Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

SUMBER AJARAN ISLAM

Disusun oleh:
Ahmad Irfan Fadila - 1870231024

Muchtar Hanafi – 1870231191

UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK INFORMATIKA
2018-2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, kami meminta pertolongan dan ampunan kepada-
Nya. Kami berlindung dari segala macam kejahatan jiwa dan kejahatan perbuatan
kami. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah ke pada Rasulullah ‫ﷺ‬, para keluarga
dan sahabatnya serta orang-orang yang selalu setia mengikuti mereka hingga hari akhir
nanti. Dengan rasa syukur yang besar, penulis haturkan kepada Allah SWT karena
dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Sumber Ajaran Islam”.

Maksud dan Tujuan dari pembuatan Makalah ini untuk memperluas wawasan
serta memberikan inspirasi kepada para pembacanya mengenai “Sumber Ajaran Islam”
tersebut.

Dalam penyelesaian Makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan


dorongan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, baik yang
berupa moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis haturkan terima kasih dengan
iringan doa Jazakumullah khairn katsiran kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini.

Jakarta, 5 April 2019

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. I


DAFTAR ISI ............................................................................................................... II
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................... 1
BAB II: PEMBAHASAN............................................................................................ 3
A. Dasar Hukum Dan Sistematika Sumber Ajaran Islam ............................ 3
B. Al-Qur’an ...................................................................................................... 6
1. Pengertian Al-Qur’an ..................................................................................... 6
2. Fungsi-fungsi Al-Qur’an ................................................................................ 7
3. Sumber Pokok Ajaran Islam........................................................................... 9
4. Peringatan dan Pelajaran Bagi Manusia ....................................................... 10
5. Isi Pokok Al-Qur’an ..................................................................................... 10
6. Metode Memahami Al-Qur’an ..................................................................... 11
7. Corak-corak penafsiran Al-Qur’an ............................................................... 23
C. AS-SUNNAH ............................................................................................... 24
1. Pengertian As-sunnah dan pembagiannya .................................................... 24
2. Dasar As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam ........................................ 27
3. Kedudukan As-Sunnah terhdap Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum .......... 29
4. Mempedomani Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari .... 29
D. Ijtihad Termasuk Syarat, Metode dengan Ijma’ dan Qiyas .......................... 30
1. Pengertian Ijtihad ......................................................................................... 30
2. Hukum Ijtihad ............................................................................................... 30
3. Peranan Ijtihad .............................................................................................. 30
4. Syarat-Syarat Bagi Mujtahid ........................................................................ 31
5. Tingkatan- Tingkatan Mujtahid.................................................................... 31
6. ITTIBA Dan TAQLIB .................................................................................. 33
7. IJMA ............................................................................................................. 35

II
8. QIYAS .......................................................................................................... 40
BAB III: PENUTUP.................................................................................................. 43
Kesimpulan .............................................................................................................. 43
Saran ........................................................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 44

III
BAB I: PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-
Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah.
Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah
dan akhlak) dikembangkan dengan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk
mengembangkannya.

Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap
muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan
oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.

Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim.
Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah


(kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu …”. Menurut ayat
tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan
kehendak ’penguasa’ atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini
terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al-Hadis,
kehendak ’penguasa’ (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang
memenuhi syarat karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan.

Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam
adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “ Aku
tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya,
selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan
disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum
islam, setelah Alquran dan hadist.

Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh


kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi
syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran,
termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.

1
 Rumusan Masalah

Memaparkan sumber ajaran Islam berupa Al-Quran, Hadist, dan Ijtihad

 Tujuan Penulisan

Agar pembaca maupun penulis mampu memahami pokok pembahasan tentang


sumber ajaran islam yaitu Al-Quran, Hadist, dan Ijtihad.

2
BAB II: PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Dan Sistematika Sumber Ajaran Islam

Agama Islam merupakan ajaran yang bersifat rabbaniyah, yaitu bahwa sumber
ajaran Islam, pembuat syariat dalam hukum (baca; perundang-undangan) dan
manhajnya adalah Allah SWT, yang diwahyukan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, baik melalui
Al-Qur’an maupun Sunnah, bukan produk dari pemikiran manusia, dan bukan produk
lingkungan atau masa tertentu. Allah SWT berfirman:

Q.S. As-sajdah 32:1-3

Dan Islam merupakan agama yang universal yang mencakup segala aspek
kehidupan manusia. Menyentuh segenap dimensi, seperti politik, ekonomi, pendidikan,
kebudayaan dsb. Mengatur manusia dari semenjak bangun tidur hingga tidur kembali.

3
Merambah pada pensyariatan dari semenjak manusia dilahirkan dari perut ibu, hingga
ia kembali ke perut bumi, dan demikian seterusnya. Perhatikan firman Allah SWT,
berikut:

Q.S. Al-Baqarah 2:208


Imam Syahid Hasan Al-Banna mengemukakan: “Islam adalah sistem yang
syamil ‘menyeluruh’ mencakup semua aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah
air, pemerintah dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban
dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam,
penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran. Sebagaimana
juga ia adalah aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.”
Karakter ketiga agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang
tawazun (seimbang). Artinya Islam memperhatikan aspek keseimbangan dalam segala
hal; antara dunia dan akhirat, antara fisik manusia dengan akal dan hatinya serta antara
spiritual dengan material, demikian seterusnya. Pada intinya dengan tawazun ini Islam
menginginkan tidak adanya ‘ketertindasan’ satu aspek lantaran ingin memenuhi atau
memuaskan aspek lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam agama lain. Seperti tidak
menikah karena menjadi pemuka agamanya, atau meninggalkan dunia karena ingin
mendapatkan akhirat. Konsep Islam adalah bahwa seorang muslim yang baik adalah
seorang muslim yang mampu menunaikan seluruh haknya secara maksimal dan merata.
Hak terhadap Allah, terhadap dirinya sendiri, terhadap istri dan anaknya, terhadap
tetangganya dan demikian seterusnya.
Hukum Islam kategori syari’at mempunyai tiga macam karakteristik atau cirri
khas yaitu,konstan, universal, dan seimbang. Konstan adalah bahwa ajaran Islam itu
bersifat tetap, utuh, dan tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Universal adalah
bahwa ajaran Islam itu menyentuh segala aspek, menyeluruh dan tidak parsial.
Seimbang adalah bahwa ajaran Islam mampu menjaga keserasian dan keharmonisan
segala aspek dan segi sistem didalam kehidupan. Sedangkan hukum Islam kategori

4
fiqih bersifat fleksibel, elastis, tidak harus berlaku universal, mengenal perubahan,
serta dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi jaman. (Amrullah Ahmad, dkk.,
1996)
Adapun sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad yang
meliputi Ijma’ dan Qiyas. Apabila di temukan suatu permasalahan maka yang pertama
dicari dari Al-Qur’an, jika tidak ditemukan maka dari padanya di cari di Hadits, Jika
belum ditemukan maka di cari melalui Ijtihad baik melalui musyawarah untuk
mendapatkan ijmak (kesepakatan) maupun melalui qiyas (penganalogian).

Hal ini sebagaimana hadist Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika berdialog dengan Mu’adz bin
Jabal, Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

Artinya: " Dari Mu'adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika mengutusnya
ke Yaman bertanya kepadanya, "Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang
diajukan terhadapmu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskannya sesuai dengan
yang tertera dalam Kitabullah (al-Qur'an)." Rasul bertanya lagi, "Kalau kamu tidak
menemukannya dalam Kitabullah?", jawan Mu'adz,"Saya akan memutuskannya sesuai
dengann sunnah Rasulullah ‫"ﷺ‬. Rasul bertanya lagi, "kalau kamu tidak menemukan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula ditemukan dalam Kitabullah, bagaimana?",
Mu'adz menjawab, "ketika itu saya akan berijtihad, mencurahkan segala pikiran saya
tanpa ragu sedikitpun." mendengar jawaban itu, Rasulullah ‫ ﷺ‬meletakkan tangannya
ke dadanya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada

5
utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hari rasulullah." (H.R Imam Abu Dawud
dan Imam Tirmidzi)
B. Al-Qur’an

Allah menurunkan Al-Quran kepada umat manusia melalui nabi Muhammad ‫ﷺ‬
sebagai kitab suci terakhir untuk dijadikan pedoman hidup. Al-Quran yang tidak ada
keraguan sedikit pun di dalamnya mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat
menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab suci sepanjang zaman, Al-Quran memuat
informasi dasar berbagai masalah termasuk informasi mengenai hukum, etika, science,
antariksa, kedokteran dan sebagainya. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa
kandungan Al-Quran bersifat luas dan luwes.
Sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama, Al-Quran berperan penting
dalam rangka penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya Rasulullah ‫ﷺ‬.
Seperti kita ketahui bahwa Al-Quran merupakan buku petunjuk (hidayah) bagi orang-
orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang percaya kepada hal ghaib, yang
mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagain rizki mereka, dan yang meyakini
adanya akhirat.

1. Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an (Arab: ‫ )القرآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan
bagi manusia dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril; dan wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad adalah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an
surat Al-‘Alaq ayat 1-5

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
“bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian
kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17
dan 18 Surah Al-Qiyamah:

6
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: “Kalam Allah
yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan ditulis di
mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah“.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai


berikut: “Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada
Nabi Muhammad penutup para nabi dan rasul, dengan perantaraan Malaikat
Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara
mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas“

2. Fungsi-fungsi Al-Qur’an
Adapun fungsi Al-Qur’an sebagai berikut:

1. Petunjuk Bagi Umat Manusia

Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk manusia dalam menjalankan


hidupnya. Juga sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah, sebagai penjelasan
segala sesuatu yang timbul, karena Al-Qur’an adalah seumber segala aturan tentang
hokum, social, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral dan lain-lainnya, harus
dijadikan pedman hidup oleh manusia dalam memecahkan permasalahan-
permasalahan yang dihadapi.

7
Adapun ayat-ayat yang menjelaskan tentang fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk serta
anjuran untuk berusaha mengaktualisasikannya:
Firman Allah SWT:

Q.S. Al-Isra’:9

Firman Allah SWT:

8
3. Sumber Pokok Ajaran Islam

Al-Qur’an merupakan sumber hokum ajaran Islam, hal ini diterangkan dalam Al-
Qur’an surat An-nisa ayat 105:

9
4. Peringatan dan Pelajaran Bagi Manusia

Al-Qur’an banyak mengungkapkan kisah-kisah para nabi/rasul dan umatnya, baik


yang taat maupun yang ingkar, hal ini dimaksudkan agar menjadi peringatan dan
pelajaran bagi umat manusia, bagi orang-orang yang beriman, bertakwa dan beramal
sholeh akan mendapat kenikmatan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya orang yang kufur
dan ingkar akan ayat-ayat Allah akan mendapat siksa:

Firman Allah SWT:

Q.S Asy-Syura:7

5. Isi Pokok Al-Qur’an


Terdiri dari:
- Aqidah (Keyakinan), Merupakan hal yang berkaitan dengan keyakinan,
seperti halnya Mengesakan Allah SWT dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-NYA

10
- Akhlak (Budi Pekerti), Merupakan hal yang berkaitan dengan pembinaan
akhlak yang mulia dan menghindari dari akhlak buruk/tercela.
- Ibadah, merupakan pokok yang berisi pengajaran akan amalan-amalan pokok
dalam kehidupan manusia sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid
dan menghidupkan jiwa tauhid
- Kisah-kisah umat terdahulu, seperti kisah para rasul, para nabi maupun orang-
orang sholeh serta kisah umat yang mengingkari ajaran Allah untuk dijadikan
pembelajaran dan teladan bagi kita.
- Janji & Ancaman, yaitu janji pahala/ganjaran bagi siapa saja yang percaya,
menerima dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an, serta ancaman bagi
yang mengingkarinya

6. Metode Memahami Al-Qur’an


Dalam memahami kandungan Al-Qur’an para ahli tafsir sejak masa sahabat
sampai saat ini menggunakan berbagai cara dan metode, sebagai mana di bawah
ini:

1. Metode Ijmali

Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan
global tanpa uraian panjang lebar. Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat
Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang lebih umum dikenal
lebih luas, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistimatika penulisannya
mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari
gaya bahasa al-Qur’an.

Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat
demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan
tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas

11
dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara
terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.

Ciri umum metode ijmali adalah (1) cara seorang mufassir melakukan
penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak
mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan
penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat
tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.

Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat


pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global
hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang
‫( )الم‬misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian
pula kata al kitaaba ( ‫ ) الكتاب‬penafsiran hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh
Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat
itu hanya dalam beberapa baris saja.

Berbeda dengan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk


menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman. Hal ini
disebabkan uraiannya bersifat analitis terperinci dengan mengemukakan berbagai
pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-
Qur’an atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga
tidak ketinggalan argumen semantik.

Adapun contoh kitab tafsir ijmali adalah di antaranya yaitu tafsir al-Jalalain
karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-
’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-
Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyassar
karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan Majma’ al-Buhuth

12
al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-Mirghani, dan
sebagainya.

2. Metode Tahlili

Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil,
yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud
dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al
Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang
dimaksudkan oleh al Qur’an1.

Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan


memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu
serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang
tersusun di dalam al-Qur’an. Tafsir yang memakai pendekatan ini mengikuti
naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan
menggunakan alat-alat penafsiran yang diyakini efektif (seperti mengandalkan
pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau
pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di
dalam membantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil
memperhatikan konteks naskah tersebut.

1
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern,
Yogyakarta: Menara Kudus, 2004, hlm

13
Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan
menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan
surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya,
pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh
latar belakang pendidikan dan keahliannya

Ciri-ciri metode tahlili adalah penafsiran yang mengikuti metode ini dapat
mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]:

Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah kitab
tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari
[w.310H], Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir al-Qur’an al-
’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir [w.774H], al-
Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H], dan lain-
lain.

Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir
di atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di
dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang
berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y .Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir
analitis, berikut ini dikemukakan beberapa corak tafsir yang tercakup dalam
tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri,
dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat
tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil
ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak
hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan
ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi
peringkatnya adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh

14
Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir
ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat
dengan aqwal tabiin.

Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam
memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan)
yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya
dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui
jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan
terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn,
dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang
pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal
hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.

3. Metode Muqarin [Komparatif]

Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara


dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa
ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para
ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang
dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah: [a]
membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau
kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda
bagi suatu kasus yang sama, [b] membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang
pada lahirnya terlihat bertentangan, dan [c] membandingkan berbagai pendapat ulama
tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang


teramat luas. Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada

15
yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau
kalimat yang dikandungnya. .

Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan” [komparatif]. Di sinilah letak


salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain.
Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat
dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.

Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :

a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan


atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi
yang berbeda bagi satu kasus yang sama;

b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada


lahirnya terlihat bertentangan;

c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-


Qur’an.

Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir,
yaitu :

Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain; Mufasir


membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-
ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-
Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai
berikut :

(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :

‫ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ‬

16
“Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk”
(QS : al-Baqarah : 120)

‫ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ‬

“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk


Allah” (QS : al-An’am : 71)

(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :

‫ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ‬

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan
beriman” (QS : al-Baqarah : 6)

‫ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ‬

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman”
(QS : Yasin: 10)

(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :

‫ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ‬

“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada


mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-
Baqarah :129)

‫ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ‬

17
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-
Jumu’ah : 2)

(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :

‫ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ‬

“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha


Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)

‫ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ‬

“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha


Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :

‫ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ‬

“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)

‫ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ‬

“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :

‫ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ‬

18
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan
makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)

‫ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ‬

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan
makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)

(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :

‫ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ‬

“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)

‫ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ‬

“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain),


seperti :

‫ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ‬

“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan
Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

‫ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ‬

19
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan
Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi


tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam
kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan
perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan
menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4)
Melakukan perbandingan.

Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain,
mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara
perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah
membahas kualitas argumentasi masing-masing.

Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu
perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini
disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat
atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek
yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu
tidak dapat disebut “metode muqarrin”.2

2
Untuk lebih memperkuat konsep pembahasan metodologi tafsir muqarin dapat dibaca dalam naskah pidato guru
besar M.Ridlwan Nasir, yang berjudul Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perepektif
Pemahaman Al Qur’an, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode
1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004

20
4. Metode Maudhu’i [Tematik]

Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai


dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,
kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait
dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan
rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an,
hadis, maupun pemikiran rasional.

Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. al-Qur’an
dikaji dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal,
sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan
membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an,
pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam Qur’an dan sebagainya.3

M. Quraish Shihab4, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua


pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam
surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga
satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-
Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan
sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara
utuh tentang masalah yang dibahas itu.

3
Untuk memperluas pembahasan tafsir tematik, baca tulisan Prof.Imam Muchlas, Metode Penafsiran al
Qur’an Tematis Permasalahan, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan
Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
4
Untuk pendapat dan konsepsi pemikiran tafsir Quraish Shihab dapat di lihat secara lebih utuh dalam
bukunya, Membumikan al-Qu’an. Penerbit Mizan,Bandung 1992. dan pengantar Tafsir Al Mishbah

21
Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama
menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang
terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan
oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari
informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk
kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu
surah saja5.

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga
tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir
mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari
al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu
dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas
atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi
penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar
tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-
ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan
kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.

Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an
al-Karim dalam bentuk penerapan ide. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat,
tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat,
dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama dan petunjukpetunjuk yang dapat dipetik
darinya, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat
tersebut.

5
Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah,
1977.). 23

22
Di Irak, seorang pakar tafsir yang bernama Muhammad Baqir al-Shadr
melakukan upaya-upaya penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode ini. Al
Shadr menulis uraian tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dengan
menggunakan metode yang mirip dengan metode tersebut yang ia beri nama Metode
Tawhidy (kesatuan).6

Diantara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab Min
Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan
Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-Maududy, al-
Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an
karangan Ahmad Kamal Mahdy, Muqawwamat al-Insaniyah fi al-Qur’an karya
Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-
Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an karangan Ali Nashr al-Din.
Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu Farhah menulis
buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li al-Ayat
al-Qur’aniyah” dalam dua jilid dengan memilih banyak topik yang dibicarakan
al-Qur’an.

Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkan secara Maudu’iy, Al-Husaini


tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan
jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana juga tidak
dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekah sambil
membedakannya dengan ayat-ayat yang turun pada periode Madinah.

7. Corak-corak penafsiran Al-Qur’an

Ada enam corak penafsiran Al-Qur’an sebagai berikut:


a. Tafsir bil Ma’Tsur berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah

6
Ibid

23
b. Tafsir bil Ma’qul atau bil Ra’yi berdasarkan akal pikiran seacar murni
c. Tafsir Ijdiwaz merupakan sintesis antara Al-Qur’an dan Sunnah, Pikiran,
pendapat sahabat, ulama serta pemikiran si penafsir sendiri
d. Tafsir bil Ilmy berdasarkan ilmu pengetahuan tertentu seperti berdasarkan
ilmu ekonomi, ilmu biologi dan sebagainya
e. Tafsir bil Isyary atau tafsir Sufi berdasarkan isyarat atau sufistik
f. Tafsir Adabul Ijtima’I berdasarkan konteks social masyarakat pada saat
menafsirkannya

C. AS-SUNNAH

1. Pengertian As-sunnah dan pembagiannya


Secara etimologi As-sunnah berarti jalan yang lurus dan perilaku yang terbiasa.
Menurut bahasa kata sunnah merupakan derivasi dari kata sanna – yasunnu – sunnatan.
Kata itu berarti cara, jalan yang ditempuh, tradisi (adat kebiasaan), atau ketetapan,
apakah hal itu baik atau tidak, terpuji atau tercela.

Menurut ahli hadis, sunnah adalah: “Segala yang bersumber dari Nabi Muhammad
Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, maupun perjalanan
hidupnya, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul Saw maupun sesudahnya.”

Menurut ahli usul fikih, sunnah adalah: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad Saw. selain al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya
yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara’ (hukum agama).”

Sedangkan dalam terminology Islam, Sunnah berarrti segala perkataan, perbuatan dan
diamnya Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang berarti izin/persetujuan.

Allah SWT berfirman:

24
Q.S. Al-ahzab:21

Berikut macam-macam Sunnah:


a. Sunnah Qauliyah
Sunnah Qauliyah adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad ‫ﷺ‬., yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syarak, peristiwa-
peristiwa atau kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun
akhlak. Dengan kata lain Sunnah Qauliyah yaitu sunnah Nabi ‫ﷺ‬. yang hanya berupa
ucapannya saja baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun
larangan. Yang dimaksud dengan pernyatan Nabi ‫ﷺ‬. di sini adalah sabda Nabi Saw.
dalam merespon keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa
depannya, kadang-kadang dalam bentuk dialog dengan para sahabat atau jawaban yang
diajukan oleh sahabat atau bentuk-bentuk ain seperti khutbah. Dilihat dari tingkatannya
sunnah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya lebih tinggi dari
kualitas sunnah fi’liyah maupun taqririyah.
Contoh Sunnah qauliyah:
 Hadis tentang doa Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. kepada orang yang mendengar,
menghafal dan menyampaikan ilmu.
Dari Zaid bin dabit ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬. bersabda: “Semoga
Allah memperindah orang yang mendengar hadis dariku lalu menghafal dan
menyampaikannya kepada orang lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu
kepada orang yang lebih berilmu, dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak
berilmu.” (HR. Abu Dawud)
 Hadis tentang belajar dan mengajarkan al-Qur’an.
Dari Usman ra, dari Nabi ‫ﷺ‬., beliau bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian
adalah seorang yang belajar al-Qur`an dan mengajarkannya.”. (HR. al-Bukhari)
 Hadis tentang persatuan orang-orang beriman.
Dari Abu Musa dia berkata; Rasulullah ‫ﷺ‬. bersabda: “Orang mukmin yang satu dengan
mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling
mengokohkan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

b. Sunnah Fi’liyah

25
Sunnah fi’liyah adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬. Kualitas sunnah fi’liyah menduduki tingkat kedua setelah sunnah
qauliyah. Sunnah fi’liyah juga dapat maknakan sunnah Nabi ‫ﷺ‬. yang berupa perbuatan
Nabi yang diberitakan oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti
melaksanakan shalat manasik haji dan lain-lain.
Contoh:
Hadis tentang tata cara shalat di atas kendaraan.
Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah ‫ﷺ‬. shalat di atas tunggangannya
menghadap ke mana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak
melaksanakan shalat yang fardhu, maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
c. Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
terhadap apa yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain sunnah
taqririyah, yaitu sunnah Nabi ‫ﷺ‬. yang berupa penetapan Nabi ‫ﷺ‬. terhadap perbuatan
para sahabat yang diketahui Nabi ‫ﷺ‬. tidak menegornya atau melarangnya bahkan Nabi
‫ﷺ‬. cenderung mendiamkannya. Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan
yang dilakukan para sahabatnya tanpa memberikan penegasan apakah beliau
membenarkan atau menyalahkannya. Contohnya:
 Hadis tentang daging dab (sejenis biawak).
Pada suatu hari Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. disuguhi makanan, di antaranya daging dzab.
Beliau tidak memakannya, sehingga Khalid ibn Walid bertanya, “Apakah daging
itu haram ya Rasulullah?”.
Beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku,
karena itu aku tidak memakannya.”
Khalid berkata, “Lalu aku pun menarik dan memakannya. Sementara Rasulullah
Saw. melihat ke arahku.”. (Muttafaqun ‘alaih)

d. Sunnah Hammiyah
Sunnah Hammiyah ialah: suatu yang dikehendaki Nabi ‫ﷺ‬. tetapi belum dikerjakan.
Sebagian ulama hadis ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan
sunnah hammiyah. Karena dalam diri Nabi ‫ﷺ‬. terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan
(ahwal) serta himmah (hasrat untuk melakukan sesuatu). Dalam riwayat disebutkan

26
beberapa sifat yang dimiliki beliau seperti, “bahwa Nabi ‫ﷺ‬. selalu bermuka cerah,
berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak,
tidak suka berbicara kotor, tidak suka mencela, ”Juga mengenai sifat jasmaniah beliau
yang dilukiskan oleh sahabat Anas ra. sebagai berikut:

Dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra.
sedang menceritakan sifat-sifat Nabi ‫ﷺ‬., katanya; “Beliau adalah seorang lakilaki dari
suatu kaum yang tidak tinggi dan juga tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih
dan tidak pula terlalu kecoklatan. Rambut beliau tidak terlalu keriting dan tidak lurus.”
(HR. Bukhari).

Termasuk juga dalam hal ini adalah silsilah dan nama-nama serta tahun kelahiran
beliau. Adapun himmah (hasrat) beliau misalnya ketika beliau hendak menjalankan
puasa pada tanggal 9 ‘Asyura, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra:
“Saya mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata saat Rasulullah ‫ﷺ‬. berpuasa pada
hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat
berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi
dan Nashrani.” Maka Rasulullah ‫ﷺ‬. bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan
berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba,
hingga Rasulullah ‫ﷺ‬. wafat..” (HR Muslim)
Menurut Imam Syafi’i dan rekan-rekannya hal ini termasuk sunnah hammiyah.
Sementara menurut Asy Syaukani tidak demikian, karena hamm ini hanya kehendak
hati yang tidak termasuk perintah syari’at untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Dari sifat-sifat, keadaan-keadaan serta himmah tersebut yang paling bisa dijadikan
sandaran hukum sebagai sunnah adalah hamm. Sehingga kemudian sebagian ulama
fiqh mengambilnya menjadi sunnah hammiyah.

2. Dasar As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

Adapun yang dimaksud dengan as-sunnah sebagai sumber hukum Islam ialah
bahwa selain terhadap Al-Qur’an, seluruh umat Islam wajib menjadikan As-Sunnah
sebagai pedoman dan pegangan hidup, menyandarkan segala permasalahan hidupnya
kepada As-Sunnah.

27
Untuk mengetahui dasar-dasar bahwa As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam,
kita dapat memperhatikan beberapa dalil berikut ini:
 Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai
dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk
dijadikan pedoman hidup, antara lain:
…….

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Q.S. Al-Ahsyr:7)
Dari ayat tersebut diatas, dalam kaitannya dengan as-sunnah sebagai sumber
hukum Islam, dapat ditarik pemahaman bahwa:
 Selain mempercayai Allah SWT, umat Islam juga wajib mempercayai
Rasulullah ‫ﷺ‬
 Umat islam wajib mentaati semua yang bersumber dari rasul, baik berupa
perintah maupun larangannya.
 Allah mengancam kepada orang-orang yang tidak mempercayai dan mentaati
rasul-rasul

 Dalil Al-Hadits
Selain Al-Qur’an, Al-Hadits juga menjelaskan tentang kedudukan As-Sunnah
sebagai sumber hukum Islam, Antara lain:

 Kesepakan Ulama, Umat Islam telah sepakat menjadikan As-sunnah sebagai


salah satu hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah
dan Rasul-Nya, Mereka menerima As-Sunnah seperti halnya mereka menerima
Al-Qur’an. Keduanya dijadikan sumber hukum Islam
 Sesuai dengan petunjuk Akal, Selain Al-Qur’an, Al-HAdits, dan Ijma para
ulama menyatakan bahwa As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, secara akal
pun dapat dinyatakan bahwa konsekwensi mempercayai Muhammad sebagai
Rasul Allah mengharuskan menerima dan mentaati segala yang beliau

28
perintahkan dan meninggalkan yang beliau larang. Suatu kepercayaan tanpa di
barengi oleh penerimaan dan ketaatan terhadap apa yang dipercayai oleh
bohong semata.

3. Kedudukan As-Sunnah terhdap Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum


Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas, jelaslah bahwa kedudukan As-Sunnah
sevagai sumber hukum Islam yang kedua sangat kuat dan siapa yang
mengingkarinya tergolong Kafir.
Peran As-Sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut:
a. Sunnah sebagai penjelas dan perinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang didalam
pelaksanaannya belum ada batasan
b. Sunnah membawahi hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam
AL-Qur’an
c. Sunnah memeprkuat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
nashnya dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh dapat dikemukakan tentang
perintah melaksanakan shalat. Salam perintah ini tidak dijelaskan
bagaimana cara melaksanakan shalat sesuai yang dikehendaki Allah
SWT.

4. Mempedomani Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari


Mempedomani Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari berarrti
menjadikan keduanya sebagai landasan dan kompas di dalam beramal selama hisup
kita. Meyakini seyakin-yakinnya tanpa keraguan sedikit pun, apabila kita
menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup, maka kita akan
selalu berada di jalan yang benar, kita akan mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits
Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm.
Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil
Intisharis Sunnah, hlm.12-13).

29
D. Ijtihad Termasuk Syarat, Metode dengan Ijma’ dan Qiyas

1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad (Arab: i‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang


sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya


dilakukan para ahli agama Islam.

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

2. Hukum Ijtihad

Adapun menurut Syeikh Muhammad Khudlari hukum ijtihad itu dikelompokkan


menjadi :
 Wajib ‘ain, yaitu bagi orang-orang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan
masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri
mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
 Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tntang sesuatu dan sesuatu itu
tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia ada mujtahid lain.
Apabila seorang mujahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu
tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
 Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.

3. Peranan Ijtihad

Banyak masalah ynag belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an


maupun As-Sunnah. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya
ynag mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyak ayat Al-Qur’an
dan As-sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini.

30
Ijtihad sebagaimana dijelaskan diatas mempunyai peranan yang sangat
penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang tidak ada atau
belum ada hukumnya secara rinci di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Hasil ijtihad terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid
yang lainnya mungkin beda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sudut
pandang terhadap masalah yang di carikan hukumnya, kondisi masyarakat, dan
latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki berbeda

4. Syarat-Syarat Bagi Mujtahid


Adapun seorang yang akan menjadi mujtahid harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti syarat umum, khusus dan syarat pelengkap.
a. Syarat umum : Baligh, berakal sehat, memahami masalah, beriman.
b. Syarat khusus : mengetahui ayat al-qur’an yang berhubungan dengan masalah yang
dianalisis, mengetahui sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup didunia dan
diakhirat, mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah yaitu kaidah yang diistinbatkan dari
dalil-dalil syara’, mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, mengetahui ilmu ushul fikih,
mengetahui ilmu mantik, mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah
ashliyah (semacam praduga tak bersalah), mengetahui soal-soal ijma’.
c. Syarat-syarat pelengkap : mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan
dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya, mengetahui masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati, mengetahui bahwa
hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.

5. Tingkatan- Tingkatan Mujtahid

a. Mujtahid Muhtlaq atau mustaqil


Mujtahid Mutlak Mustaqil adalah Mujtahid yang mengaplikasikan kaidah-
kaidah yang dirumuskannya sendiri secara independen dan dijadikannya
metodologi berpikir dalam proses penggalian hukum Islam.

31
Nama-nama yang masuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqaha dari
kalangan Sahabat dan beberapa fuqaha’ Tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib
dan Ibrahim an-Nakho’i. berikut juga beberapa Imam Mujtahid seperti Ja’far
Shadiq, Abu Hanifah, Malik bin Anas, as-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, al-
Awza’I, Sufyan al-Tsauri dan al-Laits bin Sa’ad.

b. Mujtahid Muntasib

Mujtahid Mutlak Muntasib adalah Mujtahid yang memiliki kemampuan untuk


menerapkan kaidah-kaidah, menggali hukum dan memilah ushul-furu’ (asal
dan cabang), namun belum bisa merumuskan metode ijtihad sendiri. Mereka
masih berada dan mengikuti pedoman metode dari para Imam Mujtahid Mutlak
Mustaqil.

Nama-nama yang masuk dalam tingkatan ini semisal Abu Yusuf dan Zafr bin
al-Hudzail dari Madzhab Hanafi; Abu al-Qasim dan Asyhab dari Madzhab
Maliki; Abu Ya’qub al-Buwaythi dari Madzhab Syafi’I; al-Khiraqi dan Abu
Bakr al-Khalal dari Madzhab Hanbali.

c. Mujtahid fil madzahib

Mujtahid Madzhab adalah Mujtahid yang tidak memiliki kemampuan seperti


Mujtahid Mutlak, baik yang mustaqil maupun yang muntasib. Artinya dia
mengikuti satu madzhab imam tertentu, baik dalam mengadopsi metode
berpikirnya maupun proses penerapannya

d. Mujtahid murajjih

Adalah Mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya, baik dalam perkara ushul
maupu furu’. Dia tidak menetapkan hukum baru. Perannya hanya
mengumpulkan pandangan-pandangan yang berbeda dan terlihat bertentangan
di kalangan imam madzhab, lalu menentukan satu pendapat yang lebih unggul.

32
6. ITTIBA Dan TAQLIB
a. Pengertian ITTIBA dan TAQLIB
Menurut bahasa ittiba’ adalah mengikuti atau menurut. Sedangkan menurut
istilah ittiba’ adalah mengikuti semua yang diperintahkan atau yang dilarang
dan yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Salah satu ’ulama’ berpendapat
bahwa ittiba’adalah : "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang
dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu”.

Menurut bahasa taqlid adalah meniru. Sedangkan menurut istilah Taqlid


adalah : "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang tanpa
mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu".

b. Persamaan dan Perbedaan Antara Ittiba’ dan Taqlid


Persamaannya: Keduanya termasuk perbuatan mengikuti
Perbedaannya: Ittiba orang yang mengikuti mengetahui sumber yang
dijadikan dasar oleh orang yang diikuti dalam mengemukakan pendapatnya
sedangkan Taqlid sebaliknya
Contoh Ittiba: ketika seseorang mengikuti pendapat Abu Dawud tentang
hukum mengakikahi anak adalah wajib dan dia juga mengetahui bahwa Abu
Dawud mendasarkan pendapatnya itu kepada hadits Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
Contoh Taqlib, ketika ada seseorang yang mengikuti pendapat Umar bin
Khattab dalam melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, namun dia
tidak mengetahui dasar alasan Umar menetapkan jumlah tarawih tersebut.

c. Hukum Ittiba
 Ittiba kepada Allah dan Rasul
Hukumnya Wajib.
Allah Berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 3:

33
 Ittiba kepada selain Allah dan rasulnya
Ada perbedaan pendapat mengenai ini, ada yang menyatakan ittiba selain
Rasul dan Allah hukumnya tidak boleh.
Dan sebagian ulama berpendapat boleh ittiba kepada ulama dengan
mengambil dalil dari Al-Qur’ansurat al-anbiya ayat 7:

d. Hukum Taqlid
 Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-sunnah, Taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui
kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui
bahwa pendapat orang itu salah
 Boleh, yaitu Taqlid kepada Mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan
selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang di ikuti, Dengan kata
lain Taqlid ini seperti ini sifatnya sementara.
 Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketepatannya
dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah ‫ﷺ‬

34
7. IJMA
a. Pengertian Ijma
Ijma Berarti sepakat, setuju atau sependapat. Ijma’ didefinisikan oleh para ulama
dengan beragam ibarat. Namun, secara ringkasnya dapatlah dikatakan sebagai
berikut: ”Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman
Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung
jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut
tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan
jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan
bahwa semua ulama telah bersepakat.

Contoh mengenai Ijma antara lain adalah menjadikan sunnah sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat Islam sepakat (Ijma’)
menetapkan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Contoh lain ialah
tentang pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada zaman khalifah Abu Bakar
Shidiq.
Kesepakatan para ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
 Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang
dikeuarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah
 Dengan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamlkan
sesuatu
 Dengan diam (sukuti), yaitu apabila tidak ada diantara mujtahid yang
membantah terhdap pendapat satu atau dua mujtahid lain dalam suatu
masalah.

b. Macam-Macam Ijma

Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ qath’i, yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh
seluruh kalangan dari umat islam, tidak ada yang tak mengetahuinya dalam
kondisi wajar, dan tidak ada uzur untuk tidak mengetahuinya. Seperti ijma’
tentang wajibnya salat lima waktu dan haramnya minuman keras.

2. Ijma’ dzanni, yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para ulama.
Karena diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik
dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.

35
Berdasarkan metode terjadinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ bayani / sharih, yaitu ijma’ yang terjadi baik dengan perkataan maupun
perbuatan. Semisal dengan perbuatan para salaf dalam berbisnis model
mudharabah, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh
menurut ijma’, begitu juga jika ada seorang ulama yang berbicara suatu hukum
lalu para ulama lainnya berpendapat sama. Inilah dia asalnya ijma’, dan ketika
disebut kata ijma’ secara mutlak maka yang terbetik dalam benak adalah ijma’
sharih.

2. Ijma’ sukuti, berlawanan dengan yang pertama, bilamana terdapat perkataan


ataupun perbuatan ulama, sedang ulama lainnya diam tanpa mengomentari,
maka apakah itu ijma’? Berdasarkan cara pandang bahwa ulama lainnya tidak
mengingkari, maka bisa dikatakan ijma’. Namun, berdasarkan pandangan
bahwa diam bukan berarti setuju, bisa jadi karena faktor-faktor tertentu seperti
segan atau memaklumi ijtihad orang lain misalnya, maka tak dapat disebut
ijma’.

Dalam masalah ini bisa kita golongkan sebagai ijma’, berdasarkan pendapat
yang kita pilih, dengan syarat perkara tersebut masyhur dan diketahui oleh
seluruh ulama mujtahid pada zaman itu. Namun, ijma’ ini lemah derajatnya,
terlebih bilamana terdapat indikasi yang menunjukkan sebaliknya, maka saat
itu tidak dapat dianggap. Selain itu sangatlah sulit mengklaim ijma’ macam ini
karena syarat masyhur tersebut.

Berdasarkan jumlah pendapat yang ada, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah


pendapat maka inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah
yang dimaksud dengan ijma’ bila disebut secara mutlak.

2. Ijma’ murakkab, adapun jika ijma’ para ulama berselisih pendapat berlawanan
dengan jenis yang pertama, maka di sana terdapat ijma’ yang murakkab alias
tersusun dari beberapa pendapat tersebut. Sisi kesepakatannya adalah mereka
telah mufakat untuk tidak berselisih kecuali menjadi dua atau tiga pendapat
tersebut, maka tidak boleh untuk membuat pendapat berikutnya yang
bertentangan atau menafikan pendapat yang telah ada.

Sebagai contoh, para ulama berselisih mengenai niat dalam bersuci, sebagian
berpendapat harus berniat ibadah dalam setiap bersuci; wudu, tayamum, dan
mandi junub, sebagian lagi berpendapat hanya dalam tayamum saja, maka jika
dikatakan tidak harus maka inilah yang disebut membuat pendapat baru

36
bertentangan yang sudah ada, yaitu yang mengharuskan niat tersebut pada
ketiganya sekaligus.

Adapun yang diperbolehkan seperti misalnya membuat pendapat jalan tengah


di antara pendapat-pendapat yang berselisih, atau membuat pendapat yang
merinci, bila kondisi begini maka pendapat ini berlaku, bila kondisi begitu
maka pendapat itu berlaku.

Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ mahshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid
mengeluarkan kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai
dari mendata ucapan-ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab, dan
seterusnya hingga sampai pada kesimpulan bahwa dalam masalah ini tidak
terdapat perselisihan.

2. Ijma’ manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan dari ulama terdahulu
yang mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’. Selama nukilan itu
sahih dan dapat dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan cara ini pun dapat
dianggap, dan tak perlu untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya
atau hanya satu orang.

c. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum


Kebanyakan ulama meetapkan bahwa Ijma’ dpak dijadikan hujjah dan sumber
hukum Islam dalam menetapkan suatu hukum dengan nilai kehujjahan berdifat zhanny.
Golongan syi’ah memandang bahwa Ijma’ ini sebagai hujjah yang harus di amalkan,
sedangkan ulama-ulama Hanafi dapat menerima Ijma’ sebgai dasar hukum, Baik Ijma’
Qath’iy mauupun zhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegangi Ijma’
Qath’iy dalam menetapkan hukum.
Pada dasarnya Ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada atau kurang
jelas hukumnya.
d. Sebab-Sebab Dilakukan Ijma’
 Adanya persoalan yang harus ditentukan status hukumnya dimana dalam nash
Al-Quran dan As-Sunah tidak ditemukan hukumnya.

37
 Nash Al-Quran dan As-Sunah sudah tidak turun lagi atau sudah berhenti
sehingga banyak hal yang hukumnya tidak tercantum baik dalam Al-Quran
maupun As-Sunah
 Pada masa setelah zaman Rasulullah jumlah mujtahid tidak terlalu banyak
sehingga mereka dikordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan
status hukum permasalahan yang timbul.
 Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan dan jika ada perselisihan
pendapat masih bisa di persatukan.

e. Contoh-Contoh Ijma
Berikut merupakan beberapa contoh ijma’.
1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang
diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau.
Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau
tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka
atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2. Saudara-saudara seibu –sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu
al-a’yan wa al- a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini
ditetapkan dengan ijma’.
3. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu
Bakar as Shiddiq r.a.
4. Menjadikan as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al
Qur’an. Para mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan as
Sunah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
5. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan
syariat.
Beliau bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan
banyak anak dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan
banyaknya jumlah umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.”
(H.R. Ahmad)

38
6. Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang
dilandaskan pada Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang
keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’
ayat 23.
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut
mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita)
dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
7. Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas
keharaman dagingnya.
8. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu
fajar. Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8
rakaat. Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi
Khattab ini disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’
Rosyidin.
9. Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba
diharamkan.
10. Para imam madzhab sepakat atas keharaman Ghasab (merampas hak
orang lain).
11. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut
jumhur ulama’ tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar
(yang belum jelas barangnya).
12. Para sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman
dera sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’
tersebut termasuk dzanni.
13. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat
seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi
urusan Daulah Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang
disepakati oleh para Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah.

39
14. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila
seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan
kakek. Kakek ketika tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam
penerimaan warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam harta
sebagaimana yang diperoleh bapak, meski terdapat anak dari orang yang
meninggal.
15. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama
dalam perhitungan zakatnya.
16. Ulama’ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat
sepakat bahwa diamnya nabi adalah membolehkan.
17. Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena
mengqiyaskan kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat
ketika Nabi sedang berhalangan.
18. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan
semua rukun Islam.
19. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
20. Jumhur ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriah
saja, tidak secara batiniah.

8. QIYAS
a. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut arti bahasa ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran,
menyamakan sesuatu dengan yang lain. Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul
fiqh ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat
antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Contoh Qiyas diantaranya adalah, setiap minuman yang memabukan adalah
haram, hal ini disamakan dengan hukum khamar (arak), yaitu haram, persamaan
kedua jenis minuman ini adalah sifatnya yang memabukan.

40
b. Macam-macam Qiyas

 Qiyas al-Aulawi: “yaitu suatu illat hukum yang diberikan pada ashl lebih kuat
diberikan pada furu'”seperti yang terdapat pada QS. Al isro’ ayat 23:

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain


Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."

yaitu: memukul orang tua diqiyaskan dengan menyakiti hati orang tua.
 Qiyas al-Adna : “Mengqiyaskan sesuatu yang kurang kuat menerima hukum
yang diberikan pada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu”.
Contoh: mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan riba fadhl.

 Qiyas al-Jaly: “Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan
hukum ashl atau nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak
ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu'”.

 Qiyas al–Khafy: “Qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash”. Contoh:
mengqiyaskan pembunuhan menggunakan bahan berat dengan pembunuhan
menggunakan benda tajam.

 Qiyas Ma’na ialah qiyas yang cabangnya hanya disandarkan kepada pokok
yang satu. Hal ini di karenakan makna dan tujuan hukum cabang sudah cukup
dalam kandungan hukum pokoknya, oleh karena itu korelasi antara keduanya
sangat jelas dan tegas. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua kepada
perkataan ah seperti yang telah dijelasnkan sebelumnya.

 Qiyas Sibhi ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau
lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.
Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak
orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula
diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik.

41
Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak
persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka.
Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain,
diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.

c. Kedudukan Qiyas dalam Hukum Islam


Menurut para ulama kenamaan bahwa qiayar itu marupakan hujja
syar’iy,sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang
berdasarkan Nash, maka peristiwa itu dilaksanakan dengan peristiwa lain
yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Nash.

d. Sebab-Sebab dilakukan Qiyas


Diantara sebab-sebab dilakuannya Qiyas adalah:
1. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya.
2. Karena Nash baik berupa Al-Quran maupun Al-Sunnah telah berakhir dan tidak
turun lagi.
3. Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan
peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nas.

42
BAB III: PENUTUP

Kesimpulan

Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi


setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.Sumber ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran islam
primer dan sekunder. Sumber ajaran agama islam primer terdiri dari al-qur’an dan as-
sunnah (hadist), sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder adalah ijtihad.

Saran

Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus
mempelajari sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita pelajri
sesuia dengan al-qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam as-
sunnah (hadist).

43
DAFTAR PUSTAKA

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/04/02/30342/marifatul-islam-bagian-ke-3-
karakteristik-islam/#ixzz5k8XViimH
Sumber:
https://www.academia.edu/20252799/Tafsir_Tahlili_Maudui_Muqoron_dan_Ijm
ali
Sumber: http://www.alquran-indonesia.com/index.php?surah=42&a=7
Sumber: https://sriastutihardiyantibvwk.wordpress.com/2015/11/13/makalah-sumber-
ajaran-islam/
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/93379/memahami-makna-wahyu-dan-proses-
turunnya-al-quran
Sumber: https://www.dakwatuna.com/2013/04/02/30342/marifatul-islam-bagian-ke-
3-karakteristik-islam/#axzz5kEQGVLbe
Sumber: https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-sunnah-macam-
macam-sunnah.html
Sumber: https://muslim.or.id/6966-kaedah-penting-dalam-memahami-al-quran-dan-
hadits.html
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
Sumber: http://sansantisusanti.blogspot.com/2015/03/al-quran-hadits-dan-ijtihad-
sebagai.html
Sumber: https://harakahislamiyah.com/diskusi/tingkatan-tingkatan-mujtahid
Sumber: https://www.bacaanmadani.com/2016/10/pengertian-ittiba-dan-taqlid.html
Sumber: https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-
agama.html

44

Anda mungkin juga menyukai