Islam

dan memisahkan agama dari negara. Dengan melihat kenyataan ini, al-Banna
berinisiatif mengajak teman-temanya sekampus serta dari berbagai perguruan

tinggi lain di Mesir, untuk menyusun barisan guna memperingatkan mereka. Jalan

yang di tempuh adalah memulai dakwah secara terbuka di berbagai tempat-

tempat umum, kafe-kafe, atau kedai kopi dan usaha ini ternyata berhasil sesuai

dengan yang ditargetkan. Pada tahun 1927, di tengah kesibukannya dalam

aktivitas Islam, al-Banna mampu menyelesaikan studinya di Dar al-Ulum. Al-

Banna diangkat kementerian Pendidikan menjadi guru bahasa Arab untuk sekolah

dasar di Ismailiyah yang berlokasi di Terusan Suez dan lokasi Markas Besar Suez

Canal Copeny.

Dominasi asing sangat tampak di Ismailiyah, betapa perbedaan yang

sangat mencolok antara orang-orang asing ( Eropa ) dengan penduduk pribumi.

Kenyataan ini memberikan inspirasi atau wahyu yang unik tersendiri bagi

penambahan kesadaran sosial al-Banna. Dengan berbagai pengalaman yang

matang tentang organisasi karena Hasan al-Banna dari setiap jenjang pendidikan

yang ia tempuh, selalu aktif di berbagai organisasi dam sering menjadi inspirator

bagi yang lain dan dengan analisis yang cermat tentang kenyataan yang dihadapi

masyarakat Muslim Mesir, di samping atas desakan dari sahabat yang telah

didakwahinya selama berada di Ismailiyah, maka pada bulan 1 Muharram tahun

1347 H atau 20 Juli1928, al-Banna mendirikan suatu jama’ah (perkumpulan) yang

diberi nama al-Ikhwan al-Muslimun. Jama’ah ini meletakkan pondasinya di atas

pondasi fikrah (pemikiran), maknawiyah (moralitas) dan amaliyah (gerakan,

aktifitas). Selanjutnya aktifitas-aktifitas al-Banna banyak tersita bahkan


sepenuhnya tertumpah dan tertuang pada organisasi al-Ikwan al-Muslimun. Ia

menjadi ideologinya, konseptor dan bahkan menjadi pelaksana dan pimpinannya.

Diantara berbagai aspek perjuangan di dalam pergerakannya itu Hasan al-

Banna paling mementingkan aspek pendidikan bagi generasi yang sedang tumbuh.

Dalam berbagai kesempatan tak jemu-jemunya ia mengimbau pemerintah agar

menata kembali pendidikan berasaskan Islam, melarang pendidikan tambahan dan

memperhatikan pentingnya penyusunan kurikulum yang berbeda antara siswa

putra dan siswa putri. Secara khusus ia memohon agar pengajaran ilmu-ilmu

eksakta tidak dibaurkan dengn faham materealisme modern, agar Mesir mampu

menimba keuntungan sebanyak-banyaknya dari segala ilmu yang bermanfaat

tanpa harus menanggung akibat yang berbahaya.27

Menjelang akhir perang dunia II, al-Ikhwan al-Muslimun telah

menanamkan pengaruh yang sangat besar di seluruh Mesir, benar-benar telah

mendirikan negara di dalam negara. Hampir tak ada kota atau kabupaten di Mesir

yang tak memiliki cabang organisasi tersebut.

Al-Banna telah menciptakan satu sistem pendidikan sendiri yang telah

lengkap dan terpadu. Sekolah-sekolah, Masjid-masjid, pusat-pusat kesejahteraan

masyarakat dan usaha-usaha perdagangan yang maju yang semuanya berpapan

nama Ikhwan, dapat dijumpai di seluruh pelosok Mesir. Surat kabar, pamflet,

majalah dan buku-buku yang mereka terbitkan sirkulasinya semakin hari semakin

meningkat. Kini pengaruh al-Ikhwan Muslimun mulai menembus batas-batas

negara, karena para remaja di negara-negara tetangga semakin banyak yang

mengharapkan bimbingan dari Hasan al-Banna. Didirikanlah cabang-cabang di


27
Maryam Jamilah, Para Mujahid Agung, cet. I ( Bandung: Mizan, 1997 ), hlm. 131
Siria, Libanon, Yordania, Palestina, Maroko dan Sudan.28 Seperti halnya

Jamaluddin al-Afghani, syekh Hasan al-Banna menyadari bahwa tidak mungkin

bagi suatu masyarakat Islam untuk mendapatkan kemajuan di bawah kekuasaan

asing yang memusuhinya. Karena itu ia menyerukan agar memasang bendera

jihad sampai darah penghabisan melawan imperialisme Inggris, baik secara politis

maupun ekonomi. Ia menuntut kepada kerajaan Inggris Raya agar melepaskan

kekuasaannya terhadap Terusan Suez. Ia membenci Zionisme, dan semua yang

berbau Zionisme menimbulkan kebencian yang mendalam dan berapi-api

sehingga ia bersumpah untuk memerangi bahaya laten ini sampai ajal tiba. Selama

pertempuran dengan gagah berani seperti yang dilakukan pasuka Ikhwan.

Tak pernah pula kaum Zionis menghadapi musuh sesengit dan setangguh

ini. Karena popularitas dan pengaruhnya semakin lama semakin besar, golongan

penguasa yang sedang memerintah mulai menganggap Ikhwan suatu ancaman

subversif yang paling berbahaya. Pada bulan Desember 1948, pemerintah

melakukan penekanan ala Inggris dan menyatakan bahwa pergerakan tersebut

dianggap tidak sah. Beribi-ribi Ikhwan dijebloskan ke dalam penjara dan harta

kekayaan mereka disita negara. Hampir tak masuk akal, dua bulan kemudian

tepatnya 12 Februari 1949, Hasan al-Banna tertembak mati di sebuah jalan di kota

Kairo oleh seorang pembunuh tak di kenal.29 Seorang tokoh besar pergerakan

Islam abad duapuluh telah tiada. Namun demikian, Hasan al-Banna adalah

seorang pribadi yang telah mengejutkan Mesir dan dunia Islam kata Abul Hasan

Ali an-Nadwi. Atau seperti ditulis Syekh Muhammad al-Hamid, ratusan tahun

28
Ibid, hlm. 132.
29
Ibid, hlm. 133-134
kaum Muslimin takkan pernah menyaksikan pribadi setara Hasan al-Banna.

Akhirnya al-Bahi al-Khulli melukiskan Hasan al-Banna adalah sebuah gagasan

yang menyimpan kekuatan dan menjanjikan ledakan yang dahsyat, itulah

sebabnya mengapa ia senantiasa hidup di sisi kita bagai sentuhan kelembutan

mimpi.

Karena Hasan al-Banna lebih banyak bahkan seluruh hidupnya dituangkan

dalam aktifitas yang begitu padat setiap harinya, maka wajar ia tidak sempat

menulis seluruh ide-idenya atau pemikiran- pemikirannya dalam bentuk buku

yang sistematis dan komprehensif. Tapi sebagian idenya itu disampaikan melalui

ceramah-ceramah, pidato-pidato, tulisan-tulisan singkat berupa artikel di berbagai

media massa. Sekalipun demikian, Hasan al-Banna jelas memiliki konsep yang

padu dan utuh bagi pembaharuan dan gerakan yang diinginkan dan didirikannya.

Oleh karena itu setidaknya terdapat dua buku yang disusun dari berbagai tulisan,

ceramah, pidato-pidato Hasan al-Banna di antaranya, yaitu:

1. Majmu’ah Rasa’il al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna yang telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Risalah Pergerakan Ikhwanu

al-Muslimin" sebanyak dua jilid.

2. Muzakirat ad-Da’wah wa ad-Daiyah yang juga telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia dengan judul "Memoar Hasan al-Banna untuk Dakwah

dan para Da’inya".

Pengalaman dan Aktifitas Keilmuan.

Setelah perang Dunia pertama berakhir, kekuatan-kekuatan pendukung


westernisasi di Mesir memperoleh peluang emas. Bangkitnya nasionalisme

di kalangan dunia Islam mencapai puncaknya dengan dihapuskannya kekhalifahan

oleh Kamal Ataturk. Kaum wanita bergerak menghimpun kekuatan bersama yang

cukup besar, kaum wanita Mesir dari kalangan atas menanggalkan cadar,

berpakaian Eropa dan mengunjungi perkumpulan sosial yang disediakan untuk

pria dan wanita, baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan dengan

tuntutan memperoleh hak-hak yang sama dengan pria untuk memasuki perguruan

tinggi.

Semua ini terjadi pada masa Hasan al-Banna masih menjadi siswa sekolah

guru Dar al-Ulum. Dalam memoarnya ia mengenang kisah remajanya, betapa ia

dan kawan-kawannya merasa tertarik dan terheran-heran menyaksikan peristiwa-

peristiwa tersebut.

“ Hanya Allah yang Thu, banyak waktu malam kami habiskan untuk

membicarakan kejadian-kejadian yang menimpa bangsa dan kaitanya pada saat itu

dengan berbagai aspek kehidupan; dampak dari penyakit dan berbagai cara

penyembuhannya. Dengan penuh emosi hingga berlinang air mata, kami

kemudian membicarakan keputusan-keputusan yang telah kami ambil. Betapa

terkejut kami saat itu, ketika kami membandingkan diri kami yang terlihat dalam

diskusi sengit penuh emosi itu dengan orang-orang yang berpuas-puas diri, acuh

tak acuh dan bermalas-malasan di restoran.”

Dalam memoarnya itu juga, Hasan al-Banna mengakui bahwa gagasan

mendirikan pergerakannya merupakan reaksi terhadap pengamatannya di Kairo


ketika ketidakperdulian orang-orang terhadap Islam. Kemudian ia sadar bahwa

jumlah masjid dan para imam masjid pun masih kurang ketidakberdayaan para

ulama tradisionalis yang tak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan tingkah-

polah kaum modernis kecuali hanya melempar sumpah serapah bernada bid’ah

belaka. Yang paling buruk adalah; ia merasa cemas terhadap orang-orang yang

disebut “kaum agamawan” yang pada setiap kesempatan rela berkompromi

dengan membawa-bawa nama Islam untuk menjilat para penguasa dan kemudian

bercumbu dengan dunia.

Terlebih lagi Selama lima tahun di Kairo, dia menyaksikan iklim politik

Mesir yang hidup, dua partai politik terkemuka selalu cekcok30. Situasi ini

diciptakan oleh para petualang politik yang menjalin hubungan mesra dengan

kelihaian dan kelicikkan kaum kolonial. Hal ini membuat para politisi dan

gembong-gembong partai mengadakan persaingan dan perebutan pengaruh yang

saling menjatuhkan, dengan demikian nasionalisme menjadi menyimpang dari

tujuan kebangsaan yang luhur yang mengarah pada terciptanya kepentingan-

kepentingan yang tak berharga.31

Al-Banna prihatin melihat Mustafa Kemal Ataturk menghapus

kekhalifahan dan program Kemal mensekulerkan Turki. Gerakan di Mesir yang

mendirikan universitas negeri sekuler pada tahun 1925, dalam pandangan al-

Banna bisa jadi merupakan langkah awal meniru Turki mencampakkan Islam. al-

Banna juga memandang dengan prihatin banjir artikel koran dan buku yang
30

5 Ali Rahnema, Para Peristiwa Zaman Baru, alih bahasa Ilyas Hasan cet. III (Bandung:
Mizan, 1980 ), hlm. 134
31
Anas al-Hajaji,Otobigrafi Hasan al-Banna….hlm. 20.
mempromosikan nilai sekuler Barat. Al-Banna menemukan orang yang

sependapat di Dar al-Ulum, al-Azhar, sekolah tinggi Hukum dan perpustakaan

Salafiyah. Salah satu kenalan barunya adalah ulama al-Azhar, Syekh Yusuf ad-

Dijwi, yang mendirikan organisasi yang dimaksudkan untuk kebangkitan Islam.

Menurut riwayat hidup al-Banna, Dijwi menyadari bahwa organisasinya telah

gagal, dan bahwa ulama al-Azhar ternyata tidak mampu membendung pasang

kultur Barat. Kepada al-Banna dia mengatakan bahwa keselamatan individu hanya

dapat diharapkan dengan berpegang pada Islam.

Anak muda ini menolak sikap mengundurkan diri ini, dan mendesak Dijwi

untuk menggunakan kekuatan massa Muslim. Gagasan pertama Banna untuk

program aksi, melibatkan pembentukan organisasi yang dipimpin ulama yang

akan mengilhami kebangkitan Islam. Dia menerima tanggapan simpati dari

Muhibuddin al-Khatib, pembaru Suriah yang mengelola perpustakaan salafiyah,

yang menerbitkan jurnal mingguan untuk pembaruan Islam yang bernama al-Fath,

dan ikut mendirikan Asosiasi Pemuda Muslim (YMMA). Asosiasi keagamaan ini,

yang resminya berdiri pada November 1927, yang jelas menggambarkan gerakan

pembaruan model baru. Setahun kemudian al-Banna dan enam orang sahabatnya

di Ismailiyah mendirikan asosiasi seperti ini, yang bernama jam'iyah al-Ikhwan al-

Muslimun,32 tepatnya pada bulan Dzulqadah tahun 1347 H atau Maret 1928 M

dan kemudian telah berkembang pesat menjadi sedemikian rupa. Dalam jurnal al-

Ikhwan al-Muslimun dikemukakan bahwa pada tahun 1929 al-Ikhwan al-

Muslimun memiliki 4 cabang. Pada tahun 1932 memiliki 15 cabang, pada tahun

32
Ibid, hlm. 137
1948 ada 300 cabang, dan pada akhir 1948 ada 2000 cabang. Pada tahun 1933,

markas umum al-Ikhwan al-Muslimun dipindah di Kairo seiring dengan

kepindahan Hasan al-Banna, karena berakhirnya tugas mengajar di Ismailiyah

pada tahun 1946, al-Ikhwanu al-Muslimun telah memiliki cabang selain di Mesir

yaitu Palestina, Sudan, Irak dan Syuriah. Dakwah yang dilakukan dengan baik

mendaptkan respon cukup antusias dari masyarakat, telah menjadi kata kunci bagi

perkembangan gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yang begitu pesat. Gerakan

dakwah inilah asal mula niat pendiri al-Ikhwan al-Muslimun dalam rangka

menyadarkan masyarakat Mesir untuk kembali kepada agamanya, Islam. Dan

keberhasilan dakwah ini bukan saja karena metodologi yang diterapkan begitu

mengena namun prinsip-prinsip dari

Gerakan ini tampaknya yang memberikan karakteristik dan harapan bagi

audiensinya. Prinsip-prinsip al-Ikhwanu al-Muslimun itu adalah:33

a) Bersih aqidah dan bersungguh-sungguh dalam menaati Allah SWT

sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.

b) Cinta karena Allah dan berpegang teguh dengan pada persatuan Islam.

c) Melaksanakan adab-adab Islam yang lurus.

d) Mendidik pribadi agar mengenal Allah dan lebih mengutamakan akhirat

dan pada dunia.

e) Memegang teguh prinsip dan menunaikan janji dengan tetap menyakini

bahwa prinsip yang paling sakral adalah agama.

33
Hasan al-Banna, Memoar, hlm. 234- 235
f) Bersungguh-sungguh menyebarkan dakwah Islam di tengah-tengah

lapisan masyarakat demi mengapai ridha Allah.

g) Cinta kepada kebenaran dan kebaikan melebihi kecintaanya kepada

segala sesuatu yang ada di dunia.

Adapun prioritas dakwah al-Ikhwan al-Muslimun oleh Ahmad Tohir

Ashari dikelompokkan menjadi dua fase yaitu:34 Fase pertama, fase pembentukan

pribadi khusus dakwah pada abad ke-19 yang terfokuskan pada:

a) Pembentukan diri Islam sejati

b) Terciptanya keluarga Islami

c) Masyarakat Islami.

d) Pemerintahan islami.

Fase kedua, fase pembentukan pribadi secara umum yaitu dakwah pada

masa-masa selanjutnya sebagai follow-up dari realisasi dakwah pada tahun-tahun

pertama yang menekankan pada:

Islamisasi alam Islami (dunia).

Justifikasi eksistensi akal.

c) Revitalisasi agama.

Untuk membangun gerakan yang solid, pembentukan militansi gerakan

bertumpu pada pembentukan loyalitas anggota terhadap organisasi. Pembentukan

militansi al-Ikhwan al-Muslimun didasari oleh keimanan yang berdasarkan pada

al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada tiga hal yang esensial dalam teori pembentukan

militansi jiwa Muslim dalam gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yaitu intelektual,


34
Rahmat Tohir Ashari, Konsep Pergerakan, hlm. 67
spekfiksi nilai-nilai warisan Islam dan konsistensi anggotanya terhadap agama.35

Di samping itu terdapat enam tingkatan keanggotaan dalam al-Ikhwan al-

Mulimun sebagai pembentukan Muslim sejati: Musa’id (partisipan), Muntasib

(simpatisan), Amil (agen), Mujahid (pejuang), Naqib (representatif), dan Na’ib

(legislatif). Kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu Musa’id dan

Muntasib dalam satu derajat sebagai Nashir (penolong), derajat Amil dan Mujahid

menjadi derajat Munfiz (pelaksana) dan derajat Naqib serta Naib menjadi Naqib

(reprensentatif).36

Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh al-Ikhwan al-Muslimun telah

mengundang decak kagum dan pengakuan yang luar biasa dari orientalis.

Pendidikan al-Ikhwan al-Muslimun telah memberikan keberhasilan yang luar

biasa. Richard Mitchel seperti dikutip Abdul Muta’al al-Jabari menulis bahwa al-

Ikhwan al-Muslimun sungguh merupakan tempat yang sangat nyaman bagi orang-

orang yang terjun dalam gerakan Islam di berbagai penjuru dunia Islam. Lebih

lanjut ia menguraikan bahwa tidak dapat diragukan lagi al-Ikhwan al-Muslimun

justru telah mampu memanfaatkan perbedaan-perbedaan politis yang semula

diduga akan membuat sibuk dirinya. Ia telah menghadirkan diri sebagai kekuatan

paling besar yang amat dominan yang terdiri dari pemuda-pemuda yang memadati

medan politik Mesir. Ikhwan al-Muslimun telah memberikan sumbangan yang

positif di berbagi tempat.37 Salah satu yang menunjang sistem pendidikannya, al-

35
Ibid., hlm. 73
36
Penjelasan lebih lanjut tentang karakteristik dari seluruh klasifikasi di atas dalam Ibid.,
hlm. 74-77.
37
Abdul Muta’al al-Jabari, Pembunuhan, hlm 52- 53.
Ikhwan al-Muslimun membangun Madrasah dengan metode pengajaran yang

inofatif dan sejalan dengan pendidikan yang mutakhir.

Di bidang ekonomi, Ikhwan al-Muslimun menegaskan sistem ekonomi

Islam yang teringkas seperti di bawah ini:38

Islam memegang harta yang baik sebagai pilar kehidupan yang harus

dipelihara, diatur dan dimanfaatkan.

Kewjiban berusaha dan berprofesi bagi setiap orang yang mampu.

Pemanfaaatan kekayaan alam.

Islam mengharamkan profesi yang tidak terpuji.

Mengurangi jika tidak menghilangkan kesenjangan sosial.

Kesucian harta dan penghormatan terhadap hak milik.

Mengatur transaksi harta benda.

Jaminan sosial bagi setiap warga negara.

Islam menganjurkan infak untuk kebaikan, saling tolong menolong dalam

kebaikan dan ketaqwaan.

Penegasan terhadap tanggung jawab negara untuk mlindungi sistem ini.

Dalam hal sistem politik, al-Ikhwan al-Muslimun memiliki pokok-pokok

pikiran sebagai berikut:

a. Negara atau Pemerintahan Islam itu supra nasional, meliputi seluruh

dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintahan pusat yang dikelola

atas prinsip persamaan tanpa adanya fanastisme ras kedaerahan bahkan dalam

banyak hal tidak pula mengenal fanatisme keagamaan.

b. Persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama.


38
Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan, hlm. 323.
c. Tiga asas politik pemerintahan Islam yaitu keadilan penguasa ketaatan

rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat.39

Hasan Ismail al-Hudaibi40 melengkapi di atas menambahkan:

1) Ia mengikuti al-Mawardi bahwa imamah atau kepemimpinan negara

Islam itu berfungsi sebagai pengganti kenabian dalam masalah-masalah agama

dan politik keduniawian, suatu pandangan yang juga didukung oleh Taftazani.

2) Pemerintahan Islam adalah yang menjadikan Islam sebagai agama yang

dibangun atas syari’at Islam yang mencakup berbagai cabang hukum baik yang

berkenaan dengan pidana, ekonomi, kemasyarakatan maupun urusan perorangan.

3) Sebagai konsekuensi dari butir 1 dan 2, maka kepala negara harus

seorang Muslim.

Islam menurut doktrin al-Ikhwan al-Muslimun mencakup kegiatan hidup

manusia sehingga merupakan doktrin, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, agama,

negara, spiritual, aksi, al-Qur’an dan militer. Dalam pengertian Amien Rais, al-

Ikhwan al-Muslimun dapat dikatakan sebagai ideologi yang dalam terma al-

Ikhwan sendiri disebut fikrah. Dengan mengutip Edward Shils, Amien Rais juga

mengemukakan ideologi yang dimaksud yaitu produk dan usaha manusia untuk

menciptakan suatu tata intelektual tentang dunia dan sebagai suatu identifikasi

kebutuhan manusia akan peta kognitif dan moral yang harus dicapai.41 Namun

39
Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm 149-151. Lebih lanjut lihat Sayyid
Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, terjemahan: Afif Mohammad, cet. II, (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 121-139.
40
Hasan al-Hudaibi, Ikhwanu al-Muslimin Mengajak Buka Menghakimi, terjemahan Afif
Mohammad, cet. II, ( Bandung: Pustaka, 1994 ), hlm. 183- 189.
41
Amien Rais, Cakrawala Islam, hlm. 188.
demikian, Amien Rais menyimpulkan bahwa ideologi al-Ikhwan al-Muslimun

barangkali termasuk ideologi yang murni (pure ideologi) bukan ideologi praktis.

Ideologi murni adalah serangkaian gagasan yang dihimpun untuk menunjukkan

kepada para pendukungnya suatu pandangan dunia yang sadar dan terpadu yang

berbeda dengan ideologi praktis yang merupakan serangkaian gagasan yang dapat

memberikan kepada pendukungnya instrumen-instrumen rasional untuk

melakukan aksi atau tindakan.42

Pada tahun 1933, al-Ikhwan al-Muslimun berubah menjadi sebuah gerakan

politik dengan meniadakan unsur-unsur non politik, sekalipun dengan tetap

mempertahankan gelar mursyid (pembimbing) bagi para pemimpin terutama bagi

al-Banna selaku mursyid ‘am (pembimbing umum) disamping itu juga, dalam al-

Ikhwan al-Muslimun, terdapat organisasi khusus ( at-Tanzim al-Khasy).

Organisasi khusus ini, merupakan semacam organisasi militer al-Ikhwan al-

Muslimun yang pada tahun 1936 ketika terjadi pemberontakan Arab di Palestina,

pasuka khusus ini mendemontrasikan kemampuan dan persejataannya. Begitu

juga dalam perang Arab- Israel pada 1948- 1949. keterlibatannya dalam politik

praktis menjadikan al-Ikhwan al-Muslimun ikut dalam menentukan pemerintahan

dan masa depan Mesir. Bahkan lebih luas lagi seluruh negeri Muslim dan dunia

Islam. al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mendekatkan Raja Faruq yang masih

muda agar dapat mengendalikan Raja yang mengganti parlimun namun ketika

perang dunia II berkecamuk, ternyata mengakibatkan konflik internal Mesir lebih

jauh. Mesir menurut perjanjian 1936 adalah dalam posisi netral, namun pada

1942 Inggris Raya menuntut dukungan umum bagi pemerintahan Wafd yang
42
Ibid., hlm. 198.
dibentuknya pada Februari 1942. dengan demikian partai Wafd dideskriditkan oleh

publik politik Mesir dan dikecam keras oleh al-Ikhwanu al-Muslimun. Melalui

pemimpinya al-Banna, al-Ikhwan al-Muslimun mengusulkan untuk

dibubarkannya partai-partai yang ada dan diganti dengan perserikatan rakyat yang

akan bertugas untuk perbaikan bangsa sesuai dengan prinsip- prinsip Islam.

Tuntutan itupun dikabulkan sembari menyakinkan raja bahwa al-Ikhwan al-

Muslimun tidak mengancam aksi militer terhadap pemerintah. Pada tahun 1945,

milisi al-Ikhwan Muslimun mendukung demontrasi untuk kepentingan raja

melawan “baju biru” Wafd, bahkan melawan “baju hijau” Mesir Muda (partai

sosialis).

Hubungan al-Ikhwan al-Muslimun dengan pemerintah kemudian menjadi

terputus berbagai setuasi dan peristiwa yang terjadi telah memberikan andil bagi

keretakan itu. Gencatan senjata yang dilakukan Perdana Menteri an-Nuqrasi Pasha

dengan Israel di Palestina, padahal al-Ikhwan al-Muslimun beranggapan bahwa

jihad atau perang di Palestina untuk mempertahankan kota suci bagi Islam itu

merupakan alternatif yang paling baik karena tidak membiarkan bumi Palestina

jatuh ke tangan Yahudi.43 Ketidaksetujuan al-Ikhwan al-Muslimun dengan

gencatan senjata, menyebabkan mereka mengambilalih pergerakan menjadi

gerakan bawah tanah. Dilain pihak, terjunnya al-Ikhwan al-Muslimun pada perang

Palestina menimbulkan iri hati bagi penguasa-penguasa Arab lainnya dan

bermuara pada pembubaran Ikhwan al-Muslimun serta penangkapan dan tindakan

kekerasan terhadap anggota-anggotanya. Dengan mendatangkan Pangeran

Abdullah, penguasa Jordania Timur, dan Raja Faruq di Mesir, lalu menghasut
43
Abdul Muta’al al-Jabari, Pembunuhan Hasan al-Banna, hlm 117-125
keduanya dengan mengatakan bahwa Hasan al-Banna dengan gerakannya (al-

Ikhwan al-Muslimun) bermaksud menjadikan Palestina negara Islam baru dan

akan mencaplok negara-negara sekitar dan tetangganya, kemudian menyatukan

dunia Islam. Dengan begitu lanjut Yahudi (Israel) Raja Faruq tidak lagi menjadi

raja Mesir demikian juga Pangeran Abdullah. Usaha-usaha pembubaran al-Ikhwan

al-Muslimun setidaknya terjadi pada masa pemerintahan kabinet Husain Siri

tahun 1941. Al-Ikhwan al-Muslimun merencanakan pertemuan besar berkaitan

dengan pembentukan cabang mereka di Kairo, suatu kegiatan yang membuat

berang penjajah Inggris, di saat mereka sedang menghadapi serbuan Jerman.

Inggris menuntut pembubaran al-Ikhwan al-Muslimun, akan tetapi Husain Siri

menolaknya. Kedua, ketika pemerintahan Perdana Menteri an-Nuhas Pasha,

dimana gubernur Jenderal Inggris, Lord Clarn, menuntut untuk pembubaran al-

Ikhwan al-Muslimun kembali. Dengan meminta kepada Hasan al-Banna agar

menarik diri sebagai anggota Dewan sembari diikuti dengan penutupan lima puluh

cabang al-Ikhwan al-Muslimun diberbagai tempat. Namun itupun tidak berhasil

danan an-Nuhas Pasha membatalkan keputusannya.44 Yang ketiga, terjadi pada

masa kabinet Abdul Mahir Pasha. Tuntutan itu berkenaan dengan permintaan

Syekh al-Maragi, Syaikh al-Azhar pada waktu itu, agar pemerintah membubarkan

seluruh organisasi keagamaan melalui Abdul Mahir, namun Imam Maragi

meninggal dunia terlebih dahulu sebelum permintaannya terlaksana. Keempat,

tuntutan pembubaran al-Ikhwan al-Muslimun seiring dengan keterlibatan

organisasi ini dalam peristiwa di Yaman. Saat itu terjadi kudeta oleh Abdullah

44
Ibid., hlm. 132-134.
putra Perdana Menteri Yaman. Akhirnya, pembubaran al-Ikhwan al-Muslimun

benar-benar terjadi pada saat pemerintahan perdana menteri Mahmud Fahmi an-

Nuqrasyi. Pembubaran itu berawal dari tindakannya pembunuhan seorang hakim

oleh anggota al-Ikhwan al-Muslimun muda pada 22 Maret 1948 ditambah juga

dengan terjadinya sebuah demonstrasi besar mahasiswa Ikhwanu al-Muslimin

yang berakhir dengan kematian dua petugas Inggris dan sebuah Jeep bermuatan

bahan peledak dan sejata dalam perjalanannya ke anggota al-Ikhwan al-Muslimun

dicegat di Kairo. Dekrit pembubaran al-Ikhwan al-Muslimun itu keluar tanggal 6

Desember 1948,45 dan pada tanggal 28 Desember tahun itu juga, Perdana Menteri

an-Nuqrasyi terbunuh serta pada Februari 1949, Hasan al-Banna terbunuh.

Setelah pembubaran itu, anggota-anggota al-Ikhwan al-Muslimun

ditangkap, dipenjarakan dan disiksa dengan siksaan yang sangat tidak

berperikemanusiaan. Sekolah-sekolahnya, proyek-proyeknya, usaha-usahanya,

klinik-klinik kesehatan dan seluruh aset yang dimiliki juga dibekukan. Satu

persatu, dari hari-kehari banyak anggota al-Ikhwan al-Muslimun yang ditangkap,

dipenjarakan dan disiksa dengan sadis. Seiring dengan terbunuhnya Hasan al-

Banna, maka al-Ikhwan al-Muslimun pun memilih ketua umum baru, yaitu Hasan

Ismail al-Hudaibi. Baru pada masa kabinet Husein Suri, para tahanan al-Ikhwan

al-Muslimun dibebaskan dan berlanjut hingga 1950 di bawah kabinet an-Nuhas

Pasha. Pada tahun 1951, Dewan negara membatalkan keputusan pembubaran

jama’ah al-Ikhwan al-Muslimun di masa perdana menteri an-Nuqrasy tahun 1948

itu. Dengan dibatalkannya pembubaran ini, secara otomatis al-Ikhwan al-

45
Untuk lebih lengkapnya isi Dekrit itu, lihat Ibid, hlm. 136- 39.
Muslimun kembali menata struktur formal dan membuka kantor pusatnya.

Seluruh aktivitas-aktivitas yang dibekukan segera bergeliat di seluruh sektor.46

Pada tahun dibawah 1952 dibawah Mayor Jenderal Muhammad Najib,

mengawali Revolusi sosial dengan melakukan pembakaran besar-besaran kota

Kairo, namun diketahui bahwa Jamal Abdul Nasser yang berada dibalik revolusi

itu. Dengan demikian Raja Faruq dipaksa mangkat dan diambil alih oleh rezim

diktator militer Jamal Abdul Nasser. Jamal Abdul Nasser adalah seorang yang

melaksanakan apa saja untuk mencapai segala keinginannya. Jamal Abdul Nasser

membujuk al-Ikhwan al-Muslimun untuk mendukung gerakan revolusi yang

dilakukan dengan berjanji akan menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan

bila revolusi berhasil. Namun ternyata di kemudian hari Jamal Abdul Nasser terus

mengukuhkan kekuatannya dengan mendiskreditkan bahkan mengacam al-Ikhwan

al-Muslimun. Karena sebagai yang diketahui setelah revolusi berhasil, Jamal

Abdul Nasser mengingkari janjinya yang secara otomatis al-Ikhwan al-Muslimun

tidak lagi percaya dan bahkan berbalik menentang pemerintahannya.47

Memang benar, di kemudian hari Jamal Abdul Nasser menjadi diktator

yang fasis. Ia terus membangun kekuatannya, menindas dan tanpa segan-segan

menyiksa, membunuh orang yang berani menentang. Al-Ikhwan al-Muslimun

adalah penentang pertama dan utama Nasser. Ia kemudian tidak segan-segan

melakukan konspirasi untuk melenyapkan Ikhwan al-Muslimun. Mulai dari

penangkapan pemimpinnya seperti Hasan al-Hudaibi, Sayyid Qutb (yang saat itu
46
Muhammad Sayyid al-Wakil, Pergerakan Islam Terbesar Abad ke-14 H: Studi Analisis
terhadap Manhaj Gerakan Ikhwan al-Muslimin, terjemahan: Fahruddin, cet. I (Bandung: asy-
Syamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 163.
47
Ibid., hlm. 181-188.
telah menjadi pemimpin umum al-Ikhwan al-Muslimun). Tanpa alasan yang jelas

dan tanpa peradilan yang adil, mereka dihukum dengan hukuman yang tidak

masuk akal. Dari hari-kehari usaha penindasan itu terus berlanjut dengan semakin

banyaknya ditangkap anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Pada tahun 1954, kembali

al-Ikhwanu al-Muslimun dibubarkan oleh Jamal Abdul Nasser. Pada tahun ini

juga Sayyid Qutb di tangkap dan dijebloskan ke dalam penjara perang serta

mendapatkan penyiksaan yang sungguh amat tidak manusia. Sekali lagi seluruh

anggota al-Ikhwan al-Muslimun yang ditangkap mengalami penyiksaan yang

tidak pernah terjadi dalam sejarah manusia. Penyiksaan itu bukan lagi hanya

sekedar ancaman atau teror, namun telah menjadi ladang pembantaian yang tidak

pernah terjadi dan lebih sadis dari pemerintahan sebelumnya.48 Penyiksaan—demi

penyiksaan, demi pembantaian hingga salah satu dari anggota al-Ikhwan al-

Muslimun ditanya oleh yang lainnya mengenai sebutan apa yang layak untuk

tindakan-tindakan ini (penyiksaan dan pembantaian), ia menjawab “berarti kita

mendzalimi kezaliman bila kita menamakan apa yang kita derita ini sebagai satu

kedzaliman”. Keadaan ini terus berlanjut hingga tumbangnya Jamal Abdul Nasser

dan ternyata ia tidak pernah mampu memhanguskan al-Ikhwan al-Muslimun.

B. Sketsa Biografi Yusuf al-Qaradawi

1. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan.

48
Baca kisah pembantaian-pembantaian yang dilakukan rezim Gamal Abdul Nasser,
dalam Pergerakan Islam Terbesar Abad ke-14 H, juga Abdul Muta’al al-Jabari, Pembunuhan
Hasanal-Banna, serta baca juga Abbas as-Sisi, Ikhwanu al-Muslimin Dalam Kenangan,
terjemahan: M. Ilyas, cet. I ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Yusuf al-Qaradawi dilahirkan di sebuah desa Republik Arab Mesir yang

bernama Saft Turab di tengah delta pada tanggal 09 September 1926.49 Pada usia

dua tahun al-Qaradawi kecil menjadi anak yatim yang kemudian ia berada di

bawah asuhan pamannya. Pamannya inilah yang mengantarkan al-Qaradawi kecil

ke surau tempat mengaji. Di tempat itu al-Qaradawi terkenal sebagai anak yang

sangat cerdas. Dengan kecerdasan ia mampu menghafal al-Qur’an dan menguasai

hukum-hukum tajwid dengan sangat baik, itu terjadi pada saat ia masih berada di

bawah umur sepuluh tahun. Kuttab adalah nama daerah tempat ia menjadikannya

imam dalam usianya yang relatif muda, khususnya pada saat salat subuh. Sedikit

orang yang tidak menangis saat salat di belakang al-Qaradawi. Setelah itu ia

bergabung dengan sekolah cabang al-Azhar. Ia menyelesaikan sekolah dasar dan

menengahnya di lembaga pendidikan itu (Ma’had Tanta dan Ma’had Sanawi) dan

selalu menempati ranking pertama. Kecerdasan telah tampak sejak ia kecil, hingga

seorang gurunya menggelarinya dengan Allamah (sebuah gelar yang biasanya

diberikan pada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas) Ia sempat meraih

ranking kedua untuk tingkat nasional Mesir pada saat kelulusannya di sekolah

menengah umum (Ma’had Sanawi).50 Setelah menamatkan pendidikan di Ma’had

Sanawi, ia kemudian meneruskan kuliah di Fakultas Ushuluddin Universitas al-

Azhar. Pendidikan ini diselesaikannya sebagai peringkat pertama pada tahun

1952. Antara tahun 1953-1960 al-Qaradawi melanjutkan kuliahnya di Universitas

ternama ini dan pada tahun 1957 kembali berprestasi gemilang dengan meraih

49
www.google.com. http//al-hikma.com "Biografi Yusuf al-Qaradaw”
50
Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradawi, alih bahasa Samson Rahman (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 3
peringkat pertama dari 500 orang mahasiswa di Fakultas bahasa Arab. Selain

memperoleh kematangan ma’nawiyah melalui pendidikan tinggi formal di bangku

kuliah, ia juga mengenyam pendidikan non formal di balik terali penjara. Saat

Mesir dipegang Raja Faruq pada tahun 1949 pada usia yang masih sangat muda

al-Qaradawi masuk bui akibat keterlibatannya dengan gerakan al-Ikhwan al-

Muslimun pempinan Hasan al-Banna. Pada bulan April 1956 ia kembali ditangkap

saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Keterlibatannya di dunia politik menjadi

lengkap ketika pada tahun 1959 ia dilarang berkhutbah di masjid-masjid Kairo

karena dianggap membangkitkan kesadaran terhadap ketidakadilan yang

dilakukan oleh Rezim penguasa.

Yusuf al-Qaradawi pernah meninggalkan Mesir sebagi akibat penangkapan

besar- besaran para aktivis al-Ikhwan al-Muslimun oleh Presiden Jamal Abdul

Nasser. Namun pada tahun 1961 ia dikirim secara resmi oleh Universitas al-Azhar

ke Qatar dan pada tahun 1977 mendirikan Fakultas syari’ah di Universitas Qatar

dan pusat kajian sejarah dan Sunnah Nabi. Setelah mendapatkan kewarganegaraan

Qatar ia kemudian menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.51 Sebelumnya

pada tahun 1973 ia berhasil meraih gelar doktor dengan peringkat summa cum

laude dengan disertasi yang berjudul az-Zakat wa Asaruha fihi al-Masyakil al-

Ijtima’iyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan Masalah-masalah Sosial

Kemasyarakatan). Ia terlambat meraih gelar doktornya karena situasi politik Mesir

yang tidak menentu. “ikatlah ilmu dengan menulisnya” Pesan Ali bin Abi Thalib

tersebut sangat nyata dalam tulisan-tulisan al-Qaradawi. Kualitas keilmuan dan

51
Sri Vira Chandra, “Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu”, Sabili, No. 01 Th. X 25
Juli 2002/14 Jumaidi al-Awal 1423, hlm. 79.
kegigihan prinsip yang berakar kepada al-Qur’an dan Sunnah mewarnai karya-

karyanya. Ia terus menerus melakukan pengikatan ilmu dan menyebarkan

pemikiran yang benar dan tidak menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah. Tidak

hanya melalui karya-karyanya untuk memuat masalah yang sangat beragam atau

lewat makalah-makalahnya di seminar-seminar tingkat nasional, namun yang jauh

lebih penting adalah pendiriannya yang sangat kokoh terhadap yang diyakininya

sebagai suatu kebenaran dan prinsip Islam tanpa perduli tekanan dari manapun.

Karya al-Qaradawi yang tercatat pertama kali dan dipublikasikan adalah

al-‘ibadah fi al- Islam (ibadah dalam Islam) pada tahun 1971. Sejak itu setidaknya

hingga tahun 1997 tercatat ada lebih dari lima puluh karya Yusuf al-Qaradawi

yang cerdas dan tuntas membahas persoalan-persoalan Islam. Secara matematis,

satu tahun menulis dua buku “berat” adalah spektakuler. Umat Islam di Indonesia

yang hanya menguasai bahas Arab sudah cukup dikenyangkan oleh buku-bukunya

yang telah dialihbahasakan Sebut saja yang berbicara soal ibadah dan akidah

seperti Fatwa-fatwa Kontemporer “Fatawa Mu’asirah”, Fiqh Prioritas "Fi al-

Fiqhi al-Aulawiyat Dirasah Jadidah Fi Dau’al-Qur’ani as-Sunnati", Halal dan

Haram al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam. Atau buku-buku lainnya yang

mengupas persoalan harakah dan politik seperti Prioritas Gerakan Politik

Aulawiyat al-Harakah al-Islamiyyah Fi al-Marhalah al-Qadimah, Sistem

Pendidikan al-Ikhwanu al-Muslimun "at-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Madrasah

Hasan al-Banna" yang membahas tentang keunggulan sistem tarbiyyah yang

diterapkan oleh asy-Syahid Imam Hasan al-Banna dalam gerakannya, Fiqh

Negara "Min Fiqhi al-Daulah Fi al-Islam" yang tampaknya ia menulis untuk


menjawab kebutuhan mendesak umat Islam dalam berkiprah di wahana politik,

bahkan di negara non Muslim. Fiqh Ikhtilaf “al-Sahwah al-Islamiyyah, Baina al-

Ikhtilaf al-Masyru’ wa at-Tafarruq al-Mazmum". Sedangkan karyanya yang

konon paling spektakuler dan paling lengkap adalah Fiqh Zakat yang dikomentari

oleh Abu al-A’la al-Maududi sebagai buku terbaik abad ini dalam bidang fikih”.

Yusuf al-Qaradawi memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai

seorang ulama yang sangat terbuka, ia membebaskan anak-anaknya untuk

menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan

masing-masing. Dan hebatnya lagi, ia tidak membedakan pendidikan yang harus

ditempuh oleh anak-anak perempuan dan anak laki-lakinya. Salah satu seorang

putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri

keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris,

sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. adapun yang keempat telah

menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika. Anak laki- laki

yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua

belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah

menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik. Dilihat dari beragam

pendidikan anak- anaknya, kita bisa membaca sikap pandangan Yusuf al-

Qaradawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang

belajar di Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang

lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya di empuh di luar negeri.

Sebabnya ialah, karena Yusuf al-Qaradawi seorang ulama yang menolak

pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa Islami maupun tidak islami,
tergantung pada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan

ilmu secara dikotomis itu menurutnya telah menghambat kemajuan umat Islam.

2. Pengalaman dan Aktivitas Keilmuan

Yusuf al-Qaradawi adalah seorang tokoh umat Islam yang sangat menonjol

di zaman ini, dalam bidang pengetahuan, pemikiran, dakwah, dan pendidikan

kontribusinya sangat dirasakan di seluruh belahan bumi. Sedikit dari umat Islam

saat ini yang tidak membaca buku- buku dari karyanya, ceramah, dan fatwa al-

Qaradawi. Pengabdian untuk Islam tidak hanya terbatas pada satu sisi atau satu

medan tertentu. Aktivitasnya sangat beragam dan sangat luas serta melebar ke

banyak bidang dan sisi. Sebagai seorang ulama yang dikenal luwes dan luas

wawasannya, bekerja dalam banyak bidang, menerjuni banyak aktivitas, dan

masih banyak lagi. Namun yang menjadi prioritas utama dalam hidupnya adalah

dakwah, dan ini yang menjadikan dirinya sebagai manusia yang berharga.

Dakwah telah menjadi darah dagingnya dan menjadi bagian terpenting dalam

kesibukannya. Ia adalah fokus perhatiannya dan barometer keperduliannya, fokus

ilmu dan amalnya. Al-Qaradawi memulai aktivitas dakwah sejak masa remaja.

Hal itu dilakukan tidak lain agar orang lain paham terhadap Islam. Dengan asumsi

bahwa Islam adalah akidah dan aturan hidup.52

Yang sangat membantu aktivitas dakwahnya adalah keterlibatannya sejak

dini dengan gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, dan perkenalannya secara baik

dengan asy-Syakhid Imam Hasan al-Banna. Dalam perjalanan dakwahnya, ia

52
Isam Talimah, Manhaj Fiqh, hlm. 18
banyak mendapatkan rintangan, tantangan, tekanan keras, dan dipenjara beberapa

kali sejak masih berstatus sebagai siswa di sekolah menengah umum pada masa

pemerintahan Raja Faruq tahun 1948. ia juga dipenjarakan lagi selama dua puluh

bulan. Peristiwa ini juga menimpa dirinya pada tahun 1963.53

Sebagai anak dakwah gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, sampai kini ia

masih konsisten untuk berjalan di atas prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan yang

mulia, dan ia sangat mencintai gerakan ini. Namun semua tidak menjadikannya

gelap mata sehingga membuatnya harus fanatik dan tidak menyatakan kritik-kritik

membangunnya, jika di dalam gerakan al-Ikhwan al-Muslimun terdapat kesalahan

dan kekeliruan. Ia tidak pernah lupa untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap

negatif atau kurang di dalam gerakan tersebut. Al-Qaradawi tidak hanya

menyebutkan kesalahan dan kekurangan sebagai layaknya yang dilakukan oleh

orang banyak, namun ia juga memberikan jalan keluar yang bisa diambil.54

Kepribadian yang moderat yang banyak tertuang dalm karyanya (dan

kehidupannya),55 diakui al-Qaradawi sangat dipengaruhi terutama oleh sang

Murabbi asy-Syahid Imam Hasan al-Banna dan gerakannya al-Ikhwan al-

Muslimun. Meskipun diakui pertemuannya dengan pendiri gerakan tersebut

jarang, namun pengaruh dalam jiwanya sangat besar. Beberapa nama yang disebut

sebagai murabbinya adalah Syekh Muhammad Gazali, Syekh Mahmud Syaltut,

dan Syekh Bin Baz. Selain ini ia selalu mengagumi tulisan-tulisan Imam Ibn
53
Ibid.
54
Ibid, hlm. 126
55
Sikap moderat sering dilekatkan pada pribadi ulama ternama ini. Tampaknya istilah
tersebut tidak dapat diabaikan, karena hampir dalam semua karyanya al-Qaradawi selalu
mengedepankan al-Wasatiyah al-Islamiyah (Islam Pertengahan).
Taimiyah, Imam Ibn al-Qayyim, dan Syekh Muhammad Rasyid Rida.56 Sehingga

karya-karyanya banyak dijumpai kutipan dari ulama pendahulunya disamping

sebagai rujukan juga banyak mempengaruhi pola pemikirannya.

Di dalam mensikapi perkembangan dunia Islam, al-Qaradawi selalu

menyerukan kepada para da’i dan pemikir Islam untuk mengajak kaum muslimin

menangani masalah-masalah besar yang sedang dihadapi umat. Umat Islam

sampai kini masih belum bisa menanam sendiri apa yang menjadi makanan

pokoknya. Juga belum bisa memproduksi senjata yang diperlukan untuk sekedar

membela kehormatannya. Anehnya seringkali Islam dituduh secara curang sebagai

sebab keterbelakangannya, padahal pada waktu umat Islam berpegang teguh

dengan ajaran Islam secara baik, Islam pernah memimpin dunia dan umat manusia

seluruhnya.57 Di samping itu kondisi umat yang selalu berada di bawah kekuasaan

musuh-musuh Islam. Sehingga seolah-olah mereka sudah tidak mempunyai rasa

takut atau perasaan gentar menghadapi kaum muslimin. Akhirnya mereka berani

berbuat semau mereka, menginjak-injak tempat suci umat Islam (Masjidil Aqsa),

membunuh umat Islam di Palestina, Afganistan, Chechnya, Bosnia, dan

sebagainya.58 Begitu pula yang terjadi di negeri-negeri Barat, di mana umat Islam

merupakan penduduk minoritas, mereka senantiasa ada dalam penindasan

kelompok mayoritas. Nasib mereka sangat menegenaskan, kebebasab beragama

dirampas, hak sosial dan politiknya tidak dihargai, tidak di beri kesempatan untuk

56
Sri Vira Chandra, Revolusi Pemikiran, hlm. 79.
57
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Ikhtilaf: Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan
Perpecahan yang Dilarang, alih bahasa: Ainur Rafiq, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm.134.
58
Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.
85.
memilih dan apalagi dipilih untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Karena itulah, agar umat Islam tidak bulan-bulanan oleh musuhnya, mereka

diperintahkan untuk mengerahkan segala macam kekuatan, dalam bahasa

sekarang disebut power baik berupa kekuatan ideologi (iman) kekuatan senjata,

dan kekuatan informasi, kekuatan ekonomi, kekuatan masa, dan sebagainya. Jika

umat Islam kuat, musuh-musuh Islam akan takut dan gentar. Salah satu kekuatan

yang dahsyat seperti yang disebutkan hadis Nabi SAW adalah kekuatan jiwa, yang

tidak cinta dunia dan tidak takut mati.

Itulah yang dulu sempat menggentarkan musuh-musuh Islam dalam setiap

pertempuran. Sayyid Qutb menjelaskan bahwa umat Islam harus memiliki

kekuatan59, untuk menimbulkan kegentaran terhadap musuh-musuh Islam

sehingga tidak berani menyerang umat dan negara Islam serta mereka tidak

berpikir untuk menghalangi perkembangan Islam di dunia. Banyak dari kalangan

ulama yang tergerak oleh keresahan dan keperihan melihat situasi umat. Al-

Qaradawi menyadari bahwa umat Islam harus diselamatkan dari krisis identitas

diri yang akut akibat perang pemikiran (gazwul fikri) yang telah dilancarkan oleh

musuh-musuh Islam.ia salah seorang dari sedikit ulama yang tak jemu

mengembalikan identitas uamt melalui tulisan-tulisan, hujjah, fatwa-fatwanya

yang merupakan bentuk dakwah. Keresahan menyaksikan tragedi perpecahan

umat dan galau akan kebodohan umat terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak

sikapnya mengembangkan budaya menulis. Sekali lagi, al-Qaradawi berkeyakinan

bahwa mengambil jalan pertengahan adalah sikap yang terbaik dan yang paling

sesuai dengan warisan nilai-nilai Islam.


59
Sayyid Qutb, Fi Zilali al-Qur’an (Beirut: Dar Ihya Turas al-'Arabi, 1997), IV: 50.
BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN PEMIKIRAN POLITIK

HASAN AL-BANNA DAN YUSUF AL-QARADAWI

TENTANG DAULAH ISLAMIYAH

Hasan al-Banna

1. Paradigma Pemikiran

Paradigma bisa diartikan sebagai asumsi-asumsi dasar (Basic Asumtion)

yang dimiliki oleh seorang intelektual sebagai dasar pemahaman terhadap realita.

Asumsi-asumsi dasar tersebut dibangun oleh suatu kerangka pemikiran

menyeluruh yang dimiliki oleh alur logika dan verifikasi yang bisa

dipertanggungjawabkan secara akademis.60

Paradigma agama trasformasi misalnya, merupakan asumsi dasar dalam

suatu kerangka pemikiran keagamaan, yang menekankan agama tidak saja sebagai

epi-fenomena dari hubungan-hubungan produksi sebagimana terungkapkan dalam

kategori Marxis Ortodok atau sebagai sistem makna pra-rasional dalam

pemikiran Weberian, tapi lebih dari itu, agama dirumuskan sebagai, seperangkat

struktur makna khusus yang mempunyai kemampuan menjelaskan dan

mengkonstruksi kenyataan sosial dalam waktu dan tempat yang berbeda.61 Para
60
Edgar Borgatta, Encyclopedia of Sociology, (New York: Mam Millan Publishing
Company, 199 ), III: 1411-1412
61
M. AS Hikam, Negara Masyarakat Sipil Dan Gerakan Keagamaan Dalam Politik Di
Indonesia, dalam Prisma, No. 3, Tahun XX, Maret, 1991, hlm. 76

80
cendekiawan Liberal menuntut pemisahan antara agama dan negara. Mereka

percaya bahwa ulama harus menangani masalah keulamaan dan menyerahkan

pengelolaan urusan kenegaraan kepada politikus. Negara Islam (daulah islamiyah)

tidak boleh didirikan, karena walaupun menarik umat Islam di seluruh dunia, akan

menjadi negara totaliter. Apa yang sesuai bagi Nabi Muhammad dan Sahabat-

sahabatnya kini tidak mesti benar di zaman sekarang ini.62

Hasan al-Banna sebagaimana pemikir pergerakan muslim sebelumnya,

misalnya Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida, percaya

bahwa kelemahan dan kerentanan umat Islam terhadap dominasi Eropa

disebabkan oleh penyimpangan kaum muslim dari Islam. Karenanya, al-Banna

mengajak masyarakat Mesir untuk kembali kepada ajaran Islam “sejati”. Adapun

konsepsi Islam sejati tersebut menuntut disucikannya keyakinan dan praktek

keagamaan yang ada, kaum muslim harus kembali memahami dan hidup menurut

Islam seperti yang ditegaskan di dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Hal ini juga

merupakan sebuah upaya untuk membangkitkan dan mengembalikan kejayaan

Mesir.

Sementara itu, terjadinya hegemoni Inggris (Barat) terhadap Mesir dalam

bidang ekonomi, politik dan budaya telah menimbulkan kesadaran al-Banna

bahwa, ada sesuatu yang tidak beres dengan masyarakatnya sehingga terjadi

krisis. Arus westernisasi telah melanda hampir seluruh negeri Muslim dan dunia

Islam, sehingga tidak nampak lagi identitas sesungguhnya dari Islam. Hasan al-

Banna melukiskan hal seperti ini sebagai berikut:

62
David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme, cet. I, (Yogyakarta, LKIS 1997), hlm. 202.
Betapapun, kita harus mengakui bahwa saat ini telah muncul tantangan

hebat berupa penyelewengan dan gelombang dahsyat yang menyesatkan rasio dan

alam pikiran di tengah kelengahan kita selama ini, sehingga bermunculan berbagai

prinsip dan ajaran- ajaran, sistem dan filsafat, serta peradaban dan kebudayaan,

yang beraneka ragam yang saling berlomba menanamkan pengaruhnya dalam

pemikiran Islam melalui jiwa pemeluknya.Umat Islam seluruhnya tanpa terkecuali

dihempas gelombang dan seluruh negeri Islam di semua penjuru dunia berhasil

ditipunya, sedang sisanya sudah demikian terbelenggu dalam pengaruhnya.

Pengaruh itu, sudah menguasai seluruh tindakan yang mereka laksanakan dan

selanjutnya mereka mengambil-alih kepemimpinan dalam medan intelektual,

spiritual dan politik lalu menyeret umat ini ke mana saja yang mereka kehendaki.

Kemudian berkumandanglah seruan-seruan menentang pemikiran yang sesat itu,

kita harus menyelamatkan sisa-sisa dan peninggalan ajaran Islam yang masih ada,

dan mari suka atau tidak suka bergabung bersama kami untuk bersama-sama

melaksanakan kewajiban, pemikiran, dan corak kehidupan Islam serta

mencampakkan semua pemikiran yang bobrok itu dari jiwa dan otak kita dan

hendaklah, jangan anda sekalian tertipu sehingga berprilaku Barat namun

berbicara sebagai seorang yang beragama Islam.63

Menurut Hasan al-Banna peradaban Barat terdiri atas atheisme,

permissivisme (paham serba boleh), hedonisme, egoisme, individual serta sistem

ekonomi yang ribawi. Fenomena gaya hidup materialisme oriented dalam


63
Abdul Mut’al al-Jabari, Pembunuhan Hasan al-Banna, terj; Afif Muhammad. Cet. II,
(Bandung: Pustaka, 1995 ),hlm. 2.
masyarakat Barat telah membuahkan kerusakan jiwa, dekadensi moral dengan

membumbungnya angka kriminalitas dari waktu kewaktu.64

Dari sini akhirnya timbul berbagai problema yang semakin banyak dan

kompleks sehingga al-Banna berkesimpulan bahwa peradaban Barat telah gagal

dalam memberikan rasa damai dalam membahagiakan manusia.65 Bahkan untuk

mendukung hal ini, diterapkan dalam misi utama Ikwan dengan memberikan

pengertian Islam secara ringkas yaitu:

a) Hukum Islam dan ajarannya bersifat komprehensif, meliputi

persoalan-persoalan masyarakat di dunia dan di akhirat.

b) Dasar dari ajaran Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah rasul.

c) Islam merupakan keyakinan umum yang mengatur semua masalah

kehidupan setiap masyarakat dalam setiap masa.66

Selain membuat konsep tentang Islam, al-Banna berupaya membangkitkan

masyarakat muslim kembali kepada ajaran Islam sesuai dengan konsep yang ada

dengan menyerukan agar berpegang teguh pada moralitas Islam. mengupayakan

solidaritas muslim dan mengasimilasi ilmu modern serta dengan mendirikan

berbagai sekolah dengan mengajarkan al-Qur’an, as-Sunah dan sejarah kehidupan

Nabi saw.

Karena Islam adalah jalan Allah untuk semua umat manusia, maka kaum

muslimin tidak hanya berpegang pada ajaran-Nya saja, namun juga harus

64
Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimun, jilid II, terj; Anis Matta dkk,
cet. VI, ( Solo; Eraintermedia, 2000 ), hlm. 201.
65
Ibid., hlm. 202.
66
John Obert Voll, Politik Islam, Kelangsungan Dan Perubahan Di Dunia Modern,
terjemahan Ajat Sudrajat (Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 229
menyebarkan rahmat-Nya kepada umat lain. Al-Banna juga menekankan relevansi

Islam dengan soal-soal duniawi, Islam menganjurkan agar manusia terlibat aktif

dalam dunia, mengadakan hubungan mua’malat mengadakan penelitian atas

perkembangan yang terjadi di dunia termasuk mengkaji perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Semangat keislaman al-Banna memperlihatkan

sesuatu yang khas, seperti telah dijelaskan, ia memiliki pengertian khusus tentang

Islam menurutnya sungguh keliru anggapan yang menyatakan Islam hanyalah

terdiri aspek rohaniah dan ibadah. Sesungguhnya Islam bukan hanya doktrin

agama yang menyangkut aspek kerohanian dan penyembahan, melainkan juga

meliputi semangat kebangsaan, tanah air, pedang dan tentu saja al-Qur’an

karenanya lambang perjuangan mereka adalah kitab suci al-Qur’an di antara dua

hunus mata pedang.67

2. Agama dan Negara.

Meskipun di antara para sarjana banyak yang saling berbeda pendapat

dalam masalah sistem pemerintahan Islam, dan itu masuk dalam kategori yang

mana. Dalam hal ini, sebagian berpendapat; sistem pemerintahan Islam sama

dengan sistem demokrasi, atau sebagian lagi berpendapat sebagai sistem

kekuasaan perorangan yang adil, atau yang lainnya mencoba mencari sistem yang

lainnya persamaannya dengan sistem pemerintahan Rumawi pada masa-masa

kerepublikannya, atau ada juga yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan

67
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm. 304
Islam adalah sistem yang bersifat Ilahiyah dan pemerintahan Islam adalah

pemerintahan yang bersifat teokrasi yang sakral.68

Ajaran al-Qur’an bukanlah ajaran statis, tetapi selalu bergerak sesuai

dengan kondisi sosial yang beragam, norma-norma Islam merupakan norma yang

ideal yang menuntut untuk merealisasikan secara progresif dalam berbagai

fenomena dan lingkungan sosial yang sesuai dengan keadaan zaman. Pengambilan

nilai-nilai dari penuturan ayat-ayat al-Qur’an untuk sikap hidup merupakan

keharusan. Sebab pada dasarnya al-Qur’an bukan hanya berfungsi sebagai

dokumen sejarah, tetapi juga merupakan kitab petunjuk bagi jalan hidup manusia

yang bersifat normatif.69

Islam adalah gerakan Revolusioner berskala Internasional yang bertujuan

untuk membawa dunia kearah yang lebih ideal, ia bertujuan mengakhiri dominasi

sistem-sistem yang tidak islami, baik dalam bidang akidah, tata pergaulan dalam

bidang politik sosial, ekonomi, dan sebagainya untuk mewujudkan gagasan-

gagasan ideal.70

Penolakan terhadap penerapan sistem politik Islam, selalu beralasan

karena hal itu akan menyebabkan kekuasaan berada di tangan para ulama yang

akan memerintah secara teokrasi antara lain dengan menyatakan penerapan

syari’at Islam berarti berdirinya pemerintahan diktator kaum agama yang

68
Abdul Gaffar Aziz, Islam Politik Pro dan Kontra, terjemahan M. Thoha Anwar, cet.I
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm.100.
69
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian terhadap
Hermeneutika (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 138- 139. Lihat juga: M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur’an ( Bandung: Mizan, 1992 ), hlm. 16 & 72
70
Azyumardi Azra, Pergolakkan Politik Islam dari Fundamentalisme hingga Post-
Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 171-180.
mengatasnamakan Tuhan dan agama dalam pemerintahan. Padahal Islam tidak

mengenal istilah pemerintahan kaum agama, juga tidak mengenal istilah teokrasi

karena Islam tidak mengenal pemuka agama yang kedudukanya seperti kaum

pendeta, para penguasa dalam syari’at Islam tidaklah memiliki kekuasaan mutlak.

Penguasaan hanyalah salah seorang dari di antara umat yang terpilih untuk

memimpin umat itu.

Islam telah mendefinisikan teori pemerintahnya yang berkaitan dengan

penguasa dalam tiga prisip pokok:

a) Adanya kendali dan batas-batas bagi penguasa/ pemerintah.

b) Adanya pertanggungjawaban penguasa terhadap sikap, tindakan

(terhadap rakyat) dan kesalahan-kesalahannya

c) Adanya serah terima kepada rakyat jika penguasa berhenti

memerintah.71

Sementara, jika mecoba untuk menyimak kembali tulisan al-Banna soal

agama dan politik.72 mencerminkan transisi dari penekanan pembaharuan Islam

sebelumnya bahwa Islam dan politik tak dapat dipisahkan, penguraian lebih

terinci mengenai fungsi negara Islam dan prinsip dasarnya. Hidup di antara era

ketika pemerintahan konsitusional, parlemen, dan pemilu mendapat dukungan dari

kaum Muslim berwawasan politik di Mesir dan di lain tempat, al-Banna

menegaskan bahwa prinsip Islam dapat diterapkan pada keyakinan yang banyak

dianut dalam soal politik dan lembaga politik. Ia menulis bahwa Islam

71
Ibid., hlm.1-2
72
David Commin, Hasan al-Banna, ( 1906-1949), dalam Para Perintis Zaman Baru
Islam, Ali Rahnema, (ed) , cet. I, (bandung: Mizan 1995), hlm.136.
memerlukan suatu pemerintahan tertentu. Islam hanya meletakkan tiga prinsip

pokok seperti diugkapkan di atas. Karena ketiganya merupakan prinsip yang

sangat luas, maka negara Islam bisa memiliki banyak bentuk, termasuk demokrasi

perlementer konstitusioanal. Sebagai tujuan jangka panjang, al-Banna

menyerukan dihidupkannya kembali kekhalifahan ia berkata bahwa tugas ini

memerlukan kerja sama penuh Muslim melalui berbagai fakta, persekutuan, dan

pada puncaknya liga bangsa-bangsa Islam. Runtuhnya Pemerintahan Islam

terakhir, Turki, yang sangat disesalkan oleh al-Banna telah menyebabkan

hancurnya daulah islamiyah atau pemerintahan Islam sedunia dan menjadikan

Turki sebagai negara sekuler. Dan pada awal abad keduapuluh, dunia Muslim

sejak dari Afrika Utara sampai Indonesia berada di bawah dominasi Eropa.73

Masyarakat Muslim dunia seakan tidak bisa mengelak untuk menerima

seluruh sistem kehidupan Barat, yang notabene sebagian-kalau bukan seluruhnya-

sangat berbeda dengan sistem kehidupan masyarakat Muslim, yang dalam banyak

hal mengesampingkan agama. Tugas setiap orang Muslim adalah mengembalikan

identitas masyarakat sebelumnya di seluruh aspek kehidupan dengan menggali

sumber-sumber yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Perbaikan sosial itu harus

mengacu kepada manhaj al-Qur’an. Dengan ini al-Banna menuliskan asas-asas

perbaikan itu yang akan tegak di atas masyarakat Muslim berupa: rabbaniyah,

ketinggian kualitas jiwa manusia, ukhuwah antar sesama manusia, peran laki-laki

dan perempuan secara proporsional, penegasan atas wihdah al-Ummah, kewajiban

umat untuk berjihad dan bertanggunjawab negara atas Islam dan dakwahnya.74
73
Ibid., hlm. 195-199
74
Ibid., hlm. 189-190.
Al-Banna sangat memperhatikan fungsi setiap unit dari masyarakat

Muslim. Antara lain, usrah (keluarga) merupakan unit terkecil dalam usaha awal

membangun masyarakat Muslim. Oleh karenanya, ia sangat menekankan

perhatian pada usrah yang padanya diberikan bimbingan-bimbingan,

mengokohkan ikatan dan beramal dengan teorinya. Tiga pilar yang harus ada

dilakukan untuk mewujudkan usrah ini yaitu ta’aruf (saling kenal-mengenal),

yang akan menjamin persatuan, tafahum yaitu anggota usrah harus saling

memahami satu sama lain dengan saling menasehati, dan terakhir takaful, bahwa

usrah itu saling menanggung beban dengan saling membantu.75

Al-Banna sangat berkepentingan membangun pikiran-pikiran yang dapat

menjadikan solusi bagi seluruhnya. Dan bahwa al-Banna begitu jelas dengan

aktivitas politik Mesir yang dengan interaksi dan kebersentuhannya telah

melahirkan konsep-konsep politik yang berlandaskan pada Islam.

Pemerintah Islam atau dengan negara Islam menjadi tujuan yang paling

ditekankan al-Banna selama ini, yang baginya telah diabaikan oleh kaum

Muslimin. Adalah amat sangat mengherankan kata al-Banna manakala komunis

dapat menghadirkan dirinya sebagi suatu negara yang diperjuangkan dan

dipertahankan banyak orang. Demikian juga dengan sistem-sistem lain

(kapitalisme). Sementara itu, lanjut al-Banna tidak ditemukan adanya

pemerintahan Islam yang melaksanakan dakwah Islam dengan dukungan sarana

seperti yang digunakan sistem-sistem tadi, kemudian mengemukakannya menjadi

sistem universal. Padahal Islam telah menjadikan dakwah sebagai suatu

75
Ibid., hlm. 205-210
kewajiban, baik sebagai suatu bangsa atau umat, justru sebelum adanya berbagai

sistem yang disebut tadi.76

Pengertian Islam menurut al-Banna sangat holistik yaitu sebagai akidah

dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan, moral dan

material, peradaban dan perundang-undangan.77 Bahkan ia dengan tegas

mengatakan ketidakterpisahan agama dengan negara. Bahwa Islam adalah agama

dan negara, pemerintah dan rakyat, mushaf dan pedang. Oleh karenanya al-

Banna dengan tegas menyatakan bahwa seorang Muslim tidak sempurna Islamnya

kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan pandangan yang jauh dan

mempunyai keperdulian yang besar terhadap umatnya.

Al-Banna membagi pemikiran politiknya menjadi dua yaitu; politik

internal dan eksternal. Politik internal yang ia maksudkan adalah Islam mengatur

roda pemerintahan, menjelaskan tugas-tugasnya, merinci dengan hak dan

kewajibannya, mengontrol dan membantu para petinggi agar mereka ditaati jika

berbuat baik dan diluruskan jika menyimpang. Sementara politik eksternal

menurut al-Banna adalah bahwa Islam menjaga kebebasan dan kemerdekaan

umat, menanamkan rasa percaya diri dan kewibawaan, membebaskan diri dari

imperialisme, menjalin interaksi bilateral dan multirateral serta mewujudkan

perdamaian Internasional.78

76
Ibid., hlm. 152, Lihat juga Abdul Muta’al al-Jabari, Pembunuhan, terjemahan Khozin
Abu Faqih dan Fachruddin, cet.I (Jakarta: al-Itishom Cahaya Umat, 2001 ), hlm. 3.
77
Ibid., hlm. 75
78
Ibid., hlm. 76- 85
Istilah yang selalu digunakan al-Banna untuk menyebut negara Islam

“Daulah Islamiyah”. Bagi al-Banna daulah Islamiyah atau negara Islam ada untuk

mencegah anarki atau kerusakan dan bahwa umat Islam harus hidup dengan

memiliki pemimpin.79 Ia mengutip pendapat al-Gazali bahwa syari’at itu pondasi

dan raja itu penjaga. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan hancur dan sesuatu

yang tidak ada penjaganya akan hilang.

Menurut al-Banna bahwa perjuangan politik untuk menyebarkan dakwah

merupakan suatu tugas dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakan.

Pemerintah Islam tegak atas kaidah- kaidah yang sudah popular. Kaidah-kaidah

itu merupakan kerangka pokok pemerintah Islam.80 Kemudian al-Banna

menguraikan bahwa pemerintahan Islam itu harus siap untuk menjadikan syari’at

Islam atau hukum Islam sebagai konstitusi negara dan penerapannya secara ketat.

Karena Islam menurut al-Banna, hukum sekaligus penerapannya atau

aktualisasinya. Oleh karena itu sebuah pemerintahan yang tidak melaksanakan

syari’at Islam adalah dosa besar dan pemerintahan itu boleh diambil alih untuk

melaksanakan syari’at Islam81.

Pemberlakuan syari’at Islam bagi sebuah negara dengan kewajiban

pemerintah (negara) untuk memaksa rakyatnya melaksanakan syari’at Islam dapat

dipahami bahwa negara dalam hal ini pemerintah memiliki kekuasaan untuk

mengharuskan rakyat melaksanakan syari’at Islam. Jadi Islam dalam pengertian

struktural, dengan pola atas bawah (top down) mengharuskan pelaksanaan syari’at
79
Ibid., hlm. 297
80
Ibid., hlm. 298
81
Ibid., hlm 248
Islam. Bahkan Islam menjadi agama resmi negara dan kewajiban melaksanakan

syari’atnya. Tampaknya ini adalah karakter yang khas dari haluan pemikiran

formalis- legalistik dan ini sering menjadi momok di negara-negara

berpendudukan plural, termasuk Indonesia. Islam membenarkan demokrasi

parlementer, tetapi al-Banna menolak peranan sistem multipartai di negara Islam.

Padahal ia sendiri mengakui sistem parlemen bisa memiliki satu, dua atau

beberapa partai. Tampaknya al-Banna cukup trauma dengan pengalaman Mesir

yang menunjukkan bahwa sistem multipartai melanggar nilai fundamental Islam,

kemudian al-Banna menyerukan agar semua partai dibubarkan dan agar dibentuk

satu partai untuk mempersatukan bangsa, untuk memerdekakan bangsa dan untuk

mengupayakan pembaharuan internal.82

Dalam konsep negara Islam, al-Banna menguraikan tentang makna yang

dimaksud dengan nasionalisme. Menurutnya jika nasionalisme yang dimengerti

sebagai cinta tanah air dan keberpihakan kepadanya, maka Islam telah

menganjurkan yang demikian. Keharusan berjuang membebaskan tanah air dari

cengkeraman imperialisme, nasionalisme semacam ini telah diperintahkan oleh

Islam.

Islam mewajibkan untuk memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota

masyarakat, al-Banna juga memberi pengertian demikian terhadap nasionalisme.

Dan nasionalisme yang dipahami untuk membebaskan negeri-negeri Islam yang

lain dan menguasai dunia, juga diakui oleh Islam lanjut al-Banna. Dan

82
Abdul Hamid al-Gazali, Pilar-pilar Kebangkitan Umat: Telaah Ilmiah terhadap
Konsep Pembaharuan Hasan al-Banna, terjemahan Khozin Abu Faqih dan Fachruddin, cet.I
(Jakarta: al-Itishom Cahaya Umat, 2001ÐÏÎÍ7171717171@7171@
nasionalisme kepartaian yang bertujuan memilah-milah umat menjadi kelompok-

kelompok yang saling bermusuhan sangat dikecam oleh Islam.83

Tidak seperti batasan nasionalisme yang dimaksud dengan negara-negara

Barat sekuler yang ditentukan oleh batas teritorial dan geografis, nasionalisme

Islam ditentukan oleh akidah, tulis al-Banna. Setiap jengkal tanah bumi ini yang

disebut “ ‫ ” لاله الا‬maka itulah tanah air Islam menurut al-Banna.84

Tujuan nasionalisme Islam adalah semata-mata memperoleh rida Allah dan

memakmurkan bumi dengan bimbingan agama-Nya. Kemungkinan bisa

dikatakan, konsep nasionalisme yang dikembangkan al-Banna dengan batasan

seperti di atas, disamping itu konsep ummah atau persatuan umat Islam dunia,

kekhalifahan yang ingin terus diperjuangkan, bisa jadi tidak sesuai atau menolak

konsep politik modern Barat tentang nation state (negara bangsa) yang dibatasi

oleh wilayah teritorial, geografis, ras dan bahkan suku.

Dengan mengacu pada al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 8. Al-Banna

menjelaskan bahwa Islam melindungi golongan minoritas (non Muslim) dan

memelihara hak-hak orang asing. Islam dalam menyikapi umat lain adalah dengan

prinsip perdamaian dan persahabatan seraya menambahkan bahwa Islam

mensakralkan kesatuan agama. Bahwa seorang Muslim harus beriman kepada

seluruh agama langit. Tidak jelas apakah al-Banna memasukkan golongan

minoritas ini sebagai meliputi kategorisasi ulama-ulama yang dulu, dengan

kategori ahl az-Zimmah. Demikian juga dengan pengakuannya akan keimanan

kepada semua agama langit karena yang jelas yang dimaksud adalah agama
83
ᄂ 72ÿ 72 7272727272 7272727272 72"72727272
722727272727272727272727272727272
8472
72727272727272727272727272727272727272
Nasrani dan Yahudi. Apakah Kristen saat ini termasuk dengan kategori itu karena

di banyak tempat al-Banna mengecam keras kegiatan misionaris Kristen di Mesir

saat itu. Mengenai hak asasi manusia, al-Banna menegaskan bahwa itu merupakan

kewajiban agama. Islam sejak kelahirannya telah melindungi darah, kehormatan,

harta, dan keluarga. Melanggar itu semua adalah tindakan yang haram meskipun

lanjut al-Banna terhadap orang-orang non Muslim.85

Oleh karenanya Islam menghormati manusia dan kemanusian. Dalam hal

komitmennya dengan demokrasi, al-Banna mengurai prinsip- prinsip demokrasi.

Prinsip- prinsip demokrasi itu dirinci menjadi; kekuasaan pada rakyat, kebebasan

menganut keyakinan dan penghormatan agama lain, kebebasan berpendapat,

berkumpul, jaminan kesamaan laki-laki dan perempuan untuk mengambil bagian

dalam pemerintah independensi peradilan hingga penegasan peran militer dan

kepolisian.86

Hubungan internasional terutama dengan Barat sekalipun al-Banna sangat

anti dengan sistem dan budaya Barat, ia tetap menyerukan kepada hubungan

perdamaian dengan berdasarkan kepada alasan-alasan bahwa Islam

mengumandangkan pemeliharaan hak dan penunaian penjanjian. Namun

demikian, tetap ia mengajak kepada Barat untuk saling memahami bahwa Islam

dijadikan ideologi dan sistem kenegaraan merupakan sistem yang pernah dikenal

dalam sejarah. Al-Banna mengakuai bahwa Islam membenarkan demokrasi

parlementer, al-Banna menolak peranan sistem multipartai di negara Islam. Ia

8573
7
3737373737373737373737373737373737373737373737373737373737373737373737373737373
73737373737373737373737373737373737373737373
8673
7373737373737373737373737373737373737373737373
mengatakan bahwa sistem parlementer bisa memiliki satu, dua atau beberapa

partai. Pengalaman Mesir menunjukkan bahwa sistem multipartai melanggar nilai

fundamental Islam seperti kesatuan nasional, dengan cara menaburkan benih

perpecahan. Al-Banna memang memandang partai-partai politik Mesir sebagai

fraksi-fraksi yang berdasar pada perbedaan di kalangan figur terkemuka.87

Al-Banna menyadari sekali tantangan yang dihadapi Islam dari ideologi

Barat dalam berbagai isu sosial. Al-Banna percaya bahwa dunia Muslim berada di

tengah pergulatan antara berbagai sistem ekonomi yang saling berkompetisi;

kapitalisme, komunisme, dan nazisme. Para pedukung sistem ini mendesak kaum

Muslimin memakai sistem mereka, dimana sistem ini ada manfaat dan

kelemahannya. Ia memuji nazi yang menekankan pada disiplin dan kepatuhan,

namun mengutuk rasisme nazi.88 Al-Banna menghargai pandangan komunis soal

persaudaran universal dan masyarakat yang bebas dari persaingan bebas dan

persaingan kelas (kendati ia tidak mempercayai masyarakat tidak berkelas). Di

lain pihak, ia juga membenci sikap komunis yang menentang agama dan milik

pribadi. Ia berpendapat bahwa kapitalisme membiarkan orang memanipulasi

prinsip demokrasi dan kebebasan individu untuk mebenarkan gangguan sosial dan

ketidakbermoralan. Lebih lanjut al-Banna berpendapat bahwa kaum Muslimin tak

perlu meminjam dari ideologi asing, karena Islam merupakan sistem yang

sempurna.

Negara Islam akan menyediakan pekerjaan dan sarana penghidupan bagi

siapa pun yang sanggup bekerja. Negara Islam juga akan meningkatkan

8774
747474747474747474747474747474747474
8874
74747474747474747474747474747474
produktivitas pekerjaan industri dan petani. Hak pekerja antara lain adalah dijamin

mendapat pekerjaan dengan upah yang memadai, asuransi kesehatan, dan larangan

mempekerjakan anak. Untuk mengatasi pengangguran, negara akan mendorong

bangkit dan berkembangnya industri rumah tangga. Dengan begitu, wanita dan

anak-anak dapat berpartisipasi dalam ekonomi dan menambah pandapatan

keluarga.

Negara Islam juga akan berupaya mengurangi perbedaan antara yang kaya

dan yang miskin. Orang kaya harus mengubah gaya hidupnya sendiri, dengan

tidak bermewah-mewahan. Orang kaya harus menjadi model bagi orang lain.

Sehingga akan semakin berkurang kemarahan akibat perbedaan kekayaan. Pihak

berwenang harus melarang cara haram mencari nafkah, seperti menjual minuman

keras, babi, dan narkotik. Negara harus juga mempromosikan eksplorasi dan

eksploitasi sumber daya alam. Satu-satunya pajak yang sah adalah zakat, yang

memiliki keuntungan seperti mencegah penimbunan kekayaan, mengedarkan

kembali kekayaan, dan menghindarkan orang miskin dari beban pajak.

Pendapatan zakat akan digunakan untuk angkatan bersenjata, kaum miskin dan

anak yatim. Mengenai kelas menengah, al-Banna menganjurkan kenaikan gaji

pegawai negeri tingkat rendah, dan pengurangan gaji pegawai negeri tingkat

tinggi.89

A. Yusuf al-Qaradawi

1. Paradigma Pemikiran

8975
757575757575757575757575757575757575
Ajaran Islam yang mengatur tentang kenegaraan sebagaimana diyakini

oleh sebagian ulama90 hanya bersifat garis besar, oleh karenanya terjadi variasi

dan perbedaan dalam menafsirakannya, baik pada masa klasik ataupun

kontemporer, bahwa jika dibandingkan terjadi perbedaan antara pemikir klasik

dan kontemporer para pemikir klasik misalnya, tidak perlu mempersoalkan

kedudukan agama dengan negara terintergrasi atau terpisah.

Perdebatan yang terjadi pada masa ini, berkisar pada wajib berdirinya

sebuah negara dan syarat-syarat kepada negara, Ibn Abi Rabi, al Ghazali, dan Ibn

Taimiyah misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara

atau raja merupakan mandat dari Allah yang di berikan kepada hamba-Nya,

menurut ketiga pemikir tersebut seorang khalifah adalah bayangan Allah di bumi

sedangkan al-Mawardi, kekuasaan kepala negara itu didasarkan atas kontrak

sosial yang melahirkan hak dan kewajiban hubungan timbal-balik bagi raja dan

rakyat91

Meskipun nas tidak menegaskan bentuk negara dan rinciaanya, akan tetapi

tabia’at Islam itu sendiri yang mengharuskan adanya kepemimpinan dan

kedaulatan dalam suatu wilayah sehingga umat Islam dapat mengembangkan

ajaran, akidah, akhlak, tradisi dan syari’ah-Nya.92 Memang tidak ada yang bisa
9076
7
6767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676
7676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767
67676767676767676767676767676767676767676
91
767
6
767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676
7676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767
6767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676767676
767676767676767676
9276
7676767676767676l-Qaradawi, Fiqh DaulahDalam Perspektifal-Quÿ76
76m767676767676e767676 767676LIBRARY-
C0227676767676767676767676767676767676767676SYSTEM7
67676767676767676767676767676767676767676767676
menyangkal bahwa hukum Islam telah melalui proses pertumbuhan dan

pengoreintasian yang berkesinambungan, sebelum terorganisir secara formal.

Tetapi harus diingat bahwa al-Qur’an sendiri tidak pernah mengalami proses

perkembangan dan Sunnah mutawatirah (praktek Nabi yang diriwayatkan orang-

orang yang segenarasi dengan beliau), pada dasarnya tidak pernah mengalami

perubahan. Al-Qur’an dan Sunnah mutawatirah inilah yang merupakan landasan-

landasan syari’ah.

Jadi landasan-landasan hukum Islam tersebut senantiasa utuh. Lain halnya

dengan penafsiran aplikasinya. Selanjutnya perlu diketahui bahwa prinsip- prinsip

ijtihad dan ijma’ bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Prinsip-prinsip ini

memungkinkan perkembangan dan kemajuan yang berkesinambungan di dalam

syari’ah. Oleh karena itu pada awal sejarahnya ketika Islam berkembang dengan

sangat pesat di dunia dan menghadapi beribu-ribu persoalan, ahli-ahli hukum

Muslim harus menghadapi tantangan ini dan mengintergrasikan kehidupan politik,

sosial, dan ekonomi pada masa itu menjadi kehidupan yang religius Islam, dan

telah berhasil secara gemilang.

Sesungguhnya prinsip kedinamisan dan pertumbuhan inilah yang membuat

syari’at tetap hidup dan tetap diterapkan secara universal. Sejak awal mulanya di

dalam Islam politik dan agama sedemikian erat jalin menjalin sehingga tidak

dapat dipisahkan. Negara dan agama Islam memang tidak ekuivalen, tetapi negara

dipandang sebagai alat agama.93 Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah

Tuhan diatas bumi, hanya saja amanat ini belum sepenuhnya dijalankan. Amanat

untuk menjadi khalifah di muka bumi jatuh kepada kemanusian secara


9377
77777777777777777777777777777777777777
keseluruhan. Untuk tujuan inilah masyarakat muslim dibangun oleh al-Qur’an

untuk menghapuskan kerusakan diatas bumi dan memperbaiki keadaanya, untuk

menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, untuk membangun suatu

tatanan social diatas suatu landasan etis yang kukuh.94

2. Agama dan Negara

Dalam wacana pemikiran politik kontemporer, setidak-tidaknya, secara

garis besarnya terdapat mainstream pemikiran di kalangan masyarakat Muslim

dalam upaya mereka melaksanakan syari’at Islam di seluruh aspek kehidupan

termasuk kehidupan politik atau bernegara95 Oleh karena itu para fuqaha (ahli-ahli

hukum) di samping berkewajiban untuk mempertahankan otoritas syari’ah harus

pula memperkembangkan teori konstitusional yang sesuai dengan realitas politik

pada masanya. Nabi Muhammad adalah pemimpin masyarakat Muslim baik pada

bidang spiritual maupun pada bidang keduniawian, maka tata politik yang

ditegakkan setelah beliau wafat mengikuti Sunnahnya dan khalifah menjadi

pemimpin politik yang tertinggi bagi masyarakat Muslim dan pelaksana syari’ah.

Beginilah kenyataan yang sesungguhnya, ketika kekuasaan dipegang oleh

para al-khulafa ar-Rasyidun, khalifah umayyah dan abbasiyah. Tetapi pada

pertengahan abad ketiga hijriyah keadaan sangat berubah. Khalifah sangat lemah

dan kekuasaan yang sesungguhnya berada pada tangan amir wa-Umara yang

kemudian hari dijuluki sebagai Sultan. Memang secara teoritis khalifah masih
9478
78787878787878787878787878E, Cita-cita Islam, Sufianto dan Imam Musbikin, (ed),
cet. I, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 8-9
95
Bahtiar Effendi, Islam dan Demokrasi: Mencari sebuah sintesa yang memungkinkan
Dalam Agama Dan Dialog Antar Peradaban, M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed), cet, I
( Jakarta: Paramadina, 1996 ), hlm. 95
memegang otoritas tertinggi di dalam negara, karena orang-orang yang telah

mengambil alih kekuasaan yang sesungguhnya bukan dari suku Quraisy. Mereka

tidak dapat berperan sebagai khalifah, karena dengan demikian mereka

mendobrak keyakinan kaum Muslimin pada masa itu dan tidak akan ia akui.96

Jadi, para fuqaha (ahli-ahli hukum) mengkompromikan teori dengan

praktek. Hukum Islam menghendaki persatuan dan otoritas ummah; maka

khalifah yang lemah secara formalnya saja diberi otoritas tertinggi sedang amir

diberi kekuasaan yang efektif untuk memerintah. Jadi tidaklah dikatakan oleh

Rosenthal bahwa hukum Islam tidak membedakan di antara otoritas dengan

kekuasaan. Menurut syari’ah hanya ada satu pemegang otoritas yang tertinggi,

yaitu khalifah, seorang khalifah sudah tentu dapat menghibahkan sebagian atau

seluruh otoritasnya kepada amir-amir, gubernur-gubernur, menteri-menteri,

hakim-hakim atau pembantu-pembantunya yang lain. Maka ketika orang Turki

dari Dinasti Buwaihid dan Saljuk mengambil alih kekuasaan di kota Baghdad dan

menjadi para penguasa yang sesungguhnya di Emperium Abbasiyah yang besar,

secara teoritis mereka dipandang sebagai pembantu khalifah yang lemah. Untuk

menjaga wibawa syari’ah diselenggarakanlah upacara-upacara pelantikan resmi,

di mana khalifah menghibahkan seluruh kekuasaannya dan memberikan

pernyataan tertulis (sanad) kepada amir untuk memerintah atas namanya. Dan

sering terjadi bahwa pernyataan tertulis tersebut diberikan sebagai balasan

terhadap pengakuan amir terhadap khalifah. Beginilah caranya citra persatuan

dipertahankan di dunia Islam. Persatuan ini adalah suatu fiksi legal namun

96
Ibid., hlm. 175
memberikan pengaruh yang nyata di dalam menyelamatkan dunia Islam dari

disiintegrasi politik selama beberapa abad.

Rambu-rambu negara Islam yang yang telah dibangun menjelaskan bahwa

negara Islam adalah negara madani yang berdasarkan pada syari'at Islam bukan

negara kaum agamawan seperti yang dipahami Barat dalam sejarah. Di barat

“daulah diniyah (negara kaum agamawan), berarti kanisah (negara gereja),yang

berakhir digulingkannya oleh suatu revolusi dengan semboyan yang terkenal

“gantung raja terakhir dengan usus pendeta yang terakhir.”97

Dalam teorinya al-Qaradawi menyebutkan bahwa berdiri sebuah negara di

mulai dari adanya keyakinan akan kebenaran Islam sebagai sistem kehidupan

yang lengkap termasuk di dalamnya kehidupan politik dan hukum. Adanya

keyakinan dari rakyat inilah selanjutnya direalisasikan secara konkrit untuk

menjadikannya sebagai pengaturan pemerintahan, sehingga memungkinkan untuk

membentuk daulah atau negara.98

Namun apabila hal tersebut tidak kunjung terwujud dan sulit untuk dicapai

dengan berbagai alasan-alasan yang memaksa, maka demi kemaslahatan kaum

muslim diperbolehkan untuk bergabung dengan yang lain dan menerima

kekuasaan yang ada. Dengan demikian al-Qaradawi pada batas tertentu juga

membolehkan dasar kemaslahatan, sebagian kecil umat untuk mengakui

berdirinya sebuah negara, meskipun di luar dari prinsip-prinsip islami. Pandangan

ini sangat di pengaruhi oleh praktek pemerintahan Mesir yang selama beberapa
97
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Negara, Ijtihad Baru seputar Sistem Demokrasi, Multipartai,
Keterlibatan wanita Di dewan Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler, terjemahan
Syafril Halim, cet. I ( Jakarta: Rabbani Press, 1997 ), hlm. 65
98
Ibid, hlm.216
dasawarsa lalu di dominasi oleh rezim yang tidak islami yang mempengaruhi

praktek dan sistem hukum yang berlaku. Syari’ah Islam diberlakukan hanya

dalam bidang waris, perkawinan, wakaf selebihnya dalam hukum perdata positif

peninggalan Inggris, sedangkan hukum Islam hanya sebagai salah satu sumber

hukumnya. Bukan sebagai rujukan utama dalam negara Mesir.99

Dalam berbagai aspeknya bentuk negara yang dikehendaki al-Qaradawi

adalah negara internasional. Modal tersebut pada awalnya, di kenal dengan

sebutan Pan-Islamisme ( jama’ah Islamiyah ), yaitu asosiasi politik yang meliputi

seluruh umat Islam dari seluruh penjuru dunia, baik yang hidup dalam negara

merdeka ataupun negara jajahan yang didasrkan pada solidaritas Islam dalam

memperjuangkan penentangan terhadap sistem despotik untuk diganti dengan

permusyawaratan dan penentangan terhadap kolonialisme Barat.100 Ide tentang

Pan-Islamisme sejak dahulu banyak disuarakan oleh tokoh-tokoh kebangkitan

Mesir, seperti al-Afgani, Muh Abduh, Rasyid Rida serta Hasan al-Banna.101

Seruan ini selanjutnya dimunculkan kembali oleh al-Qaradawi untuk

menyeru negara-negara Islam terutama di kawasan Timur Tengah yang selama ini

terpecah-pecah ke dalam paham-paham kebangsaan maupun sektarian.102

Apabila diamati lebih lanjut, model negara internasioanal ini hanya akan

mengarahkan pada diskursus dikotomi Dar al-Islam dan Dar al-Kuffar. Hal ini

99
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah,ajaran sejarah dan pemikiran, ( Jakarta: Raja Grafindo
Press, 1999 ), hlm.183.
100
Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 125
101
Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi
(Yogyakarta: Galang Press, 2001 ), hlm.183.
102
Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syari’ah, alih bahasa Mujiburrahman
(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), hlm. 98-99.
menyebabkan terjadi polarisasi seluruh umat Islam ke dalam satu kesatuan

wilayah Dar al-Islam. Selain itu pembagian negara atas dasar keagamaan tersebut

pada mulanya telah muncul sebelum adanya Pan-Islamisme. Pada periode klasik

para pemikir telah mencanangkan wacana tersebut, namun secara keseluruhan

wacana ini merupakan wacana yang dapat ditangguhkan ketika negara-negara

Islam lokal tersebut tidak memiliki keinginan untuk bersatu membentu negara

internasional, sehingga kembali lagi menjadi wujud negara lokal, nasional sebagai

bentuk yang paling logis ini menjadi sasran kritik Olivier Roy sebagai kebuntuan

ideologi islamisme, disatu sisi masyarakat Islam hanya dibentuk melalui politik,

namun lembaga politik hanya bisa berjalan karena kesalehan dan dijalankan oleh

umat Islam.

Dalam kerangka tersebut, persatuaan dianggap sebagai salah satu bentuk

kesalehan umat, selanjutnya bagaimana negara internasional dapat terbentuk

apabila umat Islam tidak menghendakinya. Padahal tujuan dari tatanan politik

tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat yang islami. Oleh karena itu dalam

konsep kenegaraan al-Qaradawi sebagaimana politisi islam yang mengasumsikan

adanya bentuk negara internasional mengalami kebuntuhan teori. Dalam hal ini

lebih kiranya untuk menciptakan bentuk-bentuk organisasi-organisasi kultural

yang terdiri dari beberapa negara Islam tanpa harus ada ikatana politik atau lebih

konkritnya sebagaimana dinyatakan oleh Diya ad-Din Rais dalam bukunya al-

Khilafah Fi al-Islam, bahwa liga bangsa-bangsa muslim merupakan salah satu

solusi menciptakan lembaga


Lebih lanjut al-Qaradawi menegaskan, bahwa negara merupakan

seperangkat pemikiran dan akidah yang tidak hanya didirikan berdasarkan

batasan-batasan letak geografis, perbedaan etnik, wilayah, bahasa, warna kulit

melebur di sana. Seluruh rakyatnya dipersatukan oleh satu iman kepada Ilah yang

satu melalui dasar tauhid.103 Oleh karenanya sekalipun negara dan daerahnya

berbeda tetapi pada dasarnya prinsip seluruh kaum muslim memiliki kesatuan

wilayah (kekuasaan), yang disebut dengan “Ummah” dengan demikian dapat

dikatakan bahwasannya negara Islam (daulah islamiyah), yang dikehendaki al-

Qaradawi adalah negara universal.104 Daulah Islam menurutnya bukanlah daulah

nasional ataupun lokal, melainkan daulah internasional, namun tidak ada salahnya

daulah tersebut dimiliki dari daulah berskala lokal di daerah tertentu. Jika

gambaran-gambaran Islam telah muncul di beberapa wilayah dan memungkinkan

untuk dibentuk suatu daulah yang berdiri sendiri maka ditegakkanlah “Khlilafah

Islamiyah”105

Selanjutnya negara tersebut harus tersandar pada konstitusi syari’ah yang

tidak di buat oleh negara, akan tetapi sebagai produk Allah swt, di sini berlaku

hukum teori kedaulatan Tuhan (al Hakimiyah al-Ilahiyah), sebagai sandaran

pengambilan hukum asal.106

103
Yusuf al-Qaradawi ,Fiqh Daulah….,hlm. 48
104
Ibid., hlm. 45
105
Ibid., hlm. 46
106
Ibid., hlm. 90
Oleh karena itu sejalan dengan komitmen negara kepada Allah, negara

tersebut tetap layak untuk didukung oleh rakyatnya.107 Meskipun demikian

menurut al-Qaradawi bukanlah negara teokrasi sebagaimana pemahaman yang

berlaku di Barat, serta bukan pula negara para pemimpin agama ( kahanah ), akan

tetapi merupakan negara sipil (madaniyah ) yang di dalamnya umat berkuasa atas

nama Islam.108 Negara tersebut hanya bisa didirikan malalui dasar

permusyawaratan, disini terlihat bahwa kekuasaan pemerintahan tetap berada di

tangan rakyat. Mencopot dan mempertimbangkan mereka,109 ini menunjukkan

bahwa sistem pemerintahan tersebut serupa dengan sistem demokrasi dalam hal

pemikiran pemimpin yang dilakukan umat Islam tidak boleh ada paksaan untuk

mengangkat seseorang untuk menjadi pemimpin kepada Ahl asy-Syura atau Ahl

al-Hall Wa al-Aqd’ (parlemen atau lembaga legislatif), serta hak badan legislatif

tersebut untuk mencopot jabatan kepala negara ketika ia telah menyimpang,

berbuat semena-mena dan tidak mau menerima nasehat oleh karenanya al-

Qaradawi secara ringkas menggambarkan prinsip kenegaraan kedalam tiga pilar

utama:

a. kesatuan wilayah

b. kesatuan rujukan syari’ah

c. kesatuan yang tersentral110

107
Ibid., hlm. 48
108
Ibid., hlm. 43
109
Ibid., hlm.88
110
Ibid., hlm.46.
Telah dikatakan sebelumnya, bahwa al- Qaradawi adalah anak dakwah

dari gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan asy- Syekh Imam Hasan al-

Banna. Ulama yang selalu mengedepankan al-Wasatiyah al- Islamiyah (Islam

Modern) ini sangat mencintai gerakan tersebut, dan sampai kini ia masih selalu

berusaha untuk konsisten berjalan di atas prinsip dan tujuan-tujuannya yang

mulia. Sehingga hampir dalam setiap karyanya, al-Qaradawi selalu mengambil

pemikiran gerakan Hasan al-Banna sebagai bagian bahan rujukannya, terutama

yang berkaitan dengan pergerakan. Jika pemerintahan itu bukan Islam, dengan

pengertian tidak mempunyai komitmen untuk menetapkan syari’ah Islam dan

hukum-hukumnya dalam segala sektor kehidupan, baik perundang-undangan,

pendidikan, peradaban, media masa, ekonomi, politik, adminitrasi atau pun

pemerintahan, tetapi merujuk kepada sumber-sumber selain Islam, mengimpor

dari Barat atau Timur, dari kiri atau kanan, dari kiri atau kanan, dari filsafat

liberalis atau Marxis, ataupun lainnya, atau merujuk kepada Islam dan

menggabungkannya dengan sumber-sumber selain Islam, yang terkadang justru

lebih mementingkan selain Islam daripada Islam sendiri, maka semua ini ditolak

dalam pandangan Islam. Sebab Islam mengharuskan orang-orang Muslim untuk

berhukum kepada apa yang diturunkan Allah, tidak boleh mengambil sebagian

dan meninggalkan sebagian yang lain.

Namun, al-Qaradawi tidak memposisikan dirinya dari al-Banna sebagai

seorang yang mencintai yang karena cintanya telah menjadikannya tidak lagi

memiliki indepensi dalam pendapat dan pandangannya, atau tidak mampu berbeda

dengan yang dicintainya dalam beberapa pandangannya. perbedaan pandangan


antara Hasan al-Banna dan Yusuf al-Qaradawi yang paling jelas adalah mengenai

“Multi partai dalam negara Islam” pandangan al-Banna jelas bahwasannya

menolak berdiri partai-partai dalam satu negara Islam. Ia memandang itu hanya

akan mencabiki-cabik kesatuan umat. Semenatar al-Qaradawi memiliki

pandangan yang berbeda dengannya, beliau mengatakan bolehberdirinya beberapa

partai dalam pemerintahan Islam.111

Selanjutnya al-Qaradawi juga menyatakan secara gamblang dan sejelas-

jelasnya, bahwa Islam yang benar seperti yang syari’atkan Allah, tidak menjadi

seperti itu, kecuali jika berwawasan politik. 112 Jika engkau melepaskan Islam dari

urusan politik, berarti engkau menjadikannya agama lain, bisa agama Budha atau

agama Nasrani atau lainnya. Ada dua sebab yang melandasi hal ini yaitu:

1) Islam mempunyai sikap yang jelas dan hukum yang tegas dalam

berbagai masalah yang dianggap sebagi tulang punggung dunia politik.

Islam bukan merupakan keyakinan para pemimpin agama atau slogan-

slogan ibadah semata. Maksudnya, Islam bukan hanya sekedar

hubungan antara manusia dengan Rabb-Nya tanpa ada hubungan

dengan cara mengatur kehidupan, menuntun masyarakat dan daulah

sama sekali tidak.

2) Islam merupakan akidah, ibadah dan akhlak dan syari’at yang saling

melengkapi. Dengan kata lain, Islam merupakan sistem yang sempurna

bagi kehidupan, yang meletakkan prinsip-prinsip, memancangkan

kaidah, membuat ketetapan-ketetapan hukum, menjelaskan tuntunan,


111
Ishom Talimah, Manhaj Fiqh, hlm. 128
112
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah, hlm. 123
yang berkaitan dengan kehidupan individu, cara menata rumah tangga,

mengatur masyarakat, mendirikan daulah dan menjalin hubungan

dengan seluruh dunia. Bahkan satu bagian dari ibadah yang

notebenenya termasuk fiqh, berada tidak jauh dari politik. Orang-orang

Muslim sepakat bahwa siapa yang meninggalkan shalat, tidak mau

membayar zakat, terang-terangan makan pada bulan Ramadhan,

meremehkan kewajiban haji, layak mendapat sangsi hukuman. Bahkan

ia harus diperangi jika terang-terangan membentuk satu kelompok,

seperti yang dilakukan Abu Bakar Radiyallahu Anhu terhadap orang-

orang yang menolak membayar zakat.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Kaitannya dengan daulah Islamiyah, Hasan al-Banna menegaskan bahwa

antara negara dan agama tidak dapat dipisahkan, karenanya perjuangan

politik untuk menyebar dakwah merupakan suatu tugas dengan tanggung

jawab yang harus dilaksanakan. Pemerintahan Islam tegak atas dasar

kaidah-kaidah yang sudah popular. Kaidah-kaidah itu merupakan kerangka

pokok pemerintahan Islam yang meliputi tanggung jawab pemerintah,


kesatuan masyarakat dan sikap saling menghargai aspirasi rakyat.

Kemudian al-Banna menguraikan bahwa pemerintahan Islam (daulah

Islamiyah ) adalah suatu pemerintahan yang mengacu bahkan harus siap

menjadikan syari’at Islam atau hukum Islam sebagai konstitusi negara dan

penerapannya secara ketat. Karena Islam menurut al-Banna merupakan

hukum, sekaligus penerapannya atau aktuialisasinya. Oleh karena itu

sebuah pemerintahan yang tidak melaksanakan syari’at Islam adalah dosa

besar dan pemerintah itu boleh di ambil alih untuk melaksanakan syari’at

Islam.

Sementara menurut al-Qaradawi, menegaskan bahwa meskipun nas

syari’at tidak pernah mewajibkan didirikannya suatu sistem politik atau

kenegaraan tertentu akan tetapi tabi’at risalah Islam sendiri mengharuskan

adanya kekuasaan dan wilayah agar syari’at Islam itu bisa diterapkan di

dalamnya, karena tabi’at Islam bersifat universal dan umum sehingga


108 kehidupan. Islam telah menetapkan
mampu menyusup keseluruhan sisi

hukum bagi masyarakat, mengontrol perilaku manusia sesuai dengan

perintah Allah SWT.

2. Hasan al-Banna dan Yusuf al-Qaradawi keduanya mempunyai pemikiran

dan cita-cita yang sama yaitu menghidupkan kembali “Daulah Islamiyah”

Dalam memandang Daulah Islamiyah, Hasan al-Banna mewakili

pemikiran yang berhaluan formalis. Bagi al-Banna yang notebennya

adalah seorang formalis lebih menitikberatkan pada bentuk dan simbol,

sehingga disini al-Banna lebih menekankan pada bentuk dan dimbol Islam
dalam suatu daulah (negara), oleh karenanya negara yang islami dalam

pandangan Hasan al-Banna adalah negara yang secara ideologi dan legal-

formalis menggunakan Islam satu-satunya asas. Hal ini ditandai dengan

diberlakukannya syari’at Islam dan menjadikan hukum Islam sebagai

hukum dan satu-satunya konstitusi negara yang paling dominan.

Sedangkan Yusuf al-Qaradawi lebih dipandang sebagai pemikir yang

berhaluan pada faham subtansialik, menegaskan bahwa kaitannya dengan

“Daulah Islamiyah” ia lebih menitikberatkan pada perberlakuan terhadap

nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dapat diterpkan. Dengan tidak

menyinggung bentuk suatu negara ataupun simbol Islam yang terpenting

negara sudah menjalankan roda pemerintahan itu sesuai dengan ajaran-

ajaran syari’at, berarti negara tersebut sudah termasuk daulah Islamiyah

(negara yang menegakkan sendi-sendi Islam ).

B. Saran-saran

1. Untuk para cendekiawan terutama kalangan muda untuk pro aktif dan serius

menggali pemikiran-pemikiran tokoh Islam, agar dapat memperkaya

hazanah pemikiran dengan tidak membatasi disiplin ilmu, tokoh dan

kelompoknya, sehingga tidak membuka ruang konflik yang membodohkan.

Tetapi lebih mengembangkan sikap mengklaim diri paling benar dapat

terhindarkan.

2. Dengan pendekatan moral-etik al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan

perjuangan politik sebenarnya umat Islam tidak harus secara kaku untuk

menjadikan tradisi yang saklek dalam rangka membangun cita-cita Islam


yang mengajarkan cita-cita luhur kemanusia universal. Oleh karena itu,

kajian tentang politik Islam harus digiatkan lagi. Sebab selama ini literatur

yang berkaitan dengan kajian politik Islam kontemporer yang menjadi

kaidah politik umat Islam yang genuine di Zaman modern ini masih sangat

minim.

3. Mengurangi ketegangan-atau bahkan konflik dari dua model pemikiran di

atas dalam tataran praktisnya adalah usaha-usaha yang harus terus

diupayakan. Termasuk di antaranya dengan memberikan ruang atau

kesempatan terhadap wacana bebas atau free discourse bagi penyelesaian

masalah kenegaraan dan kebangsaan dalam rangka menciptakan

kemakmuran bagi rakyat yang menjadi cita-cita bersama.

111

DAFTAR PUSTAKA

A. Kelompok Al-Qur’an dan Tafsir.


Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan terjemahan, Surya Cipta Aksara, 1993
Raharjo, Dawan M. “Ensiklopedia al-Qur’an: Ulil Amri”, Ulumul Qur’an, No.
2/1993
Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyuddin, Bandung,
Pustaka, 1996.

B. Kelompok Fiqh.

Al-Jabiri, Abid. Agama, Negara, dan Penerapan Syari’ah, alih bahasa


Mujiburrahman Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001.

Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, alih
bahasa Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, cet. I, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000.
Al-Qaradawi, Yusuf, Fiqh Ikhtilaf: Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan
Perpecahan yang Dilarang, alih bahasa: Ainur Rafiq, Jakarta: Robbani
Press, 1997.

__________,Fiqh Negara, Ijtihad Baru seputar Sistem Demokrasi, Multipartai,


Keterlibatan wanita Di dewan Perwakilan Partisipasi Dalam
Pemerintahan Sekuler, terjemahan: Syafril Halim, cet. I, Jakarta: Rabbani
Press, 1997.

__________,Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, alih bahasa, Kathur


Suhardi, Jakarta: al-Kautsar, 1999.

___________,Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur’an dan as-Sunah, terjemah;


Kathur Suhardi cet. I, Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 1997.

Ar-Rais,Dhiya’ ad-Din. Islam Dan Khalifah: Kritik Terhadap Buku Khilafah Dan
Pemerintahan Dalam Islam, Ali ‘Abdur Raziq, terjemahan Afif
Muhammad, cet. 1 Bandung: Pustaka, 1985.

Djamil, Rahman, Fathur, Filsafat Hukum Islam, cet. III, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.

Khalaf, Wahab, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bhs Masdar Hilmy cet. II,
Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
Madjid, Nurcholish. Kontekstualisasi Doktrin Islam, cet. II, Jakarta: Paramadina,
1995.
Maliki, Zainuddin, Agama Rakyat Agama Penguasa: Konstruksi Tentang Realitas
Agama dan Demokrasi Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000

Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah,ajaran sejarah dan pemikiran, Jakarta: Raja


Grafindo Press, 1999.

Rachman, Munawar Budhy, Kontekstualitas Doktrin Islam Dalam Sejarah, cet. I


Jakarta: Paramadina, 1994.

Shihab, Quraish, M, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

Taimiyah, Ibn, Siyasah Syari’iyah: Etika Politik Islam, terjemahan: Rafiq


Munawar, cet. I, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

Talimah, Isam, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradawi, alih bahasa: Samson Rahman,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.

C. Kelompok Lain.
Anwar, Syafi’i M, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

Ashari, Tohir Rahmat, Konsep Pergerakan Al-Ikhwanuul Muslimun: Upaya


Mengenal Hasan al-Banna Lebih Dekat, dalam Islam Garda Depan;
Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Aunul Abid Shah, cet.I,
Bandung: Mizan, 2000.

Aziz Gaffar, Berpolitik Untuk Agama: Missi Islam, Kristen, Dan Yahudi Tentang
Politik, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

____________,Islam Politik Pro dan Kontra, terjemahan M. Thoha Anwar, cet.I,


Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme hingga Post-


Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996

Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Islam Ikhwanul Muslimin ,terj. Anis Matta,
Surakata: Era Inter Media, 1999.

___________,Memoara al-Banna Untuk Dakwah dan Para Dai’nya, terj.


Salafuddin Abu Sayyid & Hawin Murtadha, cet. II, Solo: Era Intermedia,
1999.
Baker,Anton, Metode-metode Filsafat, cet. I, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Borgatta, Edgar. Encyclopedia of sociology, New York: Mam Millan Publishing


Company, 1999.

Chandra, Vira Sri.”Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu”, Sabili, No. 01 Th. X
25 Juli 2002/14 Jumaidi al-Awal 1423.

Effendi, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara dan
Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Al-Gazali, Hamid Abdul. Pilar-pilar Kebangkitan Umat: Telaah Ilmiah terhadap


Konsep Pembaharuan Hasan al-Banna, terjemahan Khozin Abu Faqih
dan Fachruddin, cet.I, Jakarta: al-Itishom Cahaya Umat, 2001.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian terhadap


Hermeneutika, Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Hajaji, Anas. Otobiografi Hasan al-Banna tokoh pejuang Islam, alih bahasa
Bahrun Abu Baker dan Anwar Rasyid, cet. I, Bandung: Risalah, 1983.
Al-Hudaibi, Hasan, Ikhwanu al-Muslimin Mengajak Buka Menghakimi,
terjemahan Afif Mohammad, cet. II, Bandung: Pustaka, 1994.

A.Hikam, M. ”Negara Masyarakat Sipil Dan Gerakan Keagamaan Dalam Politik


Di Indonesia” dalam Prisma, No. 3, thn xx, Maret, 1991.

Isjwara F, Pengantar Ilmu Politik, cet. I Bandung: Angkasa, 1980.

Kamus besar Bahasa Indonesia cet. II Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Khan, Qamaruddin. Pemikiran Politik Ibn Taymiyah, terjemahan Saidi al-Kamil,


Bandung: Pustaka, 1983.

Lubis, Solly M. Ilmu Negara, cet. I, Bandung: Angkasa, 1980.

Malik, Djamaluddin Dedy & Ibrahim Subandy Idi, Zaman Baru Islam: Pemikiran
Dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid,
dan Jalaluddin Rahmat, cet. I Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.

Masykuri Abdillah, Gagasan dan Tradisi Bernegara,cet. I Yogyakarta: Tiara


Wacana, 1999.

Muzaffari, Mehdi. Kekuasaan Dalam Islam, terjemahan Abdul Rahman Ahmed,


cet. I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.

Novianto Khalid, Era baru Indonesia: Sosialisasi Pemikiran Amien Rais, Hamzah
Haz, Matori Abdul Jalil, Nur Mahmudi, dan Yusril Ihza Mahendra, cet.I
Jakarta: Raja grafindo, 1999.
Purnomo, Hadi, Syaikhul, dkk, Pedoman Riset dan Penyusunan Skripsi,
Surabaya: BP3 Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 1989 Qutb, Sayyid.
Keadilan Sosial dalam Islam, terjemahan: Afif Mohammad, cet. II,
Bandung: Pustaka, 1984.

Qutb, Sayyid, Keadilan Sosial dalam Islam, terjemahan: Afif Mohammad, cet. II,
Bandung: Pustaka, 1984.

Rahnema, Ali. Para Peristiwa Zaman Baru, alih bahasa Ilyas Hasan cet. III
Bandung: Mizan, 1980.

Rais Amien M. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, cet. III Bandung:
Mizan, 1991

_________, Tidak ada Negara Islam, dalam Agus Edisantoso (peny.), Tidak Ada
Negara Islam: Surat-surat Politik Nourcholis Madjid-Muhamad Roem,
Jakarta: Djambatan, 1997.
_______,Beberapa Pandangan tantang Negara Islam” cet. II, Bandung: Mizan,
1990.

Sagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme, cet. I Yogyakarta, LKIS, 1997

Sulaiman, Munandar, M, Dinamika Masyarakat Transisi Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1998.

Surakhmad, Winarno,Pengntar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik,


Bandung: Tarsito, 1995.

Sjadzali, Munawwir, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah, dan Pemikiran, cet.
V Jakarta: UI Press, 1993.

Voll Obert, John, Islam, Kelangsungan Dan Perubahan Di Dunia Modern,


terjemahan Ajat Sudrajat, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997.

Al-Wakil Sayyid, Muhammad. Pergerakan Islam Terbesar Abad ke-14 H: Studi


Analisis terhadap Manhaj Gerakan Ikhwanu al-Muslimin, terjemahan:
Fahruddin, cet. I, Bandung: asy-Syamil Press dan Grafika, 2001.

Wahid, Abdurrahman, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Raja


Grafindo, 1999.

__________, Gus Dur Diadilii Kiyai-kiyai, cet. I Surabaya: Jawa pos Press, 1989.

_________,Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, dan Reformasi


Kultural, Yogyakarta: LKiS, 1998.

Zahrah, Muhammad Abu, Aliran-aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam,


terjemahan Abdur Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, cet. I, Jakarta:
Logos, 1996.

Zaidan, Karim, Abdul, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, alih


bahasa, Abd Aziz, cet. I, Jakarta: Yayasan al-Imam, 1998.
Lampiran II
Biografi Ulama Dan Sarjana

1. Abdul Wahab Khallaf,


Lahir di Kafruzziyat, bulan Maret 1888 M. masuk al-Azhar tahun 1900. Tahun
1920, beliau ditunjuk menjadi hakim di Mahkamah Syar’iyyah. Menjadi guru
besar di fakultas Syari’ah al-Azhar tahun 1934-1948. Beliau wafat pada bulan
Januari 1956. Di antara karya-karyanya adalah “Ilm al-Usul al-Fiqh, Ahkam
al-Ahwal al-Syakhsiyyah dan al-Waqf wa al-Mawaris”.

2. M. Amien Rais
Dilahirkan di Solo 26 April 1944, beliau memperoleh gelar Sarjana Muda dari
Fakultas Tarbiyah BELIAUIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1967), dan
Sarjana Fakultas Ilmu sosial dan Politik dari Universitas Gajah Mada (UGM),
Yogyakarta 1968. kemudian beliau melanjutkan studi dan meraih gelar M.A
dari Universitas Notre Dame, Amerika Serikat (1974), dan Ph.D.dari
Universitas Chicago, Amerika Serikat (1981), dalam Ilmu Politik. Sempat
menjadi mahasiswa luar biasa di Universitas al-Azhar, Mesir (1978-1979),
sambil melakukan penelitian beliau untuk menulis disertasinya. Beliau juga
mengajar di FISIPOL UGM, Universitas Islam (UI) Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan beberapa Universitas lainnya.
Pernah menjabat Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Ketua Dewan Pakar
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesbeliau, ketua Partai Amanat (PAN) dan
menjadi Ketua Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa karyanya
antara lain; Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Tauhid Sosbeliaul
Strategi Baru Menggepur Kesenjangan.

3. Munawir Sjadzali
Lahir di Klaten pada 7 November 1925, adalah Mantan Menteri Agama RI
pada Kabinet Pembangunan Periode 1983-1988. setelah mengikuti pendidikan
Madrasah Menengah Pertama atau Tinggi Islam Mambaul Ulum, Solo,
Belbeliauu melanjutkan studi ke Universitas Exeter, Inggris, dan Universitas
Georgetown Amerika Serikat. Disamping itu Belbeliauu, pernah mengikuti
kursusdiplomatik dan konseler Departemen Luar Negeri. Pada tahun 1944-
1945 menjadi Guru Basar Islam, Gunung Pati, Ungaran, Semarang, dan ikut
serta dalam perjuangan kemerdekaan di berbagai tugas (1945-1949). Pada
tahun (950) bekerja di Departemen Luar Negeri dan di tempatkan pada Seksi
Arab-Timur Tengah. Setelah menyelesaikan tugas belajarnya di Inggris (1953-
1954) Beliau diperbantukan pada Sekretaritt Bersama Konfrensi Asbeliau
Afrika, di Jakarta ( 1954-1955 ), lalu menjadi atase kemudian beliau menjadi
sekretaris tiga pada KBRI di Washington DC, Amerika Serikat ( 1956-199 ),
dan sejak tahun 1959-1976 banyak berada di luar negeri sewaktu bekerja di
Departemen Luar Negeri. Pada tahun 1976-1980 beliau menjadi Duta Besar
Luar Biasa dan berkuasa penuh pada RI untuk Emirat Kuwait merangkap
Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab. Sejak tahun 1980 beliau
diangkat menjadi staf ahli Menteri Luar Negeri di samping juga menjabat
Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1980-1983). Di antara
karyanya adalah: Islam dan Tata Negara seharah dan Ajara-ajaran, Ijtihad
Kemanusbeliau.

Anda mungkin juga menyukai