Anda di halaman 1dari 104

HASIL PENELITIAN

PEMIKIRAN HTI TENTANG DEMOKRASI

OLEH :

MULIADI

C1E118002

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022

i
DAFTAR ISI

HALAMAN
JUDUL………………………………………………………………..................i
HALAMAN
PERSETUJUAN………………………………………………….....................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHUUAN...............................................................…………….........................1
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………………………..........1
1.2 Rumusan
Masalah………………………………………………………….........................8
1.2 Tujuan Penelitian…………………………………………………………..........................9
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………....................9
1.5 Sistematika Penulisan……………………………………………………….......................9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA


PIKIR……………………..............10
2.1 Tinjauan Pustaka..…..........................................................................................................10
2.1.1 Konsep politik ………………………………………………………………………....10
2.1.2 Konsep partai politik……………………………………………………………………
20
2.1.3 Konsep Demokrasi………………………………………………………………...……
28
2.1.4 Demokrasi di Indonesia…………………….…………………………………………..41
2.1.5 Konsep
HTI……………………………………………………………………………..42
2.2 Penelitian Terdahulu………………………………………………………………...……48
2.3 Kerangka pikir………………………………………………………………..…………..50

BAB III METODE


PENELITIAN……………………………………………....................50
3.1 Tipe Penelitian………………………………………………………………....................50
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………………………..……50
3.3 Subjek dan Informan Penelitian.........................................................................................50

ii
3.4 Jenis Data Dan Sumber Data.............................................................................................52
3.5 Teknik Pengumpulan Data.................................................................................................52
3.6 Teknik Analisis Data..........................................................................................................53
3.7 Definisi Konseptual...........................................................................................................54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………………..…55


4.1 Latar Belakang Berdirinya HTI…………………………………………………………..55
4.2 Tujuan HTI………….……………………………………………………………………56
4.3 Kegiatan HTI …………………………………………………………………………….57
4.4 Landasan Pemikiran HTI………………………………………………………………....59
4.5 Keanggotaan
HTI………………………………………………………………………....60
4.6 Pemikiran HTI Tentang Demokrasi………………………………………………………
61
4.7 Pemikiran HTI Tentang Politik…..………………………………………………………70
4.8 Pemikiran HTI Tentang Partai
Politik…………………………………………………….81
4.9 Pemikiran HTI Tentang Sistem Pemerintahan

BAB V PENUTUP………….……………………………………………………………….98
5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………….98
5.2 Saran………………………………………………………………………………….…..98

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................99

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan sebuah sistem pemerintahan dan negara sangatlah dibutuhkan oleh

masyarakat. Begitu pula bagi umat Islam, diakui atau tidak sangat membutuhkan sebuah

sistem negara yang Islami dalam konteks agar ajaran-ajaran Islam dapat diterapkan secara

menyeluruh (kaffah). Sebab, untuk mengamankan suatu kebijakan diperlukan suatu kekuatan

(institusi politik). Sekadar contoh, untuk menegakkan keadilan, memelihara perdamaian dan

ketertiban, mutlak diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.

Andaikata kebijakan-kebijakan itu mengacu pada tegaknya ajaran Islam maka perangkat-

perangkat peraturannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal yang kurang tepat

apabila hendak menegakkan prinsip-prinsip Islam tetapi menggunakan sistem yang non

Islami.

iv
Realitas sejarah menunjukkan bahwa negara itu dibutuhkan untuk mengembangkan

dakwah Islam. Nabi Muhammad sendiri, ketika masih di Makkah tidak bisa berbuat banyak

di bidang politik, karena kekuatan politik didominasi oleh kaum aristokrat Quraisy yang

memusuhi Nabi. Baru setelah hijrah ke Madinah dan mempunyai dukungan politik dari

komunitasnya, dalam waktu beberapa tahun saja berhasil merubah kondisi masyarakat

Madinah dari kemusyrikan menuju atmosfir Islam. Kehidupan Nabi dan komunitasnya pada

periode Madinah inilah yang dijadikan argumen oleh beberapa pemikir politik Islam bahwa

ketika itu telah terwujud sebuah negara (pemerintahan), baik itu wilayah, masyarakat,

maupun penguasa. Penilaian ini tentunya tidak berlebihan karena ketika itu Nabi bertindak

tidak hanya sebagai pemimpin spiritual saja, tapi juga sebagai kepala negara, seperti

memutuskan hukum, mengirim dan menerima utusan, juga memimpin peperangan.

Sesuai dengan latar belakang sosial politik yang berbeda, gagasan mereka tentang

penerapan syari’at Islam ataupun sistem pemerintahan Islam berbeda pula. Hizbut Tahrir

misalnya, berupaya menawarkan agar sistem khilafah seperti yang pernah diterapkan pada

masa Nabi dan Khulafa’ alRasyidun dihidupkan dan diterapkan kembali.

Hizbut Tahrir berpandangan Islam telah membatasi bentuk kekuasannya yang

tunggal, yaitu pemerintahan yang menjalankan hukum sesuai dengan apa yang telah

diturunkan Allah SWT. Islam juga telah menetapkan sekaligus membatasi bentuk sistem

pemerintahan dengan sistem khilafah dan menjadikannya sebagai satusatunya sistem

pemerintahan bagi Daulah Islam. Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan khas, , yaitu

pemerintahan yang berlaku bagi seluruh umat Islam di dunia untuk menegakkan hukum-

hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Sistem

khilafah berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain, seperti monarki (kerajaan), republik,

kekaisaran, ataupun federasi.

v
Untuk menerapkan sistem khilafah, menurut Hizbut Tahrir tidak boleh dilakukan

dengan cara kekerasan (angkat senjata), namun dengan cara damai dengan memberikan

pendidikan politik kepada umat Islam tentang perlunya sistem khilafah. Hizbut Tahrir

menetapkan tiga tahapan operasional guna menerapkan sistem khilafah. Pertama, tahapan

tatsqif, yaitu tahap pembinaan dan pengkaderan untuk melahirkan individu-individu yang

paham dengan sistem khilafah serta fikrah Islamiyah guna membentuk kerangka gerakan.

Kedua, tahapan tafa’ul ma’al ummah, yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat agar

masyarakat turut memikul kewajiban menerapkan khilafah, sehingga akan menjadikannya

sebagai masalah utama dalam kehidupannya, serta berusaha menerapkannya dalam

kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ketiga, tahapan istilami hukm, yaitu tahap

pengambilalihan kekuasaan dan penerapan Islam secara utuh serta menyeluruh lalu

mengembannya sebagai risalah ke seluruh penjuru dunia.

Sekiranya konsep yang ditawarkan Hizbut Tahrir sebagai antitesis terhadap pemikiran

politik Barat yang berkembang dan berpengaruh luas, tentunya sebuah wacana yang menarik.

Terlebih lagi Hizbut Tahrir mengidealkan praktik Rasulullah dan al-Khulafa’ al-Rasyidun

kembali dihidupkan dalam konteks kehidupan modern. Namun sejauh mana konsep yang

ditawarkan oleh Hizbut Tahrir ini lebih rasional dan dapat diterima lebih dari pemikir

sebelumnya atau pemikir kontemporer termasuk dengan konsep Barat modern, hal inilah

yang menjadi obyek penelitian ini.

Di tengah-tengah umat Islam terjadi perdebatan yang cukup alot tentang Islam dan

Ketatanegaraan. Apakah Islam memiliki konsep ketatanegaraan ? Ataukah Islam tidak

membicarakan sama sekali tentang hal tersebut ? Atau ada pandangan yang lainnya mengenai

hal itu? Hingga saat ini kontroversi seputar pendapat apakah Islam mengajarkan konsep

tertentu tentang pemerintahan terus berlanjut. Diskusi tersebut bahkan menyinggung

persoalan apakah ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berada di Madinah

vi
posisi beliau sebagai kepala negara atau bukan. Hal ini masih menjadi bahan perdabatan di

antara umum Islam sendiri, baik di masyarakat para ulama dan ilmuwan muslim dan non-

muslim.

Menurut Munawir Sjadzali di kalangan umat Islam terdapat tiga aliran tentang

hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam

bukanlah sematamata agama dalam pengertian Barat yang menganggap Islam hanya

menyangkut hubungan manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam memiliki aturan yang lengkap

mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan bernegara. Pandangan dari aliran ini

berpendapat antara lain: Pertama, Islam adalah agama yang lengkap, Islam memiliki konsep

sistem ketatanegaraan atau politik. Dalam bernegara umat Islam tidak perlu mengambil

konsep dan pandangan Barat. Namun harus kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam.

Kedua, Sistem politik islami atau ketatanegaraan yang harus diterapkan adalah sistem yang

telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sitem yang telah

dilanjutkan oleh khalifah yang empat yakni al-Khulafa ar-Rasyidun. Tokoh-tokoh utama dari

aliran ini antara lain: Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridha dan al-

Maududi. Aliran kedua berpandangan dengan pandangan Barat bahwa Islam tidak ada

hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad Shallallahu

‘alaihi wa sallam, hanyalah diutus untuk menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak

pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Tokoh aliran ini antara

lain Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein

Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap

dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak

anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan

antara menusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak

terdapat system ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi keidupan

vii
bernegara. Tokoh yang menganut pandangan ini antara lain adalah Muhammad Husen

Haikal. Sedangkan menurut Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF mereka mengamati

paling sedikit ada tiga model gerakan Islam yang paling menonjol di ranah publik. Yang

pertama adalah gerakan pro syariat, yang kedua gerakan Islam moderat, dan yang terakhir

gerakan dakwah sufistik. Berdasarkan teori-teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa Syekh

Taqiyuddin anNabhani termasuk aliran yang pertama yang memandang bahwa Islam

memiliki sistem negara tersendiri yang bersumber dari wahyu dan juga yang pro pada syariat

Islam. Walaupun sebagai sebuah pemikiran politik yang pertama kali lahir, pemikiran politik

Islam tetap saja berhasil dikalahkan oleh pemikiran politik-pemikiran politik lainnya.

Pemikiran politik Islam yang menginginkan terbentuknya negara yang berlandaskan Islam

tetap saja belum mendapat tempat di hati sebagian besar rakyat Indonesia. Ini tentunya sangat

mengherankan mengingat sebagian besar mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam.

Bahkan hingga saat ini, Islam tetap saja berada pada posisi yang tidak terlalu menguntungkan

dalam dunia perpolitikkan Indonesia yang malah mendekati sekularisasi.

Dalam upaya menggapai cita-cita nya untuk menyatukan kepemimpinan Islam pada

satu wadah, maka seluruh ajaran dan nilai Barat tidak ditolerir oleh HTI, termasuk demokrasi.

Pada pengertian demokrasi sebagaimana dikatakan oleh David Held (2006) ia menghimpun

pengertian pandangan liberal dan tradisi Marxis untuk bisa mencapai makna demokrasi yang

memberi dukungan pada prinsip dasar kebebasan: “orang seharusnya bebas dan setara dalam

menentukan kondisi kehidupannya, yaitu mereka harus memperoleh hak yang sama, dan

karena itu juga kewajiban yang sama dalam suatu kerangka pikir” (Sorensen, 2003).

HTI berpandangan bahwa konsep demokrasi yang disosialisasikan pihak Barat pada

negara Islam, adalah sistem yang kafir, tidak mempunyai keterkaitan sama sekali, langsung

atau tidak. Menurut Ismail Yusanto sebagai jubir HTI, Islam memiliki pandangan-pandangan

yang khas, yang berbeda dengan demokrasi Barat. Pertama, tentang kedaulatan. Islam

viii
memandang kekuasaan ada di tangan Allah. Islam memandang hanya Allah saja, tidak ada

yang lain, tidak juga manusia atau rakyat, yang berhak sebagai syaari’ (pembuat hukum-

tasyri’). Kedua, bahwa kekuasaan di tangan ummat. Artinya tidak ada yang dapat tidak

seorang pun dapat menjadi penguasa dalam masyarakat Islam, sampai mereka diinginkan

umat, yang kemudian bisa dilihat dengan pengangkatan. Kekuasaan itu pun hanya untuk

menjalankan syari’at Islam, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat atau lainnnya.

Ketiga, Hak Asasi Manusia. Jelas tidak ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun, sekali

orang masuk Islam, maka ia tidak bisa meninggalkan Islam sesukanya. Ia akan dikenakan

hukum murtad dengan hukuman setimpal. Keempat, pengambilan keputusan. Dalam Islam,

musyawarah bukanlah segalanya dalam cara pengambilan keputusan. Ini karena terdapat

beberapa hal yang tidak bisa dikompromikan, seperti masalah keimanan dan syariat. Kelima,

kekuasaan pemimpin (khalifah). Khalifah merupakan sosok yang memimpin masyarakat

muslim, yang bisa dipilih dan diangkat ummat. Dia merupakan wakil dari masyarakat muslim

dalam menjalankan syari’at Allah. Namun, dia ia juga memiliki hak untuk melegislasi hukum

syara’ dan menjadikan hukum syara’ bagi seluruh kaum muslimin. Pembagian kekuasaan

sebagaimana dalam sistem demokrasi, tidak relevan, bahkan bertentangan dengan Islam.

Keenam, majelis Ummah/Syura. Majelis ini adalah wakil ummah yang dipilih dari kalangan

ummat guna menyampaikan pendapat ummat. Namun majelis ini bukan seperti lembaga

legislatif, karena ia tidak menetapkan hukum (Yusanto, n.d.-a).

Demokrasi dikatakan memang tidak sealur dengan hukum-hukum Islam, global dan

partikular. Perdebatan antara keduanya terlihat pada titik kehadirannya, akidah yang

melahirkannya, basis yang menjadi dasarnya, juga sejumlah pikiran yang dihasilkan.

Karenanya, masyarakat muslim tidak diperbolehkan sama sekali untuk menyentuh, apalagi

menjalankan dan mensosialisasikan demokrasi

ix
Bagi HTI, demokrasi menjadi penghambat bagi terwujudnya khilafah. Ada sejumlah

point yang menjadi penghambat bagi HTI mewujudkan khilafah, dimana semua pointnya

adalah dari Barat. Pertama, merebaknya pemikiran non Islami dan aktivitas ghazw al-fikr

oleh musuh-musuh Islam. Ketika mengalami kelemahan bernalar, umat Islam dikuasai oleh

pemikiran non Islami yang berpangkal pada nalar yang salah. Hal ini berakhir pada pikiran

yang kosong, dan karenanya umat Islam harus dicerahkan dengan dakwah politik, dengan

kata lain umat Islam harus disadarkan untuk membentuk khilafah. Kedua, adanya kurikulum

dan metode operasional pendidikan yang diletakkan di Barat, baik di sekolah maupun

perguruan tinggi. Akhirnya, produk pendidikan dari lembaga tersebut mempersepsikan Islam

seperti yang diharapkan oleh Barat. Ketiga, kontinuitas kurikulum pendidikan Barat. Hal ini

menjadikan mayoritas lulusannya bergerak ke arah yang berlawanan dari Islam. Keempat,

pengagungan terhadap ilmu-ilmu sosial, psikologi, dan pendidikan. Ilmu-ilmu tersebut

digunakan sebagai solusi bagi masalah kehidupan manusia, dibanding al-Qur’an dan hadist.

Dalam menolak demokrasi, HTI mengikuti pendapat yang disampaikan pendahulunya

di Timur Tengah, yaitu ‘Abd al-Wadim Zallum. Baginya dan juga HTI, sistem demokrasi

adalah sistem kufur/non Islam yang bertentangan dengan Islam. Argumennya antara lain

adalah; karena konsep demokrasi merupakan buatan fikiran manusia, bukan buatan Allah; hal

tersebut adalah bagian yang menyatu dari akidah pemahaman sekuler; pada ajaran nilai

Islam, dalam Islam itu sendiri, kepemimpinan/ kekuasaan berada di tangan syari’at bukan

pada rakyat; di dalam ajaran Islam pula, nilai yang mengacu pada mayoritas tidak

mempunyai hal yang signifikan, karena hanya teks-teks syari’at; juga nilai kebebasan

sebagaimana bebas untuk menjalankan agama dalam Islam, menurutnya tidak hadir, karena

orang murtad yang tidak bertaubat dalam fiqh harus dihukum mati (Kamil, 2013).

Sejumlah keburukan demokrasi bisa disederhanakan sebagai berikut: (1) pihak yang

menganut konsep demokrasi di negara Barat sudah tidak baik, dan ini karena konsep

x
kebebasan berprilaku, (2) Sikap menjajah Barat melalui konsep demokrasi, menghadirkan

sejumlah musibah dan penyusutan sejumlah bangsa yang terperangi dan mempunyai

keterbelakangan, (3) konsep demokrasi dalam artian hakiki, tidak dapat diimplementasikan,

(4) apa yang dikatakan oleh pihak yang mengikuti dan meyakini demokrasi adalah tidak

dapat dipercaya dan membuat sesat ketika menyatakan bahwa legislatif merupakan

representasi dari kemauan masyarakat luas, wujud secara politis keinginan general

masyarakat kebanyakan, serta mewakili aspirasi masyarakat kebanyakan, (5) kecacatan

dalam demokrasi dapat dilihat dari hal yang mempunyai koneksi atas kekuasaan, serta orang

yang berkuasa. Adalah sebuah keanehan, ketika semua keburukan demokrasi telah terjadi,

Barat ternyata mampu mewujudkan tempat untuk konsep atau nilai demokrasi yang tidak

baik tersebut di negara-negara muslim.

Dalam buku Gerakan Sosial Islam Hizbut Tahrir, Sitti Jamilah (2020) menjelaskan

bahwa HTI berbeda dengan PKS, sebab PKS lebih bersifat terbuka bagi non muslim,

sedangkan HTI tidak menerima keanggotaan dari kalangan non muslim. Tiap anggota HTI

diwajibkan untuk menggunakan ideologi dan sistem yang ada dalam Islam. HTI tidak melihat

latar belakang suku dan madzhab dari anggotanya, melainkan hanya memandang anggotanya

adalah orang Islam dan menjalankan segala sesuatu yang mempunya dasar hukum Islam.

Untuk penyebaran ideologi HTI, diwajibkan bagi tiap kader yang telah memiliki kapasitas

dan jaminan (sumpah) kepada HTI. Tiap beberapa kader yang ditunjuk, akan diberi daftar

beberapa orang yang harus didatangi untuk di follow up berbicara tentang khilafah, konsep

keislaman dan lainnya.

Di Indonesia, HTI menuliskan Pancasila dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah

Tangga (AD/ART) nya sebagai dasar dari ideologi mereka. Meski demikian, hal tersebut di

nilai oleh Kementerian Hukum dan HAM tidak sejalan dengan kegiatan dan aktifitasnya yang

dianggap bertentangan dengan landasan hukumnya. Kelompok HTI sebelumnya sudah

xi
tertulis pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukam) sebagai Badan Hukum

Perkumpulan, nomer pendaftaran AHU-00282-60.10.2014 pada 2 Juli 2014. Jika melihat

pada konteks ketidakpenerimaan HT/ HTI terhadap nilai-nilai Barat, nasionalisme dan juga

bentuk pemerintahan di luar khilafah, maka terdapat sejumlah pandangan HTI yang bisa

ditelaah dari salah satu pengimplementasian nilai-nilai Barat, yaitu Demokrasi.

Olehnya itu berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka
penulis tertarik untuk mengambil judul “Pemikiran HTI tentang demokrasi”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka yang akan menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana pemikiran HTI tentang

Demokrasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dalam penelitian ini adalah

untuk mengetahui bagaimana pemikiran HTI tentang demokrasi

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

A.Manfaat Teoritis

Penelitian ini berguna memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai pemikiran

HTI tentang demokrasi

B. Manfaat Praktis

xii
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi pihak-pihak lain

yang bermaksud meneliti dan mengetahui lebih jauh serta lebih detail lagi bagaimana

pemikiran HTI tentang demokrasi

C. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan proposal penelitian ini diantaranya sebagai berikut: Bab I

Pendahuluan, yang meliputi dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta

sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pikir, yaitu tinjauan Pustaka,

konsep HTI, konsep politik, konsep demokrasi, penelitian terdahulu, serta kerangka pikir.

Bab III Metode penelitian, yang terdiri dari tipe penelitian, lokasi waktu penelitian, subjek

dan informan penelitian, teknik penentuan informan, jenis data dan sumber data, teknik

pengumpulan data, definisi kenseptual serta teknik analisis data.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

2.1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Konsep Politik

Dalam kehidupan masyarakat istilah “politik” mula pertamanya dikenal pada masa

Plato dalam bukunya yang berjudul “Politeia” yang pula dikenal dengan istilah “Republik”

(Deliar Noer, 1982: 11-12), dan selanjutnya berkembang melalui karya Aristoteles, yang

dikenal dengan “Politica”. Karya Plato maupun Aristoteles ini dipandang sebagai titik

pangkal pemikiran politik dalam sejarah perkembangannya, di mana hal itu dapat diketahui

xiii
bahwa “politik” merupakan istilah dipergunakan sebagai konsep pengaturan masyarakat,

sebab dalam kedua karya itu membahas soal-soal yang berkaitan dengan masalah bagaimana

pemerintahan itu dijalankan agar dapat terwujud sebuah kelompok masyarakat politik atau

suatu organisasi negara yang baik. Dengan demikian, dalam konsep tersebut terkandung

berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas pemerintahan, kelompok

masyarakat sebagai pihak berkepentingan, kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi

sarana pengaturan masyarakat serta cita-cita yang hendak dicapai. Meskipun para pemikir

dan ilmuwan politik tidak memiliki kesepakatan tentang pembatasan atau definisi “politik”,

namun unsur-unsur sebagaim ana disebut di atas dapat ditemukan secara parsial atau pun

implisit dalam definisi yang mereka kemukakan. Dari berbagai defenisi yang ada, ditemukan

2 (dua) kecenderungan tentang “definisi politik”, antaranya:

1. Pandangan yang menghubungkan politik dengan adanya negara, yaitu urusan

pemerintahan pusat dan daerah;

2. Pandangan yang menghubungkan dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan

konflik. Dengan adanya perbedaan ini erat hubungannya dengan pendekatan yang

dipergunakan, yaitu “pendekatan tradisional dan pendekatan perilaku”.

Pendekatan tradisional meliputi beberapa pendekatan antaranya:

(1) Pendekatan historis yang menitik-beratkan pada pembahasannya pada partai-partai

politik, perkembangan hubungan politik dengan luar negeri, perkembangan ide-ide politik

yang besar.

(2) Pendekatan legalistik yang menekankan pembahasannya pada institusi dan perundang-

undangan sebuah negara, dan

(3) Pendekatan institusional yang menitikberatkan pada pembahasan pada masalah-masalah

institusi politik seperti lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pendekatan perilaku atau

xiv
tingkah laku politik yang menitik-beratkan perhatiannya, perilaku atau tingkah laku para

aktor politik. Pendekatan ini menerima institusi politik sebagai aspek penting dalam politik,

tapi ia bukanlah hakekat politik yang kegiatannya terdapat pada lingkup institusi politik yang

dimanifestasikan oleh aktor-aktor atau pelaksana politik seperti tokoh-tokoh pemerintahan

dan wakil-wakil rakyat Lebih jauh dalam kaitan dengan pendekatan perilaku dan tingkah laku

politik dapat memberikan paling tidak dua macam gambaran pola perilaku manusia dalam

kehidupan politik yang saling bertolak belakang, yakni: “(1) Perilaku integratif, dan (2)

perilaku disintegratif. Perilaku yang pertama lebih menekankan pentingnya konsensus atau

kompromi, sedangkan perilaku yang kedua cenderung mengakibatkan timbulnya konflik”

(Tommi Legowo, 1985: 142). Dalam hubungan dengan pendekatan ini, Deliar Noer (1983:

94) mengemukakan bahwa secara garis besar, ilmuwan politik telah menggunakan dua

macam pendekatan yaitu pendekatan yang menekankan pada nilai dan pendekatan yang

menekankan pada perilaku.

Apa yang dinamakan pendekatan nilai tidak dapat disamakan dengan pendekatan

tradisional yang hanya mencakup ketiga aspek yang telah disebutkan di atas. Padahal

pendekatan tersebut mencakup pula penggunaan nilai-nilai etis dalam menetapkan baik

buruknya sebuah sistem pemerintahan, selain penggunaan fakta-fakta sejarah, institusi dan

hubungan-hubungannya serta hubungan antara negara seperti yang dipergunakan oleh

ilmuwan politik. Walaupun tanpa ada penegasan, kedua pendekatan ini terpakai dalam

konsep politik yang dikemukakannya. Oleh karena itu konsepnya memiliki keutuhan, artinya:

“konsep Deliar Noer tentang politik tidaklah parsial, karena konsep tersebut tidak hanya

memiliki sifat keilmuan tapi juga memiliki sifat kefilsafatan. Konsep tersebut didukung oleh

argumentasi empiris, normatif, dan analitis.

Beberapa Definisi Tentang Politik Untuk memberikan definisi politik, ada beberapa

ahli mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Menurut Deliar Noer (1983: 6) “politik

xv
adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud

untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk

susunan masyarakat”. Melihat definisi ini, maka hakekat politik menunjukkan perilaku atau

tingkah laku manusia, baik berupa kegiatan, aktivitas, ataupun sikap, yang tentunya bertujuan

akan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan kelompok masyarakat dengan

menggunakan kekuasaan. Ini berarti kekuasaan bukanlah hakekat politik, meskipun harus

diakui tidak dapat dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar suatu

kebijaksanaan dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat.

Politik sebagai kegiatan dikemukakan Miriam Budiardjo (1982: 8) sebagai berikut:

“pada umumnya dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam

suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari

sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”. Roger H. Soltou, mengemukakan sebagai

berikut: “the term (politics) is reserved for those common affairs are under the direction of

an authority or agency managing or controlling these affairs on behalf of, and in the name of

the community. This agency or authority we call the state”.

Dengan adanya definisi dari Deliar Noer maupun Miriam Budiardjo, pada prinsipnya

mengandung persamaan, di mana kedua pakar ini melihat politik sebagai suatu kegiatan,

namun ada perbedaan dalam hal bentuk kegiatan yang dilaksanakan. Lebih lanjut Deliar Noer

mengemukakan bahwa konsep politik tidak saja dilihat dari sudut perilaku, tapi melihat aspek

sejarah yakni melihat dari perspektif sejarah bangsa Indonesia sejak masa sebelum

kemerdekaan sampai sesudah kemerdekaan, di mana mempunyai konsep yang lebih luas.

Kesimpulan yang dikemukakan Deliar Noer bahwa politik tidak terbatas pada suatu kegiatan

yang berkaitan dengan “decision making” (pengambilan keputusan) dan kebijaksanaan umum

(public politicies) seperti inti daripada konsep Miriam Budiardjo, akan tetapi mencakup

tentang kegiatan-kegiatan yang bertujuan adanya perubahan-perubahan struktur masyarakat

xvi
seperti adanya pergeseran kekuasaan politik dari penguasa atau rezim ke rezim lainnya. Jika

persoalan ini dikaitkan dengan definisi yang dikutip dari Soltou, perbedaannya lebih jelas

lagi, di mana politik terbatas pada penanganan masalah-masalah umum oleh negara dan

untuk masyarakat. Politik dihubungkan dengan lembaga yang biasa disebut negara, maka

konsep politik yang tersirat di dalamnya lebih sempit lagi.

Perbedaan lain yang terkandung dalam definisi di atas adalah adanya gagasan sistem

politik dalam batasan Miriam Budiardjo yang tidak didapat secara eksplisit pada definisi

lainnya. Seperti sistem politik yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl (1974: 4) adalah “ any

persisten of human relationship that involves, to signivicant extent, control, influence, power

or authority”. Berdasarkan definisi ini bahwa pengertian sistem politik sebagai hubungan

manusia yang meliputi bentuk-bentuk kekuasaan, pengawasan, pengaruh, maka pengertian

politik tidak lagi terbatas pada negara, tapi juga mencakup bentuk-bentuk persekutuan

lainnya, seperti: perkumpulan sosial, organisasi keagamaan, dan lain-lain. Pengertian yang

melibatkan kelompok-kelompok sosial dapat membawa konflik, karena di dalam lembaga-

lembaga tersebut ada Memahami Tentang Beberapa Konsep Politik(Suatu Telaah Dari Sistem

Politik) (Abdulkadir B. Nambo dan Muhamad Rusdiyanto Puluhuluwa) pengambilan

keputusan dan kebijaksanaan umum yang berlaku bagi seluruh kelompok atau warga. Namun

hal tersebut tidak dapat ditafsirkan sama dengan keputusan dan kebijaksanaan yang diambil

dalam organisasi lembaga yang biasa disebut negara.

Oleh sebab itu dapat dipahami, jika Miriam Budiardjo menegaskan spesifikasi sistem

yang dimaksudkannya dengan ungkapan “negara”. Karenanya tersirat bahwa konsep tersebut

tidak terlepas dari aspek kelembagaan, bahwa ternyata lebih mempengaruhi uraiannya

dibanding dengan uraiannya terhadap proses pengambilan kekuasaan dan kebijaksanaan

umum yang menjadi esensi konsep politik yang dikatakannya. Walaupun demikian, terlepas

dari ketidaktetapan azas ini, maka dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa negara

xvii
berfungsi sebagai wadah kegiatan politik dan pula sebagai alat bagi masyarakat untuk

mencapai tujuannya. Sebagai organisasi negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah

terhadap kekuasaan lainnya yang ada dalam masyarakat dengan melalui penerapan hukum-

hukum. Karena itu semua kekuatan sosial dalam lingkungan negara harus menempatkan dan

menyesuaikan diri dengan kerangka kekuasaan negara.

Dalam definisi Deliar Noer, kata negara atau sistem politik tidak ditemukan, tapi

yang ada yaitu: bentuk susunan masyarakat, hal mana dapat diketahui sebagai ungkapan yang

berkenaan dengan penguasaan, sifat dan struktur masyarakat yang dikehendaki. Dalam

hubungan beliau menunjukkan adanya fakta sejarah sebagai perkembangan politik yang

terjadi sebelum kemerdekaan sampai sesudah kemerdekaan. Dari kenyataan sejarah itu

terlihat adanya usaha-usaha dalam masyarakat dari golongan warga untuk mengambil alih

kekuasaan pemerintahan dan segolongan lain berusaha mempertahankannya. Hal ini pada

zaman penjajahan Belanda dilaksanakan oleh tokoh-tokoh bangsa Indonesia melalui

organisasi politik. Sedangkan setelah kemerdekaan tercapai kekuatan kekuasaan politik

berusaha mendapatkan kekuasaan dan mereka berhasil mengatur masyarakat sesuai dengan

nilai-nilai dan pandangan hidup mereka sendiri atau dimiliki bersama.

Bermacam-macam definisi mengenai politik yang telah ada jelas memperlihatkan adanya

unsur persamaan dan perbedaan. Adanya perbedaan tentu disebabkan dilihat pandangannya

sendiri dan beberapa unsur dipakai sebagai tema sentral untuk menyoroti aspek-aspek politik

lainnya. Tentu dari macam-macam definisi mengenai politik itu mengandung konotasi

kebijakan, kekuasaan, negara, konflik, pembagian, dan keadilan. Sedang pendefinisian dilihat

dari aspek ciri hakikinya: metode pembahasanya, aspek kemungkinan yang ada dan secara

ilmiah dapat dipertanggugjawabkan.

Sehubungan dengan hal di atas, Dr. Kartini Kartono (1989: 5) melihat definisi politik

dari dua aspek yaitu: dari struktur dan kelembagaan, politik dapat diartikan sebagai berikut:

xviii
(1) segala sesuatu yang ada relasinya dengan pemerintahan (peraturan, tindakan pemerintah,

undangundang, hukum, kebijakan (policy), beleid dan lain-lain; (2) pengaturan dan

penguasaan oleh negara; (3) cara memerintah suatu toritorium tertentu; (4) organisasi,

pengaturan, dan tindakan negara atau pemerintah untuk mengendalikan negara secara

konstitusional dan yuridis formal. Kemudian aspek kedua pengertian yang lebih dinamis dan

fungsional operasional mengenai politik adalah sebagai berikut: a) Semua keputusan dan

penetapan mengenai susunan masyarakat bagi masa mendatang (Bram Peper dan Willem

Walters); b) The common decision of men and women about their own tate (Deutsch); c)

Aktivitas dan proses dinamis dari tingkah laku manusia dengan menekankan aspek-aspek

politik dari masalah sosial; d) Aktivitas untuk menegakkan atau mengubah kondisi sosial

yang sudah ada dengan menggunakan kekuasaan; e) Semua usaha dan perjuangan individu

serta kelompok dengan menggunakan macam-macam alat, cara dan alternatif tingkah laku

untuk mencapai satu tujuan terbatas sesuai dengan ide individu atau ide kelompok dalam satu

sistem kewibawaan yang integral (Kartini Kartono, 1989: 5).

Dalam pengertian terakhir ini, politik bukan lagi merupakan hal-hal yang berkaitan

dengan negara saja, sebab konflik-konflik, ketentuan, ketetapan, gejala, dan masalah-masalah

sosial tertentu bisa juga bersifat politis atau dapat dijadikan masa politik. Dalam hal ini

Deutsch (dalam Kartini Kartono, 1989: 6) mengatakan bahwa: “Politization is making things

political (politisasi adalah membuat segala sesuatu menjadi politik)”. Tidak dapat dihindari

di kehidupan masyarakat suatu masalah akan berubah menjadi masalah politik pada saat

pemerintah dilibatkan untuk memecahkannya atau melibatkan diri guna memecahkannya, dan

hal ini untuk memecahkan persoalan sosial disebut sebagai aktivitas politik dan pula

sebaliknya mengagalkan usaha pemerintah ikut campur dalam memecahkan satu masalah

sosial disebut juga aktivitas politik.

Fungsi-Fungsi dan Struktur Politik ;

xix
Dalam penyesuaian dan perubahan lingkungan supaya tetap hidup, maka setiap sistem

politik melaksanakan fungsi-fungsi dasar tertentu. Kata fungsi dimaksudkan adalah

pengertian berbagai-bagai (bahasa Inggris). Ada pula yang mengatakan kegiatan yang

bersifat alamiah untuk sesuatu hal seperti dalam kata: “the function of the heart” (fungsi

jantung yaitu untuk memompa darah ke seluruh tubuh). Pula dalam kata the function of

government adalah mengandung arti pencapaian tujuan. Dalam arti luas fungsi menunjukkan

akibat atau konsekuensi dari suatu tindakan. Robert K. Merton (dalam Sukarna, 1977: 25)

mengemukakan bahwa: “fungsi menunjukkan konsekuensi tindakantindakan yang

menyebabkan suatu sistem tetap hidup, sedang dysfunction menunjukkan bahwa suatu sistem

itu hancur atau terputus”. Dengan adanya kegiatan-kegiatan politik sebagaimana telah

diuraikan di atas, Gabriel A. Almond mengungkapkan: “kegiatan politik sebagai fungsi-

fungsi politik dalam dua kategori yaitu fungsi-fungsi masukan (input function) dan fungsi-

fungsi keluaran (output function). Fungsi-fungsi masukan (input function) adalah: “fungsi

yang sangat penting dalam menentukan cara kerjanya sistem dan yang diperlukan untuk

membuat dan melaksanakan kebijaksanaan dalam sistem politik (Moechtar Mas’oed, 1982:

29).

Fungsi-fungsi politik dimaksud adalah:

a. Sosialisasi Politik Sosialisasi antara lain berarti proses sosial yang memungkinkan

seseorang menjadi anggota kelompoknya. Oleh karena itu ia mempelajari kebudayaan

kelompoknya dan peranan dalam kelompok. Jadi dengan demikian sosialisasi politik

adalah merupakan proses sosial yang menjadikan seseorang anggota masyarakat

memiliki budaya politik kelompoknya dan bersikap serta bertindak sesuai dengan

budaya politik tersebut. Dan sosialisasi dilakukan oleh semua unsur dalam

masyarakat, misalnya lingkungan pergaulan dan pekerjaan, media massa, keluarga

dan sekolah, juga instansi resmi. Dengan demikian kebudayaan politik dapat

xx
berkembang dan terpelihara sampai pada generasi berikutnya. b. Rekruitmen Politik

Rekruitmen politik dimaksudkan adalah proses seleksi warga masyarakat untuk

menduduki jabatan politik dan administrasi. Menurut Gabriel A. Almont setiap sistem

politik mempunyai cara tersendiri dalam merekrut warganya untuk menduduki

kedudukan politik dan administrasi. c. Artikulasi Kepentingan Fungsi ini merupakan

suatu proses penentuan kepentingan yang dikehendaki dari sistem politik. Hal ini

rakyat menyatakan kepentingan mereka kepada lembaga-lembaga politik dan

pemerintahan dengan melalui kelompok kepentingan yang dibentuk bersama dengan

orang lain yang memiliki kepentingan yang sama, kadang-kadang rakyat secara

langsung menyatakan keinginannya kepada pejabat pemerintahan. d. Agresi

Kepentingan Fungsi ini adalah proses perumusan alternatif dengan jelas dengan jalan

penggabungan atau penyesuaian kepentingan yang telah diartikulasikan atau dengan

merekrut calon-calon pejabat yang menganut politik kebijaksanaan tertentu.

b. Agresi kepentingan dapat diselenggarakan oleh seluruh subsistem dari sistem politik

seperti lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, birokrasi, media komunikasi, partai-

partai politik dan kelompok kepentingan. Memahami Tentang Beberapa Konsep

Politik(Suatu Telaah Dari Sistem Politik) (Abdulkadir B. Nambo dan Muhamad

Rusdiyanto Puluhuluwa) e. Komunikasi Politik Fungsi ini merupakan alat untuk

penyelenggaraan fungsi-fungsi lainnya. Artinya pihak lain mengambil bagian dalam

sosialisasi politik dengan menggunakan komunikasi.

Fungsi keluaran (output functions), meliputi fungsi-fungsi pembuatan aturan,

pelaksanaan aturan dan pengawasan azas pelaksanaan aturan-aturan. Ketiga fungsi ini

oleh Gabriel A. Almond sebagai fungsifungsi pemerintahan dan tidak dibahas lebih lanjut

karena pertimbangan ketidakpastian struktur formal pemerintahan umumnya negara-

negara non barat dan penyimpangan besar dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi

xxi
pemerintahan dari konstitusi. Sehubungan dengan hal di atas, di sini Almond

mengemukakan bahwa ditinggalkannya fungsi-fungsi ini disebabkan konsep yang

diajukannya kekurangan unsur yang esensial sebab fungsi pemerintahan tidak dapat

dilepaskan dari pengertian politik. Dengan demikian, maka konsepsi yang

dikemukakannya tidak komprehensif seperti yang dikehendakinya dengan menggunakan

istilah sistem. Dimaksudkan dengan istilah sistem adalah “dipergunakan untuk

menunjukkan seperangkat sifat khusus yang dimiliki oleh interaksi politik, yaitu: (1)

komprehensif, (2) kebebasan, dan (3) lingkungan. Sifat komprehensif berarti bahwa

sistem politik itu mencakup seluruh interaksi yang berkenaan dengan input atau output

yang mempengaruhi penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan fisik

Dengan adanya konsep di atas mengemukakan 3 fungsi pemerintahan yaitu: fungsi

pembahasan, administrasi, dan pengadilan. Fungsi pertama relevan dengan fungsi

legislatif yang dikenal dalam kepustakaan politik. Sedangkan fungsi administrasi, erat

hubungannya dengan fungsi-fungsi eksekutif yang berkenaan dengan penyelenggaraan

jabatan-jabatan pemerintahan. Mengenai fungsi yudisial, Aristoteles menunjukkan adanya

delapan macam kekuasaan berdasar: (1) memeriksa keuangan, (2) mengadili kejahatan

terhadap negara, (3) mengadili penghianatan atau terhadap konstitusi (pemerintahan), (4)

mengadili perkara ancaman yang bersumber dari para pejabat negara, warga terhadap

terhadap warga lainnya, (5) mengadili perkara perdata yang besar yang terjadi antara

semua warga, (6) mengadili kejahatan pembunuhan, (7) mengadili perselisihan yang

terjadi antara seorang warga asing dengan sesamanya atau dengan warga sendiri, dan (8)

mengadili perkara perdata ringan (Deliar Noer, 1987: 121). Dengan uraian ini, maka

kekosongan yang terdapat dalam fungsifungsi politik dari Almond dapat tertutupi,

sehingga konsep politik sebagai sistem dapat memiliki sifat keutuhan. Perkembangan

pemikiran politik kemudian tidaklah jauh berkisar dari ketiga fungsi pemerintahan

xxii
tersebut karena itu konsep Aristoteles digunakan sebagai pelengkap. Masing-masing

fungsi di atas diselenggarakan oleh sebuah lembaga atau secara bersama. Lembaga-

lembaga itu mencerminkan struktur sebuah sistem politik dan bersama fungsi-fungsi

politik merupakan unsur-unsur dari sistem politik yang bersangkutan.

Almond mengemukakan bahwa lembaga-lembaga politik yang umumnya dimiliki oleh

suatu sistem politik ada enam buah: kelompokkelompok kepentingan, partai-partai politik,

badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi, dan badan-badan pengadilan. Struktur politik

yang dikemukakan oleh Almond tidak hanya relevan dengan sistem politik dalam negara-

negara modern tetapi juga negara-negara tradisional, bahkan dengan sistem politik dari suku-

suku primitif. Meskipun demikian konsep Almond ini tidak harus diterapkan secara kaku,

karena sebuah sistem politik dapat saja memiliki struktur dengan lembaga yang tidak disebut

olehnya atau sebaliknya. Hal ini dapat dipahami jika dikaitkan dengan tujuan yang dimaksud

oleh teori Almond yakni sebagai kerangka analisis perbandingan.

2.1.2. Konsep Partai Politik

Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. gagasan bahwa rakyat

merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka

partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antararakyatdi

satu pihak dan pemerintah di pihak lain. pada awal perkembangannya, akhir dekade 1 8-an di

negara-ne garaBatat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada

kelompokkelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis dan

aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja.

Semakin meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan

terbentuknya panitiapanitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya

menj elang masa pemilihan umum (kadang-kadang dinamakan caucus party) . oleh karena

xxiii
dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok-

kelompok politik di parlemen lambat laun juga berusaha mengembangkan organisasi massa.

Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yangpada masa selanjutnya berkembang

menjadi penghubung (link) antararakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.

Di Indonesia, kemunculan partai -partai politik tak terlepas dari terciptanya iklim

kebebasan yang luas bagi masyarakat pasca-runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda.

Kebebasan tersebut memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk

membentuk organisasi, termasuk partai politik. sebenarnya, cikal-bakal dari munculnya partai

politik sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. partai politik yang lahir selama masa penj

ajahan tidak terlepas dari peranan gerakan-ger akan yang tidak hanya dimaksudkan untuk

mendapatkan kebebasan yang lebih luas dari penjajah, juga menuntut adanya kemerdekaan.

Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-partai sebelum kemerdekaan. selain didorong

oleh adanya iklim demokrasi yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, kemunculan

partai-partai politik di indonesia juga tidak lepas dari karakteristik masyarakat

Indonesiayeurrg majemuk. sebagaimana dikatakan oleh John Furnival2 bahwa masyarakat

Indonesia atau Hindia Belanda ketika itu merupakan masyarakatyangplural (plural society),

yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup

berdampingan satu sama lain. Hanya saja, sambung Furnival, di antara mereka itu tidak

pernah bertemu di dalam suatu unit politik. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa

masyarakat yang majemuk itu pada akhirnya bergabung dalam suaru unit politik besar yang

dinamakan partai politik.

Cikal bakal dari terbentuknya partai politik di Indonesia adalah lahirnya Budi utomo

yang merupakan perkumpulan kaum terperajar. Perkumpulan ini merupakan bentuk dari

studie c/ub, perkumpulan sosial ekonomi, dan organisasi pendidikan. setelah Budi utomo

lahir, muncullah dua organisasi yang disebut-sebut sebagai partai politik pertama di

xxiv
Indonesia, yaitu Sarekat Islam dan Indiche partij. Munculnya kedua organisasi tersebut

merupakan ancaman bagi Budi utomo, karena banyak anggotanya yang pindah kedua

organisasi tersebut. semenjak itulah Budi utomo mulai mengarah kepada kegiatan politik.

Menyusul di belakang

Tiga organisasi tersebut muncul organisasi ISDV yang lahir pada tahun 1914 didirikan

oleh orang Belanda di Semarang. Pendirian ISDV adalah usaha untuk memasukkan paham

Marxisme ke Indonesia.PadatanggalZ3 Mei 1920 ISDV mengubah namanya menjadi Partai

Komunis Indonesia. Semaun dan Darsono yang dulunya merupakan tokoh partai Sarekat

Islam menjabat sebagai ketua dan wakil ketua PKI. Perpecahan terjadi di tubuh Sarekat Islam

yang memecah partai tersebut menjadi dua golongan yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat

Islam Merah. Sarekat Islam gerakanyalebih dititikberatkan dalam bidang memajukan gerakan

perekonomian ralcyat dan keislaman sesuai dengan nama Sarekat Islam. Berbeda dengan

Budi Utomo, Sarekat Islam gerakannya lebih bersifat revolusioner dan nasionalistis'

Partai politik terdiri dari dua kata, yaitu kata partai (partie) yang bermakna membagi, dan

kata politik (politics) yang berarti bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem negara

yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan

itu. Sehingga partai politik dapat berarti organisasi yang mempunyai basis ideologi yang

jelas, dimana setiap anggotanya mempunyai pandangan yang sama dan bertujuan untuk

merebut kekuasaan atau mempengaruhi kebijakan negara baik secara langsung maupun tidak

langsung serta ikut dalam sebuah mekanisme pemilihan umum untuk bersaing secara

kompetitif guna mendapatkan dukungan rakyat.

Menurut Miriam Budiardjo, partai politik secara umum dapat diartikan sebagai suatu

kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan

cita-cita yang sama. Tujuan dari kelompok ini yaitu memperoleh kekuasaan politik dan

merebut kedudukan politik untuk

xxv
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

Terdapat tiga teori asal mula terbentuknya partai politik yang dikemukakan oleh

Lapalombara dan weiner, yaitu:

(1) teori kelembagaan, yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dengan

timbulnya partai politik,

(2) teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem

politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas,

dan

(3) teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial

ekonomi.

1. Teori Kelembagaan Menurut teori ini, partai politik pertama kari terbentuk pada lembaga

legislatif (dan eksekutif) karena adanya kebutuhan anggota legislatif (yang ditentukan dengan

pengangkatan) untuk berhubungan dengan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari

masyarakat. Terbentuknya pattai politik seperti ini sering juga disebut sebagai partai politik

Intra-Parlemen. Setelah partai politik Intra-Parlemen terbentuk dan menjalankan fungsinya

maka kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kelompok masyarakat lain

karena mereka menganggap bahwa partai politik yang lama tidak mampu menampung dan

memperjuangkan kepentingan mereka. Partai yang tebentuk ini disebut sebagai partai Ekstra-

Parlemen. Kita bisa memahami kemunculan partaiT pertama kali dengan memahami

kronologis sejarah munculnya ide pembentukan partai politik yang bermula pada abad ke-18.

Latar belakang terbentuknya sebuah partai intra-parlemen pada masa ini dikarenakan

kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap daerah. Pada tahun 1789 di Versaille

s, perwakilan-perwakilan provinsi pada General State mengadakan pertemuan. Sekelompok

anggota legislatif dari daerah yang sama tersebut berkumpul untuk memperjuangkan

kepentingan daerah mereka masingmasing. Kegiatan ini pertama kali dilakukan oleh para

xxvi
wakil dari Breton. Mereka secara reguler melakukan pertemuan dengan menyewa sebuah

kafe. Di sana mereka berbagi pendapat terkait masalah-masalah daerah mereka dan

terbentuklah apa yang mereka sebut dengan "Breton CIub". Dalam perkembangannyaanggota

klub ini tidak hanya beranggotakan para wakil rakyat dari Breton saja. Mereka juga membuka

kesempatan kepada para wakil daerah lain untuk bertukar pendapat sehingga topik

pembahasan mereka sampai kepada isu-isu nasional. Dengan perkembangan inilah mereka

menjelma menjadi kelompok ideologis. Selain Breton CIub, perkembangan awal seperti ini

juga dialami oleh Girondin CIub.

Pada tahun 1848, klub-klub pertemuan dibentuk bukan lagi berdasarkan atas paham

kedaerahan akan tetapi karena persamaan ideologis. Di dalam Majelis Konstiruante Prancis

terdapat kelompok-kelompok seperti palads National,thelnstitut,Rue,depoitiers, dan

sebagainya. Begitu jugadalamtubuh Parlemen Frankfurt terdapai partai cafe Milani, casino,

dan sebagainya. setelah partai politik yang diinisiatif oleh pemerintah tersebut terbentuk dan

menjalankan fungsinya, barulah mulai muncul partai politik lain yang dibentuk oleh

masyarakat dengan skala yang lebih kecil. Munculnya partai politik dari luar parlemen ini

disebut Ekstra-parlemen. pemimpin kelompok masyarakat membuat partai ini dengan tujuan

untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tidak dapat sepenuhnya ditampung arau

diperhatikan oleh partai yang dibentuk oleh pemerintah tersebut. sebagai contoh pada negara

yang dijajah, masyarakar membenruk partai politik untuk memperjuangkan kemerdekaan

bagi negaranya. sedangkan pada negara maju, kelompok masyarakat yang minoritas

membentuk partainya sendiri untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya yang tidak

terwakili dalam sistem kepartaian yang ada. contohnya serikat buruh di Inggris dan Australia

membentuk partai Buruh, kelompok keagamaan di Belanda membentuk Partai Kristen

Historis, dan sebagainya.

xxvii
Teori Situasi Historik Menurut Teori situasi Historik, partai politik terbentuk ketika suatu

sistem politik mengalami masa transisi karena adanya perubahanperubahan yang terjadi pada

masyarakat, misalnya dari masyarakat tradisional yang berstruktur sederhana menjadi

masyarakat yang lebih modern yang berstruktur kompleks. Teori ini berangkat dari adanya

kebutuhan untuk menampung kompleksitas struktur masyarakat yang semakin meningkat.

Peningkatan rersebut seperti pertambahan penduduk karena peningkatan kesehatan, perluasan

pendidikan, mobilitas okupasi (penduduk), perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi

media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapanharapan baru,

dan munculnya gerakan-gerakan populis. perubahanperubahan tersebut menyebabkan

timbulnya riga macam krisis, yaitu: (1) krisis legitimasi, (2) krisis integrasi, dan (3) krisis

partisipasi.

a. Krisis legitimasi yaitu perubahan yang menyebabkan masyarakat mempertanyakan

legitimasi kewenangan pemerintah. Partai politik yang didukung oleh masyarakat secara

penuh diharapkan dapat membentuk suatu hubungan yang terlegitimasi antara pemerintah

dan masyarakat. b. Krisis integrasi yaitu perubahan yang menimbulkan masalah dalam

identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa. Partai politik yang terbuka bagi

seluruh lapisan masyarakat berfungsi sebagai sarana integrasi berbagai latar belakang

masyarakat. c. Krisis partisipasi yaitu perubahan yang mengakibatkan tuntutan yang semakin

besar untuk ikut serta dalam proses politik. Partai politik juga diharapkan mampu untuk

menyalurkan aspirasi masyarakat' Dalam upaya mengatasi tiga krisis yang terjadi tersebut

maka dibentuklah partai politik. Dengan terbentuknya partai politik yang berakar kuat di

masyarakat maka diharapkan pemerintah an yffigterbentuk kemudian mendapatkan legitimasi

yang kuat dari rakyat. Partai politik juga diharapkan dapat berperan sebagai integrator bangsa

dengan cara lebih bersifat terbuka bagi berbagai golongan. Selain itu, partai politik juga harus

xxviii
mampu untuk menyalurkan keinginan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi

politiknya melalui mekanisme pemilu.

3. Teori Pembangunan Modernisasi sosial ekonomi ditandai dengan meningkatnya

pembangunan di sektor sosial dan ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi,

peningkatan kualitas pendidikan, industrialisasi, pembentukan berbagai kelompok

kepentingan dan organisasi profesi, dan segala aktivitas yang menimbulkan kebutuhan untuk

membentuk suatu organisasi politik yang mampu menyalurkan aspirasi mereka. Dapat

disimpulkan bahwa teori pembangunan menyatakan bahwa partai politik merupakan

konsekuensi logis dari modernisasi sosial ekonomi.

Kegiatan seseorang dalam partai politik adalah sebuah bentuk partisipasi politik.

Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta

dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan memilih

dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan,

kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau

mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu;

berkampanye, dan menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya.

Miriam Budiardjo juga mengatakan bahwa dalam negara demokrasi, partai politik

menyelenggarakan beberapa fungsi, diantaranya:

1. Partai sebagai sarana komunikasi politik

Tugas dari partai politik salah satunya yaitu menyalurkan aneka ragam pendapat dan

aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat

dalam masyarakat berkurang. Pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan

hilang bila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang

senada dalam masyarakat modern yang begitu luas. Pendapat dan aspirasi yang telah

digabung tersebut kemudian diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses

xxix
tersebut merupakan perumusan kepentingan yang dilakukan oleh partai. Kemudian partai

politik merumuskan sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan tersebut dimasukkan ke

dalam program partai untuk disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan

umum. Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada

pemerintah melalui partai politik. Partai politik juga berfungsi untuk memperbincangkan dan

menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian, terjadi

arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Peranan partai politik

tersebut sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah

dan warga masyarakat. Partai politik disebut sebagai broker (perantara) dalam suatu bursa

ide-ide dalam menjalankan fungsi ini. Bagi pemerintah partai politik juga terkadang

dikatakan sebagai alat pendengar, sedangkan bagi masyarakat sebagai pengeras suara

2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik

Partai politik memainkan perannya sebagai sarana sosialisasi politik yang diartikan

sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena

politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Proses sosialisasi

berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Sosialisasi politik

mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Fungsi partai politik dalam hal ini sebagai salah satu

ranah sosialisasi politik. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam

pemilihan umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai

berusaha mencipatakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping

menanamkan solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggota-anggotanya

menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan

xxx
menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Di negara-negara baru

partai-partai politik juga berperan untuk memupuk indentitass nasional dan integrasi nasional.

3. Partai politik sebagai sarana recruitment politik

Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk

turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dengan demikian partai turut

memperluas partisipasi politik dengan cara melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain.

Serta diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa

mendatang akan mengganti pimpinan lama.

4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik

Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat

merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk

mengatasinya. Sering dilihat dalam praktek politik bahwa fungsifungsi tersebut tidak

dilaksanakan seperti yang diharapkan. Misalnya informasi yang diberikan justru

menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam masyarakat; yang dikejar bukan

kepentingan nasional, akan tetapi kepentingan partai yang sempit dengan akibat pengkotakan

politik; atau konflik tidak disesuaikan, akan tetapi masalah dipertajam. Gejala-gejala tersebut

di beberapa negara baru telah menimbulkan kekecewaan terhadap sistem kepartaian ini

dengan membawa bermacam-macam akibat. Fungsi partai politik berbeda sekali dnegan

partai dalam negara yang demokratis. Dalam negara demokrasi, partai mengatur keinginan

dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat. Dalam masyarakat demokratis partai

berusaha menyelenggarakan integrasi warga negara ke dalam masyarakat umum

2.1.3 Konsep Demokrasi

1. Pengertian demokrasi

Secara etimologis demokrasi berasal dari ibahasa Yunani yang berarti demos (rakyat) dan

cratos atau cratein (pemerintah atau kekuasaan). Jika digabung demos-cratein atau demos-

xxxi
cratos berarti suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

rakyat. Sementara secara terminologis demokrasi berarti pemerintahan rakyat yang berarti

suatu pemerintahan dimana rakyatnya memegang peranan penting.

Menurut Mardenis, maksud dari rakyat adalah bahwa adanya pemerintah demokrasi

pasti membutuhkan dukungan (legitimasi) rakyat. Definisi lain menyebutkan bahwa dari

rakyat berarti pemerintah negara hakikatnya telah mendapat mandat dari rakyat untuk

melaksanakan pemerintahannya. Sebab, rakyat merupakan kekuasaan tertinggi dalam inegara

demokrasi. Apabila telah mendapat mandat dari rakyat berarti sudah dinyatakan sah sebagai

pemimpin, baik presiden, gubernur, bupati dan lain sebagainya. Sedangkan maksud

pemerintahan oleh rakyat memiliki artian bahwa hakikat pemerintahan dalam negara itu

dijalankan oleh rakyat. Meskipun dalam praktiknya hanya pemerintah yang mejalankan

namun kedudukannya sudah mewakili rakyat. Selain itu pendapat lain menyebutkan bahwa

oleh rakyat berarti dalam praktik menjalakan pemerintahan diawasi oleh rakyat. Sementara

rasi atau pemerintahan untuk rakyat berarti setiap kebijakan yang diputuskan dari pemerintah

demokrasi harus sesuai dengan aspirasi atau keinginan serta kepentingan dari rakyat.

Sementara maksud dari untuk rakyat berarti kekuasaan yang telah dipercayakan masyarakat

kepada pemimpin harus dilaksanakan sesuai untuk kepentingan rakyat. Dalam hal ini,

kepentingan harus dijadikan sebagai pijakan utama dalam menjalankan pemerintahan yang

demokratis.

Sementara itu, konsep demokrasi sendiri merupakan sebuah gagasan yang paling populer

namun kedudukannya cukup sulit untuk diterjemahkan dalam pemahaman. Begitu pula

dengan aspek sejarah gagasannya yang dapat bercabang, definisinya serta maknanya. Oleh

karena itulah, masyarakat memahami bahwa hakikat dalam konsep demokrasi sangatlah luas

dan bebas.

xxxii
Dengan demikian, berdasarkan pengertian demokrasi secara umum dapat disimpulakn

bahwa demokrasi merupakan sebuah pemerintahan negara yang kekuasaannya berada di

tangan rakyat. Sebab rakyat imerupakan pemegang ikekuasaan tertinggi. Maka dari itu,

pemerintah yang menempatkan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi disebut sebagai

pemerintahan demokrasi atau dalam hal lain juga disebut sebagai pemerintahan yang

berkedaulatan rakyat

2. Sejarah demokrasi

Dalam penyelenggaraan demokrasi atau yang sering disebut sebagai kedaualatan rakyat

lahir dari tradisi Yunani Kuno sekitar abad ke-4 SM sampai abad ke-6 M.9 Namun pendapat

lain menyatakan bahwa demokrasi lahir antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M.10 Pada

masa itu, pemerintahan yang telah dijalankan merupakan pemerintahan demokrasi secara

langsung atau direct democracy yang berarti proses pemenuhan hak rakyat dalam membuat

keputusan dilaksanakan langsung oleh seluruh rakyat. Hal ini dilakukan sebab Yunani kala

itu masih berupa negara kota yang penduduknya hanya sekitar 300.000 jiwa. Meskipun

terbilang seluruh rakyat, pengecualian terhadap aspirasi yang diajukan dari kalangan anak,

wanita serta budak.Pada abad pertengahan merupakan masa akhir dari demokrasi di Yunani

Kuno. Sebab di zaman ini masyarakat Yunani sudah berubah menjadi masyarakat yang

feodal dengan ditandai oleh sistem kehidupannya dalam beragama terpusat pada Paus dan

pejabat agama. Dengan demikian pusat pemerintahan atau kekuasaan beralih pada kalangan

bangsawan.

Kemudian tradisi demokrasi muncul dan berkembang di Eropa di akhir abad

pertengahan dengan ditandai piagam besar (magna charta) di Inggris. Piagam tersebut di

dalamnya mengandung unsur perjanjian antara Raja Inggris dengan kaum bangsawan yang

isinya berkaitan dengan pembatasan kekuasaan raja serta kedudukan pentingnya hak asasi

manusia atas rakyat dan bawahannya. Selain itu masa ini juga ditandai dengan gerakan

xxxiii
pencerahan (renainssance) atau yang disebut sebagai gerakan yang menghidupkan minat

rakyat terhadap budaya Yunani Kuno. Sebab, zaman ini ditunjang pula oleh perkembangan

peradaban Islam yang kala itu ilmu pengetahuannya sedang dalam masa puncak kejayaan.

Dengan kata lain, sejarah telah membuktikan bahwa kedudukan Islam pada hakikatnya

memiliki sumbangsih sendiri terhadap perkembangan demokrasi.

3. Prinsip-prinsip demokrasi

Menurut Robert A. Dahl terdapat beberapa prinsip dalam demokrasi di antaranya

sebagai berikut:

a. Terdapat kontrol atas keputusan dari pemerintah.

b. Pemilihan yang jujur dan teliti.

c. Terdapat hak milih dan dipilih.

d. Adanya kebebasan berpendapat tanpa disertai ancaman.

e. Bebas dalam mengakses informasi.

f. Dan lain-lain

4. Norma-norma dalam berdemokrasi

Menurut Nurcholis Madjid, bahwa setidaknya dalam berdemokrasi terdapat tujuh

norma dasar, di antaranya:

a. Kesadaran akan pluralism

b. Musyawarah

c. Mufakat yang sehat dan jujur

d. Kerja sama

e. Pemenuhan dalam segi ekonomi

f. Pertimbangan moral

xxxiv
g. Pendidikan yang menunjang.

5. Jenis-jenis demokrasi

Berikut jenis-jenis dalam demokrasi, di antaranya:

a. Demokrasi berdasarkan dalam cara menyampaikan pendapat

1) Demokrasi langsung yaitu rakyat ikut serta dalam pengambilan keputusan atas kebijakan

pemerintah.

2) Demokrasi tidak langsung yaitu demokrasi yang dijalankan melalui rakyat yang dipilih

melalui pemilihan umum.

3) Demokrasi pemilihan dengan pengawasan langsung dari rakyat yaitu campuran dari

demokrasi langsung dan tidak langsung. Jadi pemerintah atau wakil rakyat menjalankan

tugasnya dengan diawasi langsung oleh rakyat. Sistem demokrasi ini dilaksanakan di Swiss.

b. Demokrasi berdasarkan titik perhatian serta prioritas.

1) Demokrasi formal atau liberal yaitu menempatkan kedudukan semua orang sama. Dengan

hal ini masing-masing individu diberi kebebasan yang luas.

2) Demokrasi material atau sosial-komunis yaitu memandang kedudukan manusia sama

dalam hal sosial-ekonomi namun tidak untuk politik.

3) Demokrasi campuran yaitu campuran dari demokrasi formal dan material yang bertujuan

untuk mempatkan persamaan hak dan derajad orang.

c. Berdasarkan prinsip ideology

1) Demokrasi liberal yaitu kebebasan individu diprioritaskan, campur tangan pemerintah

diminimkan bahkan ditolak.

2) Demokrasi rakyat atau demokrai proletar yaitu bertujuan menyejahterakan rakyat.

6. Demokrasi dan Islam

xxxv
Di tengah perkembangan demokrasi, pada mulanya kedudukan Islam dalam

melaksanakan prinsi-prinsip demokrasi telah diragukan, sebab secara historis demokrasi lahir

di Barat. Selain itu, dalam dunia Islam juga dinilai tidak memiliki pengalaman yang andal

dalam berdemokrasi. Berdasarkan argumentasi tersebut, setidaknya relasi Islam dengan

demokrasi terdapat tiga pandangan:

a. Islam dan demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang berbeda. Sebab Islam

merupakan agama yang sempurna (kaffah) yang kedudukannya tidak hanya mengatur

persoalan ibadah dan akidah saja, akan tetapi juga mengatur seluruh aspek yang berhubungan

dengan kehidupan manusia termasuk bernegara. Pandangan ini mendapat dukungan dari

Sayyid Qut}b dan T}abat}abai. Bagi penganut demokrasi, sistem ini dinilai sebagai satu-

satunya sitem terbaik dibanding Islam yang kedudukannya hanya sebagai alternatif saja.

Sementara bagi penganut Islam, sistemnya di anggap sebagai yang paling sempurna (kaffah).

Sebab sistem demokrasi bila diterapkan dalam Islam kurang tepat diaplikasikan dalam

bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.

b. Islam dan demokrasi berbeda bila demokrasi yang dilaksaksanakan seperti yang ada di

negara-negara Barat. Pada kelompok ini, menyetujui akan adanya prinsip-prinsip demokrasi

bila dipraktikkan dalam Islam. Namun, dalam kelompok ini juga mengakui akan adanya

perbedaan di antara keduanya. Dalam kelompok ini menyebutkan bahwa Islam dapat

dikategorikan sebagai sistem demokratis jika dalam demokrasi didefinisikan secara subtantif

seperti hakikat kedaulatan berada di tangan rakyat serta negara merupakan terjemah dari

kedaulatan rakyat. Dengan demikian, dalam pandangan kelompok ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa konsep demokrasi sejatinya sejalan dengan Islam setelah adanya proses

penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Pendukung kelompok ini adalah al-

Maududi serta Moh. Natsir.

xxxvi
c. Pada pandangan kelompok ini menyatakan bahwa Islam merupakan suatu sistem yang

mendukung serta membenarkan sistem politik demokrasi seperti halnya yang sudah

dipraktikkan dalam negara-negara maju. Sebab, menurutnya, dalam demokrasi selain ada

konsep musyawarah (shura) seperti dalam Islam akan tetapi juga terdapat konsep ijtihad dan

ijma’ (konsesus). Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh pakar ilmu politik R. William

Lidle serta Saiful Mujani. Dalam Indonesia tampaknya pandangan dari kelompok tiga ini

yang lebih dominan, sebab melihat langsung dari segi praktik dan pelaksanaan Indonesia

merupakan salah satu negara yang umat Muslimya lebih mayoritas yang telah menerapkan

sistem pemerintahan demokrasi. Pendukung kelompok ini adalah Abdurrahman Wahid, Amin

Rais, Jamaluddin Al-afghani dan lain sebagainya.

Penerimaan demokrasi dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok tiga

tidak berarti bahwa di negara muslim secara otomatis demokrasi bisa tumbuh dan

berkembang dengan mudah. Justru kebalikannya, negara muslim merupakan kategori negara

yang masih tertinggal dalam berdemokrasi.

Oleh karena itu, berikut beberapa penjelasan mengenai argumen teoritis perihal faktor

lambannya dari pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia muslim, di antaranya:

a. Adanya pemahaman doktrinal iyang menghambat praktik demokrasi. Teori ini

dikembangkan Elie Khudourie yang menyatakan bahwa gagasan mengenai demokrasi imasih

cukup asing dalam tradisi ipemikiran. Penyebabnya ialah, kebanyakan dari kaum muslim

cenderung memahami demokrasi sebagai suatu hal yang masih bertentangan dengan Islam.

Maka dari itu, perlunya pengembangan upaya liberalisasi ipemahaman keagamaan dalam

irangka mencari ikonsesus serta sintesis antara pemahaman dari doktrin-doktrin Islam dengan

teori-teori yang modern seperti kebebasan dan demokrasi.

b. Adanya persoalan ikultur politik. Pada realitanya, demokrasi sudah pernah diuji coba di

negara-negara Islam sejak paruh abad dua puluh-an, tetapi faktanya gagal. Hal ini disebabkan

xxxvii
karena adanya warisan kultural pada masyarakat muslim. Teori ini dikembangkan oleh

Bernard Lewis. Maka dari itu, langkah yang cocok untuk diterapkan ialah mengenai

penjelasan kultural tentang perkembangan demokrasi di Eropa lebih tumbuh subur

dibandingkan di kawasan negara Islam.

c. Adanya sifat alamiyah dari setiap masing-masing demokrasi itu sendiri. Dalam

membangun demokrasi setidaknya diperlukan yang namanya kesungguhan serta kesabaran,

termasuk waktu. Teori ini dikembangkan oleh John Esposito dan O. Voll.

Demokrasi sebagai sebuah prinsip bernegara memiliki versi eksplanatif yang bervariasi

dari para tokoh, seperti :

A. Montesquieu, konsep demokrasi yang diejawantahkan oleh negara harus membagi

menjadi tiga lembaga negara dengan fungsi yang berbeda namun berkesinambungan, yaitu

legislatif, eksekutif, dan yudikatif

B. Abraham Lincoln, konsep daripada demokrasi tetap mengerucut sistem pemerintahan yang

diproses dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat

C. Aristoteles, prinsip utama dalam demokrasi adalah kebebasan. Karena, kebebasan yang

dimiliki oleh setiap warga negara dapat mengisi kekuasaan di dalam negara

D. Menurut International Commission of Jurist, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan

di mana hak dalam membuat suatu keputusan politik harus diselenggarakan oleh rakyat

melalui para keterwakilannya

Prinsip Demokrasi

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik dan pemerintahan dari suatu negara, harus duduk di

antara beberapa prinsip fundamental. Antara lain :

· Pembagian kekuasaan (kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif)

· Pemerintahan konstitusional

· Partai politik lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya

xxxviii
· Pers yang bebas dan perlindungan terhadap hak asasi manusia

· Pengawasan terhadap administrasi Negara

· Peradilan yang bebas dan tidak memihak

· Pemerintahan yang diskusi

· Pemilihan umum yang bebas

· Pemerintahan berdasarkan hokum

Meningkatnya partisipasi (atau inklusifitas) berarti meningkatnya jumlah warga

negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan. Rezim non-demokratis mungkin

saja menjauhkan sebagian besar masyarakatnya dari partisipasi. Pada rezim demokratis,

seluruh penduduk dewasa memperoleh hak kebebasan secara penuh. Kompetisi (atau

liberalisasi) menyangkut tersedianya hak-hak dan kebebasan, paling tidak bagi beberapa

anggota sistem politik. Meningkatnya liberalisasi berarti meningkatnya peluang bagi oposisi

politik dan meningkatnya kompetisi untuk meraih kekuasaan pemerintahan.

Dengan adanya tiga dimensi demokrasi yaitu kompetisi, partisipasi dan kebebasan di

suatu negara maka akan lebih membuka peluang bagi berseminya proses demokratisasi.

Terciptanya iklim demokratis yang optimal akan berdampak pada semakin menguatnya hak-

hak warga negara dalam mengekspresikan aspirasinya. Hak-hak warga yang harus

diperjuangkan dan diakomodasi dalam sistem politik yang demokratis adalah: (1) perjuangan

untuk mendapatkan otoritas bagi parlemen terpilih untuk mengambil keputusan/kebijakan, (2)

perjuangan untuk memperoleh perluasan atas hak memilih, (3) perjuangan untuk membuat

subyek penguasa berhubungan dengan kehendak para pemilih, (4) perjuangan untuk

mengadakan pemilu berdasarkan perhitungan yang jujur, (5) perjuangan bagi diterimanya

partai-partai politik yang terorganisir sebagai aktor sosial yang memiliki legitimasi dan

xxxix
sebagai peserta pemilu, (6) perjuangan bagi terciptanya emansipasi bagi sekelompok

masyarakat yang secara personal masih bergantung pada kelompok dominan agar mereka

juga memiliki hak memilih pemerintah mereka. Apabila suatu negara dapat menegakkan pilar

demokrasi secara stabil dan kuat, maka bukan suatu hal yang mustahil bagi negara itu untuk

merealisasikan kondisi yang menjadi parameter berlangsungnya sistem politik yang bercorak

poliarki. Adapun parameter yang harus dimiliki pemerintahan yang bersifat poliarki adalah:

(1) para pemimpinnya tidak menggunakan koersi kekerasan, yaitu polisi dan militer untuk

meraih atau mempertahankan kekuasaannya, (2) adanya organisasi masyarakat pluralis yang

modern dan dinamis, (3) potensi konflik dalam pluralisme struktural dipertahankan pada

tingkat yang masih dapat ditoleransi, (4) dalam masyarakat, khususnya yang aktif dalam

politik ada budaya politik dan sistem keyakinan yang mendukung ide demokrasi dan lembaga

poliarki (John Markoff, 2002)

Jadi praksis demokrasi yang paling substansial adalah negara wajib melindungi

rakyat, utamanya dalam merepresentasikan hak-hak kewargaan mereka, lebih utama lagi

dalam menyelenggarakan terciptanya hak-hak dasar hidup yang layak. Untuk itu maka negara

berkewajiban mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang asosial. Negara juga harus

mampu mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan ke arah

tercapainya tujuan negara. Jadi secara umum bagi negara yang demokratis kebijakan negara

adalah kebijakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warga. Dukungan dari warga akan

diperoleh manakala anggota warga merasa kehendak dan kepentingannya mendapat saluran

yang wajar. Agar tidak terjadi penyimpangan demokrasi maka yang diperlukan adalah

penegasan perlunya keseimbangan yang kuat di antara elemenelemen negara untuk

pencapaian kesejahteraan masyarakat, dimana masyarakat secara efektif terlayani melalui

sarana dan perlengkapan pemerintah. Untuk itu maka harus ada penguatan paradigma di

kalangan rakyat ke arah “high trust society” yaitu masyarakat yang memiliki kepercayaan dan

xl
rasa hormat akan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Dalam masyarakat yang rendah

tingkat kepercayaannya kepada pemerintahannya akan sangat sulit membangun dan

membangkitkan partisipasi. Kondisi ini tentu saja akan menjadi batu sandungan bagi

penguatan iklim demokrasi di negara itu. Kontrol atas kekuasaan sebuah “state” dalam

menjalankan sistem pemerintahannya agar tidak berlaku totaliter dilakukan oleh rakyat.

Dengan kontrol ini maka ketertiban bersama, kesejahteraan umum dan hak-hak individu

rakyat akan tetap terjaga. Karena itu wewenang negara demokrasi adalah terbatas, yaitu

sejauh mandat yang diberikan rakyat melalui pemilu dan sejauh praksis pencapaian

kesejahteraan bersama menjadi tujuannya (Muji Sutrisno, 2000). Dengan demikian jelaslah

bahwa di satu pihak sistem negara demokratis membutuhkan penataan kelembagaan sebagai

mekanisme pembagian kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat.

Di lain pihak bila mekanisme kelembagaan sudah dibuat dan terus berproses, tidak

otomatis bisa dikatakan demokrasi telah berjalan optimal. Demokrasi baru dapat dikatakan

berhasil apabila tujuan society mendirikan state telah dicapai. Tujuan yang harus diupayakan

terwujudnya adalah adanya kesejahteraan masyarakat, yang secara hukum berarti terjaminnya

hak hidup dan martabat masingmasing warga negara di negara tersebut.

Model-model dan Jenis Demokrasi Model dan jenis demokrasi sangat banyak, di

antaranya:

a. Demokrasi Liberal: yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undangundang dan pemilihan

umum bebas diselenggarakan dalam waktu rutin. Banyak negara-negara di Afrika mencoba

menerapkan model ini, tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Sedangkan dalam pandangan

hidup, demokrasi Liberal ditujukan memberikan kebebasan bagi individu untuk melakukan

kegiatan sosial, agama, dan bernegara tanpa dituntun dan dicampuri oleh urusan negara,

selama ekspresi hidupnya tidak bertentangan dengan pandangan hidup masyarakat lain dan

xli
pokok-pokok ideologi bangsa yang didiami. Dampak terebesarnya dalam sistem ini adalah

sektor ekonomi, yaitu negara menghormati segala bentuk aktifitas ekonomi dan kepemilikan

barang/jasa atas nama pribadi/individu.

b. Demokrasi Terpimpin: para pemimpin percaya bahwa tindakan mereka dipercayai rakyat,

tetapi menolak persaingan dalam pemilihan umum untuk menduduki kekuasaan.

Sederhananya demokrasi Terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana setiap

keputusan berpusat pada pemimpin negara, tidak melalui kesepakatan referendum anggota

konstitusi. Sedangkan menurut Soekarno demokrasi Terpimpin dikutip dari pembukaan UUD

1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan

perwakilan”.

c. Demokrasi Sosial: yaitu menaruh kepedulian pada keadaan sosial dan egalitarianisme bagi

persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik. Demokrasi Sosial menjunjung tinggi

derajat kemanusiaan tanpa membedakan kelas, karenanya sosialisme dalam demokrasi

mencita-citakan persamaan derajat setiap manusia dari orang perorang

d. Demokrasi Partisipasi: yaitu menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang

dikuasai. Komitmennya adalah bahwa manusia dapat hidup bersama dalam semangat

kemanusiaannya, selain isu tentang keadilan, kesejahteraan, kebebasan, kerakyatan,

kesetaraan, dan solidaritas, sehingga memerlukan hubungan timbal balik yang sangat erat

antara sumber dan muara.

e. Demokrasi Consociational: yaitu menekankan pada proteksi khusus bagi kelompok-

kelompok budaya dan menekankan kerja sama yang erat di antara elite yang mewakili bagian

budaya masyarakat utama.

f. Demokrasi Deliberatif: menurut istilah “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio,

kemudain diserap dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti “konstitusi”

xlii
atau “menimbangnimbang”. Sedangkan penyatuan kata “demokrasi dan deliberatif” memiliki

arti formasi opini dan aspirasi politis yang diolah dengan proseduralisme atau kedaulatan

rakyat menjadi inti dari berdemokrasi. Jadi demokrasi deliberatif di mana legitimitas hukum

tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil, sehingga

dengan ditetapkannya peraturan-peraturan dalam demokrasi akan mudah diterapkan dan

dilaksanakan oleh masyarakat.

Demokrasi dalam penerapannya dibagi dalam dua hal, yaitu demokrasi secara

langsung dan demokrasi tidak langsung:

a. Demokrasi Langsung: adalah rakyat melakukan kedaulatannya secara langsung.

Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya mengawasi jalannya pemerintahan.

Sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih

langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, bigitu pula pemilihan pejabat legislatif (DPR,

DPD, DPRD).

b. Demokrasi Tidak Langsung: adalah paham demokrasi yang dilaksanakan melalui

sistem perwakilan. Corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan

rakyat, dan dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab terhadap rakyat.

-Demokrasi Negatif

Demokrasi hanyalah salah satu sistem bernegara, hal yang ditawarkan bukan

merupakan bentuk final sebuah sistem bernegara. Oleh karena itu sangat memungkinkan

terdapat sisi-sisi negatif dari yang ditawarkan, di antaranya:

a. Demokrasi Oligarkis atau Demokrasi Terbatas; adalah demokrasi yang didominasi

oleh kelompok dan kalangan tertentu. Mereka menggunakan demokrasi sebagai tujuan

mempergemuk kepentingan politik, yang konsensusnya tidak saja berhubungan dengan

materi, melainkan juga bersifat non materi. Seperti membangun pengaruh dalam masyarakat

xliii
untuk mencari jabatan tertentu. Legalitas kepemimpinan mereka dibentuk melalui badan-

badan peradilan, legislatif, dan eksekutif yang sebelumnya telah dipersiapkan dan diisi oleh

aktor-aktor oligarkis, sederhananya kelompok elite tersebut memiliki hak untuk

mengintervensi proses lajunya demokrasi. Kesimpulannya dominasi elite tertentu sangat

merusak keberlangsungan demokrasi.

b. Demokrasi yang Didominasi Massa; adalah sistem dengan aktor massa yang

memiliki kekuatan kolektifitas dan berkuasa di atas penguasa tradisional. Mereka

menggerakkan reformasi dari bawah untuk menyerang kekuatan-kekuatan para elite ploitik.

Proses penyampaian aspirasi terkadang terlalu berlebihan dan cenderung anarkis karena

merasa menang secara jumlah kolektifitas, hasilnya konfrontrasi-konfrontrasi antara dominasi

massa dan elite politik malah menghancurkan demokrasi.

c. Demokrasi Totalitersime; adalah bentuk berdemokrasi yang di dalamnya rakyat

tidak bisa bebas berkehendak, karena urusan individu dan pribadi rakyat tidak terlalu penting.

Sebaliknya setiap rakyat harus menjunjung tinggi cita-cita yang digariskan dalam sistem

politik negara. Contoh sederhananya adalah porblem Jerman dengan ideologi Nazi pada

masanya.

d. Otoritarianisme Demokrasi; adalah faham demokrasi yang di dalamnya dipimpin

oleh penguasa otoriter, fungsi parlemen hanya syarat berdemokrasi, kerjanya hanya berbasa-

basi bermusayawarah untuk mufakat, padahal bentuk final suatu keputusan tetap berada pada

tangan penguasa yang otoriter. Rakyat berada pada jalur terlemah, rakyat tidak diberikan

ruang untuk menuntaskan keinginannya apabila bertentangan dengan pengusa. Ciri-ciri

sistem politik model demikian biasanya didukung oleh kekuatan bersenjata dari pihak militer.

Praktik demokrasi yang otoriter banyak diterapkan di negara-negara Afrika, pada masyarakat

xliv
internasional mengatakan negaranya menjunjung demokratisasi, namun dipraktikkan dengan

cara otoritarianisme.

2.1.4 Demokrasi di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang sudah resmi merdeka. Adapun sistem pemerintahan

yang di anut Indonesia sejak merdeka ialah demokrasi. Sejak kala itu, demokrasi menjadi

pilihan bersama yang dianggap tepat guna menjalankan kekuasaan. Selain itu, kedaulatan

rakyat dipilih sebagai asas paling tinggi dalam menentukan apapun termasuk dalam

menentukan falsafah hidup bangsa, simbol negara serta kontitusi Sebagaimana praktinya,

demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak lain ialah demokrasi Pancasila. Demokrasi

Pancasila ini bukan kategori demokrasi liberal, bukan demokasi agama ataupun demokrasi

Islam. Adapun cirinya ialah demokrasi yang khas dan memiliki akar sejarah serta sumber

konseptual sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila. Secara konseptual, demokrasi

Pancasila ini merupakan demokrasi konstitual yang berdasarkan pada Pancasila serta

Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.

Pancasila merupakan ideologi negara Indonesia. Maka dengan ini, Pancasila memiliki

kedudukan sebagai ideologi tengah yang mempertegas bahwa Indonesia bukanlah negara

agama, namun bukan pula negara yang sekuler. Dengan demikian, siapapun yang terpilih

menjadi pemimpin di negara ini, maka harus menerapkan ideologi yang telah disepakati

bersama yakni Pancasila.Selain itu, nila-nilai yang terkandung dalam demokrasi terdapat

dalam rumusan Pancasila yaitu pada sila ke-empat. Di mana isinya menekankan adanya

permusyawaratan dan perwakilan yang bertujuan untuk menguatkan negara persatuan, sebab,

tujuan didirikannya negara tidak lain bukan karena untuk golongan atau perorangan saja.

Seperti halnya dalam pernyataansidang Bung Karnotanggal 1 Juni 1945 sebagai berikut:”

Dasar itu adalah mufakat, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk

satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan rakyat. Tetapi kita

xlv
mendirikan negara ‚semua untuk semua‛, ‚satu untuk semua‛, ‚semua untuk satu‛. Saya

yakin, syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prinsip pokok dalam demokrasi

Pancasila yaitu bahwa seluruh kekuasaan dikelola oleh otoritas hikmat kebijaksanaan dan

dilakukan dengan cara musyawarah perwakilan. Dengan demikian, prinsip dalam demokrasi

ini telah melampaui demokrasi liberal yang dikendalikan oleh otoritas apapun. Oleh karena

itu, penekanan musyawarah mufakat merupakan salah satu ciri khas dari demokrasi

Pancasila, dan merupakan menjadi bagian pembeda dengan demokrasi lainnya termasuk

demokrasi liberal. Sebab prinsipnya yang terlalu membebaskan pilihan serta penganut voting

terbanyak. Sementara musyawarah sendiri, proses pengambilan dalam keputusannya

didasarkan atas kesepakatan bersama serta lebih menekankan pada prinsip gotong royong dan

kekeluargaan.

2.1.5 Konsep HTI

Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin an

Nabhany di al-Quds, Paletina tahun 1952. Kegiatan utama partai ini adalah politik yang

berasakan Islam, Agenda utama partai ini membangun kembali sistem Khilafah Islamiyah

dan menegakan hukum Islam dalam realitas kehidupan. Hizbut Tahrir bercita-cita

membangun tatanan masyarakat dan sistem politik yang berlandaskan aqidah Islam karena

Islam harus menjadi tata aturan kemasyarakatan dan menjadi dasar konstitusi dan undang-

undang.

Selain bermaksud membangun kembali umat Islam dari kemerosotan, Hizbut Tahrir

juga bermaksud membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundangundangan, dan hukum-

hukum yang tidak berasal dari Islam, serta membebaskan kaum Muslim dari dominasi dan

pengaruh-pengaruh Barat, Hizbut Tahrir juga bermaksud membangun kembali sistem Dawlah

Khilafah Islamiyah di seluruh dunia, melalui dawlah inilah Hizbut Tahrir berkeyakinan

xlvi
bahwa hukum Islam dapat ditegakan. Gerakan yang dilakukan partai ini meliputi pendidikan,

pembinaan umat dengan Tsaqofah (wawasan) islam, melancarkan pertarungan pemikiran

(Syira’ul Fikri), dan aktifitas politik (Kifah as-Siyasi). Dalam upaya membina umat Hizbut

Tahrir menyebarkan pemikiran Islam, baik dalam kerangka sosial maupun politik sambil

membebaskan umat dari aqidah-aqidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang salah,

persepsi-persepsi yang keliru, serta membebaskan dari ide-ide dan pandangan Barat yang

dianggap kufur.

Hizbut Tahrir bertujuan membebaskan umat manusia dari dominasi paham,

pemikiran, sistem hukum, dan negara kufur menuju paham, pemikiran, sistem hukum, dan

negara Islam dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dan mengemban dakwah ke

seluruh penjuru dunia. Tujuan ini tidak lain berarti membawa umat Islam kembali pada

kehidupan Islam di dalam Darul Islam, yakni Islam dan masyarakat Islam, sehingga seluruh

persoalan kehidupan umat diatur dengan syariah Islam dalam sebuah Daulah Khilafah. Ini

merupakan satu-satunya metode untuk membangkitkan umat Islam.

Gerakan Hizbut Tahrir dari mulai terbentuknya hingga masuk ke Indonesia adalah

berusaha untuk memperjuangkan tergaknya sistem Khilafah Islamiyah untuk diwujudkan

dalam sebuah struktur kenegaraan. Metode tersebut dianggap cukup efektif dalam merubah

paradigma berfikir masyarakat secara temporal dan berharap setelah itu mereka mempunyai

massa politik yang besar untuk mendukung aktivitas politik mereka dan kemudian kekuasaan

politik secara struktural tercapai.

Pada awal masuknya di Indonesia, HTI mulai melakukan aktivitas dakwahnya dan

memperkenalkan Hizbut Tahrir ke berbagai pesantren dan kampus-kampus di Indonesia serta

membentuk sebuah pengajian-pengajian kecil untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan Hizbut

Tahrir. Selama rezim Orde Baru berlangsung pada tahun 1980-an hingga akhir 1990-an, HTI

xlvii
masih menjalankan metode dakwahnya dalam tahap pertama yaitu tahap pengkaderan dan

pembinaan secara rahasia. Banyaknya jumlah anggota dan siapa saja yang ada dalam struktur

kepengurusan organisasi juga tidak pernah dipublikasikan. Bahkan sebagian aktivis HTI

menggunakan nama samaran untuk menutupi identitasnya hingga sekarang. Hal itu

disebabkan karena pada masa Orde Baru menganut haluan kebijakan politik “sapu bersih”

terhadap kelompok radikal dan memaksa HTI untuk beraktivitas secara sembunyi-sembunyi

dalam menjalankan aktivitasnya.

Setelah lengsernya Orde Baru, HTI memanfaatkan momen kejatuhan Soeharto.

Setelah lengsernya Orde Baru, para praktisi politik bereforia untuk berpartisipasi dalam

membentuk partai-partai politik baru dengan beragam idealisme serta ideologi baik yang

berdasarkan kelompok kepentingan, ras, maupun agama tertentu. Dengan tumbangnya Orde

Baru dan dibukanya keran perpolitikan Indonesia, maka dengan demikian Hizbut Tahrir pun

melegalkan aktivitasnya di Indonesia sebagai organisasi politik kebangkitan Islam dengan

meresmikan berdirinya Hizbut Tahrir di Indonesia.

Aktivitas kegiatan HTI secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat politik, baik

sebelum maupun sesudah mengambil alih kegiatan di luar hukum pemerintahan ataupun yang

menyangkut pemerintaha. Politik menurut HTI adalah mengatur dan memelihara urusan

rakyat sesuai dengan hukum-hukum dan pemecah Islam. Kegiatannya bukan dalam aspek

pendidikan seperti madrasah. Seruannya tidak hanya bersifat nasihat-nasihat dan petunjuk-

petunjuk, akan tetapi kegiatannya bersifat politik, dengan cara mengemukakan fikrah-fikrah

Islam serta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan dan diwujudkan dalam kenyataan hidup

dan pemerintahan.

Kegiatan HTI mengemban dakwah Islam untuk mengubah situasi masyarakat yang

mereka anggap rusak menjadi masyarakat Islam, mendidik dan membina masyarakat dengan

xlviii
kebudayaan Islam, meleburnya dengan Islam, membebaskannya dari aqidah-aqidah yang

rusak dan pemikiran-pemikiran yang salah dan keliru serta membebaskannya dari pengaruh

ide-ide dan pandanganpandangan kufur. Aktivitas politiknya juga terlihat dalam aspek

pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politiknya di Indonesia.

Pergolakan pemikirannya disini terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan

aturan-aturan yang kufur disertai dengan penjelasan hukum Islam dalam masalah tersebut.

Sedangkan perjuangan politiknya terlihat dalam penentangannya terhadap imperialis kafir

untuk memerdekakan umat dari belenggu kekuasaannya, membebaskan umat dari tekanan

dan pengaruhnya, serta mencabut akar-akar yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik,

ekonomi maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam termasuk Indonesia.

Gerakan politik HTI berfokus pada bagaimana membangun kesadaran politik

masyarakat untuk menerapkan hukum-hukum Allah yang berupa syariat Islam. HTI

menganggap syariat Islam sebagai solusi terbaik dalam mengatasi segala problem hidup

masyarakat. Gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan Hizbut Tahrir dianggapnya bersinonim

dengan gerakan politik. Hal ini disebabkan karena politik merupakan bidang yang mengatur

kehidupan bermasyarakat.

Hizbut Tahrir sukses melakukan gebrakan besar pada tahun 2002 dengan menggelar

konferensi internasional Khilafah Islamiyah di Senayan Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh

tokoh-tokoh Hizbut Tahrir internasional dan Nasional, organisasi Islam dan organisasi lain,

juga dihadiri lebih dari 5000 orang. Dengan terselenggarakannya konferensi internasional

tersebut, maka HTI kini resmi untuk melakukan aktivitasnya di Indonesia secara terbuka.

Kesuksesan acara tersebut dilanjutkan dengan kegiatan aksi demo dalam menentang

penyerangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan.

xlix
Gerakan Hizbut Tahrir di Indonesia semakin mengemuka ketika berhasil menggelar

long march yang diikuti 12.000 kader dan simpatisan, pada sidang tahunan MPR 2002,

menuntut penerapan syariat Islam. Kemudian pada tanggal 29 Februari 2004, HTI kembali

menggelar long march dari Monas ke Bundaran Hotel Indonesia dengan melibatkan 20.000

anggota dengan agenda penegakkan syariat Islam dan khilafah.

Perkembangan pesat HTI di Indonesia bisa dilihat dari kuantitas anggotanya dan

identitas kegiatannya di ruang publik seperti dalam bentuk pawai, seminar berskala

internasional dan nasional, dialog dan diskusi publik serta proliferasi media di berbagai

daerah di tanah air. Tidak hanya sampai disitu, banyak sekali aktivitas HTI yang gencar

diadakan di Indonesia, diantaranya diskusi-diskusi umum yang dilakukan di beberapa daerah.

Beberapa diantaranya yaitu acara diskusi yang membedah buku “Wajah Liberal Islam di

Indonesia” yang diselenggarakan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30

September 2002. Ismail Yusanto sebagai Juru Bicara HTI banyak mengemukakan gagasan-

gagasan Taqiyuddin an-Nabhani tentang khilafah Islam dan penerapan syariat Islam di

Indonesia untuk melindungi kepentingan masyarakat dalam percaturan global. Dalam diskusi

tersebut, HTI menyuarakan penentangannya terhadap imperialisme dan kapitalisme globab

serta globalisasi.

Kemudian HTI pernah tergabung bersama komponen umat Islam dalam Forum Umat

Islam (FUI) pada 29 April 2005 untuk mengadakan diskusi publik dan demo besar bertema

Menolak Liberalisasi Air dalam Undang-Undang Sumber Daya Air di Jakarta. Dalam aksi

tersebut, HTI sepakat untuk menolak undang-undang tersebut dan menuntut agar undang-

undang tersebut diganti dengan peraturan yang sesuai dengan syariat Islam yang mampu

mempertahankan hak dasar rakyat atas air dan memungkinkan pengelolaan air secara adil.

l
HTI juga pernah mengadakan konferensi khilafah yang mampu menghadirkan sekitar

100 ribu peserta dimana pada konferensi tersebut dilakukan sebagai medium untuk

meneguhkan komitmen umat Islam terhadap perjuangan penegakan syariah dan khilafah.

Konferensi tersebut dilaksanakan pada 12 agustus 2007 di Gelora Bung Karno, Jakarta.

Hingga sekarang HTI selalu lantang menyuarakan penentangannya terhadap ide-ide yang

mereka anggap merupakan persepsi-persepsi yang salah dan keliru. HTI beraksi dengan

menjelaskan kerusakan dan menampakkan kekeliruan persepsi tersebut dan menjelaskan

ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut. Mereka berhasil merangkum semua kajian

yang ada hubungannya dengan permasalahan masyarakat disertai dengan solusi

pemecahannya dalam bentuk selebaran, booklet, majalan maupun buku.

Dalam kegiatan rekruitmen politik, HTI menerima keanggotaan setiap orang Islam,

baik laki-laki maupun wanita. HTI menjadi wadah bagi aspirasi politik kaum muslimin dan

menyeru mereka untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh

aturan-aturan Islam tanpa memandang kebangsaan, warna kulit, maupun mahzab mereka.

Karena HTI melihat semuanya dari pandangan Islam.

Keberadaan HTI berbeda secara diametral dengan keberadaan NU dan

Muhammadiyah, misalnya, yang merupakan genre keislaman “baru” yang muncul sebagai

akibat dinamika lokal khas Indonesia. Sekalipun akhir-akhir ini terdapat gejala

“transnasionalisasi” NU dan Muhammadiyah dengan munculnya berbagai cabang kedua

organisasi tersebut di sejumlah negara, identitas keduanya secara substansial berbeda dari

HTI. Terlebih jika dikaitkan dengan dimensi core content kedua organisasi ini yang lebih

mengaksentuasi “Islam versi Indonesia,” ideologi transnasionalisme HTI lebih

merepresentasikan pergerakan “sentrifugalisme” Islam, di mana visi politiknya adalah

menyatukan identitas-identitas Islam nasional dan lokal yang berserak di seluruh dunia di

bawah otoritas tunggal Khilafah islamiyah.

li
Doktrin Khilafah islamiyah diakui oleh para aktivis HTI sebagai antitesis ideologis

yang siap menandingi, bahkan mengganti, posisi konsep negara-bangsa (NKRI) yang sudah

dianggap final di Indonesia. Tidak ayal, sinyalemen “menantang” dari kelompok HTI ini

sempat membuat elit sejumlah organisasi sosial-keagamaan, terutama NU, menjadi gerah

dengan menuduhnya sebagai organisasi makar yang hidup dengan mendompleng demokrasi.

2.2 Penelitian Terdahulu

Pada penelitian ini penulis mencantumkan 3 (tiga) hasil relevansi penelitian yang

mempunyai relevansi atau keterkaitan dalam penelitian yang akan dilakukan diantaranya

sebagai berikut :

A. Penelitian I – Ana Sabhana Azmy.FUNDAMENTALISME ISLAM: TELAAH

TERHADAP PEMIKIRAN POLITIK HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI)

Penelitian ini menunukkan bahwa HTI sebagai bagian dari gerakan fundamentalisme

Islam berpandangan bahwa konsep demokrasi yang sudah dikenalkan Barat ke

pemerintahpemerintah Islam, adalah yang ingkar, serta tidak memiliki kaitan dengan Islam.

Demokrasi dikatakan oleh HTI sangat bertentangan dengan hukum Islam. Demokrasi bagi

mereka adalah penyebab negara khilafah tidak dapat didirikan, dan masyarakat muslim tidak

diperkenankan secara sepenuhnya untuk mengangkat, terlebih menjalankan sistem

pemerintahan demokrasi. Khilafah merupakan konsep sentral pemikiran HTI dan merupakan

sistem politik yang harus diimplementasikan lagi oleh masyarakat muslim.

B. Penelitian II –Wahyu Wibisana. KHILAFAH SEBAGAI SYSTEM POITIK :


PELUANG DAN TANTANGANNYA.
Penelitian ini menunjukkan bahwa peluiang untuk mendirikan kembali sistem

khilafah yang ideal yang merupakan satu-satunya kepemimpinan politik umat islam pada

lii
tingkat dunia tentu tetap terbuka karena pada dasarnya umat islam sebagai suatu komunitas

memiliki hak untuk menentukan sendiri identitas maupun aturan-aturan sosialnya

C. Penelitian III –Minan Jauhari , Yayan Sakti Suryandaru , Rahma Sugihartati.

DIALEKTIKA KHILAFAH DAN POLITIK KEBANGSAAN DALAM MEDIA

PUBLIK SIBER

Penelitian ini menunjukkan bahwa realitas keagamaan dalam media publik siber, yang

ditandai dengan munculnya tampilan perdebatan/diskursus tentang khilafah dan politik

kebangsaan. Satu sisi melalui media komunitas media dakwah Islam kaffah ide khilafah ini

menampilkan paham sebagai ajaran Islam yang diyakini kebenarannya serta harus

disampaikan melalui aktifisme dakwah kepada seluruh umat Islam, sehingga hukum-hukum

Allah SWT (syariat Islam) dapat diterapkan secara kaffah. Sementara pemahaman ini

bertentangan dengan paham komunitas keagamaan lain, salah satunya di ekspresikan melalui

media komunitas organisasi NU, yang memberikan pemahaman bahwa khilafah adalah fakta

sejarah, sementara keharusan menerapkan system khilafah dinilai bertentangan dengan

system politik kebangsaan Indonesia.

liii
2.3. Kerangka Pikir

BAGAN KERANGKA PIKIR

Pemikiran HTI Tentang


Demokrasi

Pandangan HTI Terhadap


Demokrasi

Mengembalikan Sistem
Pemerintahan Ideal Menurut HTI

Sistem Khilafah

liv
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Untuk menelaah sekripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif: adalah metode

yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam, peneliti terjun langsung

dan berinteraksi dengan obyek di lapangan serta menggambarkan kondisi atau hasil temuan

masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Jadi tujuan dari

metodologi kualitatif bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara teliti terhadap suatu

masalah yang kemudian data temuannya dideskripsikan.

3.2 Lokasi Penelitian

Bagi Penelitian dilakukan bertempat di kota : kendari. Provinsi : Sulawesi tenggara. Alasan

penelitian ini mengambil lokasi terse but karena tempat ini sesuai dengan tempat tinggal para

informan yang nantinya akan dimintai keterangan terkait masalah penelitian

3.3 Subjek Dan Informan Penelitian

Jumlah yang akan di wawancarai adalah sebanyak 3 (tiga) orang perwakilan dari

mantan aktivis atau pengurus HTI dan akan dilakukan wawancara karena melihat dari tatanan

dan acuan sesaui dengan judul penelitian.

Hanya saja saat Penulis akan melakukan proses wawancara kepada informan terkait

judul penelitian ini para informan menolak untuk diwawancarai. Oleh karena itu penulis

melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing lalu diarahkan untuk melakukan penelitian

dengan menggunakan data sekunder.

lv
3. 4 Jenis Data dan Sumber Data

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang

berhubungan dengan status suatu fenomena yang ada yaitu keaadaan sesuai sebagaimana

adanya pada saat penelitian ini berlangsung.Tujuan penelitian deskriptif ini sendiri adalah

bertujuan untuk membut penjelasan secara terarah dan lebih akurat tentang informasi yang

telah didapat. Adapun sumber data yang digunakan oleh penelitian ini adalah:

-Data Sekunder

Di dalam penelitian peneliti melakukan telaah Pustaka, yang dimana peneliti

mengumpulkankan berbagai data dari peneliti sebelumnya seperti misalnya dalam bentuk

buku, jurnal serta contoh skripsi yang berhubungan dengan masalah penelitian.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Peneliti dalam hal pengumpulan data menggunakan Teknik pengumpulan sebagai

berikut:

A. Dokumentasi

Teknik ini merupakan suatu cara pengumpulan dokumen yang berhubungan dengan

barang-barang tertulis seperti misalnya buku, majalah, serta catatan lainnya yang berhubungn

dengan permasalahan penelitian tersebut. Data yang dihasilkan oleh peneliti ini merupakan

data pelengkap dari data primer.

B. Studi Pustaka

Sebuah informasi dikumpulkan yang didapat melaui jurnal-jurnal, buku maupun

contoh skripsi yang memberikan fasilitas agar peneliti mempermudah mendapatkan informasi

seperti misalnya berita ataudata mengenai teori dengan cepat.

lvi
3.6 Teknik Analisis Data

Dalam tahap Teknik analisis data yang menentukan sebab pada tahap ini yaitu

seorang peneliti lebih mampu menelaah semua data yang didapat baik dari data primer

maupun dari data sekunder.Teknik analis data kualitatif juga dilakukan jika suatu data

empiris yang diperoleh merupakan hasil data kualitatif yang berupa kumpulan berwujud kata-

kata serta juga rangkaian angka dan tidak dapat lagi disusun dalam kategori atau struktur

klasifikasinya.

Analisis data juga bisa dikumpulkan dalam berbagai macam misalnya Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan metode pengolahan data sebagai berikut:

a. Pengecekan (editing) data

Hal ini merupakan agar informasi yang telah diketahui kejelasannya dan hubungannya

dari kumpulan data lainnya. Hal ini diharapkan guna lebih bisa meningkatkan kualitas data

yang hendak diolah dan dianalisis, karena jika data yang dihasilkan berkualitas maka

informasi yang dibuat pun juga ikut berkualitas.

b. Pengelompokan data

Pengelompokan adalah penyusunan dan sistematisasi data-data yang di dapat dari

informan di dalam suatu pola tertentu agar lebih mempermudah pembahasan yang

berhubungan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini setelah semua data-data yang

didapat dan kemudian diperiksa maka data tersebut dikelompokkan berdasarkan kategori

kebutuhan akan data-data penelitian yang dimaksud, yang bertujuan untuk lebih

mempermudah dalam melakukan pembacaan. Hal ini dilakukan agar dalam penyusunan tidak

sulit lagi dalam memahami informasi yang sangat bermacam-macam dari dokumen, media

serta informan penelitian.

lvii
c. Pemeriksaan Data

Setelah pengelompokan data telah dilakukan maka seorang peneliti melanjutkan

melaukan pemeriksaan data yang merupakan sebuah langkah dan kegiatan yang dilakuan

dalam sebuah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi dari lapangan

dan harus dicek ulang agar validitasnya dapat diakui oleh pembaca.Hal seperti ini sangatlah

penting karena mengingat dalam menjawab pertanyaan dalam penelitian atau menguji

hipotesis.

3.7 Definisi konseptual

a. Demokrasi

Demokrasi dapat dipahami secara etimologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani,

yakni Demos dan Kratos. Di mana Demos bermakna rakyat dan Kratos bermakna kekuasaan.

Sehingga demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berasas dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat. Kata kunci yang memang dapat diambil adalah 'sistem pemerintahan dengan

basis rakyat', di mana menjadi ciri khas daripada sistem demokrasi dari sistem-sistem

lainnya.

b. Hizbut tahrir Indonesia (HTI)

 Hizbut tahrir indonesia adalah organisasi politik pan-Islamis, yang menganggap

"ideologinya sebagai ideologi Islam", yang tujuannya membentuk "Khilafah Islam" atau

negara Islam. Kekhalifahan baru akan menyatukan komunitas Muslim (Ummah) dalam

negara Islam kesatuan (bukan federal) dari negara-negara mayoritas Muslim

lviii
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 LATAR BELAKANG BERDIRINYA HTI

Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt :

“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada

kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang

lix
ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali

Imran: 104)

Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang

amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum

kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara

kafir.

Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di

muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.

4.2 TUJUAN HTI

Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam

ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara

Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh kegiatan kehidupannya

diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’.

Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah

naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah

yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan

pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengemban risalah Islam

ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan

kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang. Hizbut Tahrir berusaha untuk

mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat

akan mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini. Dan negara

Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia—sebagaimana yang terjadi pada

masa silam—yakni memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam.

lx
Hizbut Tahrir bertujuan pula untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syari’at) bagi

umat manusia, memimpin umat Islam untuk menentang kekufuran beserta segala ide dan

peraturan kufur, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi.

4.3 KEGIATAN HTI

Kegiatan Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah kondisi

masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam. Hal ini dilakukan dengan mengubah ide-

ide rusak yang ada menjadi ide-ide Islam, sehingga ide-ide ini menjadi opini umum di tengah

masyarakat serta menjadi persepsi bagi mereka. Selanjutnya persepsi ini akan mendorong

mereka untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam.

Juga dengan mengubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan

Islam—yakni ridla terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang

dimurkai dan dibenci oleh Allah—serta mengubah hubungan/interaksi yang ada dalam

masyarakat menjadi hubungan/interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-

hukum dan pemecahan-pemecahan Islam.

Hizbut Tahrir telah muncul dan berkembang, kemudian menyebarluaskan aktivfitas

dakwahnya di negeri-negeri Arab, maupun sebagian besar negeri-negeri Islam lainnya.

Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik. Maksudnya adalah

bahwa Hizbut Tahrir memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum

serta pemecahannya secara syar’i. Karena yang dimaksud politik adalah mengurus dan

memelihara urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-

pemecahannya.

Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam aktifitasnya dalam

mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan Islam,

membebaskannya dari aqidah-aqidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang salah, serta

lxi
persepsi-persepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan

pandangan-pandangan kufur.

Kegiatan politik ini tampak juga dalam aspek pertarungan pemikiran (ash shiro’ul

fikri) dan dalam perjuangan politiknya (al kifahus siyasi). Pertarungan pemikiran terlihat

dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur. Hal itu tampak pula dalam

penentangannya terhadap ide-ide yang salah, aqidah-aqidah yang rusak, atau persepsi-

persepsi yang keliru, dengan cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya,

dan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.

Adapun perjuangan politiknya, terlihat dari penentangannya terhadap kaum kafir

imperialis untuk memerdekakan umat dari belenggu dominasinya, membebaskan umat dari

cengkeraman pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran,

kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.

Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam kegiatannya menentang para penguasa,

mengungkap pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik,

kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya tatkala mereka

mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, melalaikan

salah satu urusan umat, atau menyalahi hukum-hukum Islam.

Seluruh kegiatan politik itu dilakukan tanpa menggunakan cara-cara kekerasan

(fisik/senjata) (laa madiyah) sesuai dengan jejak dakwah yang dicontohkan Rasulullah saw.

Jadi kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat politik, baik

sebelum maupun sesudah proses penerimaan pemerintahan (melalui umat).

Kegiatan Hizbut Tahrir bukan di bidang pendidikan, karena ia bukanlah madrasah

(sekolah). Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk.

Kegiatan Hizbut Tahrir bersifat politik, (yaitu) dengan cara mengemukakan ide-ide (konsep-

lxii
konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan

dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.

Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam

kehidupan dan agar Aqidah Islamiyah menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan undang-

undang. Karena Aqidah Islamiyah adalah aqidah aqliyah (aqidah yang menjadi dasar

pemikiran) dan aqidah siyasiyah (aqidah yang menjadi dasar politik) yang melahirkan aturan

untuk memecahkan problematika manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik,

ekonomi, budaya, sosial, dan lain-lain.

4.4 LANDASAN PEMIKIRAN HTI

Hizbut Tahrir telah melakukan pengkajian, penelitian dan studi terhadap kondisi

umat, termasuk kemerosotan yang dideritanya. Kemudian membandingkannya dengan

kondisi yang ada pada masa Rasulullah saw, masa Khulafa ar-Rasyidin, dan masa generasi

Tabi’in. Selain itu juga merujuk kembali sirah Rasulullah saw, dan tata cara mengemban

dakwah yang beliau lakukan sejak permulaan dakwahnya, hingga beliau berhasil mendirikan

Daulah Islamiyah di Madinah. Dipelajari juga perjalanan hidup beliau di Madinah. Tentu

saja, dengan tetap merujuk kepada Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang ditunjukkan

oleh dua sumber tadi, yaitu Ijma Shahabat dan Qiyas. Selain juga tetap berpedoman pada

ungkapan-ungkapan maupun pendapat-pendapat para Shahabat, Tabi’in, Imam-imam dari

kalangan Mujtahidin.

Setelah melakukan kajian secara menyeluruh itu, maka Hizbut Tahrir telah memilih

dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang berkaitan dengan fikrah

dan thariqah. Semua ide, pendapat dan hukum yang dipilih dan ditetapkan Hizbut Tahrir

hanya berasal dari Islam. Tidak ada satupun yang bukan dari Islam. Bahkan tidak dipengaruhi

oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam.

lxiii
Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-

hukum tersebut sesuai dengan perkara-perkara yang diperlukan dalam perjuangannya—yaitu

untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh

penjuru dunia—dengan mendirikan Daulah Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Ide-

ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut telah dihimpun dalam berbagai buku,

booklet maupun selebaran., yang diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat. Buku-buku itu,

antara lain:

1. Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)

2. Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan dalam Islam)

3. Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam)

4. Nizhamul Ijtima’iy fil islam (Sistem Pergaulan dalam islam)

5. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik)

6. Mafahim Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir)

7. Daulatul Islamiyah (Negara Islam)

8. Al-Khilafah (Sistem)

9. Muqaddimatu ad-Dustur (Pengantar Undang-undang Dasar Negara Islam)

Dan banyak lagi buku-buku, booklet, maupun selebaran yang dikeluarkan oleh Hizbut

Tahrir, baik yang menyangkut ide maupun politik.

4.5 KEANGGOTAAN HTI

Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun

wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih

ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh kaum muslimin dan

menyeru mereka untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh

lxiv
aturan-aturan Islam, tanpa memandang lagi kebangsaan, warna kulit, maupun madzhab

mereka. Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam.

Cara mengikat individu-individu ke dalam Hizbut Tahrir adalah dengan memeluk

Aqidah Islamiyah, matang dalam Tsaqafah Hizbut Tahrir, serta mengambil dan menetapkan

ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Dia sendirilah yang mengharuskan dirinya

menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia melibatkan dirinya dengan (pembinaan

dan aktivitas dakwah) Hizbut Tahrir; ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan ketika

dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizbut Tahrir.

Jadi, ikatan yang dapat mengikat anggota Hizbut Tahrir adalah Aqidah Islamiyah dan

Tsaqafah Hizbut Tahrir yang terlahir dari aqidah ini. Halaqah-halaqah (pembinaan) wanita

dalam Hizbut Tahrir terpisah dengan halaqah laki-laki. Yang memimpin halaqah-halaqah

wanita adalah para suami, mahramnya, atau para wanita.

4.6 PEMIKIRAN HTI TENTANG DEMOKRASI

Demokrasi yang telah dijajakan negara Barat kafir ke negeri-negeri Islam,

sesungguhnya adalah sistem kufur. Ia tidak punya hubungan sama sekali dengan Islam, baik

langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum

Islam dalam garis besar maupun rinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang

melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang

dibawanya. Karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak mengambil, menerapkan

dan menyebarluaskan demokrasi. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat

manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezhaliman dan penindasan para

penguasa terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang

bersumber dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.

Demokrasi merupakan lafal dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan

pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik

lxv
kedaulatan, yang berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan menjalankan

kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan siapapun, selain

kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan undang-undang sendiri —karena

mereka adalah pemilik kedaulatan— melalui para wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat

berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat, melalui para

penguasa dan hakim yang mereka pilih dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat,

karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat —sebagaimana individu

lainnya— berhak menyelenggarakan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan

dan undang-undang. Menurut konsep dasar demokrasi —yaitu peme-rintahan yang diatur

sendiri oleh rakyat— seluruh rakyat harus berkumpul di suatu tempat umum, lalu membuat

peraturan dan undangundang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta

memberi keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.

Namun karena tidak akan mungkin mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat agar

seluruhnya menjadi sebuah lembaga legislatif, maka rakyat kemudian memilih para wakilnya

untuk 8 menjadi lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan Dewan Perwakilan,

yang dalam sistem demokrasi dikatakan mewakili kehendak umum rakyat dan merupakan

penjelmaan politis dari kehendak umum rakyat. Dewan ini kemudian memilih pemerintah

dan kepala negara —yang akan menjadi penguasa dan wakil rakyat dalam pelaksanaan

kehendak umum rakyat. Kepala negara tersebut mengambil kekuasaan dari rakyat yang telah

memilihnya, untuk memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang yang dibuat oleh

rakyat. Dengan demikian, rakyatlah yang memiliki kekuasaan secara mutlak, yang berhak

menetapkan undang-undang dan memilih penguasa yang akan melaksanakan undang-undang

tersebut.

Kemudian, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat

melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna —baik

lxvi
dalam pembuatan undang-undang dan peraturan maupun dalam pemilihan penguasa— tanpa

disertai tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi prinsip yang harus

diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian rakyat akan dapat

mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa

tekanan atau paksaan. Kebebasan individu ini nampak dalam empat macam kebebasan

berikut ini :

1. Kebebasan Beragama.

2. Kebebasan Berpendapat.

3. Kebebasan Kepemilikan.

4. Kebebasan Bertingkah Laku.


Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas

ideologi Kapitalisme. Aqidah ini merupakan jalan tengah yang tidak tegas, yang lahir dari

pergolakan antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para filosof dan pemikir.

Saat itu para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama sebagai alat mengeksploitasi dan

menzhalimi rakyat, serta alat untuk menghisap darah mereka. Ini disebabkan adanya suatu

anggapan bahwa raja dan kaisar adalah wakil Tuhan di muka bumi. Para raja dan kaisar itu

lalu memanfaatkan para rohaniwan sebagai tunggangan untuk menzhalimi rakyat, sehingga

berkobarlah pergolakan sengit antara mereka dengan rakyatnya.

Jelaslah bahwa aqidah tersebut telah menjauhkan agama dan gereja dari kehidupan

bernegara, yang selanjutnya menjauhkan agama dari pembuatan peraturan dan undang-

undang, pengangkatan penguasa dan pemberian kekuasaan kepada penguasa. Oleh karena itu,

rakyat harus memilih peraturan hidupnya sendiri, membuat peraturan dan undang-undang,

dan mengangkat penguasa yang akan memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-

undang tersebut, serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum mayoritas

lxvii
rakyat. Dari sinilah sistem demokrasi lahir. Jadi, ide pemisahan agama dari kehidupan adalah

aqidah yang telah melahirkan demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang

mendasari seluruh ide-ide demokrasi. Demokrasi berlandaskan dua ide :

1. Kedaulatan di tangan rakyat.


2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.

Kedua ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka

melawan para kaisar dan raja, untuk menghapuskan ide Hak Ketuhanan (Divine Rights) yang

menguasai Eropa waktu itu. Atas dasar ide itu, para raja menganggap bahwa mereka

memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat dan hanya merekalah yang berhak membuat peraturan

dan menyelenggarakan pemerintahan serta peradilan. Raja adalah negara. Sementara itu

rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam

pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat

berkedudukaan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat dan kehendak, melainkan hanya

berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa dan melaksanakan perintah. Lalu

disebarkanlah dua ide landasan demokrasi tersebut untuk menghancurkan ide Hak Ketuhanan

secara menyeluruh, dan untuk memberikan hak pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa

kepada rakyat. Dua ide tersebut didasarkan pada anggapan bahwa rakyat adalah ibarat tuan

pemilik budak, bukan budak yang dikuasai tuannya. Jadi rakyat ibarat tuan bagi dirinya

sendiri, tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat harus memiliki

kehendaknya dan melaksanakannya sendiri. Jika tidak demikian, berarti rakyat adalah budak,

sebab perbudakan artinya ialah kehendak rakyat dijalankan oleh orang lain. Maka apabila

rakyat tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti rakyat tetap menjadi budak. Maka

untuk membebaskan rakyat dari perbudakan ini, harus dianggap bahwa rakyat saja yang

berhak menjalankan kehendaknya dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya, atau

menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya. Sebab, rakyat adalah

lxviii
pemilik kedaulatan yang mutlak. Rakyat harus dianggap pula berhak melaksanakan peraturan

yang ditetapkannya, serta memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan yudikatif)

yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang dikehendaki rakyat. Sebab, rakyat

adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-

anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat.

Penetapan peraturan dan undang-undang, pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada

pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas. Demikian

pula penetapan semua keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh

dewan, lembaga, dan organisasi lainnya, ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Pemilihan

penguasa oleh rakyat baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula

berdasarkan suara mayoritas pemilih dari rakyat. Oleh karena itu, suara bulat (mayoritas)

adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas menurut demokrasi

merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang

sebenarnya.

Dari penjelasan ringkas tersebut, nampak jelaslah poin-poin berikut ini :

1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi

tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan agama mana

pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasulNya.

2. Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya

melahirkan pemisahan agama dari negara.

3. Demokrasi berlandaskan dua ide :

a. Kedaulatan di tangan rakyat.

lxix
b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.

4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota

dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua

keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.

5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu :

a. Kebebasan Beragama (freedom of religion)

b. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)

c. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)

d. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom).

Dalam Islam, musyawarah bukanlah segalanya dalam cara pengambilan keputusan.

Ini karena terdapat beberapa hal yang tidak bisa dikompromikan, seperti masalah keimanan

dan syariat. Kelima, kekuasaan pemimpin (khalifah). Khalifah merupakan sosok yang

memimpin masyarakat muslim, yang bisa dipilih dan diangkat ummat. Dia merupakan wakil

dari masyarakat muslim dalam menjalankan syari’at Allah. Namun, dia ia juga memiliki hak

untuk melegislasi hukum syara’ dan menjadikan hukum syara’ bagi seluruh kaum muslimin.

Pembagian kekuasaan sebagaimana dalam sistem demokrasi, tidak relevan, bahkan

bertentangan dengan Islam. Keenam, majelis Ummah/Syura. Majelis ini adalah wakil ummah

yang dipilih dari kalangan ummat guna menyampaikan pendapat ummat. Namun majelis ini

bukan seperti lembaga legislatif, karena ia tidak menetapkan hukum.

Demokrasi dikatakan memang tidak sealur dengan hukum-hukum Islam, global dan

partikular. Perdebatan antara keduanya terlihat pada titik kehadirannya, akidah yang

melahirkannya, basis yang menjadi dasarnya, juga sejumlah pikiran yang dihasilkan.

lxx
Karenanya, masyarakat muslim tidak diperbolehkan sama sekali untuk menyentuh, apalagi

menjalankan dan mensosialisasikan demokrasi

Bagi HTI, demokrasi menjadi penghambat bagi terwujudnya khilafah. Ada sejumlah

point yang menjadi penghambat bagi HTI mewujudkan khilafah, dimana semua pointnya

adalah dari Barat. Pertama, merebaknya pemikiran non Islami dan aktivitas ghazw al-fikr

oleh musuh-musuh Islam. Ketika mengalami kelemahan bernalar, umat Islam dikuasai oleh

pemikiran non Islami yang berpangkal pada nalar yang salah. Hal ini berakhir pada pikiran

yang kosong, dan karenanya umat Islam harus dicerahkan dengan dakwah politik, dengan

kata lain umat Islam harus disadarkan untuk membentuk khilafah. Kedua, adanya kurikulum

dan metode operasional pendidikan yang diletakkan di Barat, baik di sekolah maupun

perguruan tinggi. Akhirnya, produk pendidikan dari lembaga tersebut mempersepsikan Islam

seperti yang diharapkan oleh Barat. Ketiga, kontinuitas kurikulum pendidikan Barat. Hal ini

menjadikan mayoritas lulusannya bergerak ke arah yang berlawanan dari Islam. Keempat,

pengagungan terhadap ilmu-ilmu sosial, psikologi, dan pendidikan. Ilmu-ilmu tersebut

digunakan sebagai solusi bagi masalah kehidupan manusia, dibanding al-Qur’an dan hadist.

Dalam menolak demokrasi, HTI mengikuti pendapat yang disampaikan pendahulunya

di Timur Tengah, yaitu ‘Abd al-Wadim Zallum. Baginya dan juga HTI, sistem demokrasi

adalah sistem kufur/non Islam yang bertentangan dengan Islam. Argumennya antara lain

adalah; karena konsep demokrasi merupakan buatan fikiran manusia, bukan buatan Allah; hal

tersebut adalah bagian yang menyatu dari akidah pemahaman sekuler; pada ajaran nilai

Islam, dalam Islam itu sendiri, kepemimpinan/ kekuasaan berada di tangan syari’at bukan

pada rakyat; di dalam ajaran Islam pula, nilai yang mengacu pada mayoritas tidak

mempunyai hal yang signifikan, karena hanya teks-teks syari’at; juga nilai kebebasan

sebagaimana bebas untuk menjalankan agama dalam Islam, menurutnya tidak hadir, karena

orang murtad yang tidak bertaubat dalam fiqh harus dihukum mati.

lxxi
Sejumlah keburukan demokrasi bisa disederhanakan sebagai berikut:

(1) pihak yang menganut konsep demokrasi di negara Barat sudah tidak baik, dan ini

karena konsep kebebasan berprilaku

(2) Sikap menjajah Barat melalui konsep demokrasi, menghadirkan sejumlah musibah

dan penyusutan sejumlah bangsa yang terperangi dan mempunyai keterbelakangan

(3) konsep demokrasi dalam artian hakiki, tidak dapat diimplementasikan

(4) apa yang dikatakan oleh pihak yang mengikuti dan meyakini demokrasi adalah

tidak dapat dipercaya dan membuat sesat ketika menyatakan bahwa legislatif merupakan

representasi dari kemauan masyarakat luas, wujud secara politis keinginan general

masyarakat kebanyakan, serta mewakili aspirasi masyarakat kebanyakan

(5) kecacatan dalam demokrasi dapat dilihat dari hal yang mempunyai koneksi atas

kekuasaan, serta orang yang berkuasa. Adalah sebuah keanehan, ketika semua keburukan

demokrasi telah terjadi, Barat ternyata mampu mewujudkan tempat untuk konsep atau nilai

demokrasi yang tidak baik tersebut di negara-negara muslim.

Atas dasar semua itu, kaum muslim haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi

serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Kaum muslim haram pula

menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya sebagai asas bagi

konstitusi dan undang-undang, atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang, atau

sebagai asas bagi system Pendidikan dan penentuan tujuannya.

Sebaliknya, kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnhya karena

demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut. Demokrasi adalah system kufur yang

mengandung berbagai ide, peraturan dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada

hubungannya dengan islam sama sekali.

lxxii
HTI MENOLAK DEMOKRASI

Sikap dan pandangan HTI terhadap demokrasi dipengaruhi oleh tokoh utama dan

pendirinya, terutama Taqiyuddin Nabhani dan Abdul Qadim Zallum. Dari pandangan kedua

orang tersebut, HT secara organisatoris berpendapat bahwa kaidah yang ada dalam demokrasi

tidak dikenal dalam islam, sehingga penggunaan istilah tersebut dapat menimbulkan

kerancuan interpretasi, yang berpotensi bertentangan dengan islam. Ketidaksesuaian utama

antara islam dan demokrasi ialah pada prinsip kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, apa-apa

yang diinginkan rakyat ialah sumber hukum, sementara dalam islam, sumber hukum

hanyalah dari Allah. Oleh karena itulah HT memandang demokrasi sebagai sistem yang kufur

karena tidak bersumber dari islam.

Secara politik, HT berpendapat demokrasi adalah kedok bagi negara-negara kafir barat

untuk melakukan penjajahan kepada negeri-negeri muslim, dengan demikian siapa pun yang

mendukung demokrasi berarti turut mendukung upaya kolonialisasi negara barat. Terlibat

dalam demokrasi juga berarti menunda-nunda tujuan menciptakan sistem politik dan

pemerintah yang berlandaskan islam. Konsekuensi dari sikap tersebut ialah HT menolak

berpartisipasi dalam demokrasi. Sikap ini berlaku di seluruh cabang-cabang HT di negara

mana pun. Agenda politik utama HT ialah merombak keseluruhan sistem demokrasi yang

berlaku, dan menggantinya dengan sistem yang sesuai dengan ketentuan islam dengan Al

Qur’an sebagai pedoman hukum.

Selain pengaruh pemikiran Taqiyuddin Nabhani dan Abdul Qadim Zallum, HT juga

sepertinya dipengaruhi oleh pandangan pemikir islam lain, terutama Sayid Quthb dan Al

Maududi. Pengaruh Quthb, yang merupakan salah satu tokoh IM, nampak pada pandangan

HT mengenai istilah demokrasi dan sumber kedaulatan. Bagi Quthb, seorang muslim harus

meletakan islam diatas semua ideologi buatan manusia, karena semua buatan manusia

lxxiii
bersifat temporal dan dapat berubah sewaktu-waktu, sementara ajaran islam, yang

didalamnya telah mengatur segala urusan, berlaku sepanjang masa. Pandangan mengenai

kedaulatan oleh Quthb senada dengan Al Maududi. Menurutnya, pengakuan terhadap

kedaulatan rakyat sebagai sumber hukum berarti mengesampingkan kekuasaan Tuhan. Oleh

karena itu, Al Maududi menyebut kedaulatan rakyat dalam demokrasi adalah sesuatu yang

menyekutukan Tuhan, atau bahkan meniadakan Tuhan sama sekali.

Secara prinsipil, HTI tidak bisa menerima kedaulatan rakyat dalam demokrasi, yang

dianggap mengesampingkan, atau bahkan menghilangkan sama sekali kedaulatan Tuhan.

Sikap ini sarat dengan muatan ideologis, terutama nilai-nilai ketauhidan

4.7 PEMIKIRAN HTI TENTANG POLITIK

Konsep Politik Luar Negeri

- Hubungan antar Negara Berdasarkan syariah islam

Tidak bisa disangkal, meski secara teoritis politik luar negeri Indonesia dilakukan

dengan prinsip bebas dan aktif serta turut serta menciptakan perdamaian dunia, tapi selama

beberapa dekade terakhir politik luar negeri Indonesia senantiasa tunduk kepada kepentingan

Amerika Serikat. Semua itu dilakukan dengan mengorbankan kepentingan rakyat, khususnya

umat Islam. Padahal, yang dipakai oleh pemerintah untuk melayani kepentingan AS adalah

sumberdaya milik rakyat. Daulah Khilafah akan mengakhiri politik luar negeri yang penuh

nuansa kelemahan dan ketertundukan ini, diganti dengan pola baru dengan dasar Islam.

Berdasarkan syariah Islam, Khilafah akan membangun hubungan dengan negara-negara lain

baik di bidang ekonomi, politik, budaya atau pendidikan. Dalam seluruh urusan luar negeri,

Khilafah akan memastikan bahwa dakwah Islam bisa disampaikan kepada seluruh umat

manusia dengan cara yang terbaik.

Adapun hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara lain akan dibangun dengan

pola sebagai berikut:

lxxiv
a. Hubungan dengan penguasa negeri-negeri Muslim

Negeri Muslim adalah wilayah Islam yang dikuasai oleh penjajah pasca kehancuran

Khilafah Utsmaniyah. Dalam pandangan Islam, menyatukan negeri-negeri Muslim dalam

satu kepemimpinan merupakan sebuah kewajiban. Inilah mengapa Khilafah tidak

menganggap hubungan dengan negeri-negeri Muslim tersebut sebagai bagian dari politik luar

negeri. Khilafah akan melakukan berbagai upaya keras untuk menyatukan kembali negeri-

negeri ini menjadi sebuah negara di bawah bendera Daulah Khilafah.

b. Hubungan dengan negara-negara Kafir

Pertama, negara yang menduduki wilayah Islam, atau negara yang terlibat secara

aktif memerangi umat Islam seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan India. Hubungan

dengan negara-negara ini ditetapkan berdasarkan kebijakan Harbi Fi’lan (perang riil). Tidak

boleh ada hubungan diplomatik maupun ekonomi antara Khilafah dengan negara-negara

musuh ini. Warga negara mereka tidak diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah. Meski

tengah terjadi gencatan senjata yang bersifat temporer, negara-negara itu tetap diperlakukan

sebagai harbi fi’lan. Hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara tersebut tetap

tidak dilakukan.

Kedua, negara-negara Kafir yang tidak menduduki wilayah Islam, atau tidak sedang

memerangi umat Islam, akan tetapi mereka mempunyai niat menduduki wilayah Islam.

Khilafah tidak menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir

seperti ini. Tapi warga negaranegara tersebut diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah

dengan visa sekali jalan (single entry).

Ketiga, negara-negara Kafir selain kedua kategori di atas. Terhadap negara-negara

seperti ini, Khilafah diizinkan membuat perjanjian. Sambil terus mengamati skenario politik

internasional, Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan

dakwah Islam. Di samping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara

lxxv
Kafir jenis ini harus dilakukan sesuai dengan syariah Islam. Daulah Khilafah yang menguasai

sumberdaya minyak, gas dan aneka mineral yang melimpah serta memiliki kekuatan militer

yang tangguh, kedudukan yang strategis di dunia, visi politik yang cemerlang, pemahaman

tentang situasi politik internasional yang mendalam serta umat yang dinamis, akan mampu

menghindari isolasi politik internasional dan terus berupaya meraih kedudukan sebagai

negara terkemuka di dunia.

-Khilafah akan menyebarkan Islam ke Seluruh Dunia dengan Dakwah dan Jihad

Makna jihad adalah bersungguh-sungguh meninggikan Islam sebagai agama yang

paling tinggi dengan jalan ikut serta dalam peperangan atau membantu pelaksanaan

peperangan secara langsung, baik dengan harta maupun ucapan. Jihad merupakan metode

praktis untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Saat ini, di tengah ketiadaan Daulah Khilafah dan jihad, Islam telah menyusut menjadi

sekadar sekumpulan teori yang indah. Tapi teori indah ini tidak ditemukan implementasinya

secara nyata di tengah kehidupan masyarakat. Bagi kalangan non-Muslim, dakwah Islam

akan memberi mereka sebuah kesempatan untuk merasakan kehidupan di dalam sebuah

masyarakat Islam, sehingga mereka bisa memahami bahwa Islam adalah satu-satunya agama

yang benar dan yang akan memberikan kebaikan atau rahmat juga kepada mereka. Maka,

Islam wajib diterapkan oleh sebuah negara, kemudian disebarkan ke seluruh penjuru dunia

dengan jihad. Inilah metode dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’

ur-Rasyidin sesududahnya.

-Tanggung Jawab Umat Islam untuk Membebaskan Umat Manusia dari penindasan

Allah SWT mengutus Rasulullah Muhammad saw ke dunia untuk menjadi rahmat bagi

seluruh alam semesta. Maknanya, syariah Islam yang dibawa Rasulullah saw merupakan

rahmat bagi seluruh umat manusia di dunia. Jadi, syariah Islam tidak hanya diperuntukkan

bagi umat Islam saja, tapi juga non-Muslim. Adalah tanggung jawab Khilafah Akan

lxxvi
Menyebarkan Islam ke Seluruh Dunia dengan Dakwah dan Jihad Tanggung Jawab Umat

Islam untuk Membebaskan Umat Manusia dari Penindasan Politik “Minimum Deterrence”

Bertentangan dengan Islam: Khilafah Akan Mengupayakan Kekuatan Militer Secara Penuh

umat Islam untuk membebaskan seluruh umat manusia dari penindasan akibat sistem,

perundang-undangan dan tradisi sekuler menuju kerahmatan Islam.

Banyak contohnya. Bila kaum sudra, sebuah kasta paling rendah dalam masyarakat

Hindu, dianggap lebih buruk daripada hewan, maka tentu saja sistem seperti ini tidak bisa

ditoleransi lagi karena merendahkan martabat manusia sebagai makhluk Allah SWT. Contoh

lain, penindasan yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional Amerika Serikat, yang

mengeksploitasi harta dan darah warga negara AS untuk berperang dengan berbagai alasan,

padahal yang sebenarnya adalah demi kepentingan bisnis mereka. Penindasan-penindasan

semacam itu dilegalisasi dengan keputusan politik, regulasi, dan opini.

Begitulah, ketika umat manusia diatur dengan sistem, perundang-undangan dan tradisi

yang tidak berasal dari Allah SWT, maka penindasan demi penindasan terus terjadi. Allah

SWT. berfirman: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,

Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maaidah [5]: 44) Khilafah tidak

hanya akan membebaskan umat Islam tetapi juga seluruh umat manusia dari segala bentuk

penindasan. Berbagai rintangan fisik yang menghalangi orang-orang yang tertindas itu dari

rahmat Islam akan disingkirkan melalui kekuatan jihad.

-Politik “Minimum Deterrence” Bertentangan dengan Islam: Khilafah Akan

Mengupayakan Kekuatan Militer Secara Penuh

Kebijakan militer Indonesia ditetapkan berdasarkan prinsip pertahanan defensif, dan

karena itu berkembanglah wacana tentang politik “minimum deterrence”, yaitu kebijakan

pengurangan kekuatan militer sampai pada tingkatan yang sekadar cukup untuk pertahanan.

Politik “minimum deterrence” merupakan salah satu produk ideologi Kapitalisme yang tidak

lxxvii
bisa dipisahkan dari ide negara bangsa. Ide tersebut memandang, bahwa tiap bangsa

hendaknya tetap mempertahankan kedudukan mereka di dalam batas-batas teritorialnya, dan

tidak berusaha memperluas wilayahnya dengan mencaplok wilayah negara lain atas nama

slogan “hidup bersama dalam damai”.

Negara-negara Barat mengatakan, bahwa konsep tersebut harus dijunjung tinggi

untuk menjamin terwujudnya kerjasama dan keadilan antar bangsa-bangsa di dunia. Tetapi,

faktanya menunjukkan bahwa Barat memanfaatkan ide tersebut untuk mempertahankan

kedudukannya sebagai negara terkemuka dan melanggengkan hegemoninya atas negara-

negara lain dalam pentas politik internasional. Maka, secara praktis mereka bisa terus

mempertahankan pengaruhnya di dunia melalui superioritas kekuatan militernya. Jadi,

konsep “minimum deterrence” hanya diperuntukkan bagi negaranegara lain, bukan Amerika

Serikat. Mereka menipu dunia dengan menamakan kantor urusan militer dengan sebutan

“Departemen Pertahanan” atau “Kementerian Pertahanan”, meski realitasnya adalah

“Departemen Perang” atau “Kementerian Perang”, di mana mereka mengembangkan

kekuatan militer secara maksimal untuk terus menyerang, menindas, dan menjajah negara

lain. Apa yang kini terjadi di Irak dan Afghanistan adalah bukti nyata. Karena itu, Khilafah

tidak akan mengadopsi politik “minimum deterrence” karena bertentangan dengan firman

Allah SWT: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu

sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)

kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu

tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada

jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya

(dirugikan)” (Qs. al-Anfaal [8]: 60)

Ayat ini memerintahkan kepada umat Islam untuk mewujudkan kekuatan militer yang

tangguh dan menggunakannya secara penuh dalam berbagai kesempatan, yang tidak hanya

lxxviii
membuat umat Islam mampu menghadapi negara-negara adidaya, tetapi juga mampu menjadi

negara adidaya di dunia.

-Khilafah Akan Membatalkan Perjanjian-perjanjian Militer yang Menguntungkan

Kepentingan Asing

Indonesia telah mengadakan perjanjian-perjanjian militer dan politik dengan Amerika

Serikat dan negara-negara kolonialis lainnya. Konsekuensinya, kekuatan intelejen, militer dan

kepolisian Indonesia, juga negara Muslim lain yang memilik perjanjian serupa, justru

dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk melemahkan dan menindas kekuatan umat yang

berpotensi mengancam kepentingan AS.

Karenanya, Islam melarang pakta atau kerjasama militer dan segala macam perjanjian dan

kerjasama apa pun yang memberi peluang kepada orang-orang Kafir untuk menguasai umat

Islam dan mengancam keamanan Daulah Khilafah. Allah SWT telah menyatakan dalam Al

Quran: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk

memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nisaa’ [4]:141

-Diplomat Negara Asing Tidak Boleh Bertemu dengan Pejabat Khilafah

Dalam sistem yang berlaku di Indonesia sekarang ini, terjadi campur tangan yang

sangat luas dan sangat mendalam dari negara-negara kolonialis, terutama Amerika Serikat

dan Inggris terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Hal ini terjadi karena para duta besar

dari negara-negara kolonialis berikut staf-staf mereka bisa bebas bertemu langsung dengan

siapapun dari pejabat tinggi negara. Mereka bebas bertemu dengan Ketua KPU, Panglima

Angkatan Bersenjata, Ketua MPR atau DPR, para ketua partai, bahkan juga bebas bertemu

dengan para pimpinan organisasi dan kelompok Islam. Kebebasan seperti ini tentu dengan

lxxix
mudah disalah gunakan untuk memperlancar misi rahasia mereka di negeri ini. Dalam Daulah

Khilafah, tanggung jawab negara adalah mengurusi kepentingan umat.

Peran umat dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri sesungguhnya terbatas pada

upaya meminta pertanggungjawaban Khalifah, yakni seberapa jauh Khalifah telah

melaksanakan tugas-tugasnya.

Maka, para diplomat asing berikut staf mereka tidak diizinkan menemui para politisi dan

para pimpinan partai politik. Hanya pejabat dari departemen luar negeri Khilafah saja yang

diizinkan melakukan kontakkontak dengan para diplomat asing dan para stafnya itu. Dengan

cara inilah Khilafah bisa membendung upaya negara-negara kafir untuk mengintervensi

urusan dalam negeri dan menutup peluang untuk mendapatkan agen bagi kepentingan mereka

yang berasal dari dalam lingkaran kekuasaan serta menciptakan suasana kacau di dalam

negeri.

-Khilafah Tidak Akan Meminta Bantuan AS, Inggris, ataupun Negara-negara

Kolonialis Lainnya untuk Menyelesaikan Masalah umat islam

Saat ini sudah menjadi kebiasaan penguasa di negerinegari Muslim, termasuk Indonesia,

kerap meminta bantuan negara-negara imperialis seperti AS dan negera Barat lain untuk

menyelesaikan persoalan di negara itu, sebagaimana dalam kasus Timor Timur, Aceh, Papua,

Kashmir, dan Palestina. Padahal, negara-negara kolonialis tersebut nyata-nyata memusuhi

umat Islam dan terus berusaha untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Selain itu, hampir

seluruh persoalan yang mendera negeri-negeri Islam saat ini sesungguhnya adalah persoalan

yang sengaja diciptakan oleh negera-negara kolonialis. Para penguasa itu meminta bantuan

negara-negara kolonialis sesungguhnya juga demi untuk terus memelihara dukungan negara

itu untuk kekuasaannya, karena mereka paham tanpa dukungan negara-negara itu kekuasaan

mereka akan mudah roboh.

lxxx
Karena itu, Khilafah tidak akan pernah meminta bantuan kepada negara-negara

kolonialis yang memusuhi dan memerangi umat Islam untuk menyelesaikan persoalan umat

Islam. Allah SWT. berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang

mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang

diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut. Padahal mereka telah

diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)

penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 60) Rasulullah saw. juga bersabda:

“Janganlah kalian mencari penerangan dengan api kaum Musyrik.” (Hr. an-Nasa’i)

-Saat Ini Umat Membutuhkan Politik Luar Negeri yang Berlandaskan Islam

Saat ini urusan masyarakat internasional didominasi oleh kekuatan-kekuatan

kolonialis, yaitu negara-negara Kapitalis yang terus-menerus memperkuat cengkeramannya

dan menciptakan konflik di berbagai belahan dunia. Negaranegara kolonialis memicu

terjadinya peperangan demi kepentingan eksploitasi sumberdaya dunia dan memperbudak

bangsa-bangsa di dunia. Adapun, kebijakan luar negeri Daulah Khilafah tidak berorientasi

pada kepentingan materi, tetapi kepentingan dakwah, yakni misi untuk mengeluarkan seluruh

umat manusia dari gelapnya kekufuran menuju terangnya cahaya Islam. Allah SWT.

Berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiya [21]: 107

B. KONSEP POLITIK DALAM NEGERI

-Kewarganegaraan Tanpa Diskriminasi

Allah SWT. berfirman dalam al-Quran: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu

(Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiya [21]:

107) Islam diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta. Kerahmatan itu

diwujudkan dengan menciptakan kebaikan untuk semua melalui kemampuan syariah Islam

dalam memecahkan seluruh persoalan hidup manusia di dunia tanpa membeda-bedakan

lxxxi
agama, mazhab, bangsa, ras, maupun jenis kelamin. Karena itu, di dalam Daulah Khilafah

seluruh warga negara akan mendapatkan perlindungan atas jiwa, harta dan kehormatan tanpa

diskriminasi.

Di bawah naungan sistem Islam, umat Islam dan non Muslim bisa hidup bersama secara

harmonis selama berabadabad. Masing-masing warga negara, baik Muslim maupun non-

Muslim, dapat mengemukakan pendapatnya tentang penyimpangan pelaksanaan syariah

Islam atau tindak kedzaliman yang dilakukan penguasa atas diri mereka. Ketika Khalifah

Umar bin Khaththab ra menyampaikan kepada orang-orang Kristen bahwa pasukan Muslim

tidak mampu melindungi mereka dari serangan pasukan Romawi, dan karenanya jizyah akan

dikembalikan, maka orang-orang Kristen Syam meminta agar jizyah tidak perlu

dikemballikan, dan mereka akan berdoa untuk kemenangan umat Islam atas pasukan Romawi

yang juga beragama Kristen.

Pada abad kelima belas, orang-orang Yahudi Spanyol yang saat itu terusir akibat politik

inkuisisi pasukan Kristen di sana, dipersilakan untuk mendirikan tempat tinggal, beribadah di

Sinagog dan mendapatkan ajaran Yahudi di wilayah Daulah Khilafah. Dalam bidang

kedokteran, dokter-dokter Yahudi dari sekolah kedokteran Salanca dipekerjakan oleh

Khalifah di rumah sakit negara. Dalam bidang industri, banyak perusahaan kaca dan

kerajinan logam yang didominasi oleh orang-orang Yahudi. Sedangkan dalam bidang

perdagangan, para pedagang Yahudi, karena pengetahuan mereka yang luas tentang bahasa-

bahasa asing, telah membuat Khilafah sebagai kompetitor yang sangat diperhitungkan oleh

para pedagang dari Venesia. Demikianlah, Khilafah telah menjadi contoh yang sangat baik

tentang bagaimana menciptakan kehidupan dalam masyarakat heterogen yang aman, damai,

adil, dan sejahtera.

-Daulah Khilafah bukan Negara polisi

lxxxii
Keberadaan polisi sangat penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban di dalam

negeri. Tetapi, dalam sistem yang berlaku saat ini, polisi dan “budaya penjara” telah berubah

menjadi sebuah beban tersendiri bagi masyarakat. Bukan karena keberadaan anggota

kepolisian itu sendiri, tapi sistem kepolisian yang diwariskan oleh penjajah itulah yang

menimbulkan beban buat masyarakat. Kenyataan sekarang, Polisi dirasakan tidak

memberikan rasa aman tapi justru menjadi ancaman yang menimbulkan kegelisahan pada

masyarakat. Ada ungkapan, “kalau Anda melapor kehilangan kambing kepada polisi, maka

bersiaplah Anda akan kehilangan sapi”. Maksudnya, berurusan dengan polisi bukan

menyelesaikan masalah tapi malah akan menambah masalah. Pada masa Orde Baru, polisi

malah bertindak mematai-matai rakyat. Siapa saja yang berpikiran dan bertindak yang

bertentangan dengan kehendak penguasa ketika itu pasti akan segera ditangkap.

Mengingat tugasnya yang demikian penting untuk menjaga keamanan rakyat dan

melindungi kehormatan, harta dan jiwa seluruh warga negara, bukan untuk memata-matai

dan menimbulkan rasa takut, maka Khilafah akan menempatkan kepolisian dengan tepat.

Khilafah tidak hanya akan memberikan perlengkapan dan pelatihan secara memadai, tapi

juga akan memberi gaji yang layak sehingga anggota kepolisian akan merasa tenang dalam

bertugas serta tidak perlu melakukan tindakan tercela untuk sekadar menambah penghasilan.

Dengan suasana hidup Islami, polisi akan bekerja bukan karena sekadar mendapat gaji, tapi

lebih dari itu, semata-mata karena mengharap keridhaan Allah SWT.

-Penyatuan Negeri-negeri Islam

Khilafah adalah sebuah sistem negara kesatuan, yang akan menyatukan kembali negeri-

negeri Muslim yang membentang dari wilayah Maroko, yang berada di sebelah Barat, hingga

Merauke di Indonesia yang berada di Timur. Insya Allah, Daulah Khilafah akan menjadi

sebuah negara yang paling besar dan paling kaya sumberdaya di dunia.

lxxxiii
Tentang kewajiban untuk mewujudkan kesatuan negerinegeri Muslim, tampak dari

perintah Rasulullah saw. untuk hanya berbai’at kepada seorang Khalifah dalam satu waktu:

“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali

seorang nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi

setelahku, (tetapi) nanti akan ada banyak khalifah. Para sahabat bertanya: ‘Apa yang engkau

perintahkan kepada kami?’ Beliau menjawab: Penuhilah baiat yang pertama, lalu yang

pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka, karena Allah nanti akan meminta

pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang telah diserahkan kepada mereka untuk

mengurusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Hurairah). Begitu seorang Khalifah dibai’at untuk

memimpin sebuah negeri atau gabungan sejumlah negeri yang kuat, Khilafah akan segera

merencanakan program unifikasi atau penyatuan kembali negeri-negeri Muslim menjadi satu

negara. Umat yang bersatu di bawah satu negara akan mempunyai sumberdaya alam, jumlah

penduduk, luas wilayah, serta jumlah tentara yang jauh lebih besar daripada negara lain

manapun yang ada di dunia.

-Pembebasan Negeri-negeri Muslim

Rasulullah saw. menggambarkan Khalifah sebagai perisai bagi umat Islam melalui

sabdanya: “Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah (seperti) perisai; orang-orang

berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (Hr. Muslim) Penggambaran seperti

itu menunjukkan berbagai manfaat dari adanya Khalifah. Bukan hanya itu, hadits tersebut

juga menunjukkan bahwa ketiadaan khalifah akan menyebabkan terjadinya kemudharatan

bagi umat Islam. Maka, Daulah Khilafah akan berusaha untuk membebaskan negeri-negeri

Muslim yang terjajah seperti Palestina, Kashmir, Irak, dan Afghanistan. Daulah Khilafah juga

akan menggagalkan berbagai upaya, baik yang dilakukan agen-agen asing di dalam negeri

maupun rekayasa negara-negara Kafir, untuk menciptakan konflik di negeri-negari Muslim

dan upaya memecah belah umat Islam.

lxxxiv
Selama berabad-abad, Khilafah telah berhasil melindungi wilayah umat Islam yang

terbentang demikian luas itu. Di bawah Khalifah Umar bin Khaththab ra, Daulah Khilafah

menegakkan pemerintahan Islam di wilayah Syam, memberikan keamanan dan kedamaian

bagi seluruh penduduknya, baik Muslim maupun non-Muslim. Pasukan Salib yang selama

beberapa waktu sempat menduduki wilayah tersebut, akhirnya bisa diusir oleh pasukan

Khilafah di bawah komando panglima hebat Shalahuddin al-Ayyubi. Pasukan Tartar juga

berhasil ditaklukkan oleh Pembebasan Negerinegeri Muslim. Khilafah melalui tangan para

wali (kepala daerah) yang berjuang mempertahankan negeri-negeri Muslim.

Penguasa-penguasa yang dikenal dzalim pun dipaksa untuk mengabdikan dirinya demi

kepentingan Islam karena Khilafah telah mengikat mereka untuk menerapkan syariah Islam.

Ketika Raja Dahir (raja Hindu) menganiaya umat Islam yang tinggal di anak benua India,

maka Hajaj bin Yusuf mengirim Muhammad bin Qasim bersama pasukannya untuk

merespon penganiayaan tersebut. Perjuangan pasukan Muhammad bin Qasim itulah yang

mengawali proses futuhat (pembebasan) ke seluruh anak benua India. Bahkan, ketika sedang

berada dalam masa-masa kemundurannya, Khalifah masih mampu tampil tegas, lebih tegas

daripada apa yang ditampilkan para anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) saat ini.

Pada tahun 1901, Theodore Hertzl memimpin delegasi kaum Zionis untuk menawarkan

bantuan kepada Khalifah, pada saat Khilafah mengalami kesulitan keuangan, dan sebagai

gantinya mereka menuntut Khalifah mengizinkan orangorang Yahudi membangun

pemukiman di Palestina. Tapi Khalifah Abdul Hamid II tegas menolak menemui delegasi

tersebut seraya menyatakan Aku tidak dapat menyerahkan, walau hanya sejengkal, tanah

Palestina. Karena, tanah itu bukan milikku, tetapi milik umat Islam. Umatku telah berjuang

demi tanah ini, dan menyiraminya dengan darah mereka. Maka biarlah Yahudi menyimpan

harta mereka. Akan tetapi, jika suatu saat nanti Khilafah dihancurkan, mereka boleh

mengambil Palestina tanpa membayar harganya.” Memang itulah yang kemudian terjadi.

lxxxv
Negara Zionis berhasil didirikan setelah Khilafah hancur pada tanggal 28 Rajab 1342 H, 88

tahun (hijriyah) yang lalu

4.8 PEMIKIRAN HTI TENTANG PARTAI POLITIK

Setelah runtuhnya khilafah Turki Ottoman tahun 1924 M, perjuangan menegakkan

kembali khildfah terus dilakukan. Adapun cara menegakkan khilafah tidak lain adalah dengan

mendirikan institusi politik, yaitu partai politik. Oleh karena itu, menurut mantan ketua

umum HTI, Hafidz Abdurrahman, partai politik yang mengibarkan panji-panji Islam

merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Tanpa partai politik, maka aktivitas,

dakwah, dan cita-cita mendirikan negara Islam tidak akan pernah terwujud.

Hizb al-Tahrir menilai urgensi partai politik yang ada di negara-negara muslim hanya

terbatas pada berdirinya organisasi yang bersifat sosial-kemasyarakatan (jam'iyyiit) yang

mengacu pada amal sosial (khairiyyah), seperti mendirikan rumah sakit, sekolah-sekolah, dan

tempat-tempat penampungan orang lemah, serta membantu berbagai kegiatan sosial.

Mayoritas gerakangerakan seperti ini terbatas pada gerakan sosial saja, jarang yang mengarah

ke ranah politik. Dikhawatirkan gerakan-gerakan ini hanya sekadar kanalisasi dari semangat

kebangkitan Islam yang menggelora di kalangan umat Islam. Selain itu, mereka cenderung

melakukan perbaikan yang sifatnya parsial. Bahkan organisasi ishliihiyyah ini cenderung

kompromistis terhadap sistem negara. Artinya, mereka akan masuk ke dalam sistem dan turut

mewarnai sistem yang ada. Padahal pemikiran seperti itu tidaklah tepat. Mereka yang masuk

ke dalam sistem dengan melakukan perbaikan parsial tidak pernah mengerti terhadap fakta

dan perbedaan antara perbaikan yang sifatnya parsial dan perbaikan yang sifatnya total.

Kritik HTI terhadap gerakan-gerakan yang melakukan perbaikan yang sifatnya parsial di

atas, secara tidak langsung salah satunya, ditujukan pada model dakwah Hasan al-Banna. Al-

Banna menekankan tujuh marahil al-'amal dalam membangkitkan umat Islam, yaitu :

1) memperbaiki diri,

lxxxvi
2) memperbaiki keluarga,

3) memperbaiki masyarakat,

4)membebaskan masyarakat secara politik dari penjajahan asing,

5) mendirikan pemerintahan Islam,

6) membangunkan umat Islam dan menghidupkan khilafah, dan

7) memimpin dunia dan mengemban tanggung jawab dalam membimbing manusia menuju

jalan Allah.

Dalam kitab Al-Takattul al-Hizbl, HT mengkritik gerakangerakan sosial tersebut di atas

yang dianggapnya tidak membawa manfaat, menjadi penghalang kebangkitan umat, dan

bahkan sangat berbahaya. Bahaya terbesar ada pada ketenteraman perasaan umat setelah

mereka melakukan aktivitas sosial. Akibatnya, mereka hanya disibukkan oleh kegiatan-

kegiatan yang sifatnya parsial. Hal ini berbeda jika mereka berorganisasi dengan benar dan

mampu mewujudkan kebangkitan yang nyata.

Kegagalan gerakan-gerakan tersebut, selain karena faktor pemikiran yang keliru, yakni

tidak adanya fikrah dan tharlqah yang benar, juga karena faktor manusia. Artinya, individu

yang direkrut unruk menjadi anggota didasarkan pada kedudukan individu tersebut di

masyarakat seperti tokoh masyarakat, dokter, pengacara, atau orang kaya, bukan karena

tepat-tidaknya mereka dalam gerakan, sehingga hal seperti itu akan memunculkan friksi di

dalam gerakan tersebut.

Akhimya, HT menyimpulkan bahwa setelah melakukan kajian pemikiran dan istiqrd

(induksi), di negara-negara Islam belum muncul gerakan yang benar yang dapat membawa

pada kebangkitan. Gerakan-gerakan yang ada sejauh ini sering kali gagal. karena didasarkan

pada asas yang salah. Padahal umat tidak akan bangkit kecuali dengan berdirinya gerakan

(takattul) yang sahib. Gerakangerakan yang benar dan sahib seharusnya didasarkan pada asas

lxxxvii
partai (hizbi), bersifat ideologis yang berisi pemikiran yang cemerlang, thariqah yang

gamblang, dan individu yang bersih.

Atas dasar penilaian di atas, HT menawarkan gerakan atau partai politik yang sahib

dengan ciri-ciri perkembangannya sebagai berikut :

Pertama, munculnya seorang ideolog yang mampu merumuskan ideologi (mabda) gerakan.

Pada saat itu muncul sel pertama yang akan berkembang dan mengikat individu-individu lain.

Kelompok ini akan menjadi halaqah awal sekaligus sebagai pemimpin gerakan.

Kedua, halaqah awal ini pada mulanya sedikit dan terasing dari masyarakat.

Ketiga, halaqah awal mempunyai pemikiran yang mendalam dan mengakar. Mereka mampu

melihat realitas yang barns diubah dan sekaligus merumuskan cara yang akan dilakukan.

Keempat, para pengikut awalnya, harus mempunyai kaidah berpikir tetap yang terkait dengan

suatu aktivitas yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu. Pemikiran ini yang akan mengubah

keadaan, bukan keadaan yang akan mengubah pemikiran.

Kelima, konsekuensi dari poin keempat, maka pengikut awal harus mampu dengan cepat

memberdayakan diri dengan meningkatkan keimanan menuju kesempurnaan, sehingga dapat

mengonstruksi dan menggerakkan partai secara cepat, benar, dan terarah.

Keenam, fokus untuk mengubah masyarakat harus melalui kajian yang mendalam terhadap

individu, masyarakat, dan keadaan serta mewaspadai anasir destruktif yang bisa merusak

sistem yang sedang dibangun.

Ketujuh, akidah yang benar dan thaqdfah partai yang matang harus menjadi pengikat partai,

bukan peraturan yang sifatnya administratif. Selain itu, mengimani ideologi adalah harga

mati yang harus dimasukkan ke dalam hati para pengikut gerakan. Hal ini penting sebagai

pemersatu partai dari sudut pandang hati.

Kedelapan, pengikut awal merupakan penggerak bagi yang lain.

lxxxviii
Kesembilan adalah tahap pembentukan fondasi partai. Pada tahap ini, pembinaan yang

dilakukan tidak sekadar transfer ilmu semata (ta'lim), tapi sudah harus diamalkan dalam

kehidupan. Oleh karena itu, pembinaan ini harus menekankan pentingnya praktik di tengah

masyarakat.

Kesepuluh, partai harus berdiri berdasar .fikrah dan thariqah. Partai akan mengontrol,

mengendalikan, dan mengarahkan pemikiran dan perasaan masyarakat. Partai merupakan

kawah candradimuka bagi umat.

Kesebelas, masyarakat merupakan madrasah besar Oembaga besar pengaderan) bagi partai.

Artinya, partai bertugas untuk membangkitkan akidah yang benar dan memberikan

pemahaman yang sahih, sesuai dengan aktivitas yang bersifat kemadrasah-an, yakni

terdapatnya guru yang berwujud ideologi partai, serta thaqafah partai sebagai materi

pelajaran. Ideologi dan thaqafah ini mewujud dalam bentuk orang-orang partai. Merekalah

guru masyarakat.

Dalam pandangan HTI, jama'ah atau partai-partai lain yang berbasis Islam saat ini

telah gagal membangkitkan kesadaran umat dan memperjuangkan syari'at. Mereka telah

termakan oleh politik inklusi Barat sehingga mereka menjadi lemah. Bahkan kader-kader

partai politik mereka adalah politisi semu, bukan politisi sejati.

-Landasan Normatif Partai Politik

Hizb al-Tahrir menegaskan bahwa mewujudkan partai politik yang berfungsi untuk

mengembalikan kehidupan Islam melalui khilafah adalah kewajiban aqldah Islamiyyah.si

Kewajiban ini adalah fardhu kifdyah. Dari pernyataan tersebut di atas dapat dipahami bahwa

partai tersebut haruslah partai Islam yang tegak di atas akidah Islam, mengadopsi hukum-

hukum syari'at, dan berjuang menegakkan khildfah. Sebaliknya, partai komunis maupun

kapitalis, kesukuan, dan nasionalis merupakan partai yang harus dilarang atau haram.

Demikian pula partai yang mengajak pada demokrasi, sekularisme, dan freemasonry. Dengan

lxxxix
demikian, partai-partai politik di Indonesia tidaklah legalfabsah karena menyeru pada

nasionalisme dan atau demokrasi. Partai politik juga tidak boleh bersifat rahasia (clandestine)

atau bergerak di bawah tanah, karena tugas partai adalah mengajak pada kebaikan dan

mencegah kemungkaran.

Kewajiban mendirikan partai politik juga berdasarkan pada suatu kaidah fiqhiyah

(Suatu kewajiban yang tidak bisa ditunaikan denga adanya sesuatu hal, ma.ka sesuatu itu

menjadi wajib juga)." Kaidah ini tercantum dalam kitab-kitab HT, seperti dalam kitab

Mafdhim Hizb al-Tahrir, namun di dalamnya tidak dikaitkan dengan masalah organisasi

politik. Baru dalam kitab yang berjudul Hizb alTahrlr tercantum kaitannya dengan

direalisasikannya partai politik yang bernama Hizb al-Tahrir.

Elaborasi kaidah di atas disinggung oleh al-Nabhan) dalam bukunya yang berjudul al-

Shakhsiyyah al-Islamiyyah. Di sana dijelaskan bahwa mewujudkan khalifah ketika tiadanya

khalifah maupun muhasabah al-hukkam, adalah wajib. Melakukan dua kewajiban ini tidak

akan bisa terlaksana jika hanya dilakukan oleh seorang individu karena lemahnya kekuatan

seorang individu. Jadi dalam aktivitas tersebut diperlukan individu-individu atau kelompok

yang terorganisir dari kaum muslim. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka akan

berdosa karena tidak mendirikan sesuatu (organisasi politik) yang akan menjadi sarana bagi

terlaksananya suatu kewajiban. Demikian pula, jika telah mendirikan suatu organisasi politik,

akan tetapi tidak mampu mewujudkan khalifah, juga tidak sanggup melakukan muhasabat al-

hukkam, maka mereka berdosa.

Jaringan gerakan HTI ini bersistem sel rabasia dengan pengorganisasian dan

pengontrolan yang baik. Tiap sel dikomandani oleh seorang pemimpin dengan tiga atau tujuh

anggota. Pemimpin sel ini juga mempunyai seorang atasan (pemimpin). Data anggota hanya

diketahui oleh sedikit kolega mereka yang ada di dalam sel, dan hanya pemimpin sel yang

xc
mengetahui atasannya. Tingkat kerahasiaan telah membuat intelijen negara kesulitan

melakukan penetrasi terhadap gerakan ini.

Puncak hierarki kepemimpinan di tubuh HT adalah seorang amlr yang berbasis di

Yordania. Di bawah amlr terdapat tiga lembaga, yakni badan administrasi, badan mazhdlim,

badan penanggungjawab pemilihan amlr. Badan-badan ini adalab bagian yang paling rahasia

dalam organisasi. Badan administrasi dan am!r akan memilih anggota utama dari HT untuk

membentuk kiedat (qiyddah), yaitu komite kepemimpinan. Menurut aturan administratif HT,

qiyddah bertugas untuk memimpin partai, mengadministrasi, mengawasi, mensupervisi

seluruh perkembangan aktivitas partai.

Qiyddah mempunyai hak eksklusif untuk mengamandemen konstitusi partai dan

menegakkan kedisiplinan atas penyimpangan anggota. Qiyddah juga mempunyai departemen

politik yang akan mengumpulkan informasi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia

serta model respons yang perlu dilakukan sebagai bimbingan terhadap umat Islam. Untuk

sementara markas besar gerakan ini diyakini berada di Yordania, sedangkan markas di

London bertugas mengawasi seluruh aktivitas di negara-negara muslim. Kepemimpinan HT

akan terus berupaya memperhatikan pemimpin-pemimpin cabang nasional HT yang ada di

seluruh dunia, serta mengarahkan aksiaksi mereka dengan menyediakan dana, materi-materi

pendidikan, dan kebutuhan lainnya. Qiyadah di London juga memberikan perintah-perintah

kepada anggota HT untuk mengadakan demonstrasi anti-pemerintan.

Level selanjutnya adalab para mu'tamad (pemimpin regional) yang bersama dengan

qiyadah bertanggung jawab mengawasi masalah-masalab politik dan aktivitas partai di

"provinsi" di mana mu'tamad berada. Mu'tamad membawabi tiga kelompok supervisi, sel

yang bertanggung jawab terbadap partai dalam bidang keuangan dan donasi, sel yang

bertanggung jawab pada masalah pengumpulan informasi dan publikasi, dan mu'tamadjuga

memimpin rapat pertemuan komite regional, yang waktunya sudah ditentukan oleb amir

xci
Zeyno Baran tidak menjelaskan siapa yang memilih Mu'tamad. Dalam wawancara dan

pengamatan penulis, mu'tamad dipilib oleh amir dari salab seorang komite regional dengan

masa tugas dua tabun. Sementara itu, komite regional dipilib oleh anggota-anggota daerab.

Pemilihannya disebut intikh yang diadakan setiap dua tahun pada bulan Muharram.

Level selanjutnya adalab mas'fil (pemimpin atau penanggung jawab di bawab

mu'tamad). Mas'fll mempunyai badan yang mengurusi keuangan dan donasi, serta badan

yang bertanggung jawab terbadap pengumpulan informasi dan publikasi. Pada level ini,

selebaran-selebaran HT diproduksi dengan isu-isu yang sesuai dengan masalab lokal yang

terjadi. Selebaran ini juga mempunyai fungsi untuk melakukan rekruitmen. Di Eropa, isu

asimilasi dan alienasi sering dimunculkan, di Timur Tengah, isu penyalahgunaan migas, dan

di Asia Tengah masalah perbedaan sosial ekonomi.

Tugas mas'ul tidak hanya terkait dengan pengorganisasian anggota, tetapi juga

penguasaan keilmuan, baik fiqh, tafsir, maupun hadits, karena mas'ill adalah tempat rujukan

para anggota.Mas'fll juga memiliki deputi-deputi yang berhubungan dengan naqib (pemimpin

HT di perkotaan dan pedesaan). Di bawah mas'ul yang merupakan pangkalan dasar HT, yang

tersusun dari komite lokal dan lingkaran studi, disebut halaqah. Masing-masing komite lokal

diketuai oleh naqib yang ditunjuk oleh komite provinsi imengatur komite dan berkomunikasi

dengan komite provinsi.

Naqib juga mempunyai deputi yang disebut noyib (naqib atau wakil), yang bekerja

dengan komite lokal yang terdiri dari empat mushrif (pembimbing yang melakukan

indoktrinasi anggota di dalam halaqah). Komite lokal mengawasi proses indoktrinasi halaqah.

Mushrif membina lima atau tujuh halaqah yang terpisah satu sama lain. Masing-masing

halaqah terdiri tiga atau tujuh anggota tergantung kebutuhan kerahasiaannya. Halaqah

biasanya diadakan seminggu sekali setelah bekerja atau setelah studi yang bertempat di

xcii
rumah anggota halaqah, di masjid, atau di tempat lain yang kerahasiaannya terjaga. Mereka

akan mengikuti regulasi khusus dan program pendidikan tertentu.

Untuk menjaga tingkat kerahasiaan secara maksimal, tidak ada komunikasi antarsel-

sel. Di dalam aturan HT, hanya ada beberapa cara untuk berinteraksi dengan sel yang lebih

tinggi, dan sesama sel tidak ada yang selevel. Masing-masing anggota saling berkomunikasi

dengan yang lain dengan menggunakan nama samaran atau suatu nama ketika masuk menjadi

anggota. Jika salah seorang tidak merasa senang dengan mushrif, dia dapat menulis surat dan

meminta kepada mushrif untuk mengirimkan surat kepada tingkat yang lebih tinggi. Tingkat

yang lebih tinggi ini akan memberi solusi.Komite lokal sering turun ke lapangan guna

mengawasi halaqah untuk memastikan integritas ideologi mereka sebagaimana dicetuskan

oleh al-Nabhani. Jika salah seorang anggota dicurigai oleh anggota yang lain, mushrif atau

supervisor lain bisa mengadakan halaqah tersendiri bagi individu yang dicurigai tadi. Taktik

ini biasanya ditujukan kepada pegawai pemerintah atau militer yang ikut halaqah."

Mushrif harus membuat laporan kepada komite lokal seminggu sekali atas

perkembangan halaqah secara keseluruhan, atau perkembangan individu, atau calon. Komite

lokal yang sudah dianggap mempunyai pengetahuan tentang doktrin, misi, dan filosofi partai

adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menerima atau menolak calon anggota.

4.9 PEMIKIRAN HTI TENTANG SISTEM PEMERINTAHAN

Sistem pemerintahan islam. Ketundukan hanya boleh kepada Allah Swt. Bukan kepada

manusia.

Allah SWT mewajibkan umat Islam mengatur hidupnya dengan syariah Islam. Allah SWT

berfirman: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan

janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah

datang kepadamu.” (Qs. al-Maaidah [5]: 48)

-Mengangkat Khalifah Merupakan Kewajiban Seluruh Muslim

xciii
Khilafah adalah sebuah kekuasaan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah

(menyeluruh). Merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang

Khalifah yang akan memimpin Daulah Khilafah dan menerapkan syariah Islam secara kaffah.

Maka, tegaknya Daulah Khilafah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kelalaian dalam upaya

untuk menegakkannya merupakan dosa besar. Rasulullah Muhammad saw. memerintahkan

umat Islam untuk memberikan bai’at kepada seorang Khalifah. Nabi menggambarkan bahwa

kematian seorang Muslim yang tidak memberikan bai’at (kepada seorang Khalifah)

merupakan kematian yang sangat buruk, dengan menyebutnya sebagai mati jahiliyah: “Dan

barangsiapa mati, sementara tidak ada bai’at di pundaknya, maka matinya (dalam keadaan)

jahiliyah.” (Hr. Muslim)

Dengan syariah Islam, Khilafah memelihara seluruh urusan umat manusia. Jika syariah

tidak diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah, maka kedaulatan Islam dalam seluruh

aspek kehidupan manusia tidak akan pernah terwujud secara nyata. Maka kerahmatan Islam

yang dijanjikan juga tidak bisa dirasakan secara nyata pula. Jadi, Khalifah bisa dikatakan

sebagai wakil umat dalam pemerintahan untuk penerapan syariah Islam. Khalifah adalah

kepala negara Daulah Khilafah. Islam memberikan hak kepada umat untuk memilih Khalifah

yang dikehendakinya untuk mengurus kehidupan mereka. Melalui bai’at, calon khalifah yang

menang dalam pemilihan, sah menjadi Khalifah. Maka, tidak boleh ada paksaan dalam

pemilihan Khalifah. Pemilihan harus berlangsung atas dasar prinsip ridha wa ikhtiyar

(kerelaan dan kebebasan memilih), sebagaimana umat Islam di masa lalu telah memberikan

bai’at kepada keempat Khulafa’ur Rasyidin secara sukarela. Bai’at kepada Khalifah diberikan

umat dengan syarat Khalifah yang terpilih akan menerapkan syariah Islam secara kaffah

-Khilafah Bukan Sistem Diktator, Bukan Pula Sistem Demokrasi

xciv
Khilafah adalah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem diktator, tapi

juga bukan sistem demokrasi. Salah satu prinsip penting dari Khilafah, yang sekaligus

membedakan dari sistem lainnya baik diktator maupun demokrasi, adalah bahwa kedaulatan,

yakni hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan

halal dan haram, ada di tangan syariah, bukan di tangan manusia. Karena itu, baik Khalifah

maupun umat, sama-sama terikat kepada syariah Islam. Khalifah wajib menerapkan syariah

Islam dengan benar, sesuai dengan ketetapan Allah dalam al-Quran dan As-Sunnah. Tidak

boleh sesuka hatinya. Allah SWT berfirman “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut

apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maidah

[5]: 44), “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka

mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Maidah [5]: 45, “Barangsiapa tidak

memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-

orang yang fasik.” (Qs. al-Maidah [5]: 47).

Sementara, dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan manusia, bukan di tangan

Allah SWT, Dzat yang Maha Menciptakan manusia dan alam semesta. Atas nama kebebasan,

sistem demokrasi telah membuat manusia, melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif

bertindak sebagai tuhan, yang merasa berwenang menetapkan hukum sesuai dengan

keinginan mereka. Kredo demokrasi mengatakan “suara rakyat adalah suara tuhan (vox

populei vox dei)”. Suara mayoritas menjadi penentu kebenaran, betapapun buruknya sebuah

keputusan atau pemikiran. Ketika sudah didukung suara mayoritas, maka keputusan atau

pemikiran itu seakan telah menjadi benar. Dengan demikian, jelaslah bahwa pada hakikatnya

sistem demokrasi ini bertentangan sama sekali dengan Islam. Karena itu, umat Islam tidak

boleh menerima, menerapkan, dan mendakwahkan sistem demokrasi ini dan sistem apapun

lainnya yang dibangun di atas prinsip demokrasi. Allah SWT telah berfirman:

“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali ’Imran [3]: 19)

xcv
-Peran Wakil Rakyat dalam Daulah Khilafah

Syariah Islam telah mengizinkan umat Islam untuk memilih wakil mereka dalam

menjalankan urusan mereka. Pada kesempatan Bai’at Aqabah Kedua, Rasulullah

mengatakan: “Ajukan kepadaku dua belas pemimpin, agar mereka menjadi pemimpin bagi

kaumnya.”

Dalam Daulah Khilafah, wakil rakyat yang menjadi anggota Majelis Umat dipilih oleh umat,

bukan ditunjuk atau ditetapkan oleh Khalifah. Akan tetapi, sebagaimana Khalifah, mereka

tidak berhak menetapkan hukum, karena kedaulatan tidak berada di tangan mereka, tetapi di

tangan syariah. Majelis Umat berwenang mengontrol kebijakan Khalifah dengan ketat dalam

mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, Khalifah berhak mendatangi Majelis Umat untuk

bemusyawarah atau meminta pendapat berkaitan dengan pengaturan urusan umat. Tapi,

musyawarah ini bukanlah untuk mentapkan hukum, menentukan yang halal menjadi haram,

atau sebaliknya yang haram menjadi halal. Karena itu, dalam Daulah Khilafah tidak boleh

ada musyawarah untuk misalnya, menetapkan kebijakan privatisasi sumberdaya energi,

karena ini merupakan perkara yang diharamkan Islam. Demikian pula, tidak boleh ada

musyawarah dalam perkara-perkara yang diwajibkan Islam, seperti perlutidaknya

mengerahkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, atau

menjadikan akidah Islam sebagai asas sistem pendidikan, atau menyatukan seluruh negeri

Islam ke dalam wadah Daulah Khilafah.

Mengenai keanggotan Majelis Umat, warga negara non-Muslim bisa menjadi anggota

Majelis Umat untuk melakukan pengaduan (syakwa) jika ada penyimpangan dalam

penerapan syariah Islam atau kedzaliman terhadap diri mereka. Akan tetapi, anggota Majelis

Umat yang nonMuslim itu tidak berhak menyampaikan pendapat mereka tentang syariah

xcvi
yang ditetapkan oleh Khalifah, karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan sudut

pandang Islam yang menjadi dasar penerapan syariah.

-Proses Pengambilan Keputusan

Islam tidak sekadar menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai berbagai aspek

kehidupan manusia, tetapi juga memberikan aturan yang rinci. Sebagai contoh, dalam aspek

ekonomi ada sejumlah ketentuan syariah yang mengatur tanah pertanian, riba, mata uang,

kepemilikan umum dan berbagai pendapatan negara. Berkaitan dengan kebijakan luar negeri,

ada sejumlah ketentuan syariah mengenai jihad, perjanjian internasional, dan hubungan

diplomatik. Demikian pula dalam aspek pemerintahan, syariah Islam mengatur masalah

pemilihan, bai’at, pengangkatan para wali (kepala daerah) dan syarat mengenai pemakzulan

penguasa. Khalifah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut apa adanya, tanpa

menambah atau mengurangi. Khalifah tidak dibenarkan bersikap mengikuti kehendak

pribadinya. Khalifah juga tidak membutuhkan dukungan mayoritas anggota Majelis Umat

untuk menerapkannya.

Adapun menyangkut ketentuan yang mengandung ikhtilaf, syariah telah memberikan hak

kepada Khalifah untuk mengadopsi pendapat yang menurut pertimbangannya mempunyai

dalil syara’ yang paling kuat, dan kemudian menetapkannya sebagai undangundang negara.

Abu Bakar ra, pada masa awal kekhilafahannya, telah menolak pendapat mayoritas sahabat

tentang hukuman bagi orang yang menolak membayar zakat. Beliau memilih mengirimkan

pasukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Umar bin Khaththab ra tetap menerapkan

hasil ijtihadnya tentang persoalan tanah Irak, walaupun Bilal ra dan para sahabat lainnya

tidak setuju. Meski demikian, Khalifah tidak akan mengadopsi salah satu pendapat yang

berkaitan dengan masalah pribadi atau cabang-cabang akidah. Dalam hal ini, umat

xcvii
dibolehkan mengikuti pendapat atau hasil ijtihad yang berbeda. Jadi, perbedaan pendapat

dalam masalah ini dibolehkan ada di tengah masyarakat.

Dalam perkara-perkara yang dipahami publik dan bersifat praktis, Khalifah terikat dengan

pendapat mayoritas. Misalnya tentang lokasi yang paling strategis untuk mendirikan

universitas di sebuah daerah. Dalam hal ini Khalifah wajib mengikuti pendapat mayoritas.

Dalam musyawarah menjelang Perang Uhud, misalnya, Rasulullah dan para sahabat senior

berpendapat sebaiknya pasukan Quraisy dihadapi di dalam kota Madinah. Akan tetapi,

mayoritas sahabat yang muda berpendapat sebaiknya menyambut pasukan Quraisy di luar

kota Madinah. Maka pendapat mayoritas itulah yang kemudian dilaksanakan, sekalipun ini

bertentangan dengan pendapat Rasulullah saw dan para sahabat senior.

Adapun dalam perkara-perkara yang memerlukan keahlian, maka Khalifah akan

bermusyawarah dengan para ahli, bukan dengan masyarakat awam. Setelah bermusyawarah,

Khalifah akan mengadopsi pendapat yang dianggap memiliki hujjah (argumentasi) paling

kuat.

Dalam hal ini, pendapat mayoritas ahli tidak menjadi pertimbangan utama, karena

pendapat yang memiliki argumentasi paling kuat tidak selalu dipegang oleh kelompok

mayoritas. Misalnya dalam masalah kelangkaan listrik, setelah melakukan musyawarah

dengan para ahli, Khalifah akan memberikan keputusan final apakah akan membangun

pembangkit listrik dengan energi nuklir, energi matahari, atau melakukan konversi dari

energi bahan bakar minyak ke batu bara. Model pengambilan keputusan seperti ini pernah

dilakukan oleh Rasulullah menjelang perang Badar, di mana Rasulullah saw akhirnya

memindahkan camp pasukan Islam setelah melakukan musyawarah dengan Hubab bin

Mundzir ra, seorang shahabat yang dianggap paling mengetahui daerah itu.

-Khilafah akan Mengakhiri Penjajahan

xcviii
Fakta menunjukkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia saat ini adalah sistem

sekuler yang diwariskan oleh penjajah Belanda , kemudian dilanjutkan dan dipertahankan

oleh AS. Maka wajar bila kekuatan kolonialis masih bisa terus mengontrol urusan rakyat

Indonesia melalui sistem tersebut. Sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia saat ini

memiliki sejumlah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan kolonialis untuk

mengamankan kepentingan mereka di Indonesia. Dengan hak legislasi ada di tangan wakil

rakyat, maka negara-negara kolonialis itu, melalui infiltrasi kepada wakil-wakil rakyat yang

dilakukan dengan berbagai cara, dengan mudah bisa mempengaruhi produk hukum dan

perundangundangan yang dihasilkan oleh wakil rakyat itu.

Hasilnya, lahir lah hukum dan perundang-undangan yang pro kepentingan penjajah.

Lihatlah UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA dan yang lainnya. Di dalam Daulah

Khilafah, seluruh hukum dan perundang-undangan yang akan diterapkan harus berlandaskan

dalil-dalil syara’. Karena itu, Khalifah tidak memiliki pilihan lain kecuali mengambil syariah

dan peraturan yang berasal dari al-Quran dan asSunnah. Dengan metode ini, kedaulatan

benar-benar berada di tangan syariah, bukan di tangan wakil rakyat. Dengan cara ini,

kekuatan penjajah tidak mempunyai peluang untuk memanfaatkan proses legislasi demi

kepentingan mereka. Maka, pintu penjajahan telah tertutup sejak dini

-Sistem Pemerintahan Indonesia Saat Ini Membuat Penguasa Tidak Mudah Diminta

Pertanggungjawaban. Hanya dalam Khilafah, Kontrol yang Ketat Bisa Dilakukan

Sesuai Pasal 5, pasal 7B, dan pasal 20 UUD 1945 yang telah mengalami amandemen IV

(Tahun 2003), Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) sebelum Mahkamah Konstitusi memutus pelanggaran konstitusi apa yang dilakukan

oleh Presiden. Sementara, Presiden bersama DPR sepenuhnya bebas membuat undang-

undang apa pun, diantaranya undangundang yang dapat mencegah rakyat memiliki akses

xcix
guna melakukan kontrol atau koreksi terhadap pemerintah. Contoh mutakhir adalah

Rancangan Undang-Undang tentang Kerahasiaan Negara, di mana di dalamnya terdapat

ketentuan yang dapat membuat sejumlah informasi penting yang menyangkut rakyat banyak

tidak dibuka untuk publik; atau Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sektor

Keuangan (JPSK), yang menyatakan bahwa para pejabat di sektor keuangan ini tidak dapat

dijerat hukum terkait kebijakannya dalam memberikan Bantuan Likuiditas guna menghadapi

krisis finansial global. Demikianlah, ketentuan dan mekanisme dibuat sedemikian rupa

sehingga pada akhirnya rakyat tidak bisa melakukan kontrol dan koreksi terhadap

pemerintah.

Dalam Daulah Khilafah, kepala negara atau Khalifah bukanlah seorang raja atau seorang

diktator. Khalifah tidak dapat mengganti atau mengubah syariah Islam sesuka hatinya. Dalam

Daulah Khilafah, upaya meminta pertanggungjawaban penguasa bukan sekadar hak, tapi

merupakan kewajiban dari setiap warga, karena amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan

salah satu kewajiban dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda: “Demi dzat yang jiwaku berada

di tangan-Nya, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar, atau Allah akan

menurunkan hukuman atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak

mengabulkan doamu.” (Hr. Tirmidzi)

Jadi, dalam Daulah Khilafah setiap orang, kelompok, partai, anggota Majelis Umat atau qadhi

Mahkamah Madzalim bisa mengontrol dan mengoreksi Khalifah. Islam memerintahkan untuk

memberhentikan seorang Khalifah jika terbukti memerintah bukan dengan syariah Islam, atau

jika bersikap dzalim kepada rakyatnya. Pemakzulan ini merupakan sebuah kewajiban untuk

menghilangkan kedzaliman. Maka, ketika kedzaliman terjadi, masyarakat berhak mengajukan

pengaduan kepada Mahkamah Madzalim. Jika kedzaliman itu terbukti dilakukan oleh

Khalifah, maka Mahkamah Madzalim berhak memberhen-tikannya.

c
-Khilafah Akan Menghapus Korupsi Politik

Korupsi politik senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih di negara yang

menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali di Indonesia. Namun masyarakat seringkali

salah mengira. Mereka menganggap korupsi politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan

individu, bukan kesalahan sistemik. Padahal fakta menunjukkan bahwa sistemlah yang

menghasilkan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula yang kemudian

membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai bentuk korupsi. Salah satu

bentuk korupsi politik yang paling menonjol adalah dengan memperjual-belikan pasal-pasal

dalam undang-undang atau keputusan politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau

penyusunan anggaran. Dengan hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang

dimilikinya, anggota lembaga legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak

tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri untuk memasukkan pasalpasal dalam

perundangan yang menguntungkan mereka. Atau mengatur besaran anggaran dan person

tertentu dalam jabatan publik yang sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan itu

semua, anggota legislatif akan mendapatkan bayaran sejumlah uang. Tertangkapnya sejumlah

anggota DPR dalam kasus suap menunjukkan bahwa praktek seperti itu memang berlangsung

secara nyata. Karena itu, uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah yang dibelanjakan agar

bisa menjadi anggota parlemen dianggap sebagai sebuah investasi yang pantas. Dengan cara

inilah orang-orang yang bermental korup justru yang paling banyak terjaring masuk ke

parlemen. Tak mengherankan, jika lembaga perwakilan rakyat itu lebih menjadi wadah untuk

mengamankan kepentingan individu yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi

kepentingan rakyat. Sementara partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik

demi kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan korupsi

politik tadi. Walhasil, jadilah korupsi dilakukan secara bersama-sama. Inilah fenomena

“korupsi berjamaah”.

ci
Dalam Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada pada

syariah dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun,

termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan menjual

belikan pasal-pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil juga

rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka

semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari syariah Islam. Dengan

cara inilah, Khilafah akan menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem

demokrasi.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka kesimpulan

penelitian ini adalah HTI menolak sistem Demokrasi dengan alasan bahwa demokrasi

dianggap mengesampingkan dan bahkan menghilangkan sama sekali kedaulatan Tuhan.

Menurut HTI pengakuan terhadap kedaulatan rakyat sebagai sumber hukum berarti

mengesampingkan kekuasaan Tuhan. Ketidaksesuaian utama antara islam dan demokrasi

ialah pada prinsip kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, apa-apa yang diinginkan rakyat ialah

sumber hukum, sementara dalam islam, sumber hukum hanyalah dari Allah. Oleh karena

itulah HTI dengan tegas memandang demokrasi sebagai sistem yang kufur karena tidak

bersumber dari islam.

5.2 Saran

Dari hasil kesimpulan yang telah dijelaskan maka, saran yang dapat diberikan dari

hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :


cii
1. Saran penulis kepada HTI dan Pemerintah agar seyogianya melakukan dialog terbuka

dan dapat disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia, agar menghindari

kesalapahaman antar pemikiran HTI dan pemikiran pemerintah Indonesia yang

menganut system demokrasi. Karena tidak menutup kemungkinan dialog tersebut

dapat menghasilkan solusi terhadap problem sosial politik masyarakat saat ini.

2. Saran penulis kepada peneliti selanjutnya adalah untuk lebih memperdalam dan

mengembangkan penelitian terkait pemikiran HTI tentang demokrasi agar dapat

menghindari kesalapahaman mengenai pemikiran HTI terkait demokrasi

DAFTAR PUSTAKA

Azizah nur (2009) Konsep Demokrasi Menurut Hizbut Tahrir Indonesia (Analisis Tafsir Al-

wa’ie Karya Rokhmat S. Labib). surabaya

Budiardjo, Miriam (2008). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

https://id.wikipedia.org/wiki/Khilafahciii

Tahrir hizbut (2005) struktur negara khilafah (pemerintahan dan administrasi). Jakarta : : Dar

al-Ummah

Prasetyo eko (2013) Demokrasi Dan Problem Kepemimpinan Politik Di Indonesia

(Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman

Sudjatmiko, dan Fadli Zon).jakarta

Indonesia,tahrir hizbut (2009) manifesto hizbut tahrir untuk Indonesia. Indonesia,khilafah,

dan penyatuan kembali dunia islam.

Al-amin, ainur rofiq (2012) Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia.

Yogyakarta. LKiS Pelangi Aksara

ciii
Azmy, Sabhana ana (2020) Fundamentalisme Islam: Telaah Terhadap Pemikiran Politik

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). jakarta

civ

Anda mungkin juga menyukai