Anda di halaman 1dari 25

Makalah Dietetik Kliik

Nutrisi pada Hewan Ruminansia

OLEH

NAMA : UMMI FAHMI


NIM : O11114017

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2018
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-
Nya kepada kami sehingga berhasil menyelesaikan makalah dietetik klinik ini
dengan tepat waktu.
Penulis menuliskan makalah berdasarkan data primer berupa referensi
beberapa informasi dari internet. Penulisan makalah ini karena adanya bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih atas bantuan dan bimbingan tersebut kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyusun makalah ini dengan sebaik – baiknya. Namun, kami
menyadari kemungkinan adanya kekurangan atau kesalahan yang tidak disengaja.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari dosen mata kuliah serta pembaca akan kami
terima dengan rasa syukur. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
.

Makassar, 15 Mei 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Manfaat 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN JURNAL 17

BAB III. PENUTUP 20


3.1 Kesimpulan 20
3.2 Saran 20

BAB IV. DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ternak ruminansia merupakan suatu ternak yang mempunyai lambung lebih


dari satu atau yang biasa disebut poligastrik dan proses pencernaannya
mengalami ruminasi dan fermentasi. Salah satu keunggulan ternak ruminansia
adalah mikroorganisme dalam lambungnya mampu memamfaatkan Nitrogen
yang bukan berasal dari protein untuk membentuk protein, seperti Non Protein
Nitrogen (NPN). Lambung ruminansia terdiri atas empat bagian, yaitu rumen,
retikulum, omasum dan abomasum. Masing-masing bagian memiliki peran dan
fungsi yang khusus (Kartadisastra, 2007). Rumen ruminansia terdapat
mikroorganisme (bakteri, fungi dan protozoa) yang memiliki kemampuan untuk
merombak zat pakan secara fermentatif sehingga menjadi senyawa yang berbeda
dengan bahan asal. Hasil fermentasi inilah yang menjadi sumber energi utama.
Sumber energi utama adalah pakan (Sutardi, 2001).
Pakan merupakan hal yang sangat penting karena keberhasilan suatu usaha
peternakan tergantung pada manajemen pakan. Kualitas pakan mencakup
pengertian kandungan berbagai zat gizi, seperti energi, protein, mineral, vitamin
serta kandungan zat-zat anti nutrisi seperti tannin, lignin dan senyawa-senyawa
sekunder lain. Interaksi antar komponen zat gizi maupun zat anti nutrisi perlu
mendapatkan perhatian dalam upaya menyusun formula pakan yang efisien dan
memenuhi kebutuhan ternak untuk berproduksi tinggi. Keseimbangan energi dan
protein menjadi hal yang penting karena dapat mempengaruhi dinamika proses
fermentasi mikrobial didalam rumen. Meskipun demikian, sifat fisika-kimia
bahan-bahan pakan sumber energi dan protein perlu diperhatikan mengingat
bahwa degradasi protein didalam rumen akan menghilangkan fungsi bahan
tersebut sebagai sumber asam amino yang diperlukan ternak. Degradasi bahan
pakan sumber energi akan mempengaruhi pembentukan asam-asam lemak mudah
terbang didalam rumen yang merupakan sumber energi utama bagi ternak
ruminansia.
Kuantitas pakan yang diperlukan berkaitan dengan interaksi antara
kecernaan dan kapasitas organ pencernaan, terutama kapasitas kompartemen
retikulo rumen, yang akan menentukan jumlah zat gizi pakan yang sebenarnya
dapat dimanfaatkan oleh ternak. Perkembangan informasi hasil penelitian nutrisi
pada ternak ruminansia dapat dijadikan bahan untuk menentukan strategi
pemberian pakan optimal sesuai dengan tingkat produktivitas ternak. Meskipun
sebagian besar permasalahan nutrisi ternak ruminansia sudah sejak lama

1
dipecahkan, namun publikasi hasil penelitian yang relatif baru masih terus
dilakukan.
Perkembangan informasi hasil penelitian nutrisi pada ternak ruminansia
dapat dijadikan bahan untuk menentukan strategi pemberian pakan optimal sesuai
dengan tingkat produktivitas ternak. Meskipun sebagian besar permasalahan
nutrisi ternak ruminansia sudah sejak lama dipecahkan, namun publikasi hasil
penelitian yang relatif baru masih terus dilakukan. Dalam makalah ini
dikemukakan informasi terkait dengan hasil-hasil penelitian pada ternak
ruminansia dari berbagai sumber media publikasi ilmiah khususnya dalam bidang
nutrisi ruminansia.

B. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat dari makalah ini adalah untuk memberikan
informasi tentang nutrisi ternak ruminansia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Nutrisi untuk Ruminansia


Ilmu nutrisi merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang
makanan dan minuman dalam hubungannya dengan kesehatan optimal / tubuh.
Nutrisi yang tidak memadai menyebabkan masalah pada kesehatan hewan,
sehingga sangat penting untuk diperhatikan (Fekete, 2008). Adapun
perkembangan penelitian didasarkan berdasarkan pemanfaatan dan peningkatan
zat-zat makanan dalam rangka usaha meningkatkan produktivitas ternak
ruminansia diantaranya :
A. Energi
Energi yang digunakan aktivitas tubuh berasal dari pembakaran (oksidasi) zat-
zat makanan. Untuk mengukur jumlah energi yang dikeluarkan oleh tubuh
digunakan alat kalorimeter. Selain itu pengukuran dapat dilakukan dengan
mengukur perbandingan banyaknya CO2 yang dihasilkan dan O2 yang diperlukan
pada proses pembuatan energi. Jumlah kalori yang diperlukan oleh otot untuk
melakukan berbagai aktivitas sebanding dengan aktivitas otot tersebut.
Metabolisme basal adalah energi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam keadaan
istirahat total dalam suhu lingkungan yang normal. Energi tersebut diperlukan
untuk memelihara proses hidup seperti aktivitas jantung, pernafasan,
mempertahankan suhu tubuh. Metabolisme basal dipengaruhi oleh luas
permukaan tubuh, umur dan jenis kelamin (Dyah, 2014).

Gambar 1. Siklus Krebs (Dyah, 2014).

3
Perbedaan kemampuan mikroba rumen dalam mencerna pakan turut
menentukan efisiensi pemanfaatan energi yang ada di dalam pakan. Sebagai
contoh, ternak kerbau mempunyai mikroba rumen dengan kemampuan mencerna
pakan berserat yang lebih tinggi dibandingkan domba atau sapi. Perbedaan ini
disebabkan oleh adanya ragam mikroba yang berlainan antar spesies ternak. Pakan
berkualitas rendah dengan nilai kecernaan rendah cenderung menghasilkan gas
metana yang lebih tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian energi yang
terkandung di dalam pakan akan terbuang sebagai energi gas metana yang
jumlahnya dapat bervariasi dari 2 – 15% dari energi yang ada di dalam pakan
(Haryanto dan Thalib, 2009).

B. Protein
Penelitian pemanfaatan protein dalam pakan diarahkan untuk membuat
protein agar tidak mudah dipecah atau dideaminasi di dalam rumen sehingga
dapat lewat kompartemen reticulo-rumen dalam kondisi utuh sebagai asam amino.
Peningkatan suplai asam amino ke saluran cerna pascarumen dapat meningkatkan
produksi susu (energy corrected milk) dengan protein susu yang lebih tinggi. Hal
ini juga dapat meningkatkan mobilisasi jaringan lemak tubuh pada sapi perah awal
laktasi yang mendapatkan pakan dengan kandungan energi rendah (Schei et al.,
2005). Peningkatan mobilisasi jaringan lemak tubuh ini ditunjukkan dengan
tingginya kadar asam lemak bebas dan asetoasetat di dalam darah dan aseton di
dalam susu. Pada umumnya strategi pemberian energi dan protein yang seimbang
dapat meningkatkan produktivitas ternak, meskipun ada pula hasil penelitian yang
justru menunjukkan respon negatif. Kim et al. (2000) menggunakan sapi
nonlaktasi yang diberi pakan silase rumput mendapatkan bahwa sinkronisasi
ketersediaan energi dalam bentuk sukrosa dengan nitrogen di dalam rumen hanya
berpengaruh pada konsentrasi amonia rumen 4 jam pertama setelah makan,
sedangkan dalam jangka panjang (lama) tidak memberikan perbedaan terhadap
konsentrasi asam lemak mudah terbang. Meskipun demikian, suplementasi
sukrosa meningkatkan sintesis protein mikroba antara 14 – 33% dibandingkan
tanpa suplementasi.
Pada sapi yang sedang tumbuh, pemberian pakan dengan jumlah protein
540 g/ekor/hari dan kandungan energi metabolis 32 MJ/ekor/hari menghasilkan
pertambahan bobot hidup yang tertinggi (558 g/hari) dibandingkan perlakuan 25
MJ energi metabolis dan 400 g protein atau kombinasinya (Thang et al., 2010).
Pakan dasar yang digunakan disusun sebagian besar atas daun singkong, umbi
singkong, rumput gajah dan urea. Untuk menekan pengaruh negatif HCN karena
penggunaan daun singkong yang tinggi di dalam pakan, dapat dilakukan dengan
cara memberikan energi yang lebih tinggi di dalam pakan. Pemberian protein
tidak mudah tercerna undegraded protein) yang berbeda jumlahnya tidak
mempengaruhi konsumsi bahan kering, bahan organik dan protein pakan, namun
perbedaan kandungan energi pakan sangat nyata mempengaruhi konsumsi bahan

4
kering, bahan organik dan protein pakan. Tingkat pemberian protein yang tidak
mudah didegradasi menyebabkan perbedaan kecernaan protein. Kandungan urea
darah lebih tinggi pada sapi perah Peranakan FH umur 3 – 3,5 tahun yang
mendapatkan tingkat protein tidak mudah didegradasi yang lebih sedikit (20%
dari kebutuhan protein) dibandingkan pada tingkat yang lebih tinggi (30% dari
kebutuhan protein) (Widyobroto et al., 2008). Hal ini menunjukkan bahwa NH3
hasil degradasi protein di dalam rumen akan diserap ke saluran darah sehingga
meningkatkan kadar urea dalam darah.

C. Lemak
Pemanfaatan lemak dalam pakan diarahkan untuk membuat lemak sebagai
sumber energi yang terlindungi dari degradasi (oksidasi) di dalam rumen yaitu
melalui proteksi atau coating menjadi sumber lemak by-pass rumen. Untuk
melindungi lemak dari degradasi di dalam rumen, dapat dilakukan dengan cara
mengikat gugus karboksil dengan mineral, seperti Ca dan Mg. Cara ini dikenal
sebagai pembuatan sabun kalsium atau sabun magnesium. Lemak rantai panjang
tidak jenuh seperti linoleat atau linolenat dapat dilindungi dengan cara ini agar
dapat langsung dimanfaatkan oleh ternak tanpa mengalami degradasi terlebih
dahulu. Pada ternak kambing, pemberian minyak kedelai sebanyak 5% dalam
pakan konsentrat dapat meningkatkan kandungan asam lemak rantai panjang tidak
jenuh, seperti conjugated linoleic acid (CLA) di dalam susu. Peningkatan CLA
tersebut bahkan lebih tinggi apabila ditambahkan natrium bikarbonat atau natrium
bikarbonat plus monensin (Li et al., 2009).
Penggunaan minyak kelapa dalam pakan dapat menurunkan populasi
protozoa di dalam rumen dan mengurangi emisi gas metana per kg bobot hidup
domba. Penurunan total asam lemak mudah terbang di dalam rumen serta
penurunan konsentrasi asam asetat dan butirat juga terlihat sebagai akibat dari
pemberian minyak kelapa (Machmuller et al., 2000). Minyak zaitun (olive) atau
minyak jagung dapat digunakan sebagai sumber asam lemak rantai panjang tidak
jenuh (Yeom et al., 2005). Penurunan jumlah protozoa sebesar 29,85%, produksi
metan menurun 14,3-25,3% ketika pakan diberi MCFA sebanyak 1- 1,5%
sedangkan jumlah propionat meningkat 17,89% pada pemberian 1,5% MCFA
pada fermentasi rumen secara in vitro (Erwin et al., 2012)
D. Vitamin
Penelitian mengenai penggunaan vitamin pada beberapa dekade terakhir
antara lain adalah pada provitamin A, dan vitamin E. Penggunaan vitamin pada
ternak ruminansia yang diberi pakan hijauan jarang dilakukan karena hijauan
sudah merupakan sumber berbagai macam vitamin, sementara ternak ruminansia
tidak memerlukan vitamin B karena adanya kemampuan mikroba rumen untuk
mensintesis vitamin B secara de novo. Untuk memenuhi kebutuhan vitamin pada
ternak ruminansia, biasanya dicampurkan mineral-vitamin mix di dalam pakan

5
konsentratnya. Kandungan vitamin E dalam distiller’s dried grain with solubles
(DDGS) mempunyai aktivitas antioksidasi, oleh karena itu dapat digunakan untuk
mengurangi pengaruh cekaman panas pada ternak sapi perah (Tanaka et al.,
2011). Penggunaan probiotik (Galakto-oligosakarida) di dalam pakan untuk sapi
perah dara (replacement dairy cows) dapat mengurangi emisi metana sebesar 11%
dibandingkan tanpa penambahan probiotik (Takahashi et al., 2004). Namun
apabila penggunaan galakto-oligosakarida tersebut dikombinasikan dengan
vitacogen (probiotik) maka emisi metana justru meningkat.
E. Mineral
Penelitian mengenai penggunaan mineral, terutama beberapa mineral
mikro juga dilakukan antara lain, zinc, chromium, selenium maupun pengaruh
negatif dari beberapa logam berat seperti Pb dan Cd. Pemanfaatan mineral Zn dan
Cr yang terkandung dalam probiotik pada pakan sapi potong yang diberi pakan
dengan kandungan limbah sayur kobis hingga 30% dapat menyebabkan
peningkatan kecepatan pertambahan bobot hidup harian serta konsumsi bahan
kering pakan (Muktiani et al., 2012). Pemanfaatan alginat, yaitu asam organik
yang diekstraksi dari rumput laut coklat (Phaeophyceae) ternyata mampu
mengikat unsur Pb sehingga meningkatkan pengeluaran Pb dari tubuh ternak.
Pada domba Naemi di Saudi Arabia yang mengalami stres karena
transportasi, penambahan Cryeast sebesar 0,3 ppm dapat meningkatkan konsumsi
bahan kering pakan dan pertambahan bobot hidup harian berturut-turut 14,7% dan
20,8% dibandingkan kontrol. Sedangkan pemberian Cr-yeast yang lebih tinggi
(0,6 dan 0,9 ppm) cenderung memberikan respon yang lebih rendah dibandingkan
pemberian 0,3 ppm (Kraidees et al., 2009). Peranan sulfur dalam mengurangi
pengaruh toksisitas sianida dari daun singkong pada sapi persilangan Friesian
Holstein dilaporkan oleh Promkot dan Wanapat (2009) dengan cara
mencampurkan elemen sulfur ke dalam pakan sebesar 0,15 dan 0,40% S
berdasarkan bahan kering. Sementara itu, penggunaan selenium metionin pada
kambing (Yue et al., 2009) sebanyak 0,3 sampai 0,5 mg Se/kg bahan kering pakan
dapat meningkatkan kandungan antioksidan dalam serum serta pertambahan bobot
hidup harian yang lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan Se.
F. Degradasi serat
Penelitian mengenai serat struktural (neutral dan acid detergent fibers)
diarahkan untuk meningkatkan nilai kecernaan dan fermentabilitas. Proses
biologis sebelum pakan berserat diberikan kepada ternak sudah banyak dilakukan
melalui ensilase atau fermentasi. Penggunaan berbagai macam kapang atau
bakteri dalam upaya meningkatkan produksi ensim pemecah serat menjadi fokus
penelitian pada kurun waktu 2 – 3 dekade terakhir. Pemanfaatan berbagai macam
sumber pakan berserat dari limbah pertanian, perkebunan dan industri juga sudah
banyak dilakukan. Pada dasarnya, untuk meningkatkan nilai manfaat pakan
berserat, yang dilakukan adalah membuat komponen serat tersebut menjadi

6
senyawa dengan konformasi molekul lebih sederhana sehingga akan lebih mudah
dipecah dan difermentasi oleh mikroba rumen. Pemberian pakan sumber serat
(roughage) dan konsentrat pada berbagai imbangan dapat mempengaruhi produksi
metana. Imbangan 92:8 untuk pakan berserat dengan konsentrat menghasilkan
metana yang lebih tinggi dibandingkan imbangan 50:50 atau 30:70 (Chandramoni
et al., 2000). Pakan konsentrat dengan proporsi yang lebih tinggi dapat
meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan (3,8 vs. 5,4) dan menghasilkan
persentase karkas yang lebih tinggi (48,5 vs. 43,5%) dibandingkan dengan
pemberian pakan yang kaya hijauan pada domba Awassi (Haddad dan Husein,
2004). Pemberian cairan rumen sebanyak 50 –200ml/1 ltr larutan sebagai bio
inokulan dapat meningkatkan nilai gizi dari pakan ternak, sementara jika yang
digunakan inokulum bakteri selulolitik dari cairan rumen dapat digunakan
sebanyak 10-15% dalam ransum jerami.

II.2 Kebutuhan Basal Energi


Ukuran tubuh (body size) ternak juga mempengaruhi kebutuhan energi.
Ternak dengan ukuran tubuh yang lebih besar memerlukan energi untuk
maintenance lebih tinggi dibandingkan ternak dengan ukuran tubuh lebih kecil.
Perkiraan kebutuhan energi termetabolis untuk hidup pokok (MEm) pada
kambing prasapih, periode pertumbuhan tipe pedaging, periode pertumbuhan tipe
perah, periode pertumbuhan tipe lokal maupun dewasa berturut-turut adalah 485,
489, 580, 489 dan 462 kJ/kg bobot badan metabolik, sedangkan kebutuhan energi
untuk produksi (MEg) adalah 13,4, 23,1, 23,1, 19,8 dan 28,5 kJ/g pertambahan
bobot hidup harian (PBHH) (Luo et al.,2004).
A. Nilai Nutrisi Pakan
Nilai nutrisi pakan adalah respon produksi ternak (PBB, produksi susu)
terhadap pakan yang dikonsumsinya. Merupakan fungsi dari intake (I) dan
kualitas (NV) (Dyah, 2014).
Feeding value = f (intake x NV)
Nutritive value atau kualitas pakan adalah fungsi dari komposisi fisik dan
kimia pakan, kecernaan, laju, dan tempat terjadinya pencernaan dan efisiensi
pemnafaatan zat-zat nutrisi yang diserap. Intermediate metabolis adalah senyawa
kimia yang dihasilkan oleh proses fermentasi di dalam rumen (VFA, NH3, CO2)
(Dyah, 2014).
1. Metode Pengukuran Nilai Nutrisi Pakan
a. In Vivo
Secara langsung yaitu dengan mengukur jumlah yang disajikan dengan
jumlah yang tersisa dapat dilakukan dengan percobaan intensif secara in vivo
dalam kandang individu atau pengukuran pre-grazing dan post grazing herbage
mass (Dyah, 2014).
Contoh perhitungannya :
Pre grazing herbage mass = 4000 kg BK/ha

7
Post grazing herbage mass = 1500 kg BK/ha
Ternak dilepas selama 8 hari dengan jumlah 25 ekor
Konsumsi BK = 4000-1500
25x8
= 12,5 kg BK/hari/ekor
Pengukuran hijauan dengan cara pelemparan kotak besi berukuran 1 x 1
m, dilempar sebanyak 50 kali. Maka akan diperoleh produksi rata-rata, misalnya
75 g hijauan segar/m2. Produksinya adalah 750.000 g segar/ha BK = 150 kg
BK/ha
Konsumsi BK =3% x BB
=3% x 200 kg
=6 kg/ekor
Secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan marker, syaratnya
marker merupakan substansi yang tidak dapat dicerna. Contoh menggunakan
marker chromium (Cr2O3).
Daya cerna =Konsumsi – feses
Konsumsi
Konsumsi = feses
1-DC

.
B. Analisa Proksimat
Analisa proksimat digunakan untuk menganalisa kandugan zat makanan bahan
pakan. Cara ini dikembangkan oleh Wender experiment station di Jerman oleh
Hemberg dan Stocman pada tahun 1965, yaitu suatu metode analisis yang
menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Cara ini dipakai hampir di
seluruh dunia, dan disebut “analisis proksimat”. Analisis proksimat ini didasarkan
atas komponen susunan kimia dan kegunaannya. Dari sistem analisis proksimat
dapat diketahui adanya 6 macam fraksi yaitu 1) Air, 2) Abu, 3) Protein kasar, 4)

8
Lemak kasar (ekstrak eter), 5) Serat kasar, 6) Ekstrak tanpa nitrogen. Khusus
untuk ekstrak tanpa nitrogen nilainya dicari hanya berdasarkan perhitungan yaitu
100% dikurangi jumlah dari kelima fraksi yang lain (Dyah, 2014). :
- Air
Air yaitu dimaksud air dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang
menguap pada pemanasan dalam beberapa waktu pada suhu 105° sampai 110° C
dengan tekanan udara bebas sampai sisa yang tidak menguap mempunyai bobot
tetap. Penentuan kandungan kadar air dari suatu bahan sebetulnya bertujuan untuk
menentukan kadar bahan kering dari bahan tersebut. Sampel makanan ditimbang d
n diletakkan dalam cawan khusus dan dipanaskan dalam oven dengan suhu 105°
C pemanasan berjalan hingga sampel tidak turun lagi beratnya. Setelah pemanasan
tersebut sampel bahan pakan disebut sebagai sampel bahan kering dan
penggunaanya dengan sampel disekat purien air atau kadar airnya (Dyah, 2014).
-Abu
Sampel bahan kering ditambah dan dibakar pada suatu crucible dengan suhu
600°C selama beberapa jam (Tillman et al., 1984). Yang dimaksud abu adalah
sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan. Suatu bahan bila dibakar sempurna
pada suhu 500°C sampai 600°C selama beberapa waktu maka senyawa
organiknya akan menguap, sedang sisanya yang tidak menguap itulah yang
disebut abu atau campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam
mineral yang terkandung di dalam bahannya (Dyah, 2014).
- Protein kasar
Protein kasar adalah nilai hasil bagi dari total nitrogen ammonia dengan
faktor 16% berasal dari asumsi bahwa protein mengandung nitrogen 16%.
Kenyataannya nitrogen yang terdapat di dalam pakan tidak hanya berasal dari
protein saja tetapi ada juga nitrogen yang berasal dari senyawa bukan protein atau
nitrogen non protein (Non Protein Nitrogen atau NPN). Dengan demikian maka
nilai yang diperoleh dari perhitungan di atas merupakan nilai dari apa yang
disebut protein kasar. Sampel dianalisis dengan alat Kjedhal. Analisis ini
menggunakan asam sulfat dengan suatu katalisator dan pemanasan. Zat organik
dari sampel lalu dioksidasi oleh asam sulfat lalu nitrogen diubah dalam bentuk
amonium sulfat sedangkan kelebihan asam sulfat akan dinetralisir oleh NaOH dan
sampel larutan menjadi basa. Dari amonium sulfat tadi lalu didestilisi dalam
medium asam untuk mendapatkan nitrogen secara kuantitatif. Karena protein
mengandung nitrogen rata-rata 16 % maka faktor 6,25 harus dipakai untuk
mendapatkan nilai protein kasar (Dyah, 2014).
-Serat kasar
Sampel yang bebas lemak dan telah disaring dipakai untuk mendapatkan
serat kasar. Sampel bila ditambah 1,25% asam sulfat dan dipanaskan selama 30
menit, kemudian residu disaring, endapan yang didapat ditambah 1,25% NaOH
dan dipanaskan 30 menit kemudian disaring dan endapan yang didapat dioven,
dikeringkan, dan ditimbang lalu dibakar dan abunya ditimbang. Perbedaan antara

9
berat endapan sebelum dibakar dan abu adalah serat kasar (Dyah, 2014).
-Lemak kasar
Lemak kasar adalah campuran beberapa senyawa yang larut dalam pelarut
lemak (ether, petroleumether, petroleum benzen, dsb.) oleh karena itu lemak kasar
lebih tepat disebut ekstrak eter. Tillman et al., (1984) menyatakan bahwa sampel
bahan kering diekstraksi dengan etil eter selama beberapa jam, maka bahan yang
didapat adalah lemak sedangkan yang menguap adalah eter (Dyah, 2014).
-Ekstrak Tanpa Nitrogen (ETN)
Komponen ini didapat dengan mengurangi sampel behan kering dengan
semua komponen-komponen seperti air, serat kasar, lemak kasar, protein kasar,
dan abu. Komponen dari ekstrak tanpa nitrogen adalah selulosa, hemiselulosa,
lignin, gula, fruktan, pati, pektin, asam organik, resin, tanin, pigmen, dan vitamin
larut air. Analisis proksimat yang dimaksud ekstrak tanpa nitrogen adalah
sekelompok karbohidrat yang mudah larut dalam perebusan dengan H2SO4 1,25
% atau 0,225 N dan pada perebusan dengan larutan NaOH 1,25% atau 0,313 N
yang berurutan masing-masing selama 30 menit. Walaupun demikian, untuk
penentuan kadar ekstrak tanpa nitrogen hanya berdasarkan perhitungan 100% -
(%air + % abu+ % PK + % SK + % LK ) (Dyah, 2014).

C. Analisa Serat Kasar


Komponen terbesar pakan ternak ruminansia adalah serat kasar. Oleh karena
itu analisa serat kasar memegang peranan penting dalam evaluasi nutrisi bahan
pakan ternak ruminansia (Dyah, 2014).
Analisa Serat meliputi (Dyah, 2014). :
1. Crude Fibre (Serat Kasar) Dan
2. Detergent Fibre
- Neutral detergent Fibre
- Acid detergent fibre
Dietary Fibre (Serat Pangan) mencakup :
- Total Dietary fibre
- Soluble Dietary fibre
- Insoluble Dietary fibre
Hal-hal penting diperhatikan dalam analisa serat adalah :
a) CF : Residu ekstraksi dlm asam dan alkali panas
b) Indek bahan tak tercerna utk pakan (forage)
c) Tidak cocok sebagai indek untuk pangan
d) Hasil analisis < Serat Pangan
e) Selama analisis ada kehilangan: selulosa : 20-25%, hemiselulose: 80%,
lignin 50-90% dan pektin mencapai 100%.
Detergent fiber merupakan perkembangan dari crude fiber, lebih cocok untuk
analisa pakan, analisa detergent fiber dibagi menjadi dua, yaitu :
- Neutral Detergent Fibre (Ndf)

10
- Acid Detergent Fibre (Adf)
Analisis Serat Pangan dapat menggunakan Metoda AOAC (Enzymatc-
Gravimetric Method), prinsipnya adalah :
a) Ekstraksi lemak
b) Gelatinisasi
c) Hidrolisis dan pemisahan pati (amilase & amyloglukosidase)
d) Hidrolisis dan pemisahan protein (protease)
e) Presipitasi Serat Pakan (dg ethyl alkohol)
f) Endapan = Total Serat Pakan
g) Koreksi : kadar abu
Prosedur Analisis Serat Pakan (DF) adalah :
1. Timbang sampel (0.3-0.5 mm mesh) 1 gram, masukkan dalam beaker 400 ml
2. Tambahan 50 ml buffer posfat, pH 6.0
3. Tambahkan 0.1 ml Termamyl, tutup denan aluminium foil dan masukkan
dalam water bath mendidih selama 15 menit, goyang setiap 5 menit. Pastikan
bahwa suhu sampel mencapai 95-100oC. Tambah waktu pemanasan bila perlu
(total waktu di dalam waterbath 30 menit).
4. Dinginkan sampel pada suhu kamar dan atur pH menjadi 7.5 dengan
penambahan 10 ml larutan 0.275 N NaOH
5. Tambahkan 5 gr protease (krn protease bersifat lengket, dianjurkan untuk
membuat larutan ensim 50 mg protease dlm 1 ml buffer posfat) dan tambahkan
0.1ml larutan ensim. Tutup dengan aluminium foil dan inkubasikan selama 30
menit
6. Dinginkan dan tambah 10 ml 0.325M lar HCl. Atur pH hingga 4.0-4.6.
Tambahkan 0.3 mL amyloglukosidase, tutup dengan aluminium foil dan
inkubasikan pd 60oC selama 30 menit denga agitasi kontinyu.
7. Tambahkan 280 ml 95% ETOH, panasi 60oC dan presipitasikan pada suhu
kamar 60 menit.
8. Saring dengan krus yg telah diberi celite 0.1 mg yang diratakan dengan
ETOH 78 %.
9. Cuci residu dlm krus dgn 20ml ETOH 78% (3x), 10 ml ETYOH 95% (2x)
dan 10 ml aseton (1x)
10. Keringkan residu dlm oven vakum 70oC semalam atau oven 105 C sampai
berat konstan.

11
Grafik penguraian fraksi komponen bahan pakan ; NDF adalah residu yang
tidak larut setelah dididihkan dengan neutral detergent solution (Dyah, 2014).

II.3 Penyakit Ruminansia


A. Bloat
Nama lain: Kembung perut, Timpani ruminal, Tympanitis, Hoven, Meteorism
Bloat/ kembung perut merupakan bentuk penyakit/ kelainan alat pencernaan
yangbersifat akut, yang disertai penimbunan gas di dalam lambung ternak
ruminansia. Penyakit kembung perut pada sapi lebih banyak terjadi pada sapi
perah dibandingkan dengan sapi pedaging atau sapi pekerja (Dyah, 2014).
1. Penyebab
Bloat/ kembung perut dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu (Dyah, 2014).:
a. Faktor makanan/ pakan:
a) Pemberian hijauan Leguminosa yang berlebihan.
b) Tanaman/ hijauan yang terlalu muda.
c) Biji bijian yang digiling sampai halus.
d) Imbangan antara pakan hijauan dan konsentrat yang tidak seimbang
(konsentrat lebih banyak).
e) Hijauan yang terlalu banyak dipupuk dengan Urea.
f) Hijauan yang dipanen sebelum berbunga (terlalu muda) atau sesudah
turunnya hujan terutama pada daerah yang sebelumnya kekurangan air.
g) Makanan yang rusak/ busuk/ berjamur.
h) Rumput/ hijauan yang terkena embun atau terkena air hujan.
b. Faktor ternak itu sendiri :

12
a) Faktor keturunan.
b) Tingkat kepekaan dari masing masing ternak.
c) Ternak bunting yang kondisinya menurun.
d) Ternak yang sedang sakit atau dalam proses penyembuhan.
e) Ternak yang kurang darah (anemia).
f) Kelemahan tubuh secara umum.
2. Tanda tanda penyakit
a) Perut sebelah kiri membesar, menonjol keluar dan kembung berisi gas.
b) Ternak tidak tenang, gelisah, sebentar berbaring lalu segera bangun.
c) Ternak mengerang kesakitan.
d) Nafsu makan turun bahkan tidak mau makan.
e) Ternak bernapas dengan mulutnya.
f) Pada saat berbaring, ternak menjulurkan lehernya untuk membebaskan
angin/ gas dari perut (Dyah, 2014).
4. Pencegahan
a) Jangan menggembalakan/ melepas ternak terlalu pagi, karena rumput
masih mengandung embun.
b) Jangan membiarkan ternak terlalu lapar.
c) Hijauan yang akan diberikan hendaknya dilayukan terlebih dahulu.
d) Jangan memberikan makanan yang sudah rusak/ busuk/ berjamur.
e) Jangan memberikan rumput muda atau rumput yang basah karena embun/
hujan dan rumput yang bercampur kotoran.
f) Menghindari leguminosa yang terlalu banyak dalam ransum.
g) Hindari pemberian rumput/ hijauan yang terlalu banyak, lebih baik
memberikan sedikit demi sedikit tetapi sering kali (Dyah, 2014).
5. Pengobatan
a. Secara medis
- Anti Bloat (bahan aktif: Dimethicone), dosis sapi/ kerbau: 100 ml obat
diencerkan dengan 500 ml air, sedang untuk kambing/ domba: 25 ml obat
diencerkan dengan 250 ml air, kemudian diminumkan.
-Wonder Athympanicum, dosis: sapi/ kerbau: 20 – 50 gram, sedang untuk
kambing/ domba: 5 – 20 gram, dicampur air secukupnya, kemudian
diminumkan (Dyah, 2014).
6. Hubungan Kesehatan Masyarakat
Tidak ada, artinya penyakit ini tidak menular kepada manusia dan apabila
dipotong dagingnya dapat dikonsumsi (Dyah, 2014).

B. Ketosis
Ketosis adalah kelainan fisiologis yang biasanya terjadi pada sapi perah
beberapa minggu post partum. Tanda-tanda ketosis antara lain anorexia, atony
rumen, konstipasi, turunnya produksi susu dan penurunan berat badan. Kelainan
ini dapat terjadi dalam bentuk primer ataupun sekunder. Ketosis primer adalah

13
kelainan metabolik yang terjadi apabila tidak disertai kondisi patologis lainnya,
sedangkan ketosis sekunder adalah dampak dari kelainan patologis lainnya seperti
milk fever, mastitis, metritis atau retensio sekundinarum. Mekanisme yang
menyebabkan ketosis belum diketahui dengan pasti. Salah satu penyebab
utamanya adalah kebutuhan glukosa yang meningkat untuk sintesa susu pada awal
masa laktasi karena sapi akan memanfaatkan cadangan lemak tubuh sebagai
sumber energi. Namun oksidasi asam lemak yang tidak sempurna terjadi dan
terbentuk badan-badan keton, level gula darah turun, keton dalam darah
meningkat dan terjadi infiltrasi lemak dalam jaringan hati. Faktor penyebab kunci
terjadinya ketosis yaitu tidak cukupnya pasokan energi dan protein setelah sapi
beranak. Pengobatan yang sering dilakukan pada sapi yang menderita ketosis
adalah infus glukosa intravena. Dalam beberapa kejadian injeksi indakan terbaik
yang dapat dilakukan adalah pemberian pakan yang sangat palatable yang akan
menstimulasi pasokan bahan kering dan energi. Ketosis dapat dicegah dengan
pemberian ransum seimbang pada masa awal laktasi dan memaksimalkan pasokan
bahan kering pada ransumnya. Hendaknya sapi diberikan hijauan dengan kualitas
yang baik terutama pada awal masa laktasi. Perhatian khusus sangat diperlukan
pada masa kering kandang, sapi tidak boleh terlalu gemuk. Pemberian niacin pada
ransum 2 minggu sebelum melahirkan sampai dengan 10 hari setelah melahirkan
dapat membantu mencegah terjadinya ketosis (Dyah, 2014).

C. Grass Tetany
Grass Tetany adalah gangguan metabolisme yang serius diindikasikan dengan
rendahnya level magnesium dalam darah. Grass tetany juga disebut grass staggers
dan white pasture poisoning. Penyakit ini biasanya terjadi pada induk betina yang
sedang menyusui anaknya kurang dari umur dua tahun, namun penyakit ini juga
dapat terjadi pada sapi perah dara maupun pada fase kering serta dapat terjadi
pada pedet pada fase pertumbuhan. Hal tersebut sering terjadi pada ternak sapi
yang mengkonsumsi rumput dengan kadar air yang tinggi atau rumput yang
umurnya mash terlalu muda biasanya terjadi pada ternak yang dipelihara di lahan
penggembalaan. Pemupukan yang kaya nitrogen akan mengakibatkan penurunan
ketersediaan magnesium, khususnya untuk tanah yang tinggi kadar potassium atau
aluminium. Grass tetany sering terjadi pada musim dingin (suhu pada kisaran 45-
60 ºF), ketika rumput tumbuh dengan subur atau saat musim gugur diikuti dengan
tumbuhnya tanaman baru. Grass tetany ditandai dengan tidak terkoordinasinya
pergerakan dan diakhiri dengan, menggigil koma, dan kematian. Ternak-ternak
pada lahan penggembalaan diketahui megalami kematian tanpa sakit. Menggigil
biasanya tampak pada ternak jika ternak menderita grass tetany hingga mengalami
kematian. Tindakan pencegahan tergantung besarnya kondisi penyebab timbulnya
penyakit tersebut yang harus ditangani. Kurangi akses ternak terhadap hijauan
yang beresiko tinggi jika mengkonsumsinya. Sapi jantan, sapi dara, sapi perah,
dan induk sapi yang glukokortikoid juga sering dilakukan memiliki anak berumur

14
lebih dari 4 bulan rentan terserang penyakit ini. Penggunaan dolomit atau batu
kapur yang kaya magnesium pada hijauan termasuk leguminosa dalam padang
campuran akan menurunkan resiko terserangnya penyakit grass tetany pada ternak
umbaran. Suplementasi akan meningkatkan level magnesium dalam darah dan
mengeliminir kejadian grass tenany selain itu pemberian magnesium pada pakan
dalam jumlah yang sesuai juga dapat mencegah timbulnya penyakit tersebut
(Dyah, 2014).

D. Milk Fever
Kasus milk fever (hypocalcemia) ditemukan selama duapuluh tahun terakhir
pada peternakan domba. Domba betina yang sedang menyapih selama dua sampai
tiga minggu. Domba betina yang berukuran sedang, galur murni Katahdin
dikawinkandengan domba jantan ¾ Dorper. Memperoleh 2 lbs pakan barley per
hari dan 2 lbs campuran rumput/clover hay, yang pemberiannya tidak secara
bersamaan. Domba-domba tersebut juga menapatkan campuran mineral secara
bebas. Setelah beberapa hari ditemukan domba-domba tesebut mengalami
kelumpuhan. Kondisi tersebut dimungkinkan adalah milk fever, permasalahan
yang timbul selama periode akhir masa kebuntingan. Domba-domba tersebut
menerima pakan yang rendah kandungan kalsiumnya. Berley dan rumput-
rumputan relatif rendah kandungan kalsiumnnya, sehingga tidak banyak
kontribusinya jika diberikan pada ternak. Khususnya untuk ternak pada periode
akhir kebuntingan tidak direkomendasikan memberikan hanya hijauan berupa
rumput-rumputan (Dyah, 2014).

E. White Muscle Disease (WMD)


White muscle disease (WMD) adalah penyakit degenerasi fungsi otot yang
ditemukan pada sebagian besar ternak. Penyakit tersebut diakibatkan oleh
defisiensi selenium dan/atau vitamin E. Sebenarnya masih diragukan antara
keduanya. Defisiensi selenium (Se) berhubungan dengan defisiensi selenium pada
tanah dan tidak mencukupinya intake selenium hijauan yang tumbuh pada lahan
pertanian tersebut. Beberapa area di Amerika Serikat, termasuk Amerika bagian
Timur Laut (Northeast) dipandang sebagai wilayah yang rendah level
seleniumnya. Defisiensi selenium terjadi ketika kandungan dalam tanah kurang
dari 0,5 mg Se/kg tanah dan termasuk tanaman pertanian yang mengandung
kurang dari 0,1 mg Se/kg hijauan tanaman pertanian. Defisiensi vitamin E
tergantung pada tipe tanah dan akan direfleksikan terhadap kualitas hijauan.
Ternak yang merumput biasanya megkonsumsi vitamin E dalam jumlah yang
cukup. Hal tersebut dikarenakan leguminosa yang segar dan tanaman pastura
merupakan sumber vitamin E yang sangat baik, sedangkan silase, biji-bijian,
butir-butiran serealia, dan hijauan kering cenderung merupakan memiliki
kandungan vitamin E yang rendah. Penyimpanan bahan pakan dalam kurun waktu
yang lama menakibatkan penurunan akivitas vitamin E sebesar 50% per bulan.

15
Pada kasus WMD, defisiensi selenium dan vitamin E menimbulkan gejala yang
mengakibatkan kerugian ekonomis dan gangguan fungsi reproduksi : menurunkan
laju konsepsi, fetal reabsorption, dystocia, retained placenta, penurunan produksi
susu, dan penurunan kualitas semen. Hal tersebut dapat mengakibatkan laju
pertumbuhan yang rendah atau kelemahan selama periode pertmbuhan. Domba
mengkonsumsi pakan yang rendah kandungan selenium akan memproduksi wool
dengan kuantitas yang rendah dan meningkatkan kasus kejadian periodontal
disease. Selenium dan vitamin E juga memegang peranan yang penting dalam
respon kekebalan tubuhyang normal (Dyah, 2014).

16
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN JURNAL

Judul Investigasi klinis hipokalsemia pada sapi dan kambing di rumah


sakit hewan terpilih di Bangladesh dan India.
Jurnal Journal of Dairy, Veterinary & Animal Research
Volume & Tahun Volume 5, tahun 2017
Penulis Md Nurul Quader, Kazi Muhammad, Fakhrul Islam, Shah
Jalal, Saroj Kumar, Md Iqbal Hossain, Ashifimtiaj Shawn,
Mdahasanul Hoque
Tanggal Review 15 Mei 2018

1. Latar Belakang
Prevalensi hipokalsemia dilaporkan 15% pada sapi, 9% pada kambing di
Bangladesh sedangkan di India, 10% pada sapi, 9% pada kambing. Hipokalsemia
merupakan keadaan kurangnya kalsium dalam darah. Hipokalsemia biasa terjadi
pada ternak sapi dan kambing ketika konsentrasi kalsium didalam darah kurang
dari 10 mgr/dL. Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari
berbagai masalah, hal ini ditandai dengan lesu, anoreksia, tidak dapat bergerak,
berbaring dan refleksi pupil pupil yang lambat. Adapun penyebab dari
hipokalsemia adalah suplemen kalsium dan vitamin D yang rendah, rasio kalsium
dan fosfor yang tidak tepat (2: 1) dan juga ketidakseimbangan hormon paratiroid
dan kalsitonin. Menurut hasil identifikasi potensi risiko faktor-faktor terkait
dengan hipokalsemia termasuk spesies, usia, jenis kelamin. Hipokalsemia dapat
mengurangi produksi susu dan meningkatkan risiko dari perpindahan abomasal
serta secara langsung merusak sel imun yang merespon aktivasi stimulus.
Perawatan dari hipokalsemia harus diberikan secara cepat dan tepat, untuk
mengembalikan plasma normal konsentrasi kalsium. Diantara kasus-kasus yang
berbeda dari kasus hipokalsemia, ditemukan defisiensi nutrisi oleh karena itu
hipokalsemia klinis pada sapi dan kambing dianggap penting untuk diteliti.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan prevalensi hipokalsemia pada sapi
dan kambing secara proporsional serta mencari tahu tanda-tanda klinis dari itu
hipokalsemia dan pengobatan diberikan terhadap kasus ini

2. Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk memperkirakan prevalensi proporsional dari
hipokalsemia pada sapi dan kambing serta untuk mengetahui gambaran tanda-
tanda klinis hipokalsemia dan pengobatan yang diberikan untuk pasien
hipokalsemia dibeberapa rumah sakit hewan terpilih di Bangladesh dan India.

17
3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Hewan milik pemerintah dan


Teaching Hospital Kedokteran Hewan di Bangladesh dan India. Kedua kasus
hypocalcemic retrospektif dan prospektif dibahas dalam penelitian ini. Setiap
kasus dicatat dan dilengkapi mulai dari spesies, usia, jenis kelamin, tanda-
tanda klinis (menurut klinis dan pemeriksaan fisik). Untuk menghitung
prevalensi proporsional dari hipokalsemia pada sapi dan kambing kasus selain
kasus hypocalcemic juga dicatat. Hipokalsemia klinis didiagnosis berdasarkan
gejala klinis seperti tidak bisa bergerak, anoreksia, dan refleks pupil terhadap
cahaya yang lamban serta tingkat kalsium dalam darah (dibawah 10 mg /dL
atau kurang) (untuk beberapa kasus) dan juga respon terhadap terapi Ca (untuk
beberapa kasus).
Data yang diperoleh dimasukkan dan diolah kedalam Microsoft Excel
2007 dan diekspor ke Stata-11 (Stata crop, 4905, Lake Way Drive, College
Station, Texas 778-45, USA) untuk dilakukan analisis statistik deskriptif n.
Fisher test diaplikasikan untuk menilai perbedaan proporsi kasus
hypocalcemic dan non hypocalcemic untuk faktor yang berbeda. Hasilnya
dinyatakan sebagai frekuensi dan persentase terhadap kategori masing-masing
variabel yang diteliti tersebut. Tingkat signifikansi yang ditetapkan sebesar ≤
0,05

4. Hasil
1. Kasus hipokalsemia secara signifikan lebih tinggi pada sapi daripada
dikambing dalam perbandingan studi (UVH: 14% dibandingkan 8,3%, p
≤0,05; SAQTVH: 20% vs 17,4%, p ≤ 0,05 dan MVC: 20% vs 10%, p
≤0.05)). Breed, betina dan sapi muda sering lebih rentang terkena
hipokalsemia diseluruh lokasi penelitian dalam penelitian ini. Kambing
dengan breed Jamnapari dan kambing betina punya kasus lebih (masing-
masing 11 dan 13,) dibandingkan dengan kambing lokal dan kambing
jantan (masing-masing 4 dan 2,). Kambing yang lebih tua umumnya
lebih rentang hipokalsemia.
2. Tanda klinis yang dominan pada sapi yaitu tidak dapat bergerak
kemudian diikuti oleh recumbency sebanyak 9 dan pupil yang lamban
terhadap refleksi cahaya sebanyak 7. Sedangkan pada kambing gejala yang
lebih sering yaitu recumbency sebanyak 8 diikuti oleh pupil lamban
terhadap refleksi cahaya sebanyak 7 dan tidak bisa berpindah pindah
tempat sebanyak 6. Tingkat kalsium hanya untuk 6 kasus hipokalsemia di
MVC (5-7mg / dl) dan 2 kasus di SAQTVH (7.9 mg / dL) dan 6
hypocalcemic kambing di SAQTVH (6,3-7 mg / dL)

18
3. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel dibawah

Jenis Obat dan Rute Dosis Dipulihkan Mati


Cal D Mag and Berat badan 2
IV/SC g / 100 kg
Sapi 11 7
5% DNS dan IV / Berdasarkan
SC tingkat
dehidrasi
Vitamin ADE 15-20 ml
dan IM
Kambing Perawatan serupa Pemberian 12 3
dilakukan untuk yang sama
ternak
5. Pembahasan
Hipokalsemia merupakan kondisi ketika kadar kalsium serum turun
dibawah 10mg / dL ataupun kurang dari itu. Penyakit ini sering terjadi pada sapi,
kambing, domba dan kerbau. Hipokalsemia dapat secara tiba-tiba mengurangi
produksi ASI. Sapi lebih sering terkena hipokalsemia dibandingkan kambing
dalam penelitian ini yang telah didukung oleh penelitian sebelumnya. Hal ini
terjadi pada sapi karena menghasilkan lebih banyak susu sehingga diperlukan
lebih banyak Ca. Cross breed lebih banyak terkena kasus hypocalcemic dalam
penelitian ini karena produksi susu lebih banyak maka terjadi pada keturunan
silang daripada local, dengan demikian lebih banyak kehilangan Ca melalui susu
sehingga terjadi hipokalsemia. Jumlah kasus yang lebih tinggi terjadi pada sapi
betina dan dewasa. Kambing dengan breed Jamnapari lebih rentan terkena
hipokalsemia dari pada kambing lokal dalam penelitian ini. Hal karena ukuran
tubuh lebih besar dari pada kambing lokal. Pada penelitian ini, gejala dengan tidak
mampu berpindah tempat merupakan gejala utama pada hipokalsemia sapi yang
didukung oleh penelitian sebelumnya, kemudian tanda klinis dalam posisi
telentang umumnya ditemukan. Kasus hipokalsemia sapi dan kambing yang
diobati sehingga pengobatan yang diberikan menunjukkan hasil yang memuaskan.
6. Kesimpulan
Hipokalsemia secara signifikan lebih tinggi pada sapi daripada di kambing.
Pengobatan yang diberikan dengan kombinasi Caborogluconate, Vitamin (ADE)
dan DNS berhasil digunakan untuk pemulihan kasus dalam penelitian ini.

19
BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Perkembangan informasi hasil penelitian nutrisi ruminansia memberikan
landasan yang lebih kuat dalam upaya penyusunan formula pakan untuk
memenuhi kebutuhan ternak sesuai dengan potensi genetik serta status
fisiologisnya. Proses pencernaan bahan organik pakan di dalam rumen yang
menghasilkan asam lemak mudah terbang dan massa mikroba serta metabolisme
nutrien di dalam jaringan tubuh ternak menjadi penting dalam menentukan arah
produksi ternak yang diharapkan. Imbangan antara energi dan protein di dalam
pakan masih merupakan pertimbangan yang harus diperhatikan, dengan
memperhatikan pula sifat degradabilitasnya di dalam rumen.

IV.2 Saran
Berdasarkan informasi tentang penelitian nutrisi ruminansia maka masih
terbuka area penelitian yang diperlukan, termasuk di Indonesia, antara lain strategi
pemberian energi dan protein yang tepat, pemanfaatan probiotik untuk regulasi
fermentasi rumen, pemanfaatan senyawa sekunder untuk menurunkan emisi gas
metana enterik, penggunaan suplemen asam lemak tidak jenuh majemuk untuk
meningkatkan kandungan asam lemak omega-3 atau omega-6 pada produk ternak.
Disamping itu perlu pula dilakukan penelitian pemanfaatan pakan sumber serat
melalui bioproses maupun segar dengan penekanan pada kualitas produk ternak
yang optimal.

20
DAFTAR PUSTAKA

Chandramoni., S.B. Jadhao, C.M. Tiwari And M.Y. Khan. 2000. Energy
metabolism with particular reference to methane production in
Muzaffarnagari sheep fed rations varying in roughage to concentrate ratio.
Anim. Feed Sci. Tech. 83(3 – 4): 287 – 300.
Fekete, Sandor, GY. 2008. Veterinary Nutrition and Dietetics. Faculty of
Veterinary Science Budapest,Szent Istvan University Godollo.Hungary.
Haddad, S.G. And M.Q. Husein. 2004. Effect of dietary energy density on growth
performance and slaughtering characteristics of fattening Awassi lambs.
Livest. Prod. Sci. 87(2 – 3): 171 – 177
Haryanto, B. dan A. Thalib. 2009. Emisi metana dari fermentasi enterik:
kontribusinya secara nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
pada ternak. Wartazoa. Vol.19(4): 157 – 165.
Kartadisastra, H. R. 2007. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak
Ruminansia. Yogyakarta : Kanisius.
Kim, K.H., S.S. Lee, B.T. Jeon And C.W. Kang. 2000. Effects of the Pattern of
energy supply on the efficiency of nitrogen utilization for microbial
protein synthesis in the non-lactating cows consuming grass silage. Asian-
Aust. J. Anim. Sci. 13(7): 962 – 966.
Kraidees, M.S., I.A. Al-Haidary, S.I. Mufarrej, M.Y. Alsaiady, H.M. Metwally
And M.F. Hussein. 2009. Effect of supplemental chromium levels on
performance, digestibility and carcass characteristics of transport-stressed
lambs. Asian-Aust.J.Anim.Sci. 22(8): 1124 – 1132.
Li, X.Z., C.G. Yan, R.J. Long, G.L. Jin, J. Shine Khuu, B.J. Ji, S.H. Choi, H.G.
Lee And M.K. Song. 2009. Conjugated linoleic acid in rumen fluid and
milk fat, and methane emission of lactating goats fed a soybean oil-based
diet supplemented with sodium bicarbonate and monensin. Asian-Aust. J.
Anim. Sci. 22(11): 1521 – 1530.
Luo, J., A.L. Goetsch, T. Sahlu, I.V. Nsahlai, Z.B. Johnson, J.E. Moore, M.L.
Galyean, F.N. Owens And C.L. Ferrell. 2004. Prediction of metabolizable
energy requirements for maintenance and gain of preweaning, growing
and mature goats. Small Rum. Res. 53(3): 231 – 252.
Machmuller, A., D.A. Ossowski And M. Kreuzer. 2000. Comparative evaluation
of the effects of coconut oil, oilseeds and crystalline fat on methane
release, digestion and energy balance in lambs. Anim. Feed Sci. Tech.
85(1 – 2): 41 – 60.
Muktiani, A., J. Achmadi, B. Haryanto, W. Puastuti Dan S. Priyanta. 2012.
Pemanfaatan limbah kobis sebagai pakan sapi potong. Pros. Seminar

21
Nasional “Pengembangan aspek zooteknis untuk mendukung sumberdaya
dan ternak lokal”.
Promkot, C. And M. Wanapat. 2009. Effect of elemental sulfur supplementation
on rumen environment parameters and utilization efficiency of freash
cassava foliage and cassava hay in dairy cattle. Asian-Aust. J.Anim.Sci. 22
(10): 1366 – 1376

Schei, I., H. Volden And L. Bævre. 2005. Effects of energy balance and
metabolizable protein level on tissue mobilization and milk performance
of dairy cows in early lactation. Livest. Prod. Sci. 95(1 – 2): 35 – 47.
Sutardi, T. 2001. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. departemen Ilmu Makanan
Ternak. Fakultas Peternakan. Bogor :.Institut Pertanian Bogor
Takahashi, J., T. Kobayashi, Y. Gamo, C. Sar, B. Santoso, X. Zhou And B.
Mwenya. 2004. Effects of Probiotic- vitacogen and 1 – 4 Galacto-
oligosaccharides supplementation on methanogenesis and energy and
nitrogen utilization in dairy cows. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17(3): 349 –
354.
Tanaka, M., T. Suzuki, S. Kotb And Y. Kamiya. 2011.Effect of distiller’s dried
grain with solubles (DDGS) feeding to dairy cows on oxidative status
under hot condition. JARQ 45(4): 457 – 460
Thang, C.M., I. Ledin And J. Bertilsson. 2010. Effect of using cassava products to
vary the level of energy and protein in the diet on growth and digestibility
in cattle. Livest. Sci. 128(1 – 3): 166 – 172.
Widyobroto, B.P., S.P.S. Budhi And A. Agus. 2008. Effect of undegraded protein
and energy level on intake and digestibility of nutrient and blood
metabolite in dairy cows. Animal Production-Unsoed. 10(2): 96 – 101.
Yeom, K.H., J.Th. Schonewille And A.C. Beynen. 2005.Fatty acid composition of
plasma lipids and erythrocytes in adult goats in positive energy balance fed
diets containing either olive or corn oil. Small Rum. Res. 58(1): 25 – 32.

Yue, W., C. Zhang, L. Shi, Y. Ren, Y. Jiang And D.O. Kleemann. 2009. Effect of
supplemental selenomethionine on growth performance and serum
antioxidant status in Taihang Black goats. Asian Aust. J. Anim. Sci. 22(3):
365 – 370.

22

Anda mungkin juga menyukai